Memahami Gelar Dokter

9
Memahami Gelar Dokter 2009-05-21 18:10 Seringkali kita merasa bingung setiap kali membaca nama dokter dengan berbagai gelar yang disandangnya. Tulisan ini bermaksud menjelaskan berbagai gelar yang disandang oleh dokter khususnya dokter Indonesia. Pendidikan tinggi sebenarnya dibagi dua, akademik dan profesi. Dahulu, untuk jenjang akademik hampir semua lulusan sarjana S-1, diberi gelar "Drs" dan "Dra". Yang berbeda misalnya "SH, SE, Ir". Khusus fakultas kedokteran, diberi gelar "Drs/Dra.Med". Sejak 9 Februari 1993, ada SK Mendikbud 036/U/1993 mengatur gelar dan sebutan bagi lulusan perguruan tinggi. Sejak saat itu, gelar sarjana diberikan sesuai bidangnya. Muncullah kemudian: SE: Sarjana Ekonomi, ST: Sarjana Teknik, SP: Sarjana Pertanian, SSos: Sarjana Sosial, SIP: Sarjana Ilmu Politik, SKom: Sarjana Komunikasi, SS: Sarjana Sastra, SSi: Sarjana Sains (Fakultas MIPA, termasuk Farmasi),SKed: Sarjana Kedokteran, dll. Setelah lulus Sarjana (S-1), semua sarjana bisa memiliki 2 pilihan. Pertama, melanjutkan ke jenjang akademik S-2 dan S-3. Di tingkatan ini, kembali gelar diberikan sesuai dengan bidangnya. Misalnya untuk SKed ada yang memperoleh gelar: MKes: Magister Kesehatan,MHA: Master of Health Administration MARS: Magister Administrasi Rumah Sakit, dll. Kedua, melanjutkan ke jenjang pendidikan profesi. Misalnya untuk S.Si (Farmasi) melanjutkan jadi Apt. (Apoteker), SH menjadi Notaris, dan tentu saja SKed menjadi Dokter (dr.). Setelah lulus profesi memperoleh gelar "dr.", maka dokter bisa melanjutkan ke jenjang profesi lebih tinggi yaitu spesialisasi. Sebelum adanya SK Mendikbud tersebut, sebutan spesialisasi ditulis sesuai bidangnya. Setelah keluar SK tersebut terjadi perubahan sebagai berikut, misalnya: dr. xxx, DSOG menjadi xxx, dr., SpOG (Obstetri dan Ginekologi), dr. yyy, DSA menjadi yyy, dr., SpA (Anak), dr. zzz, DSB menjadi zzz, dr., SpB (Bedah), dr. zzz, DSJP menjadi zzz, dr., SpJP

Transcript of Memahami Gelar Dokter

Page 1: Memahami Gelar Dokter

Memahami Gelar Dokter2009-05-21 18:10

Seringkali kita merasa bingung setiap kali membaca nama dokter dengan berbagai gelar yang disandangnya.  Tulisan ini bermaksud menjelaskan berbagai gelar yang disandang oleh dokter khususnya dokter Indonesia. 

Pendidikan tinggi sebenarnya dibagi dua,  akademik dan profesi. Dahulu, untuk jenjang akademik hampir semua lulusan sarjana S-1, diberi gelar "Drs" dan "Dra". Yang berbeda misalnya "SH, SE, Ir". Khusus fakultas kedokteran, diberi gelar "Drs/Dra.Med".

Sejak 9 Februari 1993, ada SK Mendikbud 036/U/1993 mengatur gelar dan sebutan bagi lulusan perguruan tinggi. Sejak saat itu, gelar sarjana diberikan sesuai bidangnya. Muncullah kemudian: SE: Sarjana Ekonomi, ST: Sarjana Teknik, SP: Sarjana Pertanian, SSos: Sarjana Sosial, SIP: Sarjana Ilmu Politik, SKom: Sarjana Komunikasi, SS: Sarjana Sastra, SSi: Sarjana Sains (Fakultas MIPA, termasuk Farmasi),SKed: Sarjana Kedokteran, dll.

Setelah lulus Sarjana (S-1), semua sarjana bisa memiliki 2 pilihan. Pertama, melanjutkan ke jenjang akademik S-2 dan S-3. Di tingkatan ini, kembali gelar diberikan sesuai dengan bidangnya. Misalnya untuk SKed ada yang memperoleh gelar: MKes: Magister Kesehatan,MHA: Master of Health AdministrationMARS: Magister Administrasi Rumah Sakit, dll. Kedua, melanjutkan ke jenjang pendidikan profesi. Misalnya untuk S.Si (Farmasi) melanjutkan jadi Apt. (Apoteker), SH menjadi Notaris, dan tentu saja SKed menjadi Dokter (dr.).

