Maxillofacial Trauma in the Emergency Department

29
Journal Reading MAXILLOFACIAL TRAUMA IN THE EMERGENCY DEPARTEMENT: A REVIEW Disusun oleh: Guruh Satriya, S.Ked 0910015038 Pembimbing: dr. Fritz Nahusuly, Sp.B Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik i

description

bedah

Transcript of Maxillofacial Trauma in the Emergency Department

Journal Reading

MAXILLOFACIAL TRAUMA IN THE EMERGENCY DEPARTEMENT: A REVIEW

Disusun oleh:Guruh Satriya, S.Ked0910015038

Pembimbing:dr. Fritz Nahusuly, Sp.B

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan KlinikLaboratorium Ilmu BedahFakultas Kedokteran Universitas MulawarmanRSUD A.W. Sjahranie SamarindaSeptember, 20141

6

i

LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

MAXILLOFACIAL TRAUMA IN THE EMERGENCY DEPARTEMENT: A REVIEW

Dipresentasikan pada tanggal 17 September 2014

Disusun oleh :GURUH SATRIYA, S.Ked0910015038

Pembimbing,

dr. Fritz Nahusuly, Sp.B19630201 198812 1 001

7

ReviewTrauma maksilofasial di departemen emergensi: suatu tinjauanJ.W. Tuckett a,b,*, A. Lynham a,b, G.A. Lee b,c, M. Perry d, U . Harrington e

a Maxillofacial Unit Royal Brisbane and Womens Hospital, Brisbane, Queensland, Australiab University of Queensland, Brisbane, Australiac Ophthalmology Unit Royal Brisbane and Womens Hospital, Brisbane, Queensland, Australiad Department of Oral and Maxillofacial Surgery, Ulster Hospital, Dundonald, Belfast, Northern Ireland,United Kingdome Trauma Unit Royal Brisbane and Womens Hospital, Brisbane, Queensland, Australia

Objektif: Pada tahun 1978 panduan Advance Trauma Life Support pertama kali diimplementasikan dan dipandang oleh banyak sebagai gold standard perawatan pada keadaan emergensi.Dalam hal ini belum jelas apakah penilaian dan managemen cedera maksilofasial termasuk dalam panduan trauma ini. Artikel ini bertujuan untuk menyediakan suatu panduan singkat dan kontemporer dalam tatalaksana trauma maksilofasial pada keadaan emergensi.Metode: Suatu penelitian electronic database yang diselenggarakan oleh PubMed dan Science Direct dari berbagai artikel sejak tahun 1970 sampai saat ini. Istilah kunci penelitian adalah Maxillofacial, Trauma, ATLS, Advanced Trauma Life Support, EMST, Early Management of Severe Trauma, Airway, Eye, Opthalmic and Management. Penemuan disusun dalam suatu tinjauan artikel. Kemudian artikel ditinjau oleh ahli dalam bidang Bedah Maksilofasial dan Oftalmologi untuk memastikan kandungan dan akurasi kontekstual.Hasil: Kasus cedera maksilofasial yang dihadapi oleh dokter semakin meningkat. Tindakan resusitatif dapat menjadi kompleks dan memerlukan keputusan yang tepat terutama dalam membebaskan jalan napas secara aman. Suatu algoritma tatalaksana yang diusulkan untuk pasien-pasien dengan trauma maksilofasial telah di rencanakan oleh penulis.Kesimpulan: Artikel ini penting sekali karena penilaian dan intervensi dengan tujuan memelihara penglihatan tidak boleh dilupakan dalam tatalaksana emergensi pada kasus trauma maksilofasial. Kami mengusulkan suatu algoritma untuk tatalaksana trauma maksilofasial, dan merekomendasikan penggunaan CT scan sebagai suatu pemeriksaan penunjang yang sangat baik untuk pasien-pasien dengan kasus trauma maksilofasial. 2013 Royal College of Surgeons of Edinburgh (Scottish charity number SC005317) and Royal College of Surgeons in Ireland. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved. PendahuluanPada tahun 1978, panduan Advanced Trauma Life Support (ATLS) pertama kali diterapkan dan dianggap sebagai standar emas (gold standard) pelayanan pada keadaan emergensi. Dalam hal ini belum jelas apakah penilaian dan tatalaksana cedera maksilofasial termasuk dalam panduan trauma ini. Artikel ini bertujuan untuk menyediakan suatu panduan singkat dan kontemporer dalam tatalaksana trauma maksilofasial pada keadaan emergensi. Cedera maksilofasial dapat terjadi dalam isolasi, meskipun kasus tersebut seringkali dihubungkan dengan cedera ditempat lain yang terjadi secara bersamaan dengan cedera maksilofasial.1-3 Cedera diatas klavikula awalnya muncul dalam bentuk minor tetapi dengan cepat dapat mengalami perburukan dan kemudian menjadi kasus yang mengancam nyawa dan penglihatan.4 Hal ini sangat penting, mengingat cedera kepala berhubungan erat dengan trauma maksilofasial yang terjadi secara bersamaan.1 Oleh karena itu, para dokter harus tetap mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi terhadap cedera intrakranial yang tersembunyi dan penilaian kembali harus dilakukan secara reguler dan periodik. Antara 8.1% dan 22% cedera traumatik terlupa (missed injury) selama penilaian awal.5,61.

