Media Penilai Internal Edisi Desember 2010
Click here to load reader
-
Upload
robby-sandjaja -
Category
Documents
-
view
127 -
download
1
Transcript of Media Penilai Internal Edisi Desember 2010
DIREKTORAT PENILAIAN KEKAYAAN NEGARA
Media penilai internal
EDISI KE X DESEMBER 2010
Menjamin Kualitas Penilaian
Managemen Kekayaan Negara yang Dikuasai Berupa SDA *
berbasis Neraca Sumber Daya Alam
* Survey Bangunan
Japan Real Estate Appraisal in Global Context *
* Pentingnya Keberadaan Basis Data dan Kegiatan Pemetaan * dalam
Manajemen Aset (konteks Kekayaann Negara)
Kaleidoskop Tahun 2010 Dit. PKN *
Peran Penilai dalam Penyusunan Laporaran Keuangan:
Fair Value Accounting Berdasarkan IFRS
Menjamin Kualitas Penilaian
Media Penilai Internal
Daftar Isi
Peran Penilai dalam Penyusu-nan Laporaran Keuangan:
Fair Value Accounting Ber-dasarkan IFRS
3
Managemen Kekayaan Negara yang Dikuasai Berupa SDA
berbasis Neraca Sumber Daya Alam
9
Survey Bangunan 14
Japan Real Estate Appraisal in Global Context
19
Pentingnya Keberadaan Basis Data dan Kegiatan Pemetaan
26
Kaleidoskop Tahun 2010 Dit. PKN
31
Jejak Penilai 36
Page 2 EDISI KE X DESEMBER 2010
DITERBITKAN OLEH: DIREKTORAT PENILAIAN KEKAYAAN NEGARA
PEMIMPIN UMUM: SUYATNO HARUN; PEMIMPIN REDAKSI: KURNIAWAN NIZAR; EDITOR: MUHAMAD NAHDI; TIM REDAKSI : AGUNG P, ARDI MARDIAMAN; FOTOGRAFER: SUPITRIANA
ALAMAT REDAKSI: GEDUNG SYAFRUDIN PRAWIRANEGARA LT.6 SELATAN, JL. LAPANGAN BANTENG TIMUR NO.2-4, JAKARTA
M P I Menjamin Kualitas Penilaian
Salam Redaksi......
Puji dan Syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya sehingga diakhir tahun 2010 ini, Media Penilai Internal Direktorat Penilaian Kekayaan Negara tetap senantiasa terbit yang telah sampai pada edisi yang ke X dibulan Desember tahun 2010.
Tidak lupa pula kami segenap Tim MPI (Media Penilai Internal) mengucapkan “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2011”, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga kita dapat menata diri kita dan menggapai masa depan yang lebih baik.
Akhir kata, semoga dengan diterbitkannya Media Penilai Internal edisi ke X ini dapat menjadi sumber informasi bagi para pembaca sekaligus sebagai media komunikasi antar Penilai Internal DJKN. Sumbangan dan masukan tetap kami harapkan demi meningkatkan kualitas agar terbitnya Media Penilai Internal ini sesuai dengan apa yang kita harapkan dan benar-benar dapat bermanfaat bagi kita semua, terima kasih.
Tim Redaksi
“Know the true value of time; snatch, seize, and enjoy every
moment of it. No idleness; no laziness; no procrastination;
never put off till tomorrow what you can do today”
-Lord Chesterfield-
Pada Bulan Oktober 2009,
dalam diseminasi ke-4 RUU ten-
tang Penilaian bertempat di Hotel
Mercure, Jakarta, salah seorang
narasumber, Ahmadi Hadibroto
yang juga merupakan ketua Dewan
Pengurus Nasional Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) menyatakan bahwa
seiring berjalannya proses konver-
gensi IFRS peran berbagai profesi
yang terkait dalam penyusunan
laporan keuangan (LK) akan se-
makin signifikan. IFRS dengan
serius mendorong penggunaan fair
value dalam penyajian nilai aset
dalam laporan posisi keuangan.
Dua profesi utama, selain akuntan
tentu saja, yang berkontribusi
dalam penyusunan LK sesuai IFRS
adalah profesi aktuaris terkait den-
gan kebijakan akuntansi perusa-
haan untuk asuransi dan pension,
dan penilai terkait dengan penen-
tuan nilai wajar aset. Akuntan se-
laku pengguna jasa kedua profesi
ini akan menilai apakah opini dari
kedua profesi sudah sesuai dengan
persyaratan IFRS. Untuk itulah se-
dang dipertimbangkan untuk
memberikan semacam sertifikasi
khusus atau persyaratan kualifikasi
khusus kepada penilai yang akan
menilai aset suatu entitas dalam
rangka penyusunan LK sesuai IFRS.
Penilai diharapkan
memiliki pemahaman memadai
mengenai IFRS terutama atas ker-
angka konseptual penyusunan LK
dan persyaratan nilai yang dibu-
tuhkan. Oleh karena itu Penulis
membagi tulisan ini ke dalam dua
bagian. Bagian pertama membahas
secara singkat mengenai IFRS, latar
belakang penerapannya, dan perbe-
daannya dengan Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) yang sebelumnya
berlaku. Bagian kedua tulisan ini
akan mengupas mengenai peran
yang dibutuhkan dari penilai dalam
penyusunan LK.
APA YANG INGIN DICAPAI DENGAN
IFRS?
Dalam KTT G20 tahun lalu di
Pittsburgh, Presiden Yudhoyono ikut
menandatangani pernyataan para
pemimpin negara-negara yang men-
jadi anggota G20. Dalam deklaras-
inya, para pemimpin tersebut
sepakat untuk mengagendakan kon-
vergensi standar akuntansi interna-
sional bahkan ditargetkan selesai
pada Juni 2011. Deklarasi ini meru-
pakan tindak lanjut dari KTT G20
sebelumnya di Washington di pen-
ghujung 2008. Di tanah air, “gegap
gempita” konvergensi IFRS dimulai
oleh IAI dalam deklarasi yang dilaku-
kan bersamaan dengan perayaan
hari jadi organisasi akuntan se Indo-
nesia tersebut saat memasuki usia
ke-51. IAI yang merupakan anggota
International Federation of Ac-
countants, memasang target per 1
Januari 2011, LK entitas mulai dis-
usun dengan mengacu pada standar
akuntansi yang sudah konvergen
dengan IFRS.
Makhluk apakah IFRS itu?
Itu adalah pertanyaan yang
terngiang di kepala sebagian penilai
DJKN. International Financial Re-
porting Standards merupakan stan-
dar akuntansi keuangan yang diter-
bitkan oleh International Account-
ing Standards Board (IASB) yang
dimaksudkan untuk dijadikan acuan
bagi seluruh anggotanya di berbagai
negara. Sebelumnya, setiap negara
memiliki standar akuntansi masing-
masing dengan dua polarisasi
utama yaitu Amerika Serikat dan
Eropa. Beragamnya standar akun-
tansi yang berlaku, menimbulkan
banyak kesulitan terutama bagi
para investor dalam membanding-
kan LK dari berbagai perusahaan di
beberapa negara.
Perkembangan penerapan
IFRS di dunia dapat dilihat pada
tabel 1. Data tersebut hanya meng-
gambarkan jumlah negara men-
gadopsi IFRS secara langsung.
Adopsi IFRS secara langsung berarti
IFRS menjadi rujukan dalam penyu-
sunan dan audit LK. Kebijakan ter-
hadap IFRS baik kewajiban maupun
Page 3
PERAN PENILAI DALAM PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN:
FAIR VALUE ACCOUNTING BERDASARKAN IFRS
EDISI KE X DESEMBER 2010
Oleh : *Rohmat
Penilai diharapkan memiliki pemahaman memadai men-genai IFRS terutama atas
kerangka konseptual penyu-sunan LK dan persyaratan
nilai yang dibutuhkan.
namun melakukan konver-
gensi IFRS atas standar akuntasi
keuangan yang diterbitkannya. Isti-
lah konvergensi IFRS bermakna
penyamaan antara SAK dengan IFRS
secara bertahap sampai suatu saat
antara keduanya akan menjadi
sama (full convergence). Dalam hal
ini, IAI menargetkan SAK akan full
convergence terhadap IFRS versi 1
Januari 2009 pada tahun 2012. SAK
dimaksud adalah SAK Umum, di-
mana seluruh entitas dengan akunt-
abilitas publik (perusahaan terbuka)
diwajibkan untuk merujuk padanya.
Sedangkan untuk perusahaan
tertutup seperti usaha kecil dan
menengah menggunakan SAK
UKM yang lebih sederhana dari
SAK Umum.
IAI melihat beberapa
keuntungan yang dapat diraih,
apabila mengimplementasikan
IFRS. Dengan standar akuntansi
yang sama dengan banyak ne-
gara lain, perusahaan-
perusahaan Indonesia menjadi
lebih mudah diakses oleh calon
investor potensial. Hal ini karena
calon investor dapat memband-
ingkan LK perusahaan tersebut dengan
LK dari negara lain. Bagi perusahaan
multi nasional, keseragaman standar
akuntansi di Indonesia dengan standar
internasional, memudahkan mereka
dalam menyusun LK konsolidasi. Pada
akhirnya, komunikasi internal dan
proses pengambilan keputusan dalam
perusahaan tersebut menjadi jauh
lebih efisien. Bagi akuntan Indonesia
sendiri, konvergensi IFRS bagai pisau
bersisi dua, di satu sisi hal ini menjadi
peluang untuk akuntan Indonesia go
international dengan berpraktik di
negara lain yang standar akuntansinya
Aspek Penyajian IFRS PSAK No. 1 Tahun 1998
Informasi yang disajikan Aset
Laibilitas
Ekuitas
Pendapatan dan beban
Kontribusi dari/distribusi kepada pemilik
Arus kas
Aset
Kewajiban
Ekuitas
Pendapatan dan beban
Arus kas
Unsur LK Laporan posisi keuangan
Laporan laba rugi komprehensif
Laporan arus kas
Laporan perubahan ekuitas
CALK
Neraca awal periode sajian
Neraca
Laporan laba rugi
Laporan arus kas
Laporan perubahan ekuitas
CALK
Tanggung jawab atas LK Tidak diatur Manajemen
Penyimpangan atas standar Diijinkan sepanjang tidak bertentangan dengan tu-
juan LK
Tidak diatur
Kepatuhan terhadap PSAK Pernyataan kepatuhan Tidak diatur
Tanggal penerbitan LK Tidak diatur Empat bulan setelah tanggal
neraca
Pos minimal yang harus disaji-kan pada neraca/laporan posisi
keuangan
Dinyatakan secara eksplisit 18 pos yang harus disa-jikan seperti aset tetap, properti investasi, aset tidak
berwujud, aset keuangan, investasi dengan meng-gunakan metode ekuitas, aset biolojik, dan
persediaan.
Tidak diatur.
Pengungkapan pertimbangan manajemen atas penerapan
kebijakan akuntansi, sumber estimasi, ketidakpastian, dan
pendanaan.
Diatur secara eksplisit. Tidak diatur.
Dampak Penerapan IFRS pada Aspek Penyajian LK
Page 4 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
telah konvergen dengan IFRS. Na-
mun, akuntan negara lain juga da-
pat masuk ke Indonesia dan
menawarkan jasanya kepada peru-
sahaan yang berdomisili di Indone-
sia.
Lebih lanjut, IFRS yang ber-
sifat principle based memberikan
kemudahan bagi penyusun LK
berupa fleksibilitas dalam pencata-
tan akuntansi perusahaan yang ber-
sifat khas. Penyusun LK dapat men-
ginterpretasikan sendiri pencatatan
akuntansinya dengan mengacu
pada prinsip akuntansi yang ada.
Bagi sebagian pihak, principle based
yang dianut IFRS bisa mengaburkan
salah satu dibentuknya IFRS yaitu
harmonisasi dan dalam penyusunan
dan penyajian LK. Interpretasi indi-
vidual atas IFRS oleh masing-masing
entitas, akan diuji secara ketat oleh
auditor perusahaan yang bersang-
kutan dengan membandingkan
antara interpretasi yang dilakukan
dengan kerangka dasar penyusunan
dan penyajian LK. Bahkan untuk
memastikan sifat principle based ini
dapat tercapai, bilamana penyusun
LK menemukan suatu kondisi di-
mana bila dia patuh pada IFRS atau
PSAK maka akan memberikan pe-
mahaman yang salah atau berten-
tangan dengan tujuan LK sebagai-
mana diatur dalam kerangka kon-
septual LK, maka penyusun LK da-
pat melakukan penyimpangan ter-
hadap IFRS/PSAK. Namun kejadian
seperti ini seharusnya akan sangat
jarang terjadi, mengingat IFRS dis-
usun oleh suatu komite khusus den-
gan masukan dari ratusan ahli di
seluruh dunia.
BAGAIMANA IFRS MEMPENGA-
RUHI STANDAR AKUNTANSI
KEUANGAN?
Konvergensi IFRS yang
dilakukan oleh IAI berpengaruh
setidaknya pada tiga aspek penyu-
sunan LK yaitu aspek penyajian,
pengukuran dan pengungkapan.