Setelah lulus profesi memperoleh gelar "dr.", maka dokter bisa melanjutkan ke jenjang profesi lebih tinggi yaitu spesialisasi. Sebelum adanya SK Mendikbud tersebut, sebutan spesialisasi ditulis sesuai bidangnya. Setelah keluar SK tersebut terjadi perubahan sebagai berikut, misalnya: dr. xxx, DSOG menjadi xxx, dr., SpOG (Obstetri dan Ginekologi), dr. yyy, DSA menjadi yyy, dr., SpA (Anak), dr. zzz, DSB menjadi zzz, dr., SpB (Bedah), dr. zzz, DSJP menjadi zzz, dr., SpJP (Jantung dan Pembuluh darah), dll.

Jika dokter tersebut melanjutkan lagi ke tingkatan sub-spesialis, akan muncul misalnya: zzz, dr., SpBA (Bedah anak), zzz, dr., SpBTKV (Bedah Thorax, Kardiovaskuler), zzz., dr. SpBP (Bedah Plastik), zzz., dr. SpBOT atau kadang ditulis SpOT (Orthopaedi), zzz., dr. SpBOnk (Bedah Onkologi : tumor), zzz., dr. SpBU kadang ditulis SpU saja (Bedah Urologi), dll.

Tetapi ada juga pengelompokan atas dasar pengakuan organisasi profesi sebagai Konsultan (baik dengan atau tanpa pendidikan khusus). Misalnya: xxx, dr., SpPD-KGH (Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan

Page 2: Memahami Gelar Dokter

Hipertensi), xxx, dr., SpOG-KFM (Spesialis Obstetri Ginekologi Konsultan Feto-Maternal), zzz, dr., SpPD-KHOM (Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi Onkologi Medik), zzz., dr., SpAn-KIC (Spesialis Anesthesi Konsultan Intensive Care), zzz, dr., SpPD-KAI (Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Alergi Immunologi), zzz, dr., SpPK-KH (Spesialis Patologi Klinik Konsultan Hematologi), zzz., dr., SpPD-KGer (Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Geriatri)

Yang agak lain, pada bidang kesehatan anak, seolah-olah merupakan "kedokteran dalam lingkup kecil", sehingga ada dr., SpAK (Spesialis Anak Konsultan) dengan tambahan: Konsultan Jantung Anak, Ginjal Anak, Endokrin Anak, Syaraf Anak, Gizi dan Tumbuh Kembang Anak, Hepatologi Anak, Penyakit Infeksi Anak dan seterusnya. Pada lingkup IDAI, penulisan Konsultan tertentu ini tidak dituliskan secara eksplisit, hanya ditulis sebagai "SpAK".

Mengapa ada yang sudah menjadi dokter (pendidikan profesi) tetapi juga menggunakan gelar MKes (pendidikan akademis)?

Seorang dokter selain mengikuti jenjang profesi lanjut menjadi spesialis/sub-spesialis juga bisa mengikuti pendidikan akademis S-2 atau S-3. Artinya dua-dua jurusan dijalani. Karena itu ada beberapa gelar yang sering:

1. MKes: Magister Kesehatan. Sama-sama "Magister" dalam negeri, sebenarnya ini masih mencakup banyak bidang peminatan. Misalnya: Kebijakan kesehatan, Manajemen pengelolaan obat, Manajemen administrasi RS (ada yang menggunakan gelar MARS), Manajemen kesehatan masyarakat, dan banyak lagi.

2. Ada yang sekolah di luar negeri, memperoleh gelar misalnya MMedSci (Master of Medical Science), ada juga MMed Paed (Master of Medical Paediatric), DTMH (Diploma in Tropical Medicine and Hygiene), dan banyak lagi.

Selanjutnya dokter juga bisa sampai ke jenjang S-3, dengan gelar "Dr." (Doktor) atau "PhD". Kalau di Jerman ditulis Dr. rer. Ada juga yang ditulis "Dr.Med" (Doctor in Medicine).

Selanjutnya, kalau dokter itu bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi, akan ada saatnya bisa mencapai jenjang guru besar sebagai Professor (Prof).