Metode1. 2. 2.1. Suatu penelitian electronic database telah diselenggarakan oleh PubMed dan Science Direct dari berbagai artikel sejak tahun 197 sampai sekarang. Istilah kunci pada penelitian adalah Maksilofasial, Trauma, ATLS, Advanced Trauma Life Support, EMST, Early Management of Severe Trauma, Airway, Eye, Opthalmic and Management. Penelitian terbatas pada Bahasa Inggris dan manusia. Semua abstrak dan artikel teks penuh (full text) yang tersedia dibaca untuk mengidentifikasi daftar informasi yang berhubungan. Suatu penelitian tulisan tangan dari daftar referensi artikel yang terpilih telah dilakukan. Penelitian dilakukan pada mesin pencari (search engine) multipel yang lain dan website pemerintah menggunakan kata kunci yang sama. Artikel relevan dipilih oleh dua penulis pertama. Artikel ini kemudian ditinjau oleh ahli pada bidang bedah maksilofasial dan oftalmologi untuk memastikan kandungan dan akurasi kontekstual.DiskusiJalan napas (airway)Trauma maksilofasial menempatkan jalan napas pada risiko. Risiko ini dipersulit oleh kondisi intoksikasi alkohol, dan selanjutnya penurunan kesadaran, kehilangan refleks jalan napas dan kecenderungan alkohol untuk menginduksi muntah.7,8 Pergeseran jaringan akibat trauma, oedema, perdarahan, benda asing seperti gigi palsu atau lepasnya gigi, semua kondisi tersebut dapat berperan dalam menyumbat jalan napas (gambar 1).9

Gambar 1. Gigi taring (kaninus) di dalam jalan napas.Risiko ini diperburuk oleh posisi pasien yang telentang atau tertahan. Memastikan patensi jalan napas merupakan hal yang penting sekali melalui inspeksi langsung dan penghisapan orofaring.10 Pada pasien dengan fraktur fasial, terutama suatu fraktur mandibular, aktivitas menelan akan terganggu karena nyeri, sehingga proses pembersihan jalan napas akan terhambat.11 Pasien yang dapat berbicara bukan berarti jalan napasnya tidak memiliki risiko (gambar 1). Oleh karena itu, diperlukan penilaian ulang secara regular.Memperbolehkan pasien yang sadar untuk duduk berdiri merupakan suatu arti yang efektif untuk memastikan patensi dalan napas (gambar 2) tanpa intubasi, tetapi hal ini seringkali tidak dapat dipraktekkan terutama pada pasien dengan kecurigaan cedera tulang belakang.7 Melakukan maneuver jaw thrust, atau pada kasus fraktur mandibula bilateral atau comminuted, melakukan traksi anterior pada segmen yang mengapung merupakan suatu jalan yang efektif bagi operator tunggal untuk membuka jalan napas,10 meskipun tidak mengamankan jalan napas dalam mencegah aspirasi. Traksi dapat memperburuk perdarahan oral dan hal ini harus dipertimbangkan manfaat yang diperoleh.

