Masa Demokrasi Liberal Dan Awal Demokrasi Terpimpin
-
Upload
kakang-mas-haryanto -
Category
Documents
-
view
285 -
download
0
Transcript of Masa Demokrasi Liberal Dan Awal Demokrasi Terpimpin
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah terjadinya kedaulatan, Indonesia mulai memasuki masa
Demokrasi liberal yang ditandai dengan banyaknya partai politik. Pada masa
masa demokrasi liberal ini indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu yang
demokratis, tetapi kabinet yang ber-kuasa tidak bertahan lama dan selalu berganti.
Masa Demokrasi Parlementer berlangsung tahun 1950 dan diakhiri oleh Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
Sedangkan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin di Indonesia dimulai dengan
berlakunya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Presiden Soekarno
mnegeluarkan dekrit tersebut sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah negara
yang semakin tidak menentu.
B. Rumusan Masalah
1. Masa Demokrasi Liberal
2. Awal lahirnya Demokrasi Terpimpin
C. Tujuan
Agar siswa dapat mengetahui sejarah bangsa Indonesia pada masa demokrasi
liberal serta mengetahui proses awal lahirnya demokrasi terpimpin.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Demokrasi Liberal
1. Pengertian Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal adalah suatu bentuk system politik dan pemerintahan
yang bertumpu pada asas – asas liberalisme yang ada dan berkembang di
Eropa dan Amerika Serikat. Demokrasi liberal pertama kali muncul pada
abad pertengahan dari teori kontrak sosial. Penerapan system demokrasi
liberal pada setiap negara akan berbeda – beda. Di Indonesia demokrasi
liberal yang berjalan dari tahun 1950 – 1959 mengalami seringnya
perubahan – perubahan kabinet yang mengakibatkan pemerintahan di
Indonesia tidak stabil. Pemerintahan pada waktu itu berlandaskan pada
undang – undang sementara tahun 1950 sebagai pengganti konstitusi RIS
(republic Indonesia Serikat) tahun 1949. Ciri-ciri Demokrasi Liberal :
Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah dan atau kepada
parlemen.
Presiden bisa dan berhak membubarkan DPR.
Perdana menteri diangkat oleh presiden.
2. Kondisi Politik Pada Masa Demokrasi Liberal
Masa demokrasi liberal di Indonesia tahun 1950 – 1959 sering juga disebut
masa kabinet parlementer.Kabinet parlementer adalah kabinet yang
pemerintahannya di pegang oleh seorang perdana menteri. Dalam masa kabinet
parlementer ini ternyata konflik antar partai di Indonesia sangat tinggi sehingga
kabinet yang memimpin terpaksa jatuh bangun silih berganti memimpin
Indonesia. Hingga pada masa akhir demokrasi liberal di Indonesia sudah terdapat
7 kabinet yang silih berganti memimpin Indonesia. Kabinet – kabinet yang pernah
memimpin Indonesia itu ialah :
2
a. Kabinet Mohammad Natsir (September 1950 – Maret 1951)
Kabinet ini merupakan kabinet yang pertama kali ada di Indonesia dimana
kabinet ini dipelopori oleh partai Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya
pada tanggal 21 Maret 1951 setelah adanya mosi yang menuntut pembekuan dan
pembubaran DPRD sementara. Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan
Undang – Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi dan adanya
tentangan dari PNI yang menentang kebijakannya mengenai Irian Jaya.
b. Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952)
Kabinet Sukiman merupakan Kabinet koalisi antara partai Masyumi dan
partai PNI. Pada masa Kabinet Sukiman terdapat banyak masalah gangguan
keamanan dalam negeri seperti semakin meluasnya DI / TII dan munculnya
Republik Maluku Selatan (RMS). Kabinet ini jatuh karena politik luar negerinya
yang lebih condong ke barat yang diwarnai dengan penentangan PNI terhadap
penandatanganan Mutual Security Act (MSA) yang diadakan pada tanggal 15
Januari 1952 dimana MSA tersebut berisi kerja sama keamanan antara Indonesia
dan Amerika Serikat dimana Amerika Serikat akan memberikan bantuan ekonomi
dan militer. PNI khawatir bantuan itu dapat digunakan sebagai alat untuk
memasukan Indonesia ke dalam blok barat. Dengan demikian Indonesia tidak
bersikap bebas aktif lagi dalam melihat “Perang Dingin” antara Uni Soviet
dengan Amerika Serikat.
c. Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953)
Kabinet ini bertugas mengadakan persiapan pemilihan umum dan pembentukan
dewan konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, Kabinet ini pun
harus meletakkan jabatannya. Hal ini disebabkan karna daerah – daerah semakin
tidak percaya kepada pemerintah pusat. Disamping itu terjadi peristiwa 17
Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa 17 Oktober 1952 yaitu
tuntutan atau desakan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat agar DPRS
dibubarkan dan diganti dengan parlemen baru. Sedangkan peristiwa Tanjung
Morawa (Sumatera Timur) mencakup persoalan perkebunan asing di Tanjung
Morawa yang diperebutkan dengan rakyat yang mengakibatkan beberapa petani
tewas.
3
d. Kabinet Ali Satroamijoyo (Juli 1953 – Juli 1955)
Kabinet ini dikenal dengan Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan
Wongsonegoro). Tugas Kabinet Ali Sastroamijoyo adalah melanjutkan program
kabinet Wilopo, yaitu melaksanakan pemilihan umum untuk memilih DPR dan
konstituante. Meskipun Kabinet Ali Sstroamijoyo berhasil dalam politik luar
negerinya dengan keberhasilannya menyelenggarakan KAA di Bandung pada
bulan April 1955, namun Kabinet ini harus meletakkan jabatannya sebelum dapat
melaksanakan tugas utamanya yaitu pemilu. Hal ini disebabkan karena pemimpin
TNI AD menolak pimpinan baru yang baru saja diangkat sebagai Menteri
Pertahanan. Calon pimpinan TNI yang diajukakan oleh Kabinet ditolak oleh
Korps. Perwira sehingga menimbulkan krisis Kabinet.
e. Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
Kabinet Burhanudin bertugas untuk melaksanakan pemilu. Tugas ini berhasil
dilaksanakan meski harus melewati berbagai kendala. Pada tanggal 29 September
1955 dilakukan pemilihan anggota – anggota parlemen, dan pada tanggal 15
Desember 1955 diadakan pemilihan umum untuk Konstituante. Selain masalah
pemilihan umum, Kabinet Burhanudin juga berhasil menyelesikan masalah antara
TNI AD dengan diangkatnya kembali Kolonel A. H. Nasution. Setelah itu pada
tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya.
f. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 – Maret 1957)
Kabinet ini mempunyai rencana kerja untuk lima tahun, isinya antara lain
adalah perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah RI,
otonomi daerah, mengusulkan perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan, dan
pemebentukan Dewan Ekonomi Nasional. Namun seiring berjalannya program –
program kabinet ini juga terdapat masalah – masalah yang mengiringinya seperti
munculnya anti Cina dan kekacauan di daerah – daerah yang membuat kabinet
goyah. Akhirnya pada Maret 1957 Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya.
g. Kabinet Djuanda (Maret 1957 – April 1959)
Kabinet Djuanda sering disebut pula dengan Zaken Kabinet. karena dalam
kabinet ini terdapat orang – orang yang memiliki keahlian di bidang masing –
masing. Tugas kabinet Djuanda adalah melanjutkan perjuangan membebaskan
Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi
4
yang berhasil diraih kabinet ini adalah berhasil menetapkan lebar wilayah
Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik –
titik terluar pulau Indonesia. Ketetapan ini disebut dengan Deklarasi Djuanda.
Kabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
3. Kondisi Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
Sesudah Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, KMB membebankan
pada Indonesia hutang luar negeri sebesar Rp 2.800 juta. Sementara ekspor masih
tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan saja. Dari sisi moneter defisit
pemerintah sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah pada 20
Maret 1950. Jumlah itu didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp 1,6 milyar.
