maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

18
MASLAHAH DAN PENERAPANNYA DALAM KEUANGAN SYARIAH Salah satu metode yang di kembangkan ulama ushul fiqih dalam mengembangkan istimbat hukum dari nash adalah maslahah al-mursalah , yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’I (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini di dukung oleh sejumlah nash melalui istiqra’ (induksi dari sejumlah nash). Sebagaimana di kemukakan dalam bab qiyas, bahwa sesuatu yang bisa di jadikan ‘illat hukum adalah bahwa sifat yang di jadikan ‘illat itu mesti sesuai (mula’im) dengan hukum dan tujuan- tujuan yang di kehendaki syara’. Sifat yang mula’im itu ada yang berbentuk mu’tabar (ditunjuk langsung oleh nash), ada yang mulghi (ditolak oleh nash), da nada yang mursal (yang tidak di dukung dan di tolak oleh nash juz’I, tetapi di dukung secara umum oleh sejumlah nash). 1 A. Pengertian Maslahah Kata maslahah berasal dari kata bahasa arab َ حَ لَ صُ حُ لْ صَ يmenjadi اً حْ لُ صatau ً ةَ حَ لْ صَ مyang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Maslahah (Kesejahteraan Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama Ushul yaitu, maslahah di mana syari’ tidak menyaratkan hukum untuk mewujubkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya. 1 Nasrun Haroen, ushul fiqih, ciputat : PT Logos Wacana Imu , 1997 hal. 113

Transcript of maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

Page 1: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

MASLAHAH DAN PENERAPANNYA DALAM KEUANGAN SYARIAH

Salah satu metode yang di kembangkan ulama ushul fiqih dalam mengembangkan

istimbat hukum dari nash adalah maslahah al-mursalah , yaitu suatu kemaslahatan yang

tidak ada nash juz’I (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya

dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini di dukung oleh

sejumlah nash melalui istiqra’ (induksi dari sejumlah nash). Sebagaimana di kemukakan

dalam bab qiyas, bahwa sesuatu yang bisa di jadikan ‘illat hukum adalah bahwa sifat

yang di jadikan ‘illat itu mesti sesuai (mula’im) dengan hukum dan tujuan-tujuan yang di

kehendaki syara’. Sifat yang mula’im itu ada yang berbentuk mu’tabar (ditunjuk

langsung oleh nash), ada yang mulghi (ditolak oleh nash), da nada yang mursal (yang

tidak di dukung dan di tolak oleh nash juz’I, tetapi di dukung secara umum oleh

sejumlah nash).1

A. Pengertian Maslahah

Kata maslahah berasal dari kata bahasa arab    �ح� �ح� – ص�ل �ص�ل ي menjadi  ا �ح atau  ص�ل

ة �ح� .yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan    م�ص�ل Maslahah (Kesejahteraan

Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama Ushul yaitu,

maslahah di mana syari’ tidak menyaratkan hukum untuk mewujubkan maslahah itu,

juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.

Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun

makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.

Apabila di katakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu

suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu

penyebab di perolehnya manfaat lahir dan batin.2

Secara terminology,, terdapat beberapa definisi maslahah yang di kemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali3, mengemukakan bahwa prinsifnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Mazhab Maliki

1 Nasrun Haroen, ushul fiqih, ciputat : PT Logos Wacana Imu , 1997 hal. 1132 Husain Hamid Hasan, Nazhariyyah al-mashlahah fi al-fiqh al-islami,kairo : Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1971, hal 310-4143 Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfha fi ‘ilm al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub al-‘illmiyyah, jilid I, 1983, hal 286

Page 2: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

yang menjadikan Maslahatul Mursalah sebagai sumber fikih dengan dua alasan. Pertama bahwa kemaslahatan manusia selalu berubah menurut perubahan ruang dan waktu, dan setiap saat kemaslahatan itu bermunculan, karena itu kalau sumber fikih itu terbatas kepada nash saja akan terdapat banyak kemaslahatn yang tidak dapat ditetapkan hukumnya sedang yang seperti ini sangat bertentangan dengan tujuan syariat itu sendiri karena syariat adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Kedua secara diduksi banyak ketentuan- ketentuan fikih yang ditetapka oleh para sahabat, tabi’it-tabi’in dan para ulama imam mazhab yang bersumber dari maslahatul mursalah.

