MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

24
1 MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH Oleh Tasman Hamami Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kaligjaga Yogyakarta Email: [email protected] ABSTRACT Beside stands as one of Muhammadiyah establishment factors, Muhammadiyah education was also born as an effect of Dutch politic which placed general and religious knowledge dichotomicaly. There is indication of Islamic knowledge education shifting, from its role and function. It was a fundamental structure of Muhammadiyah education ideology, but in recent time, many Muhammadiyah school's organizer supposed and placed it as complement factor. Therefore, the spirit of Muhammadiyah Education must be revitalized, till the orientation of its education won't be trapped into positivistic education system. Keywords: Knowledge integration, Vision and Mission of Muhammadiyah Education, spirit of Muhammadiyah Education. A. Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu variabel kehidupan yang memiliki daya pengaruh sangat signifikan dalam menentukan perkembangan dan tingkat kemajuan individu, masyarakat, dan bangsa. Pendidikan memiliki peranan sangat besar dalam merekayasa masa depan umat. Karena itu, M. Natsir (1974: 77) melalui tulisannya berjudul “Ideologi Pendidikan Islam” menegaskan bahwa maju mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku di kalangan mereka itu. Atas dasar kesadaran akan fungsi dan peran pendidikan bagi kemajuan bangsa pada umumnya dan umat Islam secara khusus, Muhammadiyah sebagai persyarikatan dan gerakan Islam modern sejak awal tumbuh dan berdirinya melakukan dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar melalui pendidikan. Sejarah perjalanan bangsa ini telah menunjukkan bahwa Muhammadiyah mulai melakukan gerakan pendidikan lebih awal dari pada upaya yang dilakukan oleh organisasi lain. Bahkan, gerakan pendidikan yang dibangun Muhammadiyah tersebut lebih mendahului pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kenyataan sejarah tersebut berarti bahwa Muhammadiyah telah mendirikan sekolah jauh sebelum negara Indonesia berdiri dan mendeklarasikan misinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Transcript of MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Page 1: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

1

MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Oleh Tasman Hamami

Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kaligjaga YogyakartaEmail: [email protected]

ABSTRACTBeside stands as one of Muhammadiyah establishment factors, Muhammadiyah education was alsoborn as an effect of Dutch politic which placed general and religious knowledge dichotomicaly. Thereis indication of Islamic knowledge education shifting, from its role and function. It was a fundamentalstructure of Muhammadiyah education ideology, but in recent time, many Muhammadiyah school'sorganizer supposed and placed it as complement factor. Therefore, the spirit of MuhammadiyahEducation must be revitalized, till the orientation of its education won't be trapped into positivisticeducation system.Keywords: Knowledge integration, Vision and Mission of Muhammadiyah Education, spirit of

Muhammadiyah Education.

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu variabel kehidupan yang memiliki daya

pengaruh sangat signifikan dalam menentukan perkembangan dan tingkat kemajuan

individu, masyarakat, dan bangsa. Pendidikan memiliki peranan sangat besar dalam

merekayasa masa depan umat. Karena itu, M. Natsir (1974: 77) melalui tulisannya

berjudul “Ideologi Pendidikan Islam” menegaskan bahwa maju mundurnya salah satu

kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku di

kalangan mereka itu. Atas dasar kesadaran akan fungsi dan peran pendidikan bagi

kemajuan bangsa pada umumnya dan umat Islam secara khusus, Muhammadiyah

sebagai persyarikatan dan gerakan Islam modern sejak awal tumbuh dan berdirinya

melakukan dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar melalui pendidikan.

Sejarah perjalanan bangsa ini telah menunjukkan bahwa Muhammadiyah mulai

melakukan gerakan pendidikan lebih awal dari pada upaya yang dilakukan oleh

organisasi lain. Bahkan, gerakan pendidikan yang dibangun Muhammadiyah tersebut

lebih mendahului pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kenyataan

sejarah tersebut berarti bahwa Muhammadiyah telah mendirikan sekolah jauh

sebelum negara Indonesia berdiri dan mendeklarasikan misinya untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa.

Page 2: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

2

Menurut catatan Karel A Steenbrink (1994: 52), K.H. Ahmad Dahlan mendirikan

madrasah sebelum Muhammadiyah berdiri. Di dalam madrasah tersebut memakai

bahasa Arab sebagai pengantar,... selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 beliau

(K.H. Ahmad Dahlan) mendirikan sekolah dasar di lingkungan Kraton Yogyakarta

dengan mengajarkan mata pelajaran umum.

Sekolah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan berbentuk sistem pendidikan

modern yang kemudian dikembangkan secara luas setelah Muhammadiyah berdiri

pada tahun 1912. Di dalam Kraton Yogyakarta, pendidikan Muhammadiyah

merupakan salah satu elemen modern yang oleh Steenbrink disebut sebagai “ultra

konservatif”. Oleh karenanya, pendidikan Muhammadiyah secara konsisten terus

berkembang dan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas.

Sistem Pendidikan Muhammadiyah merupakan respon terhadap tuntutan

perkembangan zaman. Respon tersebut ditujukan untuk menyiapkan kader-kader

persyarikatan dan umat Islam sesuai dengan perkembangan zamannya. Pada saat itu,

di Indonesia telah ada sistem pendidikan Islam yang berbentuk pondok pesantren.

Namun, lembaga pendidikan Islam tersebut hanya mengajarkan pengetahuan agama

dan cenderung tidak responsif terhadap perubahan zaman. Karena itu sebagian

kalangan memandang bahwa pondok pesantren kurang mampu dalam mendidik

generasi umat Islam yang siap mengemban misi selaku khalifatullah fil ardl dengan

baik.

Realitas kesejarahan dan pemikiran itulah yang kemudian mendorong K.H.

Ahmad Dahlan dalam mendirikan pendidikan Islam modern dengan muatan ilmu

agama Islam dan pengetahuan umum. Pendidikan yang mengintegrasikan kedua ilmu

tersebut diharapkan mampu melahirkan manusia yang bertakwa kepada Allah, cerdas

dan juga terampil. Integrasi sistem dan hasil pendidikan yang menggabungkan ilmu

agama Islam dan pengetahuan umum pada hakikatnya merupakan pemikiran filosofis

serta visi pendidikan Muhammadiyah.

Pendidikan Muhammadiyah yang telah berlangsung hampir satu abad ini

mengalami perkembangan secara terus menerus, baik dalam segi kuantitas maupun

Page 3: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

3

kualitasnya. Namun demikian, pendidikan Muhammadiyah dalam tahapan proses

perkembangannya justru menghadapi kecenderungan yang cukup mengkhawatirkan.

Indikasi tersebut tiada lain adalah munculnya gejala bahwa pendidikan ilmu agama

Islam yang secara historis merupakan struktur fundamental dalam konstruksi

ideologis pendidikan Muhammadiyah telah mengalami pergeseran peran dan

fungsinya, bahkan terjadi degradasi.