Masih ada lagi. Bila aktivitas ilmiahnya tinggi, dokter juga bisa menjadi anggota dari suatu organisasi profesi international. Biasanya disebutkan sebagai "fellow of" Misalnya:

ICRP: International Community of Royal PathologistAAP: American Academy of Pediatric

Page 3: Memahami Gelar Dokter

AAI: Association of Allergy ImmunologyICS: International Community of Surgery

Karena itu, jangan heran kalau ada yang - bila ditulis lengkap - namanya:

Prof. Dr. zzz, MHA, dr., SpPD-KAI, FAAI

Perhatikan pula cara penempatan gelar. Hanya "Prof" dan "Dr" yang ditulis di depan nama, sedangkan gelar lain ditulis di belakang nama.

(Makin menarik bila ditambahi juga gelar/sebutan dari sumber lain: agama, keraton, marga, suku, dan sejenisnya).

Agar tidak menambah bingung, inilah beberapa gelar spesialisasi dokter:

SpA: Spesialis AnakSpAn: Spesialis AnesthesiSpAnd: Spesialis Andrologi (fertilitas laki-laki)SpB: Spesialis BedahSpBA: Spesialis Bedah AnakSpBD: Spesialis Bedah DigestifSpBO: Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi (kadang ditulis SpOT)SpBOnk: Spesialis Bedah Onkologi (tumor)SpBP: Spesialis Bedah PlastikSpBS: Spesialis Bedah SyarafSpBTKV: Spesialis Bedah Thoraks KardiovaskulerSpBU: Spesialis Bedah Urologi (kadang ditulis SpU: Spesialis Urologi)SpF: Spesialis ForensikSpFK: Spesialis Farmakologi KlinikSpGK: Spesialis Gizi Klinik

SpJP: Spesialis Jantung dan Pembuluh darahSpKK: Spesialis Kulit dan KelaminSpM: Spesialis MataSpMK: Spesialis Mikrobiologi Klinik

SpOG: Spesialis Obstetri dan GinekologiSpOG-KFM: SpOG-Konsultan Feto-Maternal (Janin dan Ibu Hamil)SpOG-KFER: SpOG-Konsultan Fertilitas Endokrin dan ReproduksiSpOG-KOnk: SpOG-Konsultan Onkologi

SpP: Spesialis ParuSpPA: Spesialis Patologi Anatomi

SpPD:Spesialis Penyakit DalamSpPD-KHOM: SpPD Konsultan Hematologi Onkologi MedikSpPD-KPTI: SpPD Konsultan Penyakit Tropik dan InfeksiSpPD-KE: SpPD Konsultan EndokrinologiSpPD-KGH: SpPD Konsultan Ginjal HipertensiSpPD-KGEH: SpPD Konsultan Gastro-Entero-Hepatologi

Page 4: Memahami Gelar Dokter

SpPD-KGer: SpPD Konsultan Geriatri (ketuaan)SpPD-KR: SpPD Konsultan RheumatologiSpPD-KAI: SpPD Konsultan Alergi Immunologi

SpPK: Spesialis Patologi KlinikSpR (pernah ditulis juga SpRad): Spesialis RadiologiSpRM: Spesialis Rehabilitasi MedisSpS: Spesialis SyarafSpTHT: Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan

Beberapa catatan tentang gelar dokter:Sesuai aturan Mendikbud tersebut, maka sebenarnya tidak semua sarjana kedokteran (S.Ked) harus melanjutkan ke jenjang profesi. Lantas kemana? Bisa saja SKed kemudian sekolah S-2/S-3 dan bekerja sesuai bidang/kemampuannya tersebut. Misalnya:

1. Menempuh S2/S3 bidang Manajemen Kesehatan Masyarakat. Setelah lulus menjadi pejabat struktural di lingkup departemen kesehatan.2. Menempuh S2/S3 bidang ilmu biomedik, setelah lulus menjadi dosen di FK, peneliti biomedik atau bekerja profesional di perusahaan farmasi/obat.3. Bahkan secara ekstrem, bisa saja SKed kemudian S2/S3 komunikasi, setelah lulus menjadi pengelola penerbitan media massa kesehatan.4. Implikasi dari pengakuan - dan pembobotan - gelar sarjana kedokteran, mulai banyak "SKed" yang akhirnya menjadi manager bank, direktur perusahan asuransi, atau manajer jaringan toko asesoris mobil.

