Memahami Dan Menjelaskan Tentang Diabetes Melitus

54
1. Memahami dan menjelaskan tentang Insulin 1.1. Fisiologi dan Biokimia Insulin Proses Pembentukan dan Sekresi Insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas. Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel. Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas. 1 Galuh Anidya Pratiwi(1102011111)

description

diabetes melitus

Transcript of Memahami Dan Menjelaskan Tentang Diabetes Melitus

1. Memahami dan menjelaskan tentang Insulin1.1. Fisiologi dan Biokimia InsulinProses Pembentukan dan Sekresi Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas. Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.

Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.

Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.( Gambar 1 )

Exocytosis secretoryGranule transport Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta. Glucose signaling Glucose GLUT-2 Glucose Glucose-6-phosphate ATP Depolarizationof membrane K+ channel shut Ca2+ Channel OpensInsulin + C peptide Cleavage enzymesProinsulin preproinsulin Preproinsulin Insulin SynthesisB. cellK+ Gb.1 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasiGlukosa ( Kramer,95 ) Dinamika sekresi insulinInsulin ReleaseDinamika Sekresi Insulin Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.

Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.

Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini ( Gb. 2 ) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.

Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya.

0 5 10 15 20 25 30 ( minute ) Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta ( Ward, 84) Insulin SecretionIntravenous glucose stimulationFirst-PhaseSecondPhaseIGTNormalType 2DMBasal

Aksi Insulin Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.

Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.

1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6. kembali kesuasana semula.

Gambar. 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan perifer ( Girard, 1995 )

Efek Metabolisme dari Insulin

Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum). Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin ( insulin sensitizer ).

Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ).

Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.

Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar.

Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik.

2. Memahami dan menjelaskan tentang Diabetes Melitus

2.1. Definisi

Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: , diabanein, tembus atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sebagai akibat dari: defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya defisiensi transporter glukosa. atau keduanya.Berbagai penyakit, sindrom dan simtoma dapat terpicu oleh diabetes mellitus, antara lain: Alzheimer, ataxia-telangiectasia, sindrom Down, penyakit Huntington, kelainan mitokondria, distrofi miotonis, penyakit Parkinson, sindrom Prader-Willi, sindrom Werner, sindrom Wolfram, leukoaraiosis, demensia, hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipogonadisme, dan lain-lain. DM yaitu kelainan metabolik akibat dari kegagalan pankreas untuk mensekresi insulin (hormon yang responsibel terhadap pemanfaatan glukosa) secara adekuat. Akibat yang umum adalah terjadinya hiperglikemia.DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Brunner & Suddart).Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya.

2.2. KlasifikasiOrganisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus berdasarkan perawatan dan simtoma: 1. Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.2. Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai dengan sindrom resistansi insulin3. Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi: Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C. Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari luar tubuh. Not insulin requiring diabetes. Diabetes mellitus tipe 1Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l. Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events".Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran. Diabetes mellitus tipe 2Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel , gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulinserta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia. Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan hormon resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati. Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosaObesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan [antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g., metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2. Seperti zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi perkembangan sel tumor maupun kanker. Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria pada otot lurik. Sebaliknya, hormon tri-iodotironina menginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan sintesis ATP sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada kompleks IV, menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif, sedang hormon melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta meningkatkan aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV. Bersama dengan insulin, ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif mitokondria di dalam otot lurik. Di sisi lain, metalotionein yang menghambat aktivitas GSK-3beta akan mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes. Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat menentukan apakah metoda ini dapat memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan perubahan homeostasis glukosa.Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin, diketahui menyebabkan peningkatan mRNA glukokinase, peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin penurunan ekspresi GLUT2 pada hati penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan glukoneogenesissedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di dalam hati.Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada buah jenis jeruk, sedang naringin banyak ditemukan pada buah jenis anggur.

Diabetes mellitus tipe 3Diabetes mellitus gestasional (bahasa Inggris: gestational diabetes, insulin-resistant type 1 diabetes, double diabetes, type 2 diabetes which has progressed to require injected insulin, latent autoimmune diabetes of adults, type 1.5" diabetes, type 3 diabetes, LADA) atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan patogenesisnya.[29] GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 2050% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 25% dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang buruk karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.

