Materi outlook (hut ke 3)

34
JL.Aria Putra No. 14 A Telp/ Fax. 021-7499781 Ciputat, Tangerang Selatan Email : [email protected] BAHAN PAPARAN OUTLOOK PERUMAHAN RAKYAT DI TAHUN POLITIK 2014

description

BAHAN PAPARAN OUTLOOK PERUMAHAN RAKYAT DI TAHUN POLITIK 2014

Transcript of Materi outlook (hut ke 3)

JL.Aria Putra No. 14 A Telp/ Fax. 021-7499781 Ciputat, Tangerang Selatan Email : [email protected]

BAHAN PAPARAN

OUTLOOK PERUMAHAN RAKYAT

DI TAHUN POLITIK 2014

OUTLOOK PERUMAHAN RAKYATDI TAHUN POLITIK 2014

Assoc.Prof. DR.Eng.Ir. BUDI PRAYITNOPUSPERKIM UGM/ HUD Institute

[email protected]

MATERI PAPARAN

• PROLOG

• NEGARA MENJAMIN

• POLITIK PERUMAHAN

• VISI NEGARA

• PETA JALAN

• TEROBOSAN KEBIJAKAN

• EPILOG

PROLOG

• DARURAT PERUMAHAN RAKYAT• TIDAK SADAR KRISIS• CAPAIAN OUTCOME SOLUTIF GAGAL• KONDISI KRITIS DAN SANGAT TERLAMBAT• PRIORITAS KEBIJAKAN NASIONAL• PERLUNYA KONSOLIDASI PEMAHAMAN

BERSAMA/ KEBIJAKAN TENTANG PERUMAHANRAKYAT DI TAHUN POLITIK 2014 INI

NEGARA MENJAMIN

• KEWAJIBAN NEGARA : TO FULFILL, TO PROTECT, TO RESPECT• PERGESERAN PARADIGMA PELAYANAN DARI PROBLEM-BASED

SERVICES KE RIGHT-BASED SERVICES• PERGESERAN PARADIGMA TATA KELOLA DARI MARKET-BASED

PUBLIC MANAGEMENT KE SOCIAL CONTRACT-BASED PUBLICGOVERNANCE

• KEHADIRAN NEGARA YANG DIGAGAS PENDIRI BANGSASEBAGAI NEGARA KESEJAHTERAAN

• KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN DIPILIH DENGANMEMPERTIMBANGKAN “LESSON LEARNED” DARI FENOMENA“MARKET-DRIVEN FAILURE” MAUPUN “STATE CONTROLLEDFAILURE”

• NEGARA “MENJAMIN HAK BERMUKIM”NYA RAKYAT

POLITIK PERUMAHAN (1)

• POLITIK PERUMAHAN TIDAK BISA LEPAS DARI POLITIK EKONOMI

• KEHADIRAN NEGARA UNTUK MENDAYAGUNAKAN KEKUATANPASAR DAN KAPITAL UNTUK KESEJAHTERAAN PAPAN

• PENGATURAN DAN PENGENDALIAN SISTEM PNYEDIAANPERUMAHAN

• EFEKTIVITAS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERUMAHAN DALAMSISTEM INDUSTRI PERUMAHAN

• PENGENDALIAN KONFLIK HAK KEPENGHUNIAN, KONFLIK HAKPENGGUNAAN BANGUNAN DAN PEMAMANFAATAN LAHAN,KERENTANAN LEPASNYA ASET NEGARA DAN KEPASTIAN HUKUM

• KEBERPIHAKAN PEMERINTAH DALAM MEWUJUDKANPERUMAHAN YANG TERJANGKAU (‘AFFORDABLE’)

• ‘POLITICAL WILL’ : AGENDA PRIORITAS KEBIJAKAN NASIONALYANG BERPARADIGMA AKSELERATIF DAN INOVATIF

POLITIK PERUMAHAN (2)

• PERAN PEMERINTAH SEBAGAI REGULATOR KEBIJAKAN DAN‘ENABLER’ PEMDA SEBAGAI PENGEMBAN WAJIB URUSANPAPAN

• PERAN PEMERINTAH SEBAGAI KOORDINATOR KEBIJAKAN• KEBIJAKAN DASAR SINERGITAS PERUMAHAN UMUM DAN

PERUMAHAN KOMERSIAL : PERUM PERUMNAS , BTN, REI,APERSI, AP2ERSI, DLL BELUM MENGHASILKAN MEKANISMEPENYEDIAAN PERUMAHAN RAKYAT BERJALAN SECARAEFEKTIF

• PERAN DAN INTEGRASI BPJS NASIONAL DALAM PROSESPENYEDIAAN PERUMAHAN UMUM DAN SWADAYA

• 3 ISU POKOK : KELEMBAGAAN, PEMBIAYAAN (TERMASUKPERPAJAKAN) DAN PERTANAHAN

• PERLU DUKUNGAN POLITIK SEBAGAI AGENDA PRIORITASNASIONAL DI TAHUN 2014 INI

POLITIK PERUMAHAN (3)

• TATA KELOLA PERUMAHAN RAKYAT SAAT INI DITANGANI 19KEMENTERIAN/LEMBAGA PERLU PEMBAGIAN PERAN YANG TEPAT

• SISTEM PEMBIAYAAN YANG SINERGIS DAN KO-PRODUKTIF DALAMSISTEM PENYEDIAAN PERUMAHAN UMUM,SWADAYA, SOSIAL DANKOMERSIAL

• KETERPADUAN SKEMA INTERVENSI : SUBSIDI, DUKUNGANINFRASTRUKTUR KAWASAN PERMUKIMAN, PEMANFAATAN MEKANISMEPASAR DAN KAPITAL MELALUI SKEMA FLPP DAN PEMUPUKAN DANAMURAH JANGKA PANJANG MELALUI SKEMA TABUNGAN

• REDISTRIBUSI TANAH SECARA BERKEADILAN MELALUI KEBIJAKAN BANKTANAH UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT ATAS PAPAN

• DUKUNGAN LITBANG UNTUK PENINGKATAN SDM DAN MENGGALIINOVASI DAN LEMBAGA PENGENDALI LOGISTIK PERUMAHAN RAKYATUNTUK PENGENDALIAN PASAR DAN DISTRIBUSI SUMBERDAYA PAPANSEBAGAI BENTUK KEBERPIHAKAN NEGARA MELALUI “INDUSTRIALISASIPERUMAHAN UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT”

• UNTUK KOTA/ PERKOTAAN : KOTA BESAR, METROPOLITAN DANMEGAPOLITAN : “PRIORITAS” KEPADA RUMAH SUSUN (SEWA, SEWA-BELI, MILIK)

VISI NEGARA

• PIJAKAN DASAR VISI NEGARA DALAM MEWUJUDKANKESEJAHTERAAN PAPAN : PERUMAHAN YANG “TERJANGKAU”DALAM LINGKUNGAN PERMUKIMAN YANG “BERKELANJUTAN”SEBAGAI BAGIAN DARI KEBERPIHAKAN SISTEM POLITIKEKONOMI PERKOTAN DAN SISTEM PENGEMBANGANPERKOTAAN

• PERUMUSAN VISI NEGARA DALAM SATU KONTEKS MISI“SISTEM PENANGANAN PERUMAHAN DAN PEMBANGUNANPERKOTAAN”

PETA JALAN

• TIGA TANTANGAN DI TAHUN POLITIK 2014 : TAHUN PEMILU,TAHUN KONSOLIDASI DAN PERSIAPAN TAHUN AKSELERASI

• VISI TERPENUHINYA KESEJAHTERAAN ATAS PAPAN SESUAITARGET RPJPN 2005-2025 DAN MDGs DALAM BENTUKAGENDA PRIORITAS NASIONAL UNTUK MENGHADAPI KONDISIDARURAT PERUMAHAN RAKYAT

• PERIODE KONSOLIDASI KEBIJAKAN 2O14

• PERIODE INDUSTRIALISASI PERUMAHAN 2015-2020

• PERIODE KETANGGUHAN 2021-2025

TEROBOSAN KEBIJAKAN

• KONSOLIDASI TATA KELOLA : STABILITAS POLITIK PERUMAHAN,KEJELASAN DAN KEPASTIAN HUKUM PERTANAHAN DANPENATAAN RUANG, HAK KEPENGHUNIAN, PERIJINAN,AKUNTABILITAS SISTEM PERPAJAKAN, EFEKTIVITAS SISTEMPENDANAAN DAN PEMBIAYAAN, KETANGGUHAN DANKEUNGGULAN DAYA SAING INDUSTRI PERUMAHAN NASIONAL,KETANGGUHAN SISTEM PERUMAHAN DAN PENGEMBANGANPERKOTAAN, KEUNGGULAN SDM

• KEBIJAKAN LOMPATAN AKSELERATIF : INTERVENSI, INSTITUSI,INFRASTRUKTUR, INVESTASI INOVASI ( KONSEP 5 “I” )

• PERIODE KONSOLIDASI 2014 : INTERVENSI DAN INSTITUSI

• PERIODE INDUSTRIALISASI 2015-2020 : INFRASTRUKTUR,INVESTASI DAN INOVASI MENUJU PERIODE KETANGGUHAN2020-2025

EPILOG • FUNGSI DAN PERAN LEMBAGA NEGARA PENGEMBAN AMANAH

PEMENUHAN HAK DASAR KESEJAHTERAAN PAPAN SEBAGAI “ENABLER”DENGAN KONSEP PENGUATAN (‘STRENGTHENING’) DAN PEMBERDAYAAN(‘EMPOWERING’)

