Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota Tim Manajemen Atas dan ... · Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota...

28
SI-03 1 Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota Tim Manajemen Atas dan Eksekutif STI: Menuju Keselarasan Sistem Informasi Strategik Asty Almaida, SE, M.Si UNIVERSITAS HASANUDDIN DR. Sony Warsono, MAFIS UNIVERSITAS GAJAHMADA Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh alih pengetahuan anggota Tim Manajemen Atas (TMT) dan eksekutif Sistem Teknologi Informasi (STI) pada keselarasan Sistem Teknologi Informasi-Strategik (SIS) dan kemudian menguji faktor- faktor yang mendorong terjadinya alih pengetahuan yang efektif. Berdasarkan tinjauan literatur alih pengetahuan, sistem informasi dan strategi penelitian ini mengajukan hambatan pengetahuan, motivasi, dan iklim organisasi sebagai antiseden utama alih pengetahuan. Model penelitian diuji secara kuantitatif melalui survei lapangan pada 124 pasangan serasi TMT/eksekutif STI menggunakan model persamaan struktural dengan perangkat lunak LISREL. Hasil penelitian memperlihatkan pentingnya alih pengetahuan pada keselarasan SIS, demikian juga untuk ketiga antiseden alih pengetahuan. Analisi penelitian ini mendukung 9 dari 11 hipotesis yang diajukan juga memberikan kontribusi baru berupa munculnya pengaruh langsung antiseden alih pengetahuan (kemampuan mengabsorbsi, ambiguitas kausal dan afiliasi) yang diharapkan dapat dijadikan arahan bagi penelitian selanjutnya.Bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan faktor motivasi merupakan faktor yang paling berpengaruh pada alih pengetahuan, hasil penelitian ini memperlihatkan hambatan terbesar alih pengetahuan adalah terkait dengan pengetahuan itu sendiri. Analisis penelitian ini Kenyataan akan pentingnya STI dalam bisnis dan seringkali berkontribusi secara strategis, penelitian ini memberikan implikasi bagi pengembangan teori dan praktis Kata Kunci: Eksekutif STI, anggota Tim Manajemen Atas, Alih Pengetahuan, Keselarasan SIS, Sistem Informasi, Persamaan Model Struktural, LISREL

Transcript of Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota Tim Manajemen Atas dan ... · Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota...

SI-03   1 

Mekanisme Alih Pengetahuan Anggota Tim Manajemen Atas dan Eksekutif STI: Menuju Keselarasan Sistem Informasi Strategik

Asty Almaida, SE, M.Si

UNIVERSITAS HASANUDDIN DR. Sony Warsono, MAFIS

UNIVERSITAS GAJAHMADA

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh alih pengetahuan anggota Tim Manajemen Atas (TMT) dan eksekutif Sistem Teknologi Informasi (STI) pada keselarasan Sistem Teknologi Informasi-Strategik (SIS) dan kemudian menguji faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih pengetahuan yang efektif. Berdasarkan tinjauan literatur alih pengetahuan, sistem informasi dan strategi penelitian ini mengajukan hambatan pengetahuan, motivasi, dan iklim organisasi sebagai antiseden utama alih pengetahuan. Model penelitian diuji secara kuantitatif melalui survei lapangan pada 124 pasangan serasi TMT/eksekutif STI menggunakan model persamaan struktural dengan perangkat lunak LISREL. Hasil penelitian memperlihatkan pentingnya alih pengetahuan pada keselarasan SIS, demikian juga untuk ketiga antiseden alih pengetahuan. Analisi penelitian ini mendukung 9 dari 11 hipotesis yang diajukan juga memberikan kontribusi baru berupa munculnya pengaruh langsung antiseden alih pengetahuan (kemampuan mengabsorbsi, ambiguitas kausal dan afiliasi) yang diharapkan dapat dijadikan arahan bagi penelitian selanjutnya.Bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan faktor motivasi merupakan faktor yang paling berpengaruh pada alih pengetahuan, hasil penelitian ini memperlihatkan hambatan terbesar alih pengetahuan adalah terkait dengan pengetahuan itu sendiri. Analisis penelitian ini Kenyataan akan pentingnya STI dalam bisnis dan seringkali berkontribusi secara strategis, penelitian ini memberikan implikasi bagi pengembangan teori dan praktis Kata Kunci: Eksekutif STI, anggota Tim Manajemen Atas, Alih Pengetahuan,

Keselarasan SIS, Sistem Informasi, Persamaan Model Struktural, LISREL

SI-03   2 

PENDAHULUAN

Menghadapi lingkungan bisnis yang bergejolak diakibatkan krisis multidimensi dan

peningkatan persaingan dunia, eksekutif bisnis dituntut berupaya tidak hanya

mempertahankan bisnis mereka tetapi juga untuk mengembangkan bisnis tersebut. STI

merupakan alat yang penting untuk mendorong dan mengeksekusi strategi bisnis yang

dampaknya terhadap kinerja organisasi telah diketahui (Henderson dan Venkatraman

1999; Rathnam et al., 2004; Hartono 2005). STI dapat mendorong peningkatan

produktivitas organisasi dan mempertahankan keuntungan persaingan dalam

menghadapi ketidakpastian dan perubahan lingkungan yang dinamis.

Pentingnya STI sebagai salah satu penunjang utama kesuksesan strategi, juga

mendapat perhatian pelaku bisnis di Indonesia. Peningkatan investasi STI diperkirakan

meningkat sebesar 60% pada tahun 2009 dan bukan hanya dilakukan oleh organisasi

bisnis skala atas tetapi juga oleh skala menengah (SDA 2006). Namun, terdapat

peningkatan perhatian bahwa manfaat yang diharapkan dari investasi STI tidak dapat

tercapai (Henderson dan Venkatraman 1999). Beberapa penelitian menyatakan

hubungan kerja manajemen atas dan eksekutif STI sebagai faktor utama untuk

memfasilitasi keselarasan SIS dalam organisasi; tetapi hubungan ini juga terbukti

muncul sebagai masalah utama (Luftman et al., 1999 dan Rathnam et al., 2004).

Thomas (1991) dan Hirschheim dan Sabherwal (2001) menyatakan buruknya hubungan

tersebut diakibatkan perbedaan pengetahuan yang memperburuk komunikasi kedua

pihak. Perbedaan pengetahuan ini mencakup keterbatasan pemahaman eksekutif STI

tentang bisnis dan keterbatasan pemahaman manajemen atas tentang kemampuan STI

dalam menunjang strategi bisnis.

SI-03   3 

Nelson dan Cooprider (1996) menemukan bahwa berbagi pengetahuan (dicapai

melalui saling percaya dan pengaruh) antara kelompok Sistem informasi dan pelanggan

lini mereka berkontribusi pada kinerja sistem informasi. Penelitian ini akan

mengeksplorasi masalah yang sama dengan menggantikan konsep berbagi pengetahuan

dengan konsep alih pengetahuan kearah terciptanya keselarasan SIS dan juga

mengeksplorasi faktor-faktor penting tercapainya alih pengetahuan yang efektif antara

tim manajemen atas (TMT) dan eksekutif STI.

