Mastitis Sek Resi
Click here to load reader
-
Upload
gustiayusinta -
Category
Documents
-
view
57 -
download
4
Transcript of Mastitis Sek Resi
PENGARUH INFEKSI Staphyloccus aureus TERHADAP SEKRESI SUSU PADA MENCIT YANG DIAMATI SECARA HISTOPATOLOGI
(The Influence of Staphylococcus aureus Infections on The Milk Secretion of Mice Observed on The Histopathological Lesions)
Sayu Putu Yuni Paryati, Bambang Pontjo Priosoeryanto danI Wayan Teguh Wibawan
ABSTRAKInfeksi Staphylococcus aureus pada mencit dipelajari secara histopatologi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sekresi susu. Sebanyak 42 ekor mencit laktasi diinfeksi dengan S. aureus. Masing-masing ambing ditetesi 50 l suspensi yang mengandung109 sel / ml melalui lubang puting (orificium externa). Tiga ekor mencit sebagai kontrol negatif (tidak diinfeksi). Mencit yang diinfeksi dengan S. aureus dibagi menjadi 14 kelompok sesuai tahapan waktu, yaitu : 2, 4, 6, 8, 12, 16, 20, 20, 24, 36, 48, 60, 72, 84 dan 96 jam pasca infeksi (p.i.). Mencit dieuthanasi sesuai perlakuan, jaringan ambing diambil untuk pembuatan preparat histopatologi. Pengamatan secara histopatologi dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pengamatan secara histopatologi menunjukkan, bahwa infeksi bakteri S. aureus pada mencit menyebabkan adanya penurunan jumlah alveol yang aktif (P<0,05) pada kelompok mencit 60 sampai 96 jam p.i. yang diikuti dengan menurunnya sekresi susu dan globula lemak dalam susu. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan terjadinya penurunan produksi susu pada sapi perah penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus.
ABSTRACT
Pathogenesis of subclinical mastitis in dairy cattle caused by Staphylococcus aureus was studied using mice as an animal model. The aim of the present study is to elaborate the change of the mammary tissue due to S. aureus infection based on histopathological lesion. Forty-two lactating mice were infected by 109 cells/ml S. aureus through orificium externa of the mammary glands, and 3 mice as control. Mice were divided into 14 groups based on the time of infection, i.e : 2, 4, 6, 8, 12, 16, 20, 24, 36, 48, 60, 72, 84 and 96 hour post infection (p.i.). Histopathological analysis was done on the mouse mammary tissue using the Hematoxyline-eosin stainings. Staining by Hematoxyline-eosin showed that milk production was decreased on 60 to 96 hour p.i. Result of this study also indicated that mouse could be use as an animal model for the study of pathogenesis of subclinical mastitis in dairy cattle.
PENDAHULUAN
Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar
susu. Penyakit ini umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia
(Duval 1997). Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena
1
adanya penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian
akibat mastitis. (Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin 2000). Tingkat keparahan dan
intensitas mastitis sangat dipengaruhi oleh organisme penyebabnya (Duval
1997). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis
subklinis (Wibawan et al. 1995). Pada mastitis subklinis tidak disertai adanya
gejala klinis yang jelas, namun terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya
mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993).
Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan melakukan penghitungan
jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991), tapi jumlah sel somatik
pada susu dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur sapi (Duirs and
Macmillan 1979).
Tiga jenis bakteri penyebab mastitis subklinis yang paling sering terisolasi
adalah Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus dan Eschericia coli.
Dengan terapi antibiotika, S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit
ambing, namun akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam dan ini
menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet
dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh
gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan
pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan
yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya
bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab
mastitis subklinis (Bramley 1991).
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya
peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu,
reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat, deskuamasi dan regresi epitel
(Ressang 1984; Duval 1997). Pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S.
agalactiae patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri pada
permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu
menyebabkan degenerasi dan nekrosa yang diikuti terjadinya involusi kelenjar
susu. Selanjutnya terjadi pembentukan jaringan ikat dan sebagian jaringan ikat
digantikan oleh jaringan lemak (Estuningsih 2001).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
2
Dalam penelitian ini digunakan mencit strain ddY yang sedang laktasi (5
hari post partum) sebagai hewan model. Mencit diperoleh dari PT. Bio Farma
(Persero) Bandung. Infeksi pada mencit menggunakan isolat bakteri S. aureus
lapangan yang diperoleh dari kasus mastitis subklinis pada sapi perah (Abrar
2000).
