MELACAK BUKTI-BUKTI OKUPASI KOMUNITAS PRASEJARAH DI...
Transcript of MELACAK BUKTI-BUKTI OKUPASI KOMUNITAS PRASEJARAH DI...
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012 1
MELACAK BUKTI-BUKTI OKUPASI KOMUNITAS PRASEJARAH DI LINGKUNGAN KARST JAWA TIMUR BAGIAN SELATAN
(upload: geoarkeologi.blog.ugm.ac.id, tanggal 22 Maret 2015)
Oleh:
J. Susetyo Edy Yuwono
Jurusan Arkeologi Fak. Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Satu hal yang selalu hadir dalam keragaman lingkungan karst Jawa
Timur bagian selatan adalah bentukan gua (cave) dan ceruk (rock
shelter) yang menyimpan bukti-bukti kehadiran manusia dan budaya
Prasejarah ~ sebuah tataran evolusi yang mengawali dinamika
budaya masa lalu. Persoalan yang kemudian muncul adalah dari
manakah para pemukim gua tersebut berasal dan bagaimana proses
penghunian lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan pada masa
Prasejarah? Kedua pertanyaan ini dicoba didekati melalui pendekatan paleogeografis
Jawa bagian timur dengan mempertimbangkan distribusi situs-situs bertarikh Plestosen
– Holosen di sebagian besar wilayah Jawa. Kedua jalur punggungan purba yang
hampir paralel di bagian utara dan selatan Jawa bagian timur, yaitu Pegunungan
Selatan dan Antiklinorium Kendeng, masing-masing pernah menjadi basis okupasi
komunitas Prasejarah pada masanya. Keterkaitan di antara keduanya perlu dikaji
dengan menawarkan semacam mata rantai yang menjadikan lingkungan karst Jawa
Timur bagian selatan sebagai lingkungan terbuka bagi kemungkinan berlangsungnya
migrasi lokal.
Tulisan ini menyajikan dua bagian yang saling melengkapi. Bagian pertama berupa
pemaparan singkat hasil-hasil penelitian arkeologis yang pernah dilakukan ditambah
temuan terbaru selama pelaksanaan EGI 2012; Bagian kedua berupa model kajian
untuk menjelaskan kedudukan Pegunungan Selatan Jawa, khususnya lingkungan karst
Jawa Timur bagian selatan, dalam konstelasi keprasejarahan wilayah timur Jawa.
BAGIAN 1:
Okupasi Homo sapiens di Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan
Pegunungan Selatan Jawa (The Southern Plateau Zone) yang sebagian sisi
terluarnya diselimuti batuan karbonat terkarstifikasi, adalah zona plato membujur barat-
timur yang menyimpan jejak-jejak kehidupan Prasejarah di banyak tempat. Di beberapa
bagian, sungai-sungai dan lembah-lembah purba memotong bentangan karst ini menjadi
beberapa blok. Bagian paling masif terhampar mulai wilayah Parangtritis (Yogyakarta)
di ujung barat hingga Teluk Pacitan Jawa Timur, yang lazim dikenal sebagai
Gunungsewu. Dari Teluk Pacitan hingga ujung timur Jawa agihan karst kian beragam,
sebagian tersebar sporadis di daerah Pacitan Timur, Ponorogo, Trenggalek, Lumajang,
dan Jember. Sebagian lainnya meluas hingga wilayah pedalaman dengan corak
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
2
eksokarst yang bervariasi, seperti dijumpai di daerah Tulungagung, Blitar, Malang, dan
Alas Purwo di Semenanjung Blambangan, Banyuwangi.