Gambar 2. Tindakan yang dilakukan pada perdarahan oronasal yang sangat deras dengan mendudukkan pasien sehingga dapat membantu untuk membebaskan jalan napas.

Pasien-pasien trauma harus diberikan oksigen aliran tinggi dan dikombinasikan dengan memonitoring tanda-tanda vital secara berkelanjutan sampai keadaan stabil.7 Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian oksigen melalui non-rebreather mask (NRM) sebesar 15 liter atau melalui bag dan mask, meskipun usaha ini dapat terhambat oleh perubahan anatomi yang terjadi akibat trauma.7Jika jalan napas tidak aman, maka segera buat keputusan untuk membebaskan jalan napas definitif tingkat lanjut.9 Intubasi endotrakeal merupakan standar emas dalam melindungi jalan napas pada keadaan emergensi awal.12 Kekurangan pada pendekatan ini adalah kehilangan komunikasi dengan pasien yang sadar yangmana dapat menghalangi penggalian informasi dan penilaian klinis, terutama pada penilaian neurologis dan okuler.7Intubasi endotrakeal emegensi merupakan suatu keahlian yang memerlukan pelatihan yang signifikan dan staff yang tidak berpengalaman harus memanggil asisten senior untuk melakukan prosedur tersebut, hal ini terutama pada kasus-kasus pada keadaan trauma maksilofasial. Jika suatu praktisi tidak merasa nyaman memasukkan suatu endotracheal tube (ETT), mereka dapat mempertimbangkan pemakaian Laryngeal Mask Airway (LMA) sampai suatu jalan napas yang lebih aman dapat diinsersikan.13 Meskipun LMA merupakan suatu tabung bermanset, ia tidak menyediakan perlindungan pada jalan napas selama ia dapat mengotori trakea, dan dapat menginduksi muntah pada pasien dengan keadaan setengah sadar. Suatu trolley intubasi yang sulit berisi beberapa perlengkapan jalan napas emergensi seperti bougie, McCoy blade, retrograde intubation kit dan laringoskop yang dibantu oleh video harus ada. Perlengkapan tersebut penting terutama ketika jalan napas telah dinilai sebagai potensial bahaya (gambar 3).

Gambar 3. Suatu jalan napas yang berpotensi bahaya.Jika intubasi endotrakeal tidak memungkinkan, pembebasan jalan napas secara pembedahan harus dipertimbangkan. Suatu tinjauan multicenter menunjukkan bahwa pada pasien-pasien dengan trauma maksilofasial berat memerlukan suatu transfusi darah, mencapai 14% pasien memerlukan suatu pembebasan jalan napas secara pembedahan.14 Krikotiroidotomi saat ini dipertimbangkan sebagai metode pembedahan yang lebih disukai dalam membebaskan jalan napas emergensi,7,10 dan telah menunjukkan cara pembedahan yang paling cepat untuk menyediakan oksigenasi.13 Trakeostomi secara umum tidak direkomendasikan pada keadaan emergensi karena prosedur yang kompleks dan waktu untuk melakukan tindakan tersebut dengan aman.15Kombinasi alkohol, pengobatan, cedera kepala dan darah yang tertelan seringkali menginduksi muntah dan dapat membahayakan jalan napas.7 Tanda peringatan awal pada pasien yang akan muntah mencakup percobaan berulang-ulang untuk duduk, perhatian khusus terutama pada pasien dengan kecurigaan cedera spinal. Log rolling dan penyedotan pasien ini memerlukan usaha terkoordinasi paling tidak terdapat empat staff terlatih; hal ini seringkali tidak praktis terutama pada center yang lebih kecil dengan beberapa staff atau dalam perjalanan ke departemen radiologi.7 Alternatif lain adalah dengan cara merendahkan kepala dari tempat tidur dan kemudian membiarkan gaya gravitasi untuk mengumpulkan bahan muntahan di faring, kemudian sedot menggunakan penyedot aliran tinggi akan mengurangi risiko aspirasi. Ada yang mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien yang sadar dan juga dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pada akhirnya, jika pasien tidak dapat melindungi jalan napasnya sendiri, intubasi endotrakeal harus dilakukan.