2.3. Etiologi

Pola makano Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes mellitus. konsumsi makan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan sekresi insulin dalam jumlah yang memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan pastinya akan menyebabkan diabetes melitus. Obesitas (kegemukan)o Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90 kg cenderung memiliki peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes militus. Sembilan dari sepuluh orang gemuk berpotensi untuk terserang diabetes mellitus. Faktor genetiso Diabetes mellitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita diabetes mellitus. Pewarisan gen ini dapat sampai ke cucunya bahkan cicit walaupun resikonya sangat kecil. Bahan-bahan kimia dan obat-obatano Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang pankreas, radang pada pankreas akan mengakibatkan fungsi pankreas menurun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin. Segala jenis residu obat yang terakumulasi dalam waktu yang lama dapat mengiritasi pankreas. Penyakit dan infeksi pada pancreaso Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan fungsi pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin. Penyakit seperti kolesterol tinggi dan dislipidemia dapat meningkatkan resiko terkema diabetes mellitus. Pola hidupo Pola hidup juga sangat mempengaruhi faktor penyebab diabetes mellitus. Jika orang malas berolah raga memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit diabetes mellitus karena olah raga berfungsi untuk membakar kalori yang berlebihan di dalam tubuh. Kalori yang tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab diabetes mellitus selain disfungsi pankreas. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, kasus diabetes di negara-negara Asia akan naik hingga 90 persen dalam 20 tahun ke depan. Dalam 10 tahun belakangan, jumlah penderita diabetes di Hanoi, Vietnam, berlipat ganda. Sebabnya? Di kota ini, masyarakatnya lebih memilih naik motor dibanding bersepeda, kata Dr Gauden Galea, Penasihat WHO untuk Penyakit Tidak Menular di Kawasan Pasifik Barat. Kesimpulannya, mereka yang sedikit aktivitas fisik memiliki risiko obesitas lebih tinggi dibanding mereka yang rajin bersepeda, jalan kaki, atau aktivitas lainnya. Teh maniso Penjelasannya sederhana. Tingginya asupan gula menyebabkan kadar gula darah melonjak tinggi. Belum risiko kelebihan kalori. Segelas teh manis kira-kira mengandung 250-300 kalori (tergantung kepekatan). Kebutuhan kalori wanita dewasa rata-rata adalah 1.900 kalori per hari (tergantung aktivitas). Dari teh manis saja kita sudah dapat 1.000-1.200 kalori. Belum ditambah tiga kali makan nasi beserta lauk pauk. Patut diduga kalau setiap hari kita kelebihan kalori. Ujungnya: obesitas dan diabetes.GorenganKarena bentuknya kecil, satu gorengan tidak cukup buat kita. Padahal gorengan adalah salah satu faktor risiko tinggi pemicu penyakit degeneratif, seperti kardiovaskular, diabetes melitus, dan stroke. Penyebab utama penyakit kardiovaskular (PKV) adalah adanya penyumbatan pembuluh darah koroner, dengan salah satu faktor risiko utamanya adalah dislipidemia. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, LDL (kolesterol jahat) dan trigliserida, serta penurunan kadar HDL (kolesterol baik) dalam darah. Meningkatnya proporsi dislipidemia di masyarakat disebabkan kebiasaan mengonsumsi berbagai makanan rendah serat dan tinggi lemak, termasuk gorengan. Suka ngemilo Kita mengira dengan membatasi makan siang atau malam bisa menghindarkan diri dari obesitas dan diabetes. Karena belum kenyang, perut diisi dengan sepotong atau dua potong camilan seperti biskuit dan keripik kentang. Padahal, biskuit, keripik kentang, dan kue-kue manis lainnya mengandung hidrat arang tinggi tanpa kandungan serta pangan yang memadai. Semua makanan itu digolongkan dalam makanan dengan glikemik indeks tinggi. Sementara itu, gula dan tepung yang terkandung di dalamnya mempunyai peranan dalam menaikkan kadar gula dalam darah. Kurang tidur.o Jika kualitas tidur tidak didapat, metabolisme jadi terganggu. Hasil riset para ahli dari University of Chicago mengungkapkan, kurang tidur selama 3 hari mengakibatkan kemampuan tubuh memproses glukosa menurun drastis. Artinya, risiko diabetes meningkat. Kurang tidur juga dapat merangsang sejenis hormon dalam darah yang memicu nafsu makan. Didorong rasa lapar, penderita gangguan tidur terpicu menyantap makanan berkalori tinggi yang membuat kadar gula darah naik. Sering stresso Stres sama seperti banjir, harus dialirkan agar tidak terjadi banjir besar. Saat stres datang, tubuh akan meningkatkan produksi hormon epinephrine dan kortisol supaya gula darah naik dan ada cadangan energi untuk beraktivitas. Tubuh kita memang dirancang sedemikian rupa untuk maksud yang baik. Namun, kalau gula darah terus dipicu tinggi karena stres berkepanjangan tanpa jalan keluar, sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan. Kecanduan rokoko Sebuah penelitian di Amerika yang melibatkan 4.572 relawan pria dan wanita menemukan bahwa risiko perokok aktif terhadap diabetes naik sebesar 22 persen. Disebutkan pula bahwa naiknya risiko tidak cuma disebabkan oleh rokok, tetapi kombinasi berbagai gaya hidup tidak sehat, seperti pola makan dan olahraga. Menggunakan pil kontrasepsiKebanyakan pil kontrasepsi terbuat dari kombinasi hormon estrogen dan progestin, atau progestin saja. Pil kombinasi sering menyebabkan perubahan kadar gula darah. Menurut dr Dyah Purnamasari S, Sp PD, dari Divisi Metabolik Endokrinologi RSCM, kerja hormon pil kontrasepsi berlawanan dengan kerja insulin. Karena kerja insulin dilawan, pankreas dipaksa bekerja lebih keras untuk memproduksi insulin. Jika terlalu lama dibiarkan, pankreas menjadi letih dan tidak berfungsi dengan baik. Keranjingan sodao Dari penelitian yang dilakukan oleh The Nurses Health Study II terhadap 51.603 wanita usia 22-44 tahun, ditemukan bahwa peningkatan konsumsi minuman bersoda membuat berat badan dan risiko diabetes melambung tinggi. Para peneliti mengatakan, kenaikan risiko itu terjadi karena kandungan pemanis yang ada dalam minuman bersoda. Selain itu, asupan kalori cair tidak membuat kita kenyang sehingga terdorong untuk minum lebih banyak.2.4. PatofisiologiPada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.( Suyono, 2005, hlm 3).Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu :a. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.b. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler.c. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.Keadaan patologi tersebut akan berdampak :1. Hiperglikemia Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi daripada rentang kadar puasa normal 80-90 mg/100 ml darah, atau rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. (Corwin, 2001, hlm. 623).Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot (sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia). (Long, 1996, hlm. 11).Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut :a. Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.b. Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.c. Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa hati dicurahkan dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.d. Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa hati yang tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak. (Long, 1996, hlm.11).Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan cepat seperti bakteri dan jamur. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita diabetes melitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur. (Sujono, 2008, hlm. 76).

2. HiperosmolaritasHiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes melitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene komposisi terbanyak adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/ menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik) dan berakibat peningkatan volume air (poliuria). Akibat volume urin yang sangaat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus. (Corwin,2001, hlm.636).Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum lebih dan 370-380 mosmols/ dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (KHHN). (Sujono, 2008, hlm. 77).3. Starvasi SellulerStarvasi Selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi tidak bisa dibawa untuk diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin.Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain :a. Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot, dan rasa mudah lelah.b. Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh.Protein dan asam amino yang melalui proses glukoneogenesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O serta glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein.Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative nitrogen.Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau cidera).c. Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolisme lemak (lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida, dan gliserol yang akan meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer pH darah menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme protein yang meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein.Adanya starvasi selluler akan meningkatakan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan kerusakan berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan orggan tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata (muncul rasa baal dan mata kabur). (Sujono, 2008, hlm. 79).Diabetes mellitus jangka panjang member dampak yang parah ke sistem kardiovaskular, terjadi kerusakan di mikro dan makrovaskular.