Tabel 2 menggambarkan be-
berapa perubahan yang terjadi
pada aspek penyajian LK seiring
terbitnya PSAK No. 1 tahun 2010
yang telah mengadopsi IFRS bila
dibandingkan dengan PSAK No. 1
tahun 1998. Informasi yang disaji-
kan LK menjadi lebih lengkap den-
gan disajikannya informasi men-
genai kontribusi dari/distribusi
kepada pemilik. Selanjutnya, ter-
jadi perubahan komposisi dan
nomenklatur unsur LK yaitu
neraca menjadi laporan posisi
keuangan, laporan laba rugi men-
jadi laporan laba rugi komprehen-
sif serta disajikannya neraca awal
periode sajian. Dalam PSAK yang
baru setelah mengadopsi IFRS,
terdapat tambahan pengaturan
atas beberapa hal yang sebelum-
nya tidak diatur yaitu mengenai
penyimpangan atas standar akun-
tansi dalam penyusunan LK; pern-
yataan kepatuhan terhadap PSAK; pos
minimal yang harus disajikan pada
laporan posisi keuangan (d.h. neraca);
pengungkapan atas pertimbangan
yang dibuat oleh manajemen atas pen-
erapan kebijakan akuntansi, sumber
estimasi, ketidakpastian dan pen-
danaan. Namun demikian juga terda-
pat beberapa hal yang tidak lagi diatur
secara rigid yaitu mengenai pihak yang
bertanggung jawab atas LK dan tang-
gal penerbitan LK.
Pengaruh penerapan IFRS
pada aspek pengukuran terdapat pada
penyajian nilai wajar aset dan estimasi
dan pertimbangan manajemen. IFRS
mengutamakan penggunaan nilai wa-
jar aset terutama dalam bentuk inves-
tasi properti, aset tidak berwujud, aset
keuangan, dan aset biolojik. Selanjut-
nya, menimbang karakteristik IFRS
yang bersifat principle based, maka
setiap estimasi dan pertimbangan
manajemen dalam penerapan maupun
penyimpangan atas standar akuntansi
harus tercatat dan diungkapkan secara
memadai.
Dari semua standar yang
diterbitkan IFRS, Penulis melihat seti-
daknya terdapat empat standar yang
perlu dicermati oleh Penilai yaitu IAS
16: Property, Plant, Equipment; IAS 38:
Intangible Asset; IAS 39 Financial In-
strument: Recoqnition and Measure-
ment dan; IAS 41: Agriculture. Selain
itu, Penilai juga harus memperhatikan
tahapan konvergensi Standar Akun-
tansi Keuangan terhadap IFRS yang
dilakukan IAI dan tentunya pula Stan-
dar Penilaian Indonesia yang disusun
oleh MAPPI.
Page 5 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
IAS 16: PROPERTY, PLANT, AND
EQUIPMENT (PPE)
IAS 16 mendefinisikan PPE
sebagai aset tidak berwujud yang
dimiliki untuk digunakan dalam
proses produksi atau penyediaan
barang dan jasa, untuk direntalkan
kepada pihak lain, atau untuk tu-
juan administratif, dan diharapkan
untuk digunakan selama lebih dari
satu periode akuntansi. Pada saat
pengadaan PPE, nilai yang diakui
oleh entitas adalah sebesar cost-
nya yaitu jumlah kas atau kas
ekuivaleb yang dibayarkan atau
nilai wajar dari pertimbangan lain
yang diberikan untuk menguasai
suatu aset pada saat penguasaan
atau konstruksi atau, jika dapat
diterapkan, jumlah terkait aset
tersebut ketika pertama kali diakui
sesuai dengan persyaratan spesifik
IFRS lainnya.
Untuk memahami perspek-
tif akuntan dalam memandang PPE,
berikut adalah beberapa termi-
nologi dan pengertiannya yang
dianut dalam IFRS:
1. Jumlah tercatat (carrying
amount) adalah jumlah dimana
suatu aset diakui setelah di-
kurangi dengan akumulasi
penyusutan dan akumulasi pen-
gurangan nilai.
2. Jumlah yang dapat disusutkan
adalah biaya perolehan atau
biaya lain pengganti biaya
perolehan dikurangi dengan nilai
sisa.
3. Penyusutan adalah alokasi sis-
tematis atas jumlah yang dapat
disusutkan selama masa man-
faat aset.
4. Nilai Wajar adalah nilai di-
mana suatu aset dapat diper-
tukarkan antara pihak-pihak
yang berkeinginan dan
memiliki pengetahuan me-
madai dalam suatu transaksi
wajar (arm’s length) .
5. Rugi penurunan nilai
(impairment losses) adalah
suatu nilai dimana nilai ter-
catat suatu aset melebihi nilai
yang dapat diperoleh kembali.
Terkait dengan pengertian
nilai Wajar yang dianut dalam
IFRS, Penilai memberikan pene-
kanan lebih pada Nilai Pasar,
dimana Standar Penilaian Indo-
nesia mendefinisikan Nilai Pasar
sebagai:
estimasi sejumlah uang pada
tanggal penilaian, yang dapat
diperoleh dari transaksi jual
beli atau hasil penukaran
suatu property, antara pem-
beli yang berminat membeli
dengan penjual yang berminat
menjual, dalam suatu tran-
saksi bebas ikatan, yang pe-
masarannya dilakukan secara
layak, di mana kedua pihak
masing-masing bertindak atas
dasar pemahaman yang dimilikinya,
kehati-hatian dan tanpa paksaan.
(SPI I, Paragraf 3.1).
Nilai Wajar yang digunakan
untuk pelaporan keuangan bisa
berupa Nilai Pasar maupun nilai selain
Nilai Pasar. SPI menyatakan bahwa
Nilai Pasar yang disajikan oleh Penilai
atas suatu aset dalam laporan keuan-
gan, memiliki konsep yang sama den-
gan Nilai Wajar yang dianut IFRS. Perlu
pula dipahami dalam kondisi tertentu,
Nilai selain Nilai Pasar bisa jadi lebih
tepat untuk disajikan sebagai Nilai
Wajar. Hal ini perlu dibicarakan terle-
bih dahulu dengan manajemen dan
akuntan yang menyusun laporan
keuangan.
IAS 16 menjabarkan bagaimana
perlakuan akuntansi untuk PPE kecuali
ada standar khusus yang mengha-
ruskan atau mengijinkan perlakuan
yang berbeda. IAS 16 ini tidak dapat
diterapkan pada:
1. PPE yang diklasifikasikan sebagai
Dimiliki untuk Diijual (Held for Sale)
sebagaimana diatur dalam IFRS 5,
Aset tidak Lancar yang Dibeli untuk
Dijual dan Pemberhentian Operasi;
2. Aset biolojik yang terkait dengan
kegiatan pertanian;
3. Pengakuan dan pengukuran atas
eksplorasi dan evaluasi aset (IFRS 6,
Eksplorasi untuk dan Evaluasi Sum-
ber Daya Mineral); atau
4. Hak penambangan mineral dan
cadangan mineral seperti minyak
bumi, gas alam dan sumber daya
tidak terbarukan.
Setelah pengakuan dan pen-
Page 6 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
catatan awal, dalam penyajian se-
lanjutnya IAS 16 mengenal dua
model dalam pengukuran PPE sete-
lah pengakuan awal yaitu model
biaya (cost model) dan model re-
valuasian (revaluation model).
Dalam model biaya, nilai suatu aset
dicatat berdasarkan biaya perole-
hannya dikurangi biaya penyusutan
dan kerugian penurunan nilai.
Model ini merupakan model yang
telah diterapkan selama ini di Indo-
nesia sampai dengan dibukanya
pilihan bagi entitas untuk meng-
gunakan model revaluasian. Alter-
natif lain bagi entitas adala model
revaluasian dimana IAS 16 men-
gaturnya sebagai berikut:
After recognition as an as-
set, an item of property, plant
and equipment whose fair
value can be measured reliably
shall be carried at a revalued
amount, being its fair value at
the date of the revaluation less
any subsequent accumulated
depreciation and subsequent
accumulated impairment
losses. Revaluations shall be
made with sufficient regularity
to ensure that the carrying
amount does not differ materi-
ally from that which would be
determined using fair value at
the end of the reporting period
(paragraf 31).
Dalam paragraf 32 dan 33,
diatur lebih khusus atas penentuan
nilai wajar PPE yang dilakukan oleh
Penilai dan biasanya berasal dari
data pasar. Dalam hal ketiadaan
data pasar untuk menentukan
nilai wajar PPE karena kek-
hususan karakteristiknya, jarang
terjadi transaksi jual beli kecuali
sebagai bagian dari bisnis yang
beroperasi, entitas dapat mela-
kukan estimasi atas nilai wajar
PPE dilakukan berdasarkan
pendekatan pendapatan atau
pendekatan biaya (depreciated
replacement cost). Bila pada
Paragraf 32, peran Penilai secara
eksplisit diungkapkan untuk
penentuan nilai wajar dengan
pendekatan data pasar. Namun,
yang perlu ditegaskan adalah
pernyataan pada Paragraf 33,
dimana yang melakukan estimasi
nilai wajar adalah entitas yang
bersangkutan atau dengan kata
lain perhitungan estimasi nilai
wajar dapat dilakukan oleh akun-
tan perusahaan.
Pelaksanaan Revaluasi Aset
Frekuensi revaluasi aset
dalam model revaluasian tidak
diatur secara jelas periode wak-
tunya, bilamana terjadi kesenjan-
gan yang besar antara nilai wajar
PPE dengan nilai tercatatnya,
maka revaluasi aset diperlukan.
Revaluasi aset menjadi perlu
untuk dilakukan setiap tiga atau
lima tahun. Hal ini tergantung
dengan tingkat perubahan harga
aset yang bersangkutan.
Hal yang ditekankan
dalam IAS 16 ini adalah apabila
suatu item PPE direvaluasi,
maka seluruh item yang berada
pada kelas yang sama harus
direvaluasi. Sebagai contoh, apabila
ada satu bidang tanah direvaluasi,
maka seluruh tanah yang dimiliki enti-
tas tersebut juga harus direvaluasi.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk
mencegah entitas melakukan revaluasi
selektif atas PPE yang dimilikinya den-
gan tujuan untuk meningkatkan nilai
wajar aset dalam laporan posisi keuan-
gan. Ini juga untuk mencegah nilai
yang muncul di laporan keuangan
adalah campuran antara biaya dan
nilai wajar yang berbeda tanggal
penilaian. Revaluasi suatu kelas aset
dapat dilakukan secara bergilir agar
dapat diselesaikan dalam waktu yang
singkat dan nilai yang disajikan tetap
nilai terkini.
Pengelompokan PPE ke dalam
beberapa kelas dilakukan berdasarkan
kesamaan karakteristik dan peng-
gunaannya dalam operasi entitas. IAS
16 memberikan contoh delapan kelas
pembagian PPE yaitu:
1. tanah;
2. tanah dan bangunan;
3. mesin;
4. kapal;
5. pesawat;
6. kendaraan bermotor;
7. furnitur dan fixture;
8. Peralatan kantor.
Berdasarkan informasi dari
Direktur Penilaian Kekayaan Negara,
DJKN, Kementerian BUMN saat ini
tengah melakukan analisis atas kesia-
pan BUMN menyambut konvergensi
IFRS 2012 dengan melakukan revaluasi
asetnya. Dengan jumlah BUMN saat ini
yang lebih dari 140 perusahaan, bila
hanya mengandalkan Penilai Publik
Page 7 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
bersertifikat yang hanya berjumlah kurang dari 400
orang, dapat dipastikan revaluasi aset BUMN tidak
akan berjalan tepat waktu. Adalah Penilai DJKN yang
berjumlah 1.284 orang yang tersebar di 33 provinsi,
menjadi tumpuan akhir pelaksanaan revaluasi aset
BUMN
Untuk mengantisipasi permintaan penilaian
dalam rangka penyusunan LK BUMN, Penilai DJKN
harus mempersiapkan diri meliputi:
1. pemahaman atas konsep dasar IFRS terutama
dalam pengakuan, pencatatan, penilaian dan
penurunan nilai aset LK;
2. penyiapan database aset pembanding sesuai
dengan kategori aset perusahaan yang bersifat
komersial (profit oriented company);
3. Dari sisi manajerial, pemetaan sebaran aset
BUMN dibandingkan dengan sebaran Penilai
DJKN untuk memastikan adanya keseimbangan
beban tugas penilaian.
Kami Mengucapkan
Referensi:
DJKN, Diseminasi RUU Penilaian IV, Jakarta, 2009
International Accounting Standards Board. 2009. Interna-
tional Accounting Standard 16: Property, Plan, and
Equipment.
Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia. (2007).
Standar Penilaian Indonesia. Jakarta.
Ankarath, Nandakumar. Mehta, Kalpesh J., Ghosh, T.P.,
Alkafaji, Yas A., 2010. Understanding IFRS Funda-
mentals. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Deloitte Global Services Limited. (2010). Use of IFRSs by
Jurisdiction.
<http://www.iasplus.com/country/useias.htm>.
[Diakses tanggal 1 Desember 2010].
——————===——————-
* Penulis merupakan Kepala Seksi Penilaian Usaha I Dit.
PKN
Page 8 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
Istilah Kekayaan negara
yang dikuasai (domain publik)
bersumber pada pasal 33 UUD
1945 yang menyatakan bahwa
―Bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan diper-
gunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat‖.
Pengelolaan kekayaan negara
dalam konsep pasal 33 UUD
1945 ini adalah meliputi penger-
tian bahwa negara memiliki hak
dalam merumuskan kebijakan
(beleid), melakukan pengaturan
(regelendaad), melakukan pen-
gurusan (bestuursdaad), me-
lakukan pengelolaan
(beheersdaad), dan melaku-
kan pengawasan
(toezichthoundendaad).