• PENEMPATAN POSISI KLUSTER KEMENTERIAN PERUMAHAN DANPENGEMBANGAN PERKOTAAN YANG TEPAT SEBAGAI “ENABLER DANREGULATOR”

• PENGUATAN KAPASITAS PIMPINAN KELEMBAGAAN KEMENTERIANDENGAN PENAMBAHAN FUNGSI WAKIL PIMPINAN LEMBAGAMENGINGAT KOMPLEKSITAS TANTANGAN DAN AGENDA KEBIJAKANAKSELERASI

• KONSOLIDASI LEMBAGA PELAKSANA PEMBANGUNAN PERUM PERUMNASSEBAGAI NHUDC DAN BTN SEBAGAI BANK PERUMAHAN NASIONAL

• PENGUATAN KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG FUNGSI LITBANG DANLOGISTIK PERUMAHAN RAKYAT

• PENGUATAN DAN PENINGKATAN PERAN PERUM PERUMNAS DAN BTNSERTA PERAN PENGEMBANG SWASTA (REI, APERSI. AP2ERSI, DSB)DALAM PENYELENGGARAAN PERUMAHAN RAKYAT, KHUSUSNYAPERUMAHAN UMUM

TERIMA KASIH

Outlook Perumahan Rakyat di Tahun Politik 2014 1

OUTLOOK PERUMAHAN RAKYAT DI TAHUN POLITIK 2014

Assoc. Prof.DR.Eng.Ir BUDI PRAYITNO

Kepala PUSPERKIM UGM

Pusat Kajian Kebijakan Perumahan Rakyat Universitas Gadjah Mada

PROLOG Darurat Perumahan Rakyat.Sebuah pernyataan yang bukan tanpa alasan dan hanya sekedar memperkeruh kondisi tahun sulit 2014, tetapi benar-benar didasarkan pada 3 alasan yang sangat

kuat dan mendasar yang diacu dari hasil beberapa kajian dan diskusi nasional yang diselenggarakan dalam beberapa tahun belakangan ini. Alasan pertama, kenaikan angka backlog, luasan kawasan permukiman kumuh dan carut marut tata kelola penyelenggaraan pemenuhan kesejahteraan atas papan yang ditangani 19 kementerian/lembaga yang disampaikan dalam berbagai pertemuan ilmiah maupun artikel dalam media seolah-olah sudah tidak lagi dirasakan sebagai kondisi krisis ( baca: kritis ) nasional. Bahkan kenaikan angka backlog yang sudah mencapai 15 juta, kenaikan luasan permukiman kumuh serta lemahnya koordinasi tata kelola menjadi semacam “lagu wajib” yang harus dinyanyikan sebagai pembuka acara diskusi maupun pembuka artikel ulasan kebijakan perumahanan rakyat tanpa dipahami maknanya secara serius. Kemampuan mengejar laju kekurangan rumah yang rata-rata sampai saat ini sebesar 700.000-800.000 unit per tahun belum mampu dicapai dengan kinerja pemerintah yang sampai saat inihanya mempunyai kemampuan tidak lebih dari 300.000 unit per tahun. Untuk mengejar laju kekurangan saja masih sangat sulit apalagi untuk menurunkan angka backlog nya. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap apa yang sudah dilakukan oleh para pemangku kewajiban/ duty bearers (bukan pemangku kepentingan/stakeholdersyang berkonotasi pada ego kepentingan masing-masing), maka kondisi capaian sampai saat ini dapat dinyatakan dalam keadaan darurat. Ironisnya, kondisi darurat perumahan rakyat ini kita hadapi dan jalani dengan kesadaran penuh dan tidak pernah dirasakan sebagai krisis akibat pesimisme terhadap permasalahan yang semakin masif dan kompleks. Diibaratkan sebagai sebuah tarian “poco-poco” yang maju selangkah, mundur dua langkah sambil berlenggok ke kanan dan kekiri padahal kinerja perumahan rakyat kita tidak pernah melangkah maju bahkan mundur dan itu dilakukan dengan selalu tersenyum. Alasan kedua, sistem evaluasi kinerja capaian pemerintah yang sampai saat ini lebih didasarkan pada capaian output administratif dan serapan anggaran untuk mengejar status pemeriksaan berupa wajar tanpa pengecualian /WTP (bukan didasarkan pada capaian outcome solutif permasalahan bangsa) seolah-olah menjadi motivasi utama capaian penyelenggaraan pemerintahan. Hasil penilaian kinerja seperti ini jelas-jelas akan berdampak pada “pembenaran” pelaksanaan yang hanya diukur dengan kesesuaian target capaian administratif dengan dokumen kontrak perencanaan. Sehingga hal ini berdampak pada kurangnya kepekaan kepemerintah dalam memprioritaskan dan keberpihakan politik kebijakan nasionalnya atas pemenuhan hak dasar atas papan. Untuk itu, mutlak harus disampaikan kondisi darurat ini sebagai upaya unuk mendorong kebijakan lompatan “akseleratif dan inovatif”.

Outlook Perumahan Rakyat di Tahun Politik 2014 2

Alasan yang ketiga, yang merupakan alasan utama adalahjangka waktu untuk memenuhi amanat UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No 20/2011 Tentang Rumah Susun dalam menjamin hak dasar atas papan serta target RPJPN 2005-2025 yang sesuai dengan target Millenium Development Goals (MGDs)sangat singkat dan dalam kondisi yang sampai saat ini tidak masuk dalam agenda prioritas kebijakan nasional serta belum dimilikinya peta jalan (roadmap) yang jelas dan operasional. Hal ini akan semakin kita rasakankondisi daruratnya apabila dikaitkan dengan upaya menghidupkan kembali ideologi perumahan rakyat dari semangat Konggres I 1950 dalam sebuah deklarasi Kongres Nasional Perumahan Nasional Perumahan Rakyat 2009 yang menyatakan : “Kami, Peserta Kongres Nasional Perumahan dan Permukiman II, Tahun 2009, sebagai pewaris keputusan Kongres Perumahan Rakyat tahun 1950 yang telah meneguhkan perumahan sebagai urusan negara, merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen serta UU tentang HAM yang menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat “. Optimisme Wakil Presiden Mohammad Hatta yang membuka Kongres Peroemahan Rakjat Sehat 1950yang menjadi semangat dalam kongres tersebut juga menyatakan : “ Memang tjita-tjita (maksud beliau membangun rumah rakyat) tidak akan tertjapai dalam setahoen doea tahoen, tidak akan terselenggara semoeanja dalam 10 ataoe 20 tahoen. Tetapi dalam 40 tahoen ataoe setengah abad pasti dapat ditjapai apabila kita soenggoeh-soenggoeh maoe dan beroesaha dengan penoeh kepertjajaan “, benar-benar membangkitkan semangat penyelenggaraan Kongres 2009 ini. Bahkan penggunaan nama kongres yang menggantikan penggunaan nama lokakarya nasional yang biasanya digunakan pada masa Orde Baru mampu menghidupkan kembali gaung Kongres 1950 dalam Kongres 2009. Tetapi ironisnya, semangat itu tidak mampu meng”arus - utama”kan kebijakan perumahan rakyat sebagai “agenda prioritas kebijakan nasional”bahkan sudah lebih dari setengah abad sejak kongres 1950. NEGARA MENJAMIN Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi ( to fulfill ), melindungi ( to protect ) dan menghargai ( to respect ) hak-hak dasar warganya dalam memenuhi kesejahteraannya. Melihat capaian kinerja pemenuhan hak dasar atas papan yang selama ini cenderung berorientasi pada penanganan responsif berbasis masalah ( problem-based services ) seharusnya digeser paradigmanya menjadi pelayanan yang terencana berbasis hak ( right-based serices ). Demikian pula pengukuran capaian kinerja tata kelola penjaminannyapun harus bergeser dari sekedar output administratif menjadi outcome fungsional yang akuntabel. Dengan kata lain, tata kelola penyelenggaraan negara dalam menjamin kesejahteraan warganya atas papan harus bergeser dari sekedar tata kelola pelayanan

publik berbasis layanan pelanggan ( market contract-based public management ) menjadi tata kelola pemerintahan yang mempunyai kontrak sosial secara konstitusional ( social contract-based public governance ). Disini peran kehadiran negara mutlak diperlukan. Meskipun pemangku kewajiban atas penyelenggaraan pelayanan sosial dalam bentuk penjaminan hak dasar bukan menjadi tanggung jawab negara saja tetapi juga masyarakat, pelaku usaha dan lembaga-lembaga kemanusiaan baik nasional maupun internasional. Namun, mandat yang diemban negara dalam melakukan pelayanan jauh lebih besar sesuai dengan konvensi internasional daripada mandat yang diemban masyarakat