Szulanski (1996) mengidentifikasi dua kategori faktor yang dapat

mempengaruhi alih praktik terbaik antar unit dalam organisasi; faktor pengetahuan dan

motivasional yang berasal dari individu itu dan organisasi (iklim organisasi). Faktor

pengetahuan terdiri dari kekakuan hubungan (Ardous Relationship), kemampuan

mengabsorbsi (Absorptive Capacity), ambiguiti kausal (Causal Ambiguity) dan

kesepahaman (Shared Understanding) (Szulanski 1996; Ko et al., 2005). Faktor

motivasi meliputi ekstrinsik dan intrinsik (Ko et al., 2005); iklim organisasi terdiri dari

afiliasi, inovasi dan keadilan (Bock et al., 2005). Pada penelitian ini ketiga faktor

tersebut diatas dimasukkan sebagai antiseden penting alih pengetahuan dan kemudian

menguji pengaruh masing-masing.

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

Gambar 1 menampilan model penelitian ini yang menampilkan faktor pengetahuan,

motivasi dan iklim organisasi sebagai antiseden utama alih pengetahuan

SI-03   4 

Kesepahaman

Ambiguiti Kausal

Kemampuan mengabsorbsi

H2b (+)

Motivasi Intrinsik

Motivasi Ekstrinsik H3a (+)

H2d (+)

H2c (-)

H4c (+)

H4b (+)

Affiliasi

Inovasi

Iklim Organisasi

H4a (+)

H3b (+)

Keadilan

Motivasi

Faktor Pengetahuan Kekakuan

hubunganH2a (-)

H1 (+)

Keselarasan Sistem

TeknologiInformas -Strategik

Kemudahan Alih

Pengetahuan

Gambar 1: Model Penelitian

Alih Pengetahuan dan Keselarasan SIS

Alih pengetahuan merupakan proses seorang anggota jaringan dipengaruhi oleh

pengalaman dari anggota lainnya (Argote dan Ingram 2000; Inkpen dan Tsang 2005),

menitikberatkan pada kesediaan individu dalam organisasi untuk berbagi pengetahuan

yang mereka dapatkan atau ciptakan dengan yang lain (Gibbert dan Krause 2002;

dikutip oleh Bock et al. 2005), pertukaran dua arah (dyadic) dari pengorganisasian

pengetahuan antara seorang narasumber dan seorang penerima (Szulanski 1996; Ko et

al., 2005). Darr dan Kurtzberg (2000) serta Ko et al. (2005) lebih jauh menjelaskan, alih

SI-03   5 

pengetahuan terjadi “ketika seorang kontributor berbagi pengetahuan yang digunakan

oleh seorang adopter” atau dengan kata lain pengetahuan dikatakan dialihkan apabila

terjadi pembelajaran, dan ketika penerima mengerti seluk beluk dan implikasi yang

berhubungan dengan pengetahuan tersebut sehingga dia dapat menggunakannya (Darr

dan Kurtzberg 2000; Ko et al., 2005).

Beberapa peneliti menyatakan faktor terbesar kegagalan keselarasan SIS adalah

perbedaan pengetahuan antara eksekutif bisnis dan eksekutif SIS. Nelson dan Cooprider

(1996) menyatakan berbagi pengetahuan antara kelompok STI dan manajemen lini akan

meningkatkan efektivitas STI yang secara langsung mempengaruhi keselarasan SIS

dalam organisasi. Preston dan Karahanna (2004) juga menyatakan pentingnya

mekanisme pertukaran pengetahuan yang mempengaruhi keselarasan SIS secara tidak

langsung melalui mediasi model berbagi mental (shared mental models/SMMs).

Karena alih pengetahuan merupakan suatu biaya dari sisi pengetahuan sisumber,

dalam bentuk waktu dan usaha yang dihabiskan untuk menolong yang lain untuk

memahami pengetahuan yang dimilikinya, sumber pengetahuan merupakan posisi yang

terbaik untuk mengevaluasi biaya ini. Penelitian ini berfokus pada kemudahan alih

pengetahuan (ease of knowledge transfer) (Reagans dan McEvily 2003) dari unit

sumber ke unit penerima, menekankan pada penilaian unit sumber akan kemudahan

dalam melakukan alih pengetahuan. Proses alih pengetahuan yang berjalan dengan baik

dapat meningkatkan kinerja sipenerima pengetahuan.

H1: Kemudahan alih pengetahuan berpengaruh positif pada keselarasan SIS

SI-03   6 

Antiseden Kemudahan Alih Pengetahuan

Faktor Pengetahuan

Szulanski (1996) mendefinisikan tiga faktor hambatan pengetahuan sebagai

kekakuan hubungan antara sisumber dan sipenerima, ambiguitas kausal dan

kemampuan mengabsorbsi. Ko et al. 2005 menambahkan faktor kesepahaman

dalam faktor yang terkait dengan hambatan pengetahuan yang diadopsi dari Nelson dan

Cooprider (1996).

Kekakuan Hubungan Pada Kemudahan Alih Pengetahuan

Beberapa penelitian mengusulkan salah satu faktor penting yang mempengaruhi alih

pengetahuan adalah hubungan antara seorang narasumber dan seorang penerima

(Argote 1999; dikutip oleh Ko et al., 2005). Mengalihkan pengetahuan memerlukan

interaksi yang berulangkali antar orang yang terlibat (Nonaka 1994; Ko et al., 2005).

Kesuksesan interaksi bergantung pada kualitas hubungan (Ko et al., 2005). Kekakuan

hubungan (arduous relationship) didefinisikan sebagai hubungan yang secara emosional

sulit dan hubungan yang jauh antara sumber dengan seorang penerima, (Szulanski 1996;

Ko et al., 2005), mempengaruhi kemampuan sumber mengalihkan pengetahuan yang

diperlukan dan bagi si penerima untuk mempelajari serta menggunakan pengetahuan

tersebut. Oleh karena itu, kekakuan hubungan antara sumber dengan penerima

membawa dampak negatif terhadap keefektifan alih pengetahuan (Baum dan Ingram

1998; dikutip oleh Ko et al., 2005).