Sejauh ini, bukti-bukti hunian Prasejarah lingkungan karst Jawa Timur bagian
selatan baru terungkap di beberapa gua di daerah Sampung (Ponorogo), Tulungagung,
dan Gunung Watangan (Jember). Penelitian di Sampung, diawali oleh L.J.C. van ES
pada tahun 1926 di Gua Lawa, diteruskan oleh van Stein Callenfels pada tahun 1928
hingga 1931. Gua Lawa adalah situs penting yang kemudian melahirkan istilah
“Sampung bone culture” sebagai salah satu karakter budaya Prasejarah di Jawa, akibat
melimpahnya kandungan artefak tulang di lapisan tanah gua. Selama dilakukannya
penelitian di Gua Lawa, tiga rangka manusia ditemukan, umumnya dalam posisi terlipat
seperti bayi di dalam kandungan. Sebuah teknik penguburan yang sudah mulai dikenal
pada masa itu, yang didasari konsep-konsep tentang siklus kehidupan.
Jejak komunitas Prasejarah lainnya ditemukan di kompleks ceruk di daerah
Campurdarat, 20 km selatan kota Tulungagung, tidak jauh dari kawasan penambangan
batugamping (Foto 01 dan 02). Hasil pertanggalan sementara terhadap sampel arang
yang berada satu konteks dengan beberapa jenis artefak dan tulang fauna Song Gentong,
mewakili masa hunian sekitar 7000 tahun lalu ~ masuk dalam kronologi hunian Kala
Holosen (Marliac & Simanjuntak, 1996).
Foto 01. Lembah Campurdarat (Tulungagung). Dua
tonjolan bukit di sebelah kanan adalah lokasi
situs Song Gentong I dan II (foto: jse yuwono)
Foto 02. Song Gentong I. Ceruk kecil ini menyimpan
bukti-bukti kehadiran manusia sekitar 7.000
tahun lalu (foto: jse yuwono)
Berbagai penelitian di perbukitan karst Tulungagung sudah mengoleksi lebih
dari sepuluh individu Homo sapiens. Temuan tengkorak Manusia Wadjak I dan Wadjak
II adalah dua spesimen yang telah mengangkat wilayah karst Tulungagung dalam
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
3
khasanah paleoantropologi dunia. Keduanya adalah manusia modern awal yang sejajar
tingkat evolusinya dengan spesimen-spesimen dari daerah Asia Tenggara lainnya, yaitu
manusia Moh Khiew di Thailand, Niah di Serawak (Malaysia), dan Tabon di Pallawan
(Philipina) (Widianto, 2010).
Wadjak I (Foto 03), ditemukan oleh B.D. van Rietschoten pada sebuah ceruk di
lereng perbukitan karst di baratlaut Campurdarat pada tahun 1889. Temuan ini telah
menarik perhatian Eugene Dubois yang tengah melakukan ekskavasi gua-gua di
Sumatera Barat, yang kemudian memindahkan kegiatan penelitiannya ke lokasi temuan
Manusia Wadjak I. Hasilnya adalah ditemukannya tengkorak Wadjak II pada tahun
1890, dengan beberapa gigi lepas, beberapa potongan tulang anggota badan, dan fosil-
fosil fauna (Widianto, 2010; Aziz & de Vos, 1989).
Foto 03. Tengkorak Manusia Wadjak dari Campurdarat (Tulungagung)
(Sumber: Widianto, 2010)
Wadjak I adalah tengkorak wanita berusia sekitar 30 tahun dengan kapasitas
otak 1550 cc, sedangkan Wadjak II adalah tengkorak laki-laki dengan kapasitas otak
1650 cc, dengan muka lebar akibat perkembangan lateral tulang pipinya. Keduanya
memiliki tinggi badan sekitar 170 cm (Widianto, 2010), ciri-ciri campuran antara
Austromelanesid dan Mongolid tampak pada temuan ini ~ tengkoraknya mencirikan
unsur Austromelanesid secara kuat, sementara mukanya mewakili muka Mongolid
(Widianto, 2001). Kendati angka pasti mengenai usia Manusia Wadjak belum diperoleh,
namun hasil test uranium telah menempatkan fosil ini ke dalam kronologi Kala Holosen
(Jacob, 1967), sehingga kemungkinan berasal dari 11.000 tahun lalu.