Outlook Perumahan Rakyat di Tahun Politik 2014 3

dan pelaku usaha. Perumahan yang merupakan salah satu jenis dan cakupan pelayanan sosial selain jaminan sosial, kesehatan dan pendidikan menjadi kewajiban azasi negara dalam memenuhi kesejahteraan warganya. Untuk itu, kehadiran negara Indonesia yang digagas para pendiri bangsa berkonsep negara kesejahteraan harus mampu mengemban amanah mandatoris konstitusional untuk menjamin terselenggaranya pelayanan sosial atas pemenuhan hak dasar atas papan. Pilihan konsep kenegaraan ini ditujukan sepenuhnya untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya setelah mempertimbangkan preseden baik kegagalan tata kelola berbasis dominasi pasar pada masyarakat kapitalis ( market-driven failure ) maupun kegagalan tata kelola berbasis dominasi negara pada masyarakat sosialis (state-controlled failure ). POLITIK PERUMAHAN Perkembangan ekonomi berimplikasi terhadap negara kesejahteraan dalam mewujudkan pemenuhan hak dasar warganya atas papan. Sehingga politik perumahan tidak bisa dilepaskan dari ekonomi pasar yang mempunyai kerentanan terhadap lepasnya kebijakan perumahan rakyat dalam dominasi kekuatan pasar demi kepentingan kapital. Untuk itu, kehadiran negara diharapkan mampu mendayagunakan kekuatan pasar dan kapital untuk memenuhi kesejahteraan atas papan. Perumahan rakyat merupakan sektor publik yang penanganannya harus dilakukan melalui tata kelola yang efektif terhadap sumberdaya perumahan berupa tanah, infrastruktur, kelembagaan dan pembiayaan. Intervensi kebijakan pemerintah tidak cukup hanya dilakukan sebatas pengendalian pasar perumahan sebagai produk komoditas tetapi lebih pada pengaturan dan pengendalian sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) yang mampu menjamin efektivitas pengelolaan sumberdaya perumahan dalam sistem industri perumahan.Pengaturan ini juga menyangkut isu kepenghunian yang rentan terhadap konflik hak penggunaan bangunan dan pemanfaatan lahan termasuk kerentanan lepasnya aset negara yang sampai saat ini masih sekedar tercantum dalam peraturan perundangan yang masih perlu diperjelas kepastian hukumnya melalui perangkat peraturan perundangan yang efektif. Semua ini untuk menjawab krisis perumahan yang tidak bisa diselesaikan secara “as business as usual” tetapi harus berparadigma akseleratif dan inovatifdan satu-satunya jawaban adalah mendorong kebijakan industrialisasi perumahan baik untuk untuk sistem penyediaan perumahan umum, swadaya dan sosial maupun perumahan komersial. Paradigma ini dimaksudkan untuk mendorong keberpihakan pemerintah sehingga dapat diciptakan sinergi dan ko-produksi pasar perumahan yang terjangkau (‘affordable’) dengan iklim investasi yang kondusif. Dan hal ini jelas sangat ditentukan oleh pentingnya kehadiran fungsi litbang (penelitian dan pengembangan) untuk menggali ide-ide solutif, konstruktif dan inovatif dan lembaga pengelola logistik bahan bangunan perumahan semacam “BULOG” sebagai fungsi pengendali pasar dan distribusi industri perumahan. Perumahan sebagai sektor yang kompleks harus diposisikan sebagai sistem yang utuh (as a

holistic system) bukan sektoral, sehingga fungsi koordinasi kebijakan dalam bentuk sinergi dan ko-produksi lintas pemangku kewajiban perumahan rakyat mutlak harus dilakukan. Hal ini hanya akan mampu diwujudkan apabila kemauan politik ( ‘political will’ ) memposisikan perumahan rakyat sebagaiagenda prioritas kebijakan nasional. Dalam konteks pembangunan ekonomi, politik perumahan dalam bentuk intervensi negara dimaksudkan sebagai fungsi regulator dan pengendali ekonomi pasar sehingga harus berperan secara afirmatif bukan sekedar berperan sebagai penyusun pasif dokumen regulasi.

Outlook Perumahan Rakyat di Tahun Politik 2014 4

Fungsi pemerintah sebagai regulator kebijakandalam kerangka kelembagaan dan peraturan sistem penyediaan perumahan meliputi : kebijakan fasilitasi perumahan umum, perumahan swadaya dan pasar perumahan komersial. Inisiasi fungsi koordinasi kebijakan pernah berkembang di era 1970an dan ini sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk meletakkan kebijakan dasar perumahan umum dengan didirikannya Perum Perumnas dan BTN sebagai bank perumahan sekaligus berdirinya asosiasi pengembang swasta (REI, APERSI, AP2ERSI, dsb) dan Koperasi. Namun, dalam perjalanannya sinergi dan harmonisasi antara fasilitasi pasar perumahan dan pengembangan kebijakan perumahan umum belum menghasilkan mekanisme pasar perumahan bekerja secara efektif untuk memenuhi berbagai moda penyediaan perumahan. Kondisi ini memicu semakin menjauhnya cita-cita yang diamanatkan wakil presiden Mohammad Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat 1950 untuk mewujudkan sistem penyediaan perumahan yang mantab yang dapat dicapai dalam kurun waktu setengah abad. Untuk itu diperlukandukungan politik perumahan untuk mengevaluasi kinerja kebijakan perumahan rakyat sekaligus memposisikannya sebagai kondisi darurat perumahan rakyat dan memasukkannya sebagai agenda prioritas kebijakan nasional. Tiga isu pokok yang harus mendapat dukungan adalah masalah kelembagaan, pembiayaan dan pertanahan. Dukungan politik tersebut diharapkan mampu mendorong terbentuknya kelembagaan penyelenggara pemenuhan hak papan yang efektif konsolidasi 3 pilar kelembagaan yaitu regulator/pemerintah, operator/lembaga pelaksana, pengelola pembiayaan dalam sistem pembagian peran yang tepat. Demikian pula mampu mendorong terciptanya sistem pembiayaan yang sinergis dan ko-produktif antara pemenuhan moda perumahan umum, perumahan swadaya dan perumahan sosial(dengan skema intervensi subsidi, dukungan infrastruktur kawasan permukiman maupun pemupukaan dana murah jangka panjang melalui skema tabungan perumahan) dan pemenuhan moda perumahan komersial melalui pengendalian pendayagunaan kekuatan pasar dan kapital dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Termasuk diantaranya mampu menyelesaikan permasalahanketimpangan struktur penguasaan tanah dan mendorong terciptanya redistribusi tanah secara berkeadilan dengan konsep dekomodifikasi pertanahan dengan meredefinisi/mereintrepretasi hakekat tanah sebagai fungsi sosial melalui kebijakan bank tanah.Dan juga mendorong terbentuknya lembaga litbang yang inovatif dan lembaga pengendali logistik bahan bangunan perumahan untuk meningkatkan keterjangkauan (‘affordability’) sebagai bentuk keberpihakan negara dalam mewujudkan kesejahteraan atas papan melalui “industrialisasi perumahan untuk kesejahteraan rakyat”. VISI NEGARA DAN PETA JALAN Masalah perumahan sebagai bagian dari sistem politik ekonomi perkotaan dan sistem pengembangan kotamerupakan pijakan dasar dalam merumuskan visi negara dalam memenuhi hak dasar kesejahteraan atas papan. Visi tersebut dirumuskan dalam konteks satu sistem penanganan utuk menjawab tantangan backlog, kekumuhan, ketimpangan distribusi tanah dan fenomena hyper

urbanization (dimana pada akhir tahun RPJPN dan target MDGs 2025 penduduk perkotaan Indonesia akan mencapai 67,7persen dan pada tahun 2050 diproyeksikan akan mencapai angka 85 persen). Sejalan dengan RPJPN 2005-2025 dan Target MDGs tersebut maka tahun politik 2014 merupakan tahun yang sangat strategis untuk menurunkan visi “ terpenuhinya hak dasar papan “ dalam bentuk agenda prioritas kerja nasional dalam menghadapi kondisi darurat perumahan rakyat. Tiga tantangan sekaligus berada di tahun politik 2014 yaitu tahun politik, agenda lima tahunan pemilu legislatif dan pemilu presiden dantahun konsolidasi kebijakan perumahan rakyat serta