Media dan bahan lain yang digunakan adalah : media untuk kultur bakteri
Todd Hewitt Broth (THB), bahan untuk pembuatan preparat histopatologi, yaitu
Normal Buffer Formalin (BNF), xylol, alkohol bertingkat dimulai dari 70% sampai
absolut, parafin dan perekat dan Hematoxylin-eosin.
Metode Penelitian
Sebanyak 42 ekor mencit diinfeksi dengan isolat S. aureus dan 3 ekor
mencit tidak diinfeksi sebagai kontrol negatif. Infeksi dilakukan dengan cara
meneteskan 50 l suspensi bakteri yang diperkirakan mengandung 109 bakteri/ml
suspensi. Penetesan dilakukan secara bertahap setetes demi setetes (satu tetes
sebanyak 5 l), tepat di atas lubang puting (orificium externa) ambing
menggunakan pipet mikro (Biorad). Selanjutnya dilakukan euthanasi dan
pengamatan jaringan secara makroskopis. Pengambilan jaringan ambing
dilakukan dalam 14 tahap waktu, yaitu 2 ,4 ,6, 8, 12, 16, 20, 24, 36, 48, 60, 72,
84 dan 96 jam pasca infeksi, masing-masing sebanyak 3 ekor untuk dibuat
preparat histopatologi melalui tahapan fiksasi menggunakan buffer normal
formalin (BNF) 10%, dipotong tipis dan dilakukan proses dehydrasi dalam alkohol
bertingkat (80%, 90%, 95%) serta clearing menggunakan xylol. Tahap berikutnya
dilakukan embedding dengan parafin yang memiliki titik leleh 58o C (Richert Jung,
Germany) dan dicetak dalam cetakan khusus. Jaringan dipotong dengan
ketebalan 5 m menggunakan mikrotom, kemudian diletakkan pada permukaan
air agar terapung. Jaringan diambil dengan gelas objek dan dibiarkan menempel
selama semalam atau dipanaskan pada suhu kurang lebih 60 oC dan siap
digunakan untuk berbagai teknik pewarnaan. Pengamatan pada jaringan
dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE).
Parameter
Pengamatan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada kelenjar
susu mencit dilakukan secara histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin-
Eosin. Perubahan yang diamati dan dibandingkan adalah : struktur jaringan
3
kelenjar susu’ sekresi susu yang tampak dalam lumen alveol dan lumen duktus
dan globula lemak dalam susu.
Metode Skoring Perubahan Jaringan
Skoring untuk perubahan pada struktur jaringan kelenjar susu, sekresi
susu yang tampak dalam lumen alveol dan lumen duktus dan globula lemak
dalam susu menggunakan perbandingan antara bagian yang terkena dan luas
keseluruhan sediaan jaringan yang dinyatakan dalam persentasi, sebagai berikut
: 0, tanpa perubahan berarti ; +1, bila terdapat perubahan sebesar 25% dari luas
sediaan jaringan; +2, bila terdapat perubahan sebesar 50% dari luas sediaan
jaringan; +3, bila terdapat perubahan sebesar 75% dari luas sediaan jaringan
dan +4, bila terdapat perubahan melebihi 75% dari luas sediaan jaringan
(Estuningsih 2001).
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan membandingkan perubahan jaringan
kelenjar ambing yang diinfeksi dengan S. aureus berdasarkan skoring yang
diperoleh pada tiap-tiap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, kemudian
dilakukan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie 1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Histologi Kelenjar Ambing Mencit Normal
Kelenjar ambing mencit normal (kontrol) memperlihatkan gambaran
sesuai dengan susunan histologis kelenjar ambing sapi normal (Hurley 2000).
Struktur kelenjar ambing mencit normal tersusun dari jaringan sekretori
berbentuk kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen
alveol. Lumen alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Dalam keadaan aktif,
sel epitel ini sangat pipih dan lumen penuh terisi susu (Gambar 1). Penglepasan
sekret (susu) disertai dengan penglepasan bagian apikal sel alveol, sehingga sel
epitel tampak kasar. Singh (1991) menjelaskan, bahwa protein yang terdapat
dalam sitoplasma sebagai unsur yang membentuk bagian sekret dilepaskan dari
sel melalui eksositosis.
