Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

8
1 MASUKNYA HERMENEUTIKA DALAM PENAFSIRAN oleh : Asmaul Husna Azzah Nurin Taufiqatuzzahro` Siti Rohmatun Ni’mah I. Pendahuluan Islam adalah agama yang telah dipilih oleh Allah Subhānahu wa ta’ālā. Agama mempunyai landasan dalam hukum syariah. Dasar hukum yang pertama dalam Islam adalah Al Quran, kedua hadis, ketiga qiyas, dan yang keempat adalah i jma’ atau sepakat para ulama. Al Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam keadaan berangsur. Al Quran diturunkan dalam bentuk bahasa arab yang di dalamnya banyak sekali balaghah dan butuh dengan penjelasan atau penafsiran. Salah satu tugas Nabi Muhammad sebagai Rasul adalah untuk menjelaskan tentang isi dalam Al Quran. Setiap ucapan, perbuatan, dan ketetapan dari Nabi Muhammad itu adalah Hadis. Jadi, Hadis adalah suatu alat yang digunakan untuk menafsirkan Al Quran yang belum jelas. 1 Setelah Rasulullah wafat dasar untuk menafsirkan Al Quran adalah sahabat. Setelah zaman sahabat berakhir, dilanjutkan oleh tabiin lalu tabi’ tabiin dan seterusnya. Al Quran yang ditafsirkan berdasarkan dengan Hadis dan qaul shahabat dinamakan dengan penafsiran bi al ma’thur. Sedangkan yang dari tabiin dan pemikiran mufasir dinamakan dengan bi al ra’yi. Dengan berjalannya waktu yang dengan mudah mengganti hari menjadi bulan dan bulan menjadi tahun akhirnya ada kitab yang dibakukan dimana kitab tersebut membahas tentang tafsir Al Quran. Pada tahap awal penafsiran masih menggunakan sumber bi al ma’thur. Namun setelah berjalan waktu berubah menjadi bi al ra’yi dan ada juga campuran dari bi al ma’thur dan bi al ra’yi atau dinamakan dengan muqarrin. Kemudian kitab tentang tafsir Al Qur’an semakin banyak. Mufasir juga tak terhingga, baik dari kalangan ulama maupun orientalis. Dalam menafsirkan Al Quran antara ulama dan orientalis sangatlah berbeda. Sebagian dari orientalis ada yang menggunakan metode penafsiran yang mereka sebut dengan hermeneutika. 1 Musthafa al Bugho, Fikih al Manhaj, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2011), 17-18.

Transcript of Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

Page 1: Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

1

MASUKNYA HERMENEUTIKA DALAM PENAFSIRAN

oleh : Asmaul Husna

‘Azzah Nurin Taufiqatuzzahro` Siti Rohmatun Ni’mah

I. Pendahuluan

Islam adalah agama yang telah dipilih oleh Allah Subhānahu wa ta’ālā.

Agama mempunyai landasan dalam hukum syariah. Dasar hukum yang pertama

dalam Islam adalah Al Qur’an, kedua hadis, ketiga qiyas, dan yang keempat

adalah ijma’ atau sepakat para ulama.

Al Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

dalam keadaan berangsur. Al Qur’an diturunkan dalam bentuk bahasa arab yang

di dalamnya banyak sekali balaghah dan butuh dengan penjelasan atau penafsiran.

Salah satu tugas Nabi Muhammad sebagai Rasul adalah untuk menjelaskan

tentang isi dalam Al Qur’an. Setiap ucapan, perbuatan, dan ketetapan dari Nabi

Muhammad itu adalah Hadis. Jadi, Hadis adalah suatu alat yang digunakan untuk

menafsirkan Al Qur’an yang belum jelas.1

Setelah Rasulullah wafat dasar untuk menafsirkan Al Qur’an adalah sahabat.

Setelah zaman sahabat berakhir, dilanjutkan oleh tabiin lalu tabi’ tabiin dan

seterusnya. Al Qur’an yang ditafsirkan berdasarkan dengan Hadis dan qaul

shahabat dinamakan dengan penafsiran bi al ma’thur. Sedangkan yang dari tabiin

dan pemikiran mufasir dinamakan dengan bi al ra’yi.

