Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045digilib.unimed.ac.id/30784/1/6) Konaspi...
Transcript of Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045digilib.unimed.ac.id/30784/1/6) Konaspi...
Pengantar Proceeding Konaspi VII.
Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, akhirnya melalui kesiapan kita semua buku Proceeding Konaspi VII
dapat terbit. Untuk itu, rasa syukur patut kiranya kita panjatkan kehadirat Allah Swt.
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, demikian
halnya, salawat sudah sepantasnya kita sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad
saw. Semoga kita mendapatkan syafaatnya di Hari Akhir kelak. Amien.
Diperkirakan sejak 2010 sampai 2035 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi,
yakni populasi usia produktif paling besar sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Pada
periode ini, Indonesia akan melakukan investasi besar-besaran dalam bidang Sumber
Daya Manusia, sebagai usaha untuk menyambut satu abad Indonesia Merdeka, pada
tahun 2045. Itulah sebabnya mengapa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) sangat fokus menyambut momentum ini dengan melakukan pelbagai
gerakan pembangunan karakter bangsa. Bagaimanapun pendidikan karakter meru-
pakan kunci sukses membangkitkan Generasi Emas alias Generasi 2045.
Lantas apakah pendidikan karakter itu? Sebagaimana ditulis Lickona (1992) bahwa
pendidikan karakter sangat terkait dengan konsep moral (moral knowing), sikap
moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Jika ketiga hal ini
diimplementasikan lebih jauh, maka nilai-nilai karakter dapat diwujudkan melalui
sikap antara lain: cinta kepada Allah Swt. dan alam semesta beserta isinya; tanggung
jawab; disiplin; mandiri; jujur; hormat; santun; kasih sayang; peduli; kerja sama;
percaya diri; kreatif; kerja keras; pantang menyerah; keadilan;baik dan rendah hati;
toleran; cinta damai; dan persatuan.
Nilai-nilai inilah yang menjadi identitas Generasi 2045. Generasi 2045 merupakan
generasi yang jauh dari perilaku amoral, destruktif, anarkis, dan korup, serta sangat
dekat dengan perilaku cerdas spiritual, emosional, intelektual, dan sosial. Dengan
demikian untuk mewujudkan tercapainya Generasi 2045 ini tidak semudah kita
membalikkan telapak tangan. Segala upaya, baik itu pemikiran ataupun tanaga harus
dioptimalkan seintegral dan sedemikian rupa. UNY sendiri sebagai Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) di lingkungan Kemdikbud mengeluarkan slogan Leading in Character
Education sebagai bukti dukungan institusi pada nilai-nilai pendidikan karakter.
Demikian halnya dengan Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII
tahun 2012 bertemakan “Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045”
merupakan salah satu bentuk dukungan institusi pendidikan yang bergabung dalam
Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) dan
sekaligus upaya strategis untuk terus menyosialisasikan pentingnya pendidikan
karakter menuju terbentuknya Generasi 2045.
Dengan menghadirkan keynote speakers, seperti Prof. Dr.Ing. BJ Habibie (mantan
Presiden RI); Prof. Dr. Ir. Musliar Kasim, MS (Wamendikbud Bidang Pendidikan);
Dr (HC.) Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur DIY); Prof. Dr. Ir. Djoko
Santoso (Dirjen Dikti); Dr. (HC.) Ary Ginanjar Agustian (Pendiri The ESQ Way
165); dan Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed. (Tokoh Pendidikan), dan pemakalah
utama, serta pemakalah pendamping konvensi ini diharapkan mampu menghadirkan
beragam perspektif mengenai pendidikan karakter dalam upaya membentuk Generasi
2045. Saya berharap kekayaan perspektif ini mampu mendorong setiap insan
pendidikan, seperti pemerintah, guru, dosen, pemerhati pendidikan, mahasiswa untuk
terus mewacanakan pentingnya nilai-nilai pendidikan karakter dalam menjawab
tantangan masa kini dan masa depan bangsa ini.
Oleh karena itu, kehendak untuk mem-publish hasil-hasil pemikiran Konaspi VII
yang diselenggarakan pada 31 Oktober s.d. 3 November 2012 dalam sebuah
Proceedings merupakan hal yang patut kita apresiasi. Betapa tidak, pemikiran para
enam (6) pemakalah kunci, 15 pemakalah utama, dan 90 pemakalah pendamping
merupakan kekayaan yang sangat berharga. Selain itu, upaya ini merupakan tradisi
yang patut dilanjutkan karena karya yang dibukukan merupakan cara yang paling
strategis untuk mengekalkan ilmu pengetahuan. Jika tidak, maka pemikiran/ilmu akan
sirna bersama angin—Scripta Manent Verba Volant—yang tertulis yang abadi; yang
tak tertulis sirna bersama angin.
Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, Oktober 2012
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta
Selaku Ketua Umum KONASPI VII 2012,
Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
NIP. 19570110 198403 1 002
DAFTAR ISI
Membangun Keunggulan Kompetitif Sumber Daya Manusia di Era Milenium Ketiga
Indonesia Melalui Penciptaan Human Capital dan Sosial Capital : Tinneke E.M.
Sumual
1
Pendidikan Agama Berwawasan Nusantara sebagai Peningkat Pendidikan Karakter
Menyongsong Seabad Kemerdekaan 2045 : Hamiyati
11
Menggagas Sosok Ideal Generasi Indonesia 2045 yang Berkarakter dan Kompetitif:
Achmad Dardiri
25
Sosok Ideal Manusia Indonesia Generasi 2045 Dilihat dari Representasi Ideologi
Wacana Tujaqi : Fatmah AR. Umar
35
Sosok Manusia Indonesia Unggul dan Berkarakter dalam Bidang Teknologi sebagai
Tuntutuan Hidup Era Globalisasi : Mukhadis
49
Sosok Ideal Manusia Indonesia Generasi Emas 2045 : Anik Ghufron 70
Evaluasi Sosok Pendidik Dalam Perspektif Lintas Profes: Dr. Edy Supriyadi 77
Karakter Mahasiswa Dalam Perannya Sebagai Ko-Produser Jasa Pendidikan Tinggi
Dan Penerus Bangsa : Meta Arief
86
Sosok Ideal Lulusan Pendidikan Vokasi Indonesia Generasi 2045 : Bernadus Sentot
Wijanarka
100
Pendekatan Technosophy Di Era Singularitas : ‘Membentuk Manusia Unggul
Berjiwateknosof Ditengah-tengh Gempuran Teknologi Tinggi : Made Agus
Dharmadi, S.Pd., M.Pd.