Fenomena tersebut antara lain disebabkan karena komitmen serta pemahaman

para pengelola dan pelaksana pendidikan Muhammadiyah yang relatif masih rendah.

Rendahnya komitmen dan pemahaman pengelola pendidikan terhadap filosofi

pendidikan Muhammadiyah dapat dilihat dari pengelolaan madrasah dan sekolah

yang lebih berorientasi pada pengembangan ilmu secara dikotomis. Terdapat

kecenderungan umum dari sebagian pengelola madrasah dan sekolah (karena alasan

praktis) lebih mengutamakan pendidikan ilmu pengetahuan umum, sementara

pendidikan Al-Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (ISMUBA) diposisikan

sebagai pelengkap.

Lebih dari itu, kondisi yang memprihatinkan lagi, sebagaimana ditengarai oleh

Haedar Nashir (2007: ix-x) ialah adanya orang-orang yang memanfaatkan lembaga

pendidikan Muhammadiyah sebagai ladang menyemai ideologi lain. Apabila

fenomena tersebut dibiarkan, maka pada saatnya nanti tidak mustahil jika pendidikan

Muhammadiyah akan kehilangan peran dan fungsinya, bahkan eksistensinya juga

dapat terancam.

Berdasarkan pemikiran dan fenomena di atas, perlu dilakukan pemurnian kembali

(purifikasi) terhadap visi dan ideologi pendidikan Muhammadiyah. Pemurnian itu

dilakukan untuk membebaskan pendidikan Muhamadiyah dari “para penumpang”

yang memiliki kepentingan dan tujuan-tujuan tertentu. Oleh sebab itu, ruh pendidikan

Muhammadiyah harus segera dihidupkan kembali. Pembahasan dalam artikel ini

merupakan autokritik serta refleksi terhadap arah perkembangan pendidikan

Muhammadiyah.

Page 4: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

4

B. Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten

melakukan gerakan-gerakan dakwah dan pembaharuan pemikiran, baik dalam bidang

ke-Islaman, pemikiran sosial serta pengembangan sumber daya umat dan kader

melalui pendidikan. Semua gerakan Muhammadiyah tersebut tentunya bermuara pada

perwujudan cita-cita dari maksud dan tujuan Muhammadiyah sendiri, yaitu;

menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat

utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wa Ta’ala (Musthafa Kamal

Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2005: 112). Maksud dan tujuan Muhammadiyah

sengaja di desain agar menetes dan memancar ke dalam semua bidang gerakan serta

amal usaha, termasuk sebagai visi dan misi di amal usaha pendidikan.

Muhammadiyah berpandangan bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang

kehidupan yang sangat strategis, sehingga wilayah tersebut seringkali mendapatkan

perhatian sangat besar. Munculnya perhatian itu tentunya sangat wajar, karena

perjalanan sejarah persyarikatan telah menunjukkan bahwa pendidikan merupakan

faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah. Pada waktu itu, K.H. Ahmad

Dahlan merasakan keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi pendidikan Islam

(tradisional) yang memberikan pengajaran agama Islam secara terbatas. Pendidikan

tradisional pada umumnya berbentuk pesantren yang lebih menekankan pada

pengembangan pengetahuan dan keterampilan agama untuk kepentingan ibadah

praktis.

Karena pendidikan pesantren lebih menekankan pada pengembangan pengetahuan

dan keterampilan agama yang diselenggarakan dengan sederhana serta dilakukan

secara apa adanya, maka pendidikan Islam di pondok pesantren lazim disebut sebagai

pendidikan Islam yang tradisional (Abdul Malik Fadjar, 1998: 19-21, dan Azyumardi

Azra, 1996: 37-38). Pendidikan Islam yang bersifat tradisional ini telah berlangsung

lama dan memberikan sumbangan bagi kemajuan umat Islam yang cukup signifikan,

khususnya dalam bidang pengajaran agama Islam.

Page 5: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

5

Akan tetapi, dalam pandangan dan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan (konteks

sosiologis) pendidikan Islam tradisional justru tidak dapat mengikuti perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat dan kebudayaan. Karena

itu, pendidikan Islam tradisional tersebut dinilai belum mampu mendidik generasi

umat Islam yang siap mengemban misi selaku khalifatullah fil ardl. Pada lain pihak,

pemerintah dengan penerapan pendidikan model gubernement yang sekuler sehingga

terjadilah dikotomisasi pendidikan dalam sepanjang sejarah penjajahan Belanda,

bahkan berlanjut pada masa sesudah Indonesia merdeka.

Selama masa penjajahan Belanda, pendidikan Islam selalu saja gagal untuk masuk

ke dalam sistem pendidikan umum. Sementara, sekolah-sekolah Zending (Kristen)

dapat memasuki sistem pendidikan umum gubernement. Dampak terjadinya politik

pendidikan tersebut ialah adanya pola pendidikan yang dualistik di Indonesia, yaitu

pendidikan keagamaan di satu pihak dan pendidikan umum di pihak lain. Mulai saat

itu pendidikan Islam mengambil jalan sendiri dan mengembangkan model pendidikan

yang berbeda dengan pendidikan kolonial maupun pendidikan yang dilaksanakan

oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Karel A. Steenbrink, 1994:

7). Melihat kondisi pendidikan di Indonesia yang cenderung dikotomis semacam itu

telah menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sungguh sangat gelisah.

Dalam perspektif sejarah, fenomena keragaman lembaga pendidikan Islam di

samping sebagai manifestasi keragaman dalam memahami Islam, juga sebagai akibat

politik diskriminatif kolonial Belanda yang waktu itu mengakibatkan reaksi umat

Islam berbeda-beda. Sebagian di antara umat Islam menolak sama sekali dan yang

lainnya cenderung melakukan persaingan maupun imitasi terhadap sistem pendidikan

kolonial. Azyumardi Azra (1996: 10) mencatat bahwa modernisasi pendidikan Islam

mengarah pada dua kecenderungan pokok, yaitu; pertama, adopsi sistem dan lembaga

pendidikan modern, dan kedua, eksperimen yang bertitik tolak dari sistem dan

kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu

dari pendidikan modern.

Page 6: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

6

Di tengah-tengah terjadinya pergolakan ideologis dari sistem pendidikan yang

dikotomis itulah K.H. Ahmad Dahlan secara kreatif melakukan ijtihad kebudayaan

dan transformasi sosial dengan mendirikan pendidikan Islam modern. Pendidikan

Islam modern tersebut difungsikan untuk mengintegrasikan ilmu agama Islam dengan

ilmu umum dan memadukan antara dimensi normatif dengan dimensi historis dalam

sebuah sistem pendidikan yang integralistik. Formulasi gagasan K.H. Ahmad Dahlan

tersebut diwujudkan dalam bentuk ”karya amaliah”, yaitu membangun sistem

pendidikan Islam modern yang integratif dan berupa pendirian sekolah-sekolah

umum yang mengintegrasikan ilmu-ilmu agama Islam, serta pendirian madrasah-

madrasah yang mengintegrasikan ilmu-ilmu umum.

