Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

14
MEMBENDUNG ARUS LIBERALISASI PEMIKIRAN ISLAM A. Pendahuluan Kehadiran Islam liberal dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syari‟at Islam seperti mempertanyakan kesucian dan otentisitas al-Qur‟an; mengkritik otoritas nabi beserta hadits-hadits sahih-nya, menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para „ulama. Umumnya kaum liberalis ini menolak penerapan syari‟at Islam. karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat hari ini. Secara eksplisit mereka menyatakan beberapa hukum Islam bertentangan dengan prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Tren pemikiran Islam Liberal merupakan fenomena global yang belakangan ini menggejala di hampir seluruh dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap lini kehidupan masyarakat muslim seiring dengan derasnya ekspansi neo- imperialisme Barat yang dibuat atas nama globalisasi dan perang melawan terorisme. Di Indonesia tren ini selalu diidentikkan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun tidak seluruh orang-orang yang berfikiran liberal yang ada di Indonesia tergabung secara formal dalam jaringan ini. Tren ini menyebar di berbagai institusi-institusi perguruan tinggi, pusat studi-pusat studi, organisasi keagamaan, dan juga LSM-LSM. 1 Sebagai contoh : hukum tentang jilbab, mereka menafsirkan bahwa menggunakan jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan muslim, penggunaan jilbab bukanlah bersumber dari ajaran agama Islam tetapi lebih merupakan tradisi Arab dan telah ada bahkan sejak masa pra Islam 2 . Pendapat yang serampangan juga nampak pada orang-orang liberal terkait masalah pergaulan seperti yang diungkapkan oleh salah seorang tokohnya yang bernama Ahmad Syokron Amin bahwa : ciuman cowok dan cewek bukan zina, melainkan shadaqah dan berpahala bila dilakukan secara sukarela. “shadaqah ialah pemberian secara sukarela tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Ciuman dengan non mahram termasuk contohnya”. 3 Adapun pendapat yang lain tentang hukum berkhalwat, mereka mengatakan bahwa “laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat 1 Hasan Wildan. 2011. Kejanggalan Pemikiran Ulil Abshar Abdalla tentang Islam. 2 Buklet Islam Seri 1 : benarkah Islam mewajibkan berjilbab?, Hal. 30 3 Syahid Aqse. 2012. Segelintir Bukti Kesesatan Misionaris JIL.

Transcript of Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

Page 1: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

MEMBENDUNG ARUS LIBERALISASI

PEMIKIRAN ISLAM

A. Pendahuluan

Kehadiran Islam liberal dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini,

khususnya di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang.

Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan

dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syari‟at Islam seperti mempertanyakan

kesucian dan otentisitas al-Qur‟an; mengkritik otoritas nabi beserta hadits-hadits

sahih-nya, menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para

„ulama. Umumnya kaum liberalis ini menolak penerapan syari‟at Islam. karena

dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat hari ini. Secara

eksplisit mereka menyatakan beberapa hukum Islam bertentangan dengan prinsip

hak-hak asasi manusia (HAM).

Tren pemikiran Islam Liberal merupakan fenomena global yang belakangan

ini menggejala di hampir seluruh dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap

lini kehidupan masyarakat muslim seiring dengan derasnya ekspansi neo-

imperialisme Barat yang dibuat atas nama globalisasi dan perang melawan

terorisme. Di Indonesia tren ini selalu diidentikkan dengan Jaringan Islam Liberal

(JIL), meskipun tidak seluruh orang-orang yang berfikiran liberal yang ada di

Indonesia tergabung secara formal dalam jaringan ini. Tren ini menyebar di

berbagai institusi-institusi perguruan tinggi, pusat studi-pusat studi, organisasi

keagamaan, dan juga LSM-LSM.1

Sebagai contoh : hukum tentang jilbab, mereka menafsirkan bahwa

menggunakan jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan muslim,

penggunaan jilbab bukanlah bersumber dari ajaran agama Islam tetapi lebih

merupakan tradisi Arab dan telah ada bahkan sejak masa pra Islam2. Pendapat

yang serampangan juga nampak pada orang-orang liberal terkait masalah

pergaulan seperti yang diungkapkan oleh salah seorang tokohnya yang bernama

Ahmad Syokron Amin bahwa : ciuman cowok dan cewek bukan zina, melainkan

shadaqah dan berpahala bila dilakukan secara sukarela. “shadaqah ialah pemberian

secara sukarela tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Ciuman dengan non mahram

termasuk contohnya”.3 Adapun pendapat yang lain tentang hukum berkhalwat,

mereka mengatakan bahwa “laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat

1 Hasan Wildan. 2011. Kejanggalan Pemikiran Ulil Abshar Abdalla tentang Islam.

2 Buklet Islam Seri 1 : benarkah Islam mewajibkan berjilbab?, Hal. 30 3 Syahid Aqse. 2012. Segelintir Bukti Kesesatan Misionaris JIL.

Page 2: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

berperan secara aktif sebagai pemimpin atau penolong di masyarakatnya.

Keduanya dapat bekerja bahu membahu dalam rangka menjalankan peran sosial

mereka ditengah masyarakat. Islam, karenanya tidak pernah melarang dan

membatasi hubungan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan.4

Munculnya “Mazhab” Islam Liberal, Kenapa Terjadi?