4
Gambar 1. Struktur kelenjar ambing mencit normal. Struktur terdiri dari susunan kelenjar tubulo-alveol berisi sekresi susu.(HE 86 X)
Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan interstitium (stroma)
di antara alveol-alveol. Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur
lobulus yang dibatasi oleh jaringan ikat. Interstitium juga mengandung jaringan
ikat longgar dan terdapat sel-sel lemak di antara kelenjar ambing. Sel lemak
akan meluas membentuk jaringan lemak (fat pad) pada keadaan kelenjar tidak
aktif untuk menggantikan tempat kelenjar yang tidak berproduksi lagi.
Susu disalurkan dari alveol sampai ke glandula sisterna dalam suatu
sistem duktus yang disebut ductus lactiferus yang mempunyai susunan selapis
sel epitel yang lebih kompak dilengkapi dengan jaringan ikat berupa membrana
basalis yang lebih tebal. Dari ductus lactiferus, susu dialirkan menuju kisterna
atau duktus yang lebih besar sebagai saluran pengumpul. Dengan pewarnaan
HE, inti sel tampak berwarna biru tua sedangkan sitoplasma berwarna merah
keunguan. Sel-sel epitel tubulus mengambil warna lebih kuat dibandingkan
dengan sel epitel alveol kelenjar ambing sedangkan sekresi susu tampak
berwarna merah muda keunguan dengan globula lemak berupa ruang-ruang
kosong berwarna putih di dalam lumen alveol.
Perubahan Makroskopis Kelenjar Ambing Mencit yang Diinfeksi S. aureus
Pengamatan makroskopis terhadap kelenjar ambing mencit yang diinfeksi
oleh S. aureus menunjukkan tidak ada perbedaan dibandingkan dengan kelenjar
ambing mencit normal (kontrol). Puting tampak normal, tidak menampakkan
adanya pembengkakan, eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada
5
seluruh kelompok perlakuan. Puting pada semua mencit berwarna putih,
tersembunyi di antara rambut abdomen. Keadaan ini tidak berbeda dengan yang
terjadi pada ambing sapi penderita mastitis subklinis, yaitu tidak terlihat gejala
peradangan.
Ketika kulit bagian ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada
bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mencit yang diinfeksi S.
aureus. Hal ini terlihat pada kelompok mencit 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca
infeksi. Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada
kelompok mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya
perubahan ini. Hiperemi pada pembuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing
tampak pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 36 jam pasca infeksi. Juga
disertai adanya sedikit eksudat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada
kelenjar ambing sedang terjadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam
pasca infeksi, keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah
dipisahkan dari kelenjar ambing.
Perubahan Histopatologis Kelenjar Ambing Mencit Laktasi Setelah Diinfeksi oleh S. aureus.
Hasil uji statistik terhadap pengamatan histopatologi menggunakan
pewarnaan Hematoksilin-eosin pada Tabel 1 memperlihatkan struktur kelenjar
susu mencit kontrol berbeda tidak nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan
kelompok perlakuan, namun kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.)
memperlihatkan struktur kelenjar yang berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan
dengan kelompok 72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda
nyata (P<0,05) dengan kelompok 72 dan 96 jam p.i.
Perbedaan tampak pada jumlah alveol yang mensekresi susu. Penurunan
jumlah alveol yang aktif terjadi pada kelompok mencit 60 sampai 96 jam p.i. bila
dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya pengaruh infeksi oleh S.
aureus akibat terjadinya degenerasi dan nekrosa. Perbedaan sekresi susu juga
tampak nyata (P<0,05) pada kelompok mencit 6 dan 20 jam p.i. dibandingkan
dengan kelompok 60, 72 dan 96 jam p.i. Isi lumen alveol dan keutuhan epitel
menunjukkan kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun
demikian, keberadaan susu di dalam lumen alveol dapat pula dipandang sebagai
keadaan retensi susu jika disertai dengan terjadinya degenerasi epitel alveol dan
tubular. Hambatan pengaliran susu dapat terjadi jika terdapat kebengkakan atau
6
hambatan akibat banyaknya reruntuhan sel pada sistem duktus penyalur.
Stagnasi sekresi susu tampak pada tubulus ductus lactiverus 4 dan 6 jam setelah
diinfeksi S. aureus.