Tulang Belakang Servikal (Cervical spine)Sebesar 4.2-6.1% orang dewasa mengalami cedera tulang belakang servikal yang terjadi mengikuti politrauma tumpul.16,17 Cedera servikal terjadi pada 1-10% pasien dengan fraktur wajah (gambar 4).18-20

Gambar 4. Fraktur kompleks tulang zygoma (A) disertai dengan fraktur kondilus servikal (B).

Menggunakan suatu semi-rigid Laerdal Stifneck cervical collar menyediakan imobilisasi sementara pada tulang servikal dan melindungi dari kerusakan lebih lanjut sampai stabilisasi telah dilakukan.13 Untuk memastikan stabilisasi maksimal, collar ini harus di pasang dengan tepat berdasarkan panduan pabrikan. Jika percobaan tidak tepat, ia dapat mempercepat obstruksi jalan napas terutama pada fraktur mandibular.7 Pada keadaan ini lebih baik untuk melakukan suatu headbox dengan tali yang menyediakan akses lebih besar pada rahang dan leher bagian anterior. Jika collar dilepas, inline stabilization harus dilakukan.Hal itu juga harus diperhatikan bahwa aplikasi collar ini telah menunjukkan kontribusi terhadap peningkatan tekanan intrakranial.21-23 Hal ini penting terutama pada cedera maksilofasial yang seringkali dihubungkan dengan cedera intraserebral.1Pada pasien dengan trauma kraniofasial atau suatu mekanisme cedera oleh karena energi tinggi yang signifikan, harus dipertimbangkan terjadi cedera tulang belakang sampai pemeriksaan klinis dan radiologi telah menyingkirkannya.7 Hal ini juga merupakan keadaan yang kritis ketika perbaikan cedera maksilofasial secara definitif diperlukan, yangmana seringkali melibatkan tindakan tekanan rotasi dan manipulasi leher.7Menyingkirkan cedera ini dengan penuh percaya diri dapat sangat menantang terutama pada skenario emergensi.24-25 Dua keputusan klinis membuat peralatan yang dapat menambah rasa percaya diri pada skenario ini adalah the National Emergency X-Radiography Utilization Study (NEXUS)26 dan the Canadian C-Spine Rule (CCR).27 Pasien-pasien trauma maksilofasial harus dipertimbangkan memiliki risiko tinggi dalam algoritma ini, membuat tindakan mereka menjadi terbatas.Eksklusi klinis dibuat tidak mungkin oleh cedera yang mengacaukan, suatu perubahan Glasgow Coma Scale (GCS) atau intoksikasi obat dan alkohol.7 Jika tidak dapat membersihkan tulang belakang servikal secara klinis, maka computed tomography scan (CT-scan) harus dilakukan sebagai pilihan modalitas pencitraan.13,28,29Para dokter harus waspada terhadap cedera tulang belakang servikal dan hal-hal yang sering berkaitan dengannya, seperti cedera wajah tengah (midface) dihubungkan dengan gangguan pada C5-7, whilst trauma pada wajah bagian bawah lebih sering dihubungkan dengan gangguan C1-4.9,30