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
4
Gunung Watangan – Jember adalah wilayah ketiga di lingkungan karst Jawa
Timur bagian selatan yang sudah sering diteliti. Dua dari puluhan gua yang ada, yaitu
Gua Sodong dan Gua Marjan, terbukti memberikan informasi arkeologis penting. Pada
tahun 1930-an, H.R. van Heekeren yang melakukan ekskavasi di Gua Sodong di bagian
utara Gunung Watangan daerah Puger, menemukan rangka manusia pigmi yang cukup
lengkap, dikubur secara terlipat dengan tangan kanan menyilang di atas perut. Di Gua
Marjan, tidak jauh letaknya dari Gua Sodong, rangka manusia banyak ditemukan.
Sebuah rangka dikubur terlipat, berasosiasi dengan rahang bawah yang kekar dan
bergigi besar, menunjukkan kesamaan dengan tengkorak Sampung (Widianto, 2010).
Selain ketiga daerah di atas, potensi arkeologis gua-gua di daerah Trenggalek,
Blitar, Malang, dan Banyuwangi belum pernah diteliti. EGI 2012 di sebagian besar
lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan, mensinyalir sejumlah gua dan ceruk yang
memiliki potensi arkeologis sebagai situs hunian Prasejarah. Dugaan ini sementara
didasarkan atas kriteria morfologis gua, dimensi dan kondisi ruangan gua, temuan
permukaan, serta lingkungan sekitar gua terutama kondisi medan dan sumberdayanya
yang memberikan akses bagi okupasi manusia Prasejarah.
Di Pacitan Timur, jajaran ceruk di sepanjang sisi Lembah Lorok, Kecamatan
Ngadirojo (Foto 04 dan 05), memberikan bukti-bukti hunian para pemukim Prasejarah
wilayah pesisir. Sejumlah cangkang kerang laut yang terdeposit di permukaan lantai gua
adalah bukti bahwa mereka telah memanfaatan sumberdaya lingkungan terdekat.
Sebagian cangkang kerang tersebut telah dimodifikasi menjadi perkakas serut.
Foto 04 dan 05. Kompleks ceruk di Lembah Lorok (Pacitan Timur) (foto: jse yuwono)
Gua Somopuro di Kecamatan Tulakan (Foto 06 dan 07), adalah bukti lain
sebuah gua hunian Prasejarah wilayah pedalaman yang tidak pernah kekurangan air.
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
5
Hingga kini, tepian ruangan gua ini masih dialiri sungai kecil yang tidak pernah kering
sepanjang tahun, dan menjadi sumber air untuk keperluan irigasi persawahan di lembah
yang luas depan mulut gua. Sebagai kaum pemburu, para pemukin gua di daerah
Tulakan banyak memanfaatkan batu rijang untuk membuat senjata, yang bahan bakunya
melimpah di Kali Padi, sungai utama di daerah setempat yang mengalir di permukaan
dan menghilang menjadi aliran sungai bawahtanah (Foto 08 dan 09).
Foto 06 dan 07. Gua Somopuro di Tulakan (Pacitan Timur) (foto: jse yuwono)
Foto 08. Kali Padi dengan bongkah-bongkah andesit
bercampur rijang, salah satu lokasi sumber bahan
artefak batu prasejarah (foto: jse yuwono)
Foto 09. Mulut Gua Padi, titik menghilangnya aliran
Kali Padi (foto: jse yuwono)
Nama Gua Lawa juga dijumpai di wilayah karst bagian barat Tulungagung yang
kini sudah dikembangkan menjadi objek wisata. Mulut gua yang tampak sekarang
adalah bagian ujung dari lorong sungai bawahtanah, yang mendapatkan pasokan airnya
dari sungai permukaan yang berhulu di Watulimo, pegunungan berbatuan vulkanik di
perbatasan Trenggalek dan Tulungagung (Foto 10 dan 11). Runtuhnya sebagian besar
atap gua menampakkan lorong sungai bawahtanah aktif dan sekaligus memperjelas
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
6
ceruk-ceruk kecil dan ruang terbuka di sekitar runtuhan. Di antara kerakal andesit yang
berserak di sepanjang dasar sungai bawahtanah ditemukan beberapa fragmen dengan
ciri-ciri teknologis sebagai artefak, sebagian di antaranya berbahan rijang (Foto 12 dan
13).