Kemudian dengan kesepakatan Sidang Menteri Uni Indonesia-Belanda, diperoleh
kredit sebesar Rp 200.000.000,00 dari negeri Belanda. Pada 13 Maret 1950 di
bidang perdagangan diusahakan untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikat
devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang ekspor. Keadaan sedikit
membaik tahun 1950. Ekspor Indonesia menjadi 187% pada bulan April 1950,
243% pada bulan Mei atau sejumlah $ 115 juta. Selain itu diupayakan mencari
kredit dari luar negeri terutama untuk pembangunan prasarana ekonomi. Menteri
Kemakmuran Ir. Djuanda berhasil mendapatkan kredit dari Exim Bank of
Washington sejumlah $ 100.000.000. Dari jumlah tersebut direalisasi sejumlah $
52.245.000. Jumlah ini untuk membangun proyek-proyek pengangkutan
automotif, pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan
perhubungan udara. Namun demikian sejak 1951 penerimaan pemerintah mulai
berkurang lagi, karena menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia
dengan ekonomi agrarianya memang tidak memiliki barang-barang ekspor lain
kecuali hasil perkebunan. Upaya perbaikan ekonomi secara intensif diawali
dengan Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang disusun Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikusumo di masa Kabinet Natsir. Sasaran utamanya adalah
industrialisasi. Setahun kemudian, pada zaman Kabinet Sukiman, pemerintah
membentuk Biro Perancang Negara yang berturut-turut dipimpin oleh Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikusumo, Ir. Djuanda, dan Mr. Ali Budiardjo. Pada tahun 1956
5
badan ini menghasilkan suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960)
dan untuk melaksanakannya, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Perancang
Nasional. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp 12,5 milyar,
didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama
lima tahun. Ternyata harga ekspor bahan mentah Indonesia merosot. Hal ini
mendorong pemerintah untuk melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaan-
perusahaan milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember 1957. Sementara itu,
ketegangan politik yang timbul akibat pergolakan daerah ternyata tidak dapat
diredakan dan untuk menanggulanginya diperlukan biaya yang besar, sehingga
mengakibatkan meningkatnya defisit. Padahal ekspor justru sedang menurun.
Situasi yang memburuk ini berlangsung terus sampai tahun 1959. Dalam bidang
ekonomi satu fenomena moneter yang paling terkenal pada periode ini adalah
pemotongan mata uang rupiah menjadi dua bagian. Pengguntingan uang ini
terkenal dengan sebutan “gunting Syafrudin”. Tujuan dari pengguntingan uang ini
adalah untuk menyedot jumlah uang beredar yang terlalu banyak, menghimpun
dana pembangunan dan untuk menekan defisit anggaran belanja.
4. Akhir masa demokrasi liberal
Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang
menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak
percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri
dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki
kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-
kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang
rumit. Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan
dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi
panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik. Setelah negara RI
dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia
selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan
sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila
dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan
Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta
merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan
6
makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit presiden tersebut sebagai berikut :
a. Pembubaran Konstituante
b. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
c. Pembentukan MPRS dan DPAS
Dengan dikeluarkannya dekrit tersebut maka berakhir pula lah masa
demokrasi liberal yang kemudian berganti manjadi demokrasi terpimpin.
B. Awal Lahirnya Masa Demokrasi Terpimpin
Dalam sejarah Indonesia, masa Demokrasi Terpimpin merupakan suatu
periode yang cukup penting karena penerapan sistem ini membawa pengaruh
besar dalam berbagai segi kehidupan bangsa Indonesia. Mengenai kelahiran
sistem ini, sebenarnya sudah dilontarkan oleh Presiden Soekarno sejak tahun
1956. Dan sejak tahun 1957 Presiden Soekarno mengemukakannya secara formal
dengan mengusulkan pembentukan kabinet Gotong Royong dan pembentukan
Dewan Nasional.
Dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno menyatakan konstitusi 1950 tak
berlaku lagi dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sistem pemerintahan
presidensial ini dipandang sebagai alternatif yang sesuai di Indonesia bila
dibandingkan dengan sistem Demokrasi Liberal yang merupakan impor, dan
dipandang sebagai upaya kembali kepada semangat revolusi nasional.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno langsung
memimpin pemerintahan dan bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan (Perdana Menteri) serta membentuk Kabinet Kerja yang menteri-
menterinya tidak terikat kepada partai.
Konsepsi Presiden Soekarno ini didasarkan pada penafsiran “terpimpin” dari
isi pembukaan UUD 1945, tepatnya sila keempat Pancasila yang berbunyi
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”, dimana “terpimpin” diartikan sebagai terpimpin secara mutlak oleh
diri pribadinya dan menciptakan atribut “Pemimpin Besar Revolusi, Panglima
Tertinggi Angkatan Perang“, sehingga Presiden menjadi penguasa tertinggi dan
mutlak di dalam Negara.