Sirkulasi Perdarahan terjadi sekitar 30-40% mortalitas trauma.31,32 Meskipun perdarahan maksilofasial jarang mengancam nyawa, namun ketika terjadi kasus tersebut diperlukan intervensi yang tepat.33,34 Whilst bleeding dari regio maksilofasial dapat menjadi dramatis dan mengkhawatirkan dokter yang hadir pada saat kejadian, perdarahan maksilofasial jarang menyebabkan hipotensi yang dalam. Para klinisi harus mencari penyebab lain dari kehilangan darah dan syok pada pasien hipotensi.Perdarahan dari sebagian besar lokasi maksilofasial akan dapat diidentifikasi. Hal ini mungkin tidak menjadi kasus pada laserasi oksipital, dimana C-spine collar dan imobilisasi dapat membuat kesulitan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.32 Daerah yang kaya akan pembuluh darah pada wajah bagian tengah yang berasal dari arteri karotis interna dan eksterna bilateral memiliki anastomosis yang multipel yang dapat menjadi permasalahan dalam mengontrol perdarahan.9,34 Pasien-pasien dengan cedera wajah bagian tengah mayor atau panfasial memerlukan tatalaksana secara cepat dan observasi secara ketat ketika mereka dapat memburuk dengan cepat.35Pasien-pasien yang sadar akan menelan darah di orofaring. Keadaan ini penting pada posisi berbaring, pasien sadar yang tertelan darah akan menyebabkan iritasi lambung dan muntah.32 Intubasi menyebabkan tergenangnya darah dan luapan dari mulut. Oleh karena itu jika intubasi dilakukan, perdarahan internal yang tidak dikenali sebelumnya menjadi lebih tampak.Hemostasis yang tepat merupakan hal yang sangat penting ketika terdapat perdarahan yang signifikan. Secara eksternal, hal ini dapat melalui penekanan langsung, penjahitan atau staples. Perdarahan internal memerlukan kemasan cavum nasal atau oral, balon tamponade, reduksi fraktur wajah, Transcatheter Arterial Embolization, Intermaxillary Fixation atau ligasi pada arteri karotis eksternal secara pembedahan.14 Mayoritas keadaan kemasan kuat dan reduksi sementara dari fraktur akan mengurangi perdarahan.14,35 Pada kasus dimana terapi konservatif gagal, Transcatheter Arterial Embolization (TAE) merupakan suatu alternatif yang aman sebelum intervensi bedah yang lain pada perdarahan yang mengancam nyawa.36 Hal ini tidak memerlukan suatu anestesi umum dan relatif cepat ketika dilakukan oleh tenaga yang berpengalaman.3 Sayangnya, kenyataan bahwa embolisasi tidak selalu tersedia dengan segera pada setiap institusi yang menangani trauma maksilofasial.Sebagian besar departemen emergensi saat ini menyediakan cadangan tampon nasal atau kateter yang dapat menyediakan hemostasis yang sempurna. Penulis merekomendasikan penggunaan tampon nasal pada awalnya daripada kateter karena dapat memindahkan tulang fasial yang mengalami fraktur pada saat balon diinflasikan (gambar 5).

Gambar 5. Tampilan koronal pada orbit yang berpindah disebabkan oleh suatu kateter nasal yang terinflasi. Ketika haemostasis dicapai, cedera maksilofasial tidak selalu memerlukan perbaikan formal yang segera.32 Stabilisasi sementara dapat menjadi pilihan yang paling tepat, dengan demikian memperkenankan tindakan resusitasi, prioritas cedera, perencanaan investigasi dan prosedur.Ketika merencanakan investigasi semua cedera harus dipertimbangkan. Jika pasien dengan trauma maksilofasial memerlukan pemeriksaan CT scan pada cedera yang lain, hal ini mungkin menjadi suatu waktu yang tepat untuk melakukan scan pada wajah, kepala atau tulang belakang servikal.32 Dengan teknologi scanner yang telah maju saat ini, waktu yang dihabiskan untuk memperoleh gambar ekstra ini singkat dan mereka dapat menyediakan suatu informasi yang banyak. Para praktisi harus menyadari bahwa gambar ini merupakan foto pada satu waktu, dan kondisi pasien dapat berubah dengan cepat.