110
Sosok Ideal Manusia Indonesia Emas 2045 (Kenyataan dan Harapan) : Dr. Elly
Malihah, M. Si
120
Karakter Budaya Akademik dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Ekonomi FE Universitas Negeri Medan : Thamrin
132
Upaya Membentuk Generasi Penerus Bangsa yang Berkarakter Melalui Jalur
Pendidikan : Suci Rahayu
141
Stres Inoculation Training (Sit): Solusi Efektif Mengelola Stres Belajar Siswa Menuju Generasi Unggul dan Berkarakter : Farida Aryani
147 Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional : Haerani Nur 161 Karya Sastra sebagai Wahana Pendidikan Karakter : Prof. Dr. Maryaeni, M.Pd. 171 Model Pembelajaran 'Tumpang Sari' untuk Membantu Guru Mengatasi Kesulitan dalam Menerapkan Pendidikan Karakter Terintegrasi : Dr. Moeljadi Pranata, M. Pd.
176 Kajian Konsep Pendidikan Karakter Menurut K.H. Ahmad Dahlan Dan Ki Hadjar Dewantara : Dyah Kumalasari
194
Pengembangan Penyelenggaraan Sekolah Dasar Bilingual Berkarakter di Bali Utara: Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A
204
Pembentukan Insan yang Berkarakter Melalui Penerapan Multilevel Role Model Berlandaskan Trikaya Parisudha di Sekolah : Putu Budi Adnyana
222 Strategi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Melalui Penerapan Assessment for Learning (AFL) Berbasis Higher Order Thinking Skills (Hots) : Widihastuti
231 Pendidikan Transformatif untuk Menyiapkan Generasi Berkarakter : Zainuddin 246 Rekulturisasi Pendidikan Karakter Kewirausahaan di SMK Melalui Peran Kepala Sekolah : Nuryadin Eko Raharjo, M.Pd.
258 Peran Pendidikan Fisika dalam Pelestarian Pendidikan Karakter : Suparwoto 268 Pendidikan Karakter bagi Generasi Muda di Era Digital : Ariefa Efianingrum 279 Membentuk Karakter Anti Korupsi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama di Sulawesi Selatan (Berbasis Kearifan Lokal) : Asniar Khumas dan Lukman
290 Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Warga Negara Indonesia Era Global : Samsuri
301 Studi Tentang Praktek Plagiat di Kampus sebagai Langkah Srategis dalam Upaya Pembentukan dan Pengembangan Karakter Bangsa : Nonny Basalama
313 Desain dan Konten Kurikulum Pendidikan Dasar Berbasis Karakter untuk Generasi Bangsa 2045 : Dr. Mohammad Imam Farisi, M.Pd.
329 Personal Prophetic Leadership Sebagai Model Pendidikan Karakter Bersifat Intrinsik Atasi Korupsi : Ahmad Yasser Mansyur
343
“Living Values Educational Program” dalam Pembelajaran Sastra Anak untuk Meningkatkan Karakter Siswa SD : Muh. Arafik
359 Reorientasi Inovasi Pembelajaran yang Berbasis Hatinurani Dalam Rangka Pembinaan Karakter Peserta Didik : Mohammad Efendi
375 Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Peningkatan Kesadaran Risiko Siswa (Tantangan Terhadap Isi dan Modus Pembelajaran PKn) : Ridwan Effendi
384 Pengembangan Karakter Bangsa di Akademi Kepolisian : Subagyo 400 Model Pendidikan Karakter Studi Hukum ( Pendidikan Karakter Berbasis Pada Hukum Responsif – Progresif Pancasilais) : Rodiyah
412 Membangun Karakter Berbasis Nilai Konservasi (Kasus Unnes Semarang) : Masrukhi
431
Pengembangan Pendidikan Karakter Berorientasi Budaya Lokal di Sekolah Dasar : Drs. Ahmad Samawi, M.hum.
444
Pendidikan Karakter dan Pemberdayaan Kearifan Lokal Dalam Paud : Syamsul Bachri Thalib
456
Peranan Pendidikan Matematika Realistik dalam Pembentukan Siswa yang Literat dan Berkarakter : Sugiman
472
Model Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Budaya Sekolah Di Sekolah Islam Terpadu Salman Al Farisi Yogyakarta : Muh Khairuddin
481 Mengembalikan Ruh Pendidikan Menuju Kebermaknaan: Bersumber Kearifan Lokal Berwawasan Global Menuju Insan Berkarakter, Taqwa, Mandiri, Dan Cendekia : Sukarno
491
Teknik Bibliokonseling untuk Mengasah Kesadaran akan Kepedulian Siswa : Nur Hidayah
500
Kelas Kewirausahaan Untuk Sekolah Menengah Kejuruan Tata Boga Sebagai Upaya Menyiapkan Generasi 2045 : Badraningsih Lastariwati
511 Fungsi Kultur Sekolah Menengah Atas untuk Mengembangkan Karakter Siswa Menjadi Generasi Indonesia 2045 : Moerdiyanto
520 Penguatan Soft Skills Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah (Ppm) Sebagai Upaya Peneguhan Karakter Pekerja Bidang Boga : Dr. Siti Hamidah
534 Model Pembelajaran Fisika Untuk Mengembangkan Kreativitas Berpikir Dan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal Bali : I Wayan Suastra
544
Strategi Menyiapkan Generasi 2045 Melalui Pendidikan Karakter Berbasis Taman
Pendidikan Al-Qur’an: Pengalaman Tpa Mta Surabaya : Ali Imron
561 Keterkaitan Pendidikan Konsumen Dengan Pembentukan Karakter Bangsa : Sri Wening
568
”Komik” sebagai Media Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar : Dr. Wenny Hulukati, M. Pd.