Outlook Perumahan Rakyat di Tahun Politik 2014 5

persiapantahun akselerasi 2015-2020 periode industrialisasi perumahan menuju periode tahun ketangguhan 2020-2025. Untuk itu, visi negara dalam memenuhi dan menjamin hak dasar papan harus dirumuskan dalam konteks sinergitas terpenuhinya hak dasar atas papan dalam pemenuhan yang terjangkau (‘affordable’) pada moda penyediaan perumahan umum, perumahan swadaya dan perumahan sosial danterciptanya iklim pendayagunaan kekuatan pasar dan kapital dalam penyediaan perumahan komersial. Untuk itu mutlak diperlukan prasyarat konsolidasi tata kelola baik berupa infrastruktur keras maupun infrastruktur lunak untuk menjamin stabilitas politik perumahan, kejelasan dan kepastian hukum pertanahan dan penataan ruang, kejelasan dan kepastian hukum atas hak kepenghunian, kejelasan dan kepastian perijinan,akuntabilitas sistem perpajakan, efektivitas operasionalisasi sistem pendanaan dan pembiayaan bagi perumahan umum, perumahan swadaya dan perumahan sosial, peningkatan kapasitas sistem finansial dan pasar yang unggul berdaya saing bagi pengembangan moda perumahan komersialmelalui pengembangan industri perumahan sebagai lokomotif perekonomian nasional dan penggerak 175 industri ikutannya, sistem pengembangan kawasan permukiman dalam sistem penataan kawasan permukiman dan perkotaan yang berkelanjutanserta sumberdaya manusia yang amanah dan inovatif. Secara singkat, visi negara dan peta jalan dalam mewujudkan kesejahteraan atas papan sebagai pemenuhan hak dasar harus bertumpukan pada paradigma pembangunan perumahan yang mendorong “kebijakan lompatan yang akseleratif” berbasis 5 “I” yaitu : intervensi, institusi, inovasi, infrastruktur, investasi. Tiga “i” yang pertama yaitu intervensi, institusi/kelembagaan dan inovasi merupakan prasyarat bagi penguatan tata kelola yang baik (good governance) sebagai tahun periode konsolidasi 2014 dan 2 “i” berikutnya merupakan prasyarat bagi pengembangan industrialisasi sebagai periode akselerasi 2015-2020 menuju periode ketangguhan 2020-2025. EPILOG Kehadiran negara sebagai lembaga pengemban amanah pemenuhan kesejahteraan atas papan tidak bisa serta merta langsung memindahkan kewajibannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan UU no.1 / 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Hal ini mengingat adanya kemauan politik yang dideklarasikan dalam 2 kongres perumahan 1950 dan 2009 dan amanah perangkat perundangan yang menjamin dan mengatur pembagian peran antara pemerintah dan pemerintah daerah. Fungsi dan peran lembaga negara sebagai ‘enabler’ harus memampukan pemerintah daerah sebagai pengemban amanah wajib urusan pemenuhan kesejahteraan atas papan melalui konsep penguatan ( ‘strengthening’ ) dan pemberdayaan ( ‘empowering’ ).Untuk itu lembaga kementerian yang menangani urusan kesejahteraan atas papan dalam sistem politik ekonomi perkotaan dan sistem perkotaan akan menghadapi tugas yang sangat berat sebagai lembaga regulator dan ‘enabler’ untuk menjawab tantangan ‘backlog’, kekumuhan, ketimpangan disribusi tanah, pembiayaan dan fenomena ‘hyper urbanization. Mengingat kompleksitas tugas yang harus diemban maka lembaga

kementerian harus diposisikan pada kluster kelembagaan kementerian perumahan dan pengembangan perkotaan yang tepat sesuai dengan perannya sebagai regulator dan ‘enabler’ serta didukung oleh kapasitas pimpinan kelembagaan yang harus diperkuat dengan adanya penambahan fungsi wakil pimpinan lembaga kementerian.Selain itu untuk operasionalisasi kebijakan harus dilakukan konsolidasi lembaga pelaksana/operator pembangunan perumahan dan pengembangan perkotaan sebagai badan hukum publik bagi sistem penyediaan perumahan umum, swadaya dan sosial dan konsolidasi lembaga penyediaan perumahan komersial bagi sistem penyediaan perumahan komersial, konsolidasi lembaga pengelola pertanahan,lembaga pengelola

Outlook Perumahan Rakyat di Tahun Politik 2014 6

pembiayaan khususnya tabungan perumahan dibawah koordinasi badan pelaksana jaminan sosial bidang perumahan.

____________ Yogyakarta, 15 Januari 2014

1 M. Jehansyah Siregar, Ph.D

Saatnya Memilih Kebijakan Perumahan Publik

M. Jehansyah Siregar, Ph.D/ SAPPK ITB

Hingga periode kedua Kabinet Indonesia Bersatu pembangunan perumahan rakyat masih

belum berada di jalur yang tepat untuk bisa mengejar ketertinggalan housing backlog dan

perluasan permukiman kumuh yang terus bertambah. Berbagai program perumahan seperti

fasilitasi kredit melalui FLPP, program bedah rumah maupun fasilitasi penyediaan prasarana

kawasan permukiman semuanya belum menemukan tren kinerja yang menjanjikan. Sementara

pembangunan perumahan oleh para pengembang swasta selalu dibebani oleh berbagai

kesulitan yaitu kesulitan perijinan lokasi dan berbagai perijinan lainnnya, kesulitan pembiayaan

konstruksi dan pembiayaan pemilikan, dan tagihan-tagihan kewajiban seperti hunian

berimbang, kewajiban sarana dan utilitas lingkungan, kewajiban membangun jalan, hingga

kewajiban membangun rumah susun sederhana.

Situasi seperti ini sebenarnya menggambarkan betapa lemahnya peran dan kapasitas

pemerintah untuk memimpin pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan. Baik

kelemahan dalam penguasaan tanah, kelemahan dalam mengintegrasikan pembangunan

prasarana dasar, kelemahan dalam alokasi pembangunan PSU, hingga kelemahan dalam

menjalankan mekanisme perijinan yang berbiaya rendah terbebas dari berbagai pungutan liar.

Kondisi seperti ini adalah kondisi yang spekulatif, penuh dengan berbagai bentuk pembiaran

untuk mencapai negosiasi dan membiarkan peran dan kapasitas pemerintah yang lemah.

Dari berbagai pengalaman di negara-negara yang sudah berhasil membangun perumahan

rakyatnya, terutama di negara-negara Asia Timur, tidak ada satu pun yang ditandai oleh

lemahnya peran dan kapasitas pemerintah. Kuatnya peran dan kapasitas pemerintah dalam

memimpin pembangunan sering dinamakan sebagai “government driven development” atau

juga disebut “public sector led development”. Di antara moda-moda lain seperti moda

perumahan swadaya dan moda perumahan sosial, moda perumahan publik adalah moda

penyediaan perumahan dan permukiman yang paling menunjukkan peran dan kapasitas

pemerintah yang kuat dan tegas di dalam pelaksanaannya.

Untuk itu, jika kita ingin segera mengejar ketertinggalan dari negara-negara seperti Jepang,

Kore Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura, maka salah satu moda penyediaan perumahan

yang perlu segera dikembangkan di Indonesia adalah moda penyediaan perumahan publik.

Namun moda penyediaan perumahan publik seringkali dihadang oleh anggapan-anggapan yang

keliru dan cenderung bersemayam sebagai mitos yang dipercayai. Salah satunya adalah mitos

diperlukannya anggaran subsidi yang sangat besar, membebani keuangan negara, tidak akan

2 M. Jehansyah Siregar, Ph.D

pulih sebagai aset negara yang bertambah nilainya, sehingga tidak akan mungkin mendapat

dukungan pembiayaan yang layak.

Mitos-mitos tersebut pertama-tama harus mendapatkan penjelasan dari perspektif konsep

kebijakan fiskal negara. Kebijakan perumahan publik (perumahan umum) harus didukung oleh

kebijakan subsidi yang efektif. Berbeda dengan subsidi rumah susun sederhana sewa yang

berfokus pada kegiatan konstruksi semata, maka subsidi untuk perumahan publik harus disertai

perencanaan dan pengelolaan aset publik yang efektif dan efisien, termasuk sejak dari

perencanaan lokasi, integrasi infrastruktur, penyiapan penghuni dan peningkatan kapasitas

pengelolaan bangunan dan lingkungan secara terus menerus.

Subsidi perumahan pada dasarnya menjadi pertimbangan utama dari kebijakan fiskal. Kebijakan

fiskal tidak bisa membiarkan pola subsidi dan pengelolaan aset dibiarkan menjadi persoalan

teknis sektoral semata. Ada kecenderungan jika menyangkut pengelolaan aset secara teknis

sektoral, pihak keuangan merasa sudah menjadi tanggung jawab dan keahlian yang dimiliki

sektor. Kondisi yang terfragmentasi seperti ini tidak dapat dibiarkan karena tidak jelas siapa

pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan aset yang berpotensi semakin menurun

nilainya.

Sebagai bagian dari pembangunan perkotaan dan wilayah, subsidi perumahan harus menjadi

perhatian kebijakan fiskal nasional. Artinya, sebagai tanggung-jawab penggunaan anggaran dan

keuangan negara, perlu selalu dilakukan evaluasi akan efisiensi pelaksanaannya dan harus

selalu ditekan adanya berbagai bentuk inefisiensi. Setiap inefisiensi akan menimbulkan beban

fiskal (fiscal burden) yang harus dihindari. Demikian juga dengan pengenaan pajak-pajak implisit

yang perlu dikurangi untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi, dengan jaminan tidak adanya

kebocoran dan inefisiensi dalam pengelolaan aset yang sudah dibebaskan dari berbagai bentuk

pajak.

Selain dari sumber pendanaan penyertaan modal negara melalui badan usaha milik negara yang

ditugaskan untuk itu, subsidi untuk perumahan publik juga berpotensi untuk dibiayai oleh bank

pembangunan milik negara dengan suku bunga rendah dan penghapusan beberapa bentuk

pajak implisit. Hal ini harus menjadi komitmen bersama antara lembaga teknis dan

Kementerian Keuangan.

Di negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Singapura, Hong Kong, Kore Selatan dan Taiwan,

skema perumahan publik mendapat dukungan subsidi negara karena pola penyelenggaraannya

yang telah diterima oleh otoritas fiskal di negara-negara tersebut. Pengalaman di negara-negara

tersebut, pembangunan perumahan publik sudah berhasil terhindar dari pembebanan fiskal.