Mata (Eyes)Cedera okuler secara seringkali terjadi pada trauma fasial. Insiden dari komplikasi oftalmik pada fraktur fasial dilaporkan sebesar 13% dengan cedera yang mengancam penglihatan terjadi sebesar 0.8%.37 Cedera ini biasanya dihubungkan dengan fraktur wajah tengah atau frontal.38,39Cedera okuler seringkali terlupa atau salah diagnosis pada keadaan trauma.40 Perubahan tingkat kesadaran, cedera yang mengacaukan atau tidak berpengalaman dalam pemeriksaan okuler, semuanya dapat menghambat pemeriksaan mata.Pemeriksaan mata harus dilengkapi setelah primary survey telah memastikan cedera yang mengancam nyawa telah diidentifikasi.38 Pemeriksaan mata biasanya dilakukan sekalipun secara singkat ketika menilai refleks pupil untuk memastikan fungsi neurologis. Ini merupakan suatu waktu yang tepat untuk melakukan suatu penilaian secara kasar pada mata itu sendiri. Dokter harus bertanya jika pasien dapat melihat suatu cahaya sementara trauma sudah jelas terjadi seperti abrasi atau laserasi kornea atau konjungtiva, benda asing atau hifema. Penilaian lebih lanjut, mencakup ukuran, bentuk, dan reaktivitas relatif dari pupil dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu menit. Beberapa lensa kontak pada mata harus dilepas pada saat ini untuk mencegah risiko berkembangnya keratitis. Penilaian formal pada fungsi okuler dapat dilakukan setelah Airway, Breathing, Circulation dan Disability datang dibawah memimpin E untuk mata (eyes).38Pemeriksaan okuler mencakup penilaian ketajaman penglihatan pada setiap mata, refleks cahaya pupil, pergerakan mata, lapangan pandang, pemeriksaan segmen eksternal dan anterior, pemeriksaan untuk suatu refleks merah dari retina, aspek luar dan dalam (eversi ganda) dari kelopak mata.9,40 Tajam penglihatan merupakan prioritas untuk menilai prognosis. Penilaian dapat menjadi suatu pemeriksaan disamping (bedsite test) yang sederhana; CF count finger (hitung jari); HM hand movement (pergerakan tangan); PL perception of light (persepsi cahaya) atau NPL no perception of light (tidak ada persepsi cahaya).41 Suatu formal eye chart tidak diperlukan pada keadaan trauma. Aspek lain pada pemeriksaan memerlukan modifikasi berdasarkan tipe cedera. Sebagai contoh, eversi ganda (double-eversion) pada kelopak mata tidak harus dilakukan pada kasus kecurigaan cedera mata penetrasi.Edema, ekimosis, ptosis, hipertelorisme, eksoftalmos, dan enoftalmos harus dicatat.40 Funduskopi juga direkomendasikan tetapi tidak tepat atau tidak dapat dipercaya pada keadaan trauma karena kurangnya perlengkapan atau sifat dari cedera.38 Jika pupil secara farmakologis berdilatasi, obat, dosis, dan waktu pemberian harus dicatat untuk memastikan suatu pupil yang berdilatasi tidak keliru akibat suatu perburukan status neurologis. Obat-obatan lain mencakup narkotik akan menyebabkan miosis.Proptosis harus dinilai pada semua kasus cedera kepala. Hal ini terjadi pada 3% pasien trauma mayor,42 