Tabel 1. Arsitektur, kemampuan sekresi dan reaksi inflamasi pada kelenjar susu mencit setelah diinfeksi Staphylococcus aureus (Hematoksilin – Eosin).
No Lama infeksiRataan skor perubahan yang terjadi dan hasil uji statistik
(P<0,05) (jam) Struktur kelenjar Sekresi susu Globula lemak
1 Kontrol 2,33a 2,67a 2,33a
2 2 4,00ab 1,00abc 2,33a
3 4 4,00ab 1,67abc 1,67a
4 6 3,67ab 2,00ac 2,67ab
5 8 3,33abc 0,67abc 2,67ab
6 12 3,00abc 1,00abc 2,33abc
7 16 2,67abc 1,67abc 2,33abc
8 20 1,67abc 2,33ac 2,33abc
9 24 3,33abc 1,00abc 1,33abc
10 36 2,33abc 1,33abc 1,33abc
11 48 2,33abc 0,67abc 0,67abc
12 60 2,00abc 0,00b 0,33abc
13 72 1,00ac 0,00b 0,00ac
14 84 1,33ac 0,33bc 0,67abc
15 96 1,00ac 0,00b 0,00ac
Keterangan : Huruf yang berbeda ke arah kolom pada masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,005).
Pengamatan terhadap globula lemak tidak menunjukkan perubahan pada
semua perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun terdapat
perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok 6 dan 8 jam p.i. jika
dibandingkan dengan kelompok 72 dan 96 jam p.i. Hal ini sejalan dengan
berkurangnya sekresi susu yang nyata (P<0,05) pada kelompok 60 sampai 96
jam p.i. jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perbedaan sekresi susu
juga tampak nyata (P<0,05) pada kelompok 6 dan 20 jam p.i. dibandingkan
dengan kelompok mencit 60, 72 dan 96 jam p.i. Penurunan sekresi susu terjadi
karena berkurangnya jumlah kelenjar yang aktif dan terjadi atrofi kelenjar alveol
(Gambar 2).
7
Gambar 2 : Penurunan jumlah kelenjar yang aktif dan atrofi alveol menyebabkan penurunan
sekresi susu pada mencit 60 jam setelah diinfeksi S. aureus. Tanda panah
menunjukkan atrofi kelenjar. (HE 350 X).
Tampak adanya degenerasi dan nekrosis sel-sel epitel yang diikuti
dengan mengecilnya lumen alveol dan bahkan menghilang, menyebabkan
terhentinya produksi susu. Sel-sel radang berupa Polimorfonuklear Netrofil
(PMN), makrofag dan limfosit menginfiltrasi fokus peradangan. Sebagian kelenjar
ambing juga mengalami hiperplasia sel epitel.
Secara umum dapat dilihat bahwa perubahan pada jaringan kelenjar susu
yang diinfeksi oleh S. aureus terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan
perubahan jaringan yang diinfeksi oleh S. agalactiae pada penelitian Estuningsih
(2001). Hal ini mungkin terjadi karena faktor-faktor virulensi yang dimiliki oleh S.
aureus, misalnya keberadaan protein A dan kapsul polisakarida yang dapat
menghambat terjadinya proses fagositosis, enzim hyaluronidase yang
mempermudah bakteri menginvasi jaringan, adesin fibronectin memudahkan
perlekatan bakteri pada sel inang (Nelson et al. 1991) dan adanya coagulase dan
clumping factor membantu bakteri untuk menghindar dari respon imun inang
serta toksin yang dihasilkan S. aureus dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan
pada jaringan kelenjar ambing.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Infeksi bakteri S. aureus pada mencit tidak menyebabkan adanya
perubahan jaringan secara makroskopis.
8
2. Perubahan pada struktur kelenjar susu mencit yang diinfeksi S. aureus
tidak berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol, namun terjadi
penurunan jumlah alveol yang aktif dan penurunan sekresi susu (P<0,05)
pada kelompok mencit 60 sampai 96 jam p.i. yang diikuti dengan
menurunnya globula lemak dalam susu.
3. Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan
menurunnya produksi susu sapi perah penderita mastitis subklinis yang
disebabkan oleh S. aureus.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Lia Siti Halimah, M.Si. di
PT. Bio Farma Bandung atas segala bimbingan, bantuan fasilitas dan
penyediaan hewan percobaan dan juga kepada Dr. Mahdi Abrar di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syah Kuala, atas penyediaan isolat bakteri S.
aureus yang digunakan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar M. 2001. Isolasi, karakterisasi dan aktivitas biologi hemaglutinin Staphylococcus aureus dalam proses adhesi pada permukaan sel epitel ambing sapi perah. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB.