2.5. Maninfestasi

2.6. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan PenunjangInspeksi Pemeriksaan fisik ini yaitu inspeksi selain melihat keadaan umum pasien juga untuk mencari apakah pasien ada komplikasi yang sering terjadi pada pasien DM seperti pada kaki. Inspeksi, lihat apakah ada atrofi / hipotrofi otot, kontraktur atau cicatrik, apakah ada gerakan-gerakan terbatas, apakah ada lesi-lesi infiltrat, abses, ulkus, gangren, borok. kelainan pada kulit yang perlu di perhatikaan adalah ada tidaknya bekas garukan sebagai akibat rasa gatal pada kulit terutama pada lipatan kulit. pemeriksaan pada mata biasanya digunakan oftalmoskop. Oftalmoskop adalah sumber cahaya yang mempunyai serangkaian lensa yang dapat difokuskan pada jarak yang berbeda-beda. Mikroaneurisma adalah dilatasi arteriol yang berbentuk kantong-kantong kecil di dekat tempat percabangannya. Kelainan ini patognomotik untuk diabetes melitus, dan dapat menandakan adanya vaskulopati serupa yang terdapat dalam ginjal. Mikroaneurisma lebih mudah divisualisasikan dengan filter hijau yang dipasang pada sumber cahaya. Neovaskularisasi adalah perubahan lainnnya yang terjadi pada diabetes. Ia terlihat sebagai sepotong pembuluh darah baru yang berliku-liku yang kadang kelihatanya tumbuh langsung ke dalam vitreous humor. Pendarahan ke dalam retina pada bentuk khas berbentuk seperti lidah api, yaitu bintik kecil pada tempat munculnya yang kemudian menyebar dan berbentuk seperti baji. Eksudat mempunyai bentuk yang berbeda tergantung pada lapisan retina tempat terjadinya eksudat tersebut dan etiologinya. Eksudat kapas mentah berbatas kurang tegas dan biasanya tidak seputih yang pertama. Ini disebabkan oleh infark iskemik pada retina.Tingkat kesadaran terutama mencerminkan kemampuan pasien untuk sadar atau keadaan bisa dibangunkan. Tingkat kesadarn ditentukan oleh tingkat aktivitas, yaitu pasien dapat dibangunkan untuk melakukan aktivitas sebagai respon terhadap penignkatan rangsangan oleh pemeriksa. Lima tingkat kesadaran yang biasa dipakai di klinik dijelaskan pada tabel berikut, disertai teknik-teknik yang dapat digunakan untuk mendapatkan tanda khas dari setiap tingkat kesadarn tersebut. Tingkatkan stimulus yang anda berikan dengan tepat, tergantung dari respon pasien. Ketika memeriksa pasien dengan perubahan tingkat kesadaran, jelaskan dan catat dengan tepat apa yang anda lihat dan dengar. Istilah yang sifatnya kesimpulan seperti letargi, obtudansia (somnolen), stupor atau koma dapat memiliki makna yang berbeda bagi pemeriksa lain.

Kompos mentis (kesadaran penuh). Bicaralah kepada pasien dengan nada suara yang normal. Pasien yang sadar akan membuka matanya, menatap anda dan bereaksi secara penuh serta tepat terhadap rangsangan (arousal intact). Letargi. Berbicaralah kepada pasien dengan suara yang keras. Misalnya, panggil nama pasien atau tanyakan Bagaimana keadaan Bapak/Ibu/Anda? Pasien letargi akan terlihat mengantuk, tetapi masih membuka kedua matanya dan menatap anda, menjawab pertanyaan dan kemudian tertidur lagi. Somnolen. Guncangkan tubuh pasien secara perlahan seperti ketika membangunkan orang yang tidur. Pasien yang somnolen akan membuka matanya dan menatap anda, tetapi menunjukkan respon yang lambat dan terlihat agak bingung. Kesadarn dan perhatian pada lingkungan tampak menurun.Stupor. Berikan rangsangan yang menimbulkan rasa nyeri. Misalnya, memijit tendon, gosok tulang sternum atau menggulirkan pensil dengan penekanan pada kuku. Pasien yang stupor hanya bangun dari tidurnya bila dilakukan rangsangan yang menimbulkan rasa nyeri. Respons verbalnya lambat atau bahkan tidak ada. Pasien segera masuk kedalam keadaan nonresponsif (tidak bereaksi) ketika rangsangan dihentikan. Keadaan ini merupakan tingkat kesadaran yang paling minimal terhadap diri atau lingkungannya. Koma. Berikan rangsangan yang kuat secara berulang-ulang. Pasien yang koma te\tap tidak bisa dibangunkan sementara kedua matanya tertutup. Tidak ada bukti bahwa pasien bereaksi terhadap kebutuhan internal atau rangsangan eksternal. PalpasiPalpasi untuk cek kulit, apakah dingin (makroangiopati), hangat / panas (ada infeksi), cek pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior. Dapat pula dilakukan pemeriksaan reflek dengan tes sensibilitas menggunakan monofilamen, KPR (Knee Patella Refleks) dan APR (Achilles Paddle Refleks), Babinskis sign.Refleks Patela (KPR) yaitu melakukan ketukan pada tendon patella dengan hammer. Responnya plantar fleksi longlegs karena kontraksi m.quadrises femoris. Refleks Achilles (APR) yaitu melakukan ketukan pada tendon achilles. Responnya plantar fleksi longlegs karena kontraksi m.gastroenemius.Refleks triseps sure (reflek tendon Achilles) dalam bahasa Belanda refleks ini disebut Achillespeesreflex, disingkat APR. Singkatan APR ini masih sering digunakan di Indonesia. Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki. Setelah itu, tendon Achilles diketok. Hal ini mengakibatkan fleksi pada kaki. Lengkung ini melalui S1,S2.Pada Babinkis sign dilakukan pada pasien dengan posisi terlentang, dan dengan menggunakan alat yang runcing tapi tidak tajam, lakukan goresan pada sisi lateral telapak kaki dari tumit ke arah lengkung pangkal jari-jari. Pada keadaan normal terjadi plantarfleksi dari jari-jari kaki, namun pada Babinkis sign positif, terjadi dorsofleksi ibu jari disertai pemekaran jari-jari, yang menunjukkan lesi sistem saraf pusat pada traktus kortikospinal.Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menyaring, mendiagnosis dan melihat komplikasi yang telah terjadi. Pemeriksaan Penyaring yang dilakukan pada kelompok dengan usia lebih dari 45 tahun, BB lebih dari 110% BB Idaman, hipertensi (lebih dari 140/90 mmHg), riwayat DM pada garis keturunan, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, BB lahir > 4000 gram, kadar K-HDL kurang dari 35 mg/dl dan atau kadar TG lebih dari= 250 mg/dlSelain itu Pemeriksaan laboratorium juga dapat digunakan sebagai penentu diagnosis apabila GDS lebih dari 200 mg/dL dan/atau GDP lebih dari 126 mg/dL pada paseien dengan gejala khas DM sedangkan pada Pasien tanpa gejala/tanda DM diagnosis ditegakkan pada nilai kadar glukosa abnormal 1 kali, perlu 1 kali lagi nilai abnormal atau kadar glukosa darah pasca TTGOlebih dari 200 mg/dL.

