Marginalisasi Pendidikan Di Daerah Perbatasan (Studi Kasus ...repository.umrah.ac.id/826/1/Jurnal...
Transcript of Marginalisasi Pendidikan Di Daerah Perbatasan (Studi Kasus ...repository.umrah.ac.id/826/1/Jurnal...
1
Marginalisasi Pendidikan Di Daerah Perbatasan
(Studi Kasus Di Desa Mapur Kecamatan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan
Provinsi Kepulauan Riau)
Lia Auldina
Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Abstract The purpose of this study is to describe the marginalization of education in Desa Mapur Kecamatan Bintan
Pesisir Kabupaten Bintan. This Study use descriptive research. Participants in this study were chosen by Snowball Sampling. Data werw analyyzed through the process of data reduction, display and conclution. The
theory used in this research is the theory of marginalization according to Alfitri (2006) and the theory of Weak
State according to Francis Fukuyama (2004). Based on the results of the research, it can be analyzed that the marginalization of education in Desa Mapur originated from the location of the village which is far from the
capital of Kecamatan Bintan Pesisir and from the Kota Kijang, the number of residents and the students are few,
resulting in the form of marginalization in the form of incomplete education facilities. This proves that the local
government is less committed in providing education services for Desa Mapur which is a border area. The conclusion of this marginalization of education in Desa Mapur brings the consequences to the local community
such as moving to areas with more complete educational facilities, dropping out of school, double teaching
teachers and schools can not develop, the emergence of marginalization due to weak state in performing its functions so that it is not in accordance with applicable regulation. The suggestion of this research is to build
border class for senior high school level which is still part of one of the high schools in the area, and by
conducting direct survey to the area that will be built by government not only rely on existing data.
Key Words: Marginalization, Weak State, Education, Border Region
Abstraksi Pada hakikatnya daerah perbatasan merupakan daerah terdepan yang menjadi halaman depan negara Indonesia,
dan hal ini menjadi alasan utama pemerintah harus memberikan perhatian khusus. Namun faktanya pendidikan
di daerah perbatasan sangat terbelakang, hingga saat ini perkembangan pembangunan di bidang pendidikan
belum menunjukan peningkatan. Salah satu daerah yang termasuk perbatasan yaitu Desa Mapur Kecamatan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan. Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendeskripsikan
Marginalisasi Pendidikan di Desa Mapur Kecamatan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan, dalam pembahasan
skripsi ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Informan dalam penelitian ini diambil menggunakan teknik snowball sampling. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori marginalisasi menurut
Alfitri (2006) dan teori Negara Lemah menurut Francis Fukuyama (2004). Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dianalisis bahwa marginalisasi pendidikan di Desa Mapur berawal dari letak desa yang jauh dari ibukota
kecamatan Bintan Pesisir maupun dari kota Kijang, jumlah penduduk dan pelajar yang sedikit, sehingga
menimbulkan bentuk marginalisasi berupa, tidak lengkapnya fasilitas pendidikan.
Kata kunci: Marginalisasi, Negara Lemah, Pendidikan, Daerah Perbatasan
2
PENDAHULUAN
Penelitian ini didorong oleh beberapa alasan penting. Pertama, sejak awal kemerdekaan hal
yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini adalah pendidikan yang berkualitas dan demokratis yang
mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa. Salah satu tujuan nasional yang dinyatakan dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap warga negara Indonesia berhak
mendapatkan pendidikan yang layak dan merata, tidak membeda-bedakan ras, agama, pendapatan dan
tempat tinggal. Masyarakat Desa Mapur hidup dan sekolah dengan banyak keterbatasan. Kurangnya
fasilitas pendidikan dan dominannya pekerjaan sebagai nelayan penangkap ikan membawa pengaruh
kepada anak-anak setempat sehingga memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah. Desa Mapur
merupakan bagian dari Kecamatan Bintan Pesisir dan Kabupaten Bintan, dimana khusus untuk
Kabupaten Bintan telah dijalankan program sekolah gratis oleh pemerintah daerah Bintan dimana SPP
dan uang transportasi digratiskan serta pelajar mendapat perlengkapan belajar dan seragam gratis untuk
tahun pertama ajaran. Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan memprioritaskan pembangunan di daerah-
daerah perbatasan, pemerintah juga berlakukan program guru garis depan, dimana pemerintah akan
mengirim beberapa guru untuk mengajar di pulau-pulau terdepan salah satunya Desa Mapur.
Kedua, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada BAB II Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) menjelaskan
bahwa pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin akses masyarakat atas pelayanan pendidikan
yang mencukupi, merata, dan terjangkau, menjamin mutu dan daya saing pendidikan serta relevansinya
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat serta menjamin efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas
pengelolaan pendidikan (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2010). Kecamatan Bintan
Pesisir dibentuk dalam rangka pengembangan dan kemajuan pembangunan. Karena adanya aspirasi
masyarakat dan keinginan untuk lebih meningkatkan kemajuan diberbagai sektor pelayanan
masyarakat. Namun faktanya pelayanan pendidikan yang didapatkan oleh masyarakat Desa Mapur
belum mencukupi, terbukti dengan jumlah kelas untuk SD hanya tersedia 9 ruangan dan untuk SMP
hanya tersedia 3 ruang kelas, sementara SD dan SMP di desa ini berada dalam lingkungan yang sama
atau dikenal dengan satu atap. Tenaga listrik didesa hanya tersedia 5 jam yaitu dari jam 18.00-23.00
WIB, listrik merupakan salah satu sarana atau kebutuhan yang wajib dimiliki oleh sekolah namun
dengan kondisi yang seperti ini membuat kegiatan sekolah menjadi terhambat.