Sistem pendidikan ini diharapkan mampu mendidik kader-kader umat Islam yang

siap mengemban misi tersebut dengan baik. Agar pendidikan yang dirintis itu dapat

dikelola dan dikembangkan secara simultan, maka diperlukan organisasi yang tertib

dan teratur. Atas dasar pemikiran tersebut dan saran dari murid-muridnya, K.H.

Ahmad Dahlan yang nama aslinya Muhammad Darwisy, tahun 1912 mendirikan

persyarikatan Muhammadiyah. Berdasarkan hal itu maka pendidikan Muhammadiyah

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan Muhammadiyah. Di

samping itu, pendidikan Muhammadiyah justru menjadi core bussiness-nya

Muhammadiyah, selain bidang kesehatan dan pelayanan sosial. Sehingga menjadi

wajar apabila masyarakat lebih mengidentikkan Muhammadiyah dengan lembaga

pendidikan dan kesehatan, karena gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar-nya

sangat efektif dijalankan lewat dunia pendidikan dan kesejahteraan sosial (Imam

Prihadiyoko, dkk., 2000: 1). Pemikiran pendidikan Islam integratif K.H. Ahmad

Dahlan yang diwujudkan dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan Islam modern

pada hakikatnya adalah hasil refleksi dari pemikiran Islam rasional-kontekstual atas

fenomena modernisasi dalam semua aspek kehidupan.

Pendidikan Muhammadiyah yang merupakan bagian dari akar sejarah berdirinya

Muhammadiyah berarti bahwa visi dan cita-cita pendidikan yang akan dicapai harus

paralel serta sejalan dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah. Visi dan misi

Page 7: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

7

pendidikan Muhammadiyah adalah menyiapkan kader-kader persyarikatan dan umat

Islam yang siap untuk mengemban amanat sebagai khalifah Allah di muka bumi

(khalifatullah fil Ardl). Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya untuk menyiapkan

kader-kader tersebut dapat diwujudkan apabila terjadi pengintegrasian sistem

pendidikan sekolah modern dengan pesantren. Untuk itu, cara yang ditempuh olehnya

adalah (1) mendirikan sekolah-sekolah umum yang mengintegrasikan ilmu umum

dengan ilmu agama Islam, dan (2) mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi

pendidikan pengajaran ilmu-ilmu umum (Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby

Darban, 2005: 118).

Konsep integrasi sistem pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dapat

diartikan bahwa di dalam pendidikan Muhammadiyah tidak ada pemisahan antara

ilmu agama Islam dan ilmu umum. Muhammadiyah menganggap bahwa keduanya

memiliki kedudukan yang sama dan berada dalam naungan Islam. Dalam pandangan

integrasi keilmuan, hal tersebut bukan hanya berarti adanya kesetaraan kedudukan

dan fungsi antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum, tetapi juga dapat dimaknai

bahwa masing-masing merupakan kesatuan yang saling melengkapi antara satu

dengan yang lain. Mengapa demikian? Karena dalam realitasnya, problem kehidupan

manusia bersifat sangat kompleks sehingga memerlukan penyelesaian melalui

keduanya secara integratif. Oleh sebab itu, untuk menjadi seorang khalifah Allah

yang baik tidak hanya cukup dengan penguasaan salah satu bidang ilmu saja,

melainkan harus menguasai keduanya secara terpadu.

Upaya untuk menyiapkan khalifah Allah yang mampu mengemban tugas dalam

mewujudkan masyarakat utama diperlukan suatu pendidikan yang berorientasi pada

pencapaian visi keunggulan dalam kepribadian (iman dan takwa serta akhlak mulia),

kompetensi keilmuan dan keterampilan. Ketiga ranah keunggulan tersebut dapat

diwujudkan apabila pendidikan Muhammadiyah memiliki misi utama, yakni; pertama,

mengajarkan pendidikan ISMUBA. Pendidikan ISMUBA dimaksudkan untuk

membentuk kepribadian Islam yang kuat, memberikan kemampuan ilmu agama Islam,

kemandirian dan tanggungjawab bagi lulusan pendidikan Muhammadiyah. Kedua,

Page 8: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

8

mengajarkan pendidikan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan. Pendidikan

ini dimaksudkan untuk menyiapkan lulusan madrasah dan sekolah Muhammadiyah

yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta wawasan

kebudayaan. Ketiga, mengajarkan pendidikan keterampilan untuk menyiapkan kader

Muhammadiyah yang memiliki kecakapan hidup (life skill). Penguasaan ketiga ranah

kemampuan itu diperlukan untuk menyiapkan kader-kader yang dapat menjalankan

tugas sebagai khalifah Allah dengan baik.

Konsep filosofis yang menjadi visi pendidikan Muhammadiyah tentunya tetap

relevan dengan konsep pendidikan Islam modern, meskipun dengan formulasi konsep

yang berbeda. Naquib Al-Attas (1979: 2) menyebut pendidikan Islam dengan istilah

ta'dib. Sebab dimensi utama pendidikan Islam adalah menjadikan manusia beradab

(orang yang baik) yang terkandung dalam istilah ta'dib tersebut. Konsep beradab

mengandung makna penguasaan pengetahuan secara kognitif dan sekaligus

melakukan amal perbuatan yang baik sesuai dengan pengetahuannya. Kata ta'dib

mengandung arti pendidikan dalam mengantarkan peserta didik agar memiliki

pengetahuan dan melakukan perbuatan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya

(Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003: 174-188).

Di samping itu, Anwar Jundi (1975: 7-8) menegaskan bahwa esensi pendidikan

Islam adalah menumbuhkan manusia secara terus-menerus dari sejak lahir sampai

meninggal dunia. Pendidikan Islam merupakan suatu pendidikan secara utuh dan

sempurna yang meliputi seluruh dimensi manusia. Seluruh dimensi tersebut adalah;

pendidikan akal dengan ilmu pengetahuan (ma’rifah), pendidikan jasmaniyah dengan

olah raga (al-riyadah), dan pendidikan jiwa dengan iman (al-iman). Pengembangan

ketiga dimensi manusia secara selaras dan harmonis tentu akan mampu mengantarkan

terbentuknya kepribadian muslim yang utuh. Dalam konsep Munir Mursi (1975: 215),

pendidikan Islam harus didasarkan atas hakikat manusia yang difungsikan untuk

mengembangkan semua dimensi kepribadiannya secara totalitas, sehingga pendidikan

Islam merupakan pendidikan yang sempurna.