Catatan kedua. Karena gelar SKed itu juga diakui secara tersendiri dari gelar "dr". Maka seharusnya kita menulis lengkap misalnya: xxx, SKed., dr., SpA. Namun dalam praktek, bila telah bergelar "dr", maka secara inheren, dia pasti telah menyelesaikan dan mendapat gelar "SKed". Karena itu sering tidak dituliskan.

Catatan ketiga. Kadang muncul tudingan, betapa profesi dokter itu di-anak emas-kan. Seorang pengacara tidak pernah ditulis sebagai "xxx, SH, pengacara" misalnya. Begitu juga profesi yang lain (guru misalnya). Yang agak sama mungkin apoteker karena ditulis sebagai "xxx, SSi, Apt."

Apa masalah yang mungkin ditimbulkan? Bila gelar "dokter" tidak ditulis eksplisit, betapa akan makin mudah orang melakukan tindakan penipuan sebagai "dokter palsu"? Tetapi, apapun semua kembali ke cara pandang kita.

Catatan ke-empat. Istilah "Ahli" hanya diberikan kepada lulusan pendidikan keterampilan (Diploma-III atau Diploma-IV). Misalnya:

Lulusan AKPER, AKBID: AMK (Ahli Madya Keperawatan)Lulusan Diploma-III secara umum: AMd (Ahli Madya)Lulusan Diploma-IV secara umum: A (Ahli)

Page 5: Memahami Gelar Dokter

Tetapi kalau sudah lulusan Fakultas Ilmu Keperawatan/Progam Studi Ilmu Keperawatan, gelarnya: SKp (Sarjana Keperawatan). Sampai saat ini kalau kebidanan, baru sampai tingkatan Diploma-IV.

Karena itu, jangan kita menyapa "dokter ahli kandungan" karena ini sebenarnya menurunkan derajat pengakuan profesinya.

Semoga tidak bingung lagi membaca papan nama dokter yang namanya bisa panjang sekali.

Dan terakhir, seperti sering kita baca di lembar undangan pernikahan:mohon maaf bila ada kesalahan penulisan nama dan gelar.

Dokter, Potensi Kepemimpinan Bangsa yang Terpendam2009-06-06 12:50

Berkaitan dengan regenerasi dan kepemimpinan dalam suatu organisasi, Dr. Soetomo, pendahulu kedokteran Indonesia serta pencetus berdirinya gerakan Boedi Oetomo 1908, mengatakan bahwa "Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menghasilkan pemimpin baru. Bila seorang pemimpin tidak menghasilkan pemimpin baru maka pemimpin tersebut telah kandas dalam kepemimpinanya". Hal ini menunjukkan bahwa proses regenerasi, mempersiapkan kader-kader penerus dalam suatu organisasi memiliki arti yang amat sentral.

Di lingkungan organisasi IDI yang beranggotakan para dokter, proses regenerasi itu juga sangat penting. Di semua tingkatan kepengurusan organisasi di jajaran IDI sudah ditetapkan bahwa dalam suatu jenjang kepengurusan organisasi, seseorang hanya diperbolehkan untuk menduduki jabatan ketua sebanyak dua kali masa kepengurusan. IDI tidak menginginkan adanya kepemimpinan yang stagnan. Hal ini juga berarti bahwa proses demokrasi harus berjalan terus di dalam tubuh organisasi ini. Oleh karena itu sebelum berakhirnya kepengurusan pada setiap jenjang organisasi sudah semestinya telah siap sederet kader-kader terlatih yang akan mengambli alih estapet kepemimpinan. Memimpin organisasi IDI adalah proses melatih diri untuk menjadi pemimpin bagi organisasi yang lebih besar, yakni bangsa dan negara.

Kini dengan makin berkembangnya peradaban manusia, organisasi IDI pun dituntut untuk mengembangkan peran-peran strategisnya, selain peran yang selama ini berkaitan dengan pekerjaan yang banyak digeluti anggotanya, yaitu agent of treatment (mengobati orang yang sakit). Peran strategis yang akan dikembangkan di masa depan tersebut agent of change dan agent of development. Peran semacam ini bukan hal yang mustahil bagi IDI, mengingat IDI beranggotakan para cendekiawan yang profesional. Oleh karena itu yang diperlukan saat ini adalah bagaimana agar organisasi IDI dengan seluruh jajarannya dapat merevitalisasi diri dan merevitalisasi peran pengabdiannya. Di sektor kesehatan, IDI dan anggotanya diharapkan melebarkan lapangan pengabdiannya dengan berkontribusi seluas-luasnya dalam upaya menyehatkan bangsa secara komprehensif (fisik, mental, dan sosial).