Pemeriksaan Laboratorium pada komplikasi Diabetes MelitusPada diabetes terdapat penyulit akut dan penyulit kronis. Pada penyulit akut dibagi menjadi tiga yaitu keto koma hipoglikemia, asidosis diabetik dan koma hiperosmolar non ketotik. pada koma ketoasidosis biasanya ditemukan Gejala DM tidak terkontrol,, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah, sakit perut. hasil pemeriksaan lab yang tampak antara lain adanya hiperglikemia (300-800 mg/dL), ketonemia, kadar bikarbonat menurun, PH darah menurun, kadar BUN dan ureum darah meningkat, jumlah sel darah dan Ht meningkat, kadar protein plasma meningkat. komplikasi akut yang keduua yaitu hiperosmolar non ketotik yang timbul dengan gejala : poliuria, polidipsia, letargia. pada pemeriksaan lab dapat diketemukan kadar glukosa darah sangat tinggi, kadar bikarbonat plasma normal, PH darah : normal dimana pada keadaan ini Insulin masih cukup untuk mengatur lipolisis, terjadi gangguan metabolisme karbohidrat dan protein, tidak terjadi peningkatan produksi benda keton, terjadi hiperglikemi, dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Komplikasi akut yang berikutnya adalah hipoglikemia dimana terdapat keadaan kadar glukosa darah < 45 mg/dL dengan gejala-gejala p,using, kesadaran menurun sampai koma, biasanya timbul bila kadar glukosa turun dengan cepat, terutama terjadi pada usia lanjut, menyebabkan kemunduran mental, paling sering pada pemakai sulfonylurea dan insulin. Pada komplikasi kronis, pemeriksaan lab memegang fungsi penting pada komplikasi neuropati. dimana diagnosis neuropati ditegakkan bilamana kadar albumin urin >= 30 mg/24 jam pada 2-3 kali pemeriksaan dalam waktu 3 bulan, tanpa penyebab albuminuria lain, misalnya :aktivitas fisik, i,nfeksi saluran kemih, gagal jantung, hipertensi berat, demam tinggiPemeriksaan InsulinUntuk menukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20U/mL dalam keadaan puasa, dan mencapai 50 130 U/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah 30U/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg.dL, hiperinsulinemia dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II; akan tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana pelepasan insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.Untuk kesehatan yang baik, tubuh harus mampu menjaga kadar insulin dan glukosa dalam keseimbangan. With too little insulin, blood sugar remains higher than normal (a condition known as hyperglycemia) and cells can't get the energy they need. Dengan insulin terlalu sedikit, gula darah tetap lebih tinggi dari biasanya (kondisi yang dikenal sebagai hiperglikemia) dan sel-sel tidak bisa mendapatkan energi yang mereka butuhkan. With too much insulin, blood sugar decreases (hypoglycemia), causing symptoms such as sweating, trembling, lightheadedness, and in extreme cases, shock. Dengan terlalu banyak insulin, menurunkan gula darah (hipoglikemia), menyebabkan gejala seperti berkeringat, gemetar, sakit kepala ringan, dan dalam kasus yang ekstrim, shock. The most common cause of abnormal fluctuations in blood sugar is diabetes. Penyebab paling umum dari fluktuasi abnormal pada gula darah diabetes.Pemeriksaan C peptidaUji PerformedC-peptida diukur untuk membedakan antara insulin diproduksi oleh tubuh dan insulin disuntikkan ke dalam tubuh. Bila pankreas memproduksi insulin, itu dimulai sebagai molekul besar. Molekul ini terbagi menjadi dua bagian: insulin dan C-peptida. Fungsi C-peptida tidak diketahui. Tingkat C-peptide dapat diukur pada pasien dengan diabetes tipe 2 untuk melihat apakah ada insulin masih diproduksi oleh tubuh. Hal ini juga dapat diukur dalam kasus hipoglikemia (gula darah rendah) untuk melihat apakah tubuh seseorang memproduksi insulin terlalu banyak. Normal : 0.5 menjadi 2,0 ng / mL (nanogram per mililiter) C-peptida adalah tanda bahwa tubuh memproduksi insulin. nilai rendah (atau tidak ada C-peptida insulin) menunjukkan bahwa pankreas Anda memproduksi insulin sedikit atau tidak ada.

2.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Bahan darah yang dapat digunakan dengan cara ensimatik antara laian adalah plasma vena. PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, difungsi ereksi dan pruritus vilva. Apabila ditemukan gejala khas DM, permeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan IMT > 25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut :1) aktivitas fisik kurang,2) riwayat keluarga mengidap DM pada keuturunan pertama,3) masuk kelompok etnik resiko tinggi,4) wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram awau riwayat diabetes melitus gestasional,5) Hipertensi,6) Kolesterol HDL 250 mg/dL,7) Wanita dengan sindrom kistik ovarium,8) riwayat Toleranesi glukosa terganggu atau glukosa darah puasa terganggu,9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin, dan10) riwayat penyakit kardiovaskular. Pada penyaring yangkhusus ditujukan untuk DM pada

penduduk umumnya tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain adanya pemeriksaan penyarin utnuk DM dalam rangkaian pemeriksaan terserbut sangat dianjurkan. Pemeriksaan penampisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung gejala klinis masing-masing.

Diagnosis bandingDiabetes melitus tipe lain selain tipe dua memiliki banyak kesamaan dalam gejala-gejala yang timbul dan manifestasi klinis. Manifestasi klinis setiap diabetes melitus yaitu peningkatan kadar glukosa darah yang akan menyebabkan berbagai komplikasi akut dan komplikasi kronis. Diabetes yang sering ditemukan yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. perbedaan yang sangat mendasar dari kedua diabetes ini adalah perbedaan onset dari penyakit terserbut. Pada dibaetes tipe 1 biasanya sudah timbul mulai usia dibawah 20 tahun, sedangkan diabetes tipe 2 baru muncul setelah usia 30 tahun. Pada diabetes tipe 2 faktor predisposisi yang sangat mencolok adalah adanya obesitas sedangkan hal terserbut tidak ditemukan pada diabetes tipe 1. komplikasi-komplikasi akut seperti adanya koma ketoasidosis, koma hiperosmolar lebih sering ditemukan pada diabetes tipe 1. hal ini terjadi karena adanya kerusakan dari sel beta pangkreas. Kerusakan ini menyebabkan tidak terkendalinya diabetes melitus dengan kadar gula darah yang biasanya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan diabetes tipe lainnya. Kerusakan ini biasanya ditimbulkan oleh adanya antibodi terhadap sel beta pangkreas, dan tidak ditemukan pada diabetes tipe 2.

2.8. PenatalaksanaanTujuan TerapiTujuan terapi DM yang utama adalah:1. Mengurangi resiko makrovaskuler dan mikrovaskular2. Mengurangi gejala3. Mengurangi angka kematian4. Meningkatkan kualitas hidup pasienKonsentrasi glukosa darah yang mendekati normal akan mengurangi resiko komplikasi penyakit mikrovaskular, namun pengelolaan resiko agresif penyakit kardiovaskular (berhenti merokok, pengobatan dislipidemia, pengendalian tekanan darah dan terapi antiplatelet) terbukti mampu mengurangi resiko komplikasi makrovaskular. Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko penyakit mikrovaskular, tetapi juga menurunkan fungsi sel darah putih dan menimbulkan gejala klasik DM. Ketoasidosis diabetikum dan hiperglikemia hiperosmolar adalah manivestasi klinis parah akan buruknya kontrol terhadap DM dan menyebabkan perawatan intensif di rumah sakit. Intervensi terhadap gaya hidup (diet dan olahraga) dan penggunaan regimen obat ditujukan untuk mengurangi resiko komplikasi mikrovaskular.