578
Peran Pendidikan Karakter Dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral : Dr. Deny
Setiawan, M. Si.
585
Strategi UNG Menyiapkan Guru Profesional Melalui Program PPG SM-3T ‘Maju
Bersama Mencerdaskan Indonesia’ : Syarifuddin Achmad
596
Pembelajaran Berargumentasi sebagai Wahana Pembentuk Keberadaban : Dawud 608 Pendidikan Karakter Berbasis Multiple Intelligence : Prof. Dr. Abd. Kadim Masaong, M. Pd.
623
Pendidikan Berbasis Karakter Membangun Mental Yang Sehat : Dr. Awalya, M. Pd. Kons.
634
Pendidikan Karakter Untuk Menyiapkan Generasi 2045 : Prof. Dr. Belferik Manullang
648
Fostering Character Education Through Mediating Value Based Physical Activities :
Bambang Abduljabar and Sri Winarni
658
Pendidikan Karakter Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia 2045 : Fathur Rokhman 668
Pendidik Seni yang Kompeten untuk Menyiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045 : Sofyan Salam
681
Kompetensi Nyata yang Harus Dimiliki oleh Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai Ujung Tombak Pembentukkan Karakter Anak Bangsa Sejak Usia Dini : Karmila Machmud, M. A., Ph. D
690 Guru Inovatif dan Kreatif untuk Menyiapkan Generasi 2045: Haryanto,S.Pd.Si. 701 Sosok Guru Ideal dalam Pembangunan Karakter Bangsa: Terus Menerus Belajar : Djamilah Bondan Widjajanti
708
Upaya Membudayakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan untuk
Menjamin Terwujudnya Guru Profesional : Sukir
715 Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas Antara Harapan dan Kenyataan : Dr. I Wy Dirgayasa, M.Hum
726
Tantangan Kompetensi Guru SD dalam Menangani Anak Kesulitan Membaca Permulaan ( Analisis Kebutuhan Guru SD di Kota Madya Yogyakarta) : Pujaningsih, M. Pd.
740
Akukah, sosok Guru yang Dirindukan ? : Novri Y. Kandowangko 754
Pembentukan Karakter Calon Guru Teknik (SMK) Yang Humanis Melalui
Pengembangan Pendidikan Afeksi Model Konsiderasi dan Rasional : Wahid
Munawar
761
Membangun Karakter Bangsa Indonesia Masa Depan Melalui Revitalisasi Pendidikan Agama Di Sekolah : Dr. Marzuki, M. Ag.
772
Pengembangan Model Inkulkasi Untuk Mempersiapkan Calon Pendidik Profesional yang Berkarakter : Dr. Kun Setyaning Astuti, M. Pd.
785
Transformasi Karakter Transendensi Calon Pendidikan dan Tenaga Kependidikan :
Prof. Dr. Sri Milfayetty, M. S. Kons.
800
Pembentukan Karakter Kerja Calon Guru Vokasi di LPTK Melalui Pembelajaran Berbasis Kerja di Era Indonesia Emas : Budi Tri Siswanto
809
Sistem Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi Untuk Mempersiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045 : Hasanah
821
Rekonstruksi Desain Sistem Pendidikan untuk Menghasilkan Guru Yang Kompeten dalam Membangun Generasi 2045 yang Berkarakter : Lisyanto
830 Leadpreneurial: Sebuah Intangible yang Diperlukan oleh Guru (Pendidik) untuk Menyiapkan Generasi Indonesia 2045 : R.A. Hirmana Wargahadibrata, Drs., M. Sc. Ed, CHRP
841
Pendidikan Profesi Guru, Problematika, Dan Alternatif Solusi : Luthfiyah Nurlaela 849
Pengembangan Model Pre, In, dan On Service Education untuk Meningkatkan Mutu Tenaga Pendidik Dan Kependidikan di Indonesia : Bambang Budi Wiyono
858
Desian Kerja untuk Staff Pengajar untuk Mencapai Kesesuaian dan Kepuasan Kerja : Setyabudi Indartono
872
Manajemen Strategi Pendidikan Kejuruan dalam Menghadapi Persaingan Mutu : Tri Atmadji Sutikno
887
Model Pelatihan untuk Mengembangkan Kompetensi Kepribadian Guru Melalui PLPG : Sultoni
896
Kemampuan Guru Pendidikan Jasmani dalam Menyusun Rencana Dan Praktek
Pembelajaran Bervisi Karakter: Dimyati
910
Inovasi Sinergitas Triple Helix dalam Menciptakan Generasi Emas Indonesia yang
Berbudi Luhur : Raghel Yunginger
917
Evaluasi Kinerja Pengawas Sekolah Menengah di Provinsi Gorontolo : Dr. Hamka A.
Husain, M.Pd.
924
Pengembangan Guru Berkarakter dalam Perspektif Otonomi Daerah yang Akuntabel
: Dr. Bambang Ismanto, M.Si
939
Menerobos Absurditas Manajemen Pendidikan : Dra. Meike Imbar, M. Pd. 948 Keterampilan Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Berkarakter dalam Upaya Peningkatan Mutu Pembelajaran : Karwanto
955
Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Era Otda : Nugroho 970
Profesionalitas Pamong Belajar dan Pola Pengelolaan untuk Peningkatannya : Dr. M.
Djauzi Moedzakir, M. A.