3
Ketiga, Desa Mapur merupakan satu-satunya desa yang ada di Kecamatan Bintan Pesisir yang
batas Timur desanya berhadapan langsung dengan Laut China Selatan. Ibukota Kecamatan Bintan
Pesisir yaitu Desa Kelong dan desa yang terjauh dari Ibukota Kecamatan yaitu Desa Mapur dengan
jarak 41 Km. Transportasi menuju Desa Mapur dari Pelabuhan Kijang hanya tersedia satu kapal dan
memakan waktu hingga 2 jam lamanya. Sulitnya untuk menjangkau daerah perbatasan ini menjadi
salah satu faktor yang membuat kehidupan masyarakatnya serba terbatas. Sarana pelayanan pendidikan
yang minim serta kurangnya dorongan dari orangtua kepada anak-anak mereka untuk bersekolah dan
cenderung mengarahkan anak untuk bekerja daripada sekolah, membuat sebagian besar masyarakat
Desa Mapur hanya tamatan SD yaitu sebanyak 64% dan buta huruf serta tidak tamat SD sebanyak
26% dengan 258 KK (“Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia,” 2012).
Melihat kondisi pendidikan yang ada didesa ini dapat dimaknai bahwa adanya gejala
marginalisasi dalam bidang pendidikan di Desa Mapur. Menurut Bappenas dalam (Nugroho, 2012:368-
9), kebijakan pembangunan wilayah perbatasan semestinya dilaksanakan dengan memenuhi salah satu
prinsip yaitu mewujudkan wilayah perbatasan sebagai “halaman depan” negara dan menyeimbangkan
tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tujuan pertahanan wilayah negara dengan
menggunakan salah satu strategi yaitu: 1) Mengurangi ketimpangan dengan percepatan pembangunan
pendidikan dan kesehatan. 2) Meningkatkan aksesibilitas wilayah. 3) Meningkatkan prasarana publik di
perbatasan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teori
yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti yaitu teori Marginalisasi menurut Alfitri
(2006) dan Weak State (Negara Lemah) menurut Francis Fukuyama (2004).
A. Teori Marginalisasi
Marginalisasi menurut Hall, Stevens, Meleis, Martin, dan Hutchinson dalam (Smith, 2004)
marginalisasi adalah proses dimana individu-individu diketepikan atas dasar identitas dan pengalaman
mereka yang mengakibatkan kondisi marginal (terpinggirkan). Menurut Alfitri (2006) untuk
memahami masyarakat marginal maka dapat dilihat dengan 3 dimensi yaitu:
1) Dimensi Ekonomi: Peluang Pekerjaan dan Status Sosio-Ekonomi,
4
Dimensi ini menjelaskan bahwa masyarakat yang dimarginalkan mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan dikarenakan kriteria-kriteria tertentu yang menjadi syarat dalam mendapatkan
sebuah pekerjaan seperti perbedaan warna kulit, suku atau agama maupun pengalaman, kriteria-kriteria
tersebut membawa pengaruh terhadap jumlah gaji yang diterima. Masyarakat marginal juga ditandai
dengan adanya perbedaan dari segi kasta maupun statusnya dalam kehidupan sosial ditengah-tengah
kehidupan masyarakat.
2) Dimensi Politik dan Administrasi Publik
Dimensi ini menjelaskan bahwa masyarakat yang dimarginalkan tidak dilibatkan dalam kegiatan
berpolitik serta tidak mendapatkan kemudahan-kemudahan dari pemerintah.
3) Dimensi Kemudahan Fisik: Keterbatasan dalam Aksesibiltas
Dimensi ini menjelaskan bahwa masyarakat yang dimarginalkan tidak mendapat kemudahan atau
bantuan fisik seperti akses komunikasi, teknologi, air bersih, listrik, bantuan kesehatan, pendidikan
dan lain sebagainya.