Dalam konteks
mengelola kekayaan negara
yang dikuasai berupa sumber
daya alam dan sebagai per-
wujudan dari good govern-
ance pada pengelolaan
kekayaan negara, maka diper-
lukan suatu perangkat yang
mampu menggambarkan
akuntabilitas sekaligus meng-
gambarkan bentuk dari
pengelolaan kekayaan ne-
gara. Perangkat tersebut ha-
ruslah mampu menjadi indi-
kator dari kesepadanan antara
eksploitasi dan pendapatan,
kesepadanan antara peman-
faatan dan pelestarian, serta
kesepadanan antara opti-
malisasi dan keberlanjutan
dari sumber daya alam. Per-
angkat yang dimaksud dapat
berupa neraca sumber daya alam.
Saat ini berbagai instansi
pemerintah baik pusat maupun
daerah setiap tahunnya telah mem-
buat neraca sumber daya alam.
Namun penggunaan dari neraca
tersebut pada pengelolaan sumber
daya alam, terutama dari sisi fiskal
tidak terlihat signifikan, karena
neraca yang dibuat umumnya
hanya gambaran statistik dari be-
saran sumber daya alam dan pe-
rubahannya di suatu daerah.
Kondisi ini tentu tidak bisa dis-
alahkan karena pada awalnya
neraca sumber daya alam hanya
digunakan untuk tidak ditujukan
untuk menggambarkan menggam-
barkan sisi fiskal dari sumber daya
alam .
Menurut SNI 19-6728.3-
2002 tentang Neraca Sumber Daya
Lahan, neraca dapat diartikan se-
bagai ―timbangan‖ aktiva dan
pasiva dari sumber daya alam,
Neraca sumber daya disusun un-
tuk mengetahui besarnya cadan-
gan awal sumberdaya yang din-
yatakan dalam aktiva, dan be-
sarnya pemanfaatan dalam pasiva,
sehingga perubahan cadangan
dapat diketahui dari besarnya sisa
cadangan yang dinyatakan dalam
saldo suatu daerah pada suatu
kurun waktu. Neraca sumber daya
tersusun dalam bentuk model tabu-
lasi statistik berupa tabel skontro
(sebelah menyebelah) seperti
Manajemen Kekayaan Negara yang dikuasai
berupa Sumber Daya Alam
Berbasis Neraca Sumber Daya Alam
Page 9 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
Oleh : Helvita Dorojatun, ST*
Neraca Sumber Daya
Alam, dapat diartikan se-
bagai “timbangan” aktiva
dan pasiva dari sumber
daya alam, Neraca sum-
ber daya disusun untuk
mengetahui besarnya
cadangan awal sumber-
daya yang dinyatakan
dalam aktiva, dan be-
sarnya pemanfaatan
dalam pasiva, sehingga
perubahan cadangan da-
pat diketahui dari be-
sarnya sisa cadangan
yang dinyatakan dalam
saldo suatu daerah pada
suatu kurun waktu.
neraca keuangan. Neraca sumber daya menurut SNI tersebut perlu memperperhitungkan pula nilai sumber
daya dalam rupiah baik pada sisi aktiva maupun pasiva. Neraca sumber daya alam sesuai kesepakatan dis-
usun dalam empat komponen sumber daya alam yaitu Lahan, Hutan, Air, dan Mineral.
Neraca Sumber Daya Alam Dalam Pengelolaan Kekayaan Negara
Neraca sumber daya alam dalam pengelolaan kekayaan negara yang dikuasai dapat digunakan untuk
membandingkan antara besarnya kekayaan sumber daya alam yang telah dieksploitasi dengan pendapatan
negara bukan pajak dari hasil eksploitasi sumber daya alam. Hal ini dilakukan dengan cara menghitung
perkiraan PNBP dari cadangan sumber daya alam yang ada dan dicantumkan dalam kolom tersendiri di sisi
aktiva dan membandingkannya dengan total PNBP riil dari sumber daya alam pada periode tersebut yang
dicantumkan dalam kolom penerimaan di sisi pasiva. Nilai moneter yang tercantum pada kolom potensi PNBP
pada sisi aktiva selanjutnya akan menjadi kontrol dari kolom penerimaan di sisi pasiva. Balancenya kedua
kolom tersebut akan menjadi parameter good governance pada pengelolaan sumber daya alam.
Menampilkan perkiraan PNBP dari cadangan sumber daya alam dapat dilakukan dengan menghi-
tung besarnya penerimaan berdasarkan peraturan yang mengikat pada sektor tersebut yang meliputi royalti,
retribusi, dan sewa lahan di luar pajak dan biaya reklamasi yang dibebankan pada pemilik konsesi sumber
daya alam. Semisal ; sumber daya alam bahan galian golongan C berupa Pasir, dengan cadangan total
NO
AKTIVA PASIVA
CADANGAN POTENSI PNBP EKSPLOITASI PENERIMAAN
RIIL
1 Bahan Galian Pasir
Cadangan Total
10.000.000 ton
Cadangan terambil ta-
hun 2009
50.000 ton
Rp. 126.500.000
(hitungan seba-
gaimana diatas)
Bahan Galian Pasir
50.000 ton
Konsesi PT. A 10.000 Ton
Konsesi PT. B 10.000 Ton
Konsesi PT. C 10.000 Ton
Konsesi PT. D 10.000 Ton
Konsesi PT. E 10.000 Ton
Jumlah
Rp. 25.300.000
Rp. 24.500.000
Rp. 25.300.000
Rp. 25.300.000
Rp. 24.300.000
Rp.124.700.000
Saldo Rp. 1.800.000
Total Rp. 126.500.000 Total Rp. 126.500.000
Neraca Sumber Daya Alam Tahun 2009
10.000.000 ton, volume terambil per tahun adalah 50.000 ton, meliputi daerah seluas 500 Ha, yang dibagi
menjadi 5 konsesi, maka dapat dihitung besarnya potensi PNBP dari bahan galian ini pada tahun tersebut
adalah ;
Biaya Ijin usaha pertambangan untuk 5 Konsesi @ Rp. 10.000.000 Rp. 50.000.000
Royalti bahan galian per ton @ Rp.1000 Rp. 50.000.000
Retribusi penggunaan jalan negara per ton @ Rp. 500 Rp. 25.000.000
Sewa lahan per hektar @ Rp.3000 Rp. 1.500.000
Total potensi PNBP dari bahan galian Pasir Rp.126.500.000
Page 10 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
Hasil perhitungan potensi PNBP
dari bahan galian Pasir ini kita
masukan dalam kolom potensi
PNBP pada sisi aktiva, sedangkan
PNBP riil dari bahan galian pasir
pada periode tersebut dimasukan
pada kolom penerimaan di sisi
pasiva, sebagaimana contoh
neraca di bawah Ini : Cara penyu-
sunan neraca sebagaimana di
atas harus dilakukan juga pada
semua jenis sumber daya yang
memberikan kontribusi pada pen-
erimaan suatu daerah.
Menampilkan nilai
moneter pada sisi aktiva dan
pasiva seperti ini akan memberi
dua manfaat sekaligus, yaitu
yang pertama sebagai indikator
transparansi pengelolaan sumber
daya alam hal ini terkait dengan banyaknya pengusaha bisnis sumber
daya alam yang lebih suka memberikan fee kepada pejabat setempat
dibandingkan menyelesaikan kewajiban finansialnya terhadap Negara.
Manfaat kedua adalah neraca akan menjadi indikator apakah peraturan
yang menyangkut PNBP telah cukup efektif memasimalkan potensi
sumber daya alam yang ada, dalam hal ini apabila penerimaan dirasa
terlalu kecil dibandingkan dengan nilai keekonomian sumber daya alam ,
maka peraturan yang ada terkait PNBP perlu ditinjau ulang.
Neraca Sumber Daya Alam Berkelanjutan
Berkaitan dengan sumber daya alam yang berkelanjutan
(suistainable resource) seperti; hutan, air tanah dan, lahan, selain di-
tampilkan nilai moneter, juga diperlukan adanya perlakuan khusus di
dalam neraca. Selama ini neraca sumber daya alam berkelanjutan
(Gambar 1. Contoh Neraca Sumber Daya Air) yang umum dibuat
hanya mencantumkan besar cadangan atau stock dari sumber daya
alam pada sisi aktiva sedangkan sisi pasiva mencantumkan besar
cadangan yang telah dieksploitasi.
Bentuk Neraca yang seperti ini menyebabkan sumber daya alam
akan terlihat selalu berkurang terus menerus dari tahun ke tahun hingga
akhirnya habis. Hal ini tentu tidak sesuai dengan konsep manajemen
Contoh Neraca Sumber Daya Air
Page 11 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
sumber daya alam berkelanju-
tan, dimana sumber daya alam
berkelanjutan harus dikelola
seoptimal mungkin namun tetap
pada batas-batas sumber daya
tersebut dapat berkelanjutan.
Neraca untuk sumber
daya alam berkelanjutan
(suistainable resource) pada sisi
aktiva sebaiknya perlu mencan-
tumkan kolom jumlah maksimal
sumber daya alam yang dapat
dieksploitasi. Jumlah maksimal
ini sendiri ialah besaran dimana
sumber daya alam tidak men-
galami degradasi fungsi dan
tetap terjaga keberlanjutannya
apabila diambil tidak melebihi
dari jumlah tersebut. Besarnya
jumlah maksimal eksploitasi
sumberdaya alam dapat
diketahui dari penelitian yang
ada semisal ; untuk air tanah
berdasarkan penelitian adalah
20 % dari total meter kubik
cadangan air tanah, sedang-
kan jumlah maksimal peman-
faatan hutan dapat diketahui
dari jumlah cadangan hutan
dibagi dengan daur ekonomi
dari pohon penyusun hutan
tersebut.
Dengan membatasi
kolom eksploitasi pada sisi
pasiva neraca tidak pernah lebih
besar dari kolom jumlah maksimal
pertahun pada sisi aktiva maka
sumber daya tersebut akan tetap
dipastikan kelanjutannya. Contoh
neraca sumber daya alam berke-
lanjutan yang dicontohkan dengan
neraca sumber daya air ditampilkan
pada gambar Neraca Sumber
Daya Air Tahun 2009. Apabila ko-
lom eksploitasi pada sisi pasiva
masih jauh lebih kecil dari kolom
jumlah maksimal pada sisi aktiva
sebagaimana contoh neraca di atas
maka dapat disimpulkan adanya
besaran potensi pendapatan yang
perlu dimaksimalkan. Namun apa-
NO
AKTIVA PASIVA
Cadangan Jumlah Maksi-mal Pertahun
Potensi Rp
Eksploitasi Penerimaan riil
1
2
3
Cadangan Air
Hujan
692. 967. 494 m³
Cadangan Air
Permukaan
4.617.050.000 m³
Cadangan Air
Tanah
983.000.204 m³
1385115000 m³
(30% dari Cadangan To-tal)
196600041 m³
(20% dari Cadangan To-tal)
Rp. 138.511.500.000
(@Rp.100/ m³)
Rp.39.320.008.200
(@Rp.200/ m³)
Domestik
900.000.000 m³
Industri
500.000.000 m³
Pertanian
450.000.000 m³
Jumlah
Rp.90.000.000.000
(penggunaan air permukaan sebagai sumber PDAM)
Rp.1.000.000.000
(Penggunakan air tanah)
(tidak ada pungutan)
Rp. 91.000.000.000
Jumlah Saldo Rp. 86.831.508.200
Total Rp.177.831.508.200 Total Rp.177.831.508.200
Neraca Sumber Daya Air 2009
Page 12 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
bila kolom eksploitasi pada sisi
pasiva dari sumber daya alam
karena suatu sebab harus lebih
besar dari jumlah maksimal sum-
ber daya alam yang dapat diek-
ploitasi maka selisih tersebut
akan menyebabkan degradasi
lingkungan sehingga memerlu-
kan kebijakan tersendiri untuk
dapat mengurangi degradasi
fungsi dari sumber daya terse-
but. Contoh kasus adalah peng-
gunaan air tanah di Jakarta yang
jumlahnya belum dapat diganti-
kan oleh sumber air lainnya.
Kondisi seperti ini menyebabkan
eksploitasi air tanah jauh mele-
bihi jumlah maksimal peng-
gunaanya per tahun (± 40% dari
cadangan), sehingga perlu dit-
erapkan pungutan yang be-
sarnya dapat digunakan untuk
membiayai reklamasi dan ekten-
sifikasi daerah tangkapan air.
Kebijakan seperti ini dapat
menambah jumlah tangkapan air
tanah di daerah tersebut dan
secara tidak langsung menyeim-
bangkan neraca yang ada.
Neraca sumber daya
alam berkelanjutan yang lain
yaitu Neraca sumber daya la-
han, dan Neraca sumber daya
hutan dapat dibuat sebagaimana
Neraca sumber daya air di atas
dengan mempertimbangkan be-
saran maksimal yang dapat diek-
splotasi pada masing-masing
sumber daya. Dengan menam-
pilkan jumlah besaran maksimal
yang dapat dieksploitasi seperti
ini maka sumber daya alam
berkelanjutan akan dapat tetap
dijaga kelanjutannya, dan dimini-
malisir kerusakannya dengan
membatasi jumlah besaran
eksploitasinya.