980
Disain Diklat Prajabatan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUDNI,
Menyiapkan Fasilitator Bagi Generasi 2045 : Supriyono
990
Penguatan Komputer Profesional Tenaga Edukatif sebagai Salah Satu Alternatif
Peningkatan Daya Saing Pendidikan : Prof. Dr. J. F. Senduk, M. Pd.
1003
Model Manajemen Sinergis, Seimbang, dan Setara Antara Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk Mewujudkan Program Continuous Profesional Development : Nurul Ulfatin
1015
Strategi Pengembangan Kualifikasi dan Kompetensi Guru Program Produktif SMK : Samsudi
1026
Preparing Education for 21st Century: Inclusive and Education for Sustainable
Development (ESD) Case Studies in SMP Tumbuh Yogyakarta (Menyiapkan Pendidikan di Abad 21: Inklusi dan Pendidikan Bagi Pembangunan Yang Berkelanjutan Studi Kasus di SMP Tumbuh Yogyakarta) : Sari Oktafiana, S. Sos.
1032
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
1
Rekonstruksi Desain Sistem Pendidikan untuk Menghasilkan Guru Yang Kompeten dalam Membangun Generasi 2045 yang
Berkarakter
Lisyanto Universitas Negeri Medan
Abstrak
Guru memiliki peran sentral sekaligus sebagai ujung tombak keberhasilan pembelajaran
di sekolah dan pendidikan nasional. Saat ini kualitas calon guru maupun guru di Indonesia
masih relatif rendah dan jauh dari harapan, terbukti dari nilai hasil tes yang diberikan
kepada guru CPNS diperoleh skor rataan 37.82 untuk Guru Kelas dan 14.34 untuk guru
Matematika SMA. Di samping itu, uji kompetensi awal yang dilakukan kepada guru juga
menunjukkan skor rataan nasional hanya sebesar 42.25. Rendahnya kompetensi guru
mengindikasikan masih ada persoalan mendasar terkait dengan sistem pendidikan dan
pembinaan guru saat ini.
Rekonstruksi desain sistem pendidikan guru dilakukan dengan menganalisis kekurangan
dan keunggulan sistem pendidikan guru saat ini yang mencakup kurikulum, mekanisme
seleksi, standarisasi, dan kemitraan serta mempertimbangkan semakin meningkatnya animo
masyarakat untuk menjadi guru.
Sistem pendidikan guru ke depan dikembangkan dengan mengintegrasikan pendidikan
akademik yang dilaksanakan berbasis kampus yang berujung diperolehnya kualifikasi
akademik S-1/D4, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan profesi dalam bentuk praktek
lapangan yang otentik (internship) di sekolah yang berujung diperolehnya sertifikat pendidik.
Lembaga pendidikan guru harus dibatasi jumlahnya dan distandarisasi masukannya,
prosesnya, dan keluarannya. Tes minat, bakat, dan seleksi fisik perlu dilakukan dalam proses
seleksi penerimaan mahasiswa calon guru yang kompeten.
Kata kunci : guru, berkarakter, pendidikan
1. Pendahuluan
Kini dan tahun-tahun mendatang Indonesia sangat merindukan lahirnya generasi penerus
bangsa yang cerdas dan kompetitif. Cerdas dalam arti komprehensif, yakni cerdas spiritual,
cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Kecerdasan saja
tidak cukup sebagai modal untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa, terlebih
dalam menghadapi dinamika persaingan global. Oleh karena itu, generasi yang akan datang
juga harus memiliki kepribadian yang unggul, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang
menyerah, inovatif, berorientasi global, dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Pendidikan merupakan jalur strategis untuk mengakselerasi lahirnya generasi yang cerdas
komprehensif dan kompetitif. Urgensitas pendidikan dalam membangun generasi yang
unggul tersebut tentunya didasari oleh realitas bahwa negara-negara yang memiliki kinerja
pendidikan bermutu mampu mentransformasi masyarakatnya menjadi bangsa yang maju,
makmur, dan sejahtera sehingga eksistensinya selalu disegani dan diperhitungkan oleh bangsa
lain.
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
2
Bagaimanakah dengan Indonesia ?. Ditinjau dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia, hingga kini penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih belum menunjukkan
hasil yang menggembirakan. Laporan UNDP (2011) menunjukkan bahwa IPM Indonesia
berada pada peringkat 124 dari 187 negara yang disurvey dan hanya menempati posisi ke-6
dari 10 negara yang tergabung dalam Asean. Pada lingkup negara-negara Asia Tenggara, IPM
Indonesia berada di bawah Singapura (26), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand
(103), dan Filipina (112). Peringkat IPM Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (128),
Laos (138), Kamboja (139), dan Myanmar (149).
Banyak faktor/komponen yang mempengaruhi lemahnya kinerja pendidikan di republik
ini, di antaranya: masukan/calon peserta didik, sarana dan prasarana, pembiayaan, kurikulum,
pengelolaan, pendidik dan tenaga kependidikan, sistem informasi, penjaminan mutu, lulusan,
dan lain-lain. Komponen-komponen tersebut tidak berdiri sendiri secara terpisah, namun
saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya sehingga membentuk sebuah sistem yang
kompleks.
Dari sejumlah komponen sistem pendidikan di atas, pendidik atau guru merupakan
komponen penting dan faktor penentu untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan
berdaya saing. Guru memiliki peran sentral dalam pendidikan karena gurulah yang berada di
garis terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Guru juga sebagai
sutradara sekaligus aktor dalam proses pembelajaran karena guru berperan sebagai desainer
sekaligus pelaksana berbagai skenario pembelajaran. Oleh karena itu guru merupakan ujung
tombak dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran maupun pendidikan.
Mengingat begitu sentralnya posisi dan peran guru dalam pendidikan dan pembelajaran,
maka guru wajib memenuhi kriteria dan standar yang ditetapkan. Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (PP No. 74 tahun 2008).