Dengan berjalannya waktu yang dengan mudah mengganti hari menjadi bulan

dan bulan menjadi tahun akhirnya ada kitab yang dibakukan dimana kitab tersebut

membahas tentang tafsir Al Qur’an. Pada tahap awal penafsiran masih

menggunakan sumber bi al ma’thur. Namun setelah berjalan waktu berubah

menjadi bi al ra’yi dan ada juga campuran dari bi al ma’thur dan bi al ra’yi atau

dinamakan dengan muqarrin.

Kemudian kitab tentang tafsir Al Qur’an semakin banyak. Mufasir juga tak

terhingga, baik dari kalangan ulama maupun orientalis. Dalam menafsirkan Al

Qur’an antara ulama dan orientalis sangatlah berbeda. Sebagian dari orientalis ada

yang menggunakan metode penafsiran yang mereka sebut dengan hermeneutika.

1 Musthafa al Bugho, Fikih al Manhaj, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2011), 17-18.

Page 2: Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

2

Sebenarnya hermeneutika dulu digunakan untuk mengkaji Bibel. Namun setelah

itu hermeneutika digunakan untuk mengkaji beberapa karya umum, termasuk

untuk menafsirkan Al Qur’an. Hal tersebutlah yang menjadikan pertanyaan besar

apa sebenarnya hermeneutika itu, dan apa pula perbedaan hermeneutika dengan

tafsir, serta dimana titik temu antara keduanya. Maka, dalam makalah ini penulis

akan membahas persoalan tersebut guna memberikan wawasan mengenai

pengertian hermeneutika, perbedaannya dengan tafsir, serta titik temu antara

keduanya.

II. Masuknya Hermeneutika dalam Penafsiran

A. Pengertian Hermeneutika

Hermeneutika secara harfiah adalah tafsir. Namun ketika dilihat dari istilah

Yunani, hermeneutika berasal dari kata hermeneuin yang artinya menafsirkan.

Kata hermeneutika berasal dari hermes, dimana dalam metodologi Yunani hermes

dikenal sebagai Dewa yang bertugas untuk menyampaikan pesan dari dewa

kepada manusia2. Dari tradisi ini hermeneutika berkembang sebagai metodologi

penafsiran Bibel dan berlanjut digunakan untuk menafsirkan ilmu umum, baik

dalam segi sosial, ilmu hukum, dan ilmu filsafat, begitu juga Al Qur’an.

Ada tiga pendapat mengenai hermeneutika, yakni :

1. Hermeneutika khusus (Regional Hermeneutics), yaitu hermeneutika

merupakan cabang disiplin ilmu. Setiap ilmu mempunyai hermeneutik

masing-masing.

2. Hermeneutika umum (General Hermeneutics), yaitu hermeneutika tidak

terkait dengan cabang cabang ilmu tertentu. Hermeneutika digunakan untuk

memahami semua cabang ilmu. Pelopor dari hermeneutika ini adalah

Freidrich Schleirmacher.

3. Hermeneutika filsafat (Hermeneutical Philoshophy), yaitu hermeneutika

yang objeknya bukan teks yang dipahami, tetapi pemahaman itu yang

ditempuh dengan perenungan filsafat atau filosofis. Pemahaman ini tidak

mengenal kebenaran melalui metode ilmiah.

Ada cara dalam memahami hermeneutika, yakni dengan cara subjektif dan

objektif. Pertama hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik,

2 Adian Husaini, Hermeneutika & Tafsir al Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), 7.

Page 3: Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

3

khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911)

dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti

memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang

disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya,

sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau

tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan

bersifat intruktif.

Untuk mencapai cara tersebut Schleiermacher mempunyai dua cara yakni

setiap teks mempunyai dua sisi, sisi linguistik yang merujuk pada bahasa yang

memungkinkan proses memahami menjadi mungkin. Sisi yang kedua adalah

psikologis yang merujuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan

pada style bahasa yang digunakan.

Kedua hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern

khususnya Hans George Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930).

Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif

yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan oleh model hermeneutika

objektif melainkan memahami apa yang tertera pada teks itu sendiri. Stressing

mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis.

Inilah perbedaan yang mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.

Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat

diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu teks dipublikasikan dan dilepas, ia

telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena

itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan

berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Bahkan ketika penulis

sudah mati dalam pandangan kelompok ini. karena itu pula pemahaman atas

tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam hermeneutika objektif, tidak

diperlukan lagi.

Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya

sendiri untuk kemudian masuk dalam tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan

teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi

Page 4: Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

4

sendiri berarti mematikan pikiran dan kreativitas. Sebaliknya, justru seseorang

harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini, apa yang dilihat,

dan apa yang diperoleh kemudian3.

B. Perbedaan antara Tafsir dan Hermeneutika

Berpijak pada penulisan entri hermeneutika dalam Oxsford English

Dictionary, melegitimasi pijakan kuat bahwa hermeneutika muncul di Barat

berhubungan secara mendasar dengan masalah pemahaman kitab suci umat

Kristiani. Kritik internal seorang pemuka Kristen Katholik, Martin Luther (1483-

1546) membukakan keran bagi hermeneutika untuk mengalirkan airnya bukan

hanya ke ranah teologi, tetapi juga ke semua ilmu humaniora. Ia menyerukan

untuk membaca Bibel secara bebas.

Ada tiga hal yang menjadi masalah masyarakat Kristen sejak lama, yaitu:

1. Penetapan injil-injil yang dinukil secara verbal kepada mereka ke dalam

bentuk korpus tertulis.

2. Terbentuknya sekumpulan syariat langit dan pada waktu yang sama

menjelaskan hubungan antara Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru

(PB).

3. Membentuk doktrin-doktrin primer dengan bantuan pemahaman-

pemahaman filsafat Yunani kuno.

Semua ragam ini memiliki karakteristik hermeneutik, seperti ceramah

misionaris dan pengajaran Kristen serta pengungkapan-pengungkapan lain yang

hidup dari teologi gereja.

Sedangkan tafsir berasal dari kata fa sa ra. Secara etimologis tafsir dapat

diartikan sebagai keterangan atau penjelasan yang menerangkan maksud dari

suatu lafal. Pengertian ini diambil dari firman Allah:

ريا ) ئ ناك بمالق م وأحسن ت فسم ثل إملا جم 4(33ول يأتونك بم

3 Erik Sabti Rahmawati, “Perbandingan Hermeneutika dan Tafsir”, (Tesis di UGM Yogyaakarta,

2003), 177. 4 Al Qur’an, 25:33.

Page 5: Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

5

“dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu

(membawa) sesuatu yang aneh, melainkan kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik”. (Al Furqaan : 33)

Kalimat ريا yang ada diakhir ayat tersebut bermakna “pasti kami وأحسن ت فسم

datangkan kepadamu suatu kebenaran dengan lafal (kata-kata) yang lebih baik dan

lebih jelas daripada yang mereka datangkan kepadamu”5.

Hermeneutika sangat berbeda dengan tafsir. Dalam menafsirkan Al Qur’an,

hermeneutika mengikuti konteks bukan mengikuti Al Qur’an. Hermeneutika

adalah metode yang menghasilkan tafsir kontekstual. Adapun tafsir kontekstual

itu sendiri adalah tafsir yang mengikuti zaman atau bisa disebut juga dengan tafsir

modern. Suatu contoh yang dilakukan oleh Musdah menguraikan metode

kontekstualisasi untuk surat al Mumtahanah ayat :10.

أعلم هللا فامتحنوهن مهاجرات املؤمنات جاءكم إذا آمنوا الذين أيها يا هلم حل هن ل الكفار إىل ترجعوهن فال مؤمنات علمتموهن فإن بإمياهنن

إذا تنكحوهن أن عليكم جناح ول أنفقوا ما وآتوهم هلن حيلون هم ول ما وليسألوا أنفقتم ما واسألوا الكوافر بعصم متسكوا ول أجورهن آتيتموهن

6حكيم عليم وهللا بينكم حيكم هللا حكم ذلكم أنفقوا“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu

perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-

benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi

orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila

kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan

kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Ayat diatas menerangkan tentang keharaman pernikahan bagi beda agama.

