Melihat Dari Bawah: Desentralisasi dari Perspektif Kewarganegaraan (CM Bregas) - Pusaka Politik 2015
-
Upload
kasospol-update -
Category
Documents
-
view
220 -
download
6
description
Transcript of Melihat Dari Bawah: Desentralisasi dari Perspektif Kewarganegaraan (CM Bregas) - Pusaka Politik 2015
Melihat Dari Bawah: Desentralisasi dari Perspektif Kewarganegaraan
Oleh: Carolus Bregas Pranoto (2012)
Tulisan ini memiliki satu tujuan: memberikan perspektif kewarganegaraan dalam pembahasan
desentralisasi di Indonesia. Oleh karena sempitnya tujuan yang diberikan, seperti Max Weber
saat mengawali kuliahnya tentang Politics as Vocation, saya akan mengatakan bahwa tulisan ini
akan mengecewakan pembaca. Mengapa? Tidak lebih karena tulisan ini bukanlah tulisan
radikal yang akan memutar balikkan kenyataan yang ada. Sebaliknya, tulisan ini berupaya
untuk mengemukakan pembahasan kewarganegaraan yang seringkali terpinggirkan dalam
masalah sosial-politik sebagai salah satu bagian dari politik Indonesia. Pastinya muncul
pertanyaan di dalam benak: apa hubungan antara desentralisasi dan kewarganegaraan?
Bukankah kewarganegaraan adalah masalah hak dan kewajiban tiap warga Indonesia tanpa
terkecuali? Persis karena perspektif kewarganegaraan hanya sebagai status legal, universal,
dan tidak eksklusif, topik ini, saya kira, sangat relevan. Sebelumnya, perkenankan saya
melandaskan terlebih dahulu pengertian tentang desentralisasi dan praktek kewarganegaraan
untuk mempermudah penjelasan.
Ada begitu banyak definisi tentang desentralisasi. Pada umumnya, desentralisasi
didefinisikan sesuai dengan yang dijelaskan Cheema dan Rondinelli (2007) dan Manor (1999)
sebagai pemindahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya melalui pelimpahan, delegasi, dan
devolusi dari tingkat nasional ke tingkat subnasional (satu-tiga tingkat di bawah pemerintahan nasional).
Di Indonesia sendiri kita mengenalnya dengan sebutan Otonomi Daerah untuk berbagai
provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/berbagai variasi desa dan Otonomi Khusus
atau Daerah Khusus untuk Aceh, Papua dan Papua Barat, Jakarta dan Yogyakarta. Bila dulu
semua urusan pemerintah diarahkan oleh Jakarta, munculnya Otonomi-Otonomi ini
memberikan wewenang lebih bagi pemerintah daerah untuk mengatur dirinya sendiri dalam
bidang politik, ekonomi, ataupun sosial.
Kewarganegaraan, seperti desentralisasi, memiliki banyak definisi. Ia juga memiliki
banyak komponen yaitu sebagai status legal, keanggotaan, partisipasi, dan hak-hak bagi
kelompok masyarakat yang berada di dalam suatu lingkup negkelompok masyarakat yang
berada di dalam suatu lingkup negara. Karenanya, tidak selalu tepat bagi kita untuk selalu
menerima kata “kewarganegaraan” hanya sebagai status hukum saja, atau keanggotaan saja,
atau masalah partisipasi dan hak-hak dan kewajiban saja karena ini akan mengkerdilkan
kompleksitas dalam makna kata itu sendiri. Kemudian, perlu dipahami juga bahwa mendapat
status kewarganegaraan tidak hanya berhenti pada perkara mendapatkan hak-hak dan
kewajiban kepada negara, tetapi juga akses kepada berbagai sumber daya (ekonomi, budaya,
politik, sosial dan lain-lain) yang ada di dalam negara. Secara historis, kewarganegaraan
muncul karena adanya hubungan antara pihak berwenang dengan masyarakat yang hidup di
dalam lembaga negara, maka hubungan ini berpengaruh pada bagaimana seseorang atau
sekelompok orang bisa menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian,
kewarganegaraan di sini akan mengambil definisi Bryan Turner (1993) sebagai seperangkat
tindakan (yuridis, politis, ekonomi, dan budaya) yang mendefinisikan seseorang sebagai anggota kompeten
dalam masyarakat, dan sebagai konsekuensinya membentuk alur sumber daya dari beberapa orang pada
kelompok-kelompok sosial. Meskipun definisi ini juga tidak lepas dari kekurangan, tetapi ia bisa
menangkap kompleksitas kewarganegaraan dalam pola hubungan masyarakat dengan negara.