Namun demikian, standar kualifikasi akademik guru minimal S-1/D4 belum dapat terpenuhi
dengan baik. Jalal (2008) diacu dalam Kadarohman dan Nurihsan (2008) memaparkan bahwa
dari 2.783.321 guru yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia mulai dari guru TK sampai
SLTA, baru 1.043.837 (37.50%) yang telah memiliki kualifikasi akademik S-1/D4,
sedangkan sebesar 1.739.484 (62.50%) masih belum berkualifikasi S-1/D4.
Di samping itu, hingga saat ini kompetensi calon guru maupun guru di Indonesia masih
relatif rendah dan jauh dari harapan. Tes yang dilakukan terhadap guru-guru baru pada saat
mengikuti pelatihan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sesuai dengan jenjang sekolah
dimana guru baru tersebut akan ditugaskan diperoleh hasil antara lain: 1) dengan soal
berjumlah 100 butir, Guru Kelas SD memperoleh skor tertinggi 77, skor terendah 5, rataan
37.82, dan standar deviasi 8.01, 2) dengan soal berjumlah 40, guru Matematika SMA
memperoleh skor tertinggi 36, skor terendah 2, rataan 14.34, dan standar deviasi 4.46, dan 3)
dengan soal berjumlah 40, guru Sosiologi SMA memperoleh skor tertinggi 30, skor terendah
1, rataan 19.09, dan standar deviasi 4.93 (Direktorat Tenaga Kependidikan 2004, diacu dalam
Zamroni, 2008). Uji Kompetensi Awal (UKA) yang dilakukan kepada guru juga
menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan, yakni secara nasional skor tertinggi 97,
skor terendah 1, dan rataan 42.25 (Kompas, 2012).
Rendahnya skor rataan hasil tes yang diberikan kepada calon guru CPNS maupun UKA
untuk guru-guru yang akan disertifikasi tersebut mengindikasikan bahwa masih ada persoalan
mendasar terkait dengan sistem pendidikan dan pembinaan guru saat ini. Oleh karena itu
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
3
tulisan ini akan membahas rekonstruksi desain sistem pendidikan guru, dengan harapan
mampu menghasilkan guru yang kompeten dalam membangun generasi mendatang yang
berkarakter.
2. Pembahasan
2.1 Pendidikan, Globalisasi, dan Guru
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh
karenanya pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat yang dalam pengimplementasiannya
dilakukan dengan memberikan keteladanan dan membangun kemauan, serta mengembangkan
potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran
paradigma dalam pendidikan yakni dari pengajaran ke pembelajaran. Paradigma
pembelajaran memberikan peran lebih banyak peserta didik untuk mengembangkan potensi
dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang mempunyai kekuatan spiritual
keagamaan, berahlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat
jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Agar pendidikan dapat diselenggarakan sesuai prinsip dan paradigma di atas, diperlukan
acuan dasar pendidikan yang mencakup acuan filosofis maupun acuan normatif baik yang
bersifat kultural maupun lingkungan strategis. Acuan filosofis didasarkan pada abstraksi
acuan hukum dan kajian empiris tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Dantes
(2008) mengemukakan bahwa secara filosofis pendidikan perlu memiliki beberapa
karakteristik berikut (1) mampu mengembang-kan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban,
(2) mendukung diseminasi dan nilai keunggulan, (3) mengembangkan nilai-nilai demokrasi,
kemanusiaan, keadilan dan keagamaan, serta (4) mengembangkan secara berkelanjutan
kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral. Karakteristik tersebut
tentunya tidak terlepas dari cita-cita pembangunan pendidikan pada masa-masa mendatang,
yakni menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif.
Pendidikan kita juga harus memiliki acuan nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata
nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai
instrumental sampai pada nilai operasional. Pada tingkat nilai ideal, acuan pendidikan adalah
pemberdayaan kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai penting
yang perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan, kesadaran
berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, martabat dan
kebanggaan. Pada tingkat operasional, pendidikan harus menanamkan pentingnya kerja keras,
sportivitas, kesiapan bersaing, kemampuan bekerja sama, dan disiplin diri.
Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan global. Dalam
lingkungan nasional, acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita harus
mampu menjawab tantangan reformasi dan membawa negeri ini keluar dari berbagai krisis.
Pada lingkungan global, pendidikan kita harus mampu melahirkan insan yang memiliki filter,
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
4
imunitas, dan daya saing yang tinggi dalam menghadapi virus penyerang nasionalisme dan
budaya ketimuran. Hal tersebut merupakan unsur penting bagi generasi mendatang, karena
dalam era global selalu terjadi “guyuran” informasi yang sangat deras sehingga mampu
menerobos dan melintasi dinding pemisah antar daerah, pulau, dan bahkan antar negara. Pada
era ini, jarak yang membatasi posisi antar negara di belahan dunia bukan lagi merupakan
kendala atau hambatan yang berarti. Dunia luas dapat ditransformasikan seolah-olah menjadi
sebuah desa atau perkampungan kecil yang dapat dijangkau dengan cepat dari segala arah,
sehingga setiap peristiwa yang terjadi pada suatu daerah atau negara dapat dipantau dengan
mudah oleh negara lain seketika itu juga.
Globalisasi pada prinsipnya adalah proses masuknya segala aspek kehidupan ke dalam
lingkup dunia luas. Globalisasi merupakan faktor penting yang perlu dicermati, karena telah
menjadi realitas mulai abad ke-21 yang pengaruhnya sangat kuat terhadap segenap sektor
kehidupan, termasuk sektor pendidikan. Ciri utama dari era global adalah perubahan
berlangsung sangat cepat. Begitu cepatnya perubahan terjadi, sehingga kita sendiri sering
tidak sadar bahwa diri kita juga telah berubah.
Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan ke depan harus mampu melahirkan insan-
insan yang memiliki kemampuan abstrak simbolik, daya kritis, kemampuan berkomunikasi
serta bekerjasama, dan kemampuan memanfaatkan teknologi modern. Di samping itu juga
dituntut kekuatan moral yang kokoh untuk menjaga jati diri sebagai suatu bangsa berdaulat
dan bermartabat di tengah pusaran global dengan modal sosial yang lentur untuk
memungkinkan hidup berdampingan dengan berbagai bangsa dan masyarakat yang memiliki
perbedaan baik sosial, politik, ekonomi, kultural, dan keyakinan.
Guru memiliki peran sentral sekaligus menjadi ujung tombak keberhasilan pembelajaran di
sekolah dan pendidikan nasional. Hattie (2003) diacu dalam Dikti (2012) mengatakan bahwa
guru memiliki sumbangan terbesar terhadap peningkatan mutu pembelajaran dan pencapaian
hasil belajar peserta didik di sekolah dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya. PP No. 74
Tahun 2008 tentang Guru menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Oleh karenanya guru wajib memiliki kompetensi agar mampu
melaksanakan peran, tugas, dan fungsinya sebagai guru profesional. Kompetensi yang
dimaksud adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional.
2.2 Potret Sekilas Pendidikan Guru
Penyelenggaraan pendidikan guru di tingkat perguruan tinggi mulai berlangsung sejak
tahun 1954 dengan didirikannya Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung,
Malang, Batu Sangkar, dan Tondano untuk mendidik calon guru SLTA, meskipun pendidikan
guru MIPA telah dilaksanakan tahun 1947 di Fakulteit van Exacte Wetenschap (sekarang
FMIPA ITB). Pada tahun 1957 PTPG bergabung ke Universitas menjadi FKIP. Selanjutnya
pada tahun 1963 FKIP tersebut berdiri sendiri menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP).
Tahun 1989 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ditugasi mendidik calon
guru TK dan SD melalui program Diploma II PGTK dan PGSD. Kemudian pada tahun 2006,
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
5
PGTK berkembang menjadi program S-1 PGPAUD dengan kompetensi lulusan sebagai
pendidik pada Kelompok Bermain atau menjadi guru Taman Kanak-Kanak. Pada tahun 1999,
IKIP diberikan perluasan mandat untuk menyelenggarakan pendidikan yang tidak saja
berkonsentrasi kepada ilmu-ilmu kependidikan tetapi juga ilmu-ilmu non kependidikan dalam
wadah Universitas.
Pendidikan guru ketika itu dilaksanakan dengan sistem concurrent atau terintegrasi, yakni
pola penyiapan guru dilakukan secara terintegrasi antara pendidikan akademik dan
pendidikan profesi. Ketika itu, calon guru SMA dan SMK disiapkan melalui program
pendidikian Sarjana (S-1) dengan sistem terintegrasi ini, dimana setelah mahasiswa keguruan
menamatkan studinya pada program studi tertentu akan memperoleh ijazah dan Akta IV. Bagi
lulusan S-1 yang berlatar belakang pendidikan non keguruan dan berminat menjadi guru
maka Sarjana non kependidikan tersebut dapat mengikuti program Akta IV. Kurikulum yang
digunakan pada sistem terintegrasi saat itu mencakup pengembangan kompetensi akademik
kependidikan dan kompetensi akademik bidang studi yang diperkuat dengan pengembangan
jati diri bangsa Indonesia melalui Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) dengan maksud untuk
menyiapkan pendidik yang religius, patriotik, dan berkepribadian luhur. Pengelompokan
kurikulumnya terdiri atas MKDU, Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK), Mata Kuliah
Penguasaan Bidang Studi (MKPBS), dan Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar (MKPBM).
MKDK dan MKPBM merupakan mata kuliah untuk menyiapkan calon pendidik agar
menguasai kompetensi akademik kependidikan, sedangkan MKPBS merupakan mata kuliah
untuk menyiapkan calon pendidik menguasai kompetensi akademik bidang studi.
Perkembangan selanjutnya bahwa dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 42
menyatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai
dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen mempersyaratkan bahwa guru profesional harus memiliki sertifikat pendidik. Dengan
demikian Pendidikan Profesi Guru (PPG) menjadi tuntutan pasca lahirnya kedua undang-
undang tersebut. Namun, hingga saat ini pelaksanaan PPG belum berjalan sesuai dengan
harapan. Lulusan LPTK saat ini masih belum dapat langsung mengikuti pendidikan profesi
setelah menyelesaikan pendidikan akademiknya
2.3 Rekonstruksi Desain Sistem Pendidikan Guru
Secara umum, komponen sistem pendidikan untuk menghasilkan guru maupun yang bukan
guru tidak jauh berbeda. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai
penghasil guru memiliki sistem pendikan yang terdiri atas masukan, proses, dan keluaran
(Gambar 1). Begitu juga untuk lembaga pendidikan non LPTK. Komponen masukan terdiri
atas visi dan misi lembaga, tujuan dan sasaran, mahasiswa, sumberdaya manusia, kurikulum,
sarana dan prasarana, dan pembiayaan. Komponen proses mencakup tatapamong, pengelolaan
program, kepemimpinan, proses pembelajaran, suasana akademik, penelitian dan
pelayanan/pengabdian kepada masyarakat. Komponen keluaran meliputi lulusan dan keluran
lainnya seperti publikasi hasil penelitian, prototipe, perangkat lunak, dan lain-lain.
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
6
Gambar 1. Komponen sistem perguruan tinggi (BAN PT, 2008).
Perbedaan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan antara kedua jenis lembaga
pendidikan (LPTK dan non LPTK) terletak pada komponen masukan instrumentalnya
terutama kurikulum. Sehubungan dengan hal tersebut komponen yang perlu direkonstruksi
dalam sistem pendidikan guru adalah kurikulum, sistem perekrutan/seleksi mahasiswa,
standarisasi, dan kemitraan.