Menilai sumber daya
alam untuk memperkirakan
potensi ekonomi dapat men-
jadi tugas pokok dan fungsi
dari Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara. PMK ten-
tang Penilaian Kekayaan Ne-
gara Dikuasai, yang meru-
pakan produk hukum dari
DJKN telah mengatur per-
mohonan penilaian dari
pengelola sektoral sumber
daya alam. Dalam kaitannya
dengan neraca sumber daya
alam yang ada, maka fungsi
menilai sebaiknya juga menilai
secara wajar sumber daya
alam tersebut secara keselu-
ruhan dalam kaitannya den-
gan kebijakan penetapan roy-
alti.
Dalam konteks
pengelolaan sumber daya
alam Pemerintah memiliki
tanggung jawab mengelola
kekayaan negara dikuasai ini
untuk sebesar-besar kemak-
muran rakyat. Dengan adanya
neraca yang mampu menam-
pilkan transparansi, akuntabili-
tas sekaligus optimalisasi
berkelanjutan pada pemanfaatan
sumber daya alam maka pengel-
olaan kekayaan negara yang dikua-
sai akan selangkah lebih maju.
==00==
Daftar Pustaka
Penyusunan Neraca Sumber Daya
Alam Provinsi Daerah Istimewa
Jogjakarta, 2007, Badan Peren-
cana Daerah (BAPEDA)
Provinsi Daerah Istimewa Jog-
jakarta; Jogjakarta
SNI, 19-6728.3-2002, Penyusunan
neraca sumber daya bagian – 3:
Sumber daya lahan spasial.
2002, Badan Sertifikasi Na-
sional ; Jakarta.
* Penulis merupakan Pelaksana
Penilaian SDA Energi dan Mineral I
Dit. PKN.
Page 13 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
Survey (dalam kaitannya
dengan penilaian bangunan)
adalah inspeksi dan investigasi dari
konstruksi dan layanan suatu prop-
erti dengan cukup rinci yang me-
mampukan seorang surveyor untuk
memberitahukan dampak apa yang
akan dihasilkan oleh kondisi atau
keadaan properti tersebut terhadap
klien.
Survey harus selalu men-
jadi bagian dari penilaian properti.
Untuk menghasilkan nilai dari prop-
erti, seseorang harus menetapkan
tingkat liabilitas yang ditunjukkan
oleh keadaan bangunan tersebut.
Contohnya: sebuah restoran yang
tidak bisa memenuhi standar kese-
hatan publik akan bernilai lebih
kecil dibandingkan restoran sejenis
yang tidak memiliki masalah terse-
but.
Hal tersebut bukan berarti
bahwa kondisi dari bangunan men-
dominasi penilaian. Ketika tugas-
nya adalah memberitahukan Nilai
Pasar Terbuka (Open Market Value
(OMV)) aktual dari properti terse-
but, lokasi bangunan menjadi ele-
men yang dominan dalam
penilaian. Akan tetapi, kondisi dari
bangunan akan mempengaruhi
harga yang akan dibayarkan untuk
properti tersebut ketika kondisinya
diketahui oleh pembeli. Penilaian
tidak selalu menjadi bagian dari
survey, tetapi survey harus menjadi
bagian dari setiap penilaian.
Informasi Sebelum Pelak-
sanaan Survey
Informasi yang perlu
dicari sebelum melaksanakan
survey harus mengarah ke prop-
erti yang dimaksud, batasan dari
inspeksi, dan lokasi bangunan.
Pertanyaan-pertanyaan berikut
perlu dipertimbangkan:
1. Apa yang ingin diketahui oleh
klien?
Dari sini akan ditentukan
apakah surveyor harus me-
laksanakan :
a. survey bangunan;
b. penilaian terkait dengan
perubahan yang diajukan
terhadap bangunan;
c. inspeksi sehingga sur-
veyor dapat memberitahu-
kan jika pekerjaan peruba-
han tertentu dapat dilaku-
kan;
d. inspeksi sehingga sur-
veyor bisa memberitahu-
kan pekerjaan perbaikan
yang bisa dilakukan dan
siapa yang akan menang-
gungnya;
e. evaluasi terhadap pem-
bangunan kembali properti
tersebut untuk kepentin-
gan asuransi;
f. inspeksi yang terbatas
sehingga surveyor bisa
memberikan komentar
terhadap masalah tertentu
atau kondisi dari bagian ter-
tentu di bangunan tersebut.
2. Tanggal dibutuhkannya infor-
masi
Jika pertukaran kontrak (antara
surveyor dengan klien) telah
ditetapkan pada tanggal ter-
tentu; penting bagi surveyor un-
tuk mengetahuinya sehingga
inspeksi dan laporan bisa diatur
sesuai dengan informasi terse-
but.
3. Ukuran, bentuk, dan usia
perkiraan dari bangunan yang
akan diinspeksi
Hal ini penting karena memberi-
kan kesempatan bagi banyak
surveyor untuk menaksir jumlah
waktu yang dibutuhkan dalam
inspeksi.
4. Apakah klien bermaksud melak-
sanakan perubahan jika mereka
meneruskan pembelian?
Hal ini akan memperlihatkan
informasi tentang semua pe-
rubahan yang telah ditetapkan
untuk dilaksanakan oleh klien.
5. Apakah klien membutuhkan la-
poran yang rinci akan batas-
batas, bangunan tambahan dan
tanah dari properti tersebut?
Harus diperhatikan apakah klien
memerlukan laporan-laporan
rinci untuk hal-hal tersebut atau
hanya menyangkut bangunan
utamanya saja.
6. Apakah klien mensyaratkan se-
SURVEY BANGUNAN
Page 14 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
Oleh : Hendra Leo Purba*
buah estimasi akan biaya
pembangunan kembali dari
properti tersebut?
Apakah survey dibutuhkan
untuk kepentingan perusa-
haan asuransi atau perusa-
haan hipotek? Apakah
penilaian berdasarkan pada
susunan bangunan yang su-
dah ada, atau perlu dipertim-
bangkan perubahan yang
diusulkan atau perbaikan
yang esensial?
7. Rincian dari kontrak penye-
waan, atau informasi khusus
lainnya
Jika properti merupakan
sewa kepemilikan maka infor-
masi lebih lanjut akan dibu-
tuhkan. Sebuah salinan kon-
trak penyewaan harus dis-
ediakan sehingga uraian da-
pat dibuat tentang liabilitas
yang bisa dikenakan kepada
pembeli prospektif. Area
properti harus diidentifikasi di
kontrak penyewaan, dan hal-
hal yang berkaitan dengan
perbaikan yang mendesak
dan penting akan (atau harus)
ditetapkan di kontrak penye-
waan.
Inspeksi
Sebelum seseorang menjadi
surveyor yang ahli, dia harus
mengikuti cara kerja surveyor
dan memperhatikan bagaimana
seorang surveyor melakukan
inspeksi dan pelaporan. Dari
pengalaman tersebut, kemam-
puan seorang surveyor akan
makin terasah diantaranya
dalam mengetahui kerusakan
di dalam suatu bangunan dari
bau dan tampilan bangunan
tersebut. Selain itu, keper-
cayaan diri akan kemampu-
annya juga akan terbangun
terutama dalam mengidentifi-
kasi konsekuensi yang mung-
kin timbul dari suatu kerusa-
kan.
Berikut ini adalah contoh lang-
kah-langkah pelaksanaan in-
speksi dan beberapa hal yang
perlu diperhatikan yang bisa
mengembangkan kemampuan
seorang surveyor terutama
mengembangkan inderanya
dalam mengidentifikasi keru-
sakan.
Horizontalitas dan vertikali-
tas
Surveyor harus memeriksa
kerataan sisi horizontal
(horizontalitas) dan kerataan
sisi vertikal (vertikalitas) untuk
setiap komponen dari suatu
bangunan. Dari inspeksi ini
bisa terlihat apakah terjadi
penurunan tanah atau per-
gerakan pada properti yang
diperiksa.
Inspeksi bisa dilakukan meng-
gunakan benda berupa peng-
garis/clipboard dan memband-
ingkan dari jauh garis antara
sisi penggaris/clipboard terse-
but dengan komponen ban-
gunan. Dari inspeksi tersebut
bisa terlihat apakah kompo-
nen bangunan tersebut benar-
benar lurus atau tidak.
Selain itu, inspeksi bisa dila-
kukan dengan berjalan ke bagian
dalam bangunan tanpa mengguna-
kan alas kaki untuk melihat apakah
permukaan lantai rata atau tidak.
Berjalan dengan tanpa alas kaki
akan dapat mengidentifikasi kontur
lantai dengan baik. Jika mengguna-
kan alas kaki, maka kontur permu-
kaan lantai akan tersembunyi.
Karena keseimbangan tubuh yang
sangat sensitif, maka penurunan
(slope) yang kecil pada lantai dan
arahnya dapat ditentukan dengan
mudah. Inspeksi ini dapat memberi-
tahukan apakah ada penurunan
tanah atau pergerakan di bangunan
tersebut.
Lantai
Bunyi derik dan pergerakan pada
lantai kayu harus dicatat untuk
melihat stabilitas ataupun kele-
mahan struktural dari suatu prop-
erti. Kelenturan dari balok lantai
bisa dilihat dengan melompat-
lompat kecil di atas lantai. Jika se-
lama melompat dirasakan lenturan
yang kenyal, maka penopang lantai
mungkin telah mengalami kerusa-
kan, dan jika lenturan yang dirasa-
kan berlebihan yang bisa dilihat
dari barang-barang lain yang ikut
bergerak sewaktu melompat, maka
balok lantai mungkin terlalu kecil.
Tes seperti ini penting untuk men-
getahui kualitas dari kayu pada lan-
tai. Dari sini kita bisa memberikan
peringatan akan kerusakan-
kerusakan yang bisa menjadi per-
timbangan bagi seseorang yang
akan membeli bangunan tersebut
atau memberikan saran atas per-
baikan-perbaikan apa yang penting
dilakukan.
Page 15 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
Jika ada pergerakan, jelaskan
apa artinya. Bisa jadi kerusakan
pada pondasi, kerusakan kom-
ponen (seperti material lantai),
kelebihan beban (overload),
kelembaban atau panas. Jika
kerusakan telah ditentukan, je-
laskan kemungkinan-
kemungkinan penyebab kerusa-
kan tersebut.
Penggunaan jari
Jari memungkinkan seseorang
mengetahui hal-hal kecil yang
janggal terutama pada suatu
permukaan. Garukan pada sam-
bungan mortar bisa memberita-
hukan apakah campuran semen
dan pasir terlalu lemah. Jika
mortar bisa digali dengan jari,
maka kemungkinan besar cam-
purannya terlalu lemah.
Mengetuk-ngetuk permukaan
sangat berguna karena bunyi
yang berbeda-beda dapat mem-
beritahukan banyak hal men-
genai konstruksi tersebut dan
stabilitasnya. Pengetukan plester
dinding bisa menunjukkan keru-
sakan, contohnya dimana plester
lepas. Ini bisa menunjukkan lo-
kasi rongga di bagian belakang
plester dan bisa menunjukkan
apakah dinding merupakan kon-
struksi yang solid atau meru-
pakan rangka stud/stud frame-
work (dinding yang terbuat dari
rangka kayu yang ditutup den-
gan plester). Pengetukan kayu
yang memiliki indikasi kerusakan
akibat jamur menghasilkan
resonansi yang benar-benar ber-
beda pada kayu yang telah ru-
sak dibandingkan dengan kayu
yang masih baik. Karena kebanyakan pembusukan atau kerusakan terjadi
di tengah-tengah kayu, permukaan
luar akan bebas dari tanda-tanda
kerusakan. Pada kayu yang telah ru-
sak, bunyi yang dihasilkan agak kos-
ong, berbeda dengan kayu yang ma-
sih baik yang memberikan suara yang
besar dan padat.
Penggunaan penciuman
Berbagai kerusakan material memiliki
bau yang sangat khusus. Kemam-
puan hidung dalam mengidentifikasi
bau hanya tepat jika menggunakan basis perbandingan. Berbagai bau
yang dapat menunjukkan kelembaban pada suatu properti akan mudah
dikenali jika sebelumnya anda telah melihat dan menciumnya, tetapi bau
tersebut akan kurang familiar bagi pelaksana yang masih baru. Seorang
surveyor dapat mengidentifikasi ragam kelembaban melalui penciuman.
Untuk mengasah kemampuan ini, dapat diuji melalui pendekatan hari per
hari terhadap kelembaban udara dan membandingkannya dengan yang
diberitahukan melalui prakiraan cuaca. Surveyor tidak akan akurat terha-
dap banyaknya perubahan, tetapi harus bisa mengetahui dimana udara
lebih kering dan dimana udara lebih lembab ketika memeriksa sebuah
bangunan.
Kelembaban
Pemeriksaan yang cermat terhadap daerah-daerah lembab tidak hanya
masalah rutinitas menggerak-gerakkan alat pemeriksa kelembaban di
sepanjang komponen bangunan, tetapi juga tentang ketepatan peng-
gunaan alat tersebut di daerah-daerah dimana air biasanya terperangkap
seperti bagian dalam dan bagian luar dinding sekitar saluran air. Dengan
mengetahui daerah-daerah dimana air kemungkinan besar terperangkap,
kita bisa melakukan inspeksi secara cermat di daerah-daerah tersebut dan
tidak perlu membuang banyak waktu memeriksa tempat-tempat yang
memiliki kemungkinan sangat kecil untuk dimasuki oleh air.
Pengecekan kelembaban pada komponen bangunan bisa menggunakan
moisture meter atau untuk pengecekan kom-
ponen bangunan terutama di daerah-daerah
yang sebelumnya sulit dijangkau seperti di
balik permukaan dinding bisa menggunakan
borescope.