Pendekatan Umum TerapiPerawatan DM bertujuan untuk mengontrol:1. Kadar glukosa darah2. Tekanan darah3. Tingkat lipid/lemak dalam darah4. Pemantauan berkala terhadap komplikasi5. Diet dan Olahraga6. Penggunaan regimen obat7. Pemantauan glukosa darah secara mandiri8. Penilaian parameter laboratoriumTujuan Pengaturan Glukosa Darah dan Hemoglobin A1CStudi klinis menunjukan bahwa kontrol terhadap glukosa darah mampu mengurangi resiko mikrovaskular. Sedangkan pengukuran HbA1c adalah kontrol standar glukosa darah selama 3 bulan. Hemoglobinopati, anemia, dan kerusakan membran sel darah merah dapat mempengaruhi pengukuran HbA1c. Pengukuran kadar fruktosamin juga bermanfaat dalam kontrol DM.

Nilai acuan HbA1c dan glukosa darah untuk memantau keberhasilan terapi menurut ADA adalah sebagai berikut:1. Nilai HbA1c < 7%2. Glukosa darah preprandial 90-130 mg/dL3. Glukosa darah postprandial 300 mg/dL). Metformin juga memiliki efek positif pada beberapa sindrome resistensi insulin. Metformin mampu menurunkan kadar trigliserida dan LDL-C sekitar 8% dan 15%, serta meningkatkan kadar HDL-C (2%). Metformin juga mengurangi tingkat plasminogen sehingga menyebabkan sedikit penurunan berat badan (2-3 kg).

Komplikasi MikrovaskularMemiliki kemampuan menurunkan resiko komplikasi mikrovaskular seperti halnya sulfonilurea.

Komplikasi MakrovaskularMetformin menurunkan resiko komplikasi makrovaskular pada pasien DM dengan obesitas. Secara signifikan mengurangi resiko stroke dan infark miokard. Metformin harus dimasukan dalam terapi pilihan pertama pasien DM tipe 2, kecuali jika kontraindikasi.

Efek MerugikanMetformin menyebabkan efek samping pada saluran gastrointestinal seperti ketidaknyamanan perut, sakit perut dan diare, disamping anoreksia dan perasaan penuh pada perut. Efek samping ini umumnya bersifat ringan dan dapat diminimalisir dengan cara titrasi lambat, dan konsumsi obat tepat setelah makan.

Efek samping lain yang mungkin terjadi namun jarang adalah asidosis laktat.

Interaksi ObatSimetidin dan metformin bersaing dalam hal ekskresi melalui ekskresi tubular sehingga berpotensi meningkatkan deposit metformin, dan kemungkinan berimplikasi pada terjadinya asidosis laktat. Metformin juga berinteraksi dengan prokainamid, digoksin, kuinidin, trimetoprim dan vankomisin.

Dosis dan Cara PemberianMetformin lepas cepat 2x500 mg segera setelah makan untuk meminimalisir efek samping gastrointestinal. Dosis tersebut dapat ditingkatkan 500 mg perminggu hingga diperoleh kadar glukosa normal atau hingga 2000 mg perhari.

Dosis harian metformin dapat dimulai dengan 850 mg, dan setelah 1-2 minggu ditingkatkan 2x850 mg hingga maksimum 3x850 mg.

Metformin lepas lambat dapat dimulai dengan dosis tunggal saat makan malam sebesar 500 mg kemudian dilakukan titrasi mingguan sebesar 500 mg hingga dosis harian tunggal maksimum sebesar 2000 mg. Penggunaan metformin lepas lambat dalam dosis terbagi 2-3 kali sehari dapat mengurangi resiko efek samping gastrointestinal.

TiazolidindionFarmakologiTiazolidindion disebut juga dengan istilah TZD atau glitazon. Pioglitazon dan rosiglitazon adalah 2 jenis obat golongan tiazolidindion yang disetujui penggunaannya oleh FDA. Tiazolidindion bekerja dengan mengikat reseptor gama-pengaktivasi proliferator peroksisom yang terdapat pada sel-sel lemak dan pembuluh darah. Tiazolidindion meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, hati, dan jaringan lemak.

FarmakokinetikPioglitazon dan rosiglitazon diserap dengan baik dari saluran cerna dengan atau tanpa makanan. Kedua obat tersebut terikat pada protein albumin sekitar 99%. Pioglitazon terutama dimetabolisme oleh enzim CYP2C8 dan sedikit oleh CYP3A4 dan mayoritas dieliminasi melalui tinja. Sedangkan rosiglitazon terutama dimetablisme oleh CYP2C8 dan sedikit oleh CYP2C9 yang kemudian terkonjugasi dan dieliminasi melalui urin dan feses. Waktu paruh pioglitazon 3-7 jam sedangkan rosiglitazon sekitar 3-4 jam.

Inhibitor -GlucosidaseFarmakologiAcarbose dan miglitol adalah 2 obat dari golongan ini.Inhibitor -Glucosidasemerupakan penghambat kompetitif yang menghambat enzim maltase, isomaltase, sukrase dan glukoamilase diusus kecil sehingga menghambat pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks.

FarmakokinetikMekanisme kerja obat ini terbatas pada sisi luminal usus. Beberapa metabolit diserap secara sistemik dan diekskresikan melalui ginjal. Sedangkan miglitol diserap secara sistemik dan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh.

KhasiatObat ini mampu menurunkan kadar glukosa postprandial sebesar 40-50 mg/dL dan relatif tidak menurunkan kadar glukosa puasa.

Komplikasi MikrovaskularObat golongan ini mampu menurunkan kadar HbA1c sehngga menurunkan resiko komplikais mikrovaskular.

Komplikasi MakrovaskularAkarbose dapat menurunkan tingkat konversi gangguan toleransi glukosa pada penderita DM serta mengurangi resiko penyakit kardiovaskular.

Efek MerugikanEfek samping paling umum adalah efek pada saluran pencernaan seperti perut kembung, nyeri abdomen dan diare. Efek tersebut menyebabkan keterbatasan penggunaan obat ini.