H2a: Kekakuan hubungan berpengaruh negatif pada kemudahan alih

pengetahuan

Kemampuan mengabsorbsi (absorptive capacity)

SI-03   7 

Kemampuan absorbsi merupakan kemampuan penerima untuk mengenali arti penting

dan nilai eksternal knowledge, memahami dan menggunakannya (Cohen dan Levinthal

1990; Ko et al., 2005). Zahra dan George (2002) dalam Malholtra et al., (2005),

mengkonseptualisasikan kemampuan absorbsi sebagai kemampuan dinamis mengenai

kreasi dan kegunaan pengetahuan yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi

untuk mendapatkan dan mempertahankan keuntungan persaingan. Menurut Dagfous

(2004), Kemampuan absorbsi terdiri dari akuisisi, assimilasi, transformasi dan

kemampuan eksploitasi. Walaupun jika seorang manajer mengetahui mengenai praktik

terbaik, dia mungkin tidak memiliki sumber daya (waktu atau uang) ataupun detail

praktis untuk mengimplementasikan (Szulanski 1996; O’Dell dan Grayson 1998).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kemampuan absorbsi berhubungan positif

dengan alih pengetahuan (Szulanski 1996; Nelson dan Coprider 1996; Ko et al., 2005).

Szulanski (1996) menemukan bahwa ketiadaan kemampuan absorbsi dalam alih praktik

terbaik merupakan hambatan utama alih pengetahuan perusahaan. Lane et al. (2001)

menemukan bahwa kemampuan absorbsi memiliki pengaruh yang signifikan dalam

proses pembelajaran dan kinerja pada usaha bersama internasional (internal joint

venture)

H2b: kemampuan mengabsorbsi berpengaruh positif pada kemudahan alih

pengetahuan

Ambiguitas Kausal (Causal Ambiguity)

Penyebab kendala alih pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai faktor motivasi atau

kendala kognitif (Fross dan Pederson 2001; dikutip oleh Alamsyah dan Wijanto 2005).

Kendala kognitif berupa ambiguitas kausal, kompleksitas, ketacitan, kemampuan

SI-03   8 

absorbsi. Ambiguitas kausal merupakan ambiguiti hubungan antara sumberdaya

perusahaan dengan keuntungan kompetitif yang bertahan (Reed dan DeFillippi 1990;

Barney, 1991; dikutip oleh Szulanski 2000). Ambiguiti merupakan ketidakmampuan

untuk menginterpretasikan atau membuat masuk akal (make sense) sesuatu hal (Zack

1998; dikutip oleh Alamsyah dan Wijayanto 2005), kurangnya kejelasan (Levinthal dan

March 1993; dikutip oleh Alamsyah dan Wijayanto 2005). Adanya ambiguitas kausal

akan membatasi penggunaan secara efektif keterampilan dan sumber daya. Szulanski

(2000) menyatakan alih pengetahuan terjadi dalam empat tahapan yang berbeda dan

menemukan bahwa ambiguitas kausal signifikan pada keseluruhan tahapan dalam

menentukan hambatan alih pengetahuan.

H2c: Ambiguitas kausal berpengaruh negatif pada kemudahan alih pengetahuan

Kesepahaman (Shared Understanding)

Kesepahaman menunjukkan tingkatan nilai kerja, norma, philosofi, pendekatan

pemecahan masalah, dan pengalaman kerja terdahulu bagi kedua belah pihak (sumber

dan penerima) memiliki kesamaan (Nelson dan Coprider 1996; Ko et al., 2005).

Penelitian menyarankan kesamaan heuristik dan kesamaan pengalaman antara sumber

dan penerima merupakan antaseden penting dari alih pengetahuan (Hansen 1999; dikuti

oleh Ko et al., 2005), yang melampui hambatan dalam pemahaman dan penerimaan

antara sumber dan penerima (Krauss dan Fussel 1990; dikutip oleh Ko et al., 2005), dan

dengan demikian kedua partisipan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam

bekerja menuju tujuan bersama (Nelson dan Cooprider 1996; Ko et al., 2005).

Ketiadaan kesepahaman, menyebabkan ada suatu tendensi bagi partisipan untuk saling

tidak setuju mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan dan mengapa, yang dapat

SI-03   9 

menyebabkan hasil yang buruk. (Bennet 1996; Gerwin dan Moffat 1997; dikutip oleh

Ko et al.2005). Preston dan Karahanna (2004) menemukan bahwa kesepahaman

memiliki pengaruh signifikan pada hubungan antar CIO dan TMT yang merupakan

faktor utama dalam keefektifan IS dan keselarasan SIS

H2d: Kesepahaman berpengaruh positif pada alih pengetahuan

Faktor Motivasi

Alih pengetahuan tidak terjadi tanpa adanya biaya partisipan. Individu percaya

bahwa keuntungan yang diharapkan akan lebih banyak dibandingkan dengan biaya yang

mereka keluarkan. Bukan hanya dikarenakan proses alih pengetahuan membutuhkan

waktu dan usaha (Gibbert dan Krause 2002; Firth 2004; Kankanhanlli et al., 2005),

tetapi dengan melakukan alih pengetahuan dalam konteks organisasi mendatangkan

dilema klasik “kepemilikan umum” (Barry dan Hardin 1982; Marwell dan Oliver 1993;

dikutip oleh Bock et al., 2005; Firth 2004), suatu aset pengetahuan yang berpengaruh

pada kesuksesan organisasi, dapat digunakan oleh yang lain, tanpa mengetahui apakah

akan memberikan timbal balik (Dawes 1980; Thorn dan Connoly 1987; dikutip oleh

Bock et al., 2005). Dilema ini kemudian diperkuat ketika keahlian (mis; reputasi

seseorang) menjadi sangat bernilai tetapi mengajarkan atau menolong yang lain

dianggap tidak penting (Leonard dan Sensiper 1998; Bock et al., 2005). Seseorang

menolak untuk melakukan alih pengetahuan bukan hanya disebabkan ketakutan akan

kehilangan nilai uniknya dalam organisasi, tetapi apabila pengetahuan yang dialihkan

dipandang tidak berharga atau tidak relevan dianggap dapat merusak reputasi mereka

(Firth 2004; Bock et al., 2005). Faktor kurangnya penghargaan intrinsik serta ekstrinsik

sebagai bentuk kompensasi atas biaya yang dikeluarkan dari mengalihkan pengetahuan

SI-03   10 

menjadi penghalang umum alih pengetahuan (Bock et al., .2005; Kankanhalli et al.,

2005).

Faktor motivasi dalam penelitian ini berasal dari teori pertukaran sosial (social

exchange teori), yang menyatakan bahwa perilaku manusia dalam pertukaran social

(Blau 1964; dikutip oleh Kankanhanlli et al., 2005), berbeda dari pertukaran ekonomi

dalam faktor kewajiban yang tidak jelas. Dalam proses pertukaran, individu melakukan

sesuatu dengan sebuah pengharapan umum akan adanya timbal balik tetapi dengan

pengharapan yang tidak jelas akan timbal balik tersebut dalam waktu tertentu

(Kankanhanlli et al., 2005).