B. Teori Weak State (Negara Lemah)
Gagasan Fukuyama (2004) terkait negara yang lemah terilham dari realitas munculnya aksi-aksi
terorisme, penyakit HIV, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil, adalah hal
yang tidak mungkin muncul dengan sendirinya. Namun hal ini merupakan gejala politik dimana negara
gagal menjalankan fungsinya. Kondisi ini membuat Fukuyama berpendapat bahwa sudah saatnya kita
memperkuat fungsi negara dengan terlebih dahulu memahami perannya di dalam masyarakat. Negara
lemah cenderung memotong atau membatasi hak-hak masyarakat sipil ketimbang berkeinginan untuk
membangun negara dengan menghargai ha-hak masyarakat sipil. Peran negara harus dipahami dalam
dua dimensi, yaitu cakupan (scope) atau ruang lingkup fungsi negara (state function) maupun kekuatan
atau kapasitas negara (state capacity). Fancis Fukuyama (2004) berpendapat bahwa fungsi negara tidak
cukup hanya dikaji dari sudut kekuatan maupun kekuasaan semata dengan meninggalkan pendekatan
ruang lingkup negara. Francis Fukuyama menginginkan fungsi negara menjadi kuat karena bertujuan
untuk kesejahteraan masyarakat. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa
hadirnya negara yang mampu menjalankan fungsinya secara efektif. Sebaliknya negara yang kuat tanpa
5
menjamin kebebasan dan kesejahteraan warganya akan melahirkan kediktatoran yang tidak akan
bertahan lama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa informan seperti
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bintan Komisi III, Kepala Dinas Pendidikan
Kabupaten Bintan, Kepala Dusun Desa Mapur, Komite Sekolah SD, Guru SDN 004 Desa Mapur,
Wakil Kepala Sekolah SMPN 22 Desa Mapur, Murid SDN 004 Desa Mapur, Murid SMPN 22 Desa
Mapur dan Masyarakat Desa Mapur, ditemukan beberapa hal yang dapat mendeskripsikan proses
marginalisasi bagi dengan menggunakan teori marginalisasi menurut Alfitri (2006) untuk memahami
kondisi pendidikan didesa tersebut 3 dimensi sebagai berikut:
1) Dimensi Ekonomi : Peluang Pekerjaan dan status Sosio-Ekonomi.
Dimana masyarakat dimarginalkan berdasarkan tingkat sosial maupun pembedaan berdasarkan
karakteristik tertentu sehingga memberikan dampak kepada perekonomian mereka. Hal ini tidak terjadi
di Desa Mapur, lapangan pekerjaan dan perekonomian didesa kurang dikarenakan letak desa yang jauh
dari kota yaitu 42 KM dari Kota Kijang, bukan karena pembedaan atas status sosial mereka. Jika
dianalisis dari segi pendidikan dapat dillihat pada penjelasan sebelumnya bahwa Desa Mapur hanya
memiliki 1 SD dan 1 SMP yang masih berada dalam lingkungan yang sama yaitu satu atap. Banyak
warga tidak atau belum bersekolah didesa yaitu sebanyak 379 orang, hal ini dapat menjadi salah satu
alasan terhambatnya para warga yang ingin mendapatkan pekerjaan dikarenakan status pendidikan
mereka yang terkadang tidak sesuai dengan kriteria pihak penerima kerja, sehingga hal ini menjadi
salah satu yang mempengaruhi perekonomian warga setempat, dikarenakan hal ini juga maka
masyarakat memilih untuk menjadi nelayan yang sekiranya tidak perlu status pendidikan yang tinggi
dan hanya berbekal pengalaman.
2) Dimensi Politik dan Administrasi Publik.
Dimensi dimana adanya golongan yang tidak mendapat bantuan dari pemerintah dan tidak
dilibatkan dalam kegiatan berpolitik. Hal ini terjadi dalam bidang pendidikan di Desa Mapur dimana
tidak adanya SMA untuk desa ini dan hanya tersedia 1 SD dan 1 SMP, yang dapat dilihat pada tabel
berikut:
6
Tabel 1
Daftar Nama Sekolah di Kecamatan Bintan Pesisir Setiap Desa
Tahun 2017
Tingkat
Pendidikan Air Glubi Numbing Kelong Mapur
SD SDN 005
SDN 001 SDN 002
SDN 004
SDN 006 SDN 003
SMP - SMPN 18 SMPN 19 SMPN 22
SMA - SMAN 7 SMAN 2 -
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan Tahun 2017
Kecamatan Bintan Pesisir memiliki 11 sekolah, yang terdiri dari 6 SD, 3 SMP dan 2 SMA, untuk SMA
yang berada di Kelong baru berdiri pada tahun 2017, semua sekolah merupakan Sekolah Negeri. Desa
yang tidak memiliki sekolah biasanya mereka akan menyeberang atau pindah ke desa atau kota lainnya
untuk melanjutkan pendidikan, salah satunya yaitu masyarakat Desa Mapur. Anak-anak yang akan
melanjutkan ke tingkat SMA mereka akan keluar pulau di karenakan belum adanya transportasi khusus
pelajar yang mengantarkan mereka ke lokasi yang memiliki SMA maka anak-anak tersebut akan di kos
