Membangun Kota Layak Anak: Studi Kebijakan Publik di Era ... · program yang layak anak. Secara...

24
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Membangun Kota Layak Anak: Studi Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah Oleh: Rudi Subiyakto Abstract Indonesia has ratified the Convention on the Children Rights. This is Indonesia's commitment to respect and fulfill children's rights (Human Rights of the Child). This commitment is embodied in the Constitution and becomes operational in Law Number 23 of 2002 on Child Protection. To transform children's rights into the country’s development process, the government developed a policy of “Child-Friendly City”. Creating a child-friendly policy is a necessity, without which the Indonesian people will lose the next generation, prospective successors, and accomplishers of the idea of our national independence. However, the increase in child abuse cases has made everyone concerned. National Children's Day celebration (HAN), July 23, is the right moment to re-evaluate how safe and friendly cities are built for children. HAN has been celebrated many times but the fate of Indonesian children has not been improved or protected. Development is still partial, segregated, and child-unfriendly. In fact, Law No. 23/2002 on Child Protection states that every child is entitled to protection from torment, torture, or unfair court sentencing. Therefore, in the era of regional autonomy, local governments should start issuing child-friendly public policies. Key words: child friendly cities, public policy, regional autonomy Abstrak Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Hal ini merupakan komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak (HAM Anak). Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan operasionalnya pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak. Menciptakan kebijakan yang ramah terhadap anak merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa hal yang demikian, bangsa Indonesia akan kehilangan generasi penerus, pelangsung, dan penyempurna gagasan kemerdekaan bangsa. Namun peningkatan kasus kekerasan terhadap anak sungguh membuat semua prihatin. Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh 23 Juli mendatang merupakan momentum tepat untuk mengevaluasi kembali seberapa aman dan ramah kota-kota dibangun bagi anak anak. HAN sudah di peringati berulang kali. Namun, nasib anak Indonesia masih belum juga membaik dan belum Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, Kepulauan Riau. E-mail: [email protected]

Transcript of Membangun Kota Layak Anak: Studi Kebijakan Publik di Era ... · program yang layak anak. Secara...

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

Membangun Kota Layak Anak: Studi Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah

Oleh: Rudi Subiyakto

Abstract

Indonesia has ratified the Convention on the Children Rights. This is Indonesia's commitment to respect and fulfill children's rights (Human Rights of the Child). This commitment is embodied in the Constitution and becomes operational in Law Number 23 of 2002 on Child Protection. To transform children's rights into the country’s development process, the government developed a policy of “Child-Friendly City”. Creating a child-friendly policy is a necessity, without which the Indonesian people will lose the next generation, prospective successors, and accomplishers of the idea of our national independence. However, the increase in child abuse cases has made everyone concerned. National Children's Day celebration (HAN), July 23, is the right moment to re-evaluate how safe and friendly cities are built for children. HAN has been celebrated many times but the fate of Indonesian children has not been improved or protected. Development is still partial, segregated, and child-unfriendly. In fact, Law No. 23/2002 on Child Protection states that every child is entitled to protection from torment, torture, or unfair court sentencing. Therefore, in the era of regional autonomy, local governments should start issuing child-friendly public policies.

Key words: child friendly cities, public policy, regional autonomy

Abstrak

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Hal ini merupakan komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak (HAM Anak). Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan operasionalnya pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak. Menciptakan kebijakan yang ramah terhadap anak merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa hal yang demikian, bangsa Indonesia akan kehilangan generasi penerus, pelangsung, dan penyempurna gagasan kemerdekaan bangsa. Namun peningkatan kasus kekerasan terhadap anak sungguh membuat semua prihatin. Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh 23 Juli mendatang merupakan momentum tepat untuk mengevaluasi kembali seberapa aman dan ramah kota-kota dibangun bagi anak anak. HAN sudah di peringati berulang kali. Namun, nasib anak Indonesia masih belum juga membaik dan belum

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji

Tanjungpinang, Kepulauan Riau. E-mail: [email protected]

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

50

terlindungi. Masih banyak kasus kekerasan mendera anak-anak. Pembangunan masih parsial dan segmentatif, belum ramah anak. Padahal, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Oleh karena itu, terutama di era otonomi daerah, sudah saatnya pemerintah daerah mampu menciptakan tatatan kebijakan publik yang ramah anak.

Kata kunci: kota ramah anak, kebijakan publik, otonomi daerah

A. Pendahuluan

Anak tidak dapat dipungkiri merupakan masa depan Bangsa. Anak adalah generasi penerus cita-cita kemerdekaan dan kelangsungan hajat hidup Bangsa dan Negara. Selain itu, anak merupakan modal pembangunan dan awal kunci kemajuan bangsa di masa depan. Sepertiga dari total penduduk Indonesia adalah anak-anak. Anak-anak terbukti mampu membuat perubahan dan menyelesaikan masalah secara lebih kreatif, sederhana, dan ringkas. Sebagai wujud upaya pemenuhan hak anak, pemerintah harus segera mewujudkan Kota Layak Anak (KLA). Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA.1

Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak. Secara normatif yuridis pengembangan KLA terdapat dalam World Fit for Children, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, Undang- Undang Dasar 1945 (Pasal 28b, 28c), Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dan Permenneg PP No 2/2009 tentang Kebijakan KLA.2

1 Kota Layak Anak dan atau Kota Ramah Anak kadang-kadang kedua istilah ini

dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat dalam menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak.