Foto 10 (atas). Gua Lawa di perbatasan
Trenggalek –Tulungagung (foto: jse yuwono)
Foto 11 (kanan). Sungai permukaan sebagai
upstream sungai bawahtanah di Gua Lawa
(foto. jse yuwono)
Foto 12. Endapan kerakal di aliran sungai bawahtanah Gua Lawa
(foto: jse yuwono)
Foto 13. Indikasi artefak di Gua Lawa (foto:
jse yuwono)
Masih di Tulungagung, deretan perbukitan karst mulai Gua Lawa di perbatasan
Trenggalek ke arah timur hingga Campurdarat, menjanjikan informasi penting
sehubungan dengan penghunian Prasejarah di lingkungan karst Jawa Timur bagian
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
7
selatan. Fenomena menarik berupa jajaran ceruk dan gua pada satu teras pengangkatan,
menjadi indikasi awal yang perlu dilacak untuk melengkapi informasi sebelumnya (Foto
14 dan 15).
Foto 14 dan 15. Deretan ceruk di daerah Tulungagung yang berpotensi sebagai
situs hunian Prasejarah (foto: jse yuwono)
Wilayah karst Malang Selatan juga menyimpan potensi arkeologis yang tidak
kecil. Mulai dari Turen ke selatan, sejumlah bentukan gua karst yang layak huni
dijumpai. Salah satunya Gua Plethes yang terletak persis di pinggir jalan menuju
Sendangbiru (Foto 16 & 17). Kendati artefak belum ditemukan, tetapi morfologi gua,
dimensi dan kondisi ruangannya, serta lingkungan sekitarnya, mendukung
berkembangnya hunian Prasejarah di gua ini. Lembah subur Sumber Manjing di
wilayah selatan, yang morfologinya menyerupai sebuah graben memanjang dengan
limpahan mata airnya, adalah potensi lahan yang juga mendukung penghunian wilayah
karst Malang Selatan (Foto 18 &19). Fenomena unik lainnya dijumpai di Pulau Sempu,
selatan Malang, menyimpan sederet ceruk dan gua yang belum terjamah, dan
berpeluang memberikan informasi penghunian awal kawasan yang selama ini masih
suram dari sisi keprasejarahannya.
Gambaran potensi Pulau Sempu tentunya dijumpai pula di Pulau Barung, selatan
Jember, sebagai blok terpisah dari Pegunungan Selatan Jawa. Juga Alas Purwo di
Semenanjung Blambangan (Banyuwangi), menyimpan potensi arkeologis dan
etnografis yang melimpah dan menantang dilakukannya kajian mendalam. Agihan
karstnya yang masif dan unik tentunya mencerminkan keunikan pula secara kultural dan
kesejarahan.