kan oleh orangtuanya maupun tinggal dengan saudara yang ada di lokasi tersebut bahkan tak jarang
satu keluarga ikut pindah tempat tinggal. Maka dari itu Desa Mapur tidak mendapatkan pelayanan
pendidikan untuk tingkat SMA hal ini dikarenakan untuk membangun SMA maka setidaknya terdapat
rombongan belajar dimana terdiri dari 20 murid untuk 1 rombongan belajar, tanpa adanya rombongan
belajar ini maka kelas tidak dapat dibentuk. Pembangunan sekolah harus mengikuti Persyaratan
Pendirian Satuan Pendidikan baik Pendirian SD, SMP, SMA Dan SMK diatur dalam Pasal 4 ayat
(1) Permendikbud Nomor 36 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian, Perubahan, dan Penutupan
Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Salah satu faktor lainnya yang menyebabkan tidak
dibangunnya SMA yaitu di karenakan kondisi geografis Kabupaten Bintan yang sangat kompleks dan
Desa Mapur bukan merupakan ibu kota kecamatan Bintan Pesisir, jumlah penduduk yang kurang
sehingga ada kemungkinan ketika dibangun SMA jumlah murid tidak banyak atau kurang, seandainya
dibangun Sekolah Menengah Atas (SMA) maka akan menjadi hal yang sia-sia, untuk jumlah penduduk
di Desa Mapur yakni 1.017 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 246. Jumlah pelajar mencapai 243 orang,
7
dengan tenaga pengajar berjumlah 15 orang. Berikut adalah tabel jumlah murid dan guru di Kecamatan
Bintan Pesisir:
Tabel 2
Jumlah Murid Di Kecamatan Bintan Pesisir Tahun 2017
Desa SD SMP SMA
Air Glubi 175 - -
Numbing 392 133 63
Kelong 416 287 59
Mapur 113 99 -
Jumlah 1.096 519 122
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan Tahun 2017
Tabel 3
Jumlah Tenaga Pengajar di Kecamatan Bintan Pesisir
Tahun 2017
Nama Desa Nama Sekolah Jumlah Guru Total
Air Glubi SDN 005 12 12
Numbing
SDN 001 17
61
SDN 006 11
SMPN 18 19
SMAN 7 14
Kelong
SDN 002 14
51
SDN 003 9
SMPN 19 13
51
SMAN 2 15
8
Mapur
SDN 004 8
15
SMPN 22 7
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan Tahun 2017
Jumlah guru di Desa Mapur merupakan yang paling sedikit daripada desa-desa lainnya yang ada di
Kecamatan Bintan Pesisir. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk guru di Desa Mapur mereka
menerapkan mengajar rangkap untuk mencukupi kegiatan mengajar disekolahnya, dan secara rasio
murid terhadap guru mengajar maka jumlah guru didesa telah mencukupi. Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru Pasal 17 yang diberlakukan semenjak 2016/2017 menyatakan
bahwa Guru Tetap pemegang Sertifikat Pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi apabila
mengajar disatuan pendidikan yang rasio minimal jumlah peserta didik terhadap gurunya, untuk
masing-masing jenjang pendidikan adalah sebagai berikut, SD atau yang sederajat 20:1, SMP atau
sederajat 20:1, SMA atau yang sederajat 20:1. Jumlah murid disetiap sekolah yang ada di Desa Mapur
rata-rata berjumlah 20 murid, jika dilihat dari segi rasio jumlah murid terhadap guru maka kegiatan
mengajar disekolah telah mencukupi. Sekolah masih kekurangan guru Bahasa Inggris maka meskipun
guru-guru didesa telah mengajar rangkap tetapi tetap tidak dapat memenuhi mata pelajaran Bahasa
Inggris, maka tenaga pengajar di Desa Mapur tidak mengalami marginalisasi oleh pemerintah.
Sebelumnya untuk SMP di Desa Mapur jumlah guru yang mengajar yaitu 10 orang, namun 3
diantaranya dipindah tugaskan ke lokasi lain di luar Pulau Mapur, maka dari itu yang mengajar saat ini
hanya ada 7 guru. Peneliti menemukan fakta bahwa pemerintah pusat menyiapkan program mengajar
garis depan untuk setiap daerah di Indonesia dan hal ini akan ditangani oleh Dinas Pendidikan di
masing-masing daerahnya. Namun sampai saat peneliti melakukan penelitian hal tersebut belum
terlaksana, bahkan ketika ditanya akan hal ini kepada beberapa pihak sekolah di desa mereka belum
mengetahui adanya program tersebut. Kabupaten Bintan menerapkan program sekolah gratis dimana
gratis SPP dan transportasi sekolah, serta seragam gratis untuk awal tahun ajaran. Program sekolah
gratis ini dibiayai oleh Pemerintah Pusat dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
dengan BOSNAS (Bantuan Operasional Sekolah Nasional) dan oleh Pemerintah Daerah dari dana
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dengan BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah
Daerah).