2 KLA adalah sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak. Lihat: http://www.investor.co.id/home/membangun-kota-layak-anak.15-05-2012

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

51

Oleh karenanya, melindungi dan menjadikan mereka generasi yang tangguh merupakan sebuah keniscayaan. Namun, kenyataan yang terjadi di Indonesia jauh dari harapan. Artinya, bangsa Indonesia masih belum-untuk tidak mengatakan kurang-peduli terhadap perkembangan dan masa depan anak. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus eksploitasi, kekerasan, dan tindak pidana terhadap anak.3 Setidaknya 6000 anak Indonesia saat ini berhadapan dengan hukum. Lebih dari 5000 anak tersebut berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) anak, sedangkan sisanya ada di Lapas-La pas Dewasa, tahanan kepolisian,, maupun di tempat lainnya.4

Selain banyaknya kasus eksploitasi serta kekerasan terhadap anak, hal ini diperparah dari tahun ke tahun, jumlah pekerja anak di Indonesia cenderung meningkat. Berdasar Data Sensus Kesejahteraan Nasional (Susenas) tahun 2003, di Indonesia terdapat 1.502.600 anak berusia 10 hingga 14 tahun yang bekerja dan tidak bersekolah, sekitar 1.621.400 anak tidak bersekolah serta membantu di rumah atau melakukan hal lainnya. Data Susenas juga menyebutkan insiden pekerja anak dan ketidakhadiran di sekolah terbilang tinggi di daerah pedesaan. Di perkotaan sekitar 90,34 persen anak-anak usia 10-14 tahun dilaporkan bersekolah, dibandingkan dengan 82,92 persen di pedesaan.

Pada tahun 2004 diperkirakan ada 1,4 juta anak yang berusia 10-14 tahun bekerja dan turut mencari nafkah. Sebagian besar dari mereka bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang, mereka bekerja pada area yang sangat membahayakan dan membunuh masa depan anak, yang disebut sebagai jenis-jenis pekerjaan buruk. Mereka juga tidak mendapat peluang pendidikan yang seharusnya bisa memberikan mereka masa depan lebih baik. Para aktivis perlindungan anak memperkirakan jumlah anak

3 Banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum ini tentu saja memunculkan

pertanyaan serius di benak banyak pihak; Apakah anak Indonesia memang begitu nakal dan jahat sehingga harus menghuni sel-sel penjara? Ternyata tidak, anak-anak masuk penjara karena memang ada sistem yang mengkriminalisasi anak. Pertama, doktrin masyarakat yang menganggap setiap anak yang melakukan pelanggaran hukum harus di penjara. Kedua, kultur aparat penegak hukum yang lebih memilih jalan pemidanaan dari pada alternatif hukuman seperti keadilan restoratif maupun diversi. Ketiga, ada undang-undang yang semestinya melindungi anak tetapi malahan mengkriminalisasi anak, yaitu UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sehingga wajar saja jika dari hari kehari jumlah anak yang diskriminalisasi bukan semakin berkurang akan tetapi justru semakin bertambah.

4 Hadi Supeno, Diskriminasi Anak: Transformasi Menuju Perlindungan Anak Berkonflik Dengan Hukum, (Jakarta: KPAI, 2010), p. v.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

52

dipekerjakan mencapai 6000 orang,5 bahkan hingga 12000 orang, data KPAI memperkirakan jumlah pekerja anak mencapai 2.685 juta anak.6

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Menurut data dari organisasi buruh internasional (ILO), jumlah pekerja anak di Indonesia usia 10-14 tahun mencapai 10,4 juta orang. Jumlah ini meningkat pada tahun 2007, menjadi 2,6 juta anak. Berdasarkan studi antara ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2003, jumlah pekerja anak domestik mencapai 700 ribu, sebanyak 90 persen adalah anak perempuan.

Sedangkan angka dari Sensus Kesejahteraan Nasional7, di Indonesia terdapat 1.502.600 anak berusia 10 hingga 14 tahun yang bekerja dan tidak bersekolah. Sekitar 1.621.400 anak tidak bersekolah serta membantu di rumah atau melakukan hal lainnya. Sebanyak 4.180.000 anak usia sekolah lanjutan pertama (13-15) atau 19 persen dari anak usia itu, tidak bersekolah.8 Menurut data yang sama para pekerja anak di desa lebih banyak daripada di kota, yakni sebesar 79 persen untuk di desa dan 21 persen di kota. Sebanyak 62 persen bekerja di sektor pertanian, 19 persen di industri dan 19 persen di sektor jasa. Sebanyak 2,1 juta di antaranya ternyata bekerja di dalam lingkungan buruk. Lingkungan buruk itu seperti di pertambangan atau terpapar bahan kimia pestisida perkebunan. Tahun sebelumnya, hanya tercatat 5,5 juta pekerja anak.9

Sejumlah lembaga termasuk ILO telah memelopori menyelamatkan pekerja anak. Di tahap pertama program ILO telah menghapuskan bentuk pekerjaan terburuk anak tahun 2004-2007, sekitar 2.514 anak telah ditarik dari pekerjaan mereka, dan 27.078 anak lainnya dicegah memasuki pekerjaan serupa. Pada tahap kedua ini, ILO menargetkan bisa mengintervensi secara langsung 22.000 orang anak, 6.000 anak ditarik dari pekerjaan berbahaya dan 16.000 lainnya dicegah agar tidak masuk ke dalam pekerjaan tersebut. Jumlah ini menyumbang secara signifikan terhadap jumlah anak yang ditarik dan dicegah secara nasional, yakni 13.922 anak ditarik dari pekerjaannya dan 29.863 anak dicegah.10

Data UNICEF, setiap tahun sekitar 1,2 juta anak di dunia menjadi korban perdagangan anak. Di Indonesia, sekitar 100 ribu anak anak menjadi korban. Dari jumlah itu, 40 ribu hingga 70 ribu anak di antaranya menjadi korban prostitusi yang diperkirakan tersebar di 75.106 lokasi di

5 Juli Hastadewi, dkk. “Kondisi dan Situasi Pekerja Anak”, (Jakarta: UNICEF

Perwakilan Indonesia, 2004), p. 16. 6 Lihat laporan KPAI kepada Presiden Republik Indonesia, Tahun 2008. 7 Dikutip dari Susenas 2003 8 Antara, 26 Juni 2008 9 Global News Indonesia, 20 Juli 2011. 10 Antara, 9 Juli 2008.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

53

Indonesia. Dari jumlah tersebut, 55 persen korban dieksploitasi di sektor pekerja rumah tangga, 21 persen diekploitasi di sektor pelacuran paksa, 18,4 persen dieksploitasi di sektor pekerjaan formal (petugas kebersihan, pekerja bangunan, pekerja pabrik, dll), 5 persen diekploitasi pada tahap transit (khusus buruh migran), 0,6 persen perdagangan bayi. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan 4.180.000 anak usia sekolah lanjutan pertama (13-15) atau 19 persen dari anak usia itu, tidak bersekolah. Sebuah kondisi yang tidak bisa kita anggap enteng adalah tingginya seks bebas di kalangan anak Indonesia.