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
8
Foto 16 dan 17. Gua Plethes di wilayah karst Malang Selatan, prototipe
sebuah gua hunian (foto: jse yuwono)
Foto 18 dan 19. Lembah subur di Sumber Manjing, Malang Selatan (foto: jse yuwono)
BAGIAN 2:
Mata Rantai Penghunian Pegunungan Selatan Jawa
Dalam kerangka geomorfologi Jawa, A.J. Pannekoek (1949), menempatkan
Pegunungan Selatan Jawa sebagai salah satu zona spesifik pembentuk kawasan timur
Pulau Jawa. Punggungan tinggi membujur barat-timur ini bagian utaranya
bersinggungan dengan Zona Depresi Tengah yang memisahkannya dari Antiklinorium
Kendeng di utara Jawa. Kedua jalur pegunungan di selatan dan utara ini adalah jalur-
jalur purba yang pernah berperan sebagai “rahim-rahim” bagi lahirnya cikal-bakal
budaya-budaya tertua di Jawa. Situs-situs Plestosen dengan teknologi paleolitiknya
bermunculan di utara. Mulai daerah Pati, Sragen, Ngawi, hingga Mojokerto, tercatat
situs-situs penting Kelompok Kendeng, di antaranya Patiayam, Sambungmacan, Trinil,
Ngandong, Kedungbrubus, Kalibeng, Kabuh, Pucangan, dan Perning, ditambah
Sangiran yang agak menyimpang ke selatan, ke sebuah kubah di Depresi Solo.
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
9
Sementara di Pegunungan Selatan, tumbuh subur permukiman bertarikh Holosen di
gua-gua karst dengan dominasi mesolitiknya.
Penelitian arkeologis di Pegunungan Selatan Jawa sudah dilakukan sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda hingga sekarang. Sebagian besar situs berupa gua-gua
karst, baik di jajaran Gunungsewu maupun di sebagian lingkungan karst Jawa Timur
bagian selatan. Namun demikian, bukan berarti bahwa potensi situs-situs terbuka (open
sites) di Pegunungan Selatan tidak ada. Temuan situs paleolitik pertama di Indonesia
justru terjadi di wilayah ini, yaitu di aliran Kali Baksoka (Pacitan) (Foto 20 dan 21).
Foto 20 dan 21. Lembah Baksoka dan salah satu bagian sungainya, Kedung Maron, adalah situs terbuka yang
menjadi area jelajah komunitas Prasejarah Pacitan (foto: jse yuwono)
Berpijak pada dua isu besar, dari manakah para pemukim gua di lingkungan
karst Jawa Timur bagian selatan berasal; dan bagaimana mereka memasuki
lingkungan karst ini?, maka kajian ini dikembangkan. Di samping aspek spasial dan
temporal masing-masing situs, kondisi paleogeografi kawasan dijadikan pertimbangan
penting dalam penyusunan hipotesis ini.
Dalam deskripsi Pannekoek (1949), fisiografi Pegunungan Selatan Jawa
menampakkan bentukan plato sebagai hasil proses pengangkatan (uplifted peneplain)
terhadap batuan berumur Miosen. Akibat proses pengangkatan dan sejumlah kejadian
geomorfik, wilayah berbatuan gamping di bagian paling selatan kemudian berkembang
menjadi topografi karst dengan sistem drainase bawahtanahnya. Kenampakan plato pun
berubah menjadi bukit-bukit kecil berbangun kerucut, yang dikenal sebagai
Gunungsewu dan lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan.
Mengenai umur pengangkatan Pegunungan Selatan Jawa, G.H.R. von
Koenigswald memperkirakan terjadi pada akhir Plestosen Bawah. Indikasi umur
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
10
tersebut diperoleh di bagian kipas-kipas batugamping Gunungsewu, berupa sisa-sisa
fauna Plestosen Bawah (Tapirus dan Rhinoceros) yang hidup di daerah humid dengan
kondisi lingkungan rawa. Ini membuktikan bahwa lokasi temuan tersebut dulu terletak
di bagian rendah, yang kemudian terangkat sehingga aliran permukaannya menghilang.