2.3.1 Rancangan Model Kurikulum Pendidikan Guru
Hoban (2004) dalam Zamroni (2008) mengajukan empat aspek sebagai pola
pengembangan pendidikan guru yakni (1) berbasis kurikulum pendidikan tinggi, (2) berbasis
jaringan kerja antara sekolah dan perguruan tinggi, (3) jaringan sosio-kultural di antara
peserta didik, dan (4) jaringan individu yang memperteguh jati diri seorang guru. Dewasa ini
kurikulum pendidikan guru cenderung berbasis pada kurikulum pendidikan tinggi yang
cenderung teoritis. Sebaliknya, aspek praktik dan pemahaman terhadap sekolah sebagai dunia
kerjanya amat lemah. Oleh karena itu, Pendidikan guru ke depan akan mengintegrasikan
pendidikan akademik yang dilaksanakan berbasis kampus yang berujung diperolehnya
kualifikasi S-1/D4, kemudian pendidikan profesi dilakukan dalam bentuk praktek di lapangan
yang otentik (internship) di sekolah dan berujung diperolehnya sertifikat pendidik.
Berdasarkan perundang-undangan, penyelenggaraan program pendidikan guru
memerlukan dua tahapan yakni (1) pendidikan akademik guru dan (2) PPG sebagai program
pendidikan guru setelah S-1/D4, yang berujung pada pemberian sertifikat pendidik. Gambar 2
mengilustrasikan rancangan model kurikulum terintegrasi antara pendidikan akademik dan
pendidikan profesi guru selama satu semester.
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
7
Gambar 2. Rancangan model kurikulum terintegrasi antara pendidikan akademik dan
pendidikan profesi selama satu semester (Dikti, 2012).
Model kurikulum tersebut diperuntukkan bagi calon guru kelas atau program PGSD dan
PGPAUD. Program pendidikan akademik diselenggarakan selama 8 semester kemudian
dilanjutkan dengan pendidikan profesi selama satu semester. Pendidikan akademik mencakup
elemen karakter dan keindonesiaan, akademik kependidikan, akademik bidang studi, metodik
khusus, KKN, penelitian (skripsi), dan ujian tugas akhir. Pada setiap dua semester (2, 4, dan
6) dilaksanakan magang kependidikan sebagai program pengenalan lingkungan sekolah sejak
awal (early exposure on school setting). Pada saat PPG (semester 9) calon guru melakukan
workshop pengembangan perangkat pembelajaran, mikro maupun makro teaching, dan
Pogram Pengalaman Lapangan (PPL).
Rancangan model kurikulum terintegrasi untuk calon guru bidang studi pada prinsipnya
sama dengan model untuk guru kelas, hanya saja pendidikan profesinya lebih lama, yakni dua
semester (9 dan 10). Gambar 3 mengilustrasikan rancangan model kurikulum terintegrasi
antara pendidikan akademik dan pendidikan profesi guru selama dua semester untuk calon
guru bidang studi. Pada model kurikulum tersebut PPL diselenggarakan selama satu semester
penuh yakni pada semester 10.
Gambar 3. Rancangan model kurikulum terintegrasi antara pendidikan akademik dan
pendidikan profesi selama dua semester (Dikti, 2012).
Sebagai upaya mempertimbangkan bahwa profesi guru juga terbuka bagi lulusan S-1 non
kependidikan, maka dirancang model kurikulum berlapis antara pendidikan akademik dan
pendidikan profesi selama dua semester. Perbedaannya dengan dua model kurikulum yang
dikemukakan di atas adalah PPG untuk model kurikulum berlapis dilakukan secara terpisah
atau ada jeda waktu setelah calon guru menyelesaikan program S-1/D4. Model ini
mempersyaratkan peserta wajib menguasai kemampuan akademik kependidikan bagi calon
guru yang berlatar belakang non kependidikan. Salah satu program rintisan yang dianggap
mendekati model kurikulum berlapis adalah program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal (SM-3T). Hanya saja program tersebut untuk saat ini belum terbuka
untuk Sarjana non kependidikan. Gambar 4 mengilustrasikan rancangan model kurikulum
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
8
berlapis antara pendidikan akademik dan pendidikan profesi guru selama dua semester untuk
calon guru bidang studi.
Gambar 4. Rancangan model kurikulum berlapis antara pendidikan akademik dan
pendidikan profesi selama dua semester (Dikti, 2012).
2.3.2. Pola Rekrutmen Mahasiswa Calon Guru
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) merupakan salah satu jalur
seleksi masuk LPTK secara nasioanal saat ini. Namun demikian untuk memperoleh
mahasiswa calon guru yang kompeten, seleksi mahasiswa calon guru perlu
mempertimbangkan minat dan bakat untuk menjadi guru karena minat dan bakat seseorang
berimplikasi terhadap keberhasilan seseorang dalam menjalankan tugasnya. Minat yang tinggi
terhadap bidang kerja akan berimplikasi terhadap terwujudnya motivasi yang tinggi untuk
sukses dalam pekerjaan. Sedangkan bakat seseorang mempunyai pengaruh pada efektivitas
dan efisiensi kerja seseorang. Semakin berbakat seseorang pada bidang kerja yang
digelutinya, semakin efektif dan efisien seseorang menangani pekerjaannya.
Selain seleksi akademik, minat, dan bakat semestinya calon guru juga diseleksi secara fisik
terutama terkait dengan tinggi badan, buta warna, dan cacat fisik lainnya. Oleh karena itu
mekanisme seleksi mahasiswa keguruan perlu dimodifikasi dengan menambahkan tiga item
tersebut yakni minat, bakat, dan fisik.
2.3.3. Standarisasi dan Kemitraan
Lembaga pendidikan guru perlu dibatasi dan distandarisasi. Hal tersebut juga berlaku
terhadap calon mahasiswa yang akan menjadi guru. Perlu dilakukan terobosan terkait regulasi
penyelenggaraan pendidikan guru terutama untuk penutupan lembaga pendidikan guru yang
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
9
tidak memenuhi standar. Standarisasi lembaga pendidikan guru perlu terus dikembangkan
melalui Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI).
