Memahami Pajak Atas Merger

3
Memahami Pajak Atas Merger Oleh Chandra Budi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Beberapa waktu lalu, pemberitaan tentang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menolak proses penggabungan usaha (merger) antara PT. SCMA -pemilik SCTV-dengan PT. IDKM - pemilik Indosiar-mengelitik saya untuk menanggapinya. Seakan-akan, menurut pemberitaan tersebut, DJP memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak proses merger yang dilakukan. Padahal, DJP tidak memiliki kewenangan atau otrorisasi tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa proses legal formal merger perusahaan tidak ada kaitannya dengan DJP. Lantas, bagaimana perlakuan pajak bagi perusahaan yang melakukan merger? Merger menurut definisi akuntansi adalah penyatuan dua atau lebih perusahaan terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan perusahaan lain atau memperoleh kendali (kontrol) atas aktiva dan operasional perusahaan lain. Merger dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akuisisi dan penyatuan kepemilikan. Akuisisi adalah penggabungan usaha dimana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi, dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban atau mengeluarkan saham. Sedangkan penyatuan kepemilikan adalah suatu penggabungan usaha dimana para pemegang saham perusahaan yang bergabung secara bersama-sama memiliki kendali atas seluruh aktiva dan operasional perusahaan yang tergabung serta memiliki tanggung jawab bersama sehingga tidak ada pihak yang dapat diidentifikasikan sebagai pengakuisisi. Konsekuensi dari proses merger, apapun jenis dan metode pencatatannya, adalah adanya perpindahan aktiva yang tentunya terkait dengan perpajakan. Setidaknya ada transfer tax (PPN, PPh Final 4 ayat 2 dan BPHTB) dan keuntungan atas selisih aktiva yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh). Untuk perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), awalnya, UU PPN Tahun 1983 dan perubahannya Tahun 1994, pengalihan aktiva perusahaan sehubungan dengan proses merger tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan tidak terutang PPN. Namun, sejak Tahun 2001, pengalihan aktiva dalam rangka merger ini dikenakan PPN karena tidak termasuk dalam daftar negatif jenis barang kena pajak yang tidak dikenakan PPN. Terakhir, sesuai dengan UU PPN yang baru Tahun 2009, kembali lagi pada ketentuan semula, dimana penyerahan barang kena pajak dalam rangka merger tidak terutang PPN. Setiap pengalihan aktiva atau harta berupa tanah dan bangunan akan dikenakan PPh final dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Demikian juga, apabila

description

Tulisan salah seorang mengenai perlakuan pajak atas merger

Transcript of Memahami Pajak Atas Merger

Page 1: Memahami Pajak Atas Merger

Memahami Pajak Atas Merger Oleh Chandra Budi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Beberapa waktu lalu, pemberitaan tentang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menolak

proses penggabungan usaha (merger) antara PT. SCMA -pemilik SCTV-dengan PT. IDKM -

pemilik Indosiar-mengelitik saya untuk menanggapinya. Seakan-akan, menurut pemberitaan

tersebut, DJP memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak proses merger yang

dilakukan. Padahal, DJP tidak memiliki kewenangan atau otrorisasi tersebut. Jadi, dapat

dikatakan bahwa proses legal formal merger perusahaan tidak ada kaitannya dengan DJP.

Lantas, bagaimana perlakuan pajak bagi perusahaan yang melakukan merger?

Merger menurut definisi akuntansi adalah penyatuan dua atau lebih perusahaan terpisah

menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan perusahaan lain

atau memperoleh kendali (kontrol) atas aktiva dan operasional perusahaan lain. Merger

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akuisisi dan penyatuan kepemilikan. Akuisisi adalah

penggabungan usaha dimana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi memperoleh

kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi, dengan memberikan aktiva

tertentu, mengakui suatu kewajiban atau mengeluarkan saham. Sedangkan penyatuan

kepemilikan adalah suatu penggabungan usaha dimana para pemegang saham perusahaan

yang bergabung secara bersama-sama memiliki kendali atas seluruh aktiva dan operasional

perusahaan yang tergabung serta memiliki tanggung jawab bersama sehingga tidak ada

pihak yang dapat diidentifikasikan sebagai pengakuisisi.

Konsekuensi dari proses merger, apapun jenis dan metode pencatatannya, adalah adanya

perpindahan aktiva yang tentunya terkait dengan perpajakan. Setidaknya ada transfer tax

(PPN, PPh Final 4 ayat 2 dan BPHTB) dan keuntungan atas selisih aktiva yang merupakan

objek Pajak Penghasilan (PPh). Untuk perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), awalnya,

UU PPN Tahun 1983 dan perubahannya Tahun 1994, pengalihan aktiva perusahaan

sehubungan dengan proses merger tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang

Kena Pajak (BKP) dan tidak terutang PPN. Namun, sejak Tahun 2001, pengalihan aktiva

dalam rangka merger ini dikenakan PPN karena tidak termasuk dalam daftar negatif jenis

barang kena pajak yang tidak dikenakan PPN. Terakhir, sesuai dengan UU PPN yang baru

Tahun 2009, kembali lagi pada ketentuan semula, dimana penyerahan barang kena pajak

dalam rangka merger tidak terutang PPN.