Tebing terjal di sepanjang sisi utara Pegunungan Selatan Jawa pada
kenyataannya tidak memiliki kenampakan seperti garis lurus. Di beberapa bagian,
khususnya di selatan Gunung Wilis dan Gunung Lawu, terdapat ujung-ujung yang
menjorok ke arah utara. Ujung kurva (“spur”) di selatan Gunung Wilis, bahkan
mengarah jauh ke utara menembus tubuh Gunung Wilis Tua dan kemudian tertutup oleh
deposit volkanik; sedangkan di selatan Gunung Lawu, bagian paling utara dari “spur”
merupakan blok terpisah yang membentuk Gunung Gijono.
Bagian tenggara Gunung Wilis berupa sistem lembah yang menyusup dari Zona
Depresi Tengah ke dalam Pegunungan Selatan (di dekat kota Tulungagung). Bagian
dasarnya berupa lembah-lembah lebar yang sebagian besar tertutup dan “tenggelam” di
bawah sedimen muda. Akibatnya, Pegunungan Selatan seolah mundur ke arah selatan,
menyisakan punggungan runcing dan rendah yang memisahkan sebaran lembah dengan
Samudra Hindia (di dekat Teluk Popoh). Tampaknya pernah terjadi amblesan di bagian
ini yang memperendah dan mendorong pembentukan sistem lembah. Bahkan, bagian
terluas dari dasar lembah telah tertutup rawa yang luas, yaitu Rawa Bening.
Di selatan Gunung Semeru, Jalur Pegunungan Selatan mengalami pemotongan
oleh sebuah ngarai berkelok-kelok (sinuous canyon), yang sebagian terisi aliran
volkanik Semeru. Di bagian ini pula terdapat lengkungan ke utara membentuk “spur”
seperti di selatan Gunung Wilis, dengan kurva lebih ramping dan memiliki kontur
cekung. Ujung rentangan Pegunungan Selatan, tampaknya terletak pada perlapisan di
bawah dataran aluvial dari depresi Lumajang. Pada paparan dangkal di selatannya
terdapat Pulau Barung, tersusun atas batugamping dengan sejumlah konikal karstnya.
Di timur depresi Lumajang, tubuh Pegunungan Selatan muncul kembali pada ketinggian
Gunung Betiri. Bagian ini dikepung oleh potongan-potongan terpisah massa batuan
yang mencuat di atas dataran aluvial yang mengapitnya.
Bagian terakhir dari Pegunungan Selatan adalah Semenanjung Blambangan
yang terkesan aneh, tersusun atas plato batugamping yang menampakkan kembali
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
11
karakteristik karstnya, walaupun tingkat pelarutan batuannya tidak seintensif
Gunungsewu. Bagian ini tampak dibatasi oleh patahan-patahan di semua sisinya: Di sisi
barat terdapat pola kelurusan, segaris dengan pantai timur Jawa sepanjang Selat Bali,
sedangkan batas luar sisi-sisi selatan dan timurlautnya ditandai oleh garis-garis kontur
yang dalam dan lurus. Meskipun secara fisiografis Pulau Jawa berakhir di sini, bukan
berarti bahwa zona tektonik dan fisiografi berhenti di sini pula. Karakter topografi yang
sama ternyata muncul kembali di Kepulauan Sunda Kecil yang membentuk
semenanjung di selatan Bali, Pulau Nusa Penida, dan barisan selatan Lombok.
Di utara Pegunungan Selatan, terdapat Zona Depresi Tengah yang ditumbuhi
jajaran gunungapi. Pada dasarnya zona ini adalah bagian lipatan yang lebih rendah
dibanding dengan kedua zona yang mengapitnya, yang kemudian terisi oleh endapan
hasil aktivitas sejumlah gunungapi, membentuk kipas fluvio-volkanik yang luas. Di
beberapa tempat batuan dasar dari masa yang lebih tua tidak tertutup oleh endapan
volkanik. Menurut Bemmelen (1949), gunung-gunung yang menjadi generasi pertama
di Zona Depresi Tengah adalah Gunung Wilis Tua, Gunung Lawu Tua, Pegunungan
Iyang, dan Gunung Anjasmoro.