Pelaporan terhadap konsekuensi yang mung-
kin terjadi Borescope dan penggunaannya
Page 16 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
Dinding yang menggunakan stud framework
MEDIA PENILAI INTERNAL
Setelah identifikasi kelembaban,
maka konsekuensi yang akan
terjadi harus dilaporkan.
Penghentian penetrasi air yang
mengalir terus menerus sangat-
lah penting. Jika hal ini tidak dije-
laskan, maka klien akan terkejut
akan hal yang mungkin akan
terjadi di kemudian hari, yang
akan berdampak juga terhadap
anda. Kelapukan merupakan
konsekuensi yang hampir tidak
dapat dihindari akibat penetrasi
air yang terjadi jika mengalami
kontak dengan kayu yang ada di
lokasi yang sirkulasi udaranya
buruk dan tersembunyi dari pan-
dangan.
Tugas dari surveyor adalah un-
tuk memperingatkan hal yang
mungkin terjadi dan memberi
rekomendasi langkah apa yang
selanjutnya harus diambil oleh
klien untuk mengetahui sejauh
apa gangguan telah terjadi, dan
kapan langkah-langkah tersebut
harus dilakukan termasuk di
dalamnya pemeriksaan yang
intrusif yang mungkin tidak diiz-
inkan oleh vendor. Jika kasusnya
seperti itu, kita harus memberi
anjuran untuk tidak mengambil
resiko dengan mengambil ban-
gunan tersebut. Ingatkan, reko-
mendasikan dan kemudian an-
jurkan. Jika anda ingin memberi-
kan opini atas koreksi harga,
pastikan anda membuat pan-
duannya untuk diverifikasi
oleh kontraktor setempat.
Teknologi baru
Penggunaan perlengkapan
video dan kamera (baik film
maupun digital) untuk
memotret suatu properti se-
dang meningkat. Keuntungan
dari komponen-komponen
bangunan yang difoto pada
saat pelaksanaan survey
adalah memberikan anda
rekaman bukti yang tersedia
pada saat itu. Hal ini seringkali
menjadi senjata yang berguna
untuk membela surveyor
ketika klaim dibuat.
Surveyor mungkin juga di-
minta untuk mendiagnosa
penyebab dari sebuah kerusa-
kan, dan memberi anjuran
atas biaya memperbaiki ma-
salah tersebut. Dalam kondisi
yang demikian, surveyor ha-
rus mengenal peralatan yang lebih
kompleks yang tersedia dan infor-
masi yang bisa dihasilkannya.
Penggunaan termografi infra merah
untuk menemukan kecacatan di
penyekatan dinding berongga, atau
mengimpuls radar untuk menemu-
kan celah di dalam dinding dengan
ketebalan 3 meter, hanyalah dua
contoh dari bantuan teknis yang
tersedia bagi surveyor. Nilai yang
dimiliki surveyor adalah kemam-
puan mereka untuk mengerti in-
fomasi yang akan dihasilkan oleh
peralatan tersebut dan menginter-
pretasikan datanya dan memberita-
hukan hubungannya.
Durasi survey
Berapa lama kah waktu yang tepat
dalam melaksanakan sebuah sur-
vey? Jawabannya bervariasi,
karena beberapa surveyor membu-
tuhkan waktu untuk menyesuaikan
diri, sedangkan yang lain tidak me-
merlukan penyesuaian dan lang-
sung beraksi. Waktu yang tepat
adalah waktu yang dibutuhkan un-
tuk melakukan pekerjaan dengan
baik. Inspeksi harus menghabiskan
waktu yang cukup bagi surveyor
untuk fokus, karena mengamati
bangunan merupakan hal yang
kompleks.
Kondisi bangunan
Efek dari kondisi bangunan terha-
dap klien sebagai pemilik, pe-
megang sewa, atau penghuni
prospektif adalah relatif. Atap yang
rapuh bisa rusak sewaktu-waktu.
Bagi kebanyakan orang, hal itu bisa
berarti menunggu masalah itu ter-
jadi dan berurusan dengan konse-
Penggunaan termografi infra merah
dan contoh hasil yang dikeluarkan
Penggunaan system impuls radar
Page 17 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
Moisture Meter dan penggunaannya
MEDIA PENILAI INTERNAL
kuensi yang timbul dan melaku-
kan perbaikan jika memang ha-
rus dilakukan. Bagi perusahaan
manufaktur yang membuat per-
lengkapan khusus, pendekatan
seperti itu bisa berakibat penutu-
pan jalur produksi, penggajian
karyawan ketika penghentian
produksi berlangsung, dan
kerugian dari segi bisnis dan
pendapatan, yang kesemuanya
terlalu besar resikonya. Kese-
muanya ini penting untuk diketa-
hui sehingga kondisi-kondisi
khusus bisa dipertimbangkan.
Orientasi bangunan
Surveyor yang melakukan in-
speksi bangunan untuk klien
yang seorang Muslim harus
mengidentifikasi orientasi ban-
gunan. Arah tempat tidur dan
toilet memiliki makna tertentu. Di
kamar tidur, tidak pantas bagi
kaki seorang muslim untuk
menunjuk ke arah Mecca. Hal
yang sama berlaku bagi toilet.
Properti penyewaan
Survey terhadap properti penye-
waan, apakah apartemen atau
properti bisnis, membutuhkan
pendekatan yang berbeda. Kali
ini tidak hanya kondisinya yang
harus dicatat, tetapi juga liabilitas
terhadap perawatan yang butuh
pertimbangan. Liabilitas perbai-
kan bisa jadi ke pemilik tanah
atau penyewa – atau tidak diten-
tukan. Kewajiban untuk mem-
bayar perbaikan bisa dikenakan
ke penyewa, melalui biaya
servis, jika pemilik tanah yang
melakukan pekerjaan.
Melihat jauh di luar dari apa
yang ada
Inspeksi dari kondisi bangunan,
atau bagian-bagian bangunan,
harus mempertimbangkan
ekspektasi fungsional dari
bagian-bagian yang diperiksa.
Atap diharapkan mampu men-
jauhkan air hujan dan mengen-
dalikan peningkatan dan penu-
runan panas. Penilaian terha-
dap kondisi atap harus mem-
perhatikan ekspektasi ini.
Apakah terjadi kebocoran? Bu-
kan berarti bahwa ada tanda
kebasahan yang jelas. Mungkin
hanya ada jejak noda pada
dinding putih. Mungkin hanya
ada kebasahan dibawah per-
mukaan dinding plester, yang
bisa ditemukan dengan meng-
gunakan moisture meter dan
tidak terlihat dengan mata
sama sekali. Ini berarti inspeksi
lebih dari sekedar melihat apa
yang ada, tetapi juga apa yang
mungkin ada.
Untuk melihat apa yang seha-
rusnya ada, surveyor perlu
menjadi ahli di konstruksi. Se-
mua bentuk bangunan memiliki
syaratnya sendiri-sendiri, yang
mungkin lebih khusus di rangka
beton, cladding atau glazing dari
konstruksi rangka, sampai ke atap
rata (flat roof) yang hangat (warm)
atau dingin (cold), atau tipe kon-
struksi lainnya. Itu berarti bentuk
konstruksi harus diketahui se-
hingga surveyor mampu menentu-
kan apa yang harus ada di sana
dan apakah ada sesuatu yang
hilang/tidak ada. Kondisi tersebut
hanya bisa ditaksir ketika ber-
hubungan dengan metode kon-
struksi dan material yang telah
digunakan. Jika ada sesuatu yang
hilang/tidak ada, maka itu bisa
menjadi penyebab dari kerusakan
yang telah terlihat.
==00==
* Penulis merupakan Pegawai CPNS
yang ditempati di Lingkungan Dit.
PKN.
Page 18 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
The social and economic
environment in which real estate
appraisal is performed is
undergoing major changes,
including real estate
securitization, increasing cross-
border transaction, and
development of a two-tier market
( large, centrally located class A
properties are strong, while the
lower class B and C properties
face continuing price declines).
And the public-interests
objectives and operation of
Japan's real estate appraisal
system are being reexamined
and reassessed to meet new
challenges. In addition to fulfilling
the conventional task of ensuring
appropriate pricing for real
estate, Japan’s appraisal system
must provide an infrastructure to
protect clients and investors, and
must also promote efficiency in
the marketplace.
To assist in identifying the
characteristics of the existing
laws, appraisal standards,
guidance notes, and guidelines
which underlines Japan's real
estate appraisal system, this
introduction describes the
evolution of the appraisal system
in relation to the real estate
market in a global context,
specifically
the US, the UK, Australia and
China and the progress being
made toward the developing
mechanisms that supports
transparency and reliability in
appraisal, such as access to
market data.
1. Uniformity of real estate
appraisal standards
It is generally recognized in
developed countries that the
uniformity of real estate
appraisal standards is very
important in terms of the
infrastructure supporting real
estate markets, a lesson that
has been learned through
severe market cycles
including bubbles and
subsequent bursts.
UK
From the early to mid-1970s,
the UK experienced a sudden
rise and fall in real estate
prices. It has been pointed
out that ― the collapse
exposed a wide variation in
the approach to property
valuation, which had thrown
up vastly different – and often
completely unrealistic –
figures for properties with
similar value factors‖*.
Appraisal practice came under
harsh criticism.
The Royal Institution of
Chartered Surveyors (RICS,
founded in 1881), which plays
a central role in appraisal in
the UK, responded in 1976 by
developing and publishing a
set of uniform appraisal standards
generally known as the "The Red
Book" with the objectives of
unifying the approaches to and
techniques of appraisal, which had
been variously interpreted and
applied up to that time; of
establishing a code of conduct
regarding the independence,
objectivity, and accountability of
surveyors, the professionals
involved in appraising real estate,
and the transparency of their
reports;
and of strengthening regulations
concerning conflicts of interest.
*Michael Brett, Valuation Standards
for the Global Market (RICS
Leading Edge Series 2002)
US
The experience of the US has been
similar to that of the UK. In the first
half of the 1980s, financial
deregulation (resulting from the
Depository Institutions Deregulation
and Monetary Control Act of
1980), rising inflation and the
adoption in 1981 of tax incentives
for real estate investment led to
huge amounts of capital being
shifted into the real estate market,
as seen in the expanded
investment activity of commercial
banks and savings and loan
institutions (S&Ls). This brought
about a real estate boom, and real
estate prices soared. However,
prices dropped sharply in the late
JAPAN REAL ESTATE APPRAISAL IN A GLOBAL CONTEXT
Takumi Watanabe (Japan)
LREA, REC, CRE, FRICS
Japan Real Estate Institute Tokyo Japan
Page 19 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
1980s and early 1990s due to
excess supply, which arose from
the boom, along with declining
demand caused by an economic
recession and changes in the
law that eliminated many tax
incentives for real estate
investment.
Excessive financing, related to
unrealistically high valuations
during the boom period in an
environment where uniform
valuation standards were sorely
lacking, came under severe
criticism; and there were calls
such as the feature article in the
New York Times on October 21,
1990 for fair and impartial
appraisal standards that would
be free from external pressures.
The Appraisal Foundation, a
private nonprofit corporation
composed of eight major
appraisal organizations including
the Appraisal Institute, was
established under the Federal
Institutions Reform, Recovery
and Enforcement Act (FIRREA)
of 1989, which was enacted in
response to this situation. The
foundation has developed and
administered uniform appraisal
standards called the Uniform
Standards of Professional
Appraisal Practice (USPAP).
These standards apply to
appraisal services to be
performed with professionalism,
independence, fairness, and
objectivity on the part of
appraisers. The standards gain
legal force when they are
invoked in federal and state
legislation and administrative
matters, and in private
appraisal contracts.
Japan
Japan has also experienced
three land price bubbles over
the half-century period from
the completion of its post-
World War II economic
recovery to the present.
Except for Tokyo and other
large urban areas, land prices
have continued to decline over
the sixteen years since the
third bubble burst. By
analyzing the characteristics
of each of these bubbles, it is
possible to gain useful insights
regarding the direction to be
taken in the development of
future appraisal standards.
High Economic Growth
During the period of high
economic growth, which
began in the mid-1950s and
lasted about 20 years until it
was brought to an end by the
oil crisis, real GDP rose at an
average of 10% per year, and
land prices soared two during
two different periods peaking
in 1961 and again in 1973.
The fundamental reason for
these sudden land price
increases was rapid economic
growth, combined with an
imbalance in housing supply
and demand as industry and
population became concentrated in
urban areas. However, public
confusion regarding land prices—
due to the lack of a system for the
rational pricing of land—was
recognized as an additional reason.
The Real Estate Appraisal Act of
1963 established a legal and
administrative framework for
appraisal, which plays an important
role in contributing to appropriate
pricing in the real estate market by
providing the market with
information about property values
by authorized professionals such
as Licensed Real Estate Appraisers
(LREAs). In addition, various
standards were unified in the
Japanese Real Estate Appraisal
Standards of 1964. In Japan, only
appraisals performed by an LREA
in accordance with the Japanese
Real Estate Appraisal Standards
are permitted.
Excessive liquidity
The oil crisis was overcome
through cost-cutting measures
based on belt-tightening energy-
management and the development
of energy-saving technologies.
GDP growth recovered to around
5% in the latter half of the 1980s.