Beberapa strategi yang digunakan adalah dijalankannya subsidi silang antara perumahan publik

dan pembangunan kota dengan berbagai bentuk pengembangan properti. Di negara-negara

tersebut tidak dikenal berbagai kewajiban seperti kewajiban fasos-fasum, kewajiban rusunawa

3 M. Jehansyah Siregar, Ph.D

dan sebagainya karena otoritas perumahan publik sudah menjalankan subsidi silang secara

langsung.

Beberapa bentuk skema pembangunan yang sudah banyak dikembangkan adalah

pembangunan area baru (new area development) dengan menerapkan konsep smart growth,

sebagaimana juga penataan kawasan kota (urban redevelopment). Pertumbuhan yang

diperoleh dari hasil pembangunan properti dan perkotaan pada gilirannya memberikan

pendapatan yang tinggi sehingga bisa memperkuat pengendalian fiskal.

Sedangkan berbagai bentuk kegagalan sistem penyediaan perumahan publik terjadi ketika tidak

ada strategi dan mekanisme penyediaan yang dibangun dengan sungguh-sungguh, baik dalam

hal merencanakan lokasi, perencanaan tapak, dalam rangka menjangkau berbagai kelompok

sasaran, pengembangan kawasan siap bangun, hingga dalam hal pengelolaan bangunan dan

lingkungan (building and estate management).

Secara kontras, subsidi perumahan di Indonesia tidak pernah didukung oleh mekanisme

penyediaan yang menjadi bagian dari kebijakan fiskal negara. Beberapa bentuk subsidi yang

sudah dijalankan masih dalam bentuk subsidi kredit perbankan, baik dalam bentuk subsidi uang

muka maupun subsidi selisih bunga. Bentuk-bentuk subsidi seperti ini bukan hanya membebani

fiskal, namun terbukti tidak efektif mengurangi laju pertumbuhan angka kekurangan rumah dan

luas permukiman kumuh yang terus bertambah di seluruh tanah air.

Oleh karena itu, subsidi perumahan membutuhkan dialog kebijakan di antara lembaga-lembaga

pemerintah, terutama di antara Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Perumahan

Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Pertanahan Nasional dan lembaga pemerintah

lainnya yang terkait dalam rangka mencapai efisiensi dan efektifitas subsidi. Dialog kebijakan

bertujuan untuk dicapainya sebuah komitmen bersama untuk mengerahkan dan mengelola

subsidi secara transparan dan akuntabel.

Ada beberapa bentuk skema perumahan publik yang bisa dikembangkan yaitu perumahan sewa

murah, perumahan milik hak pakai jangka panjang dan kawasan siap bangun serta lingkungan

siap bangun. Potensi dan kebutuhan pengembangan perumahan publik di Indonesia menyebar

di beberapa lokasi yang mengalami tekanan urbanisasi yang tinggi sehingga membutuhkan

pelayanan rumah murah yang cukup banyak. Lokasi-lokasi terebut umumnya berada di sekitar

kota-kota metropolitan seperti Jakarta dan Surabaya di Pulau Jawa, Medan dan Palembang di

Sumatera, Banjarmasin dan Balikpapan di Kalimantan, Makassar dan Menado di Sulawesi.

***

Bandung, 15 Januari 2014

1 | P a g e

Merumahkan Rakyat, (Jangan Bimbang) Itu Tanggungjawab Negara1

Oleh: Muhammad Joni2

Anda pernah mengisi borang identitas penduduk, atau pendataan pemilih menjelang pemilukada? Tentu saja. Setelah nama sebagai identitas tiap orang, borang isian pasti menyediakan kolom tempat tinggal, sebagai bagian tidak terpisahkan dari nama sebagai identitas pribadi orang. Orang dan tempat tinggal senantiasa melekat tak terpisahkan. Postulatnya: Tak ada orang yang tak bernama, dan dalam setarikan nafas, tak ada orang tak bertempat tinggal. Kua-juridis, sosologis ataupun ekonomis, orang (persoon) bertemali dengan tempat tinggal. Pun demikian badan hukum (recht persoon) memiliki domisili.

Perumpamaan sederhana itu cocok sebagai justifikasi mengapa setiap orang mempunyai hak konstitusional atas nama dan hak atas tempat tinggal. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menjamin hak konstitusional “untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum”. Pun demikian hak atas tempat tinggal itu dijamin Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Sebuah kemajuan konstitusional. Kontras dengan fakta konkrit “manusia gerobak” dan penghuni RT 00/RW 00 di kolong jembatan? Walau masih tak jauh dari istana.

Dalam kebudayaan manapun, tidak terbantahkan rumah sebagai tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diformulasi sebagai hak setiap orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Konsideran “Menimbang” huruf b dan d UU Nomor 1/2011 menggunakan frasa “layak dan terjangkau”.

Hak atas rumah sebagai tempat tinggal menjadi hak semua orang (for all), yang berarti diberikan kepada “setiap orang” sebagaimana frasa dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Demikian pula Pasal 40 UU Nomor 39/1999 dan konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011. Frasa yang dipergunakan “setiap orang berhak bertempat tinggal”.

Dengan demikian pemenuhan hak atas rumah tidak semestinya memiliki norma pembatasan (restriction) yang tidak lain adalah diskriminasi terhadap rakyat ataupun subjek hukum. Asas nondiskriminasi bersifat universal yang ada pada setiap instrumen HAM. Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan perkara Nomor X/PUU-X/2012, diskriminasi ada jika dalam norma UU terdapat subjek yang berbeda dalam perlakuan hukum.

Kita kembali membahas HAM. Hak atas perumahan dijamin dalam instrumen atau konvensi internasional. Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan, adalah hak ekonomi sosial budaya. Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasional tentang Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.3

Pengakuan dan jaminan hak atas rumah sebagai HAM bukan hanya pernyataan atau declaration akan tetapi merupakan komitmen sebagai masyarakat internasional yang beradab yang menandatangani Deklarasi Rio de Jeneiro, dimana Indonesia senantiasa aktif

1 Kontribusi untuk acara ulang tahun ke-3 HUD dan ke-2 HUDmagz, serta “Outlook Perumahan Rakyat di Tahun Politik 2014”, Kamis, 16 Januari 2014.

2 Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Professional Advokat dan Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, www.advokatmuhammadjoni.com dan www.jonitanamas.com.

3 International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right) dengan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right.

2 | P a g e

dalam kegiatan yang diprakarsai oleh United Nation Center for Human Settlements, yang kemudian tertuang pula dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau.4

Dari berbagai rujukan hukum tersebut, norma hukumnya adalah mengakui (recognized), melindungi (protected), menjamin (ensured), dan tentunya memenuhi hak bertempat tinggal sebagai hak dan melekat kepada setiap orang. Bandingkan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang hanya menyebut MBR saja.

Pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal sebagai kewajiban Pemerintah selaku eksekutif yang menjalankan Undang-undang. Oleh karena itu, pemenuhan hak atas rumah tentu wajib kepada setiap orang, bukan hanya bagi kelompok tertentu saja dan mengucilkan (exclution) kelompok lain. Jika hal itu terjadi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan, dan kua juridis hal itu bertentangan dengan asas “keadilan dan pemerataan” yang diakui dalam Pasal 2 huruf b UU Nomor 1/2011.

Soal ketidakadilan pembangunan perumahan disitir Zulfie Syarif Koto, yang berdasarkan data dan fakta menyimpulkan “…pembangunan perumahan rakyat hingga dalam perjalanan panjang 65 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas”.5

Akan tetapi, dalam pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal, UU Nomor 1/2011 lebih menitikberatkan regulasinya terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Dikaitkan dengan pemenuhan hak bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional bagi setiap orang, maka terdapat norma hukum yang membedakan “setiap orang” yang kemudian dikerucutkan hanya kepada MBR, yang secara ekonomis lebih beruntung dari warga miskin. Hal ini muncul dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”.

4 Millenium Development Goals (MDGs), yang menjadi indikator pembangunan kesehateraan manusia juga memberikan indikator keterjangkuan memperoleh rumah bagi semua, antara lain mengemukakan bahwa “Sebagai dasar yang fundamental dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan hidup dan menikmati kehidupan yang bermartabat, damai, aman dan nyaman, maka penyediaan perumahan dan permukiman yang memenuhi prinsip-prinsip yang layak dan terjangkau bagi semua”. Konsep hak-hak insani, yang dikenal umum sebagai HAM, dalam pendapat al Ghazali menyebutkan al-Kulliyat/al-Maqashid al-Khamsah, atau 5 (lima) hak-hak dasar universal, yaitu (1) berhubungan dengan perlindungan jiwa dan tubuh (Hifdz an-Nafs); (2) berhubungn dengan perlindungan akal (Hifdz al-Aql); (3) perlindungan atas agama/keyakinan (Hifdz ad-Din); (4) perlindungan atas harta benda (Hifdz al-Mal); (5) perlindungan atas kehormatan dan keturunan (Hifdz al-Irdl wa al-Nasl). Hal ini dikemukakan Masdar Farid Mas’udi, “Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif Islam”, Pustaka Alvabet dan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), Jakarta, 2011, hal. 141-142. Dalam teori hukum Islam, kelompok hak-hak insani tersebut dikelompokkan 3 (tiga) tingkatan, yakni pertama hak-hak yang bersifat dlarury (primer/dasar) yakni hak yang jika tidak dipenuhi atau diingkari bisa berakibat kebinasaan, misalnya hak atas pangan, papan dan sandang pada tingkat primer, subsisten, yang jika tidak dipenuhi bisa mengakibatkan kematian. Memenuhi hak primer ini bersifat wajib atau mutlak, menyangkal hak primer ini hukumnya haram dengan sanksi hukum yang optimal.