9
Tabel 4
Dana BOSNAS dan BOSDA T.A 2017/2018
Kecamatan Bintan Pesisir
DESA SEKOLAH BOSNAS (Rp) BOSDA (Rp) TOTAL
Air Glubi SDN 005 73.600.000 16.000.000 89.600.000
Numbing
SDN 001 232.800.000 16.000.000 248.800.000
SDN 006 79.200.000 16.000.000 95.200.000
SMPN 18 133.000.000 19.200.000 152.200.000
Kelong
SDN 002 254.400.000 16.000.000 270.400.000
SDN 003 48.000.000 16.000.000 64.000.000
SMPN 19 156.000.000 19.200.000 175.200.000
Mapur
SDN 004 111.200.000 16.000.000 127.200.000
SMPN 22 160.000.000 19.200.000 179.200.000
Total 1.248.200.000 153.600.000 1.401.800.000
Sumber: Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Bintan
*BOSNAS : Bantuan Operasional Sekolah Nasional (dari APBN)
*BOSDA : Bantuan Operasional Sekolah Daerah (dari APBD)
Tabel 5
Total Anggaran Setiap Sektor Kabupaten Bintan
No. SEKTOR/BIDANG
Anggaran (RP)
2016 2017
1. Pendidikan 225.106.574.500 236.122.847.467
2. Kesehatan 113.685.925.696 127.804.537.721
3. Kelautan dan Perikanan 19.026.769.532 19.367.059.834
10
4. Pariwisata 14.291.254.339 13.150.216.457
5. Pertanian dan Perkebunan 10.324.574.065 11.000.691.266
6. Kebudayaan 8.902.956.958 6.918.541.268
7. Sosial 8.427.286.016 9.512.186.146
Sumber: Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Bintan
Berdasarkan Tabel tersebutdapat diketahui bahwa anggaran pendidikan untuk Kabupaten Bintan
merupakan anggaran yang paling besar dari setiap sektor, hal ini membuktikan bahwa dari anggaran
pemerintah tidak memarginalkan pendidikan. Bantuan BOSNAS dan BOSDA yang diberikan oleh
pemerintah untuk Desa Mapur di samaratakan dan disesuaikan dengan kebutuhan dengan setiap
sekolah di desa lain yang berada di Kecamatan Bintan Pesisir.
Tenaga pengajar yang ada didesa memang yang paling sedikit diantara semua desa yang ada di
Kecamatan Bintan Pesisir namun menurut rasio murid terhadap guru yang mulai diberlakukan pada
tahun 2016/2017 jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kegiatan belajar dan mengajar. Sementara
untuk pembangunan SMA pemerintah tidak dapat lakukan dikarenakan beberapa persyaratan yang
terlebih dahulu dipenuhi yang menjadi faktor penghambat pembangunan SMA didesa. Hal ini tidak
membuktikan adanya marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah karena sesuai dengan peraturan
yang berlaku dan disesuaikan dengan kebutuhan. Namun adanya ketidakjelasan program Guru Garis
Depan yang diselenggarakan Pemerintah baik itu dari Pusat maupun Daerah yang seharusnya dapat
memberikan bantuan besar untuk daerah-daerah perbatasan seperti Desa Mapur seperti yang diketahui
bahwa Program Guru Garis Depan sebenarnya akan direalisasikan pada bulan Agustus 2017 namun
hingga saat peneliti melakukan penelitian program tersebut belum berjalan bahkan dari pihak desa
maupun sekolah tidak mengetahi adanya program tersebut.
3) Dimensi Kemudahan Fisik : Keterbatasan dalam Aksesibilitas.
Yaitu dimensi dimana orang-orang atau golongan yang tidak mendapat kemudahan baik dari segi
teknologi, komunikasi, kesehatan, transportasi, air bersih dan lain sebagainya. Keterbatasan yang
terjadi di Desa Mapur salah satunya yaitu transportasi, teknologi dan komunikasi, seperti yang
11
sebelumnya telah dijelaskan bahwa Desa Mapur hanya memperoleh listrik sejak pukul 18.00-23.00
saja, hal ini membawa pengaruh besar terhadap aktivitas masyarakat maupun aktivitas mengajar di
sekolah-sekolah di pagi hingga siang harinya, dikarenakan hal ini kegiatan belajar di sekolah-sekolah
yang ada didesa menjadi terbatas. Terkhusus untuk Desa Mapur yang merupakan daerah perbatasan
dan juga satu-satunya desa di Kecamatan Bintan Pesisir yang jauh dari ibu kota kecamatan, peneliti
menemukan bahwa sarana dan perlengkapan belajar yang didanai oleh pemerintah tidak sepenuhnya
masuk didesa tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan tabel data kelengkapan pendidikan di SD dan
SMP di desa :
Tabel 6
Fasilitas Sekolah Dasar Negeri 004 Desa Mapur
No. Fasilitas
Ada Memadai
Ya Tidak Ya Tidak
1. Listrik - -
2. Kursi - -
3. Meja - -
4. Buku - - -
5. Komputer - -
6. Alat tulis - -
7. Ruang Kelas - -
8. Perpustakaan - - -
9. Mushala - - -
10. Lapangan - - -
11. Pagar Keliling - - -
Sumber: Sekolah Dasar Negeri (SDN) 004 Desa Mapur, 2017
12
Tabel 7