Page 9: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

9

Dalam rangka perwujudan pendidikan tersebut di atas, seperti diuraikan Roichan

Achwan (1991: 40-51) dengan merujuk pendapat Munir Mursi, pendidikan Islam

harus dibangun atas sepuluh asas (prinsip dasar), yaitu; (1) pendidikan Islam

merupakan pendidikan yang utuh dan mendidik kesempurnaan kepribadian (jasmani,

jiwa dan akal) secara terpadu; (2) pendidikan Islam berorientasi pada integritas sikap

dan perbuatan sebagai refleksi dari iman dan Islam yang menuntut satunya ucapan

dengan perbuatan; (3) pendidikan Islam merupakan pendidikan yang

berkesinambungan antara kehidupan dunia dengan akhirat; (4) pendidikan Islam

sebagai kesatuan antara pendidikan individu dan sosial yang secara simultan

menuntut pengembangan individu dan tanggungjawab sosial; (5) pendidikan Islam

adalah pendidikan hati nurani manusia; (6) pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah

dan manusiawi; (7) pendidikan Islam berorientasi pada nilai baik dan maslahah; (8)

pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlangsung sepanjang hidup manusia;

(9) pendidikan Islam memelihara internasionalisme; dan (10) pendidikan Islam

memelihara nilai-nilai luhur dan mengembangkan nilai-nilai inovatif.

Prinsip-prinsip dasar pendidikan tersebut mengandung nilai-nilai fundamental

yang berfungsi sebagai kerangka pengembangan pendidikan Islam. Nilai-nilai

tersebut adalah; pertama, nilai ideal, yaitu nilai yang memberikan acuan tentang

pendidikan Islam secara utuh dan menyeluruh serta bersifat integratif antara

pengetahuan, sikap dan perbuatan. Kedua, nilai spiritual, ialah nilai yang menjadi

acuan bahwa pendidikan Islam berlangsung sepanjang hidup manusia (long life

education) dan memiliki kesinambungan antara kehidupan dunia dan akhirat. Ketiga,

nilai humanistik, yaitu acuan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan hati nurani

dan fitrah manusia. Keempat, nilai dinamis sebagai acuan bahwa pendidikan Islam

senantiasa mengintegrasikan pengembangan individu dan sosial, berorientasi pada

kebaikan (maslahah), memelihara nilai luhur dan inovatif serta menjaga

internasionalisme.

Prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di

atas menunjukkan bahwa pendidikan Islam didasarkan atas prinsip, misi dan orientasi

Page 10: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

10

yang sesuai nilai-nilai ideal serta spiritualitas Islam dengan nilai-nilai empiris-historis.

Paradigma pendidikan Islam yang berlangsung sepanjang hidup untuk kehidupan

dunia dan akhirat tersebut tentunya sangat berbeda dengan konsep pendidikan pada

umumnya yang hanya berorientasi pada pembangunan kehidupan di dunia saja.

Pemikiran Syafi’i Ma’arif yang dikutip oleh Muhaimin (2005: 2) menyebutkan bahwa

visi dan misi pendidikan Islam didasarkan atas nilai-nilai etis dan spiritualitas Islam

yang diorientasikan untuk mengintegrasikan dimensi manusiawi dengan dimensi

ilahiy, sehingga pendidikan Islam bersifat “theo-anthropo sentris”. Visi, misi dan

orientasi pendidikan tersebut diarahkan untuk mencapai hasil (out put) terbentuknya

kepribadian muslim yang bertakwa dan memiliki keterampilan hidup.

Pendidikan Islam memiliki sasaran yang bersifat komprehensif, yaitu meliputi

seluruh aspek kepribadian manusia. Proses pendidikan Islam bukan hanya didasarkan

pada landasan kependidikan semata. Akan tetapi, pendidikan Islam juga didasarkan

pada norma-norma, nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang bersumber pada Al-

Qur’an dan Al-Hadist. Fungsi pendidikan Islam adalah mendidik seluruh potensi

manusia untuk mencapai hasil pendidikan Islam demi terwujudnya integritas pribadi

muslim yang bertakwa, yaitu sosok pribadi lulusan yang memiliki visi rabbani

(Abbas Mahjub, 1987: 16), sehat jasmani, cerdas intelektual, emosional dan sosial

serta memiliki kemandirian. Berdasar pada landasan tersebut maka para lulusan

pendidikan Islam memiliki kemampuan dalam menjalankan fungsi hidupnya sebagai

khalifah dan hamba Allah dengan baik.

Telaah di atas memperlihatkan bahwa visi dan misi pendidikan Muhammadiyah

yang dicita-citakan oleh K.H. Ahmad Dahlan sungguh sangat paralel dengan konsep

pendidikan Islam modern. Konsep pendidikan tersebut implementasinya dilakukan

dalam sistem integrasi antara pendidikan ilmu pengetahuan umum dengan ilmu

agama Islam. Di setiap satuan pendidikan Muhammadiyah mengembangkan integrasi

pengetahuan tersebut sebagai standar isi kurikulumnya. Dalam struktur kurikulum

pendidikan Muhammadiyah telah memuat pelajaran wajib pendidikan ISMUBA serta

Page 11: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

11

pelajaran wajib yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan jenis dan jenjang

pendidikan masing-masing.

Di samping itu, lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai sarana kaderisasi

juga wajib menyelenggarakan kegiatan pembinaan kepanduan Muhammadiyah

(Hizbul Wathan) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Apabila lembaga-

lembaga pendidikan Muhammadiyah secara konsisten menerapkan sistem pendidikan

yang integratif (sebagaimana dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan) dan dikelola sesuai

dengan amanat persyarikatan, niscaya madrasah dan sekolah Muhammadiyah mampu

menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi,

ilmu agama Islam serta keterampilan dengan baik. Dengan kemampuan-kemampuan

tersebut maka lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah akan dapat melaksanakan

fungsinya sebagai khalifah Allah dengan baik.

C. Pendidikan Muhammadiyah dalam Realita

Gerakan pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah merupakan amal usaha

yang sangat vital dan strategis. Karena itu, Muhammadiyah sebagai salah satu

organisasi Islam terbesar di nusantara sejak awal keberadaannya secara konsisten

mengembangkan pendidikan Islam modern, mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai

dengan Perguruan Tinggi, di seluruh Indonesia. Bersamaan dengan berdirinya

organisasi Muhammadiyah di setiap tempat, maka didirikan pula madrasah dan

sekolah Muhammadiyah. Mata rantai tersebut menjadikan lembaga pendidikan

Muhammadiyah dalam waktu relatif singkat terus mengalami perkembangan yang

sangat cepat dan mengesankan.

Karel A Steenbrink (1994: 57) mencatat bahwa setiap mendirikan Cabang

(Muhammadiyah) Baru, Muhammadiyah sangat identik dengan pendirian sekolah

baru. Pada tahun 1932, Muhammdiyah di Jawa Tengah telah mempunyai 165 sekolah

umum, di samping 68 sekolah agama. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah

merupakan organisasi Islam yang memiliki amal usaha pendidikan paling banyak di

antara organisasi Islam lainnya. Dengan demikian, jumlah lembaga pendidikan yang

Page 12: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

12

dimiliki dan dikelola Muhammadiyah tidak tertandingi oleh organisasi sosial

manapun.