Dosis dan Cara PemberianDosis akarbose dan miglitol adalah sama. Terapi dimulai dengan dosis sangat rendah yaitu 1x25 mg saat makan, dan dititrasi secara bertahap dalam beberapa bulan hingga dosis maksimum 3x50 mg pada pasien dengan berat badan kurang dari atau sama dengan 60 kg atau 3x100 mg pada pasien dengan bobot badan lebih dari 60 kg.

2.9. PrognosisPrognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya buruk, pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus tri II (Diabetes Melitus III) yang terawat baik prognosisnya baik pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan koma hipoklikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik. Hipoklikemik pada pasien usia lanjut biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat kerusakan otak yang permanen. Karena hiporesmolas adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut dan angka kematiannya tinggi.

2.10. Komplikasi 1.Hipoglikemia yaitu menurunnya kadar gula darah < 60 mg/dl2.Keto Asidosis Diabetika (KAD) yaitu DM dengan asidosis metabolic dan hiperketogenesis3.Koma Lakto Asidosis yaitu penurunan kesadaran hipoksia yang ditimbulkan oleh hiperlaktatemia.4.Koma Hiperosmolar Non Ketotik, gejala sama dengan no 2 dan 3 hanya saja tidak ada hiperketogenesis dan hiperlaktatemia.Komplikasi kronis :Biasanya terjadi pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam jangka waktu kurang lebih 5 tahun. Dapat dibagi berdasarkan pembuluh darah serta persarafan yang kena atau berdasakan organ. Pembagian secara sederhana sebagai berikut :1. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar (pembuluh darah yang dapat dilihat secara mikroskopis) antara lain pembuluh darah jantung / Penyakit Jantung Koroner, pembuluh darah otak /stroke, dan pembuluh darah tepi / Peripheral Artery Disease.2. Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah mikroskopis antara lain retinopati diabetika (mengenai retina mata) dan nefropati diabetika (mengenai ginjal).3. Neuropati, mengenai saraf tepi. Penderita bisa mengeluh rasa pada kaki/tangan berkurang atau tebal pada kaki atau kaki terasa terbakar/bergetar sendiri.Selain di atas, komplikasi kronis DM dapat dibagi berdasarkan organ yang terkena yaitu1.Kulit : Furunkel, karbunkel, gatal, shinspot (dermopati diabetik: bercak hitam di kulit daerah tulang kering), necrobiosis lipoidica diabeticorum (luka oval, kronik, tepi keputihan), selulitis ganggren,2.Kepala/otak : stroke, dengan segala deficit neurologinya3.Mata :Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (myopia-reversibel,katarax irreversible), Glaukoma, perdarahan corpus vitreus, Retinopati DM (non proliperative, makulopati, proliferatif), N 2,3,6 (neuritis optika) & nerve centralis lain4. Hidung : penciuman menurun5.Mulut :mulut kering, ludah kental = verostamia diabetic, Lidah (tebal, rugae, gangguan rasa), ginggiva (edematus, merah tua, gingivitis, atropi), periodontium (makroangiopati periodontitis), gigi (caries dentis)6.Jantung : Penyakit Jantung Koroner, Silent infarction 40% kr neuropati otonomik, kardiomiopati diabetika (Penyakit Jantung Diabetika)7. Paru : mudah terjangkit Tuberculosis (TB) paru dengan berbagai komplikasinya.8. Saluran Cerna : gastrointestinal (neuropati esofagus, gastroparese diabetikum (gastroparese diabeticum), gastroatropi, diare diabetic)9. Ginjal dan saluran kencing : neuropati diabetik, sindroma kiemmelstiel Wilson, pielonefritis, necrotizing pappilitis, Diabetic Neurogenic Vesical Disfunction, infeksi saluran kencing, disfungsi ereksi/ impotensi, vulvitis.10. Saraf : Perifer: parestesia, anestesia, gloves neuropati, stocking, neuropati, kramp11. Sendi : poliarthritis12. Kaki diabetika (diabetic foot), merupakan kombinasi makroangiopati, mikroangopati, neuropati dan infeksi pada kaki.

2.11. Pencegahan1) Pencegahan PrimerPencegahan primer adl upaya yg ditujukan pada kelompok yg memiliki faktor resiko, yakni mereka yg belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.

Faktor resiko:(yg TIDAK bisa dimodifikasi) Ras dan etnik Riwayat keluarga dgn diabetes (anak penyandang diabetes) Umur. Resiko utk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 thn harus dilakukan pemeriksaan DM. Riwayat melahirkan bayi dgn BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG) Riwayat lahir dengan BB rendah, 23 kg/m) Kurangnya aktivitas fisik Hipertensi (>140/90 mmHg) Dyslipidemia (HDL 250 mg/dL) Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dgn tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko menderita pradiabetes dan DM tipe 2

Faktor lain yg terkait dgn resiko diabetes adlh: Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yg terkait dgn resistensi insulin. Penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases)

Intoleransi glukosa:Merupakan suatu keadaan yg mendahului timbulnya diabetes.Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dgn pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) setelah puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan salah satu dari : Glukosa darah puasa antara 100 125 md/dL Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140 199 mg/dLPada pasien dgn intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaan fisik yg dilakukan ditujukan utk mencari faktor resiko yg dapat dimodifikasi.

Materi penyuluhan:I. Program penurunan BB. Pada seseorang yg mempunyai resiko diabetes dan mempunyai BB lebih, penurunan BB merupakan cara utama untuk menurunkan resiko terkena DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan BB 5 10 % dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.II. Diet sehat. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang, sehingga tidak menimbulkan puncak glukosa darah yg tinggi setelah makan. Makan mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.III. Latihan jasmani. Dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan BB, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Latihan jasmani yg dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya 150 menit/minggu dengan latihan aerobic sedang (mencapai 50-70% denyut jantung max) atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat (mencapai denyut jantung >70% max). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4x aktivitas/minggu.IV. Menghentikan merokok

2) Pencegahan SekunderMenemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan semikian pasien diabetes yg sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible.

3) Pencegahan TersierSemua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi: Mencegah timbulnya komplikasi Mencegah progresi daripada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ Mencegah kecacatan tubuh

Dalam consensus yg mengacu pada WHO 1985, pencegahan ada 3 jenis yaitu :i. Pencegahan primer berarti mencegah timbulnya hiperglikemiaii. Pencegahan sekunder berarti mencegah timbulnya komplikasiiii. Pencegahan tersier berarti mencegah kecacatan akibat komplikasi

2.12. EpidemiologiDM tipe 1 adalah penyakit autoimun yang berkembang sejak masa kanak-kanak atau dewasa awal, dan bentuk laten mungkin juga terjadi pada beberapa kasus. DM tipe 1 terjadi pada sekitar 10% dari seluruh kasus DM. DM tipe ini kemungkinan berkembang karena faktor genetik, akibat autoimunitas sel-pankreas. Prevalensiautoimunitas sel-pankreas sebanding dengan kejadian DM tipe 1.

DM tipe 1 idiopatik adalah diabetes nonimun yang sering terjadi pada kelompok minoritas keadaan insulin intermiten. Prevalensi DM tipe 1 meningkat dalam kurun waktu beberapa ratus tahun terakhir. Onset DM pada kelompok muda yang memiliki cacat genetik dapat diidentifikasi pada gen glukokinase, dan penyakit-penyakit sistem endokrin seperti akromegali dan Cushing Syndrome dapat merupakan penyebab sekunder DM.

Prevalensi DM tipe 2 juga meningkat. DM tipe 2 terjadi pada sekitar 90% kasus DM. DM tipe 2 dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:1. Riwayat keluarga (yaitu adanya orang tua atau saudara kandung yang mengidap DM)2. Obesitas (memiliki berat badan lebih dari 20% berat badan ideal, atau memiliki indeks massa tubuh lebih dari 25 Kg/m2)3. Kurangnya kebiasaan aktivitas fisik (olahraga)4. Ras atau etnis tertentu5. Sebelumnya telah teridentifikasi mengalami gangguan toleransi glukosa atau gangguan glukosa puasa/basal6. Hipertensi (Tekanan daah lebih dari 140/90 mmHg pada orang dewasa)7. HDL kolesterol kurang dari 35 mg/dL dan atau trigliserida serum lebih dari atau sama dengan 250 mg/dL8. Riwayat DM gestasional atau bayi lahir dengan berat badan kurang dari 9 pon9. Riwayat penyakit vaskular10. Riwayat penyakit ovarium polkistikPrevalensi DM meningkat seiring peningkatan umur, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria, prevalensinya juga bervariasi pada ras dan etnis tertentu. Peningkatan prevalensi DM pada remaja dihubungkan dengan adipositas dan gaya hidup yang kurang sehat. Peningkatan obesitas diseluruh penjuru dunia juga berimbas pada peningkatan kasus DM.

Gestasional DM (GDM) adalah DM yang terjadi selama masa kehamilan. GDM terjadi pada sekitar 7% kasus kehamilan. Kebanyakan wanita yang mengalami GDM akan kembali normal setelah melahirkan, namun sekitar 30-50% kasus GDM akan berkembang menjadi DM tipe 2.

3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Retinopaty Diabetic3.1. DefenisiRetinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai olehkerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus retina. Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan membran basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit.Penderita Diabetes Mellitus akan mengalami retinopati diabetik hanya bila ia telah menderita lebih dari 5 tahun. Bila seseorang telah menderita DM lebih 20 tahun maka biasanya telah terjadi kelainan pada selaput jala / retina.Retinopati diabetes dapat menjadi agresif selama kehamilan, setiap wanita diabetes yang hamil harus diperiksa oleh ahli optalmologi/ dokter mata pada trimester pertama dan kemudian paling sedikit setiap 3 bulan sampai persalinan.

3.2. KlasifikasiSecara umum klasifikasi retinopati diabetik dibagi menjadi:1. Retinopati diabetik non proliferatifRetinopati diabetika non proliferatif merupakan stadium awal dari keterlibatan retina akibat diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya microaneurisma, hemoragi dan eksudat dalam retina. Dalam stadium ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel darah merah dari pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai terjadi di makula yaitu bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka akan menimbulkan gangguan pada ketajaman penglihatan.

2. Retinopati diabetik preproliferatifDengan bertambahnya progresifitas sumbatan mikro vaskular maka gejala iskemia melebihi gambaran retinopati diabetika dasar. Perubahannya yang khas adalah adanya sejumlah bercak mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau yang sering disebut sebagai eksudat lunak atau soft eksudate yang merupakan mikro infark lapisan serabut saraf.Gejala yang lain adalah kelainan vena seperti ikalan (loops) segmentasi vena (boxcar phenomenon) dan kelainan mikrovaskular intraretina, yaitu pelebaran alur kapiler yang tidak teratur dan hubungan pendek antara pembuluh darah (shunt) intra retina. Pada angiografi fluoresin dengan jelas terlihat adanya bagian yang iskhemis, non perfusi kapiler dan defek pengisian kapiler (Vaughan & Ashbury, 1995).

3. Retinopati diabetik proliferativeIskemia retina yang progresif merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang rapuh sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak. Biasanya terdapat di permukaan papil optik di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris juga bisa terjadi neovascularisasi disebut rubeosis.Pembuluh darah baru berproliferasi di permukaan posterior badan kaca (corpus vitreum) dan terangkat bila badan kaca bergoyang sehingga terlepas dan mengakibatkan hilangnya daya penglihatan mendadak.

Retinopati diabetika proliferatif terbagi dalam 3 stadium :Stadium 1 : Aktif : Disebut stadium florid, basah, kongestif dekompensata lesi intra retina menonjol, perdarahan retina, eksudat lunak, neovaskularisasi progresif cepat, proliferasi fibrosa belum ada atau minimal, dapat terjadi perdarahan vitreus, permukaan belakang vitreus masih melekat pada retina bisa progresif atau menjadi type stabil.Stadium 2 : Stabil : Disebut stadium kering atau quiescent, lesi intra retina minimal neovaskularisasi dengan atau tanpa proliferasi fibrosa, bisa progresif lambat atau regresi lambat.Stadium 3 : Regresi : Disebut juga stadium burned out, lesi intra retina berupa perdarahan, eksudat atau hilang, neovaskularisasi regresi, yang menonjol adalah jaringan fibrosa

3.3. PatofisiologiMerupakan bentuk yang paling umum yang dijumpai dan merupakan cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah yang terkena. Disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler, mekanisme perubahannya tidak diketahui tetapi telah diteliti adanya perubahan endotel vaskuler (penebalan membran basalis dan hilangnya perisit) dan gangguan hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet). Di sini perubahan mikrovaskuler pada retina terbatas pada lapisan retina (intra retina).Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multipel yang dibentuk kapiler-kapiler yang membentuk kantong-kantong kecil yang menonjol seperti titik-titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak perdarahan intra retina. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api karena lokasinya di dalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal.Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati diabetik non proliferatif. Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran plasma yang lanjut disertai iskemik pada dinding retina (cotton wall spot), infark pada lapisan serabut saraf. Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari edema makula adalah cotton wall spot, intra retina mikrovaskuler abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manikmanik. Bila satu dari keempatnya dijumpai maka ada kecenderungan progresif.

3.4. Epidemiologi Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di jumpai, terutama di negara barat. Kira-kira 1-900 orang berusia 25 tahun mengidap diabetes dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang diabetes. Prevalensi retinopati diabetik proliferatif pada diabetes tipe 1 dengan lama penyakit 15 tahun adalah 50%. Retinopati diabetik jarang ditemukan pada anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya diabetes. Resiko nerkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas.