Szulanski mengidentifikasi sejumlah faktor sebagai motivasional –termasuk

kurangnya insentif, kurang kepercayaan diri, proteksi turf, dan sidrome “tidak

diperhitungkan disini” –Szulanski secara empiris hanya menguji bentuk umum

“kurangnya motivasi” pada sisi sumber dan sipenerima. Dia menemukan bahwa

motivasi kedua belah pihak (sinarasumber dan sipenerima) secara khusus berpengaruh

pada alih pengetahuan. Peneliti lain juga telah berteori dan menemukan sebuah

hubungan positif antara motivasi dan alih pengetahuan (Argote 1999 dalam Ko et al.,

2005). Beberapa peneliti menyatakan perbedaan temuan dapat menyebabkan kegagalan

untuk mempertimbangkan dampak berbeda motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.

Perbedaan ini, baik untuk manajer atas maupun eksekutif SI, dimasukkan pada

penelitian ini.

Motivasi Ekstrinsik

Dari perspektif sosial-ekonomi, seorang pelaku individu diasumsikan memilih

rangkaian tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan tertentu dan serangkaian

pilihan yang pasti (Smelser dan Swdberg 1994; dikutip oleh Bock et el., 2005). Dalam

SI-03   11 

pertukaran sosial, keuntungan bertindak sebagai motivator perilaku manusia yang dapat

berupa ekstrinsik maupun intrinsik (Kankanhanlli et al., 2005). Alih pengetahuan

seringkali terjadi ketika karyawan menerima insentif yang melebihi biaya yang mereka

keluarkan (Massey et al., 2002; Firth 2004; Bock et al., 2005). Koordinasi motivasi

secara ekstrinsik dicapai dengan menghubungkan motivasi monetary karyawan dengan

tujuan perusahaan (Osterloh dan Frey 2000). Massey et al. (2002) ketika mencoba

mengidentifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam

melaksanakan pekerjaan, mereka mendapatkan faktor lain yang dapat mempengaruhi

kemampuan ataupun kesediaan karyawan untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu

yaitu sistem insentif.

H3a: Motivasi ekstrinsik memiliki pengaruh positif dengan alih pengetahuan

Motivasi Intrinsik

Karyawan secara intrinsik termotivasi ketika kebutuhan mereka secara langsung

terpenuhi (misalnya tujuan self-defined) atau ketika kepuasan mereka terletak pada

kontent aktivitas itu sendiri. Motivasi intrinsic terjadi ketika suatu aktivitas “bernilai

untuk pribadi dan dipandang sebagai aktualisasi diri” (Calder dan Staw 1975; dikutip

oleh Ko et al., 2005) Kepuasan tersebut muncul dari kesenangan intrinsik mereka dalam

menolong yang lain (Ba et al. 2001; Constant et al. 1994; Constant et al. 1996; dikutip

oleh Kankanhanlli et al. 2005). O’Dell dan Grayson (1998) menemukan bahwa motivasi

intrinsik sangat penting terhadap proses mengalihkan pengalaman terbaik.

H3b: Motivasi intrinsik memiliki hubungan positif dengan alih pengetahuan

SI-03   12 

Iklim Organisasi

Bahwa iklim organisasi merupakan penggerak utama alih pengetahuan secara umum

telah diketahui (Constant et al. 1996; Orlikowski 1993; dikutip oleh Bock et al., 2005;

Huber 2001) dan secara khusus digambarkan dengan baik oleh Robert Buckman (1998)

dan Bock et al. (2005) bahwa untuk menjamin keefektifan alih pengetahuan, organisasi

perlu merubah kultur dari yang menyembunyikan pengetahuan (hoarding of knowledge)

menjadi kultur yang menghargai pengetahuan, organisasi perlu menciptakan iklim yang

dapat membantu perkembangan hubungan yang saling percaya dan jangka panjang.

Bock et al. (2005) mengidentifikasi tiga aspek dari iklim organisasi agar kondusif

dengan alih pengetahuan: keadilan (fairness), yang mencerminkan persepsi bahwa

praktek organisasi adalah bersifat adil dan tidak sewenang-wenang ataupun berubah-

ubah, membangun dan memberikan kepercayaan antara anggota untuk melakukan alih

pengetahuan. Jadi keadilan dapat diharapkan menuntun karyawan untuk membagi

pengetahuan yang mereka miliki dan menjadi lebih berpengetahuan akan proses

pekerjaan mereka (Kim dan Mauborgne 1997; Bock et al., 2005). Inovasi

(Innovativeness), yang menggambarkan persepsi bahwa perubahan dan kreatifitas

secara aktif didorong dan diberi penghargaan, menekankan pada pembelajaran, alur

informasi yang terbuka, dan berani mengambil resiko. Konsekuensinya, individu dalam

konteks pekerjaan yang innovatif lebih menyukai berbagi ide baru dan kreatif dengan

yang lain dibandingkan dalam konteks pekerjaan yang non-innovatif (Kim dan Lee

1995; dikutip oleh Bock et al., 2005). Afiliasi (affiliation), didefinisikan sebagai

persepsi perasaan kebersamaan antar anggota organisasi, mencerminkan perilaku peduli

dan pro-sosial, sifatnya kritis untuk mengajak seorang anggota organisasi untuk

menolong yang lain. Penelitian yang dilakukan Bock et al. (2005) memperlihatkan

SI-03   13 

bahwa iklim organisasi yang dipengaruhi oleh afiliasi, keadilan, dan inovasi

berimplikasi positif terciptanya proses alih pengetahuan yang efektif.

H4a,b,c: Iklim organisasi yang mencerminkan keadilan, inovasi dan afiliasi, memiliki

pengaruh positif terhadap knowledge transfer

METODA PENELITIAN

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini terdiri dari organisasi jasa dan manufaktur berskala besar dengan

jumlah karyawan > 100 orang (BPS 2003) yang bergerak dalam industri makanan,

minuman dan obat-obatan. Metoda penelitian ini menggunakan studi lapangan lintas

bagian (cross-sectional field study) dengan pendekatan kuantitatif.

Sampel representatif populasi manajemen atas dan eksekutif STI diperlukan

untuk kepentingan generalisasi penelitian. Istilah eksekutif STI sangatlah sukar

didefinisikan dan seringkali digunakan dalam istilah yang berbeda untuk setiap

organisasi yang pada dasarnya merupakan tingkatan tertinggi dan eksekutif STI yang

paling berpengaruh untuk menetapkan kebijakan dan mengawasi sumber daya

informasi. TMT (tim manajemen atas) pada penelitian ini didefinisikan sebagai CEO

atau eksekutif senior yang paling berpengaruh dan bertanggung jawab langsung pada

CEO (Finkelstein dan Hambrick, 1996 dalam Preston dan Karahanna 2004). .

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan

metoda pengambilan sampel secara nyaman (convenience sampling), dengan teknik

analisis data menggunakan analisis jalur jalur (path analysis) dengan menggunakan

aplikasi analisa jalur perangkat lunak Lisrel 8.1.