Land prices then soared for the
third time. Unlike the rapid
increases in land prices during the
previous period of high economic
growth, this rise in land prices
occurred during a period of great
credit availability, which grew at a
rate exceeding the rate of GDP
growth. Excessive liquidity led to
huge amounts of capital flowing
Page 20 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
into the real estate market, which
was essentially local in nature. The imbalance between the capital market and the real estate market, was then
suddenly corrected through a precipitous fall in sale prices at the beginning of the 1990s.
The appraisal system at that time was not capable of functioning properly in response to the sudden
rise in sale prices during the late 1980s. In a market of soaring land prices, the reversion generated
by selling a property was much more significant than the annual cash flow generated by the management and
operation of real estate. Prices indicated by comparable sales data played the decisive role in appraisal values,
while values indicated by the income approach were only used for
verification. Nevertheless, because there was no adequate mechanism in place for appraisers to obtain the latest
detailed market data, it was difficult to analyze the impact of excess liquidity and the sustainability of market
prices by verifying sale prices based on income-earning capabilities and the like. With such limitations on access
to market data, appraisal values were led higher and higher by a scanty amount of sales data and asking prices,
until the rug was pulled out by a sudden bursting of this bubble.
2. Transparency and Reliability in Appraisal
In Japan, during the long-term decline in land prices since the bursting of three land price bubbles, people's sense
of value regarding real estate has shifted away from simple ownership of real estate to the improvement of cash
flow, which is one aspect of land ownership. As illustrated by advances in real estate securitization and the
momentum toward the full-scale introduction of ―mark-to-market‖ valuation of real estate in corporate accounting,
there is a growing demand for detailed explanation of the cash flow generated by land together with buildings as
combined real estate products, and for the income-earning capabilities of that real estate to be accurately
reflected in its pricing and reporting.
Meanwhile, like other advanced countries,
Japan is in the process of transforming its
industrial structure in the direction of
finance, IT, and other growth areas, and is
still experiencing a high level of excess
liquidity, which tends to accompany such a
transformation. In addition, the
globalization of the real estate market is
accelerating around the world. As a result,
it is likely that enormous amounts of both
domestic and foreign investment capital will
be directed to the real estate market, and
that this will include some sale prices which
are unreasonably high in terms of income-
roducing capabilities of a property. The
ability to procure investment capital at a low cost, a result of excess liquidity, is one of the reasons why investors
are eager to invest, even at high prices, along with their high expectations for future cash flow and the dispersion
of investment risk through real estate securitization.
In response to the major changes in the social and economic environment such as real estate securitization,
increasing cross-border investment, and the two-tier market, concrete steps are being
Page 21 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
taken to create mechanisms for
an infrastructure to improve
transparency and reliability in
appraisals. For example, the
Japanese Real Estate Appraisal
Standards were totally revised in
2007. Collaboration between the
government and private sectors
in establishing a database to
improve access to market data is
now progressing. Beginning in
2008, appraisals are monitored
by a third-party committee
established by the regulatory
authorities.
In the US and other countries
besides Japan, much energy is
being devoted to efforts to
improve access to market data,
to heighten the transparency and
reliability of appraisals, and to
increase the effectiveness of
uniform appraisal standards. The
current appraisal environment
may be characterized by the
creation of a data management
process to acquire, monitor, and
store market data and increasing
competition in terms of the
quality and speed of data
analysis.
3. Revision of the Japanese
Real Estate Appraisal
Standards in 2007
Appraisals by LREAs, who are
responsible for conducting an
objective, highly precise
appraisal from a fair and
disinterested standpoint,
reflecting an absence of any
conflict of interest with regard to
investors and market
participants, are becoming
increasingly important in
ensuring the sound
development and
transparency of the real estate
securitization market.
The 2007 revision of the
Japanese Real estate
Appraisal Standards goes
beyond a mere revision of the
existing standards and
incorporates additional
content. The main content of
this new chapter is
summarized below.
a) The scope of securitization-
properties requiring real
estate appraisal should first
be clarified. It includes
real estate, which is subject
to, or under consideration
for, several types of
transactions (including
transactions involving trust
beneficiary rights) under
various legislation such as
the Asset Liquidation Law,
the Investment Trust and
Investment Corporation
Law, the Real Estate
Syndication Act (Fudosan
Tokutei Kyodo Jigyo Ho),
or the Financial
Instruments Trading Law.
The provisions of Chapter
3 of the Specific Standards
apply to the valuation of
other types of investment
properties for the protection
of investors and buyers.
b) Since, in many cases, a
wide variety of parties may
be involved and hold
complex interests in a
securitized property, the
appraisal report must indicate
the interests of the client with
regard to the property and the
parties involved in the
securitization.
c) When accepting a request to
perform an appraisal, the LREA
must determine the purpose and
background of the appraisal
request, the anticipated
securitization plan, and the
relationship between the client
and parties involved in the
securitization; the LREA must
also draft a reasonable and
reliable plan for how to proceed.
d) In an appraisal of a
securitization property, the
LREA must ask the client to
submit the engineering report
required for that appraisal, and
provided the report is submitted
and its content meets the needs
of the appraisal, the LREA must
use such report in the appraisal.
(If the engineering report is
incomplete, the LREA must
clarify those areas needing
further explanation on the basis
of his own knowledge or another
expert’s advice.) Whether or not
an engineering report is utilized,
the use of a uniform format is
required.
e) To improve the accuracy of an
appraisal of a securitization
property and to enhance the
comparability of the report, the
value indicated by the income
approach must be calculated by
both direct capitalization and
DCF analysis. In the application
Page 22 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
Page 23 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
of DCF analysis, steps are
taken to allow comparisons of
net cash flow (NCF) over
intervals, which unifies the
income and expense items
and makes the market data
more easily understandable.
The use of a uniform format is
required.
4. Globalization of real estate
appraisal standards
The real estate markets of all
countries stand in a relationship
of international competition by
way of
he real estate financial market.
In the real estate financial
market, vast amounts of
accumulated excess capital are
moved around the world in
search of the most
advantageous investment
opportunities, just as Tokyo Bay,
Hudson River, the Thames
River, and Victoria Harbor are all
linked
by the waterway that covers the
earth. When all goes well, this
can contribute to global
economic growth. However,
investment capital sometimes
pours in too rapidly, like a
tsunami, followed by an
outflow or capital flight.
As investment capital becomes
increasingly global in nature, it is
necessary to ensure the
ransparency and reliability in
appraisals from an international
perspective in addition to a
national one. Here, I will
consider two approaches to
studying the appraisal
standards of individual
countries: the op-down
approach, which is based on
the ideal of unified
international appraisal
standards; and the bottom-up
approach, which is based on
the reality of how appraisals
are actually conducted in each
country.
(a). International Valuation
Standards
In cross-border transactions, it
is essential to recognize the
principle-based International
Valuation Standards (IVS),
which should be commonly
understood, relied upon, and
applied by all countries. In
ecent years, the International
Accounting Standards Board
(IASB) has accelerated its
efforts for the adoption of
International Financial
Reporting Standards (IFRS)
which are principle-based and
focus on eporting at Fair
Value rather than historical
cost. IASB continues the
convergence with national
accounting standards, with
than 120 countries adopting
IFRS. The International
Valuation Standards (IVS) role
in support of IFRS and other
valuation and practice
standards continues to grow.
The standards of individual
countries are also being
developed in relation to
globalization, either adopting
VS, converging with IVS or
incorporating them in some form as
path to future convergence or
adoption.
For example, the fifth edition of the
RICS appraisal standards,
generally referred to as the Red
Book distinguishes between
national standards applicable only
in the UK, and global standards
applicable both in the UK and
abroad. The global standards in
the Red Book are adopted from the
appropriate IVS standards.
In the US, in response to the
strong demands of global finance,
the appraisal standards and
business models have been
changed to facilitate the prompt
and flexible handling of appraisals.
For example, since July 2006, the
―departure rule‖, which applied to
exceptions to compliance with
USPAP, has been removed; and
the "scope of work rule", which is
considered as a contractual
arrangement for other professionals
including lawyers, has been
recognized outright as the basis of
appraisal assignments. This
represents an alignment with the
approach taken by the US Financial
Accounting Standards Board
(FASB), which with a litigious
society in mind had based its
standards on a strictly rule-based
approach, but is now moving
toward the principle-based
approach taken by the International
Accounting Standards Board
(IASB), as part of the IASB/FASB
convergence project. The US
appraisal standards are to be
brought into convergence with the
MEDIA PENILAI INTERNAL
International Valuation
Standards under the Madison
Agreement of 2006.
In Japan as well, the green light
has just been given in 2008 for
cross-border appraisals
according to overseas standards
(or IVS, if the overseas country
standards has adopted the IVS),
based on the concept of "When
in Rome, do as the Romans do" .
However, LREAs who engage in
collaboration or joint work with
overseas appraisers are to report
the matters required under
Japan's appraisal standards to
the extent possible; and if some
items are not customarily taken
into consideration under the
overseas standards, a note
should be included to this effect.
(b). Cross-border valuation
In each country, the appraisal
standards which are based on
economic theory have many
basic aspects in common.
However, significant differences
appear at the stage of practical
application of those standards,
since their application is based
on systems and markets which
reflect the unique. Thus, IVS,
which has no enforcing power,
must rely historical, cultural, and
political nature of each country
on the national standard setter or
regulators to ensure consistent
application and enforcement of
IVS.
Therefore, in cross-border
appraisal, it is necessary to
obtain a thorough understanding
of the differences which
characterize each country with
regard to appraisal standards,
concepts of property rights,
access to market data and
data verification, and other
basic matters, and to make
these matters clear to the
client and investor in each
appraisal report. Disclosure
as to the level of compliance
with IVS and reasons behind
any departures must be clear
and prominent. Before making
an investment, investors want
to know the reasons for any
substantive differences that
may exist among the terms
and techniques used in
market and appraisals, even
when they seem similar at first
glance, so that this information
can be used to analyze
investment risk.
To provide a greater
understanding of the
differences among the
appraisal standards of these
countries, I have compared
appraisals in Japan with
appraisals under the IVS, the
US, the UK, China,
and Australia with regard to
the following fundamental
points:
i. Framework of Appraisal
Standards (Who writes the
appraisal standards? For
whom appraisal standards
are written? Who must
abide by and for what
services? )
ii. Fundamentals to
Appraisals (Real Property
ownership and interest, Scope
of work, Assumption, Appraisal
review )
iii. General Concepts & Principles
(Market value, Value other than
market value)
iv. Approaches to Value
v. Appraisal Report
vi. Implementation of Appraisal
Standards
vii. Availability of Data
viii.Specification of Appraisal
Standards for Securitization
Purposes
5. Role of and Responsibilities
for the Appraisal System
In order to convert the wave of
rapid globalization in the real estate
market into energy that leads to
efficient land use and sound capital
formation, instead of a tsunami
which results in the formation and
collapse of bubbles, there is a need
for coordinated efforts in a wide
range of fields, including real estate
securitization schemes and urban
planning. Although the roles that
can be played by appraisals are
limited, it is more important than
ever to accurately estimate market
values through the analysis of
verified market data and
macroeconomic data, including the
objectives, motives, and
characteristics transactions of
investors. Compared to the time of
Japan's economic bubble, today
there is much greater access to
market data, which is indispensable
for this kind of detailed analysis.
In addition, the national
government in Japan is considered
to bear ultimate responsibility for
Page 24 ED IS I K E X D E S E M B ER 2 0 1 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
Page 25 ED IS I K E X D E S E M B ER 2 0 1 0
the appraisal system on behalf of
the general public, and this
attribution of responsibility is
clearly specified. The
conception of appraisal as a
national system underlies many
differences between Japan and
other countries in aspects such
as the scope of appraisal work,
assumptions, appraisal reports,
responsibilities of appraisers,
and standards relating to real
estate securitization. Currently,
the problem of sub-prime home
mortgages aimed at low income
earners in the US, has led to a
liquidity crisis which is adversely
affecting the global securitization
and real estate markets, and
this
has raised the issue of
restoring the confidence of
investors and the general
public through the disclosure
of information and clarification
of responsibilities. Countries
vary in their responses, but
Japan's real estate appraisal
system meets the call for
responsibility regarding
transparency and reliability in
appraisals not only with regard to
appraisal clients but also with
regard to the general public.
===00===
MEDIA PENILAI INTERNAL
I. Manajemen Aset
Kata manajemen se-
betulnya merupakan serapan
dari kata management yang
berasal dari bahasa Inggris yang
berarti pengelolaan. Secara
umum pengertian manajemen
dapat kita artikan sebagai proses
dengan mana pelaksaaan dari
tujuan tertentu diselenggarakan
dan diawasi. George R. Terry
dalam buku ―Principle of Mange-
ment‖ secara garis besar men-
yatakan bahwa fungsi mana-
jemen terdiri dari empat fungsi
yaitu Planning, Organizing, Actu-
ating, dan Controlling. Semen-
tara pengertian aset sendiri
adalah barang, yang dalam
pengertian hukum disebut
benda, baik yang berwujud
(tangible) maupun yang tidak
berwujud (intangible), yang ter-
cakup dalam aktiva/kekayaan
atau harta kekayaan dari suatu
instansi, organisasi badan
usaha, ataupun individu peroran-
gan. Adapun pengertian aset
yang ditemui dalam Keputusan
Menteri Dalam Negeri dan Kepu-
tusan Menteri Keuangan yaitu
semua barang yang dibeli atau
yang diperoleh atas beban
APBN/APBD atau berasal dari
perolehan lain yang sah.