Standarisasi dan penjaminan mutu tersebut mencakup masukan, proses, dan keluaran,
sehingga tidak terjadi disparitas kualitas antar LPTK sebagai pabrik guru di republik ini.
LPTK harus terus meningkatkan standar bagi program penyiapan guru di antaranya
mencakup: (1) pengetahuan dan ketrampilan untuk memahami peserta didik dan bagaimana
mereka belajar, (2) memahami dan menguasai materi dan metodologi pembelajaran guna
mengembangkan proses pembelajaran yang bermakna, (3) memahami dan menguasai cara
mengevaluasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan lulusan, (4) memiliki
kemampuan melakukan refleksi, dan (5) melaksanakan kolaborasi, khususnya dalam
melaksanakan tugas-tugas pembelajaran.
Di samping itu, lembaga pendidikan guru juga wajib memperluas dan mengintensifkan
jejaring kerjasama yang bersifat kemitraan kepada berbagai sekolah, karena lapangan kerja
bagi calon guru adalah sekolah. Terlebih rancangan model kurikulum sebagaimana
dikembangkan di atas telah memberikan sinyal kepada calon untuk mengenali lingkungan
sekolah secara lebih awal termasuk melalui pemagangan pada semester dua, empat, dan
enam.
3. Kesimpulan
Guru merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan nasional. Begitu sentralnya
peran guru terhadap peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikan, sehingga
rekonstruksi sistem pendidikan guru menjadi kajian aktual. Harapannya adalah dihasilkan
guru-guru yang kompeten untuk membangun generasi mendatang yang berkarakter. Oleh
karena itu pengembangan pendidikan guru ke depan perlu mengintegrasikan pendidikan
akademik yang dilaksanakan berbasis kampus yang berujung diperolehnya kualifikasi S-
1/D4, kemudian pendidikan profesi dilakukan dalam bentuk praktek di lapangan yang otentik
(internship) di sekolah dan berujung diperolehnya sertifikat pendidik.
Kurikulum, sistem rekrutmen calon mahasiswa, standarisasi, dan kemitraan merupakan
komponen yang penting untuk direkonstruksi dalam penyelenggaraan pendidikan guru ke
depan. Berdasarkan perundang-undangan, penyelenggaraan pendidikan guru memerlukan dua
tahapan yakni pendidikan akademik guru dan PPG. Program pendidikan akademik
diselenggarakan selama 8 semester kemudian dilanjutkan dengan pendidikan profesi selama
satu sampai dua semester. Pendidikan akademik mencakup elemen karakter dan
keindonesiaan, akademik kependidikan, akademik bidang studi, metodik khusus, KKN,
penelitian (skripsi), dan ujian tugas akhir. Pada saat PPG calon guru melakukan workshop
pengembangan perangkat pembelajaran, mikro maupun makro teaching, dan PPL.
Dalam upaya menjaring calon mahasiswa keguruan yang unggul, memiliki minat dan
bakat, serta memiliki profil yang ideal sebagai guru, semestinya seleksi mahasiswa calon
guru harus mencakup akademik, minat, bakat dan fisik terutama terkait dengan tinggi badan,
buta warna, dan cacat fisik lainnya.
Lembaga pendidikan guru perlu dibatasi dan distandarisasi. Standarisasi lembaga
pendidikan guru harus dilakukan melalui Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan Indonesia (ALPTKI). Standarisasi yang dimaksud mencakup masukan, proses,
dan keluaran, sehingga tidak terjadi disparitas kualitas antar LPTK sebagai pabrik guru di
republik ini. Di samping itu, lembaga pendidikan guru wajib memperluas dan
Konaspi VII
Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
10
mengintensifkan jejaring kerjasama yang bersifat kemitraan kepada berbagai jenis dan
jenjang sekolah, karena lapangan kerja bagi calon guru profesional adalah sekolah dan
lembaga pendidikan lainnya.
Apabila rekonstruksi sistem pendidikan yang mencakup sejumlah komponen sebagaimana
diuraikan di atas dapat diimplementasikan dengan baik dan akuntabel, maka diyakini
pendidikan kita ke depan mampu memberikan konstribusi yang bermakna, terutama dalam
membangun generasi emas yang berkarakter yakni generasi yang cerdas komprehensif dan
kompetitif.
4. Daftar Pustaka
[BAN PT] Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. (2008). Pedoman Evaluasi Diri untuk
Akreditasi Program Studi dan Institusi Perguruan Tinggi. Jakarta.
Dantes N. (2008). Pendidikan Profesi Guru dalam Kaitannya dengan Peningkatan Profesionalisme
Guru (Refleksi tentang Struktur Program LPTK). Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia
VII, Denpasar 17-19 November 2008
Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Depdiknas. (2005). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta.
Depdiknas. (2008). Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Jakarta.
Depdiknas. (2008). Naskah Akademika Program Pendidikan Profesional Guru Prajabatan. Jakarta.
Dirjen Dikti. (2012). Panduan Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK). Jakarta.
Kadarohman A, Nurihsan J. (2008). Program Dual Modes sebagai Alternatif Peningkatan Kualifikasi
Akademik Guru dalam Jabatan. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VII, Denpasar 17-
19 November 2008.
Kompas. (2012). Inilah 10 Provinsi dengan Hasil UKA Tertinggi.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/16/2212161. (diakses Senin, 20 Agustus 2012)
Suparta IN. (2008). Melahirkan Guru Bermutu: Proses Berbasiskan Reward dan Punishment. Makalah
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VII, Denpasar 17-19 November 2008.
Zamroni. (2008). Pendidikan Guru di Masa Depan. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia
VII, Denpasar 17-19 November 2008.