Agenda-agenda JIL sesungguhnya adalah kepanjangan imperialisme Barat

atas Dunia Islam yang sudah berlangsung sekitar 2-3 abad terakhir. Hanya saja,

bentuknya memang tidak lagi telanjang, tetapi mengatasnamakan Islam. Jadi

istilah Islam Liberal bukanlah suatu kebetulan, namun sebuah istilah yang dipilih

dengan sengaja untuk mengurangi kecurigaan umat Islam dan sekaligus untuk

menobatkan diri (sendiri) bahwa Islam Liberal adalah bagian dari Islam, seperti

halnya jenis-jenis pemahaman Islam lainnya5. Sesungguhnya Islam Liberal adalah

peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan idiom-idiom keislaman.

Islam hanyalah kulit atau kemasan. Namun saripati atau substansinya adalah

peradaban atau ideologi Barat, bukan yang lain. Jika dicermati dalam perspektif

historis, gagasan liberalisasi dalam wacana pemikiran Islam sebenarnya bukanlah

masalah baru.

Penelusuran terhadap asal-usul kemunculannya akan mengantarkan pada

penemuan akar masalahnya, yakni ketika kelemahan dan kemunduran taraf berfikir

merajalela ditengah-tengah masyarakat. Termasuk salah satunya adalah

ditinggalkannya bahasa arab. Walaupun ada diantara umat Islam yang mempelajari

hanya sekedar sebagai ilmu bukan tsaqofah. Hal ini berdampak pada cara pandang

umat Islam, yang awalnya mereka memandang agama Islam sebagai sesuatu yang

suci dan harus dilindungi. Namun kemudian, cara pandang mereka berubah, yakni

justru ingin melepaskan diri dari kendali agama. Pelan namun pasti, sebagian besar

umat Islam mulai masuk kedalam perangkap berfikir pragmatis-sekuler-liberal dan

mulai melupakan sudut pandang hakiki mereka, yakni akidah Islam. Sehingga yang

terjadi pada umat islam adalah pengabaian hukum-hukum Syari‟at dan melakukan

penafsiran nash-nash al-Qur‟an dan Hadits secara bebas tanpa memperhatikan

syarat-syarat seorang mufassir (orang yang melakukan tafsir hukum).

Sebenarnya penafsiran hukum Islam seperti yang dicontohkan di atas adalah

lagu lama kelompok Islam Liberal. Mereka mengatakan jilbab tidak wajib dan

menyebutkan batasan berpakaian bagi perempuan menurut Al Qur‟an adalah

menutup aurat (termasuk kepala, telinga, dada, dan leher) dan mengenakan

pakaian yang sesuai dengan standar dan etika kesopanan yang berlaku. Tetapi

ketika khimar (kerudung) tidak lagi diperlukan sebagai identitas muslimah, maka

khimar menjadi tidak wajib. Selanjutnya dikatakan kalau menutup aurat itu

4 Buklet Islam seri 6 : Benarkah Islam Melarang “Khalwat”?, hal.5

5 www.islamlib.com

Page 3: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

merupakan Adat kebiasaan orang Arab. Praktek pemakaian cadar dan penutup

kepala merupakan kebiasaan sebelum Islam. Begitu pula

istilah Zinah (perhiasan), tabarruj, khimar dan jilbab, bahkan masyarakat Romawi

Timur Kuno sudah mengenal bentuk pakaian penutup seluruh tubuh perempuan

agar lekukan tubuhnya tidak tampak.6

Mereka menafsirkan bahwa “jilbab merupakan tradisi atau adat setempat

yang saat itu dipilih oleh Al-Qur‟an (konteks masyarakat arab zaman itu) sebagai

medium (alat) sehingga lebih mudah menyampaikan tujuan syar‟inya, yakni

menjaga kehormatan (maqoshid syariat dalam pandangan jil). Dengan demikian

maqashid at-tasyri‟nya bukanlah terletak pada penggunaan jilbabnya, tetapi pada

perintah menjaga kehormatan dan ini bisa dilakukan dengan beragam cara atau

metode tergantung pada konteks masyarakat di masing-masing tempat dan

zamannya”.7

Dari argumentasi yang dibangun oleh kaum liberal, kita bisa membantahnya

dari beberapa sisi. Pertama, mereka berpendapat bahwa hukum jilbab menjadi

tidak wajib, hal ini dikarenakan maqashid at-tasyri‟nya yaitu menjaga kehormatan

yang menjadi alasan akan kewajiban berjilbab saat ini sudah tidak relevan lagi.