Pada akhir 2008, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kalimantan Timur melalukan survei terhadap 300 remaja usia SMP dan SMA (13-16 tahun) di Samarinda. Survei ini menyebutkan 56 persen remaja usia SMP dan SMA sudah berhubungan seks. Bahkan ada yang terang-terangan mengaku berhubungan seks dengan pekerja seks. Survei Synovate Research tentang perilaku seksual di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan pada Maret 2009 menunjukkan data yang hampir mirip. Survei ini mengambil 450 responden dengan kisaran usia 15 sampai 24 tahun. Data survei menyebutkan 44 persen responden mengaku punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun. 16 persen mengaku pengalaman seks itu didapat antara usia 13 dan 15 tahun. Adapun tempat melakukan hubungan seks, yaitu rumah (40 persen), kamar kos (26 persen), dan hotel (26 persen).

Survei KPAI 2010 menyebutkan sebanyak 32 persen remaja usia 14-18 tahun di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Survei itu juga menyebutkan 21,2 persen remaja putri pernah melakukan aborsi. Lebih dari setengah remaja yang disurvei mengaku sudah pernah bercumbu atau pun melakukan oral seks11. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak, menyebutkan dalam empat bulan pertama di tahun 2011, telah terjadi 435 kasus kekerasan terhadap anak. Sebesar 58 persen laporan menyebutkan terjadi kekerasan seksual terhadap anak. Adapun sepanjang tahun 2010, terdapat 2.339 laporan kekerasan terhadap anak, 62 persen berupa kekerasan seksual. Dari laporan yang masuk itu, kekerasan kebanyakan dilakukan orang dekat korban. Lokasinya di rumah, sekolah, dan lingkungan pergaulan.

Dari data sebagaimana di atas, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi anak, dengan cara memberikan tempat yang layak bagi anak, sehingga anak bisa belajar dengan baik sehingga tidak terjebak kepada pelanggaran-pelangaran HAM anak sebagaimana data di atas, khususnya berkaitan dengan era otonomi daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka perlindungan terhadap anak merupakan sebauh keniscayaan. Oleh karena itu dalam tulisan ini

11 Koran Tempo, 16 Mei 2010.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

54

pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menciptakan kebijakan kota ramah anak di tengah otonomi daerah, dan apakah kendala-kendala dalam menciptakan kota layak anak.

B. Kota Ramah Anak: Kebijakan Otonomi Daerah 1. Kebijakan Publik

Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.12 Pengertian kebijakan publik lainnya juga diungkapkan oleh Anderson yang menyatakan kebijakan publik sebagai a purposive course of action followed by an actor on set an actors in dealing with a problem or matter of concern atau sebagai tindakan yang memiliki tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah13.

Michael E. Porter menjelaskan bahwa keunggulan kompetitif dari setiap negara ditentukan oleh seberapa mampu negara tersebut mampu menciptakan lingkungan yang menumbuhkan daya saing dari setiap actor di dalamnya. Dalam konteks persaingan global, maka tugas sektor publik adalah membangun lingkungan yang memungkinkan setiap pelaku pembangunan mampu mengembangkan diri menjadi pelaku-pelaku yang kompetitif. Lingkungan ini hanya dapat diciptakan secara efektif oleh adanya kebijakan publik. Karena itu, kebijakan publik terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan.

Dari uraian di atas kebijakan publik dapat diartikan sebagai manajemen pencapaian tujuan nasional khususnya di era otonomi daerah ini. Menurut Nugroho,14 ada dua karakteristik dari kebijakan publik yaitu: a), kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami, karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional; b), kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah diukur, karena ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh.

12 Susy Susilawaty, “Analisis Kebijakan Publik Bidang Keselamatan dan

Kesejahteraan Kerja di Kota Tasikmalaya”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegori Semarang 2007, p. 24.

13 Ibid., p. 24. 14 R. Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi (Jakarta: Elek

Media Komputindo, 2003), p.9

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

55

Lebih lanjut Anderson, menyebutkan bahwa terdapat beberapa implikasi dari adanya pengertian tentang kebijakan negara, yaitu: 15 1. Bahwa kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau

merupakan tindakan yang berorientasi kepada tujuan. 2. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah. 3. bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar

dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan sesuatu.

4. bahwa kebijakan publik itu bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

5. bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang penting didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa.

Perundang-undangan itu sendiri merupakan bentuk konkrit dari kebijakan publik. Kebijakan publik seperti peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai barang-barang publik (publik goods). 16 Adapun ciri peraturan perundang-undangan sebagai publik goods menurut Sudarsono di antaranya: “Peraturan perundangan (rule) bersifat bertingkat-tingkat sesuai dengan hierarki proses kebijakan. Proses kebijakan pada level kebijakan akan menghasilkan institutional arrangement seperti Undang-undang. Undang-undang ini kemudian akan diterjemahkan oleh proses kebijakan pada level organisasi yang akan menghasilkan institutional arrangement yang tingkatannya lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden (Kepres), atau Keputusan Menteri (Kepmen). Selanjutnya institutional arrangements ini akan diterjemahkan oleh kebijakan di level operasional sehingga mempengaruhi pola hasil instruksi (pattern of instruction outcome) dari kebijakan tertentu”. 17

Dari gambaran proses kebijakan di atas, maka dapat disimpulkan demikian besarnya implikasi level kebijakan terhadap pola interaksi di tingkat bawah. Karena itu Sudarsono menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai salah satu sumber perubahan atau pembaruan kelembagaan (institutional change) dalam masyarakat. Peraturan perundangan (rule) sebagai barang publik (publik good) dipandang sebagai suatu hal yang menyangkut

15 Susy Susilawaty, Analisis Kebijakan Publik…, p. 25. 16 J. Iskandar, Manajemen Publik, (Garut: Pustaka Program Pascasarjana Universitas