Pengertian aset dalam Kepu-
tusan Menteri Keuangan ini
dirasa lebih dangkal dibanding-
kan dengan pengertian secara
hukum mengingat banyak
aset yang dimiliki dan dikuasai
tanpa adanya suatu pembe-
lian dan perolehan terlebih
dahulu misalnya pengakuan
secara de facto dan de jure
atas suatu negara, wilayah,
dan warga yang berada dalam
penguasaannya. Produk hu-
kum, wilayah kekuasaan, dan
warga merupakan aset besar
yang dimiliki dan dikuasai se-
jak negara Indoesia berdiri.
Jadi aset sendiri tidak terbatas
pada ―barang‖ yang mempun-
yai esensi arti berwujud
(tangible) namun sebaiknya
menggunakan benda yang
lebih cocok didefinisikan seba-
gai aset. Dengan melihat
pengertian diatas dapat kita
simpulkan bahwa manajemen
aset dalam konteks kekayaan
negara adalah pengelolaan
secara optimal terhadap sum-
ber daya alam, sumber daya
manusia, infrastruktur, dan
segala ketentuan yang mengi-
kat atas aset-aset tersebut
dengan berorientasi pada tu-
juan pengelolaan aset itu
sendiri.
Manajemen aset
menurut Ir. Doli D Siregar,
M.Sc dalam bukunya yang
berjudul ―Manajemen Aset‖
sebenarnya dapat dirumuskan
menjadi 5 (lima) tahapan kerja
yang saling berhubungan dan
terintegrasi dalam mewujudkan
misi pengelolaan kekayaan negara
(efektifitas pengelolaan, efisiensi
pengeluaran, dan optimalisasi pen-
erimaan). Kelima tahapan kerja
tersebut yaitu :
1. Inventarisasi aset.
2. Legal audit.
3. Penilaian aset.
4. Optimalisasi aset.
5. Pengembangan Sistem Infor-
masi Manajeman Aset (SIMA),
dalam pengawasan dan pen-
gendalian aset.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Inventarisasi Aset
Inventarisasi aset terdiri atas
dua aspek, yaitu inventarisasi
fisik dan yuridis/legal.
a. Aspek fisik terdiri atas
bentuk, luas, lokasi,
volume/jumlah, jenis,
alamat dan lain-lain.
b. Aspek yuridis adalah
status penguasaan,
masalah legal yang dimiliki,
batas akhir penguasaan
dan lain-lain.
Proses kerja yang dilakukan
adalah:
a. Pendataan,
b. Kodifikasi/labelling,
c. Pengelompokan dan
pembukuan/administrasi
sesuai dengan tujuan
Page 26 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
PENTINGNYA KEBERADAAN BASIS DATA DAN KEGIATAN PEMETAAN
DALAM MANAJEMEN ASET (KONTEKS KEKAYAAN NEGARA)
Oleh: Wisnu Yogaswara*
Page 27 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
manajemen aset.
2. Legal Audit
Legal audit merupakan satu
lingkup kerja manajemen
aset yang berupa:
a. Inventarisasi status
penguasaan aset,
sistem dan prosedur
penguasaan atau
pengalihan aset,
b. Identifikasi dan mencari
solusi atas
permasalahan legal, dan
c. Strategi untuk
memecahkan berbagai
permasalahan legal
yang terkait
dengan penguasaan
ataupun pengalihan
aset.
Permasalahan legal yang
sering ditemui antara lain
status hak penguasaan yang
lemah, aset dikuasai pihak
lain, pemindahtanganan aset
yang tidak termonitor, dan
lain-lain.
3. Penilaian Aset
Penilaian aset merupakan
satu proses kerja untuk
melakukan penilaian atas
aset yang dikuasai. Biasanya
ini dikerjakan oleh konsultan
penilaian yang
independen. Hasil dari nilai
aset tersebut akan dapat
dimanfaatkan untuk
mengetahui nilai kekayaan
maupun informasi untuk
penetapan harga bagi aset
yang ingin dijual.
4. Optimalisasi Aset
Optimalisasi aset
merupakan proses kerja
dalam manajemen aset
yang bertujuan untuk
mengoptimalkan (potensi
fisik, lokasi, nilai, jumlah/
volume, legal dan
ekonomi) yang dimiliki
aset tersebut.
Dalam tahapan ini, aset-
aset yang dikuasai Pemda
diidentifikasi dan
dikelompokan atas aset
yang memiliki potensi dan
tidak memiliki potensi.
Aset yang memiliki potensi
dapat dikelompokan
berdasarkan sektor-sektor
unggulan yang menjadi
tumpuan dalam strategi
Pengembangan ekonomi
nasional, baik dalam
jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang.
Tentunya kriteria untuk
menentukan hal tersebut
harus terukur dan
transparan. Sedangkan
aset yang tidak dapat
dioptimalkan, harus dicari
faktor penyebabnya.
Apakah faktor
permasalahan legal, fisik,
nilai ekonomi yang rendah
ataupun faktor lainnya.
Hasil akhir dari tahapan ini
adalah rekomendasi yang
berupa sasaran, strategi
dan program untuk
mengoptimalkan aset
yang dikuasai.
5. Pengawasan dan
Pengendalian
Pengawasan dan pengendalian
pemanfaatan dan pengalihan
aset merupakan satu
permasalahan yang sering
menjadi hujatan kepada Pemda
saat ini. Satu sarana yang
efektif untuk meningkatkan
kinerja aspek ini adalah
pengembangan SIMA. Melalui
SIMA, transparansi kerja dalam
pengelolaan aset sangat
terjamin tanpa perlu adanya
kekhawatiran akan
pengawasan dan pengendalian
yang lemah. Dalam SIMA ini
keempat aspek itu diakomodasi
dalam sistem dengan
menambahkan aspek
pengawasan dan pengendalian.
Sehingga setiap penanganan
terhadap satu aset, termonitor
jelas, mulai dari lingkup
penanganan hingga siapa yang
bertanggung jawab
menanganinya. Hal ini yang
diharapkan akan
meminimalkan KKN (kolusi,
korupsi dan nepotisme) dalam
tubuh Pemda, guna
terwujudnya pemerintahan
yang baik dan bersih (good
and clean government).
II. Pembentukan Basis data yang
Handal Dalam Rangka Opti-
malisasi Aset.
Basis data merupakan kumpu-
lan data yang terpusat dalam ket-
eraturan suatu sistem yang diban-
gun untuk mengolah data-data
menjadi suatu data yang dapat
memberikan informasi yang cepat
dan akurat terkait atas suatu kebu-
tuhan data yang menjadi tujuan
pembentukan pusat data tersebut.
MEDIA PENILAI INTERNAL
Kegiatan pembentukan basis
data berhubungan dengan
manajemen data yang meru-
pakan bagian dari manajemen
sumber daya informasi yang
mencakup semua kegiatan yang
memastikan bahwa sumber daya
data perusahaan akurat, mu-
takhir, aman dari gangguan yang
tersedia bagi pemakai. Kegiatan
manajemen data mencakup :
1. pengumpulan data,
2. penyimpanan data,
3. pemeliharaan data,
4. pengambilan data,
5. Integritas pengujian atas
data yang diolah, serta
6. penggunaan data dalam hal
ini organisasi maupun indi-
vidu perorangan.
Secara garis besar tujuan
pembentukan basis data melalui
manajemen data adalah memini-
malkan pengulangan data, men-
capai indepedensi data
(kemampuan untuk membuat
perubahan dalam struktur data
tanpa membuat perubahan pada
program yang memproses data),
mengintegrasikan data dari be-
berapa file, mengambil data dan
informasi secara cepat serta
meningkatkan keamanan.
Pembentukan basis data
dalam manajemen aset se-
benarnya merupakan kegiatan
paling awal yang harus dilaku-
kan (Planning) dalam mengin-
ventarisasi aset, legal audit, dan
penilaian aset dalam rangka op-
timalisasi aset. Tanpa adanya
basis data yang handal, mengin-
gat banyak data masuk yang
harus diolah untuk berbagai
macam kebutuhan pengel-
olaan aset, maka dapat diba-
yangkan berapa banyak waktu
dan biaya yang dibutuhkan
mengelola satu buah aset saja
sehingga dapat dipastikan
misi pengelolaan aset pun
tidak akan pernah tercapai.
Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN),
salah satu direktorat yang
berada dibawah naungan Ke-
menterian Keuangan, mem-
punyai fungsi dan tugas dalam
mengelola aset (Kekayaan
Negara) yang dimiliki dan di-
kuasai oleh Negara dalam
rangka efektifitas pengelolaan,
efisiensi pengeluaran, dan
optimalisasi penerimaan yang
secara kasar berkaitan den-
gan penghematan APBN dan
optimalisai penggunaan aset
yang dimiliki dan dikuasai un-
tuk tujuan membangun
bangsa dan negara Indone-
sia . Sebagai direktorat yang
baru berdiri 4 tahun yang lalu
ini dan dipercaya mengelola
kekayaan negara, DJKN di-
harapkan mampu menjawab
tantangan dimasa depan akan
tertibnya asset-aset yang ne-
garadan pengopti-
malisasiannya. Oleh sebab itu
dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya, DJKN semestinya
mempunyai sistem basis data
yang canggih yang dapat
mengolah data-data khusus-
nya aset-aset yang dimiliki
dan dikuasai oleh negara.
DJKN telah dan masih berlan-
jut dalam melakukan kegiatan
penilaian terhadap aset-aset ne-
gara. Pencapaiannya dalam
kegiatan penilaian, DJKN mem-
peroleh penghargaan dari MURI
karena berhasil menilai aset negara
dalam kurun waktu kurang lebih 2
tahun, namun justru hal itu menjadi
pertanyaan tersendiri apakah
kegiatan penilaian yang telah dan
masih dilakukan telah dibarengi
dengan perencanaan yang matang
dalam membangun sistem pengo-
lahan data hasil penilaian yang
akurat dan akuntabel? dan bagai-
mana dengan kualitas hasil
penilaian mengingat sebelum
kegiatan penilaian dilakukan ada
dua kegiatan yang sangat vital
yang harus dilakukan yaitu inventa-
risasi aset dan legal audit, apakah
DJKN telah benar-benar siap se-
hingga kegiatan penilaian bisa
diselesaikan secepat itu?
Banyak tahapan yang dilaku-
kan dalam proses penilaian dari
mulai mengidentifikasi permasala-
han, survei pendahuluan, pengum-
pulan dan analisis data, penerapan
metode penilaian, rekonsiliasi nilai,
dan menghasilkan suatu nilai atas
objek penilaian yang dilaporkan
baik secara lisan maupun dalam
bentuk narative. Seorang penilai
tidak dapat menghindari pertimban-
gan pribadinya dalam melakukan
penilaian dengan menganalisis
segala faktor-faktor yang mempen-
garuhi nilai sehingga nilai yang di-
hasilkan pastilah mengandung un-
sur subjektifitas seorang penilai
(prinsip art & science). Oleh sebab
itu jika dalam identifikasi perma-
Page 28 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
MEDIA PENILAI INTERNAL
Page 29 ED IS I K E X D ES EMBER 201 0
salahan, survey pendahuluan,
pengumpulan dan analisis data,
serta penerapan metode
penilaian, tidak dilakukan secara
cermat dan hati-hati, maka dapat
dipastikan nilai yang dihasilkan
tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya ditambah den-
gan sifat nilai itu sendiri yang
subjektif. Untuk mengurangi ke-
subjektifitasan penilaian maka
dalam proses penilaian salah
satunya dilakukan kegiatan pen-
gukuran yang dilanjutkan pada
kegiatan pemetaan. Kegiatan
pemetaan sangat penting dalam
kegiatan penilaian karena me-
mudahkan penilai dalam men-
gidentifikai objek penilaian
(posisi relative objek penilaian)
dan juga memudahkan kede-
pannya dalam proses update
ataupun melakukan penilaian
ulang. Juga untuk menjaga kuali-
tas hasil penilaian maka hal
tersebut harus dibarengi data-
data akurat yang dikumpulkan
selama proses penilaian.
Penilaian yang dilakukan DJKN
menjadikan DJKN sebagai pusat
tempat berkumpulnya data
khususnya data pasar dengan
jumlah yang cukup banyak. Data
pasar yang cukup banyak terse-
but akan sia-sia jika tidak dikel-
ola dengan benar mengingat
kebutuhan akan data pasar tidak
hanya digunakan oleh DJKN
untuk menilai aset negara na-
mun juga dibutuhkan instansi
lain dan masyarakat. Oleh sebab
itu DJKN hendaklah memiliki
sebuah bank data pasar properti
dan peta digital yang tergabung
dalam suatu basis data yang
mengokohkan DJKN sebagai direktorat yang dapat diandalkan yang
menjadi pionir dalam kegiatan penilaian.
Untuk membuat suatu basis data yang handal dan menjadikan
DJKN sebagai pionir dalam hal penilaian, beberapa langkah yang harus
dilakukan antara lain :
1. Penyiapan SDM yang berkualitas dalam kegiatan perencanaan dan
pembentukan basis data
Terdiri dari 2 Tim yaitu :
a. Tim Perencana
Tim ini bertugas mempersiapkan konsep basis data, materi yang
terkait, dan peraturan-peraturan yang berhubungan dalam pem-
bentukan basis data serta pemeliharaannya.
b. Tim IT
Tim ini bertugas membuat perangkat lunak basis data dan
berperan dalam hal pengolahan data selanjutnya
2. Penganggaran yang cukup.
Pembentukan basis data memerlukan biaya yang cukup besar
karena memerlukan banyak perangkat keras dan perangkat lunak
serta personil yang profesional dalam pengerjaannya. Penyiapan
SDM terlebih dahulu sebelum penganggaran bertujuan agar apa-apa
yang dibutuhkan oleh baik Tim Perencana maupun Tim IT dapat
terkoordinasi dengan baik sehingga tidak menimbulkan
pembengkakan biaya.