Padahal, bila kita tinjau dari ilmu ushul fiqih, maqoshid syari‟at bukanlah dalil

syari‟at. Sebagaimana yang dikemukakan an-Nabhani yang menegaskan bahwa

maqashid at-tasyri‟ bukanlah dalil syariah, yang tidak bisa digunakan untuk

menarik kesimpulan hukum, layaknya dalil. Dalil syariah bersumber dari al-Qur‟an,

as-Sunnah, Ijma‟ Shahabat dan Qiyas. Kedua, mereka menyesuaikan hukum

syariat dengan kondisi atau konteks masyarakat di masing-masing tempat dan

zamannya, dengan membuat kaidah yang salah seperti “laa yunkaru tagayyuru al-

ahkaami bi taghayyuri az-zamaani” artinya “tidak diingkari perubahan hukum

dengan adanya perubahan zaman” dan “al-„aadatu muhakkamatun” artinya “adat-

istiadat bisa dijadikan patokan hukum”. Ketiga, tentang illat, mereka berpendapat

bahwa “..ada dan tiadanya hukum tergantung pada illatnya atau konteks

kebutuhannya. Hukum berkembang sesuai dengan konteksnya..”8 ini juga

menyimpang dari pemahaman islam. Sebab tidak semua dalil/nash syara‟

mengandung illat didalamnya. Dalam kitab Mafahim Hizbut Tahrir, illat (definisi illat

adalah alasan atau latar belakang ditetapkannya hukum) hanya berkaitan dengan

hukum-hukum mu‟amalah dan uqubat. Sedangkan dalam masalah aqidah,

makanan, pakaian dan akhlaq tidak memiliki illat. Hanya saja tidak setiap hukum

mu‟amalah dan uqubat terdapat illat didalamnya. Nash yang tidak menyebutkan

illatnya, maka illat-nya tidak boleh dicari-cari dan tidak dapat di analogkan kepada

yang lain. „Illat yang sah adalah „illat syar‟iyyah, bukan „illat aqliyah. Dengan kata

lain keberadaan „illat wajib berdasarkan nash, baik diperoleh secara sharahatan

(jelas), maupun dengan dalalah (penunjukkan), atau melalui istinbath

6 Qomariyah Rahma. 2010. Jilbab : Kewajiban, Bukan Sekedar Budaya!

7 Buklet Islam Seri 1 : benarkah Islam mewajibkan berjilbab?, Hal. 23

8 Buklet Islam Seri 1 : benarkah Islam mewajibkan berjilbab?, Hal. 22

Page 4: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

(pengambilan) maupun qiyas (analogi).9 Karena jilbab ataupun khimar masuk

dalam kategori pakaian maka nash yang menunjukkan hukum terkait kewajiban

jilbab dan khimar sesungguhnya tidak mengandung „illat dan tidak ada „illat-nya.

Maka dari itu, kita dilarang untuk mencari-cari illat hukum. Perlu dipertegas

bahwa tidak semua nash-nash syara‟ mengandung illat dan „illat yang dipakai

adalah „illat syar‟iyyah bukan „illat aqliyyah. Seperti dalam kaidah syara‟ yang

ditabbani (diadopsi) oleh Hizbut Tahrir, yaitu :

Anna Al‟ibaadaati walmat‟uumaati walmalbuusaati walmasyruubaati wal

akhlaaqi laa tu‟allalu wayaltadzimu fiiha binnassi.

Artinya : “Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian,

minuman dan akhlaq tidak dapat direka-reka (dicari-cari „illat hukumnya), semua

ketentuannya berdasarkan nash saja”.10

Itulah kekeliruan pendapat mereka terkait hukum berjilbab, adapun terkait

dengan khalwat mereka menggunakan kaidah :

Artinya : “Menolak suatu kemudharatan harus lebih didahulukan daripada meraih

kemaslahatan (kebaikan)”.

Mereka mengatakan bahwa “khalwat akan berdampak pada pembatasan

kebebasan dan kemerdekaan perempuan untuk berperan aktif diwilayah publik.

Dan bila kembali pada kaidah diatas, jika pun khalwat itu katakanlah benar

dilarang-karena dalam hadits-hadits nabi ataupun sejarah awal Islam, justru

digambarkan sebaliknya-maka akan menjadi boleh, karena aturan ini jelas sangat

berpotensi mengundang kemudharatan, yaitu terjadinya pembatasan-pembatasan

khususnya terhadap perempuan. Perempuan menjadi pasif kembali, penuh

ketidakberdayaan, dan selalu bergantung kepada orang lain di sepanjang

hidupnya”11. Dari penafsiran tersebut mereka mengambil kaidah mendatangkan

maslahat (kebaikan) dan menolak mudharat (keburukan) sebagai illat dalam

menetapkan hukum kebolehan khalwat. Seperti pendapat mereka bahwa hukum

ketidakbolehan khalwat, akan mengundang kemudharatan, sehingga mereka

membolehkan khalwat. Sementara itu didalam nash syara‟ tidak pernah

ditunjukkan bahwa kaidah tersebut adalah illat. Padahal bila kita kaji lebih jauh

sebuah illat harus berupa illat syar‟iyah yaitu yang sudah tercantum dalam nash

baik Qur‟an maupun hadits, bukan sesuatu yang didasarkan pada mendatangkan

9Mafahim Hizbut Tahrir, hal. 64

10Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Hal. 61, 62

11 Buklet Islam seri 6 : Benarkah Islam Melarang “Khalwat”?, Hal. 19, 20

Page 5: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

maslahat dan menolak mudharat. Hal ini sungguh sangat berbahaya, sebab nilai

kemaslahatan dan kemudharatan itu bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan

waktu dan tempat. Bila kaidah ini dijadikan sandaran, dengan sendirinya hukum-

hukum syara‟ akan berubah-ubah mengikuti perkembangan yang terjadi. Sehingga

jelas bahwa pendapat JIL diatas terkait kaidah ini sangat bertentangan dengan

syari‟at.