Page 6: Memahami Gelar Dokter

Di luar lapangan kesehatan, bidang lain pun tidak tertutup bagi IDI dan anggotanya. Ke depan bukan sesuatu yang tidak mungkin, semakin banyak anggota IDI yang berkiprah di pemerintahan dalam makna yang lebih luas. Hal yang sama, juga semakin terbuka kemungkinan bagi dokter Indonesia untuk tampil menjadi pemimpin bangsa baik secara formal maupun non formal, bahkan menjadi seorang negarawan sekalipun. Peluang menjalankan peran tersebut tentu selalu ada bila IDI dan anggotanya berupaya untuk itu. Potensi untuk menjadi pemimpin bangsa dan menjadi negarawan, menjadi penyanggah di tengah rakyat dan bangsanya juga dipunyai oleh dokter-dokter Indonesia.

Bila ditelusuri ke belakang ketika masih menempuh pendidikan, baik sebelum duduk di perguruan tinggi maupun setelah menjadi mahasiwa di perguruan tinggi, tentu tidak sulit menemukan jejak organisasi pelajar (osis) atau organisasi mahasiswa (senat fakultas, senat perguruan tinggi, dan organisasi ekstra universitas), justru dipimpin oleh mereka-mereka yang kini menjadi seorang dokter dan anggota IDI. Ini berarti bahwa potensi menjadi pemimpin bangsa dari kalangan dokter dalam arti yang lebih luas, nyata adanya. Ia bagaikan "mutiara" yang terpendap di bawah laut. Tinggal bagaimana mencari dan menemukan "mutiara" yang terpendam itu, kemudian memolesnya. Potensi kepemimpinan dokter sayang bila tidak ditemukan dan dikembangkan.

Pertanyaan kemudian muncul, siapa yang harus mencari, menemukan, dan memoles mutiara itu? Tentu yang mempunyai tugas adalah organisasi tempat para mutiara (dokter) itu berhimpun. IDI-lah yang utama bertugas menemukan, memoles dan menempanya melalui berbagai proses kaderisasi. Proses kaderisasi hendaknya dilakukan untuk menghindari munculnya pemimpin "karbitan", yang sebelumnya tidak pernah berproses dan belajar secara dinamis di dalam setiap aktivitas organisasi. Karena itu pula di masa depan IDI mendapatkan satu tambahan fungsi, yakni sebagai organisasi yang memoles, menempa, dan melahirkan pemimpin organisasi yang kelak menjadi pemimpin bangsa yang menyatu dan mencintai rakyat.

Proses untuk melahirkan kader handal yang diharapkan menjadi pemimpin, tentu saja tidak mudah. Mungkin sama tidak gampangnya ketika kelak secara riil sudah menjadi pemimpin yang sebenarnya. Namun IDI tidak boleh ragu-ragu, ia harus memilki keberanian untuk memulainya, apalagi bila IDI menganggapnya sebagai sebuah tuntutan sejarah dan tuntutan zaman. Berkaitan dengan masalah ini, saya ingin menutup catatan kecil ini dengan mengutip ungkapan seorang cendekiwan muslim ternama Indonesia, Alm. Prof. Nurcholish Madjid. Cak Nur (panggilan akrab beliau) pada suatu forum diskusi yang kebetulan saya adalah salah seorang pesertanya ketika itu. Intinya kira-kira begini, "apabila kalian masuk ke dalam masjid karena ingin sholat berjamaah namun kebetulan imam tetap masjid tersebut berhalangan hadir, maka hendaklah diantara kalian yang memenuhi syarat untuk menjadi imam, mengambil alih dan bertindak sebagai imam. Sebab bila kalian tidak segera melakukannya, dihawartirkan "orang gila" yang kalian tidak kenal serta tidak memenuhi syarat, yang akan mengambil alih dan maju menjadi imam, memimpin sholat berjamaah kalian".

Jakarta, 22 Maret 2009

Zaenal Abidin

(Merupakan kegelisahan saya selama ini, dan terakhir ini melihat poster-poster dalam pilkada dan poster caleg, yang saya sendiri tidak tahu dari mana asal muasalnya. Tiba-tiba muncul

Page 7: Memahami Gelar Dokter

dan menyatakan diri amanah dan teruji, disertai SERIBU JANJI. Saya melihat mungkin pengabdian dan kerja nyata para dokter lebih teruji daripada mereka. Wassalam.)