5 Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal. 48.

3 | P a g e

Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berlaku bagi kelompok MBR saja, tentunya tidak termasuk kelompok lebih tidak mampu atau warga miskin. Andai dilakukan klasterisasi masyarakat Indonesia menurut pendapatannya, terbagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu (a) masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dengan penghasilan antara Rp.2,5 s.d 4,5 juta, sekitar 10% s.d 20%; (b) masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan antara Rp.1 juta s.d kurang Rp.2,5 juta, sekitar 20% s.d 30%; (c) masyarakat miskin dengan penghasilan kurang Rp. 1 juta, sekitar 60% s.d 70%.6

Oleh karena Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 hanya mengikat Pemerintah untuk memenuhi hak atas rumah bagi kelompok tertentu saja, yakni kelompok MBR. Pemerintah tidak wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi warga masyarakat yang tinggal di tempat yang tidak layak dan manusiawi atau warga miskin yang jumlahnya masih besar di Indonesia. Dengan demikian, ada kelompok warga masyarakat selain kelompok MBR yang tidak dapat memperoleh hak atas rumah.

Warga yang tinggal tak memiliki rumah (homeless) tinggal di emperan toko, di kolong jembatan, di bawah jalan tol, pinggiran rel kereta api, pada fasilitas umum, lahan rawan bencana. Berdasarkan statistik kesejahteraan rakyat tahun 2008, diperoleh (1) sebanyak 11,95% rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah; (2) ada 10,6% rumah tangga dengan dinding belum permanen; (3) ada 3,61% rumah tangga tinggal di rumah beratapkan daun; (4) ada 21,1% rumah tangga belum dapat mengakses air bersih; (5) ada 8,54% rumah tangga masih belum mendapatkan sambungan listrik; (6) ada 22,85% rumah tangga masih belum memiliki akses terhadap jamban, dalam Renstra Kemenpera 2010-2014, Sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia belum menempati rumah layak huni yang sebagian besar adalah kelompok MBR.7

Imperium vs Dominium

2 September 2013, tingkap berita Kompas mewartakan gejolak harga kedelai, seakan lepas kendali. Pedagang tempe dan tahu menyusun siasat mogok. Protes pada abainya Negara menjinakkan kedelai. Pun demikian Republika mengingatkan Negara, akan resiko UMKM melipat tikar: termakan modal. Sudah benar jika media utama dor-doran mengangkat gelisah ekonomi rakyat dalam tingkap beritanya.

Akankah negara berdiam? Atau berhenti dengan keputusan? Stop sebatas sidang kabinet? Bukankah sejahtera alasan konstitusional bernegara? Di lapangan, harga-harga menaik. Lazim, itulah perilaku pasar. Namun, tak lazim jika membiarkan kedelai tak terkendali menjalar-jalar ke pikiran pejabat negeri. Buktinya, beberapa pejabat malah maklum dengan membuat solusi mudah menaikkan harga-harga. Tak terkecuali rumah rakyat untuk MBR. Akankah Pemerintah takluk dan tergoda menaikkan harga rumah rakyat bawah? Tegarkah Pemerintah? Tidak menjadi Imperium?

Di tengah dorongan perhimpunan pengembang mengusulkan naiknya harga rumah 30%. Naik dari semula Rp 95 juta (Jabodetabek) menjadi Rp 124 juta/unit, belum termasuk fasilitas prasarana sarana utilitas (PSU) seperti jalan dan drainase. Haruskah naik

6 Ibid., hal. 109. 7 Majalah Inforum Edisi 3 Tahun 2010, hal. 12-13.

4 | P a g e

dan naik lagi hanya satu-satunya solusi?8 Padahal, menaikkan harga bukan jalan satu-satunya. Jika mengacu Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU Nomor 1/2011, masih banyak cara mempertahankan daya beli masyarakat utamanya MBR. Tak hanya takluk pada pasar yang tersandera oleh eskalasi harga tanah, materials dan biaya tak resmi mengurus perizinan.

Andai kata aneka kemudahan dan bantuan dalam bentuk subsidi, stimulan, insentif pajak, perizinan murah, penyediaan lahan, sertifikasi tanah dan prasarana, sarana dan utilitas (yang merupakan kewajiban Pemerintah), bisa digiatkan optimal maka tak perlu kuatir dengan backlog dan kenaikan harga rumah MBR andai landbank untuk rumah MBR segera direalisasikan tahun 2014.

Tanpa terobosan out of the box, diperkirakan backlog terus meningkat. Menurut Hausing and Urban Development (HUD) Institute, backlog tahun 2004 berjumlah 5,8 juta, tahun 2009 mencapai 7,4 juta, meningkat menjadi 13,6 juta (tahun 2010). Jika asumsi permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 per tahun, dengan produksi hanya 200.000 unit rumah, maka ada defisit 700.000 rumah per tahun. HUD Institutute menghitung, angka backlog saat ini telah mencapai 15 juta.

Di tengah tingginya backlog, ironi target produksi rumah bersubsidi selalu anjlok. Target pembangunan rumah MBR kerap tak tercapai, kecuali era Menpera Akbar Tanjung. Andai memakai data resmi BPS ihwal 13,6 juta backlock, dengan produksi rumah MBR 200 ribu unit per tahun, dengan pertumbuhan 0%, maka butuh waktu 68 tahun memenuhi rumah MBR. Satu generasi. Suatu darurat perumahan.

Akankah beban rakyat ditambahkan lagi beratnya setelah kedelai, daging sapi, tempe, tahu dan harga benda konsumsi menjulang-julang tak terkendali? Paslah jika media mengingatkan negara agar tak hanya mengurus politik dan kekuasaan, tak hanya menjadi Imperium. Tatkala negara abai dan lunglai mengatasi harga-harga, dan membiarkan rakyat menerima kenaikan harga dengan tanpa usaha kekuasaan negara, hal itu mirip dan bahkan reproduksi pikiran lama yang menelusup akibat relasi yang “tidak senonoh” antara rakyat dengan negara. Menurut Muhammad Hatta, pembedaan konsep kedaulatan politik dengan kedaulatan ekonomi (sebut saja Imperium versus Dominium), karena produk sejarah yang “tidak senonoh”.9 Sungguh, sejarah yang tidak senonoh lahir dari pemikiran yang tidak senonoh, atau primitifisme relasi negara dengan rakyat.

Dahulu, pemikir memisahkan konsep Imperium versus Dominium secara diametral. Imperium adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. Dominium adalah konsep mengenai “rule over things by individuals”. 10 Dari titah Montesquieu, politik tidak mengurus ekonomi alis kesejahteraan rakyat. Katanya, dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik. Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan, kemauan pribadi, dan daya kompetisinya di arena pasar bebas. Negara tidak mengurus perut dan mulut, tamsil

8 Tahun lalu pada akhir Mei 2012, Menteri Perumahan Rakyat menaikkan harga rumah subsidi. Konon, untuk merangsang produsen membangun rumah sederhana/murah, terbitlah Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) No. 7 & 8 dan 14 & 15 Tahun 2012 yang mengubah Permenpera No. 4 & 5 Tahun 2012.

9Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, No.1, hal.2, dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstiotusionalisme di Indonesia, hal.123.

10 Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, hal.121-123.

5 | P a g e

untuk ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kita sadar, ini pikiran kolot yang absurd bahkan primitif sekali.

Bercermin dari kedelai dan rumah, bisa jadi primitifisme relasi negara dengan rakyat itu, terjadi akibat relasi ekonomi yang timpang dan kesempatan yang tidak adil. Membiarkan tak terkendalinya harga kedelai, UMKM melipat tikar, tergoda dan tergopoh Pemerintah menaikkan harga rumah sejahtera untuk MBR, adalah reproduksi primitifisme relasi antara negara dengan rakyat. Reproduksi pikiran usang yang memisahkan Imperium dengan Dominium.

Mari kita menengok ulasan konstitusi. Hak bertempat tinggal atau hunian sebagai hak konstitusional dan HAM, mestinya menjadi orientasi negara dan tujuan pembangunan perumahan rakyat oleh Pemerintah maupun operator. Dengan kata lain, penyediaan hunian komersial bukan domein pembangunan perumahan rakyat. Keliru jika orientasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perumahan justru membangun hunian komersial mencari laba.

Atas dasar itu, pembangunan perumahan rakyat mesti diangkat sebagai isu konstitusi dan HAM. Namun urusan perumahan rakyat dan kawasan permukiman hingga kini masih menggelisahkan karena belum diurus secara sungguh-sungguh (profesional dan proporsional) dan berkelanjutan (baik aspek kelembagaan, pembiayaan dan lingkungan) oleh pemerintah.