Menurut data dalam Profil Muhammadiyah tahun 2000, “sekolah umum” yang

dimiliki Muhammadiyah adalah; Sekolah Dasar sebanyak 1128, Sekolah Menengah

Pertama 1179, dan Sekolah Menengah Atas 509. Kontribusi Muhammadiyah

terhadap total pendidikan yang diselenggarakan lembaga swasta dan berada di bawah

naungan Departemen Pendidikan Nasional untuk Sekolah Dasar mencapai 10,98%,

Sekolah Menengah Pertama 11,14% dan Sekolah Menengah Umum 9,90% (Said

Tuhuleley, 2003: xii-xiii).

Secara kuantitatif, jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Pimpinan

Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PWM DIY) juga sangatlah

besar. Pada tahun 2007, PWM DIY memiliki 437 buah satuan pendidikan yang terdiri

dari; Sekolah Dasar sebanyak 232 buah, Madrasah Ibtidaiyah 22 buah, Sekolah

Menengah Pertama 86 buah, Madrasah Tsanawiyah 15 buah, Sekolah Menengah Atas

27 buah, Sekolah Menengah Kejuruan 41 buah, Madrasah Aliyah 2 buah, dan Pondok

Pesantren sejumlah 12 buah. Di samping itu, potensi Sumber Daya Manusia (SDM)

yang dimiliki Muhammadiyah juga sangat besar. Pada tahun yang sama,

Muhammadiyah DIY memiliki guru sebanyak 6.848 orang dan siswanya sejumlah

77.561 orang. Muhammadiyah DIY juga memiliki aset tanah seluas 666.207 m²

dengan luas bangunan 264.089 m².

Perkembangan lembaga pendidikan tersebut tentunya tidak terlepas dari nama

besar Muhammadiyah yang telah dikenal oleh masyarakat luas, baik ditingkat

nasional maupun internasional. Artinya, gerakan dan amal usaha Muhammadiyah

dalam bidang pendidikan telah diakui masyarakat yang bukan hanya warga

Muhammadiyah saja, tetapi juga oleh sebagian masyarakat diseluruh dunia. Pada

tingkat lokal, kenyataan tersebut sangat membantu keberadaan pendidikan

Muhammadiyah untuk dapat dipercaya dan diterima masyarakat luas. Besarnya

pengakuan dan kepercayaan masyarakat tersebut dapat dilihat dari latarbelakang

Page 13: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

13

siswa madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang cenderung bersifat “multi

kultural”.

Terkait dengan itu, Imam Prihadiyoko, dkk., menegaskan bahwa adanya

kepemilikan amal usaha pendidikan yang sedemikian besar, kini boleh dikatakan

Muhammadiyah merupakan "raksasa" pendidikan. Muhammadiyah tumbuh menjadi

organisasi yang besar dan rimbun, sehingga banyak orang yang menggantungkan

pengembangan pribadi serta pengetahuan anak-anaknya kepada lembaga pendidikan

Muhammadiyah. Ribuan kader persyarikatan dan anggota masyarakat hingga saat

sekarang telah tercatat sebagai bagian dari hasil keluaran pendidikan Muhammadiyah.

Tetapi seringkali kuantitas pendidikan tidak selalu berjalan seiring dengan

kualitas. Jika dilihat dari aspek kualitas, seiring dengan tuntutan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta kondisi masyarakat yang terus berubah, maka

pendidikan Muhammadiyah belum sepenuhnya dapat mewujudkan visi dan misi yang

diharapkan. Meskipun gerakan peningkatan mutu pendidikan Muhammadiyah telah

dilakukan secara terus-menerus, tetapi dalam praktiknya, upaya peningkatan mutu

pendidikan memang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang

berpengaruh dan problem-problem yang dihadapinya cenderung bersifat kompleks.

Secara obyektif, mutu pendidikan Muhammadiyah memiliki rentang variasi yang

sangat beragam. Di antara ribuan sekolah Muhammadiyah terdapat sejumlah sekolah

yang mutunya dapat dibanggakan. Sebaliknya, di antara sekolah-sekolah tersebut juga

masih banyak lagi yang memiliki mutu rendah dan kondisinya cukup memprihatinkan.

Realitas tersebut tentu saja dapat dipahami, karena suatu amal usaha dengan jumlah

besar pasti di antaranya terdapat sejumlah "produk” yang gagal. Sehingga hal itu

menyebabkan terjadinya mutu produk rata-rata atau secara keseluruhan menjadi

menurun. Tetapi, realitas itu tentunya tidak dapat dijadikan sebagai alasan apologis

terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Apapun alasannya, secara faktual

masih terdapat sekolah Muhammadiyah yang belum dapat memenuhi standar

pendidikan dengan baik dan perlu ditingkatkan lagi mutunya.

Page 14: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

14

Dalam tata kehidupan masyarakat yang terus berkembang muncul pelbagai

tuntutan dari masyarakat terhadap penyediaan jasa, termasuk jasa pendidikan. Ketika

masyarakat menuntut pelayanan pendidikan yang lebih baik, secara otomatis akan

menimbulkan kompetisi dalam pendidikan. Sehingga eksistensi sebuah lembaga

pendidikan sangat tergantung pada tingkat kemampuannya untuk saling berkompetisi.

Faktor penentu kemenangan dalam kompetisi pendidikan tersebut ialah adanya

jaminan kualitas dan nilai lebih yang menjadi daya tarik dari pendidikan itu sendiri.

Untuk memasuki era kompetisi seperti itu, pendidikan Muhammadiyah secara

filosofis telah memiliki pelbagai kekuatan dan kelebihan. Hal itu di antaranya adalah

kekuatan ideologis dan historis di samping kekuatan filosofis dengan paradigma

pendidikan Islam modern yang mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama Islam.

Sepanjang perjalanan sejarah, paradigma integrasi dalam pendidikan Muhammadiyah

merupakan icon pendidikan Islam modern yang dapat dijadikan sebagai daya tarik

bagi masyarakat. Sistem pendidikan Muhammadiyah yang dipandang masyarakat

memiliki nilai lebih justru karena perpaduan dimensi material dengan spiritual,

rasional dengan emosional, serta dimensi normatif dengan sosiologis.

Masyarakat mempercayai dan memilih pendidikan Muhammadiyah lebih

disebabkan karena mereka memiliki sejumlah harapan besar terhadap lulusan yang

berkepribadian baik, menguasai ilmu agama Islam, memiliki kompetensi dalam ilmu

pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan, kemampuan untuk melanjutkan ke

jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kecakapan hidup. Di samping itu, banyak

juga masyarakat yang memilih lembaga pendidikan Muhammadiyah karena alasan

ideologis dan spirit Islam. Mereka tentu merasa lebih yakin dan aman untuk

menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Hal itu

disebabkan adanya harapan bahwa lulusan sekolah Muhammadiyah memiliki

kemampuan ilmu umum yang setara dengan sekolah lain dan sekaligus memiliki

kemampuan ilmu agama Islam yang lebih baik.