Baik dalam dunia akademik maupun dunia aktivis, masalah desentralisasi (Otonomi
Daerah/Khusus) selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari politik sehari-hari warga
Indonesia. Apa saja yang dibahas? Pada beberapa bagian, desentralisasi selalu dikaitkan
dengan masalah good governance (kepemerintahan yang baik) dan pertumbuhan ekonomi
(Shabir Cheema dan Dennis Rondinelli, 2004; World Bank, 1998;). Pandangan ini
menfokuskan pembahasan bagaimana desentralisasi bisa menjadi solusi atas permasalah
pembangunan daerah dalam suatu negara. Desentralisasi membuka kesempatan bagi
masyarakat lokal untuk bisa ikut menikmati dan terlibat dalam pemerintah yang lebih
responsif dan dekat, sembari memungkinkan daerah untuk menjadi kreatif dalam memenuhi
kebutuhan ekonominya sendiri. Di seberangnya, desentralisasi dibahas pada masalah
bagaimana ia memungkinkan adanya kegagalan negara untuk hadir secara benar karena ia –
dengan vulgar dikatakan- telah “dibajak oleh elit.”1 (Hadiz dan Robison, 2011; Hadiz, 2011;
Buehler, 2014). Entah elit ini warisan dari zama Orde Baru maupun yang baru, pembajakan
elit ini adalah momok mengerikan yang malah melemahkan masyarakat, sehingga alih-alih
mendorong apa yang diharapkan dari pandangan pertama, malah menutup kemungkinan
tersebut.
Meskipun kedua pandangan ini bisa kita perhatikan dalam kehidupan politik
sekarang, amat disayangkan bahwa pembahasan terhadap masayarakat, pihak yang terlibat
dalam desentralisasi, sangat jarang dilihat secara merinci. Baik pendekatan yang pertama
maupun yang kedua hanya mampu melihat bahwa dengan desentralisasi, seharusnya
masyarakat secara otomatis bisa terdorong atau termotivasi untuk terlibat secara langsung ke
dalam proses politik atau menjadi tonggak terdepan bagi suatu gerakan sosial untuk meraih
makna demokrasi sesungguhnya. Sekali lagi, hal ini tidak lah salah, tetapi cenderung
menggeneralisir masyarakat sebagai suatu badan tunggal tanpa konteks; seperti menganggap
bahwa masyarakat dalam provinsi Jawa Barat sama saja dengan mereka yang ada di
Kalimantan Barat, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Jakarta. Desentralisasi tidak
hanya memungkinkan mendorong pemerintahan yang lebih efektif dan pertumbuhan
ekonomi, maupun memberikan kesempatan bagi elit untuk meraup keuntungan sebanyak-
banyaknya, tetapi ia juga berpengaruh terhadap tindakan warganegara dalam daerah-daerah
yang berbeda tersebut. Desentralisasi di Indonesia menjadi ruang di mana negara ditarik ke
bawah dan warga ditarik ke atas ke dalam suatu konteks spesifik. Tentunya, ini tidak berarti
bahwa suatu daera kemudian terpisah dari daerah lainnya maupun dari negara nasional,
maupun juga ini menyebabkan warga Indonesia tidak bisa berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya. Tetapi saat keduanya berada dalam batas wilayah suatu daerah (entah
1 Saya menggunakan istilah ini untuk membumikan berbagai pengertian tentang dominasi elit atau oligark (tergantung dengan pembahasan tiap penulis yang ada) di daerah-‐daerah paska-‐Orde Baru. “Pembajakan elit”, meskipun tetap tidak bisa tepat menangkap makna dari konsep ataupun teori yang ada, meerupakan istilah umum yang bisa kita pahami tanpa harus menggali maknanya secara lebih dalam.
provinsi ataupun desa), maka di situlah adanya ruang pertemuan antara masalah
kewarganegaraan dan desentralisasi.
Setelah pembahasan teoritis di atas, lantas bagaimana kita bisa melihat masalah ini
secara nyata? Mari kita lihat dimensi partisipasi (politik) pada kewarganegaraan. Kembali lagi
kepada poin yang memungkinkan masyarakat untuk bisa menjadi dekat dengan negara –
bahkan mungkin terlibat dalam proses tersebut- hal ini tidak selalu berujung kepada hasil
yang baik juga. Ambillah contoh pembentukan Blok Politik Demokratik (BPD) yang
diadvokasikan oleh LSM Demos Indonesia. Fungsi dari BPD ini adalah sebagai wadah bagi
warga di daerah-daerah yang berbeda untuk berhimpun dan menjadi kekuatan politik lokal
menghadapi cabang-cabang partai nasional dan pemerintah daerah. BPD menjadi tonggak
untuk melakukan partisipasi masyarakat dan meningkatkan representasi mereka di daerah.
Dalam evaluasi yang ditemukan oleh Arie Putra et al (2014), dari empat daerah yang
dikunjungi, daerah Serang dan OKI (Ogan Komering Ilir) menunjukkan kegagalan BPD,
sedangkan di NTT dan Batang menunjukkan keberhasilannya. Mengapa demikian? Di dua
daerah pertama ditemukan bahwa partisipasi warga sangat pasif karena begitu sempitnya
kasus advokasi yang mereka angkat dan, khusus untuk Serang, kuatnya pengaruh elit lokal
yang membatasi dan mengikat kemampuan masyarakat akar rumput. Sebaliknya, dua daerah
terakhir menunjukkan adanya inklusivitas dari unsur masyarakat yang ada dan elit yang
cenderung akomodatif terhadap tuntutan yang ada. (2014, hlm. 75). Selain masalah vertical
ini, ada juga masalah horizontal yang dikarenakan perpecahan horizontal, seperti antara
kelompok buruh dan petani yang menyebabkan artikulasi kepentingan sektoral.