Garut, 1999), p. 28. 17 Sudarsono, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Bandung: Bintang Kejora, 2000),

p.8

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

56

kepentingan publik (publik interest), walaupun menurut Barzeley jika dipandang dari perspektif kepentingan publik dalam banyak hal pemerintah seringkali gagal mewujudkan hasil yang diinginkan. Kondisi demikian menurut Sudarsono disebabkan oleh ciri lain dari rule yang sifatnya tidak lengkap (incompleteness) yang tidak terlepas dari faktor keterbatasan manusia dalam mengantisipasi masalah di masa yang akan datang. Kondisi seperti itulah yang kemudian mengharuskan rule harus terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan.18

Menurut Smith di negara-negara dunia ketiga implementasi kebijakan publik justru merupakan batu sandungan terberat dan serius bagi efektivitas pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang sosial dan ekonomi. Salah satu hambatannya menurut Solichin adalah birokrasi pemerintahan belum merupakan kesatuan yang efektif, efisien, dan berorientasi kepada tujuan. Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman tentang implementasi kebijakan publik, seharusnya tidak hanya menyoroti perilaku dari lembaga administrasi publik atau benda-benda publik yang bertanggung jawab atas sesuatu program dan pelaksanaannya, namun juga perlu mencermati berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku yang terlibat dalam suatu program dari keluarnya suatu kebijakan publik.

2. Perumusan Kebijakan Publik

Untuk dapat lebih memperjelas keterkaitan antara sebuah kebijakan dengan implementasi dan evaluasi kebijakan publik, berikut ini digambarkan siklus skematik dari kebijakan publik. Menurut Cleaves, implementasi kebijakan dianggap sebagai a process of moving to ward a policy objective by mean administrative and political steps atau suatu proses tindakan administrasi dan politik. Oleh karena itu, Grindle menambahkan bahwa implementasi kebijakan sesungguhnya bukan hanya sekadar berkaitan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu juga berkaitan dengan masalah konflik dan keputusan dari siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. 19.

Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, dalam bentuk undang-undang atau dapat pula dalam bentuk keputusan-keputusan atau perintah-perintah yang sudah secara lebih tegas mengidentifikasikan masalah yang ingin di atasi dan menyebutkan secara jelas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Menurut

18 Ibid., p. 9. 19 Susy Susilawaty, Analisis Kebijakan Publik…, p. 28.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

57

Jones, dalam membahas implementasi kebijakan terdapat dua aktor yang terlibat, yaitu pertama, beberapa orang di luar birokrat yang mungkin terlibat dalam aktivitas implementasi kebijakan, dan kedua, birokrat itu sendiri yang terlibat dalam aktifitas fungsional.

Bahkan Mazmanian dan Sabastier menambahkan bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan publik adalah mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Berdasarkan deskripsi di atas, maka secara garis besar fungsi implementasi kebijakan publik adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik dapat dicapai atau diwujudkan sebagai hasil akhir (outcome) kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah20.

3.Kebijakan Publik dan Otonomi Daerah

Menurut Bratakusumah dan Solihin, pemberian kedudukan Propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus sebagai Wilayah Administrasi dilakukan dengan pertimbangan: 1. Untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan

Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2. Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas Daerah

Kabupaten/Kota serta melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota.

3. Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan

20 Ibid., p. 29.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

58

pelayanan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, pemeliharaan hubungan yang sesuai antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih adil dan makmur. Sarundajang mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi setidak-tidaknya akan meliputi 4 aspek sebagai berikut: 1. Dari segi politik; adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan

inspirasi dan aspirasi masyarakat, dalam rangka membangun proses demokratisasi di lapisan bawah.

2. Dari segi manajemen pemerintahan; adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.

3. Dari segi kemasyarakatan; adalah untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha pemberdayaan (empowerment) masyarakat.

4. Dari segi ekonomi pembangunan; adalah untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.

Menurut Nugroho, dalam masyarakat terdapat tiga tugas pokok yang diperlukan agar masyarakat hidup, tumbuh, dan berkembang yaitu tugas pelayanan, tugas pembangunan, dan tugas pemberdayaan. Ketiga tugas ini dilaksanakan oleh organisasi-organisasi yang memang dilahirkan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Tugas pelayanan publik adalah tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-cuma atau dengan biaya sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu pun mampu menjangkaunya. Tugas ini diemban oleh negara yang dilaksanakan melalui kekuasaan eksekutif (pemerintahan). 21

Dengan berdasarkan pemilahan ini dapat disimpulkan bahwa tugas pokok dari pemerintah adalah memberikan pelayanan, dalam arti pelayanan umum atau pelayanan publik. Dalam kaitannya dengan hal tersebut menjadi relevan untuk mengevaluasi dan menilai seberapa jauh pemerintah sudah melakukan tugas pelayanan publik sebagaimana misi yang diembannya. Penilaian terhadap sejauh mana pemerintah telah menyelenggarakan pelayanannya hanya bisa dilakukan jika terdapat alat

21 R. Nugroho, Kebijakan Publik…, p. 9.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

59

ukur atau indikator yang sesuai dengan tugas yang diberikan atau misi yang diemban. Alat ukur atau indikator ini di antaranya dikenal sebagai standar pelayanan minimal. Menurut Nugroho, pada prinsipnya terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan pemerintah, khususnya yang diletakkan dalam konteks kebijakan publik yang dapat berbentuk distributif, redistributif, dan regulatif. Namun secara generik, pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) pelayanan primer, yaitu pelayanan yang paling mendasar, (2) pelayanan sekunder, yaitu pelayanan pendukung namun bersifat kelompok spesifik, dan (3) pelayanan tersier, yaitu pelayanan yang berhubungan secara tidak langsung kepada publik.