Di Indonesia, problem tentang tidak terpenuhinya kebutuhan akan papan begitu mengkhawatirkan karena kecenderungannya yang semakin meluas. Tidak terpenuhinya kebutuhan akan papan tersebut dapat termanifestasikan melalui berbagai macam bentuk, seperti tunawisma, gelandangan, tinggal di rumah kumuh, atau tinggal di rumah tanpa jaminan keamanan bermukim (secure tenure).

Dari ulasan itu, masihkah tergopoh menaikkan harga rumah rakyat? Masihkah menjadi Imperium?

Hunian Berimbang, Pemerintah Bimbang

Jika anda menengok hasil karya pengembang, kompleks perumahan tak melulu eksklusif dihuni kelas berpunya, tak hanya membangun rumah mewah dan menengah, namun juga rumah sederhana. Konsep ini dikenal sebagai Hunian Berimbang yang diatur dalam Pasal 34, 35, 36, 37 UU Nomor 1/2011.

Kalau dulu komposisinya adalah 1:3:6, kini menjadi 1:2:3 dengan terbitnya Permenpera No. 10/2012. Maksudnya? Pengembang wajib membangun permukiman dengan komposisi 1:2:3 untuk rumah mewah, rumah menengah dan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Walau telah ada perubahan menjadi Permenpera Nomor 7 Tahun 2013, namun ihwal Hunian Berimbang masih tidak bisa efektif andai Pasal 34 s.d 36 UU Nomor 1/2011 yang mengatur Hunian Berimbang belum diubah.

Jauh sebelum adendum Permenpera No. 10/2012, melaui Ketua Umumnya DPP REI merasa keberatan dengan beberapa peraturan terkait konsep Hunian Berimbang yang dirasa masih belum berpihak pada pengembang.

Apakah maksud asli dari hunian berimbang? Tak lain adalah untuk membantu Pemerintah dalam menyediakan rumah untuk MBR dan mengatasi defisit perumahan alias backlog. Kementerian Perumahan Rakyat meminta pengembang mematuhi aturan hunian

6 | P a g e

berimbang dalam rangka mempercepat mengatasi backlog perumahan. Artinya? Ya, hanya membatu kewajiban Pemerintah merumahkan MBR, yang diamanatkan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”. Sekali lagi, frasa yang digunakan adalah “wajib”, bukan “harus” dan bukan “dapat”.

Andai kewajiban merumahkan rakyat dalam hal ini MBR adalah kewajiban Pemerintah, dan Hunian Berimbang dimaksudkan untuk mengatasi backlog, maka absah jika Pemerintah melaksanakan prasyarat itu. Mengapa? Karena Hunian Berimbang hanya subsistem pendukung dalam skenario merumahkan MBR.

Andai merujuk Pasal 54 ayat (2) UU Nomor 1/2011, Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah WAJIB memberikan kemudahan dalam pembangunan rumah MBR. Maksudnya? Ya ..., kemudahan untuk merumahkan MBR yang dengan Pasal 54 ayat (3) huruf a s.d h UU Nomor 1/2011 disebut secara limitatif bentuk kemudahan dan/atau bantuan itu, termasuk subsidi, penyediaan lahan, prasarana, sarana dan utilitas umum.

Mengacu itu, Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas kemudahan dan/atau bantuan dimaksud untuk rumah MBR, termasuk yang dibangun dengan konsepsi Hunian Berimbang. Sekali lagi, hal itu adalah kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Wajib adalah perintah, tidak keraguan disana. Karena frasa yang dipakai adalah “wajib” bukan frasa “dapat” yang bisa “iya” bisa pula “tidak”.

Anehnya, norma Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 1/2011 justru mereduksi kewajiban Pemerintah itu. Entah mengapa suatu hal yang wajib berubah menjadi dapat. Penormaannya, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum mendorong pembangunan perumahan Hunian Berimbang. Ada apa dibalik penurunan derajat tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah itu? Dari semestinya WAJIB menjadi DAPAT.

Kala membedah UU Nomor 1/2011, ditemukan 16 kali kata “dapat” dalam UU itu. Belum termasuk kata “harus”, yang berbeda makna dengan kata “wajib”. Saya membangun postulat, bahwa kata “dapat” itu bentuk pertarungan kepentingan ataupun aspirasi titipan kepada parlemen sebagai pembuat UU dan institusi politik yang bermazhab politik kompromi. Akibatnya, melenceng jauh dari maksud asli (original intent) norma hukum. Menimbulkan celah hukum. Bagi makhluk yang tak punya hati, celah itu adalah 'recht vacuum' untuk menghindari tanggungjawab. Kua-teoritis, ini disebut 'uneffective of the law' versi Antony Allot, atau bisa tergelincir pada keadaan yang dikenali sebagai 'dark-enginerring of the law' versi Podgorecki & Olati. Atau hukum tidak lagi otentik karena berubah menjadi “penyamaran kepentingan”.

Lha, kalau Pemerintah dan Pemerintah Daerah “buang badan” enggan menyediakan insentif sebagai prasyarat Hunian Berimbang, dengan berlindung dibalik frasa “DAPAT” dalam Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 1/2011, tentu itu siasat hukum yang tidak adil. Itu juga bertentangan dengan norma Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU Nomor 1/2011 yang justru merupakan kewajibannya? Dari kedua norma itu terlihat adanya ambiguitas setidaknya kebimbangan Pemerintah, sehingga regulasinya masih labil.

Tidaklah bijaksana jika Pemerintah arogan mengancam pengembang tidak akan mengeluarkan izin membangun proyek perumahan, karena dikaitkan dengan turunnya produksi rumah bersubsidi. Bukankah Pemerintah sendiri yang justru menurunkan target

7 | P a g e

pembangunan rumah rakyat dari 600 ribu unit menjadi 130 ribu unit.11 Justru hal itu signal kuat darurat perumahan sehingga perlu mengoreksi regulasi yang menghambat agenda merumahkan rakyat.

Singkat kata, norma Pasal 34, 35, 36 UU Nomor 1/2011 dan segenap regulasi yang justru menghambat produksi rumah MBR dalam skim Hunian Berimbang itu sendiri harus direvisi. Lagi pula regulasi ihwal Hunian Berimbang hanya mengatur tatacara dan kewajiban pengembang, dan tidak mengatur kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendukung Hunian Berimbang untuk MBR, sebagaimana perintah Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU Nomor 1/2011.

Out of Box

Pada kenyataannya backlog terus meningkat dan produksi rumah terus menurun. Di sisi lain harga rumah MBR dinaikkan menyusul harga bahan bakar dan inflasi (dan Pemerintah tak berdaya menghadapi pasar?). Hunian Berimbang yang diperintahkan UU Nomor 1/2011 diprediksi tidak akan bisa berjalan. Ironinya, Pemerintah justru mengeluarkan ancaman bahkan pemenjaraan.12 Padahal, pelanggaran atas Pasal 34 ayat 91) dan (2), Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1/2011, hanya dikenakan Sanksi Administratif (vide Pasal 150 ayat (1) UU Nomor 1/2011). Itupun dengan mewajibkan adanya Peraturan Pemerintah (PP) lebih dahulu. Aneh sekali intimidasi Pemerintah itu.

Rakyat miskin yang homeless, manusia gerobak serta jutaan MBR yang gagal menikmati rumah, masih kasat mata. Dari sedikit soal berkenaan dengan pemenuhan hak bermukim itu, berkaitan dengan kekeliruan dalam hukum dan menerapkan hukum. Buktinya? Target produksi dan penyerapan diturunkan Pemerintah karena mengikuti syarat luas lantai 36 meter persegi. Angka target penyerapan rumah bersubsidi langsung naik, tatkala Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 dibatalkan.

Pelaksanaan Hunian Berimbang tak bisa berjalan karena hambatan norma Pasal 34, 35, 36, 37 UU Nomor 1/2011 dan Permenpera itu sendiri. Simpulannya, hukum dan regulasi justru menghambat agenda merumahkan rakyat. Hal ini harusnya dikonsolidasikan dengan elegan, bukan justru menyebar ancaman kepada pengembang. Benarlah bahwa hukum menjadi alat penting bagi pembangunan, tetapi bisa tergelincir 'dark-enginerring of the law' versi Podgorecki & Olati, atau sinyalemen 'hukum dalam penyamaran kepentingan'.

Hak atas rumah tak patut dihambat-hambat oleh spekulasi, kebijakan bahkan norma UU sekalipun. Setakat melakoni uji materil (dan menang!) “ayat lantai rumah” versi Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK) selaku kuasa APERSI, alasan pokok Judicial Review demi keterjangkauan (affordability) rumah MBR. Alasan ini diamini dan diambilalih oleh sembilan hakim MK sebagai pendapatnya.

11 Kompas, berjudul “Target Rumah Rakyat Direvisi Lagi”, 6 Agustus 2012. 12 Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz mengancam akan memenjarakan

pengembang rumah mewah yang tidak menjalankan UU hunian berimbang. Djan mengaku sudah membentuk sebuah tim untuk mengaudit para pengembang. Jika ditemukan penyimpangan, maka Djan akan membawa kasus ini ke ranah hukum pidana. Lihat http://www.merdeka.com/uang/menpera-ancam-penjarakan-pengembang-rumah-yang-tak-taat-aturan.html.