Arpin C, Lagrange I, Gachie JP, Bebear C, Quentin C. 1996. Epidemiologycal study of an outbreak of infection with Staphylococcus aureus resistant to lincosamides and streptogramin A in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.
Bramley AJ. 1991. Mastitis : Physiology or Pathology? Flem.Vet.J. (62) : Suppl. 1, 3-11.
Djanatun T. 2001. Metode sederhana dan praktis pengujian keberadaan protein A Staphylococcus aureus isolat asal manusia dan sapi perah serta aplikasinya dalam pembuatan perangkat diagnostika. Disertasi Doktor Program Pascasarjana. IPB.
Duirs GF, Macmillan KL. 1979. Interrelationships between somatic cell counts, production, age and mastitis organisms in individual cows. Proceedings of the New Zealand Society of Animal Production. 39:175-179.
Duval J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. [15-12-2000].
Estuningsih S. 1998. Isolasi dan karakterisasi reseptor hemaglutinin Streptococcus agalactiae pada permukaan sel epitel ambing sapi perah sebagai
9
landasan pencegahan mastitis. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana – IPB.
Estuningsih S. 2001. Patogenesis mastitis subklinis pada sapi perah : Pendekatan histopatologis mastitis subklinis akibat infeksi Streptococcus agalactiae hemaglutinin positif pada mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB.
Godkin A. 1998. Staphylococcus aureus Mastitis : A contagious bacterial infection of the udder. Health Management, OMAFRA (519):846-965. [email protected]. [22-10-1998].
Hoblet KH, Eastridge ML. 1992. Control of contagious mastitis. Dairy Guide Leaflet. Ohio.
Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A.. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].
Hurley WL. 2000. Mammary tissue organization. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [17-11-2001].
Jonsson P, Wadström T. 1993. Staphylococcus in : Pathogenesis of bacterial infections in animals. Second edition. Edited by Carlton LG. and Charles O.T. Iowa State University Press. Ames : 21 – 35.
Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent progess in : Treatment and control of mastitis in cattle. JAVMA 204:1152-1158.
Purnami NL. 1999. Perbandingan kemampuan adhesi Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus yang memiliki antigen permukaan hemaglutinin pada permukaan biakan sel epitel ambing sapi. Skripsi. FKH-IPB Bogor.
Nelson W, Nickerson S. 1991. Mastitis counter attack. Babson Bros.
Nelson L, Flock JI, Hk M, Lindberg M, Mller HP, Wadstrm T. 1991. Adhesins in Staphylococcal mastitis as vaccine component. Flem. Vet. J. Suppl. 1:111-125.
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. NV. Percetakan Bali. pp. 153-163.
Sandholm M, Ali-Vehmas T, Nyholm K, Honkanen-Buzalski T, Louhi M. 1991. Failure mechanisms lactional therapy of Staphylococcal Mastitis. Flem. Vet. J. 62, Suppl. (1) : 171-186.
Shibahara T, Nakamura K. 1998. Pathology of acute necrotizing mastitis caused by Staphylococcus aureus in a dairy cow. http://ss.jircas.affrc.go.jp/engpage/jarq/33-2/Shibahara/shibahara.htm.
Singh I. 1991. Teks dan atlas histologi manusia. Alih bahasa : Jan Tambayong. Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta. 300-301.
10
Steel RGD, Torrie JH. 1984. Prinsip dan prosedur statistika : Suatu pendekatan biometrik. Edisi ke 2. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sudarwanto M. 1993. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Makalah dalam Kursus Kesehatan Ambing dan Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak dipublikasikan).
Todar K. 1998. Bacteriology 330 Lecture Topics : Staphylococcus. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph. [2-4-2001].
Wahyuni AETH. 1998. Peran hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam proses adhesi pada sel epitel sapi perah. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana – IPB.
Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto H, Estuningsih S. 1995. Ciri biovar Streptococcus agalactiae sebagai petunjuk infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi IV Tahap-1.
Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998. Heterogeneous location of the mupA high-level mupirocin sesistance gene in Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835.
11