Pelayanan primer atau pelayanan yang paling mendasar pada hakikatnya merupakan pelayanan minimum. Menurut Nugroho, secara sederhana terdapat empat jenis pelayanan minimum yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu: (1) pelayanan kewargaan, (2) pelayanan kesehatan, (3) pelayanan pendidikan, dan (4) pelayanan ekonomi. Menurut Nugroho, tugas pemberian pelayanan minimal adalah tugas pokok yang diemban oleh pemerintah dan menjadi tolok ukur terhadap kinerja pemerintah. Dengan demikian, manajemen pelayanan minimal juga merupakan indikator pokok pula. Manajemen pelayanan minimal dapat diselenggarakan sebagai berikut: 22 1.Meletakkan pelayanan minimal sebagai komitmen politik dari

pemerintah, 2. Membuat evaluasi kebutuhan pelayanan minimal, 3.Menyusun rancangan strategis pelayanan umum, termasuk standar

pelayanan minimal, 4.Melaksanakan pelayanan minimal dalam konteks sektor dan wilayah

(area), 5.Melakukan pendampingan dalam pelaksanaan pemberian pelayanan

minimal, 6.Melakukan audit atas pelaksanaan pelayanan minimal.

Berkaitan dengan pelayanan dan penyelenggaraan birokrasi pemerintah adalah apa yang dikenal dengan good governance, (pemerintahan yang baik).23 Istilah good governance tidak hanya berkonotasi pengelolaan

22 Ibid. 23 Good governance didasarkan kepada sekumpulan nilai atau prinsip yang dijadikan

kreteria acuan untik menilai apakah suatu tatanan pemerintahan baik atau tidak. UNDP mendefinisikan good governance sebagai “penggunaan kewenangan politik, dan administratif untuk mengelola urusan suatu bangsa pada semua tingkat. Good governance, terkandung pengertian bahwa pemerintah tidak hanya diselenggarakan oleh pemerintah (Goverment) sendiri akan tetapi bersama-sama dengan aktor-aktor di luar pemerintah. Lihat: Dwiyanto dkk., Reformasi dan Tata Pemerintah dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2003), p. 4.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

60

birokrasi pemerintahan saja, tetapi lebih luas dari itu, bisa mencakup seluruh pengelolaan organisasi swasta maupun yang berkaitan dengan pelayanan umum.24 Istilah good governance lebih tepat diterjemahkan sebagai tata kelola, lebih relevan dalam penelitian ini adalah tata kelola dalam hal pembangunan kota layak anak dengan baik dan penuh dengan kebaikan bagi anak. Konsep tata kelola yang baik semula banyak diusung oleh lembaga-lembaga bantuan internasional dalam rangka upaya mengefektifkan dan menyukseskan program-program bantuan di negara-negara dunia ketiga, yang banyak mengalami kegagalan.

Kegagalan tersebut disebabkan oleh buruknya sistem penyelenggaraan pemerintahan dinegara-negara dunia ketiga tersebut yang ditandai dengan meraknya praktek korupsi, eksploitasi anak dan pelanggaran HAM, konsep tata kelola yang baik (good governance) dimaksudkan sebagai perbaikan dan perluasan terhadap sebuah konsep pemerintahan yang selama ini dipandang tidak memadai.25

4. Pra-syarat Kebijakan

a. Kehendak politik, mencakup: 1).Adanya komitmen kuat dan tekad keras pihak-pihak yang secara

langsung mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam penanggulangan masalah;

2).Agenda pembangunan (daerah) menempatkan upaya dan program penanggulangan masalah pada skala prioritas utama;

3). Kemauan untuk secara jujur dan terbuka mengakui kelemahan dan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu, dan bertekad untuk memperbaikinya, baik pada waktu sekarang maupun di masa mendatang.

b. Iklim yang mendukung, mencakup: 1).Ada kesadaran kolektif untuk menempatkan kemiskinan sebagai

musuh bersama yang harus diperangi, kemudian diikuti dengan langkah-langkah kampanye sosial melalui berbagai saluran informasi untuk lebih meningkatkan kepedulian, kepekaan, dan partisipasi masyarakat.

2).Ada peraturan dan kebijakan daerah (Perda) yang mendukung penanggulangan kemiskinan, misalnya yang berkaitan dengan usaha kecil, akses terhadap kredit, pedagang kaki lima, penghapusan pungutan terhadap hasil-hasil pertanian, dan sebagainya.

c.Tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Mengingat kemiskinan bersifat multidimensi, maka penanggulangannya tidak cukup hanya

24 Sedarmayanti, Good Governance, “Pemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi

Daerah”, (Bandung: Mandar Maju, 2003), p. 4. 25 Dwiyanto dkk., Reformasi dan Tata Pemerintah dan…, p. 3.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

61

dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, melainkan memerlukan pula kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Dengan kata lain diperlukan adanya tata pemerintahan yang baik (good governance) dari lembaga-lembaga pemerintahan, terutama birokrasi pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan pelayanan umum lainnya. Secara lebih spesifik, hal ini antara lain ditandai dengan adanya keterbukaan, pertanggungjawaban publik, penegakan hukum, penghapusan birokrasi yang menyulitkan, pemberantasan korupsi, dan koordinasi lintas lembaga dan lintas pelaku yang baik..

Turkewitz, melalui studi empirisnya di beberapa negara menyimpulkan adanya hubungan yang kuat antara karakter suatu rezim pemerintahan dengan capaian berbagai indikator pembangunan. Kesimpulan dari studi ini antara lain adalah: a. Makin efektif suatu pemerintahan, makin rendah tingkat kematian bayi; b. Makin rendah tingkat korupsi di birokrasi pemerintahan, makin tinggi

tingkat melek huruf orang dewasa; c. Makin baik kondisi penegakan hukum suatu negara, makin rendah

tingkat kematian bayi dan d. Makin sedikit regulasi yang diciptakan pemerintah, makin tinggi tingkat

pendapatan per kapita. Sebagai konsekuensi dari melekatnya fungsi pelayanan publik, maka

administrasi negara dituntut untuk menerima tanggung jawab positif dalam hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan serta menyediakan program kesejahteraan rakyat. Apabila tanggung jawab positif tersebut sudah dapat dilakukan, maka eksistensi pemerintah akan tumbuh menjadi suatu pemerintah yang besar dan kuat, baik itu dalam ruang lingkup fungsi maupun jumlah personil yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya26

Perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara membawa dampak terjadinya setidak-tidaknya dua masalah penting yaitu27, pertama, dengan makin pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara fungsi pelayanan publik, maka diasumsikan akan terjadi peningkatan jumlah korban sebagai akibat penekanan rezim pemerintahan. Hubungan asumsi seperti itu mungkin tercermin dari kecenderungan semakin tingginya penyelewengan dan tindakan yang merugikan rakyat dalam mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kedua, adalah masalah

26 Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto, Kebijakan Publik yang Memihak Orang

Miskin, (Jakarta: SEMERU, 2003), p. 3. 27 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2002), p. 156-

160. Baca juga dalam Pokok-pokok Hukum Administrasi, (Malang: Bayumedia, 2004) p. 69 dan SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2006) p.46.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

62

yang lebih krusial yaitu kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan diberikannya suatu “kebebasan” untuk bertindak atas inisiatif sendiri (freies ermessen; pauvoir discretionare) guna menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan perlu segera diselesaikan.