Maslahatul Mursalah yang dapat dijadikan sumber fikih apabila telah memenuhi tiga syarat; ketiga syarat ini untuk menjamin agar ketentuan hukum yang bersumber dari Maslahatul Mursalah tidak bertentangan dengan jiwa syariat4. Tiga syarat yang dimaksud ialah:

1) Maslahah yang dimaksud adalah maslahah yang sebenarnya bukan hanya semata

dugaan.

2) Maslahah itu untuk masyarakat banyak bukan untuk kelompok atau pribadi.

3) Maslahah itu tidak boleh bertentangan dengan ketentan nash atau ketentuan

ijmak dan Qiyas.

Namun sekelompok ulama yang menentang Maslahatul Mursalah sebagai sumber

fikih mengemukakan dua alasan. Pertama bahwa syariat islam telah memelihara semua

kemaslahatan manusia yang disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an dan sunnah

melalui ijmak ulama dan Qiyas.

Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan

tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karna kemaslahatan

manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering di dasarkan

pada kehendak hawa nafsu. Misalnya di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapat

bagian harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengadung kemaslahatan, sesuai

dengan adat istiadat mereka , tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’

karenanya tidak di namakan maslahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang di

jadikan patokan dalam menetukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’,

bukan kehendak dan tujuan manusia.

Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk

yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keterunan dan harta. Apabila seseorang melakukan

4 Asywadie syukur, pengantar ilmu fiqih dan ushul fiqih, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990, hal 117-119

Page 3: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas,

maka dinamakan maslahah. Dismaping itu upaya untuk menolak segala bentuk

kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut,juga dinamakan

maslahah. Dalam kaitan dengan ini, imam al-Syathibi,5 mengatakan bahwa kemaslahatan

tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat ,

karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan

syara’ di atas termasuk dalam konsep maslahat.Dengan demikian, menurut al-Syathibi,

kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk

kemaslahatan di akhirat.

Maslahah terus mengalami perkembangan setiap zaman dengan melihat kondisi

lingkungannya. Pembentukan hukum pada suatu masa dan suatu lingkungan yang

mewujudkan maslahah belum tentu akan membentuk maslahah pula pada masa yang

akan datang atau lingkungan lain di sebabkan adanya perbedaan kultur budaya. Adapun

maslahah yang di kehendaki pada suatu masa yang timbul pada suatu keadaan mulai

datang setelah terputusnya wahyu, sedangkan syar’I belum merealisasikan maslahah-

maslahah tersebut secara jelas, sedangkan masyarakat umum mengehendaki adanya

realisasi maslahah yang di sebut sebagai maslahah al-mursalah yang kemudian di jadikan

sebagai sebuah sumber hukum yang di gunakan oleh sebagian ulama ushul.

Terdapat beberapa definisi Maslahah Mursalah yang dikemukakan ulama ushul

fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama, Imam al-Ghazali

dalam bukunya al-Musthafa, mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah Mursalah

adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-

tujuan syara’

Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah jalan

kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau

meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau

menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Maslahah

Mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat

dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan

5 Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-syariah, Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1975, jilid IV,hal.206 dan 208

Page 4: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

masalah dalam bentuk umum.Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan

kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai

aspek kehidupan.

Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman,

bahwasanya Maslahah Mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas

dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila

dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan

jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.6

Menurut Abd al-Wahab Khallaf bahwa pembentukan hukum berdasarkan

maslahah mursalah itu tidak di maksudkan, kecuali merealisir kemaslahatan umat

manusia.Maksudnya mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak kesulitan

(mudharat). Kemaslahatan manusia itu tidak terbatas jumlah dan macamnya, ia selalu

berkembang mengikuti situasi dan kondisi serta perkembangan masyarakat. Penetapan

suatu hukum kadang-kadang memberi manfaat kepada masyarakat pada suatu masa dan

kadang-kadang membawa mudharat pada masa yang lain.7

Mengenai kedudukan maslahah sebagai dalil hukum, Imam Syaukani mnegatakan

bahwa ada empat pendapat ulama dalam memakai maslahat mursalat sebagai dalil untuk

menggali hukum islam, yaitu:

1. ulama yang tidak memakai maslahat mursalat secra mutlak;

2. Imam Malik menerapkan Maslahat Mursalat secara mutlak;

3. Ibnu Burhan dan al-Juwaini dan mayoritas ulama Hanafiyah membolehkan

memakainya sebagai dalil jika mula’imah (sesuai) dengan ashl al-kulli (prinsif

umum) dan ashl-juz’I (prinsif parsial) dari prinsif-prinsif syariat;

4. al-Ghazali dan al-Baidhawi menerima maslahat dengan tiga syarat, yaitu :

a. terdapat kesesuaian maslahat dengan maksud hukum islam dan tidak

bertentangan dnegan dalil yang pasti;

b. maslahat tersebut dapat diterima oleh akal;

c. maslahat bersifat dharuri, yakni untuk memelihara salah satu dari ; agama,

akal, keturunan, kehormatan dan harta benda. Untuk mengurangi perbedaan

6file:///D:/tugas%20kuliah/ushul%20fiqih%20keuangan%20syariah/Aplikasi%20Maslahah%20Mursalah%20Dalam%20Ekonomi%20_%20Tumbuh%20Berkembang.htm7 Fathurrahman Azhari , ushul fiqih, Banjarmasin : LPKU, 2014, jilid I, hal.

Page 5: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

pendapat para ulama dalam menanggapi maslahat, sebenarnya dapat di

lakukan apabila maslahat mursalat di kaitkan dengan maqasid al-Syari’ah.8

B. Macam-macam Maslahat

Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika di lihat

dari beberapa segi. Di lihat dari segi kualitas dan kepentingan maslahat itu para ahli

ushul fiqih membaginya kepada tiga macam yaitu :

1. Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan

kebutuhan pokok manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada

lima, yaitu memelihara agama,jiwa, akal, keturunan, dan memelihara harta.

Kelima kemaslahatan ini di sebut al-mashalil al-khamsah.

2. Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam

menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk

keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia.

Misalnya dalam mu’amalah di bolehkan melakukan jual beli pesanan.

3. Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahtan yang sifatnya pelengkap berupa

keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya di

anjurkan memakan makanan yang bergizi dan berpakaian yang bagus-bagus.9

Dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammd

Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqih di universitas al-Azhar Mesir, ada

dua bentuk, yaitu :

1. Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah

sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah.

2. Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai

dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini

berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam

masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.10

8Ibid.h.153.9 Nasrun Haroen, ushul……., op. cit.,jilid II, hal 115-11610Ibid., hal 117

Page 6: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

C. Maslahah dalam Ekonomi

Sebagian besar kemaslahatan dunia dan mafsadatnya telah di ketahui oleh

akal. Pengetahuan yang berhubungan dengan perihal ini termasuk sebagian besar

pokok bahasan syari’at melaksanakan kemaslahatan yang murni dan menolak

kemafsadatan murni akan merupakan tindakan yang sangat terpuji bagi

kehidupan manusia.11Tak terkecuali bagi kegiatan ekonomi.Konsep maslahah

merupakan sebuah ilustrasi dasar tentang maqasid syari’ah dalam segala aspek

kehidupan. Syari’at pada prinsifnya hanyalah mendatangkan kemaslahatan bagi

manusia atau menghilangkan kemafsadatan mereka .

Konsep ekonomi islam sebenarnya bukan hal yang baru bagi umat islam.

Sejak zaman dulu para pemikir-pemikir ekonomi islam klasiktelah memikirkan

hal ini. Bahkan sejak masa kenabian, pemikiran tentang ekonomi Islam muncul

sebagai salah satu tradisi intelektual, walaupun pemikiran tersebut sangat

sederhana sesuai dengan konteks zaman dan tantangan kehidupan yang

berkembang pada saat itu. Kebanyakan mereka menuangkan pemikirannya

tentang ekonomi bersama dengan pemikiran lain, khususnya hukum Islam. Hal

yang sama dilakukan al-Syatibi, pemikiran ekonominya tidak dalam suatu karya

khusus, tapi menjadi bagian tertentu dari kajiannya tentang hukum Islam. Indikasi

tersebut tampak dalam karya monumentalnya, al-Muwafaqat fi Ushul al-

Syari’ah.

Ahmad Najetullah Siddiqi membagi periode perkembangan pemikiran

ekonomi Islam ke dalam tiga periode: Periode Awal, berlangsung pada masa ke-

khalifah-an sampai 450 H (1058M), Periode Kedua (1058-1446M), dan Periode

Ketiga (1446-1931M).1 Al-Syatibi berdasarkan periodisasi di atas berada dalam

periode kedua perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Salah satu konsep

pemikirannya adalah persoalan maslahah (mewujudkan kemaslaharan) sebagai

tujuan dari maqasid syari’ah.

Mewujudkan kemaslahatan merupakan tujuan syariah, kemaslahatan yang

dikehendaki meliputi dunia dan akhirat.Untuk mengukur kemaslahatan harus

dilihat dari tingkat kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dharury, hajiat, dan

11 ‘izzudin Ibnu Abdis Salam, kaidah-kaidah hukum islam, Bandung : penerbit Nusa Media, 2011, hal3

Page 7: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

tahsiniyat. Konsep kemaslahatan akan memberi kontribusi yang besar bila

diimplementasikan dalam pengembangan ekonomi syariah, misalnya dalam hal:

konsep pemenuhan kebutuhan manusia, paradigma aktifitas ekonomi, dan standar

utility. Al Syatibi memberikan pandangan yang berbeda mengenai maslahah.

Maslahah dan maqasid al syariah merupakan dua hal penting dalam pembinaan

dan pengembangan hukum Islam.

Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima

oleh akal yang sehat.Jika suatu perbuatan itu mengandung kemaslahatan yang

sangat besar maka Allah mewajibkan untuk di terapkan dalam setiap syari’at.

Kemaslahatan dapat di uraikan menjadi tiga kelompok yaitu12 :

1. Kemaslahatan yang bersifat ukhrawiyah. Sisi ini belum dapat dipastikan atas

keberhasilannya, sebab seseorang tidak lah mengetahui akhir hayatnya, bisakah ia

mendapat khusnul khatimah atau malah sebaliknya.

2. Kemaslahatan yang bersifat duniawiyah. Hal ini dapat di bagi menjadi :

a. Kemaslahatan yang keberhasilannya bersifat sempurna, sebagaimana makan,

minum dan juga berbagai kegiatan mu’amalah yang di mubahkan seperti

berburu dan merumput.

b. Kemaslahatan yang pada lazimnya diharapkan bisa berhasil, sebagaimana

berniaga, baik terhadap harta sendiri ataupun harta orang lain. Kesemuanya itu

merupakan kemaslahatan yang belum dapat dirasakan hasilnya.

3. Kemaslahatan yang bersifat duniawiyah dan ukhrawiyah , sebagaimana kafarat

dan berbagai macam ibadah yang bertalian dengan harta, seperti zakat, sadaqah

dan lain-lain.

Dalam praktek ekonomi islam di tujukan untuk memperoleh maslahah

tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Maslahah dan maqashid al-Syari’ah

dalam pandangan al-Syatibi merupakan dua halpenting dalam pembinaan dan

pengembangan hukum Islam.Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang

baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.Diterima akal, mengandung makna

bahwa akal dapat mengetahui dengan jelas kemaslahatan tersebut.

Menurut Amir Syarifuddin ada 2 bentuk maslahah:13

12Ibid., hal 5613 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal . 208

Page 8: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut

jalb almanafi’(membawa manfaat).Kebaikan dan kesenangan ada yang dirasakan

langsungoleh orang melakukan sesuatu perbuatan yang diperintahkan, tetapi ada

juga kebaikandan kesenangan dirasakan setelah perbuatan itu dilakukan, atau

dirasakan harikemudian, atau bahkan Hari Kemudian (akhirat).Segala perintah

Allah swt berlakuuntuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti itu.

2. Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar’u

almafasid. Kerusakan dan keburukan pun ada yang langsung dirasakannya

setelahmelakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang merasakan sesuatu

kesenanganketika melakukan perbuatan dilarang itu, tetapi setelah itu yang

dirasakannya adalahkerusakan dan keburukan. Misalnya: berzina dengan pelacur

yang berpenyakit ataumeminum minuman manis bagi yang berpenyakit

gula.Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid

dan alsyari’ah.Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah

berarti jalanmenuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber

pokok kehidupan.14Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah

menurut Imam al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan

hal tersebut, ia menyatakanbahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak

mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan

membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.11 Kemaslahatan, dalam hal

ini diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia,

pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yangdituntut oleh

kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.12

Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan

mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan

pokok hukum adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.

Tuntutan kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi ada 3

(tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer),

hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah(kebutuhan tertier).13

14 Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 140.

Page 9: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

1. Dharuriyat, kebutuhan tingkat ‘primer” adalah sesuatu yang harus ada untuk

eksistensinya manusia atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan mansia

tanpa harus dipenuhi manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia,

yaitu secara peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima hal itu

disebut al-dharuriyat al-khamsah (dharuriyat yang lima).14 Kelima dharuriyat

tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah

swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan

kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang

dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima

itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsure

pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala

perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak

baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan

bagi manusia.15

2. Hajiyat, kebutuhan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu

yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri.

Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan

meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Namun demikian, keberadaannya

dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan

kesulitan dalam kehidupan

mukallaf.

4. Tahsiniyat, kebutuhan tingkat “tersier” adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk

memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut kehidupan tidak

akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaan kebutuhan

tingkat ini sebagai penyempurna dari dua tingkatan kebutuhan sebelumnya, ia

bersifat pelengkap dalam kehidupan mukallaf, yang dititikberatkan pada masalah

etika dan estetika dalamkehidupan.

Dari uraian di atas jelas bahwa segala syari’at islam menghendaki segala

bentuk kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan, tak terkecuali dalam

pemenuhan kebutuhan manusia sehari-hari.

Page 10: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

D. Maslahah dalam pemenuhan kebutuhan manusia

Masalah dalam ekonomi konvensional adalah bahwa perkembangan

kebutuhan manusia tidak sebanding dengan sumber daya yang tersedia sebagai

alat pemuas. Mereka menempatkan bahwa kebutuhan dan keinginan itu sama.

Berbeda dengan islam yang menolak anggapan tersebut. Kebutuhan manusia itu

justru terbatas, misalnya dalam perkara makan, jika seseorang makan dan telah

merasa kenyang maka hal itu menyatakan bahwa ia telah puas dan kebutuhannya

telah terpenuhi. Jika di dasarkan kepada hasrat manusia semata maka masalah

ekonomi tidak akan selesai. Dalam islam hasrat di jadikan sebagai sebuah

keinginan. Dan hanya hasrat yang menghasilakn maslahah dunia dan akhirat lah

yang dijadikan sebagai need (keinginan).

E. Maslahah dalam distribusi pendapatan

Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran islam di ajarkan ke dalam teori dan di

interpretasikan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Kaitannya

dengan zakat, zakat merupakan sumber penting dalam struktur keuangan

ekonomi islam. Karena setiap muslim yang kekayaannya mencapai nisab, di

wajibkan membayar sebagian hartanya untuk orang miskin dan yang memerlukan

(asnaf). Dalam penegrtian modern, zakat adalah pajak yang dikumpulkan dari

orang kaya muslim yang diperuntkkan terutam untuk memabantu masyarakat

muslim yang miskin15. Sehingga, pendapatan tidak hanya di rasakan oleh orang

kaya saja,namun terdistribusi secara adil dan menimbulkan maslahah bagi segala

umat baik bagi yang membayar zakat maupun yang menerima zakat tersebut.

Zakat dari orang muslim ataupun jizyah dari orang non-muslim dasar hukumnya

sama pula yaitu untuk menciptakan kesejahteraan dan maslahah bagi umat.

Zakat merupakan bagian dari pembahasan ilmu ekonomi islam yang

masuk dalam sistem fiscal atau pendapatan utama Negara atau lembaga islam.

Pendapatan zakat dan sumber keuangan lainnya dalam islam adalah untuk

memakmurkan dan menyejahterakan umat16.

15 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : Bangkit Daya Insana, 1995, hal.1-716 Umrotul Hasanah , Manajemen zakat modern, Malang : UIN Maliki Press, 2010, hal. 48

Page 11: maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx

Menurut prinsif islam, kekayaan harus menyandang sistem kesejahteraan

yang bertumpu pada zakat sebagai bentuk syukur atas segala yang di anugerahkan

tuhan. Selain sebagai sarana untuk menyucikan jiwa dan harta, zakat juga

merupakan tips bagi jaminan perlindungan, pengembangan dan pengaturan

peredaran serta distribusi kekayaan. Cara memanfaatkannya didasarkan pada

fungsi sosialnya bagi kepentingan masyarakat yang menyentuh kalangan miskin

maupun kaya.

Islam melarang pemakaian harta benda semata-mata untuk kemewahan

dan pamer. Lagi pula, dalam rangka pengembangan investasi, islam melarang

monopoli yang merupakan pilar utama berdirinya sistem kapitalisme dan

eksploitasisime. Islam mengharuskan di terapkannya prinsif keadilan, termasuk

juga dalam hal pemerataan kesejahteraan.17

17Ibid., hal 52