SI-03   14 

Metoda survei diperlukan untuk menguji hipotesis. Survei instrumen terdiri dari

beberapa item yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya seperti yang ditampilkan

secara ringkas pada tabel 1 (lihat lampiran). Keseluruhan variabel penelitian diukur

dengan menggunakan lima titik skala Likert kecuali untuk variabel kekakuan hubungan

yang diukur menggunakan empat titik skala Likert. Total 176 dari 300 organisasi yang

mengembalikan kuisioner, namun hanya 124 organisasi yang dapat di olah lebih lanjut.

Tabel 2 (lihat lampiran) menampilkan karakteristik organisasi responden

HASIL PENELITIAN

Analisis Model

Dari 176 organisasi yang mengembalikan kuisioner penelitian, hanya 124 organisasi

yang memenuhi persyaratan untuk dianalisis lebih lanjut. Wijayanto dalam Alamsyah

dan Wijayanto (2005) menyatakan ukuran sampel yang dibutuhkan dalam SEM dengan

estimasi kemungkinan maksimun (maximum likelihood) adalah 5 responden untuk

setiap indikator atau variabel yang diamati.

Pemeriksaan analisis faktor konfirmatori melalui uji unidimensionalis dilakukan

untuk menguji kekuatan pengukuran antar item dan konstruk, yang dilakukan pada lima

model pengukuran. Untuk melihat apakah suatu butir membangun indikator, maka

digunakan kriteria dengan faktor loading >0.30, sehingga apabila ada butir yang

memiliki faktor loading yang terstandar < 0.30, maka butir tersebut akan dihilangkan

untuk selanjutnya tidak akan digunakan dalam uji hipotesis.

Analisis Model Secara Keseluruhan

Untuk mengukur sebuah model sudah sesuai dilakukan evaluasi kecocokan model

(goodness of fit index). Tabel 3 (lihat lampiran) menampilkan indeks kecocokan model.

SI-03   15 

Dari tabel 3 dapat pula dilihat bahwa model awal penelitian tidak memenuhi syarat,

sehingga dilakukan perubahan model sesuai indeks modifikasi yang ditawarkan

LISREL. Tabel 4 (lihat lampiran) menampilkan indeks kecocokan model modifikasi.

Hasil Lisrel dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini:

X15.53

X24.13

X31.80

X42.57

X514.26

X65.36

X763.64

X80.48

X90.82

Y1 9.45

Y2 1.38

Chi-Square=5.85, df=5, P-value=0.32101, RMSEA=0.039

0.10

-0.37

0.49

-0.30

0.37

0.08

0.19

-0.02

-0.99

1.23

0.09

0.21

0.19

0.03

-1.79 -1.39

1.10

-1.12

1.25

1.00

-2.95

1.99

2.13

1.46

-1.04

1.22

1.19

0.92

4.12

-7.83

5.93

4.37

3.88

11.16

5.17

-0.28

0.44

0.33

0.15

0.64

0.64

1.73

-0.39

0.49

0.35

0.28

0.40

0.90

3.07

0.40

Gambar 2: Model pengembangan

PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN HIPOTESIS

Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada tabel 5 (lihat lampiran)

KEMUDAHAN ALIH PENGETAHUAN PADA KESELARASAN SIS

Pada model penelitian telah diuji pengaruh alih pengetahuan pada keselarasan SIS

dalam organisasi. Hasil temuan mengindikasikan pentingnya pengaruh kemudahan alih

pengetahuan kearah tercapainya keselarasan SIS, dan hubungan antara manajemen atas

dan eksekutif STI sebagai pihak yang dapat mempengaruhi keselarasan SIS Penemuan

SI-03   16 

ini berhasil membuktikan penyataan Hirschheim dan Sabherwal (2001) yang

menyatakan bahwa keselarasan dapat tercapai apabila antara tim manajemen atas dan

eksekutif STI terdapat kesamaan pengetahuan yang akan dicapai melalui alih

pengetahuan.

Alih pengetahuan bukan merupakan proses pengalihan biasa. Didalamnya

terdapat proses pembelajaran, seperti yang dinyatakan oleh Ko et al. (2005) bahwa alih

pengetahuan merupakan komunikasi yang dipelajari dan diaplikasikan oleh unit

penerima. Dengan kemudahan alih pengetahuan, tim manajemen atas dan eksekutif STI

sebagai orang-orang yang paling bertanggung jawab akan strategi bisnis dan strategi

STI diharapkan dapat menghilangkan hambatan-hambatan dalam memahami maksud

dan tujuan masing-masing pihak sehingga akan menghasilkan keselarasan.

Hambatan Pengetahuan

Pada model penelitian secara empiris diuji hubungan hambatan pengetahuan berikut ini

pada kemudahan alih pengetahuan:

Kekakuan Hubungan pada Kemudahan Alih Pengetahuan

Pada model penelitian diajukan bahwa kekakuan hubungan akan memiliki pengaruh

negatif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian mengindikasikan dukungan

pengaruh tersebut. Penemuan ini mendukung penelitian Szulanski (1996) dan Ko et al.

(2005) yang menyatakan bahwa kekakuan hubungan antara unit sumber dan unit

penerima akan mengurangi keefektifan alih pengetahuan. Variabel kekakuan hubungan

juga terbukti berpengaruh secara signifikan.

Dengan menciptakan lingkungan kerja dimana TMT dan eksekutif STI dapt

berinteraksi dengan intensitas yang sering, mempertahankan hubungan keduanya dan

SI-03   17 

memfasilitasi alur dan interpretasi pengetahuan maka kekakuan hubungan antara TMT

dan eksekutif STI dapat kurangi.

Kemampuan Mengabsorbsi pada Kemudahan Alih Pengetahuan

Pada model penelitian diajukan bahwa kemampuan mengabsorbsi akan

berpengaruh positif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian

mengindikasikan dukungan dan signifikansi pengaruh tersebut. Penemuan ini

mendukung penelitian Szulanski (1996) dan Ko et al. (2005) yang menyatakan bahwa

kemampuan mengabsorbsi akan mendorong keefektifan alih pengetahuan.

Hasil ini mengindikasikan pentingnya memberikan perhatian pada

pengembangan kapasitas pembelajaran unit organisasi agar kemampuan ini dapat terus

ditingkatkan.

Ambiguitas Kausal pada Kemudahan Alih Pengetahuan

Pada model penelitian dinyatakan bahwa ambiguitas kausal berpengaruh negatif pada

kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian memperlihatkan dukungan pada

pernyataan ini. Penemuan ini sejalan dengan Szulanski (1996) dan Alamsyah dan

Wijayanto (2005) yang menyatakan bahwa ambiguitas kausal akan mengurangi

keefektifan alih pengetahuan.