Fasilitas Sekolah Menengah Pertama 22 Desa Mapur
No. Fasilitas
Ada Memadai
Ya Tidak Ya Tidak
1. Listrik - -
2. Meja - -
3. Kursi - -
4. Komputer - -
5. Alat Tulis - -
6. Buku - -
7. Ruang Kelas - -
8. Perpustakaan - - -
9. Lapangan - - -
10. Mushala - - -
11. Laboratorium - - -
12. Ruang Komputer - - -
Sumber: Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 22 Desa Mapur, 2017
Tabel 8
Daftar Fasilitas Sekolah di Kecamatan Bintan PesisirTahun 2017
Desa Nama Sekolah
Fasilitas Sekolah
Listrik Perpustakaan Komputer Labor Lapangan Infokus
Air Glubi SDN 005 - - -
Numbing SDN 001 - -
13
SDN 006 - - - -
SMPN 18 - -
SMAN 7 -
Kelong
SDN 002 - - -
SDN 003 - -
SMPN 19 - - -
SMAN 2 - - - -
Mapur
SDN 004 - - - -
SMPN 22 - - - -
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan Tahun 2017
Tabel 9
Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Bintan Utara Kabupaten Bintan
Nama Sekolah
Fasilitas Sekolah
Listrik Perpustakaan Komputer Labor Lapangan Infokus
SDN 001 -
SDN 002 - -
SDN 003 -
SDN 004 -
SDN 005 -
SDN 006 - -
SDN 007 -
14
SDN 008 - - -
SDN 009 -
SMPN 11
SMPN 12
SMPN 13
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan, 2017
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa fasilitas sekolah yang ada di Kecamatan Bintan Pesisir
masih terdapat kekurangan, terutama sekolah yang ada di Desa Mapur yang hanya memiliki fasilitas
komputer dan infokus, untuk listrik pemerintah menyediakan ganset namun beberapa diantaranya telah
rusak dan tidak dapat digunakan. Beberapa sekolah yang ada di Kecamatan Bintan Pesisir lainnya juga
masih ada yang mengandalkan ganset sebagai sumber listrik di sekolah mereka. Pagar juga merupakan
salah satu fasilitas yang juga menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah yang harus dipenuhi, pihak
SD di Desa Mapur telah beberapa kali mengajukan proposal untuk diadakannya pagar disekolah
mereka namun belum ada tanggapan, dapat disimpulkan bahwa adanya kemungkinan sikap dari pihak
pemerintah cenderung mengabaikan keadaan sekolah di Desa Mapur, diketahui sebelumnya pihak desa
telah melaporkan akan rencana tersebut namun belum ada tanggapan. Sementara jika melihat dari
Tabel . Terlihat sangat jelas perbedaan kelengkapan fasilitas baik yang ada Kecamatan Bintan Pesisir
yang notabanenya merupakan sekolah yang berada jauh dari kota dengan sekolah yang di Kecamatan
Bintan Utara yang berada dikota.
Sepanjang tahun 2015-2017 Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan telah merancang program dan
kegiatan dalam membangun pendidikan di daerahnya, pada RENSTRA (Rencana Strategis) Dinas
Pendidikan Kabupaten Bintan ditemukan fakta bahwa dari tahun 2015 hingga tahun 2017 pihak Dinas
Pendidikan tidak serius dalam membangun fasilitas didaerah perbatasan terutama Desa Mapur. Selama
3 tahun berturut-turut pemerintah merencanakan pembangunan berbagai fasilitas diantaranya
perpustakaan, laboratotium, ruang kelas, lapangan olahraga, dan pagar namun hingga saat peneliti
melakukan penelitian yaitu pada tahun 2017 fasilitas sekolah tersebut kurang bahkan ada yang tidak
ada di Desa Mapur. Pemerintah daerah Kabupaten Bintan menjelaskan bahwa pembangunan fasilitas
sekolah didaerah perbatasan merupakan prioritas dan disama ratakan dengan sekolah-sekolah yang ada
15
didaratan atau di kota, namun peneliti menemukan adanya ketidaksamaan dengan kondisi sebenarnya
untuk sekolah di Desa Mapur sementara peneliti menemukan bahwa masih ada beberapa fasilitas yang
tidak ada di sekolah di Desa Mapur, bahkan jumlah murid semakin banyak sehingga mereka memilih
menggunakan ruang yang sebelumnya untuk laboratorium menjadai ruang kelas baru, hal ini
membuktikan bahwa pemerintah belum bergerak untuk membangun ruang kelas baru untuk SMP di
Desa Mapur.
Selain fasilitas sekolah yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat fasilitas lainnya yang tidak
dapat dipenuhi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan salah satunya yaitu transportasi khusus
untuk pelajar. Diketahui bahwa di Desa Mapur belum ada Sekolah Menengah Atas (SMA), sehingga
untuk melanjutkan ke tingkat tersebut masyarakat harus keluar dari desa atau menyeberang ke desa
yang tersedia SMA, untuk transportasi menuju ke lokasi tersebut pemerintah belum menyediakan.