8 | P a g e

Negara wajib membuat terobosan luar biasa mengatasi Darurat Perumahan. Ihtiar memenuhi rumah rakyat menjadi agenda Presiden menjalankan konstitusi. Kemenpera tak hanya selesai mengatasinya dengan FLPP, PSU, Rumah Khusus dan Rusunawa. Hendaknya menggiatkan lagi kebijakan dan program yang baik seperti halnya Subsidi Uang Muka dan Subsidi Selisih Bunga bagi MBR yang berlaku di era Menpera Muhammad Yusuf Asyari. Pengawalan konstitusi atas hak hunian tetap penting digiat-giatkan.

Langkah lain dengan menata lagi ketentuan Hunian Berimbang Pasal 34, 35, 35, 36 UU Nomor 1/2011 dalam kaitan dengan mengatasi backlog. Tak elok pula (dan harus dihentikan) jika Pemerintah melakukan intimidasi kriminalisasi pada pengembang.

Karena itu, tantangan merumakan rakyat mesti diatasi dengan membuat hukum yang normatif namun obyektif-logis (logic and norm), dapat dilaksanakan (workable), dan bukan penyamaran kepentingan dibalik regulasi. Hukum berkenaan perumahan rakyat harus dibenahi, UU Nomor 1/2011 harus direvisi di sana sini, untuk merumahkan rakyat sehingga menjadi manusia bermartabat.

Bukankah hukum dibuat untuk memuliakan manusia?

Jakarta. 15 Januari 2014

1

Holistic Rumah Rakyat :

Menyemai Marwah dan Kehormatan Manusia & Kemanusiaan

dalam bingkai NKRI *

Oleh DR. H. Khairul Alwan Ar – Riva’i Nasution, MM

Holistic Specialist & Advokat 1)

Rumah bukanlah kumpulan sekedar semen, pasir, bata, ubin, atap, dsb. Rumah

juga bukan sekedar memenuhi kebutuhan manusia yang paling mendasar seperti

yang dijelaskan Abraham Maslow. Rumah adalah totalitas kehidupan. Memisahkan

fungsi rumah dari kehidupan sama jahatnya dengan memisahkan rumah dari

heroisme perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa. Tak berlebihan, jika

kenikmatan & keindahan rumah dengan segala pernak – pernik konsekuensinya

selalu diilustrasikan dengan puncak kenikmatan dan keindahan yang tiada

bandingannya, yaitu syurganya Allah SWT. Sehingga tak berlebihan jika DNA rumah

dilukiskan sebagai “Baiti Jannati (Rumahku Syurgaku)”, demikian titah Hadits

Rasulullah Muhammad SAW.

Dalam perspektif peradaban, rumah adalah karya cipta manusia yang paling

tua. Bahkan yang sangat menarik untuk ditelaah, berbagai ragam arsitektur rumah

tidak bisa dilepaskan dari keyakinan, adat istiadat dan budaya pemilik rumahnya. Di

Aceh misalnya,2 Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan

ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu,

melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang

diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya

dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang

* Makalah disampaikan dalam rangka HUT ke-3 HUD Institute & HUT ke-2 HUDMagazine 1 Khairul Alwan Ar-Riva’i saat ini sebagai Sekretaris Majelis Pakar DPP Partai HANURA, dan Majelis Pakar DPP Asosiasi Dosen Indonesia. Di Bidang akademis, Alwan tercatat sebagai Dosen Manajemen Perilaku Perusahaan Islami pada Program PSTTI Paska Sarjana Universitas Indonesia dan Dosen Manajemen Umum Islam (Keuangan, Produksi, Marketing dan SDM) pada Program Doktor Ekonomi Islam Universitas Airlangga Surabaya. Usai menamatkan studi Doktor Management Science di Technological University of The Philippines Manila pada tahun 1999, tahun 2002 Alwan menciptakan Merek dan Metode Holistic dengan 9 Pilar Plus Infinity (~) yang telah terdaftar di Dirjen HAKI Depkumham RI dan hingga saat ini telah mencipta berbagai Modul Holistic seperti Holistic Negeri, Holistic Governance, Holistic BUMN/BUMD, Home i2i (Holistic Mazhab Ekonomi Islam Indonesia Internasional), Holistic Pendidikan (Paud s/d Universitas), Holistic ISO Syariah, dsb. Sebagai Ketua Majelis Pakar Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) & Law Firm DR. Alwan Nasution & Associates, Alwan ikut serta mengajukan Judicial Review Perpu Tentang MK dan Judicial Review UU Tentang Type 21 Perumahan Rakyat. 2 http://www.academia.edu/4906775/46503628-Sejarah-Rumah-Adat-Aceh

2

penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya

dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka

hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku

tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat

dari kayu, beratap daun rumbia,dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa

bertahan hingga 200 tahun

Yang substantif, membangun rumah berarti menemukan orientasi hidup pemiliknya. Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil. Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya,keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali Pertanyaan yang menggelitik, apakah sekarang ini, ketika para pengembang perumahan (developer) diberi kemudahan oleh negara untuk mengembangkan perumahan, orientasi hidup apa yang sedang mereka kembangkan ?. Apakah eksploitasi makna dan fungsi rumah sedang diarahkan kepada kehidupan materialisme semu. Apakah mereka lupa bahwa kehidupan ini hanya sementara dan penuh tipu daya.

Rumah & Syarat Berdirinya Satu Negara

Dari berbagai literature konstitusi, dijelaskan dengan tegas bahwa ada syarat untuk berdirinya suatu negara yang berdaulat. Ada 4 unsur yang minimal yang harus terpenuhi, yaitu :3

a. Rakyat. Dalam suatu negara mutlak harus ada rakyatnya. Rakyat yaitu sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu perasaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.Rakyat merupakan unsur yang utama berdirinya suatu negara, karena rakyatlah yang pertama memiliki kehendak untuk mendirikan negara, melindunginya serta mempertahankan kelangsungan berdirinya negara.

b. Wilayah Wilayah dalam suatu negara adalah tempat bagi rakyat untuk menjalani kehidupannya. Bagi pemerintah merupakan tempat untuk mengatur dan

3http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2160638-syarat-berdiri-suatu-negara/#ixzz2qQR21Uiu

3

menjalankan pemerintahan. Wilayah suatu negara terdiri dari wilayah darat, laut, udara dan dasar laut dan tanah dibawahnya.

c. Pemerintahan yang berdaulat. Pemerintahan dalam arti luas yaitu seluruh lembaga negara yang terdiri dari lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemerintahan dalam arti sempit yaitu kekuasaan eksekutif yang terdiri dari presiden, wakil presiden dan menteri-menteri. Pemerintah yang berdaulat yaitu pemerintah yang syah yang diberi wewenang oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan berdasarkan undang-undang.

d. Pengakuan dari negara lain. Suatu negara syah berdiri manakala ada pengakuan dari negara lain, baik secara de facto maupun secara de yure. Pengakuan secara nyata (de facto) memang telah berdiri, mendapat banyak dukungan dari negara internasional. Pengakuan secara de yure maknanya secara hukum international telah memenuhi syarat untuk berdiri sebuah negara. Misalnya Negara Republik Indonesia secara defacto telah berdiri sejak tanggal 17 Agustus 1945, sedangkan secara de yure berdiri sejak taggal 18 Agustus 1945.

Karena rakyat menjadi syarat pertama adanya suatu negara, maka dari sisi Tasyri’, ruh, DNA dan logika konstitusi dapat diuraikan disimpulkan bahwa sepanjang rakyat mengalami pelemahan dan ketidakberdayaan dalam kehidupannya, maka secara langsung itu akan berkorelasi langsung terhadap eksistensi dan kedaulatan suatu negara. Dari perspektif Holistic Rumah Rakyat, di antara bentuk pelemahan dan ketidakberdayaan rakyat adalah kesulitan rakyat untuk mendapatkan penghidupan yang layak termasuk mendapatkan tempat huni yang layak., membiarkan rakyat hidup dan tinggal di kolom jembatan, rumah – rumah kardus bahkan di gerbong – gerbong kereta api sama artinya bahwa kebijakan pembangunan rumah rakyat bukannya sedang membangun kedaulatan bangsa tetapi justru contra produktif. Yang paling menyedihkan di tengah derita kemiskinan yang sedang menimpa rakyat dalam aksentuasi Kemiskinan Struktural, bukan hanya rakyat yang mengalami penderitaan, tetapi pemerintahpun dibuat tak berdaya dan tak berkutik. Otoritas Pemerintah dikalahkan oleh kekuatan modal (kapitalis). Harga tanah melangit sehingga pemilikan rumah termasuk rumah rakyat diserahkan kepada mekanisme liberalisme pasar. Masihkah ada kedaulatan di negeri ini, ketika pemerintah yang seharusnya terdepan dalam menjalankan politik pembangunan perumahan rakyat, malah justru ikut-ikutan “berbisnis” dengan rakyatnya dan menjadi agen kapitalisme itu sendiri ?. Kalau itu terjadi, bukan saja rakyat yang lemah, tetapi pemerintahnyapun melemah dan tak berdaya. Itu sebabnya, kelemahan struktural ini mesti dihilangkan dengan keyakinan yang kuat. Bukankah Kalam Suci sudah mengabarkan, ”Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah. Adalah seperti laba-

4

laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Q.S. Al Ankabut [29]: 41).

Jakarta. 15 Januari 2014