dan dapat dengan mudah terlupakan jika pemeriksaan spesifik tidak dilakukan. Proptosis dapat disebabkan oleh herniasi jaringan, edema orbital, dan gangguan endokrin. Perdarahan retrobulbar merupakan suatu penyebab proptosis yang secara potensial dapat reversibel, dan terjadi pada keadaan akut mengikuti trauma orbital. Hal ini karena suatu perdarahan intrakonal, yangmana menyebabkan suatu sindrom kompartemen. Tanda-tanda klinis mencakup proptosis, perdarahan subkonjungtival difus dengan ekstensi posterior dan tekanan intraokuler yang meningkat. Funduskopi dapat menunjukkan pulsasi arteri retina sentral dan lipatan choroid.40 Jika tanda ini muncul, maka pemeriksaan CT scan mata (orbital) harus dilakukan untuk membedakan perdarahan retrobulbar dari penyebab proptosis lain seperti oedema, herniasi jaringan atau emfisema orbital.40Meskipun relatif jarang, perdarahan retrobulbar, jika progresif, merupakan suatu keadaan emergensi bedah dan memerlukan dekompresi segera karena keadaan itu dapat menyebabkan iskemia yang ireversibel dalam waktu kurang dari 2 jam.44-46 Terapi medis mungkin membuang-buang waktu sementara intervensi bedah dapat dilakukan.38,40 Mannitol intravena, acetazolamide dan dexamethasone harus digunakan, kecuali jika terdapat kontraindikasi.40Keadaan ini penting bagi dokter emergensi untuk mengenali kondisi-kondisi yang memerlukan tatalaksana untuk menyelamatkan penglihatan. Mereka harus sadar, dan bermaksud menjadi kompeten dalam melakukan prosedur yang mencakup canthotomy lateral dan cantholysis pada perdarahan retrobulbar, irigasi terhadap paparan bahan kimia, dan perlindungan fisik pada bola mata jika terdapat kehilangan integritas kelopak mata.38,48,49 Prosedur ini harus dilakukan secara tepat untuk memaksimalkan prognosis visual. Jika klinisi tidak familiar dengan prosedur ini, maka penyerahan tindakan pada tim opthalmologi atau maksilofasial harus dilakukan.Pada populasi yang lebih muda dengan trauma oftalmologi, para klinisi perlu waspada terutama pada linear trapdoor atau mata putih (white-eye) blowout fractures pada orbital.50,51 Fraktur ini dapat menjebak jaringan orbital mencakup jaringan lemak orbital dan muskulus rektus medial dan inferior yang menyebabkan diplopia, enoftalmos, hipoglobus, perdarahan subkonjungtival atau memar periorbital.50 Tipe fraktur ini juga dihubungkan dengan stimulasi refleks okulokardiak yang menyebabkan bradikardia, mual dan sinkop, dan jika tidak dilakukan tatalaksana dapat menimbulkan aritmia yang fatal.52 Jika pasien mengalami gangguan pergerakan okuler, maka mereka memerlukan tindakan pembedahan yang segera untuk mencegah nekrosis otot.50Mempertahankan tekanan darah yang stabil juga penting dalam memelihara penglihatan. Episode hipertensi yang memanjang dapat menimbulkan oklusi vena retina yang tetap berlangsung dan perdarahan intraokular53 sedangkan hipotensi yang dalam dapat mempercepat neuropati optik iskemia.38,54,55