Titik-titik persinggungan antara Pegunungan Selatan dengan Gunung Wilis Tua
inilah yang paling memungkinkan bagi komunitas Homo erectus Kendeng memasuki
Pegunungan Selatan. Dengan demikian, daerah antara Ponorogo, Trenggalek, dan
bagian baratlaut Tulungagung, dapat dijadikan mata rantai untuk merunut proses
penghunian Pegunungan Selatan Jawa, di mana komunitas manusia kemudian menyebar
dan mengokupasi gua-gua di Gunungsewu dan Jawa Timur bagian selatan.
Di antara situs-situs Kelompok Kendeng di utara, sebagian berada di sayap
baratlaut dan utara Gunung Wilis, yang memiliki jarak geografis terdekat ke arah
Pegunungan Selatan Jawa. Situs Kedungbrubus di sebelah timur Ngawi, misalnya,
merupakan lokasi terdekat dengan “spur” Pegunungan Selatan di selatan Gunung Wilis.
Dari titik persinggungan tersebut ke arah selatan, daerah Ponorogo, Trenggalek, dan
Tulungagung berada. Bahkan, subfosil manusia purba di Pegunungan Selatan Jawa juga
ditemukan di Campurdarat (Tulungagung), yang dikenal sebagai Manusia Wadjak I dan
II.
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
12
Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, 21-30 Juni 2012
13
Skema penghunian Gunungsewu sudah banyak dibahas (Yuwono, 2005, 2011),
tetapi bagaimana yang terjadi di lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan adalah
sebuah yang lebih rumit. Hasil-hasil penelitian terdahulu ditambah sejumlah temuan
EGI 2012 menjadi bukti bahwa lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan adalah
lahan subur bagi kajian arkeologi karstik selain Gunungsewu. Luasnya endapan fluvio-
volkanik di wilayah Lumajang, yang menjadikan Gunung Watangan (Jember) terpisah
dari bagian masif Pegunungan Selatan, demikian pula Pulau Barung dan Alas Purwo di
Semenanjung Blambangan memberikan tantangan tersendiri. Fisiografi kedua wilayah
ini unik dan sama sekali belum tersentuh penelitian arkeologis.
RUJUKAN
Aziz, F. & J. De Vos, 1989, “Rediscovery of the Wadjak Site (Java, Indonesia)”,
Journal of the Anthropological Society of Nippon, Vol. 97, No. 1, 1989.
Bemmelen, R.W. van, 1949, The Geology of Indonesia, Government Printing
Office,The Hague.
Marliac, A. & T. Simanjuntak, 1996, “Preliminary report on the site of Song Gentong
Kabupaten Tulungagung, East Java (Indonesia)”, Communication to the
6th International Congress of European Association of Southeast Asian
Archaeologists, International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden,
2-6 Sept. 1996, Netherlands.
Pannekoek, A.J., 1949, “Outline of the geomorphology of Java. TAG Th 1949, E.J.
Brill, Leiden, Netherland, hlm. 270-326.
Widianto, H., 2001, “Sisa manusia hunian gua prasejarah di Gunungsewu: Mekanisma
migrasi Pasca Plestosen”, Proceeding EHPA, Proyek Peningkatan
Penelitian Arkeologi Jakarta, hlm. 296-312.
-----------------, 2010, Jejak langkah setelah Sangiran, BPSMP Sangiran.
Yuwono, JSE, 2005, “Paleogeografi Pegunungan Selatan Jawa dan implikasinya
terhadap penyusunan hipotesis tentang migrasi lokal komunitas
prasejarah di Jawa bagian timur, Sumijati As & Sumarsono (ed), Potret
transformasi budaya di era global, FIB UGM, Yogyakarta, hlm.142-163.
-----------------, 2011, “Napak tilas penghunian awal Gunungsewu”, Ekspedisi Geografi
Indonesia: Karst Gunungsewu, Bakosurtanal, hlm. 60-72