Setiap pengalihan aktiva atau harta berupa tanah dan bangunan akan dikenakan PPh final

dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Demikian juga, apabila

Page 2: Memahami Pajak Atas Merger

pengalihan dilakukan dalam rangka merger perusahaan. PPh final yang dikenakan adalah

sebesar 5% dari harga jual sedangkan untuk BPHTB dikenakan tarif 5% dari nilai jual kena

pajak – selisih antara harga jual dengan nilai jual objek pajak tidak kena pajak.

Atas keuntungan yang diterima perusahaan dalam rangka merger, merupakan objek PPh

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 UU PPh, dimana yang

termasuk dalam pengertian penghasilan adalah keuntungan karena pengalihan harta

termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan (merger), peleburan, pemekaran atau

pemecahan. Sehingga, atas keuntungan tersebut akan dikenakan tarif pasal 17 UU PPh.

Persoalan muncul ketika ada opsi penggunaan nilai buku dalam merger. Kenapa?

Nilai Buku Ada dua metode pencatatan akuntasi dalam transaksi merger, yaitu: metode nilai pasar dan

metode nilai buku. Prinsip nilai pasar adalah adanya sejumlah kas atau harga pasar aktiva

lain yang dikeluarkan untuk membeli suatu perusahaan sudah termasuk didalamnya biaya

goodwill, selisih antara biaya perolehan dengan harga pasar. Sedangkan, pada nilai buku

aktiva bersih hasil merger langsung dibukukan sesuai nilai bukunya, sehingga tidak terdapat

biaya goodwill dan kenaikan nilai aktiva.

Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) UU PPh, maka nilai perolehan atau pengalihan harta

dalam rangka merger adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima

berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Dengan kata lain,

pengalihan harta dalam proses merger prinsipnya menggunakan harga pasar atau dapat

menggunakan nilai buku dengan persyaratan tertentu. Apabila perusahaan ingin

menggunakan nilai buku, maka terlebih dahulu harus mengajukan permohonan kepada

Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger,

melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait dan memenuhi persyaratan

tujuan bisnis (business purpose test). Yang dimaksud dengan business purpose test adalah

memastikan bahwa tujuan merger adalah untuk menciptakan sinergi yang kuat dan

memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk mengindarkan pajak.

Seringkali, penggunaan nilai buku dalam rangka merger ditengarai ada upaya untuk

menghindari pajak. Karena dengan menggunakan nilai buku, pihak yang menerima

pengalihan akan mencatat harta sesuai dengan pembukuan pihak yang mengalihkan.

Demikian juga untuk kepentingan penyusutan fiskal, maka usia masa manfaat hartanya

adalah hanya meneruskan sisa manfaat harta yang dialihkan tersebut saja. Celah ini pernah

dimanfaatkan ketika terjadi merger terjadi antara perusahaan yang untung dan membayar

Page 3: Memahami Pajak Atas Merger

pajak dengan perusahaan yang rugi dan sedang melakukan kompensasi kerugian, maka

ada modus untuk membuat perusahaan rugi sebesar-besarnya sebagai perusahaan yang

menerima pengalihan. Walaupun disyaratkan harus dilakukan revaluasi (penilaian kembali)

harta terlebih dahulu, besar kemungkinan perusahaan yang dialihkan – untung dan bayar

pajak – ketika merger dan dicatat nilai bukunya justru menjadi perusahaan yang rugi (dan

tidak bayar pajak) karena keuntungannya tidak dapat menutupi besarnya kompensasi

kerugian perusahaan yang menerima pengalihan.

Oleh karena itu, DJP melarang merger yang menggunakan nilai buku apabila perusahaan

yang menerima pengalihan harta mengalami kerugian atau kerugiannya lebih besar dari

perusahaan yang mengalihkan hartanya. Selain itu, secara kasat mata, penggunaan nilai

buku akan menghindari pengenaan PPh atas keuntungan kenaikan harta. Contohnya,

ketika kasus merger SCTV-Indosiar merebak, nilai buku Indosiar sebagaimana dilansir oleh

Kontan (16/1/2014) adalah dibawah Rp1 triliun, sedangkan nilai pasarnya- menurut penilai

independen- sekitar Rp10 triliun. Laba atas selisih harta ini sebesar Rp9 triliiun, langsung

menjadi objek PPh dan dikenakan tarif PPh Pasal 17 atau setidaknya harus membayar

pajak sebesar Rp2,25 triliun.

Sebagaimana negara lain, penggunaan nilai buku dalam rangka merger juga harus

memenuhi beberapa persyaratan, yaitu struktur kepemilikan usaha tidak berubah minimal

80%-nya, adanya kesamaan segmentasi bisnis antar perusahaan yang akan merger dan

memiliki tujuan bisnis yang baik. Tentunya, sepanjang untuk tujuan memperkuat sinergi

bisnis, DJP akan fair mempersilahkan perusahaan merger untuk menggunakan nilai buku

dan mendapatkan insentif perpajakan seperti tidak terutangnya PPh final pengalihan harta

dan pengurangan BPHTB sebesar 50%.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi

dimana penulis bekerja.