Bila di atas merupakan contoh akses sumber daya ekonomi dan politik, maka
selanjutnya Lombok memberikan contoh kewarganegaraan sebagai keanggotaan dan akses
pada sumber daya sosial-budaya dan politik. Kendra Clegg (2013) melihat bahwa
desentralisasi memberikan pemberdayaan penting bagi Lombok. Ia sekarang bisa
menentukan kebijakan mana yang tepat untuk meningkatkan kemakmuran, tetapi ia juga
memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk mempertahankan identitas lokal
mereka secara budaya. Maka semakin berkembanglah bahasa Lombok yang dipergunakan
sehari-hari dan meningkatnya penggunaan agama Islam untuk menopang identitas “ke-
Lombok-an” yang ada. Ternyata imbas dari hal ini adalah munculnya intoleransi terhadap
mereka yang bukan orang Lombok dan Islam. Muncul segi pembeda yang jelas antara apa
yang Lombok dan apa yang bukan Lombok (2013, hlm. 191-192). Keadaan ini tidak hanya
mempertajam ketidakpercayaan antara warga Lombok, tetapi juga menjadi masalah untuk
akses pada sumber daya politik yang ada. Meskipun pemerintah daerah berusaha untuk
membangun forum diskusi untuk membaurkan kembali masyarakat Lombok, ia tidak
melibatkan banyak masyarakat minoritas dalam pembahasan tersebut (2012, hlm. 194).
Apa yang bisa dipelajari di sini? Pertama, di tingkat daerah pun memiliki
kompleksitas tatanan sosial yang berimbas kepada bentuk rezim politik yang berkuasa.
Sebagaimana dengan konsep desentralisasi yang melimpahkan kewenangan pada tingkat yang
lebih kecil, maka daerah-daerah memiliki rezim-rezim yang berbeda yang mempengaruhi
bagaimana akses sumber daya warga di daerah tersebut. Dengan kata lain, rezim-rezim lokal
muncul dan menjadi sangat berpengaruh. Kedua, kasus-kasus ini menunjukkan bahwa
tindakan kewarganegaraan memiliki bentuknya yang paling nyata di tingkat lokal. Meskipun
pemerintahan nasional memiliki sekumpulan aturan yang menjamin bahwa tiap warga
Indonesia memilikinya, tetapi pemerintahan-pemerintahan subnasional bisa menegosiasikan
ulang aturan-aturan tersebut dengan keadaan lokal. Dengan demikian, sangatlah penting bagi
kita untuk melihat politik lokal tidak hanya sebagai masalah politik dan ekonomi saja, tetapi
juga terkait dengan masalah kewarganegaraan.
Tentunya kita bisa berkomentar bagi warga untuk berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya yang lebih baik, atau kita bisa melakukan advokasi untuk memaksa perubahan
yang ada. Nampaknya pilihan pertama tidak selalu semudah yang dikatakan karena berpindah
dari satu tempat ke tempat lainnya tidak hanya membutuhkan daya ekonomi, tetapi juga
mempertimbangkan seberapa kuat daya tamping suatu daerah untuk bisa selalu
mengakomodasi perpindahan orang. Tentu saja hal ini bisa dijawab dengan urbanisasi tetapi
harus kita ketahui juga bahwa ia tidak bisa menafikkan akan selalu adanya rezim lokal selama
kebijakan desentralisasi dijalankan.
Pada akhirnya, saya meminta pembaca untuk tidak menganggap ini sebagai suatu
pemikiran yang baku tetapi sebagai sebuah pengantar untuk melihat masalah desentralisasi di
kemudian hari. Tulisan ini belum (dan tidak akan!) menjadi sesuatu yang sempurna. Seperti
yang sudah saya kemukakan di atas, tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan bahwa
masalah-masalah lokal juga merupakan masalah kerwarganegaraan yang berdampak kepada
saya dan pembaca apabila kita masuk ke dalam daerah-daerah tersebut. Begitupun juga
tulisan ini tidak bermaksud untuk menggeneralisir semua daerah yang ada, tetapi juga
memberikan pemahaman bahwa perlu juga bagi kita untuk mengerti secara komprehensif
mengapa kerap kali masalah yang sama di suatu daerah memiliki asal-usul dan akhir yang
berbeda. Di satu sisi, kita harus akui bahwa kewarganegaraan dan desentralisasi bisa bertolak
belakang; yang pertama menekankan persamaan dan yang kedua menekankan konteks yang
beragam. Tetapi ini tidak berarti bahwa keduanya tidak bisa diatur. Kita bisa mengendalikan
sedemikian rupa sehingga, separah-parahnya, warganegara tetap bisa hidup dengan layak di
berbagai penjuru negeri ini.