Hanya ada 1 kapal yang berlayar setiap 3 kali seminggu didesa tersebut. Diketahui bahwa pemerintah
menyediakan transportasi laut untuk anak-anak sekolah yang akan menjemput mereka, namun pada
kenyataannya peneliti tidak menemukan hal tersebut di Desa Mapur. Pada tahun 2017 Pemerintah
Daerah Bintan memberikan bantuan tambahan transportasi gratis untuk anak-anak sekolah dan guru,
yaitu berupa 43 bus dan 19 kapal, rute yang di tempuh oleh kapal tersebut tidak ada yang melewati
Mapur dengan kata lain tidak ada kapal khusus untuk menjemput pelajar-pelajar di desa tersebut. Oleh
karena itu peneliti menemukan bahwa terjadi perbedaan pembangunan fasilitas pendidikan untuk
daerah yang berada dekat dengan pusat kota atau kecamatan atau daratan dengan daerah yang jauh dari
pusat kota atau kecamatan atau daratan yaitu di Desa Mapur. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa
pendidikan di Desa Mapur belum setara dengan pendidikan di daerah maupun desa lainnya, di mana
masyarakat dan murid-murid belum mendapat kesempatan yang sama dari segi transportasi maupun
fasilitas mengajar sehingga dapat mempengaruhi potensi yang ada di diri mereka. Fenomena ini
menjadikan sekolah di Desa Mapur tidak mendapatkan peluang yang sama dengan sekolah-sekolah
lainnya yang ada dikota, dan tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pada BAB II Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) dimana
seharunya pengelolaan pelayanan pendidikan menjamin akses, mutu, samarata, mencukupi, terjangkau,
efektif, efisien dan akuntabel.
16
Bagan 1
Alur Permasalahan
Sumber: Di kelola oleh Peneliti, 2017
Berdasarkan uraian dan penjelasan mengenai marginalisasi di Desa Mapur tersebut, maka penelit i
menemukan penyebab terjadinya marginalisasi tersebut disebabkan oleh Weak State atau negara lemah
dapat dilihat pada Bagan 1 menurut Fukuyama mucul akibat adanya gejala politik dimana negara gagal
menjalankan perannya. Negara yang lemah cenderung membatasi dan memangkas hak warga
negaranya daripada mencoba membangun negara dengan menghargai hak warga negaranya,
pemerintah negara yang lemah memanfaatkan kekuasaan dan kekuatannya untuk bertindak lebih,
sehingga lebih mengutamakan hak individual daripada hak publik. Berdasarkan Bagan dapat dianalisis
bahwa negara lemah berasal lemahnya pemerintahan (weak governance) yang terdiri dari lemahnya
pemerintah pusat dan pemerintah lokal dalam menjalankan fungsinya, dalam permasalahan yang
peneliti teliti pemerintah pusat dan daerah kurang memperhatikan sekolah di kawasan perbatasan,
yaitu Desa Mapur diketahui bahwa kawasan perbatasan merupakan “halaman depan” dari negara
Indonesia, namun kenyataan yang peneliti temukan kondisi pendidikan di Desa Mapur kurang dari
segi fasilitas dan tenaga pengajar dimana hal tersebut merupakan hak yang wajib mereka dapatkan dan
dipenuhi oleh negara. Sebagaimaana menurut Bappenas pembangunan di daerah perbatasan seharusnya
Dimensi Ekonomi: Peluang Pekerjaan dan status Sosio-Ekonomi.
Dimensi Politik dan
Administrasi Publik
Dimensi Kemudahan Fisik: Keterbatasan dalam Aksesibilitas
WEAK STATE (Negara Lemah)
menurut Francis Fukuyama (2004)
-WEAK GOVERNANCE
(Pemerintahan Lemah)
1. National Government
(Pemerintah Pusat)
2. Local Government (Pemerintah
Lokal)
Yang ditandai dengan lemahnya:
- Comitment (Komitmen)
- Policy (Kebijakan)
EDUCATION
MARGINALITATION
(Marginalisasi
Pendidikan)
Dengan teori Alfitri
(2006)
Disebabkan
17
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tujuan pertahanan wilayah negara
dengan cara salah satunya yaitu mempercepat pembangunan pendidikan dan meningkatkan
askesibilitas wilayah serta prasarana publiknya.
Lemahnya pemerintahan berakar dari lemahnya komitmen pemerintah serta kebijakan yang
berlaku. Negara yang kuat ditandai dengan kemampuan pemerintah menjamin hukum dan kebijakan
yang berlaku dinegaranya, ditaati oleh setiap warga negara tanpa menggunakan kekerasan, dengan kata
lain pemerintah harus memiliki komitman dan kebijakan yang jelas dan tegas. Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 hanya
sekedar memberikan arah bagi pembangunan wilayah perbatasan dari inward ke outward looking serta
mewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berkeadilan. Sebagai suatu kebijakan umum yang
bersifat visioner, sesuai dengan Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP
(Rencana Paembangunan Jangka Panjang) Nasional Tahun 2005-2025, permasalahan berkaitan dengan
pengelolaan perbatasan seharusnya dapat dijabarkan lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan
lain tentang bagaimana pengelolaan perbatasan Indonesia agar dapat mewujudkan pembangunan yang
lebih merata dan berkeadilan. Tetapi untuk lebih rinci lagi mengenai pembangunan untuk daerah
perbatasan agar merata dan berkeadilan belum ada. Arahan atau penjelasan yang dipandang lebih
memadai tentang pengelolaan perbatasan justeru terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang RTRW Nasional, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (22)yang berbunyi: Pusat
Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong
pengembangan kawasan perbatasan negara. Menurut kebijakan itu, kawasan perkotaan di kawasan
perbatasan akan didorong menjadi pusat kegiatan strategis nasional atau PKSN. Hal itu berarti akan ada
upaya untuk lebih mengembankan dan memberdayakan kota-kota atau calon kota diperbatasan, akan
menjadi pusat kegiatan yang diharapkan akan memiliki keunggulan kompetitif dan sekaligus
keunggulan komparatif dibandingkan dengan daerah perbatasan negara tetangga.