7
Di dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa presiden adalah mandataris MPR,
dengan demikian, presiden berada dibawah MPR. Namun dalam kenyataannya
anggota MPRS diangkat berdasarkan penetapan presiden. Presidenlah yang harus
menentukan apa saja yang akan diputuskan MPRS. Hal ini berarti bahwa UUD
1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sebagai akibatnya, terjadi
ketidakstabilan kehidupan ketatanegaraan terutama dalam bidang politik. Hal ini
dapat kita lihat dari beberapa tindakan Soekarno yang otoriter seperti menetapkan
Manipol (Manifesto Politik) sebagai GBHN (Pen-Pres no.1 tahun 1960),
pembubaran DPR hasil Pemilu (Pen-Pres no.3 tahun 1960), pembentukan DPR
Gotong Royong untuk mengganti DPR hasil Pemilu yang dibubarkan (Pen-Pres
no.4 tahun 1960). Begitu pula dalam penggantian ketua,wakil dan anggota, wakil
dan anggota DPR-GR, Presiden Soekarno Pen-Pres tanpa meminta persetujuan
lembaga legislatif yang ada, tetapi menurut keinginan Soekarno sendiri”.
Tindakan Presiden Soekarno yang inkonstitusional ini menimbulkan
perpecahan dalam negeri, terutama dengan angkatan bersenjata di bawah
Nasution. Selain dengan Nasution, Soekarno memandang Masyumi dan PSI
sebagai penghalang kebijaksanaan yang akan diambilnya, apalagi dikaitkan
dengan pemberontakan PRRI/Permesta, di mana menurut Soekarno; militer,
Masyumi dan PSI terlalu lemah dalam menangani masalah PRRI tersebut.Kini
Indonesia bergerak menuju radikalisme yang akan memberi peluang kepada PKI
untuk berkembang walaupun walaupun masih menghadapi permusuhan dengan
pihak tentara. Tersisihnya tentara di dalam pandangan Soekarno dan semakin
dekatnya PKI merupakan gambaran inti kehidupan atau suasana politik masa awal
demokrasi terpimpin yang dalam beberapa tulisan Soekarno dicap sebagai
diktator. Namun oleh beberapa sejarawan menolak anggapan tersebut, seperti
pendapat Prof.Legge (guru besar sejarah dari Universitas Monash, Melbourne)
yang dikutip oleh Moedjanto yakni sebagai berikut:
Betapapun juga besarnya kekuasaan Soekarno tetapi pemusatan kekuasaan
secara riil tidak ada padanya. Yang nampak justru pembagian kekuasaan dengan
kekuatan sosial politik lain meskipun tidak secara konstitusional. Ia tidak
mengambil keputusan secara egosentris tetapi bermusyawarah dulu meski ia yang
paling menentukan. Seorang dikataor membrangus pers dan memenjarakan lawan
8
politiknya dalam suatu kamp konsentrasi adalah hal biasa. Tetapi di jaman
Soekarno pembrangusan pers dan pemenjaraan lawan politiknya hanya
merupakan suatu kekecualian, tidak merupakan hal yang umum” . Meski diakui
bahwa situasi politik pada masa awal demokrasi terpimpin tidak stabil namun
untuk mengatakan bahwa Soekarno seorang diktator diperlukan penelaahan yang
lebih mendalam. Namun dapat disimpulkan bahwa tindakan Soekarno dalam
menerapkan Demokrasi menimbulkan pro dan kontra, begitu juga penilaian
terhadap tindakannya.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut kami, masa demokrasi liberal ini banyak merugikan bangsa
Indonesia. Karna pada masa liberal ini politik di Indonesia tidak stabil, sehingga
pemerintahan bangsa Indonesia tidak berjalan dengan baik.
Sedangkan pada awal masa demokrasi terpimpin seharusnya presiden
Soekarno bermusyawarah terlebih dahulu dengan anggota legislatif dalam
penggatian wakil ketua dan anggota-anggota lainnya dalam pemerintahan, agar
tidak terjadi suatu perpecahan dalam negri. Karna semua itu merugikan bangsa
dan pemerintahan Indonesia.
C. Saran
Saran dari kelompok kami, pemerintah Indonesia hendaklah bangkit untuk
menjadikan Negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Terutama dalam ketidak
stabilan ke tatanegaraan di bidang politik. Serta pemerintah harus memperbaiki
perekonomian Negara Indonesia agar tidak terjadi kerugian ekspor dan
pemasukan pada defisit Negara.
10
DAFTAR PUSTAKA
http://www.anneahira.com/masa-demokrasi-liberal.htm
http://makalahhisto.blogspot.com
http://febrianenugroho.blogspot.com
http://www.tuanguru.com
11