Walaupun hasil penelitian memperlihatkan ketidakberartian pengaruh ini, namun

kedua belah pihak yang terlibat proses alih pengetahuan diharapkan secara sistematis

berusaha untuk memahami dan mengkomunikasikan pengalaman terbaik serta

pengetahuan yang dimiliki.

Kesepahaman pada Kemudahan Alih Pengetahuan

Pada model penelitian dinyatakan bahwa kesepahaman berpengaruh positif pada

kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian memperlihatkan dukungan pada

SI-03   18 

pernyataan ini. Penemuan ini sejalan dengan Szulanski (1996) dan Ko et al. (2005) yang

menyatakan bahwa kesepahaman akan mendorong keefektifan alih pengetahuan.

Walaupun hasil penelitian memperlihatkan ketidakberartian pengaruh ini, namun

kedua belah pihak yang terlibat proses alih pengetahuan diharapkan secara sistematis

berusaha untuk saling memahami. Ko et al. (2005) menyatakan bahwa faktor ini

diperlukan untuk mengurangi asimetri pengetahuan antara unit yang terlibat dalam

proses alih pengetahuan

Motivasi

Pada model penelitian dinyatakan bahwa motivasi baik ektinsik maupun intrinsik

berpengaruh positif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian memperlihatkan

dukungan pada pernyataan ini.

Namun berkebalikan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa faktor

terbesar yang dapat mempengaruhi alih pengetahuan adalah faktor motivasi individu,

penelitian ini mendukung penelitian Szulanski (1996) yang membuktikan bahwa

motivasi tidak memberikan pengaruh yang berarti dalam alih pengetahuan. Hal ini

mengindikasikan bahwa menggunakan sistem insentif untuk mendukung alih

pengetahuan-yang tidak biasa dilakukan-kelihatannya tidak sesuai.

Meskipun pengaruh motivasi pada model penelitian tidak signifikan namun

faktor tersebut tetap memberikan pengaruh pada alih pengetahuan. Organisasi harus

mampu menciptakan iklim organisasi yang mendorong alih pengetahuan. Porter (1985)

dalam Szulanski (1996) menyatakan, faktor motivasi berperan untuk mendorong

narasumber berbagi pengetahuan meskipun memerlukan waktu serta usaha.

SI-03   19 

Dari tabel 5 terlihat pengaruh motivasi intrinsik lebih besar dibandingkan

pengaruh motiovasi intrinsik. Ketika pengetahuan yang dialihkan memiliki komponen

tasit yang lebih besar dibandingkan komponen eksplisitnya, hasil ini sesuai dengan

Osterloh dan Frey (2000) yang menyatakan karyawan yang termotivasi secara intrinsik

diperlukan ketika pengetahuan yang dialihkan bersifat tasit dan ketika hasil alih

pengetahuan tidak dapat diukur dengan mudah

Iklim Organisasi

Pada model penelitian dinyatakan bahwa ketiga variabel iklim organisasi berpengaruh

positif pada kemudahan alih pengetahuan. Hasil penelitian memperlihatkan dari ketiga

variabel tersebut (afiliasi, inovasi dan keadilan) hanya variabel keadilan yang didukung

oleh data. Hal ini mengindikasikan pentingnya iklim organisasi yang tidak

mencerminkan kesewenang-wenangan dan ketidakberpihakan untuk mendorong

kemudahan melakukan alih pengetahuan.

Semakin tinggi inovasi maka akan menimbulkan kekompleksitasan. Akibat

kompleksitas tadi yang mungkin menyebabkan unit sumber susah untuk mengalihkan

pengetahuannya. Seperti kata Polanyi dalam Osterloh dan Frey (2000), “kita

mengetahui lebih banyak daripada yang dapat dikatakan”. Hasil ini berkebalikan dengan

penelitian Bock et al. (2005) yang menyatakan semakin tinggi inovasi, semakin ingin

seseorang mengalihkan pengetahuannya. Penyebab latar belakang budaya yang berbeda

mungkin juga ikut berperan sehingga hasil yang diperoleh tidak sama.

Hipotesis 4c untuk variabel afiliasi menyatakan semakin tinggi tngkat afiliasi,

semakin tinggi tingkat kemudahan alih pengetahuan juga tidak didukung oleh data.

Hasil penelitian ini berkebalikan dengan penelitian Bock et al. (2005). Selain latar

SI-03   20 

belakang budaya yang berbeda, hal ini mungkin juga disebabkan pengaruh kohesi dan

favoritisme kelompok yang akan menyebabkan anggotanya kurang bersosialisasi

dengan unit lain. Sementara menurut Reagans dan McEvily (2003) seseorang akan

mudah mengalihkan pengetahuannya apabila individu tersebut memiliki hubungan

lintas jaringan. Hubungan lintas jaringan inilah yang memberikan keberagaman yang

membuat proses alih pengetahuan lebih mudah dilakukan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian ini memperluas pemahaman mengenai bagaimana organisasi

mengembangkan keselarasan SIS. Hasil penelitian memperlihatkan adanya pengaruh

alih pengetahuan antara eksekutif STI dan TMT kearah tercapainya keselarasan SIS

dalam organisasi. Alih pengetahuan terjadi baik TMT dan eksekutif STI akan saling

memperoleh pemahaman serta apresisasi yang lebih mendalam sehingga asimetri

pengetahuan diantara keduanya dapat dihindari.

Penelitian ini mengembangkan model penelitian terdiri dari faktor pengetahuan

(kekakuan hubungan, kemampuan mengabsorbsi, ambiguitas kausal dan kesepahaman),

motivasi (ekstrinsik dan intrinsik) dan iklim organisasi (afiliasi, inovasi dan keadilan)

yang diajukan memiliki pengaruh pada alih pengetahuan. Dari hasil pengujian hipotesis

terlihat dari sebelas hipotesis yang diajukan hanya dua hipotesis yang tidak terdukung

yakni untuk variabel inovasi dan afiliasi. Tidak terdukungnya variabel inovasi pada

kemudahan alih pengetahuan dapat disebabkan semakin tinggi inovasi akan

menimbulkan kekompleksitasan yang menyebabkan unit sumber susah untuk

SI-03   21 

mengalihkan pengetahuannya. Sedangkan tidak terdukungnya variabel afiliasi dapat

disebabkan pengaruh kohesi dan favoritisme kelompok yang akan menyebabkan

anggotanya kurang bersosialisasi dengan unit lain.

Penelitian ini menggunakan suatu metodologi dengan validitas responden yang

sangat kuat. Termasuk didalam metodologi adalah pertanyaan yang ditanyakan kepada

anggota tim manajemen atas mengenai tingkatan pengetahuan mereka. TMT dan

eksekutif STI terpilih sebagai responden penelitian ini dengan pertimbangan keduanya

merupakan pihak yang paling bertanggung jawab akan strategi bisnis dan strategi STI

organisasi.

Bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan faktor motivasi sebagai

hambatan terbesar alih pengetahuan, penelitian ini membuktikan bahwa hambatan

terbesar alih pengetahuan adalah terkait dengan pengetahuan itu. Ketika pengetahuan

tidak dialihkan, muncul perbedaan antara apa yang diketahui dalam organisasi dengan

apa yang seharusnya dilakukan. Hasil ini mengindikasikan bahwa kegagalan individu

dalam proses pembelajaran bukan disebabkan karena individu tersebut tidak ingin

belajar melainkan karena individu tersebut tidak mengetahui bagaimana cara

melakukannya. Mendorong faktor terkait dengan pengetahuan-yaitu berfokus pada aset

langka dan pentingnya perhatian manajerial untuk mengembangkan kapasitas

pembelajaran unit organisasi, menciptakan iklim yang kondusif kearah hubungan yang

berkualitas, dan secara sistematis memahami dan mengkomunikasikan pengalaman

yang didapat merupakan faktor penting kesuksesan alih pengetahuan

Keterbatasan dan Saran

SI-03   22 

Sampel penelitian yang rendah disebabkan sample target yang memerlukan pasangan

serasi TMT dan eksekutif STI dalam setiap organisasi. Meskipun tingkat yang mencapai

59.3% (178 dari 300 organisasi) namun hanya 69% sampel yang dapat diolah. Kerangka

sampling yang digunakan tidak secara acak disebabkan sulitnya memperoleh akses

masuk untuk mendapatkan responden yang sesuai target, sehingga jenis industri

menjadi terbatas. Memakai model penelitian ini untuk penelitian selanjutnya dengan

tingkat respon yang tinggi disertai kerangka sampel yang besar akan menjadikan hasil

penelitian tersebut lebih kuat untuk digeneralisasi.

Prosedur penelitian dalam mengidentifikasi kandidat antiseden alih pengetahuan

mengabaikan hambatan lain yang mungkin mempengaruhi. Memasukkan faktor-faktor

lain pada model penelitian yang telah dijustifikasi memiliki pengaruh pada alih

pengetahuan, dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.

Instrumen penelitian alih pengetahuan diadaptasi dari penelitian sebelumnya.

Mengembangkan instrumen yang lebih cocok untuk alih pengetahuan dalam konteks

situasi organisasi bisnis diIndonesia akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat

Implikasi Penelitian

Penelitian ini mencoba menguji bagaimana TMT dan eksekutif STI melakukan

alih pengetahuan dalam organisasi. Hubungan ini diuji melalui peran faktor

pengetahuan, motivasi dan iklim organisasi antara TMT dan eksekutif STI. Penemuan

penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan kita mengenai bagaimana alih

pengetahuan antara TMT dan eksekutif STI dikembangkan sehingga tercapai

keselarasan SIS dalam organisasi.

SI-03   23 

Dari perspektif akademisi, penelitian ini memberikan beberapa implikasi, antara

lain: pertama, penelitian ini merupakan salah satu dari sedikit penelitian yang secara

empiris menginvestigasi perspektif pengetahuan TMT dan eksekutif STI yang dikatakan

berpengaruh pada keselarasan SIS. Dengan memfokuskan dampak alih pengetahuan

pada keselarasan SIS, penelitian ini memberikan sebuah perspektif baru dan

pengamatan teoritikal yang baru untuk menguji fenomena dan membuka kesempatan

baru untuk penelitian lebih lanjut.

Kedua, alih pengetahuan merupakan sebuah proses yang berlangsung secara

terus-menerus sehingga penggunaan data lintas bagian hanya dapat digunakan untuk

kesimpulan bukan untuk pembuktian. Sebuah penelitian ethnografik alih pengetahuan

pada alih pengetahuan merupakan metoda alternatif agar kekuatan eksplanatori dapat

tercapai.

Dari perspektif praktisi, penelitian memberikan beberapa implikasi, antara lain:

pertama, penelitian ini memberikan arahan untuk meningkatkan pengetahuan antara

TMT dan eksekutif STI. Hal ini penting, karena dari hasil penelitian terlihat dengan alih

pengetahuan yang efektif antar kedua pihak dapat mendorong terjadinya keselarasan

SIS dalam organisasi.

Kedua, kekakuan hubungan antar kedua belah pihak harus dikurangi. Disarankan

sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan terjadinya

tingkat interaksi yang tinggi, menjaga hubungan mereka dan memfasilitasi alur dan

interpretasi pengetahuan yang lebih tepat.

Ketiga, kemampuan mengabsorbsi juga terlihat memberikan pengaruh yang berarti

bagi alih pengetahuan. Kemampuan ini memungkinkan unit penerima untuk

SI-03   24 

mengimplementasikan dengan baik pengetahuan yang dialihkan unit sumber. Hasil ini

dapat digunakan dalam menyeleksi individu dalam proses perekrutan, karena akan

mempengaruhi kinerja nantinya.

Keempat, menciptakan iklim organisasi yang berkarakteristikkan keadilan

merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk dapat mendorong kinerja

karyawan.

Kelima, Meskipun faktor motivasi terbukti tidak memberikan pengaruh yang berarti

pada alih pengetahuan, pimpinan organisasi disarankan tetap memperhatikan kebutuhan

karyawannya. Sesuai dengan teori umum yang berlaku yang menyatakan bahwa

seseorang melakukan suatu tindakan didasari suatu pengharapan, maka penelitian ini

menyarankan untuk tetap menjaga motivasi karyawan agar tidak terjadi penurunan

semangat kerja yang dapat berdampak buruk pada kinerja.

SI-03   25 

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, C dan Wijayanto, S.H. 2005. Peranan ambiguity dalam proses alih pengetahuan melalui aliansi strategis: studi empiris di Indonesia. Simposium Nasional Mahasiswa dan Alumni Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Ekonomi UGM, Yogyakarta

Argote, L., dan Ingram, P. 2000. Knowledge transfer: a basis for competitive advantage in firms, Organizational Behavior and Human Decision Process (82:1), pp. 150-169

Barney, J. 1991. Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management (17), pp 99-120

Bock, G., Zmud, R.W, dan Kim, Y. 2005. Behavioral intention formation in knowledge sharing: examining the roles of extrinsic motivators, social-psychological forces and organizational climate, MIS Quarterly (29:1), pp. 67-111

Buckman, R.H. 1998. Knowledge sharing at Buckman, Journal of Bussiness Strategy (19:1), pp. 11-15

Burgess, D. 2005. What motives employess to transfer knowledge outside their work unit ?, Journal of Business Communication, pp 324-348

Chan, Y. 2002. Why haven’t we mastered alignment? the inportance of the informational organization structure, MIS Quarterly Executive, (1:2), pp97-112

Chan, Y., dan S. Huff. 1993. Strategic information systems alignment, Business Quarterly, (58:1), pp 1993