Kenapa kondisi di atas bisa terjadi? Setidaknya ada Dua faktor penyebab.

Pertama, faktor internal umat Islam yang lemah secara akidah sehingga tidak

memiliki visi-misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan lemahnya

pemahaman mereka terhadap aturan-aturan Islam, termasuk tentang cara

berpakaian seorang muslimah yang seharusnya. Serta lemahnya penguasaan

tsaqofah bahasa arab diantara umat Islam. Kedua, faktor eksternal, berupa

adanya upaya konspirasi asing untuk menghancurkan umat Islam melalui serangan

berbagai pemikiran dan budaya sekuler yang rusak dan merusak, terutama paham

liberal yang menawarkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku,

beragama maupun dalam kepemilikan. Paham ini secara langsung telah

mengeliminir peran agama dari pengaturan kehidupan manusia, sekaligus

menjadikan manusia menjadi “Rabbul „Alamin” yang bebas menentukan arah dan

cara hidupnya.

Dengan paham liberal, umat Islam dikondisikan untuk „merasa malu‟ terikat

dengan hukum-hukum Islam. Terlebih, hukum-hukum Islam memang sengaja

dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam sebagai aturan-aturan yang kolot, anti

kemajuan, ekslusif, bias gender dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sehingga

sebagai gantinya, saat ini umat Islam justru menuntut penerapan berbagai aturan

yang menjamin kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa aturan-aturan

itu bertentangan dengan syari‟at agama mereka.

B. SOLUSI untuk Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam

Sekulerisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam saat ini tidak hanya merusak

kehidupan dan struktur sosial kaum Muslim, lebih jauh dari keduanya juga

mengubah mainstream berpikir mayoritas umat Islam. Bahkan sebagian mereka

tidak lagi memandang akidah Islam sebagai perkara penting yang harus dijaga dan

dilindungi. Mereka telah hanyut diterjang arus sekulerisasi dan liberalisasi.

Akibatnya ditengah-tengah umat terjadi liberalisasi pemikiran kaum muslim, dan ini

juga diperparah dengan munculnya islam liberal seperti gambaran diatas. Karena

itu sebagai seorang muslim kita harus mampu memahami kekeliruan liberalisasi

pemikiran islam dan tentu saja memahamkan kepada umat Islam solusi terbaik dari

problematika tersebut.

Page 6: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

Kekeliruan Metode dalam Menafsirkan nash Qur’an dan Hadits

Liberalisasi pemikiran Islam yang terjadi di kalangan umat Islam saat ini

sangat berbahaya, sebab akan berakibat pada pengabaian aqidah dan hukum-

hukum Islam,maka diperlukan counter. Sehingga sebagai seorang muslim kita

harus mampu memahami dengan benar kekeliruan liberalisasi pemikiran Islam. Hal

ini diperlukan agar umat tidak semakin terjerumus dengan cara berfikir liberal yang

merusak. Kekeliruan ini terjadi karena pemikir liberal telah menafsirkan nash-nash

al-Qur‟an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode-metode berikut :

1. Kebebasan Akal sebagai Asas

Para pemikir liberal dalam menafsirkan nash menggunakan kerangka berfikir

liberal, dimana mereka berdalih bahwa fiqih merupakan hasil

pemikiran/penentuan manusia. Walhasil penafsiran nash disesuaikan dengan

pendapat dan keyakinan mereka. Menurut mereka manusia itu lemah dan

mudah terpengaruh kondisi social masyarakatnya ketika menentukan suatu

hukum. Karena itu, bila sesesorang memiliki hak menentukan status hukum

dari perbuatan, maka orang lain pun juga memiliki hak yang sama, baik

mujtahid maupun bukan.

Sebagai contoh (untuk melegalisasi bahwa pendapat mereka diambil dari al-

Qur‟an), mereka menggunakan ayat berikut :

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari lelaki dan

perempuan, dan kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku-

puak, supaya kamu berkenal-kenalan (beramah mesra antara satu dengan

yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang

lebih taqwanya di antara kamu (bukan yang lebih keturunan atau

bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi amat mendalam

pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu)”

QS. al-Hujurât [49]: 13

Dari ayat ini mereka menafsirkan bahwa pergaulan dan hubungan antara

manusia, laki-laki dengan perempuan merupakan fitrah yang tidak

terelakkan, sehingga mereka membolehkan adanya khalwat.

Kita dapat melihat kekeliruan pendapat mereka, bahwa tanpa

memperhatikan makna keseluruhan ayat dan ilmu serta kaidah apapun

dalam penafsiran yang shahih, mereka langsung mengklaim bahwa al-Qur‟an

dan as-sunnah membawa pesan kebebasan akal (berfikir) dan bersikap bagi

semua manusia. Sehingga dengan dalil ini mereka mengklaim tidak adanya

pelarangan berkhalwat.

Oleh karena itu, ketika akal dibiarkan secara bebas menafsirkan ayat-ayat al-

Qur‟an sangatlah berbahaya. Sebab, hal itu berarti memposisikan akal

Page 7: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

manusia yang serba lemah sebagai penilai al-Qur‟an. Padahal posisi akal

hanya untuk memahami nash dan menentukan hukum yang terkandung

didalamnya bukan menilai suatu nash. Dengan membiarkan kebebasan

dalam penafsiran tersebut, maka ketika nash al-Qur‟an menunjukkan makna

yang tidak sesuai dengan keinginan akalnya, muncullah penolakan terhadap

sebagian ayat, keraguan terhadap sebagian ayat (sekalipun ayat tersebut

qath‟i), yang ujung-ujungnya menganggap al-Qur‟an tidak relevan lagi untuk

diterapkan saat ini.

Padahal pengkajian ilmu-ilmu syari‟at dan tafsir harus memperhatikan

sejumlah syarat dan adab. Hal ini bertujuan agar pengkajiannya dapat

bersifat jernih dan memelihara posisi nash-nash al-Qur‟an sebagai wahyu

Allah yang mulia.12

Beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir antara lain

adalah: (1) keyakinan yang benar terhadap al-Quran sebagai wahyu Allah

Swt.; (2) Bersih dari hawa nafsu; (3). Terlebih dulu menafsirkan al-Quran

dengan al-Quran; (4) Mencari penafsiran dari as-Sunnah; (5) Apabila tidak

didapatkan penafsiran dalam as-Sunnah, ditinjau pendapat para sahabat,

karena mereka yang lebih mengetahui tentang tafsir al-Quran dan

menyaksikan langsung berbagai indikator (qarînah)-nya; (6) Pengetahuan

Bahasa Arab dengan segala cabangnya; (7) Pengetahuan tentang pokok-

pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Quran—seperti qirâ„ah, ilmu ushul,

asbâb an-nuzûl, nâsikh mansûkh, dll—disertai dengan adanya pemahaman

yang cermat dalam mengukuhkan suatu makna atas yang lain.

Selain persyaratan-persyaratan di atas, seorang mufassir juga harus sangat

memperhatikan adab-adab seperti niat yang baik, tujuan yang benar, jujur,

taat, tawadhu, mulia, berani menyampaikan kebenaran sekaligus

mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.13

Fakta membuktikan, para „mufassir‟ liberal sangat jauh dari syarat dan adab

ini sebagai penafsir. Akibatnya, tafsirnya pun tidak layak disebut tafsir.

2. Historis Sosiologis sebagai Kaidah

Ada kaidah—yang sering dianggap sebagai kaidah syariat—yang

menyatakan, “Tidak bisa ditolak adanya perubahan hukum karena perubahan

zaman.” Para mufassir liberal sering menggunakan kaidah ini dengan alasan

bahwa penafsiran para mufassir sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis

zamannya. Adanya perubahan historis-sosiologis sampai pada era ini

mengharuskan revisi penafsiran yang telah lalu. Penafsiran klasik dianggap

tidak sesuai lagi dengan kondisi sosiologis masyarakat saat ini.

12

Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”. 13 Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”.

Page 8: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

Dengan kaidah yang keliru ini, sebenarnya yang mereka lakukan

adalah melakukan aktivitas berdasarkan realitas yang ada. Apa yang

dilakukan disesuaikan dengan keadaan. Hukum jilbab tidak lagi menjadi

suatu kewajiban, karena dianggap hanya sebagai budaya arab dan wanita

mampu menjaga dirinya walapun tidak menggunakan jilbab. Menurut

penafsiran mereka penggunaan jilbab pada masa nabi disebabkan situasi

perempuan mukmin saat itu yang rentan terhadap pelecehan atau gangguan

laki-laki. Dan mereka berpendapat bahwa “laki-laki maupun perempuan

sama-sama dapat berperan secara aktif sebagai pemimpin atau penolong di

masyarakatnya”14. Begitu pula dengan masalah kepemimpinan suami dalam

rumah tangga dan pemerintahan. Kepemimpinan suami atas istri menjadi

tidak perlu karena wanita sekarang dianggap mampu mandiri secara

ekonomi. Wanita boleh menjadi kepala negara karena zaman telah memberi

peluang wanita untuk tampil dan menguasai sektor publik (luar rumah)

sebagaimana laki-laki. Demikian seterusnya.

Realitas yang seharusnya diupayakan pemecahannya sesuai dengan

hukum Islam akhirnya berbalik menjadi acuan sumber pemikiran yang

mereka anggap tak mungkin diubah lagi. Akhirnya, hukum dipaksa harus

sesuai dengan realitas yang bobrok dan rusak. Padahal, seharusnya yang

dilakukan adalah mempelajari realitas yang ada, kemudian mencari hukum

Allah yang berkaitan dengan masalah itu dengan cara menggalinya dari al-

Quran dan as-Sunnah atau dari sumber yang telah disahkan oleh keduanya.

Langkah selanjutnya adalah mengubah realitas tersebut agar sesuai dengan

yang diinginkan oleh Allah yang menurunkan wahyu berupa al-Quran dan as-

Sunnah.15

3. Sejarah sebagai Sumber Rujukan

Sejarah digunakan sebagai sumber rujukan oleh sebagian penafsir

liberal. Padahal, sejarah tidak dapat digunakan sebagai sumber rujukan. Oleh karena itu sejarah Cina maupun Rusia tidak dapat digunakan untuk

memahami system komunis. Begitupula dengan sejarah Inggris tidak bisa

digunakan untuk memahami perundang-undangan Inggris. Kaidah ini berlaku

untuk setiap sistem dan undang-undang.

Demikian halnya dengan sejarah Islam yang tidak dapat digunakan

sebagai rujukan hukum Islam. Hukum Islam harus dipahami dari sumber

yang dapat dipastikan berasal dari Allah, yaitu al-Quran dan as-Sunnah, dan

apa saja yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma Sahabat dan Qiyas16.

Seperti pendapat pemikir liberal dalam masalah khalwat, yang kami ambil

dari buklet seri-6-benarkah islam melarang khalwat? Yang berpendapat

14

Buklet Islam seri 6 : Benarkah Islam Melarang “Khalwat”?, Hal. 5 15

Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”. 16 Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”.

Page 9: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

bahwa “Dalam melihat soal khalwat ini, perlu dilihat bahwa sejarah

pembentukan masyarakat Islam, terlihat adanya perbedaan antara budaya

kaum Quraisy (Mekkah) yang cenderung keras, seperti sering ditampilkan

melalui karakter `Umar dan sering merendahkan perempuan; dan di sisi lain

berbeda dengan kondisi kaum Anshar (Madinah) yang lebih maju, termasuk

hubungan antara laki-laki dan perempuan, jauh lebih seimbang, yaitu ada

musâwâ (baca buklet seri 2 tentang imamnya perempuan).”

Menurut pemikir liberal ini dilihat dari sejarah Islam, wanita anshar

lebih maju daripada wanita quraisy, mereka bisa bergaul dengan lawan jenis

maupun tidak perlu ditemani muhrim jika ingin berpergian. Mereka juga

mengeluarkan dalil untuk mendukung peristiwa sejarah tersebut, namun

tentu saja dalil-dalil tersebut dimaknai hanya sebatas pada keharfiahan

(teks) nash saja, tidak dilihat dari sisi makna-makna nash (kontekstual).

Inilah yang menjadi legalisasi hukum bagi mereka akan kebolehan khalwat.

Sementara itu, sejarah sendiri, kalaupun mau kita lirik, hanya sekadar

untuk mengetahui bagaimana penerapannya; bukan dijadikan dasar

penggalian hukum. Sejarah yang diambilpun hanya yang ditulis oleh

sejarahwan Muslim saja, bukan yang berasal dari musuh-musuh Islam; itu

pun setelah diteliti dengan cermat. Sebab, tidak semua sejarah bisa diterima

sebagai sumber sejarah. Catatan-catatan sejarah, misalnya, tidak bisa

dijadikan sumber sejarah, karena selalu dipengaruhi oleh situasi politik di

setiap zaman dan senantiasa tercampur dengan kepalsuan. Sering didapati

catatan-catatan sejarah mendukung orang-orang tertentu pada masa

penulisannya, kemudian menentang orang-orang yang didukungnya pada

masa sesudah mereka tidak berkuasa lagi.17

Khilafah Penjaga Umat dari Liberalisasi Pemikiran Islam

Keterpurukan umat ini sesungguhnya merupakan hasil dari sebuah proses

yang panjang. Pertama: secara internal umat ini mengalami kemunduran berpikir.

Kedua: secara eksternal ada upaya-upaya dari luar untuk meracuni pemikiran

umat Islam dengan memasukkan ke tubuh umat berbagai paham yang bukan dari

Islam seperti filsafat Yunani dan India, paham nasionalisme, dan lain-lain. Ketiga:

ketika Khilafah Islamiyah yang lemah mulai memasukkan hukum-hukum sipil Eropa

ke dalam undang-undang di negara tersebut dengan fatwa Syaikhul Islam bahwa

hal itu tidak bertentangan dengan Islam. Keempat: runtuhnya sistem Khilafah

sebagai penjaga Islam dan umat Islam.18 Dengan tidak adanya system Khilafah

Islamiyah, umat Islam tidak memiliki penjaga dari derasnya arus liberalisasi yang

17

Al-wa’ie, “Menggugat Metodologi TAFSIR FEMINIS oleh Lathifah Musa”. 18

Mahyuni. Desember 2007. Akar Masalah Umat.

Page 10: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

terjadi. Karena pada hakekatnya Khilafah merupakan pemersatu umat Islam dalam

ikatan al-ukhuwwah al-Islâmiyyah dan menyebarkan ajaran Islam ke seluruh

pelosok bumi, Negara Khilafah juga berperan sebagai kiyânut-tanfîdz (institusi

pelaksana) sekaligus hâris (penjaga) bagi keberlangsungan syari‟at Islam

secara kâffah (menyeluruh) di tengah-tengah kehidupan manusia. Tentunya juga

penjaga Jiwa, Harta dan Kehormatan umat Islam dimanapun mereka berada.

Dalam hal ini, al-Ghazâli menyatakan:

"Agama adalah asas, sedangkan sulthan (imam atau khalifah) adalah penjaga; Apa

saja yang (tegak) tanpa asas, pasti akan runtuh, sedangkan apa saja yang (ada)

tanpa penjaga, pasti juga akan hilang."

Khilafah Islam akan mengadopsi hukum Islam untuk menjadi UUD dan

perundang-undangan negara. Dengan cara itulah, hukum-hukum Islam tersebut

bisa diterapkan.

Sementara untuk menjaga Islam, sistem sanksi (nizhâm al-'uqûbat) yang

dilaksanakan oleh khalifah sebagai bagian dari hukum Islam, benar-benar terbukti

mampu menjaga keutuhan ajaran Islam. Mengingat sanksi ini berfungsi sebagai

zawâjir (preventif) dan jawâbir (kuratif); preventif bagi orang lain, supaya tidak

melakukan kesalahan yang sama, sebagamana firman Allah:

"Dan dalam qishaas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang

yang berakal, supaya kamu bertakwa." (Q.s. al-Baqarah: 179)

Dan kuratif bagi orang-orang yang dijatuhi sanksi, sehingga di akhirat tidak akan

dijatuhi lagi hukuman oleh Allah, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan:

"Dan siapa saja yang melakukan sesuatu dari perbuatan (dosa) itu, kemudian

dikenakan sanksi di dunia, maka itu merupakan tebusan baginya (di

akhirat)." (H.r. al-Bukhâri).

Maka, dengan diterapkannya sanksi tersebut, bukan hanya Islam saja yang

terjaga, tetapi juga kemaslahatan vital (al-mashlahah ad-dharûriyyah) ummat

manusiapun akan terjaga, baik berkaitan dengan agama, keturunan, akal, jiwa,

harta, kehormatan, keamanan maupun negara.19

Dengan pemahaman Islam yang utuh seperti inilah, aqidah dan pemikiran

umat akan terjaga dari sekularisasi dan liberalisasi. Karena akan ada sanksi hukum

bagi penyebar pemikiran liberal dan ini hanya dapat dilakukan oleh negara. Untuk

itulah sangat penting dan wajib mengembalikan Daulah Khilafah Islamiyah

ditengah-tengah Umat.

Seruan untuk Para Pengemban Dakwah

19

Jaka. Oktober 2009. Islam sebagai Sebuah Ideologi (2).

Page 11: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

Penegakkan kembali Daulah Khilafah merupakan perjuangan yang sangat

berat di tengah-tengah kondisi sistem sekuler yang diterapkan saat ini, Untuk itu

perlu adanya strategi dalam mendakwahkan Islam ditengah-tengah umat yang

semakin terliberalkan. Dan para pengemban dakwah harus memahami bahwa,

kebenaran Islam tidak akan pernah tegak tanpa adanya tekad yang membaja

dalam jiwa para pejuangnya. Maka bagi para pengemban dakwah perlu adanya

langkah-langkah strategis sbb :

1. Adanya Penguasaan Tsaqofah Islam bagi Pengemban Dakwah

Islam menjadi harapan bagi solusi seluruh problematika umat. Harapan ini

tumbuh dan bersemi dalam diri para pengemban ideologi Islam, yaitu

harapan terwujudnya sistem Islam yang menyelamatkan umat manusia.

Seorang pengemban dakwah haruslah menjadi orang yang berperan dalam

perubahan yang di harapkannya, yaitu menjadikan ummat ini kembali

melanjutkan kehidupan islam. Perjuangan ini memerlukan militansi yang

kuat dari para pengembannya. Namun hal ini tidak bisa diharapkan dari

mereka yang belum memahami kedalaman ideologi dan bagaimana langkah

mewujudkannya. Untuk itu para pengemban dakwah harus memahami

seperti apa mabda Islam dan bagaimana menerapkannya. Gambaran sistem

yang utuh yang meliputi struktur negara, sistem ekonomi, sistem peradilan,

sistem sosial, dan berbagai urusan kemaslahatan masyarakat harus

tergambar dalam benak para pengemban dakwah. Gambaran penerapan

Islam yang utuh ini telah diteladankan oleh Rasulullah Saw dan Khulafa‟ur

Rasyidin dalam bentuk Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Untuk itu

diperlukan adanya pembinaan Tsaqofah Islam dalam bentuk yang utuh dan

integral. Penguasaan tsaqofah ini menjadi modal bagi para kader untuk

memahami hukum-hukum syara‟. Jangan sampai ketidaktahuan terhadap

hukum-hukum syara menyebabkan para kader dakwah sendiri tergelincir

pada kefasadan. Tidak sekadar itu, masyarakat akan salah kaprah karena

menganggap apa yang dilakukan para pengemban dakwah bukan suatu

kesalahan. Sehingga penguasaan tsaqofah islam harus terus menerus

dilakukan. Dan karakteristik tsaqofah Islam menuntut seorang muslim untuk

membenarkan, meyakini, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan

khususnya bagi pengemban dakwah.

Penguasaan tsaqofah Islam harus didukung dengan penguasaan bahasa

arab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu

termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib,

karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang

bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah

kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab),

maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab,

Page 12: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

diantaranya ada yang fardhu „ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho,

Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon).20 Sehingga

mempelajari bahasa arab hukumnya adalah wajib karena akan

menghantarkan kita kepada pemahaman Islam secara sempurna.

2. Adanya Pengembanan Dakwah ditengah-tengah Masyarakat

Saat ini Ideologi Islam masih berupa benih subur yang tumbuh bersemi

dalam jiwa mayoritas umat Islam. Ideologi Islam belum terwujud dalam

bentuk mabda (prinsip ideologis dan sistem hidup). Umat Islam masih hidup

dalam cengkeraman sistem kapitalisme liberal. Sistem inilah yang

menyebabkan manusia hidup pada kenistaan, kerusakan moral, dan jiwa.

Sistem Kapitalisme yang jahat dan keji telah kasat mata diakui kerusakannya

bagi sebuah peradaban manusia. Dan Islam menjadi harapan pengentasan

umat manusia dari penderitaannya yang dalam.

Sehingga diperlukan perjuangan yang kuat agar ideologi Islam kemudian

terwujud dalam sistem yang nyata. Prinsip ideologi yang menghunjam dalam

jiwa pengemban dakwah tidak akan dengan sendirinya mengubah sistem

hidup yang ada. Karena itu diperlukan adanya pengembanan dakwah

ditengah-tengah masyarakat, sehingga umat mau kembali melanjutkan

kehidupan Islam. Sebab hanya Da‟wahlah yang mampu menggerakkan

ummat untuk tetap terikat dengan aturan Allah dan Rasul-Nya.

Bahkan Allah juga berfirman :

“Serulah manusia ke jalan Rabb-mu (Allah) dengan jalan hikmah (hujjah

yang benar dan kuat) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka denga

nbaik” (QS. An-Nahl: 125)

“(Dan) Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian

mereka menjadi penolong kepada sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh

kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,

menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka

akan diberi rahmat oleh Allah dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana” (QS At-Taubah: 71)

“Dan siapakah yang lebih baik perkataanya daripada orang yang menyeru

kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata sesungguhnya aku ini

termasuk orang-orang muslim” (QS. Al-Fushilat: 33)

Dari sebagian ayat diatas, dapat difahami ketegasan perintah Allah

SWT dalam hal dakwah. Karena itu dakwah merupakan perkara wajib yang

harus dikerjakan baik laki-laki maupun perempuan, sendiri-sendiri maupun

berjama‟ah/kelompok.

20 http://www.tdwclub.com/f124/pentingnya-belajar-bahasa-arab-1875/

Page 13: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

PENUTUP

Pemikiran liberal pada saat ini sudah menjangkiti umat Islam. Hal ini diperparah

dengan penafsiran-penafsiran hukum Islam yang dilakukan secara bebas oleh para

pemikir liberal yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itu, sangat

berbahaya karena pemikiran ini rusak dan merusak umat Islam. Sehingga sebagai

pengemban dakwah kita harus mampu memahamkan umat tentang kekeliruan

pemikiran liberal dengan melakukan dakwah secara kontinu di tengah-tengah

masyarakat. Agar umat mampu memahami bahwa solusi satu-satunya untuk

membendung arus liberalisasi adalah dengan diterapkannya syari‟ah Islam secara

kaffah. Dan tidak akan tegak syari‟ah Islam tanpa adanya institusi yang

menaunginya yaitu Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallâhu „alam bi ash-shawâb.

Referensi :

Qomariyah Rahma. 2010. Jilbab : Kewajiban, Bukan Sekedar Budaya!

www.rumahkusurgaku.com (9 Juni 2012)

Hasan Wildan. 2011. Kejanggalan Pemikiran Ulil Abshar Abdalla tentang Islam.

www.voa-islam.com (9 juni 2012)

Syahid Aqse. 2012. Segelintir Bukti Kesesatan Misionaris JIL.

www.facebook.com (15 April 2012)

An-Nabhani Taqiyuddin. 1953. Mafahim Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir Indonesia

www.islamlib.com

Batara Munti Ratna. 2011. Benarkah Islam Mewajibkan Berjilbab?. The Wahid

Institute, KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), Federasi LBH

APIK Indonesia, PSI UII (Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia)

Batara Munti Ratna. 2011. Benarkah Islam Melarang “Khalwat”?. The Wahid

Institute, KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), Federasi LBH

APIK Indonesia, PSI UII (Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia)

Mahyuni. Desember 2007. Akar Masalah Umat. http://mahyuni-bjm.blogspot.com (5 Juni 2012)

Page 14: Membendung Liberalisasi Pemikiran Islam.pdf

Al-wa’ie, no. 32 Tahun III 1-30 April 2003, “Menggugat Metodologi TAFSIR

FEMINIS oleh Lathifah Musa”.

Jaka. Oktober 2009. Islam sebagai Sebuah Ideologi (2).

http://www.suara-islam.com/read106-Islam-Sebagai-Sebuah-Ideologi-(2).html

http://www.tdwclub.com/f124/pentingnya-belajar-bahasa-arab-1875/