Preferensi orang tua siswa dalam memilih sekolah Muhammadiyah telah

menempatkan mata pelajaran ISMUBA sebagai daya tarik yang dimiliki oleh

Page 15: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

15

lembaga pendidikan Muhammadiyah. Hal itu dapat dimaknai bahwa ruh yang

menjadi sumber kekuatan terbesar di sekolah Muhammadiyah justru terletak pada

pengembangan ilmu agama Islam, kepribadian dan akhlak mulia melalui pendidikan

ISMUBA. Oleh sebab itu, sekolah Muhammadiyah tanpa pendidikan ISMUBA akan

terjebak dalam kubangan pendidikan sekarang yang berakar dari paradigma

positivistik yang lebih mengutamakan hal-hal bersifat materiil-ekonomi dan

mengabaikan dimensi non-materiil.

Filosofi pendidikan Muhammadiyah tersebut merupakan cita-cita ideal yang

memerlukan konsep-konsep operasional dalam menunjang kebutuhan tersebut.

Eksistensi pendidikan Muhammadiyah tergantung pada bagaimana menerapkan

konsep filosofis itu dalam proses pendidikan yang dilaksanakan oleh setiap satuan

pendidikan madrasah dan sekolah. Pertanyaannya adalah, apakah madrasah dan

sekolah Muhammadiyah telah mewujudkan visi dan misi pendidikan Muhammadiyah

secara efektif? Efektifitas pendidikan pada madrasah dan sekolah Muhammadiyah

dapat dilihat melalui output dan outcome yang dihasilkannya. Dalam arti lain, lulusan

sekolah dan madrasah Muhammadiyah memiliki integrasi kemampuan kepribadian,

ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan umum serta menjadi kader persyarikatan

yang dapat menunaikan tugas sebagai khalifah Allah dengan baik.

Secara empiris, nampak bahwa proses pengelolaan dan perkembangan madrasah

dan sekolah Muhammadiyah terdapat beberapa fenomena yang mengindikasikan

adanya pergeseran idealisme. Terdapat pertanyaan mendasar dalam masyarakat

tentang eksistensi madrasah dan sekolah Muhammadiyah, yaitu; apakah karakter

pembeda (distingsi) antara madrasah dan sekolah Muhammadiyah dengan lembaga

pendidikan lainnya? Pertanyaan itu menunjukkan adanya kegelisahan dan sekaligus

harapan masyarakat terhadap eksistensi madrasah dan sekolah Muhammadiyah.

Mereka sangat mendambakan pendidikan Muhammadiyah mampu menghasilkan

lulusan yang memiliki integrasi kompetensi ilmu umum dan ilmu agama Islam yang

baik.

Page 16: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

16

Kompetensi lulusan madrasah dan sekolah Muhammadiyah dalam penguasaan

ilmu umum diharapkan dapat setara dengan lulusan madrasah dan sekolah lain, dan

sekaligus memiliki kelebihan kemampuan dalam ilmu agama Islam. Apabila

madrasah dan sekolah Muhammadiyah dikelola dengan baik dan oleh orang-orang

yang memiliki komitmen Muhammadiyah yang kompeten, niscaya harapan tersebut

dapat diwujudkan.

Tetapi dalam kenyataannya, tidak semua madrasah dan sekolah Muhammadiyah

dapat menghasilkan lulusan (outcome) seperti yang diharapkan. Misalnya,

masyarakat mengharapkan lulusan madrasah dan sekolah Muhammadiyah memiliki

kemampuan agama Islam yang lebih baik secara ilmiah maupun amaliah. Namun

dalam realitasnya, terdapat kesenjangan antara harapan dengan kenyataan (tujuan dan

hasil). Terjadinya kesenjangan (disparitas) antara penguasaan ilmu agama Islam dan

pengamalannya, oleh Mochtar Buchori (1991: 289) disebut sebagai kesenjangan

antara gnosis dengan praxis.

Muhammad Ali dan Marpuji Ali telah mengidentifikasi adanya problem-problem

pendidikan Muhammadiyah, antara lain; (1) berkenaan dengan belum tercerminnya

nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, (2) belum sanggup menciptakan

kultur Islami yang representatif sampai dengan kehilangan identitasnya, dan (3)

masih ada di antara madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang nyaris tidak ada

bedanya dengan madrasah dan sekolah lain. Madrasah dan sekolah Muhammadiyah

selama ini telah menghasilkan lulusan yang secara kognitif relatif baik, tetapi

penguasaan tentang ilmu agama Islam tersebut tidak secara otomatis diwujudkan

dalam sikap dan perilaku. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa pendidikan

Muhammadiyah belum efektif dalam mengintegrasikan kemampuan ilmu agama

Islam dengan pengamalannya. Madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang seperti

itu berarti telah kehilangan ruh serta peranan dan fungsinya sebagai amal usaha

Muhammadiyah.

Mengapa hal itu terjadi? Pertanyaan ini memang tidak mudah untuk dijawab

secara pasti. Tetapi melalui pertanyaan tersebut dapat dikemukakan beberapa ilustrasi

Page 17: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

17

yang didasarkan atas realitas dan kecenderungan yang ada di madrasah dan sekolah

Muhammadiyah. Fenomena dan problem yang dikemukakan di atas nampaknya dapat

ditelaah dari pelbagai aspek. Secara filosofis, hal itu terjadi karena di antara madrasah

dan sekolah Muhammadiyah terjebak dalam arus perkembangan pendidikan sekarang

yang didasarkan atas akar pemikiran positivistik, sehingga dengan sadar atau tidak

sadar mereka telah kehilangan idealismenya.

Di samping itu, para pengelola madrasah dan sekolah Muhammadiyah kadang-

kadang hanya berpikir praktis dan jangka pendek, bahkan pragmatis. Idealisme yang

menjadi landasan filosofis sistem pendidikan Muhammadiyah yang telah dirintis oleh

K.H. Ahmad Dahlan yang seharusnya menjadi kerangka acuan, pemberi arah, dan

sasaran yang akan dituju sering diabaikan karena alasan kebutuhan praktis. Dalam hal

ini, dapat dilihat pada contoh kasus, yaitu; terdapat sebagian sekolah Muhammadiyah

yang seharusnya menjadikan mata pelajaran pendidikan ISMUBA sebagai mata

pelajaran pokok dan wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan

Majelis Dikdasmen justru tidak dijalankan dengan baik. Karena alasan pragmatis,

dengan serta-merta sebagian sekolah Muhammadiyah tersebut justru mengurangi

alokasi jam pelajaran ISMUBA hanya untuk menambah mata pelajaran yang diujikan

Nasional. Pengelola madrasah dan sekolah beranggapan bahwa lulus Ujian Nasional

(UN) merupakan target utama, dan di sisi lain pendidikan ISMUBA diposisikan

sebagai pelengkap. Madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang demikian telah

tercerabut dari akar filosofis dan idealismenya, sehingga pada saatnya nanti mereka

akan kehilangan ruh dan identitasnya. Kenyataan itu tentu sangat ironis!