C. Mewujudkan Kota Ramah Anak: Upaya Perlindungan HAM Anak

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 5 September 1990. Hal ini merupakan komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak. Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B (2), dan operasionalnya pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak. Gagasan Kota Ramah Anak (KRA) diawali dengan penelitian mengenai Children Perception of the Environment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komunitas yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas, yang memberi kesempatan pada anak, dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka.28

Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istanbul, Turki perwakilan pemerintah dari seluruh dunia termasuk Indonesia bertemu dan menandatangani sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Dalam program tersebut secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak, terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota maupun di komunitas, terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di komunitasnya. Melalui City Summit itu, UNICEF memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka.29

Kota Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Research Centre adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti keputusannya mempengaruhi kotanya; berhak mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan, dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial,

28 IULA&UNICEF, Partnership to Create Child Friendly City: Programming for Child

Rights with Local Authorities. (Italy: UNICEF Innocenti Research Centre, 2001), p. 43. 29http://www.menegpp.go.id/en/index.php?optioncom, kota-ramah-anak-apa-

mengapabagaimana.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

63

menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik, terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah, aman berjalan di jalan, bertemu dan bermain dengan temannya, mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan, hidup di lingkungan yang bebas polusi, berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial, dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

Dalam hal penciptaan birokrasi kebijakan publik yang ramah terhadap anak kualifikasi tersebut sudah selayaknya dipenuhi. 1. Anak memengaruhi keputusan terhadap kota. Kebijakan publik

memang sudah selayaknya memperhatikan semua golongan. Ketika hal ini menjadi bagian integral dari sebuah program kerja. Maka yang terjadi adalah pemerataan kesempatan pada semua aspek bidang kehidupan. Anak pun demikian. Ketika anak mendapat perhatian pemerintah lokal maka kehidupannya akan lebih baik. Pemahaman dan kebijakan terhadap anak yang memadai akan menghantarkan kehidupan yang layak bagi kota dan tatanan masyarakat.

2. Mengapresiasi pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan. Mendengar suara rakyat, termasuk di dalamnya anak merupakan salah satu aspek dalam kebijakan publik yang ramah terhadap anak. Kota bagi anak adalah tatanan masyarakat yang ramah terhadap mereka. Salah satunya adalah adanya kawasan bebas asap rokok. Kawasan bebas asap rokok mulai banyak dirancang oleh pemerintah daerah. Salah satunya, Jakarta. Dengan terciptanya kawasan bebas asap rokok anak menjadi lebih sehat dan terjauh dari berbagai penyakit yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.

3. Demikian pula dengan adanya ruang terbuka hijau (RTH). Selain dipergunakan sebagai taman kota, RTH juga dapat dijadikan sarana bermain bagi anak yang aman dan nyaman. Semakin banyak ruang bermain dan berkreasi bagi anak berarti kebijakan publik mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial. ketika pemerintah daerah mampu menciptakan birokrasi dan tatanan hukum yang memadai guna tumbuh kembang anak, maka kehidupan di dalam keluarga, komunitas, dan sosial akan terjadi dengan sendirinya. Kebijakan tersebut dapat berupa pemenuhan gizi bagi balita melalui posyandu atau dasawisma.

4. Menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Maka dari itu, pemerintah daerah sudah saatnya mengagendakan pendidikan dasar gratis bagi anak. Pendidikan gratis akan mendorong orangtua menyekolahkan anak-anaknya. Pendidikan gratis pun perlu didukung

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

64

oleh kualitas sumber daya pengajar yan memadai. Tanpa hal yang demikian, pendidikan dasar gratis hanya akan menjadi program tanpa makna. Demikian pula dengan jaminan kesehatan. Ketersediaan puskesmas yang mudah dijangkau menjadi hal yang wajib disediakan pemerintah daerah bagi rakyatnya.

5. Mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik. Kualitas air akan menentukan kualitas hidup manusia. Pasalnya, air merupakan sumber kehidupan. Maka ketersediaan air bersih menjadi agenda dasar pemerintah daerah bagi kehidupan masyarakatnya. Sanitasi pun demikian. Jamban bagi setiap rumah tangga menjadi hal yang wajib ada. Jika tidak, maka pemerintah daerah sudah saatnya mengusahakannya melalui program-program kesejahteraan keluarga.

6.Terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah. Sebagaimana data yang telah terjadi di atas, maka, pemerintah daerah sudah saatnya membuat peraturan perundangan yang mampu mengakomodir seluruh lapisan masyarakat. Memenjarakan dan menghukum pelaku tindak kekerasan terhadap anak merupakan cara yang cukup ampuh dalam melindungi masa depan anak.

7. Aman berjalan di jalan. Jalan menjadi salah satu kebutuhan dasar bagi kehidupan. Ketersedian jalan yang memadai akan membantu mobilitas masyarakat. Demikian pula dengan anak. Ketersedian jalan yang baik akan membuat anak betah tinggal di rumah. Selain itu, dengan jalan yang baik dan memadai anak-anak akan mudah bertemu dan bermain dengan temannya. Sebuah hal yang menyenangkan bagi seorang anak.

8. Mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan; hidup di lingkungan yang bebas polusi. Sebagaimana telah di utarakan di depan, penyediaan RTH akan menjaga kelangsungan hajat hidup masyarakat termasuk di dalamnya, anak.

9. Berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; anak dapat dilibatkan dalam banyak hal. termasuk dalam kegiatan budaya. Penyelenggara pemerintahan sudah saatnya membuat aturan atau regulasi yang memungkin anak dapat berperan serta dalam banyak hal dalam pembangunan daerah. Kegiatan berskala kabupaten merupakan ajang temu anak dan berbagi pengalaman dalam kehidupan sesuai dengan kemampuan anak.

10. Dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

Beberapa kualaifikasi di atas selayaknya harus dipenuhi sebagai upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi hak-hak anak serta tercapainya misi good governance. Bila dikaitkan dengan pespektif syariah, maka

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

65

pertanyaannya adalah apakah hakikat good governance dalam perspektif hukum Islam. Dalam syariah dapat mengkonstruksi suatu pengertian governance menurut pandangan syariah dalam hal ini al-Qur’an menjelaskan:

“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.30 Dengan menangkap dalalah al-isyarah ar-ramziyyah dari ayat di atas

maka dapat dilihat bahwa governance dalam perspektif syariah adalah suatu penggunaan otoritas kekuasaan untuk mengelola pembangunan yang berorientasi pada penciptaan suasana kondusif bagi masyarakat. Hal ini sangat relevan bahwa pemerintah Indonesia khususnya pemerintah daerah berkewajiban penuh untuk mengelola dan melindungi anak-anak dengan upaya pembangunan kota layak anak hal ini dalam rangka sebagai tuntutan teks ayat al-Qur’an sebagaimana di atas. Dalam ayat tersebut terdapat tiga aspek governance, yaitu: (a) spiritual governance, (b) economic governance, (c) political governance. Untuk mewujudkan good governance dalam tiga aspek tersebut diperlukan nilai yang mana nila tersebut dapat diturunkan beberapa asas tata kelola pemerintahan yang baik.31 Dengan memperhatikan ayat al-Qur’an dapat ditemukan nilai dasar yang dapat dijabarkan menjadi asas tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu syura, keadilan dan amanah.32

Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Allah SWT sebagai generasi penerus dalam keluarga bahkan bangsa dan negara. Oleh sebab itu maka anak harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dari seluruh aspek kehidupan. Dalam kehidupan manusia, anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Akibat dari belum matangnya individu anak maka sangat dibutuhkan perlindungan penuh. Dalam perlindungan hukum terhadap anak terdapat al-Quran yang berbunyi:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” 33

30 QS: Al-Haj, 41. 31 Syamsul Anwar, Membangun Good Governance Dalam Menyelenggaraan Birokrasi

Publik di Indonesia: Tinjauan Perspektif Syariah dengan Pendekatan Ilmu Ushul Fiqih., Disampaikan dalam pengukuhan Guru Besar Ilmu Ushul Fiqih, pada Fakultas Syari’ah di Hadapan Senat Terbatas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 26 September 2005., p. 10-11.

32 Ibid., p. 12. 33 QS: An-Nisa, 9

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

66

Komitmen perlindungan anak dalam Islam tertera di berbagai litaratur, kodifikasi hukum dan kitab suci al-Quran. Setiap anak adam dipandang suci dan mulia dalam Islam, karena anak adalah generasi pemimpin agama dan bangsa berada pada dipundak anak-anak, oleh karena itu, pemenuhan dan perlindungan terhadap anak dengan implementasi pemenuhan kota layak anak merupakan suatau kewajiban pemerintah.34 Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa yang disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Dalam mewujudkan pelaksanaan dari Konvensi Hak Anak tersebut maka pemerintah Indonesia berkewajiban penuh untuk melindungi HAM anak agar hak-hak anak tersebut tidak diganggu atau dikurangi oleh pihak manapun. Perlindungan terhadap anak, dengan demikian merupakan bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia.35

Perlindungan hukum terhadap anak merupakan senantiasa harus dijaga, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. HAM anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hak-hak anak. Seorang expert tentang perlindungan anak Pater Newel, mengemukakan beberapa alasan subyektif dari sisi keberadaan anak sehingga anak membutuhkan perlindungan, yaitu: 1. Biaya untuk melakukan pemulihan akibat dari kegagalan dalam

memberikan perlindungan anak sangat tinggi 2. Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas perbiatan

(action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (unaction) dari pemerintah ataupun kelompok lainnya

3. Anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian pelayanan publik

4. Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidaka mempunya kekuatan loby untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintahan

34 Ibnu Amshori, Pelindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi

Perlindungan Anak Indonesia, 2007), p. 23. 35 Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia

manusia. Manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbedabeda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Lihat: Rhona K.M. Smith, Hukum dan Hak Asasi Manusia, ed. Suparman Marzuki, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), p. 8.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

67

5. Anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan penataan hak-hak anak

6. Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan Konferensi Hak Anak berdasarkan materi hukumnya mengatur

mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh Negara pihak yang merativikasi KHA. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam KHA tersebut dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) katagori hak-hak anak yaitu: 36 1. Hak terhadap kelangsungan hisup (survival rights), yaitu hak-hak anak

dalam KHA yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life).

2. Hak terhadap perlindungan (protections rights) yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tidak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan anak-anak pengungsi

3. Hak untuk tumbuh kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak untuk mencapai standard hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, moral dan sosial anak

4. Hak anak berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak anak untuk menyelamatkan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.

D. Kendala Pembentukan Kota Layak Anak

Apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, bahwa anak mempunyai hak untuk tempat tinggal dalam Pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral.37 Dalam mewujudkan kota ramah anak pada intinya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berperan penting dalam merealisasikan Konvensi Hak Anak dan konsep Kota Ramah Anak. Hal ini dapat terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan melibatkan semua pihak yang ada di kota. Kemitraan dapat dibangun dengan melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau sektor, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil. Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya.

Selain itu pemerintah Indonesia menyatakan komitmen untuk menjamin setiap anak diberikan masa depan yang lebih baik dengan

36 Unicep Perwakilan Indonesia, “Guide to Convention on the Rights of The Child.

Jakarta, p. 4. 37 Save the Children, Children on Their Housing, (Swedia: Radda Barnen, 1996), p.