Chan, Y., S. Huff, et al. 1997. Business strategic orientation, information systems, strategic orientation, and strategic alignment, Information Systems Research, (8:2) pp 125-151

Cohen, W.M dan Levinthal. 1990. Absorptive capacity: a new perspective on learning innovation. Administrative Science Quarterly, (35), pp 128-152

Constant, D., Kiesler, S., dan Sproull, L. 1994. What’s mine is ours, or is it? A study of attitudes of information sharing, Information Systems Research, (5:4), pp 400-421

Daghfous, A. 2004. Absorptive capacity and the implementation of knowledge-intensive best practices”, SAM Advanced Management Journal, pp. 21-27

Darr, E., dan Krutzberg, T. 2000. An investigation of partner similarity dimensions on knowledge transfer, Organizational Behavior dan Human Decission Process (82:1), pp 28-44

SI-03   26 

Gerwin, D., dan Moffat, L. 1997. Withdrawal of team autonomy during concurrent engineering. Management Science (43:9), pp. 1275-1287

Gold, A.H., Maholtra, A., dan Segars, A.H. 2001. Knowledge management: an organizational capabilities perspective, Jurnal of Management Information System (18:1), pp. 185-214

Grant, R.M. 1991. The resource-based theory of competitive advantage: implications for strategy formulation, California Management Review (33:2), pp. 114-135

Grover, V., dan Davenport, T.H. 2001. General perspective on knowledge management: fostering a research agenda, Journal of Management Information System, (188:1), pp. 5-21

Hartono, J. 2005. Sistem Informasi Strategik, Andi Pustaka, Yogyakarta

Henderson, J.C., dan Venkrataman. 1999. Strategic alignment:leveraging information technology for the transforming organizations, IBM Systems Journal, (38:3), pp 472-485

Hirschheim, R., dan Sabherwal, B. 2001. Detours in the path toward strategic information systems alignment, California Management Review (44:1), pp 87-108.

Huber, G. Organization learning: the contributing process and the literature. Organization Science (2:1), pp. 88-115

Indriantoro, N., dan Supomo, B. 2002. Metodologi penelitian bisnis: untuk akutansi dan manajemen, BPFE, Yogyakarta,

Inkpen, A.C., dan Tsang, E.W. 2005. Social capital, networks and knowledge transfer, Academy of Management Review (30:1), pp. 146-165

Kankanhanlli, A., Tan, B.C.Y., dan Wie, K. 2005. contributing knowledge to electronic knowledge repositories: an empirical investigation”, MIS Quarterly (29:1), pp. 113-143

Ko, D., Kirsch, L.J., dan King, W.R. 2005. Antacedent of knowledge transfer from consultant to clients in enterprise system implementation, MIS Quarterly (29:1), pp. 59-85

Kim, W.C., dan Mauborgne, R. 1997. Fair process: managing in the knowledge economy, Harvard Bussiness Review (75:4), pp. 65-75

Lane, Peter J., Salk, Jane E., dan Lyles, Marjorie. 2001. Absorptive capacity, learning and performance in International joint ventures, Strategic Management Journal, (22), pp 1139-1161

SI-03   27 

Lederer, A.L dan Mendelow, A.L. 1987. Information resource planning: Overcoming difficulties in identifying top management’s objectives. MIS Quarterly (11:3), pp 388-400

Luftman, J., dan Brier T. 1999. Achieving and Sustaining business-IT alignment, California Management Review¸ (42:1), pp 109-122

Nelson, K. M., dan Coprider, J. G. 1996. The contribution of shared knowledge to IS group performance, MIS Quarterly, (20:4), pp 409-429

Nonaka, L. 1994. A dynamic Theory of organizational creation. Organizational Science (5:1), pp 14-37

O’Dell, C., dan Grayson, C.J. 1998. If only we knew what we know: identification and transfer best practices, California Management Review (40:3), pp. 154-174

Osterloh, M., dan Frey, B.S. 2000. Motivation, knowledge transfer, and organizational forms, Organization Science (11:5), pp 538-550

Pawlowski, S.D., dan Robey, D. 2004. Bridging user organizations: knowledge brokering and the work of information technology professionals, MIS Quarterly (28:4), pp. 645-672.

Powell, T.C., Lovallo, D dan Caringal, C. 2006. Causal ambiguity, management perception and firm performance. Academy of Managemet Review (31:1), pp 175-196

Preston, D. 2004. Mechanisms for the development of shared mental models between the CIO and the top management team, Unpublished Doctoral Dissertation, University of Georgia, Athens, Georgia

Preston, D., dan Karahanna, E. 2004. Mechanisms for the development of shared mental models between the CIO and the top management team, Twenty-Fifth International Conference on Information System, pp 465-478

Rathnam, R.G., Johnsen, J dan Wen, H.J. 2004. Alignment of business strategy and IT strategy: a case study of a fortune 50 financial services company. Journal of Computer Information Systems, pp 1-8

Reagans, R., dan McEvily, B. 2003. Network structure and knowledge transfer: the effects of cohesion and range, Administrative Science Quarterly, pp 240-267.

Reed, R dan DeFllipi. 1990. Causal ambiguity: barrier to immitation, and sustainable competitive advantage. The Academy of Management Review (15:1), pp 88-102

Reinch, B.H dan I. Benbasat. 1996. Measuring the lingkage between business and information technology objectives, MIS Quarterly, (20:1), pp 55-62

SI-03   28 

Reinch, B.H dan I. Benbasat. 2000. Factors that influence the social dimensions of alignment between business and information technology objectives, MIS Quarterly, (24:1), pp 81-114

Sabherwal, R., dan Chan, Y.E. 2001. Alignment between business and IS strategies: A study of prospectors, analyzers and defender, Information Sytems Research, (12:1), pp 11-34

Sekaran, U. 2000. Research methods for bussiness: a skill approach, Wiley and Son Inc, New York.

Szulanski, G. 1996. Exploring stickness: impediments to the transfer of best practices withing the firm, Strategic Management Journal, 17(Winter special issue), pp 27- 43

Teece, D.J. 1998. Capturing value from knowledge assets: the new economy, market for know-how, and intangible assets, California Management Review (40:3), pp. 55-79

Thomas, C.C. 1991. IT derectors and IT strategy. Journal of Information Technology (6), pp 192-203

Tsai, W. 2001. Knowledge transfer in intraorganizational networks: effects of network position and absorptive capacity on business unit innovation and performance, Academy of Mnagement Journal (44:5), pp 996-1004

Wasko, M.M., dan Faraj, S. 2005. Why should i share? examining social capital and knowledge contribution in electronic networks of practice, MIS Quarterly (29:1), pp. 35-57\

Zahra, S.A dan George, G. 2002. Absorptive capacity: a review, reconceptualization and the extension. Academy of Management Review (27:2), pp 185-203)