Musdah menyatakan dalam metodenya, yaitu:

5 Adian Husaini, Hermeneutika & Tafsir al Qur’an, 45. 6 Al Qur’an, 60:10.

Page 6: Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

6

“jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan ini

sangat wajar karena mengingat kaum kafir quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. waktu itu konteksnya adalah peperangan

antara kaum mukmin dan kaum kafir. larangan ini ada karena untuk membedakan mana yang kafir dan mna yan mukmin. jika peperangan itu tidak ada maka hkum tersebut bisa dihapus”

Dari contoh di atas dapat dilihat bagaimana metodologi kontekstual historis

yang digunakan sangat sembarangan dan menjadikan satu hukum menjadi tidak

relatif dan berubah mengikuti kemauan dari penafsir. Hal ini ada karena tidak ada

standar dan metodologi yang baku.

C. Titik Masuknya Hermeneutika dalam Penafsiran Al Qur’an

Hermeneutika merupakan tradisi Yunani yang berkembang sebagai metode

penafsiran Bibel, dan kemudian digunakan untuk menafsirkan naskah umum baik

ilmu-ilmu sosial dan humaniora7. Sebenarnya hermeneutika adalah suatu metode

kajian yang digunakan untuk menemukan kebenaran dalam Bibel. Sebagian orang

ada yang menyatakan bahwa hermeneutika sama dengan tafsir dan ada juga yang

mengatakan bahwa hermeneutika adalah salah satu metode dalam penafsiran

hinga cocok digunakan untuk menafsirkan Al Qur’an.

Hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan salah satu metode tafsir atau

satu filsafat tentang penafsiran. Hermeneutika tidak cocok untuk menafsirkan Al

Qur’an karena hermeneutika adalah suatu penafsiran yang digunakan untuk

menafsirkan Bibel. Perlu diketahui bahwa Bibel dan Al Qur’an itu berbeda. Bibel

bukanlah kitab yang otentik, seperti layaknya Al Qur’an.

Metode hermeneutika diambil untuk melengkapi metode tafsir klasik Al

Qur’an yang selama ratusan tahun telah dikenal dan diterapkan para ulama dalam

menafsirkan Al Qur’an. Metode hermeneutika sebenarnya adalah metode yang

digunakan untuk menafsirkan Al Qur’an berdasarkan keadaan alam. Tokoh yang

menyatakan hal ini adalah Sumaryono seorang katolik, M. Amin Abdullah, dan

Nasr Hamid Abdullah. M. Amin Abdullah menyatakan bahwa hermneutika adalah

kebenaran yang harus disampaikan kepada umat Islam.

7 Humaniora adalah ilmu pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra, seni

dan sebagainya.

Page 7: Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

7

III. Kesimpulan

Dari pemaparan tersebut kami dapat menyimpulkan bahwa Hermeneutika dulu

merupakan tradisi Yunani yang berkembang sebagai metode penafsiran Bibelyang

digunakan untuk mencari kebenaran dari Bibel itu sendiri, dan kemudian

digunakan untuk menafsirkan naskah umum baik ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Kemudian dengan berkembangnya zaman akhirnya hermeneutika digunakan

untuk menafsirkan Al Qur’an.

Untuk memahami heremeneutika ada dua metode yang digunakan. Dengan

menggunakan metode subjektif yang mana metode tersebut diprakarsai oleh salah

satu tokoh yakni Hans George Gadamer, hermeneutika bukan usaha menemukan

makna objektif yang dimaksud si penulis seperti seperti yang diasumsikan model

hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera pada teks itu sendiri.

Sedangkan metode objektif Friedrick Schleiermacher penafsiran berarti

memahami teks, atau ungkapan jiwa pengarangnya.

Hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan salah satu metode tafsir atau

satu filsafat tentang penafsiran. Hermeneutika tidak cocok untuk menafsirkan Al

Qur’an karena hermeneutika adalah suatu penafsiran yang digunakan untuk

menafsirkan Bibel. Perlu diketahui bahwa Bibel dan Al Qur’an itu berbeda. Bibel

bukanlah kitab yang otentik, seperti layaknya Al Qur’an.

Page 8: Masuknya hermeneutika dalam penafsiran

8

Daftar Pustaka

Husaini, Adian. Hermeneutika & Tafsir al Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2007.

Rahmawati, Erik Sabti. “Perbandingan Hermeneutika dan Tafsir”. Tesis di

UGM Yogyaakarta, 2003.

Bugho (al), Musthafa. Fikih al Manhaj. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2011.