3. Membangun jaringan pemrosesan data yang dilakukan secara on-
line dalam jaringan yang mencakup seluruh wilayah kerja.
Teknologi kian maju, pengiriman data dari satu tempat ke tempat lain
MEDIA PENILAI INTERNAL
Page 30 EDIS I KE X DES EMBER 20 10
yang berjarak sangat jauh
dapat dilakukan dalam hitun-
gan detik. Indonesia meru-
pakan negara kepulauan dan
wilayah kerja DJKN meliputi
seluruh wilayah yang ada di
Indonesia. Kemajuan
teknologi seharusnya dapat
dimanfaatkan secara optimal
sehingga basis data yang
ada dapat terkoneksi dengan
seluruh kantor yang ada
diseluruh Indonesia. Peker-
jaan pun dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat.
4. Kerjasama antar instansi
yang terkait atas kebutuhan
basis data.
Basis data yang akan
dibentuk hendaknya
berkoordinasi dengan
instansi yang terkait yang
juga membutuhkan data
yang dihimpun oleh DJKN
misalnya pemetaan dan data
-data pasar dibutuhkan
pemda untuk tujuan PBB,
juga dibutuhkan DJP dalam
kerja ekstensifikasi, BPN
untuk memantau kegiatan
kerja pertanahan contohnya
dalam konversi hak lama ke
hak-hak dalam UUPA, Badan
Statistik untuk melihat
perkembangan suatu
wilayah, terutama masyara-
kat yang nantinya paling be-
sar memanfaatkan informasi
yang berada dalam basis
data. Biaya yang cukup be-
sar pun dapat teratasi karena
adanya kerjasama tersebut.
5. Penyelenggaran pelatihan
atas kegiatan pemeli-
haraan basis data yang
telah terbentuk.
Basis data baru yang telah
terbentuk hendaknya
disosialisakan terlebih da-
hulu kepada semua pega-
wai di lingkungan kerja
DJKN dan instansi lain
yang terkait agar dalam
penggunaannya tidak
sembarangan dan pengo-
lahan serta pemeliharan
data bisa dilakukan den-
gan baik.
Meskipun pada awal-
nya pembentukan basis data
ini memerlukan modal yang
cukup besar dan perekrutan
personil yang cukup sulit na-
mun hasil yang diraih akan
memberikan manfaat jangka
panjang. Hal ini dapat diurai-
kan sebagai berikut :
Basis data yang telah
terbentuk diharapkan dapat
mempercepat dalam hal pen-
golahan data sehingga memu-
dahkan dalam melaksakan peker-
jaan. Misalnya kebutuhan data un-
tuk penilaian, bila databasenya
kurang handal maka tiap melaku-
kan penilaian ulang dan update
data penilaian akan memerlukan
biaya yang hampir sama saat mela-
kukan penilaian awal karena basis
data yang kurang baik dan tidak
terpercaya hanya akan memberi-
kan hasil yang kurang berkualitas
dalam penilaian.
===00===
* Penulis merupakan Pegawai CPNS
yang ditempati di Lingkungan Dit.
PKN.
MEDIA PENILAI INTERNAL
Page 31 EDIS I KE X DES EMBER 20 10
Mei 2010, The 16th AVA CONGRESS
Merupakan Kongres Asosiasi Penilai Asean yang ke 16 di Hotel Dusit, Bangkok. The 16th AVA Congress mengusung tem ―The ASEAN Chapter-Toward a New Era of Valuation Development. Kongres yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali ini dihadiri oleh sekitar 250 anggota delegasi penilai setiap negara anggota .
04 Mei 2010, Sosialisasi Kementerian/ Lembaga
Pelaksanaan Sosialisasi terkait Pelaksanaan Penilaian pada seluruh K/L.
17-21 Mei 2010, Uji Penilaian Sumber Daya Alam berupa Mineral Emas pada Pertambangan Emas Pongkor
Direktorat Penilaian Kekayaan Negara telah melaksanakan kegiatan Uji Penilaian Sumber Daya Alam berupa Tambang Emas pada wilayah kerja PT ANTAM Tbk. Kegiatan tersebut dilakukan selama 5 (lima) hari kerja di Unit Bisnis
Pertambangan Emas (UBPE) Pongkor, PT ANTAM Tbk, di Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat.
24 -28 Mei 2010, Uji Petik Penilaian Benda Seni
Pelaksanaan Uji Petik Penilaian Benda Seni berupa lukisan merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penyusunan pedoman penilaian benda seni. Kegiatan ini dilaksanakan di Istana Bogor dengan melibatkan konsultan dan narasumber dari Galeri Nasional dan Sidharta Auctioneer yang bergerak dalam bidang pengelolaan benda seni.
Juni - Nopember 2010 , Uji Kualitas Penilai dan Laporan Penilaian
Kegiatan ini bertujuan untuk menjaga kualitas penilai dan laporan penilaian yang dihasilkan maka dilaksanakan kegiatan Uji Kualitas terhadap penilai dan laporan yang dihasilkannya. Di samping itu, kegiatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas penilai dan laporan
KALEIDOSKOP TAHUN 2010 DIT. PKN
penilaiannya serta dapat memberikan keseragaman cara pandang dalam menyelesaikan persoalan-persoalan penilaian. Pelaksanaan Uji Kualitas direncanakan diselenggarakan pada 41 kantor meliputi 3 Kanwil dan 38 KPKNL di seluruh Indonesia yang dipilih secara acak tanpa ada kriteria tertentu.
12 - 18 Juli 2010, Uji Penilaian SDA Hayati
Direktorat Penilaian Kekayaan Negara (PKN), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara melaksanakan uji penilaian Sumber Daya Alam (SDA) berupa hutan konservasi dataran rendah berlokasi di wilayah Taman Nasional Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
19 - 24 Juli 2010, Workshop Penilaian SDA
Kegiatan workshop penilaian SDA ini diikuti oleh 109 peserta dari KPKNL dan Kanwil DJKN diseluruh Indonesia yang terdiri dari 1 orang Kepala KPKNL, 7 orang Kabid Penilaian, 83 orang Kasi, dan 18 pelaksana. Kegiatan ini dilakukan selama 6 (enam) hari meliputi tiga hari kegiatan di dalam ruangan berupa pemberian materi dan dua hari kegiatan di lapangan berupa Praktek Kerja Lapangan serta penutupan dan evaluasi kegiatan pada hari terakhir.
02 - 06 Agustus 2010, Workshop Penilaian Dalam Rangka Pemanfaatan Barang Milik Negara di Kota Surabaya
Workshop untuk meningkatkan kompetensi penilai dalam melakukan penilaian dalam rangka pemanfaatan BMN dan dengan terbitnya PMK No : 23/PMK.06/2010, yang diharapkan dapat menyamakan persepsi dan mempertajam analisis para penilai terhadap nilai BMN. Diikuti Oleh : Kanwil X Surabaya, Kanwil XI Pontianak, Kanwil XII Banjarmasin, Kanwil XIII Samarinda dan Kanwil XIV Denpasar.
20 - 24 September 2010, Workshop Penilaian Dalam Rangka Pemanfaatan Barang Milik Negara di Kota Batam
21 - 25 September 2010, Uji Petik Penilaian Benda Seni
Pelaksanaan Uji Petik Penilaian Benda Seni di Istana Kepresidenan Yogyakarta dengan melibatkan narasumber Bapak Timbul Rahardjo, dan Bapak Mikke Susanto yang bergerak dalam bidang kuratorial benda seni.
27 - 30 September 2010, PPC of Real Estate Valuers, Appraisers and Counselors
Merupakan pertemuan dua tahunan para penilai profesional se-Asia Pasifik yang ke-25 atau dikenal dengan 25th Pan Pacific Congress (PPC). PPC kali ini mengangkat tema Financial Crisis, Global Uncertainty, and Borderless Competition. Acara yang bertempat di Hotel Westin, Nusa Dua
Bali, yang diikuti oleh 496 orang peserta dari negara-negara Asia Pasifik. Pejabat dan pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang menjadi peserta dalam PPC tersebut berasal dari Direktorat Penilaian, Sekretariat DJKN, Kanwil XIV DJKN Denpasar dan KPKNL Denpasar.
06 - 08 Oktober 2010, Penyusunan Pedoman Penilaian SPBU
Penyusunan draft pedoman penilaian SPBU merupakan sebuah langkah maju dari DJKN khususnya Direktorat PKN untuk memberikan panduan bagi para penilai pemerintah dalam melakukan penilaian atas objek penilaian khusus berupa SPBU.
27 - 29 Oktober 2010, Site Visit ke Lapangan Golf
Dilaksanakan di Lapangan Golf Jababeka Cikarang
08 - 12 Nopember 2010, Workshop Penilaian Dalam Rangka Pemanfaatan Barang Milik Negara di Manado
Diikuti oleh : Kanwil XV Makasar, Kanwil XVI Manado, Kanwil XVII Jayapura
02 - 05 November 2010, Rakertas Bid. Penilaian
Kegiatan ini diselenggarakan di Hotel Jayakarta Daira Palembang, yang diikuti oleh 111 orang peserta, terdiri dari Kabid dan Kasi Penilaian pada Kanwil, sebagian Kepala KPKNL, Kasi Penilaian pada KPKNL dan sebagian pelaksana. Rakertas DJKN di bidang penilaian tahun 2010 dimaksud mengangkat tema ―Mewujudkan profesionalisme penilai DJKN melalui penataan organisasi dan penajaman fungsi Penilai‖.
29 Nopember - 03 Desember 2010, Uji Petik Penilaian Benda Seni
Pelaksanaan Uji Petik Penilaian Benda Seni di Istana Kepresidenan Tampak Siring Bali dengan melibatkan narasumber Bapak Mikke Susanto, Bapak Wayan Kun Adyana, dan Bapak Koman Neka yang bergerak dalam bidang kuratorial benda seni dan pemilik Museum Seni ―Neka‖ Ubud, Bali.
01 - 06 Desember 2010, Penilaian Kebun Raya “Eka Karya” Bedugul Bali
Kegiatan dilaksanakan untuk sosialisasi PMK SDA serta penjaringan masukan Draft Perdirjen SDA yang dilanjutkan dengan workshop dan praktek penilaian hutan yang berlokasi di Kanwil XIV DJKN Denpasar.
Desember 2010, APPP
Dilaksanakan di Hotel Horizon Bekasi, merupakan soft launching pembentukan Asosiasi Profesi Penilai Pemerintah, yang kedepannya diharapkan dapat bersanding sejajar dengan Asosiasi penilai swasta yang telah ada, yaitu MAPPI.
Page 32 EDIS I KE X DES EMBER 20 10
MEDIA PENILAI INTERNAL
Page 33 EDIS I KE X DES EMBER 20 10
Jadwal Kegiatan Semester I Tahun 2011
Direktorat Penilaian
Page 34 EDIS I KE X DES EMBER 20 10
MEDIA PENILAI INTERNAL
Page 35 EDIS I KE X DES EMBER 20 10
The Winner and The Loser
¨ The Winner is always part of the answer; The Loser is always part of the problem.
¨ The Winner always has a program; The Loser always has an excuse.
¨ The Winner says, “Let me do it for you”; The Loser says, “That is not my job.”
¨ The Winner sees an answer for every problem; The Loser sees a problem for every answer.
¨ The Winner says, “It may be difficult but it is possible”; The Loser says, “It may be possible but it is too difficult.” ¨ When a Winner makes a mistake, he says, “I was wrong”;
When a Loser makes a mistake, he says, “It wasn’t my fault.” ¨ A Winner makes commitments;
A Loser makes promises. ¨ Winners have dreams; Losers have schemes.
¨ Winners say, “I must do something”; Losers say, “Something must be done.”
¨ Winners are a part of the team; Losers are apart from the team.
¨ Winners see the gain; Losers see the pain.
¨ Winners see possibilities; Losers see problems.
¨ Winners believe in win-win; Losers believe for them to win someone has to lose.
¨ Winners see the potential; Losers see the past.
¨ Winners are like a thermostat; Losers are like thermometers. ¨ Winners choose what they say; Losers say what they choose.
¨ Winners use hard arguments but soft words; Losers use soft arguments but hard words.
¨ Winners stand firm on values but compromise on petty things; Losers stand firm on petty things but compromise on values.
¨ Winners follow the philosophy of empathy: “Don’t do to others what you would not want them to do to you”;
Losers follow the philosophy, “Do it to others before they do it to you.” ¨ Winners make it happen;
Losers let it happen. ¨ Winners plan and prepare to win.
The key word is preparation Source : Shiv Kiera. You Can Win
Page 36 EDIS I KE X DES EMBER 20 10
Penilaian dalam rangka
Pemanfaatan BKPM
Penilaian objek berupa
fasilitas Kamera CCTV pada
BKPM
Penilaian dalam rangka
pemanfaatan aset milik Badan
SAR Nasional
Jejak Penilai
Page 37 EDIS I KE X DES EMBER 20 10
Jejak Penilai
Uji Petik Penilaian SDA pada
Tambang emas Pongkor
Survey lapangan Penilaian
KKKS daerah Cepu
BLEEDER PLUG W12 INCH NPT CONN PN 48-121-068FMC