Gambar 6. Algoritma tatalaksana yang diajukan pada trauma maksilofasial. Diadaptasi dari Cogbill et al.14

Tambahan lain pada pemeriksaan klinis dan CT scan adalah scanning ultrasound dan tonometry. Scanning ultrasound siap dilakukan menggunakan suatu unit portabel jika tersedia. Ia dapat memberikan informasi yang berharga mengenai patologi intraokular seperti perdarahan, terlepasnya retina, dan adanya benda asing. Tonometri juga dapat diperoleh dan dapat dipercaya dalam menilai tekanan intraokular dengan perlengkapan portabel seperti rebound tonometer. Kedua perlengkapan memiliki kekurangan masing-masing, dengan ultrasound berpotensi memakan waktu yang lebih lama dan bergantung keahlian operator sedangkan pengukuran tekanan intraokular tidak menggambarkan tekanan retrobulbar.38 Secara teoritis, iskemia optik tidak terjadi sampai tekanan intraokuler meningkat melebihi tekanan sistolik, meskipun beberapa telah melaporkan bahwa mata dengan tekanan intraokular melebihi 40 mmHg dapat mengindikasikan iskemia dan tindakan dekompresi harus dipertimbangkan.38 Para klinisi diperingatkan bahwa suatu hasil pembacaan tonometri normal dapat memberikan hasil positif palsu ketika tekanan intraokular tidak secara tepat menggambarkan perdarahan retrobulbar yang signifikan.56Mengikuti penilaian awal pada pasien dengan menggunakan panduan tersebut diatas, penilaian sekunder dan tatalaksana harus dilakukan. Sedangkan bukti untuk antibiotik profilaksis pada keadaan ini kurang, jadi penelitian lebih lanjut diperlukan, keperluan antibiotik setiap pasien perlu dinilai secara individual, dengan konsultasi awal staff mikrobiologi merupakan hal yang penting. Perawatan luka dan analgesia merupakan tindakan yang penting.58,59 Pembaca diarahkan kepada suatu artikel terbaru oleh Vasconez et al.60 pada managemen perawatan luka dan analgesia pada pasien anak. Blok saraf regional efektif menyediakan analgesia untuk memperbaiki dan mengeksplorasi luka minor dan diuraikan dengan baik oleh Moskovitz dan Sabatino.61 Anatomi yang terganggu pada fraktur fasial mayor membuat tindakan blok sulit pada keadaan emergensi. Pasien yang mengalami trauma jaringan lunak harus memiliki status imunisasi tetanus dan dapat diperbaharui jika diperlukan.61

KesimpulanPara dokter yang bekerja di departemen emergensi mengalami peningkatan paparan terhadap cedera maksilofasial mayor. Akurasi penilaian awal dan tatalaksana pada cedera maksilofasial ini merupakan hal yang vital. Tindakan resusitatif dapat menjadi kompleks dan memerlukan keputusan yang tepat terutama memperoleh suatu jalan napas yang aman. Suatu algoritma tatalaksana yang diusulkan untuk pasien-pasien trauma maksilofasial tercakup pada gambar 6. Perdarahan, muntah, intoksikasi, cedera intrakranial yang berhubungan dengan fraktur servikal dan fasial dapat menyulitkan beberapa tindakan resusitasi. Hal ini penting bahwa penilaian dan intervensi yang memelihara penglihatan tidak terlupakan dalam managemen emergensi trauma maksilofasial. Kami merekomendasikan penggunaan CT scan sebagai penunjang yang sangat baik terhadap pemeriksaan klinis pada pasien dengan trauma maksilofasial. Selalu, keluaran yang terbaik terjadi dengan intervensi awal dari tim trauma multidisiplin. Tim ini harus mencakup ahli bedah maksilofasial yang memiliki pengalaman terhadap kondisi ini.

Poin-poin kunci dan rekomendasi1. Insiden trauma maksilofasial yang terjadi dirumah sakit tampak menunjukkan peningkatan.2. Semua pasien trauma maksilofasial harus dipertimbangkan berisiko tinggi mengalami cedera tulang belakang servikal. Jika tidak mampu untuk menyingkirkan secara klinis, maka pemeriksaan CT scan harus dilakukan.3. Cedera yang mendukung pada wajah tengah dihubungkan dengan gangguan pada C5-7 sementara trauma pada bagian bawah wajah lebih sering dihubungkan dengan gangguan C1-4.4. Cedera maksilofasial sendiri jarang menyebabkan hipotensi pada keadaan trauma dan penyebab lain terhadap kehilangan darah harus dieksplorasi lebih lanjut.5. Ketika hemostasis tercapai, pada sebagian besar cedera maksilofasial tidak memerlukan tindakan perbaikan dengan segera.6. Penilaian okular seringkali terlupa atau tidak lengkap pada pasien-pasien trauma maksilofasial. Suatu jalan yang mudah untuk mengingat penilaian okular adalah dengan menghubungkan E untuk Eyes (mata) sebagai bagian dari algoritma ABCD.7.