Problem idealisme para pengelola pendidikan Muhammadiyah secara langsung

berimplikasi pada pengelolaan madrasah dan sekolah Muhammadiyah di tingkat

operasional. Ketentuan-ketentuan normatif yang telah ditetapkan oleh Majelis

Dikdasmen sebagai penyelenggara, dan persyarikatan sebagai pemilik madrasah dan

sekolah Muhammadiyah seharusnya merupakan pedoman operasional yang wajib

ditaati oleh setiap pelaksana pendidikan, baik di madrasah maupun sekolah. Tetapi

dalam kenyataannya, para pengelola madrasah dan sekolah Muhammadiyah banyak

Page 18: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

18

yang mengabaikannya. Beberapa kenyataan yang menunjukkan kecenderungan

tersebut dapat dikemukakan, antara lain; para pengelola madrasah dan sekolah

Muhammadiyah tidak melaksanakan standar kurikulum dan pembelajaran ISMUBA,

standar administrasi dan manajemen pendidikan Muhammadiyah, serta kalender

pendidikan dengan konsisten.

Melemahnya idealisme dan ruh pendidikan Muhammadiyah yang ditunjukkan

oleh para pengelola madrasah dan sekolah disebabkan karena rendahnya komitmen

terhadap persyarikatan Muhammadiyah. Berkaitan dengan hal itu, Haedar Nashir

(2007: x) menengarai adanya orang-orang yang berada pada amal usaha

Muhammadiyah (madrasah dan sekolah) yang tidak berideologi Muhammadiyah, dan

bahkan mereka justru menyebarkan paham lain di lembaga pendidikan

Muhammadiyah. Jika hal itu tidak segera di atasi, bukan mustahil pada saatnya nanti

madrasah dan sekolah hanya tinggal nama, sedang isi dan orientasinya telah bergeser

untuk kepentingan orang atau organisasi lain.

D. Menghidupkan Kembali Ruh Pendidikan Muhammadiyah

Sebagian orang mempertanyakan tentang kerangka filosofis dan konstruksi teori

yang dijadikan dasar berdiri dan berkembangnya pendidikan Muhammadiyah.

Pertanyaan itu wajar, karena K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembangun sistem

Muhammadiyah memang tidak banyak meninggalkan warisan karya tulis. Pemikiran-

pemikirannya lebih banyak dituangkan dalam bentuk perbuatan nyata (amaliah).

Dalam bahasa lain, pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam juga

tidak ditulis dalam bentuk ”karya ilmiah”, tetapi ditulis dalam ”karya amaliah”.

Meski demikian, dari karya amaliahnya termasuk dalam bidang pendidikan dapat

dikonstruksikan menjadi konsep atau teori. Selain karya amaliah, dalam penelusuran

Mohamad Ali dan Marpuji Ali tentang “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah:

Tinjauan Historis dan Praksis”, didapatkan naskah pidato terakhir K.H. Ahmad

Dahlan yang berjudul ”Tali Pengikat Hidup”. Naskah pidato tersebut tentunya dapat

dijadikan sebagai acuan dalam memahami pandangan K.H. Ahmad Dahlan tentang

Page 19: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

19

pendidikan. Percikan konsep dari pidato tersebut antara lain penegasan bahwa

pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai

melalui sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah

terhadap kebenaran akali yang di dasari hati yang suci.

Konsep yang termuat dalam ungkapan tersebut ialah pengetahuan tertinggi dalam

pandangan K.H. Ahmad Dahlan yaitu ”pengetahuan tentang kesatuan hidup”.

Pandangan ini memuat konsep integrasi secara luas yang kemudian dapat

ditransformasikan ke dalam pelbagai konsep, antara lain konsep integrasi pendidikan

yang digagasnya. Konsep integrasi pendidikan yang digagas K.H. Ahmad Dahlan

merupakan interpretasi terhadap pengalaman empiris dan kekuatan akal yang

dibimbing dengan petunjuk Allah s.w.t. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia,

dan logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia, tetapi akal itu harus selalu

berada dalam bimbingan petunjuk Allah s.w.t.

Pandangan integrasi itu juga telah dijalankan Muhammadiyah dalam bentuk

penyatuan dimensi prinsip kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan dimensi

ijtihad dan tajdid. Implementasi dari pandangan ini adalah ijtihad pendidikan yang

dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, yaitu dengan sadar mengadaptasi sistem

pendidikan Barat yang diintegrasikan dengan muatan ajaran agama Islam. Dalam

pengelolaan pendidikan, Muhammadiyah di samping menerapkan prinsip organisasi

dan tata kelola yang baik, juga bersikap responsif dan akomodatif terhadap tuntutan

dan perkembangan masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan Muhammadiyah memiliki

peranan yang sangat besar sebagai penggerak dan pengawal pembinaan kehidupan

beragama dan akhlak serta sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Filosofi dan idealisme pendidikan Muhammadiyah dalam perkembangannya, baik

pada tingkat struktural dan operasional menghadapi pelbagai problem dan tantangan.

Pada tingkat struktural kelembagaan, problem dan tantangan utama yang dihadapi

pendidikan Muhammadiyah bersumber dari pergeseran orientasi pendidikan.

Idealisme pendidikan Muhammadiyah yang diformulasikan dalam konsep pendidikan

integratif nampaknya harus berhadapan dengan ancaman arus besar sekularisme-

Page 20: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

20

materialisme yang secara sadar atau tidak menggoda komitmen ber-Muhammadiyah

(Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005: 48). Pendidikan Muhammadiyah yang

terkena imbas dari arus sekularisme-materialisme dapat kehilangan idealisme, visi

dan misi yang seharusnya merupakan dasar berpijak dan arah pelaksanaan pendidikan.

Di lapangan, sebagian madrasah dan sekolah Muhammadiyah juga belum mampu

membentengi percepatan arus kehidupan konsumeristik-materialistik yang didasarkan

atas pemikiran positivistik. Akibatnya, madrasah dan sekolah Muhammadiyah

terjebak dalam arus tersebut dan pada saat itu pula berarti madrasah dan sekolah

Muhammadiyah berkembang keluar dari idealisme serta visi dan misi

Muhammadiyah. Pada tingkat operasional, perubahan arah perkembangan madrasah

dan sekolah Muhammadiyah seringkali diwujudkan melalui beberapa bentuk,

misalnya; ”pengkerdilan” pendidikan ISMUBA, lemahnya pembinaan Pelajar

Muhammadiyah (IPM), bahkan rendahnya tingkat loyalitas terhadap persyarikatan

Muhammadiyah.

E. Penutup

Semua problem-problem tersebut di atas bermuara pada rendahnya komitmen

terhadap pengembangan pendidikan Muhammadiyah, baik di tingkat Kepala

sekolah/madrasah, Majelis Dikdasmen, bahkan pimpinan persyarikatan sendiri.