13-15.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

68

ratifikasi Konvensi Hak Anak Sejak itu tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam laporan Pemerintah Indonesia mengenai Pelaksanaan Konvensi Hak Anak ke Komite Hak Anak. Namun, hasil yang dicapai ini tidak merata, dan berbagai kendala pun masih tetap ada, terutama di beberapa kabupaten dan kota yang tertinggal. Masa depan cerah bagi anak barulah merupakan ‘khayalan’ semata, dan pencapaian itu pada umumnya kurang memenuhi kewajiban pemerintah dan komitmen negara.38

Kendala dalam mewujudkan Kota Ramah anak yang paling utama adalah Kebijakan dan Anggaran. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar saat membuka Konferensi Internasional ke-2 Asia Pasifik Layak Anak 2011 di Solo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu, menyatakan bahwa terdapat beberapa kabupaten/kota yang menunjukkan komitmen menjadi Kota Layak Anak (KLA), namun secara umum hingga kini belum ada kabupaten/kota yang benar-benar layak menjadi KLA. Jakarta sebagai ibu kota negara ternyata dinilai masih tidak layak untuk anak. Dalam konferensi tersebut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak menegaskan bahawa tantangan pengembangan KLA ke depan, antara lain, sebagian besar kabupaten/kota belum memiliki kebijakan daerah terhadap anak sebagai penjabaran kebijakan nasional pembangunan anak. Pelaksanaan KLA belum terlembaga di daerah, kinerja KLA sangat tergantung kepada pimpinan daerah. 39 Selain itu, alokasi anggaran pembangunan anak dan kapasitas tenaga yang menangani KLA masih sangat terbatas, padahal tahun 2014 ditargetkan KLA ada di 100 kabupaten/kota. Untuk itu, pengembangan KLA harus terus dilanjutkan guna meningkatkan perhatian pemerintah daerah dalam pemenuhan hak-hak anak. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus didukung oleh kebijakan dan anggaran. Untuk mewujudkan hal ini dibutuhkan dukungan dan dorongan dari semua pihak, untuk mendesak pembuatan kebijakan dan peningkatan anggaran. D. Penutup

Walaupun belum ada satu pun yang mampu memenuhi kriteri tersebut, namun setidaknya ada 75 kabupaten/kota yang masuk dalam kriteria rintisan kota ramah anak (KRA). Maka dari itu upaya mempercepat perwujudan KRA menjadi tanggung jawab pemerintah yang didukung oleh seluruh eleman masyarakat yang ada. Mewujudkan KRA berarti telah menciptakan ruang publik bagi anak. Sebagaimana diungkapkan Assata Shakur, tanpa penciptaan ruang bagi anak, mereka

38http://www.kotalayakanak.org/index.phpoption.com_content&view.article&id,kota-layak-anak. 15. 05. 12.

39 http://www.investor.co.id/home/membangun-kota-layak-anak. 15-05-12.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

69

akan dekat dengan diskriminasi. Ketika anak masih terjerembab dalam diskriminasi maka masa depan kehidupan di planet ini akan semakin terancam. Karena tidak adanya generasi yang diberi ruang untuk berekspresi dan didengarkan keluh kesahnya. Pada akhirnya, kebijakan publik yang ramah terhadap anak dengan menciptakan kota ramah anak merupakan kesempatan pemimpin daerah untuk berbakti dan berbuat banyak kepada masyarakatnya. Kepedulian pemimpin daerah dalam merumuskan kebijakan yang ramah terhadap anak merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan di era otonomi daerah yang menuntut pemimpin daerah berkreasi demi kemajuan daerah yang dipimpinnya. Perlindungan terhadap hak anak merupakan sebuah keniscayaan oleh pemerintah, jika pemerintah sengaja mengabaikan terhadap pemenuhan serta perlindungan hak anak dalam hal ini pemenuhan Kota Layak Anak, maka pemerintah disini bisa dikatan telah melanggar HAM anak.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

70

Daftar Pustaka

Antara, 26 Juni 2008

Antara, 9 Juli 2008.

Dwiyanto dkk., Reformasi dan Tata Pemerintah dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2003.

Global News Indonesia, 20 Juli 2011.

Syamsul Anwar, Membangun Good Governance Dalam Menyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan Perspektif Syariah dengan Pendekatan Ilmu Ushul Fiqih., Disampaikan dalam pengukuhan Guru Besar Ilmu Ushul Fiqih, pada Fakultas Syari’ah di Hadapan Senat Terbatas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 26 September 2005.

Hadi Supeno, Diskriminasi Anak: Transformasi Menuju Perlindungan Anak Berkonflik Dengan Hukum, Jakarta: KPAI, 2010.

http://www.investor.co.id/home/membangun-kota-layak-anak. 15-05-12.

http://www.investor.co.id/home/membangun-kota-layak-anak.15-05-2012

http://www.kotalayakanak.org/index.phpoption.com_content&view.article&id,kota-layak-anak. 15. 05. 12.

http://www.menegpp.go.id/en/index.php?optioncom, kota-ramah-anak-apa-mengapabagaimana.

Ibnu Amshori, Pelindungan Anak Menurut Perspektif Islam, Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007.

IULA&UNICEF, Partnership to Create Child Friendly City: Programming for Child Rights with Local Authorities. Italy: UNICEF Innocenti Research Centre, 2001.

Juli Hastadewi, dkk. “Kondisi dan Situasi Pekerja Anak”, Jakarta: UNICEF Perwakilan Indonesia, 2004.

Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak

Koran Tempo, 16 Mei 2010.

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

71

Laporan KPAI kepada Presiden Republik Indonesia, tahun 2008.

PP No 2/2009 tentang Kebijakan KLA

Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015

R. Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: Elek Media Komputindo, 2003.

J. Iskandar, Manajemen Publik, Garut: Pustaka Program Pascasarjana Universitas Garut, 1999.

Rhona K.M. Smith dkk., Hukum dan Hak Asasi Manusia, ed. Suparman Marzuki, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002.

Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, 2006

Save the Children, Children on Their Housing, Swedia: Radda Barnen, 1996.

Sedarmayanti, Good Governance, “Pemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi Daerah”, Bandung: Mandar Maju, 2003.

Sudarsono, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: Bintang Kejora, 2000.

Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto, Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin, Jakarta: SEMERU, 2003.

Susy Susilawaty, “Analisis Kebijakan Publik Bidang Keselamatan dan Kesejahteraan Kerja di Kota Tasikmalaya”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2007.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang RI No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

72