3.5. Etiologi Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar pada hiperglikemia (kronis) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat. Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dangan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain: Adhesif platelet yang meningkat Agregasi eritrosit yang meningkat Abnormalitas lipid serum Fibrinolisis yang tidak sempurna Abnormalitas dari sekresi growth hormon Abnormalitas serum dan viskositas darahGejala klinisGejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa: Kesulitan membaca Penglihatan kaburr Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata Melihat lingkaran-lingkaran cahaya Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip

3.6. maninfestasiGejala objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa: Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior. Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya irreguler dan berkelok-kelok Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu irreguler, kekuning-kunigan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu. Soft exudate yang sering dsebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina. Pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan irreguler. Mula-mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, prdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan badan kaca. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan.Pemeriksaan PenunjangSemua penderita diabetes mellitus yang sudah ditegakkan diagnosanya segera dikonsulkan ke dokter spesialis mata untuk diperiksa retinanya. Jika didapatkan gambaran retinopati diabetika segera lakukan pemeriksaan di bawah ini :

1. Angiografi FluoreseinPemeriksaan ini adalah pemeriksaan sirkulasi darah retina serta penyakit-penyakit yang mengenai retina dan khoroid. Pemeriksaan ini akan menunjukkan aliran darah yang khas dalam pembuluh darah saat cairan fluoresein yang disuntikkan intra vena mencapai sirkulasi darah di retina dan khoroid. Angiografi fluoresein akan merekam gambaran rinci yang halus dari fundus pada bagian yang berukuran lebih kecil dari kemampuan daya pisah (minimum separable) penglihatan mata masih dapat diperiksa dengan pembesaran rekaman angiografi fluoreseinGambaran retinopati diabetika dengan angiografi fluoresein :a. Retinopati Background, bentuk juvenilDisini ditemukan proliferasi dan hipertrofi venula retina disertai pembentukan rete mirabile, pelebaran cabang-cabang vena berbentuk kantong dan aneurisma kapiler. Terdapat area iskhemik terbatasb. Retinopati Background, bentuk senilPerdarahan superfisial bentuk nyala api dan perdarahan dalam bentuk bintik-bintik. Endapan lemak pada polus posterior, kadang tersusun dalam bentuk rangkaian bunga (retinopati circinata), biasanya pembuluh darah retina beraneka ragam dan dindingnya terlihat menebal (sklerosis).Pada retinopati background terlihat mikroaneurisma, perdarahan bentuk bintik-bintik dan bercak, eksudat keras berwarna kuning yang terdiri atas protein dan lipid yang terdapat di lapisan pleksiform luar yang dikemudian hari juga terjadi makulopati. Jika pasien mengidap hipertensi kardiovaskular, bercak yang mirip kapas timbulnya akan lebih awal.c. Retinopati proliferatifPada stadium ini terdapat pembentukan pembuluh darah baru yang mengakibatkan neovaskularisasi yang tumbuh menonjol di depan retina terutama pada permukaan belakang badan kaca yang mengalami ablasi.2. ElektroretinografiPada pemeriksaan ini dilakukan perekaman kegiatan listrik retina yang sangat berguna untuk memperoleh gambaran yang tepat mengenai fungsi retina yang masih tersisia.

3.7. PengobatanTherapi retinopati diabetik adalah fotokoagulasi. Therapi ini menurunkan insidensi perdarahan dan pembentukan parut dan selalu merupakan indikasi jika terjadi pembentukan pembuluh darah baru. Juga berguna dalam therapi mikroaneurisma, perdarahan dan edem makuler bahkan jika tahap proliferatif belum mulai. Fotokoagulasi panretina sering digunakan untuk mengurangi kebutuhan oksigen retina dengan harapan stimulasi untuk neovaskularisasi akan berkurang. Dengan tehnik ini beberapa ribu lesi terjadi selama 2 minggu.Komplikasi fotokoagulasi masih dapat diterima. Sebagian kehilangan penglihatan perifer tidak dapat dihindari dengan pembakaran luas. Tehnik pembedahan lainnya, vitrektomi, pars plana, digunakan untuk terapi perdarahan vitreus dan pelepasan retina yang tidak teratasi. Komplikasi pasca operasi lebih sering dibandingkan pada fotokoagulasi dan termasuk robekan retina, pelepasan retina, katarak, perdarahan vitreus berulang, glaukoma, infeksi, dan kehilangan mata. Ada harapan bahawa inhibisi angiogenesis oleh obat seperti beta-siklodekstrin tetradekasulfat yang menyerupai heparin analog dalam percobaan dapat mencegah retinopati proliferatif.

3.8. Pencegahan Suatu fakta dikemukakan bahwa insiden retinopati diabetik ini tergantung pada durasi menderita diabetes melitus dan pengendaliannya. Hal ini sederhana yang terpenting dapat dilakukan oleh penderita diabetes untuk dapat mencegah terjadinya retinopati adalah dengan mengontrol gula darah, selain itu tekanan darah, masalah jantung obesitas dan lainnyaa harus juga dikendalikan dan diperhatikan.

3.9. Prognosis Pada mata yang mengalami edema makular dan iskemik yang bermakna akan memiliki prognosa yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan perfusi yang relatif baik.

Daftar pustakaAshcroft FM, Gribble FM, 1999. Differential sensitivity of beta-cell and extrapancreatic K ATP channels to gliclazide. DiabetologiaCerasi E, 2001.The islet in type 2 diabetes: Back to center stage. Diabetes 50.Ceriello A, 2002. The possible role of postprandial hyperglycemia in the pathogenesis of diabetic complications. Diabetologia.Kramer W, 1995. The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28.Ferrannini E, 1998. Insulin resistance versus insulin deficiency in non insulin dependent diabetes mellitus: Problems and prospects. Endocrine Reviews.Gerich JE, 1998. The genetic basis of type 2 diabetes mellitus: impaired insulin secretion versus impaired insulin sensitivity. Endocrine Reviews.Bagian gizi R.S.Dr.cipto mangunkusomo dan PAGI.1984.penutun diitJakarta:penerbit PT GramediaSuryohudoyo P, 2000. Ilmu kedokteran molekuler. Ed I, Jakarta: Perpustakaan Nasional,http://us.geocities.com/maizurahm.http://www.hamline.edu.http://www.kedokteran.info/konsensus-pengelolaan-dan-pencegahan-diabetes-melitus-tipe-2-di-indonesia-2006.htmlhttp://www.bmca-pusat.com/component/content/article/44-artikel-bmca/70-diabetes.html38Galuh Anidya Pratiwi(1102011111)