Persoalan mengenai sebagian madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang ditengarai

adanya sejumlah orang yang memiliki ideologi dan kepentingan lain harus di atasi

dengan pelbagai upaya secara komprehensif, mulai dari aspek fundamental dan

struktural sampai dengan tingkat operasionalnya. Madrasah dan sekolah

Muhammadiyah harus segera dikembalikan kepada idealisme dan kerangka filosofis

pendidikan Muhammadiyah serta dibebaskan dari segala macam bentuk

pendangkalan ideologi Muhammadiyah.

Secara struktural, diperlukan reorganisasi dan tata kelola pendidikan

Muhammadiyah, baik pada tingkat amal usaha (madrasah dan sekolah), Majelis

Dikdasmen, bahkan juga persyarikatan Muhammadiyah. Pada tingkat persyarikatan

Page 21: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

21

dan Majelis Dikdasmen diperlukan sosok pimpinan yang visioner tentang pendidikan

dan didukung oleh orang-orang yang mengurus amal usaha pendidikan yang memiliki

kompetensi, (1) ke-Islaman dan kepribadian, (2) komitmen dan pemahaman yang

baik terhadap Muhammadiyah, (3) organisasi, manajemen, dan kependidikan.

Pada level amal usaha, pengelolaan harus dilaksanakan dan dikembangkan secara

konsisten. Hal itu tentunya sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan arah kebijakan

persyarikatan sebagai standar pendidikan Muhammadiyah. Tata kelola madrasah dan

sekolah harus didasarkan pada Qaidah dan Pedoman Pendidikan Muhammadiyah

serta kebijakan persyarikatan maupun Majelis Dikdasmen. Di dalam Qaidah dan

Pedoman Pendidikan Muhammadiyah telah mengatur batas-batas kewenangan dan

tanggungjawab antara Kepala madrasah/sekolah, Majelis Dikdasmen dan

persyarikatan Muhammadiyah.

Kepala madrasah/sekolah yang melakukan pengembangan lembaganya secara

kreatif dan inovatif seharusnya tetap dilakukan dalam batas-batas kewenangannya

dengan mentaati ketetapan dan kebijakan Majelis Dikdasmen maupun persyarikatan

Muhammadiyah. Untuk mewujudkan tata kelola tersebut diperlukan adanya Kepala

madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang memiliki kualifikasi kompetensi sebagai

berikut; (1) ke-Islaman, (2) kepribadian, (3) ke-Muhammadiyahan, (4) manajerial, (5)

kewirausahaan (sosial), dan (6) sosial serta kerjasama.

Di samping itu, Kepala madrasah/sekolah Muhammadiyah tidak cukup hanya

dengan kemampuan 5 (lima) dimensi kompetensi, sebagaimana model pemerintah

(2007: 8-12), yaitu kompetensi: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi,

dan Sosial. Sebagai Kepala madrasah/sekolah Muhammadiyah juga harus memiliki

kompetensi ke-Islaman dan ke-Muhammadiyahan. Demikian pula dengan guru

madrasah dan sekolah Muhammadiyah. Di samping mereka memiliki kualifikasi dan

empat kompetensi di atas, para guru juga harus memiliki kompetensi ke-Islaman dan

ke-Muhammadiyahan yang baik.

Dalam rangka menghidupkan kembali ruh pendidikan Muhammadiyah yang

integralistik dengan tetap mengembangkan spirit ijtihad dan tajdid, diperlukan

Page 22: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

22

beberapa kebijakan untuk meningkatkan peran dan fungsi pendidikan

Muhammadiyah. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud, meliputi; (1) revitalisasi

pendidikan ISMUBA sebagai ciri khusus Pendidikan Muhammadiyah, (2)

mengembangkan penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan pada madrasah

dan sekolah Muhammadiyah, (3) mengembangkan lingkungan serta kehidupan

madrasah dan sekolah Muhammadiyah dengan norma-norma, nilai-nilai, dan budaya

Islami, (4) meningkatkan peran dan fungsi madrasah dan sekolah Muhammadiyah

sebagai wahana kaderisasi Muhammadiyah, (5) menciptakan tata kelola madrasah

dan sekolah yang baik (good school governance).

Semua persoalan pendidikan Muhammadiyah sebagaimana dikemukakan di atas

memang bukan masalah yang ringan dan mudah. Tetapi, dengan komitmen yang

tinggi, semangat ijtihad dan tajdid yang kuat, serta budaya organisasi yang baik

niscaya tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan. Janganlah kita menjadi seorang

pecundang dalam mengelola madrasah dan sekolah Muhammadiyah yang selalu

mengatakan bahwa “ini mungkin, tapi sulit!”. Akan tetapi, marilah kita menjadi

seorang pendaki yang tangguh dan pemenang, dengan biasa mengatakan “ini sulit,

tapi mungkin!”. Semoga pertolongan Allah s.w.t. senantiasa menyertai kita.

Page 23: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

23

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, M. Naquib. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: KingAbdul Aziz University. Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat DanPraktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. (Terj.) Hamid Fahmy,dkk. Bandung: Mizan

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi MenujuMelenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu

______. dalam Saridjo, Marwan. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam.Jakarta: CV. Amisco

Barnadib, Imam. 1988. Ke arah Perspektif Baru Pendidikan. Jakarta: P2LPTK DitjenDikti Depdikbud

Buchori, Mochtar. 1991. Upaya Penegakan Disiplin Nasional dalam Kerangka Nilai-Nilai Sosial Budaya Indonesia Suatu Analisa Psikososial dalam HimpunanPrasaran dalam Seminar POLRI. Jakarta: PTIK

_______. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Fadjar, Abdul Malik. 1998. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: PenerbitMizan

Jundi, Anwar. 1975. Al-Tarbiyah wa Bina al-Ajyal fi Dlau’ al-Islam. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Libnani

Mahjub, Abbas. 1987. Ushul al Fikr at Tarbawi fi al Islami. Beirut: al Imarat al Arabiyahal Muttahidah

Mukti, Abdul dan Ismail SM. (ed). 2000. Pendidikan Islam Demokratisasi danMasyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mursi, Muhammad Munir. 1975. al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha waTatawwaruha fil Bilad al-‘Arabiyah. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah

Natsir, Muhammad. 1974. Capita Selekta. Jakarta: Bulan Bintang

Pasha, Musthafa Kamal dan A Adaby Darban. 2005. Muhammadiyah sebagaiGerakan Islam. Yogyakarta: Citra Karya Mandiri

Rahman, Fazlur. 1980. Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliotheca Islamica

Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalamKehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan

_______. 1997. Wawasan Al-Qur’an Tafsr Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat.Bandung: Penerbit Mizan

Page 24: MEMBANGKITKAN KEMBALI RUH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

24

Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam DalamKurun Modern. Jakarta: LP3ES

Tilaar. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam PerspektifAbd 21, Jakarta: Penerbit Tera Indonesia

Tuhuleley, Said. 2003. Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan.Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah