maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx
Transcript of maslahah dan penerapannya dalam ekonomi keuangan.docx
MASLAHAH DAN PENERAPANNYA DALAM KEUANGAN SYARIAH
Salah satu metode yang di kembangkan ulama ushul fiqih dalam mengembangkan
istimbat hukum dari nash adalah maslahah al-mursalah , yaitu suatu kemaslahatan yang
tidak ada nash juz’I (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya
dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini di dukung oleh
sejumlah nash melalui istiqra’ (induksi dari sejumlah nash). Sebagaimana di kemukakan
dalam bab qiyas, bahwa sesuatu yang bisa di jadikan ‘illat hukum adalah bahwa sifat
yang di jadikan ‘illat itu mesti sesuai (mula’im) dengan hukum dan tujuan-tujuan yang di
kehendaki syara’. Sifat yang mula’im itu ada yang berbentuk mu’tabar (ditunjuk
langsung oleh nash), ada yang mulghi (ditolak oleh nash), da nada yang mursal (yang
tidak di dukung dan di tolak oleh nash juz’I, tetapi di dukung secara umum oleh
sejumlah nash).1
A. Pengertian Maslahah
Kata maslahah berasal dari kata bahasa arab �ح� �ح� – ص�ل �ص�ل ي menjadi ا �ح atau ص�ل
ة �ح� .yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan م�ص�ل Maslahah (Kesejahteraan
Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama Ushul yaitu,
maslahah di mana syari’ tidak menyaratkan hukum untuk mewujubkan maslahah itu,
juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Apabila di katakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu
suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu
penyebab di perolehnya manfaat lahir dan batin.2
Secara terminology,, terdapat beberapa definisi maslahah yang di kemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali3, mengemukakan bahwa prinsifnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Mazhab Maliki
1 Nasrun Haroen, ushul fiqih, ciputat : PT Logos Wacana Imu , 1997 hal. 1132 Husain Hamid Hasan, Nazhariyyah al-mashlahah fi al-fiqh al-islami,kairo : Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1971, hal 310-4143 Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfha fi ‘ilm al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub al-‘illmiyyah, jilid I, 1983, hal 286
yang menjadikan Maslahatul Mursalah sebagai sumber fikih dengan dua alasan. Pertama bahwa kemaslahatan manusia selalu berubah menurut perubahan ruang dan waktu, dan setiap saat kemaslahatan itu bermunculan, karena itu kalau sumber fikih itu terbatas kepada nash saja akan terdapat banyak kemaslahatn yang tidak dapat ditetapkan hukumnya sedang yang seperti ini sangat bertentangan dengan tujuan syariat itu sendiri karena syariat adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Kedua secara diduksi banyak ketentuan- ketentuan fikih yang ditetapka oleh para sahabat, tabi’it-tabi’in dan para ulama imam mazhab yang bersumber dari maslahatul mursalah.
Maslahatul Mursalah yang dapat dijadikan sumber fikih apabila telah memenuhi tiga syarat; ketiga syarat ini untuk menjamin agar ketentuan hukum yang bersumber dari Maslahatul Mursalah tidak bertentangan dengan jiwa syariat4. Tiga syarat yang dimaksud ialah:
1) Maslahah yang dimaksud adalah maslahah yang sebenarnya bukan hanya semata
dugaan.
2) Maslahah itu untuk masyarakat banyak bukan untuk kelompok atau pribadi.
3) Maslahah itu tidak boleh bertentangan dengan ketentan nash atau ketentuan
ijmak dan Qiyas.
Namun sekelompok ulama yang menentang Maslahatul Mursalah sebagai sumber
fikih mengemukakan dua alasan. Pertama bahwa syariat islam telah memelihara semua
kemaslahatan manusia yang disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an dan sunnah
melalui ijmak ulama dan Qiyas.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan
tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karna kemaslahatan
manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering di dasarkan
pada kehendak hawa nafsu. Misalnya di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapat
bagian harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengadung kemaslahatan, sesuai
dengan adat istiadat mereka , tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’
karenanya tidak di namakan maslahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang di
jadikan patokan dalam menetukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’,
bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk
yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keterunan dan harta. Apabila seseorang melakukan
4 Asywadie syukur, pengantar ilmu fiqih dan ushul fiqih, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990, hal 117-119
suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas,
maka dinamakan maslahah. Dismaping itu upaya untuk menolak segala bentuk
kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut,juga dinamakan
maslahah. Dalam kaitan dengan ini, imam al-Syathibi,5 mengatakan bahwa kemaslahatan
tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat ,
karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan
syara’ di atas termasuk dalam konsep maslahat.Dengan demikian, menurut al-Syathibi,
kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk
kemaslahatan di akhirat.
Maslahah terus mengalami perkembangan setiap zaman dengan melihat kondisi
lingkungannya. Pembentukan hukum pada suatu masa dan suatu lingkungan yang
mewujudkan maslahah belum tentu akan membentuk maslahah pula pada masa yang
akan datang atau lingkungan lain di sebabkan adanya perbedaan kultur budaya. Adapun
maslahah yang di kehendaki pada suatu masa yang timbul pada suatu keadaan mulai
datang setelah terputusnya wahyu, sedangkan syar’I belum merealisasikan maslahah-
maslahah tersebut secara jelas, sedangkan masyarakat umum mengehendaki adanya
realisasi maslahah yang di sebut sebagai maslahah al-mursalah yang kemudian di jadikan
sebagai sebuah sumber hukum yang di gunakan oleh sebagian ulama ushul.
Terdapat beberapa definisi Maslahah Mursalah yang dikemukakan ulama ushul
fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama, Imam al-Ghazali
dalam bukunya al-Musthafa, mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah Mursalah
adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-
tujuan syara’
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah jalan
kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Maslahah
Mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat
dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan
5 Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-syariah, Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1975, jilid IV,hal.206 dan 208
masalah dalam bentuk umum.Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan
kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai
aspek kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman,
bahwasanya Maslahah Mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas
dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila
dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan
jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.6
Menurut Abd al-Wahab Khallaf bahwa pembentukan hukum berdasarkan
maslahah mursalah itu tidak di maksudkan, kecuali merealisir kemaslahatan umat
manusia.Maksudnya mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak kesulitan
(mudharat). Kemaslahatan manusia itu tidak terbatas jumlah dan macamnya, ia selalu
berkembang mengikuti situasi dan kondisi serta perkembangan masyarakat. Penetapan
suatu hukum kadang-kadang memberi manfaat kepada masyarakat pada suatu masa dan
kadang-kadang membawa mudharat pada masa yang lain.7
Mengenai kedudukan maslahah sebagai dalil hukum, Imam Syaukani mnegatakan
bahwa ada empat pendapat ulama dalam memakai maslahat mursalat sebagai dalil untuk
menggali hukum islam, yaitu:
1. ulama yang tidak memakai maslahat mursalat secra mutlak;
2. Imam Malik menerapkan Maslahat Mursalat secara mutlak;
3. Ibnu Burhan dan al-Juwaini dan mayoritas ulama Hanafiyah membolehkan
memakainya sebagai dalil jika mula’imah (sesuai) dengan ashl al-kulli (prinsif
umum) dan ashl-juz’I (prinsif parsial) dari prinsif-prinsif syariat;
4. al-Ghazali dan al-Baidhawi menerima maslahat dengan tiga syarat, yaitu :
a. terdapat kesesuaian maslahat dengan maksud hukum islam dan tidak
bertentangan dnegan dalil yang pasti;
b. maslahat tersebut dapat diterima oleh akal;
c. maslahat bersifat dharuri, yakni untuk memelihara salah satu dari ; agama,
akal, keturunan, kehormatan dan harta benda. Untuk mengurangi perbedaan
6file:///D:/tugas%20kuliah/ushul%20fiqih%20keuangan%20syariah/Aplikasi%20Maslahah%20Mursalah%20Dalam%20Ekonomi%20_%20Tumbuh%20Berkembang.htm7 Fathurrahman Azhari , ushul fiqih, Banjarmasin : LPKU, 2014, jilid I, hal.
pendapat para ulama dalam menanggapi maslahat, sebenarnya dapat di
lakukan apabila maslahat mursalat di kaitkan dengan maqasid al-Syari’ah.8
B. Macam-macam Maslahat
Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika di lihat
dari beberapa segi. Di lihat dari segi kualitas dan kepentingan maslahat itu para ahli
ushul fiqih membaginya kepada tiga macam yaitu :
1. Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada
lima, yaitu memelihara agama,jiwa, akal, keturunan, dan memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini di sebut al-mashalil al-khamsah.
2. Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia.
Misalnya dalam mu’amalah di bolehkan melakukan jual beli pesanan.
3. Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahtan yang sifatnya pelengkap berupa
keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya di
anjurkan memakan makanan yang bergizi dan berpakaian yang bagus-bagus.9
Dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammd
Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqih di universitas al-Azhar Mesir, ada
dua bentuk, yaitu :
1. Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah
sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah.
2. Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini
berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam
masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.10
8Ibid.h.153.9 Nasrun Haroen, ushul……., op. cit.,jilid II, hal 115-11610Ibid., hal 117
C. Maslahah dalam Ekonomi
Sebagian besar kemaslahatan dunia dan mafsadatnya telah di ketahui oleh
akal. Pengetahuan yang berhubungan dengan perihal ini termasuk sebagian besar
pokok bahasan syari’at melaksanakan kemaslahatan yang murni dan menolak
kemafsadatan murni akan merupakan tindakan yang sangat terpuji bagi
kehidupan manusia.11Tak terkecuali bagi kegiatan ekonomi.Konsep maslahah
merupakan sebuah ilustrasi dasar tentang maqasid syari’ah dalam segala aspek
kehidupan. Syari’at pada prinsifnya hanyalah mendatangkan kemaslahatan bagi
manusia atau menghilangkan kemafsadatan mereka .
Konsep ekonomi islam sebenarnya bukan hal yang baru bagi umat islam.
Sejak zaman dulu para pemikir-pemikir ekonomi islam klasiktelah memikirkan
hal ini. Bahkan sejak masa kenabian, pemikiran tentang ekonomi Islam muncul
sebagai salah satu tradisi intelektual, walaupun pemikiran tersebut sangat
sederhana sesuai dengan konteks zaman dan tantangan kehidupan yang
berkembang pada saat itu. Kebanyakan mereka menuangkan pemikirannya
tentang ekonomi bersama dengan pemikiran lain, khususnya hukum Islam. Hal
yang sama dilakukan al-Syatibi, pemikiran ekonominya tidak dalam suatu karya
khusus, tapi menjadi bagian tertentu dari kajiannya tentang hukum Islam. Indikasi
tersebut tampak dalam karya monumentalnya, al-Muwafaqat fi Ushul al-
Syari’ah.
Ahmad Najetullah Siddiqi membagi periode perkembangan pemikiran
ekonomi Islam ke dalam tiga periode: Periode Awal, berlangsung pada masa ke-
khalifah-an sampai 450 H (1058M), Periode Kedua (1058-1446M), dan Periode
Ketiga (1446-1931M).1 Al-Syatibi berdasarkan periodisasi di atas berada dalam
periode kedua perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Salah satu konsep
pemikirannya adalah persoalan maslahah (mewujudkan kemaslaharan) sebagai
tujuan dari maqasid syari’ah.
Mewujudkan kemaslahatan merupakan tujuan syariah, kemaslahatan yang
dikehendaki meliputi dunia dan akhirat.Untuk mengukur kemaslahatan harus
dilihat dari tingkat kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dharury, hajiat, dan
11 ‘izzudin Ibnu Abdis Salam, kaidah-kaidah hukum islam, Bandung : penerbit Nusa Media, 2011, hal3
tahsiniyat. Konsep kemaslahatan akan memberi kontribusi yang besar bila
diimplementasikan dalam pengembangan ekonomi syariah, misalnya dalam hal:
konsep pemenuhan kebutuhan manusia, paradigma aktifitas ekonomi, dan standar
utility. Al Syatibi memberikan pandangan yang berbeda mengenai maslahah.
Maslahah dan maqasid al syariah merupakan dua hal penting dalam pembinaan
dan pengembangan hukum Islam.
Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima
oleh akal yang sehat.Jika suatu perbuatan itu mengandung kemaslahatan yang
sangat besar maka Allah mewajibkan untuk di terapkan dalam setiap syari’at.
Kemaslahatan dapat di uraikan menjadi tiga kelompok yaitu12 :
1. Kemaslahatan yang bersifat ukhrawiyah. Sisi ini belum dapat dipastikan atas
keberhasilannya, sebab seseorang tidak lah mengetahui akhir hayatnya, bisakah ia
mendapat khusnul khatimah atau malah sebaliknya.
2. Kemaslahatan yang bersifat duniawiyah. Hal ini dapat di bagi menjadi :
a. Kemaslahatan yang keberhasilannya bersifat sempurna, sebagaimana makan,
minum dan juga berbagai kegiatan mu’amalah yang di mubahkan seperti
berburu dan merumput.
b. Kemaslahatan yang pada lazimnya diharapkan bisa berhasil, sebagaimana
berniaga, baik terhadap harta sendiri ataupun harta orang lain. Kesemuanya itu
merupakan kemaslahatan yang belum dapat dirasakan hasilnya.
3. Kemaslahatan yang bersifat duniawiyah dan ukhrawiyah , sebagaimana kafarat
dan berbagai macam ibadah yang bertalian dengan harta, seperti zakat, sadaqah
dan lain-lain.
Dalam praktek ekonomi islam di tujukan untuk memperoleh maslahah
tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Maslahah dan maqashid al-Syari’ah
dalam pandangan al-Syatibi merupakan dua halpenting dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam.Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang
baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.Diterima akal, mengandung makna
bahwa akal dapat mengetahui dengan jelas kemaslahatan tersebut.
Menurut Amir Syarifuddin ada 2 bentuk maslahah:13
12Ibid., hal 5613 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal . 208
1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut
jalb almanafi’(membawa manfaat).Kebaikan dan kesenangan ada yang dirasakan
langsungoleh orang melakukan sesuatu perbuatan yang diperintahkan, tetapi ada
juga kebaikandan kesenangan dirasakan setelah perbuatan itu dilakukan, atau
dirasakan harikemudian, atau bahkan Hari Kemudian (akhirat).Segala perintah
Allah swt berlakuuntuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti itu.
2. Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar’u
almafasid. Kerusakan dan keburukan pun ada yang langsung dirasakannya
setelahmelakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang merasakan sesuatu
kesenanganketika melakukan perbuatan dilarang itu, tetapi setelah itu yang
dirasakannya adalahkerusakan dan keburukan. Misalnya: berzina dengan pelacur
yang berpenyakit ataumeminum minuman manis bagi yang berpenyakit
gula.Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid
dan alsyari’ah.Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah
berarti jalanmenuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber
pokok kehidupan.14Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah
menurut Imam al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan
hal tersebut, ia menyatakanbahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak
mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan
membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.11 Kemaslahatan, dalam hal
ini diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia,
pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yangdituntut oleh
kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.12
Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan
mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan
pokok hukum adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.
Tuntutan kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi ada 3
(tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer),
hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah(kebutuhan tertier).13
14 Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 140.
1. Dharuriyat, kebutuhan tingkat ‘primer” adalah sesuatu yang harus ada untuk
eksistensinya manusia atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan mansia
tanpa harus dipenuhi manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia,
yaitu secara peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima hal itu
disebut al-dharuriyat al-khamsah (dharuriyat yang lima).14 Kelima dharuriyat
tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah
swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan
kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang
dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima
itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsure
pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala
perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak
baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan
bagi manusia.15
2. Hajiyat, kebutuhan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu
yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri.
Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan
meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Namun demikian, keberadaannya
dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan
kesulitan dalam kehidupan
mukallaf.
4. Tahsiniyat, kebutuhan tingkat “tersier” adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk
memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut kehidupan tidak
akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaan kebutuhan
tingkat ini sebagai penyempurna dari dua tingkatan kebutuhan sebelumnya, ia
bersifat pelengkap dalam kehidupan mukallaf, yang dititikberatkan pada masalah
etika dan estetika dalamkehidupan.
Dari uraian di atas jelas bahwa segala syari’at islam menghendaki segala
bentuk kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan, tak terkecuali dalam
pemenuhan kebutuhan manusia sehari-hari.
D. Maslahah dalam pemenuhan kebutuhan manusia
Masalah dalam ekonomi konvensional adalah bahwa perkembangan
kebutuhan manusia tidak sebanding dengan sumber daya yang tersedia sebagai
alat pemuas. Mereka menempatkan bahwa kebutuhan dan keinginan itu sama.
Berbeda dengan islam yang menolak anggapan tersebut. Kebutuhan manusia itu
justru terbatas, misalnya dalam perkara makan, jika seseorang makan dan telah
merasa kenyang maka hal itu menyatakan bahwa ia telah puas dan kebutuhannya
telah terpenuhi. Jika di dasarkan kepada hasrat manusia semata maka masalah
ekonomi tidak akan selesai. Dalam islam hasrat di jadikan sebagai sebuah
keinginan. Dan hanya hasrat yang menghasilakn maslahah dunia dan akhirat lah
yang dijadikan sebagai need (keinginan).
E. Maslahah dalam distribusi pendapatan
Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran islam di ajarkan ke dalam teori dan di
interpretasikan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Kaitannya
dengan zakat, zakat merupakan sumber penting dalam struktur keuangan
ekonomi islam. Karena setiap muslim yang kekayaannya mencapai nisab, di
wajibkan membayar sebagian hartanya untuk orang miskin dan yang memerlukan
(asnaf). Dalam penegrtian modern, zakat adalah pajak yang dikumpulkan dari
orang kaya muslim yang diperuntkkan terutam untuk memabantu masyarakat
muslim yang miskin15. Sehingga, pendapatan tidak hanya di rasakan oleh orang
kaya saja,namun terdistribusi secara adil dan menimbulkan maslahah bagi segala
umat baik bagi yang membayar zakat maupun yang menerima zakat tersebut.
Zakat dari orang muslim ataupun jizyah dari orang non-muslim dasar hukumnya
sama pula yaitu untuk menciptakan kesejahteraan dan maslahah bagi umat.
Zakat merupakan bagian dari pembahasan ilmu ekonomi islam yang
masuk dalam sistem fiscal atau pendapatan utama Negara atau lembaga islam.
Pendapatan zakat dan sumber keuangan lainnya dalam islam adalah untuk
memakmurkan dan menyejahterakan umat16.
15 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : Bangkit Daya Insana, 1995, hal.1-716 Umrotul Hasanah , Manajemen zakat modern, Malang : UIN Maliki Press, 2010, hal. 48
Menurut prinsif islam, kekayaan harus menyandang sistem kesejahteraan
yang bertumpu pada zakat sebagai bentuk syukur atas segala yang di anugerahkan
tuhan. Selain sebagai sarana untuk menyucikan jiwa dan harta, zakat juga
merupakan tips bagi jaminan perlindungan, pengembangan dan pengaturan
peredaran serta distribusi kekayaan. Cara memanfaatkannya didasarkan pada
fungsi sosialnya bagi kepentingan masyarakat yang menyentuh kalangan miskin
maupun kaya.
Islam melarang pemakaian harta benda semata-mata untuk kemewahan
dan pamer. Lagi pula, dalam rangka pengembangan investasi, islam melarang
monopoli yang merupakan pilar utama berdirinya sistem kapitalisme dan
eksploitasisime. Islam mengharuskan di terapkannya prinsif keadilan, termasuk
juga dalam hal pemerataan kesejahteraan.17
17Ibid., hal 52