Pemerintah pusat merancang program khusus untuk daerah perbatasan dengan program guru garis
depan dimana untuk setiap perbatasan akan di kirimkan 18 guru untuk mengajar di daerahnya, namun
hingga saat ini baik pihak pemerintah daerah maupun pihak-pihak Kecamatan Bintan Pesisir dan Desa
Mapur belum menerima kelanjutan dan kejelasan dari program tersebut. Pemerintah daerah baik itu
Kabupaten Bintan maupun Kecamatan Bintan Pesisir tidak memiliki komitmen dalam membangun
pendidikan dikawasan perbatasan, berdasarkan Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Pendidikan
18
Kabupaten Bintan pada Tahun 2016-2021 tidak ditemukan adanya rencana khusus untuk kemajuan
pendidikan di daerah perbatasan, semua rencana strategis yang dibuat di sama ratakan untuk setiap
daerah, selain itu Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan pada tahun 2017 telah menambah transportasi
gratis untuk mengantar dan menjemput anak-anak sekolah, baik itu jalur darat maupun laut, namun hal
ini tidak diadakan untuk anak-anak sekolah di Desa Mapur, padahal daerah perbatasan merupakan
daerah yang harus mendapatkan perhatian khusus, terutama untuk Desa Mapur yang letaknya
berhadapan dengan Laut China Selatan,
Pihak Pemerintah Daerah hanya melakukan 1 kali kunjungan ke Sekolah di Desa Mapur. Pihak
Dinas Pendidikan mejelaskan bahwa untuk kegiatan sosialisasi telah diberikan kepada pihak Unit
Pelayanan Teknis (UPT) Kecamatan Bintan Pesisir, namun faktanya bahwa pihak UPT melakukan
kunjungan ke desa ketika Ujian Nasional setelah itu tidak ada lagi kunjungan dari pihak UPT maupun
dari pihak Dinas Pendidikan. Hal ini dapat menjadi alasan pembangunan pendidikan di desa sangat
lambat, ada kemungkinan bahwa Pemerintah Daerah sendiri cenderung mengabaikan. Hal ini sangat
jelas membuktikann bahwa pemerintah tidak berkomitmen dalam membangun daerah perbatasan yang
khususnya di Desa Mapur.
KESIMPULAN
Proses marginalisasi yang terjadi didesa ini dapat dijelaskan menggunakan teori marginalisasi
menurut Alfitri (2006) dengan 3 dimensi yaitu sebagai berikut:
1) Dimensi Ekonomi: Peluang Pekerjaan dan Status Sosio-Ekonomi.
Pada dimensi ini masyarakat Desa Mapur tidak mengalami marginalisasi oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Bintan, namun peneliti menemukan bahwa yang menjadi penyebab terjadinya kesulitan
yang dialami oleh masyarakat desa dalam mendapatkan pekerjaan yaitu dikarenakan status pendidikan
mereka yang membawa pengaruh terhadap perekonomian setiap masyarakat desa sehingga mata
pencaharian masyarakat desa lebih dominan sebagai nelayan.
2) Dimensi Politik dan Administrasi Publik.
Pada dimensi ini sekolah-sekolah di Desa Mapur mendapatkan bantuan anggaran yang disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing sekolah, secara keseluruhan anggaran pendidikan di Kabupaten
Bintan menjadi anggaran yang paling besar dibandingkan sektor lainnya. Jika dilihat dari Program
Guru Garis Depan yang dirancang oleh Pemerintah Pusat dan menjadi tanggungjawab untuk setiap
19
daerah di Indonesia, untuk program tersebut hingga saat ini belum ada kejelasan waktu realisasinya,
program ini sebelumnya direncanakan akan direalisasikan untuk setiap daerah Indonesia yaitu pada
bulan agustus tahun 2017 namun pihak pemerintah diketahui mengalami beberapa kendala ketika sudah
direalisasikan untuk beberapa daerah maka dari itu pemerintah pusat mengkaji ulang pelaksanaan
program tersebut, hal ini menjadi penyebab belum direalisasikannya program tersebut di Desa Mapur
pada bulan agutus tahun 2017.
3) Dimensi Kemudahan Fisik : Keterbatasan dalam Aksessibilitas.
Peneliti menemukan adanya perbedaan pembangunan fasilitas pendidikan yang diberikan oleh
Pemerintah Kabupaten Bintan baik itu terhadap Desa Mapur dengan desa-desa lainnya yang ada di
Kecamatan Bintan Pesisir maupun terhadap sekolah-sekolah yang berada didaratan dengan sekolah
yang berada di pesisir atau lebih tepatnya yang berada jauh dari kota. Sekolah di Desa Mapur tidak
mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses sekolah jalur laut seperti yang diterima
oleh sekolah didesa-desa lainnya, sementara untuk sekolah-sekolah yang letaknya jauh dari kota tidak
mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh fasilitas-fasilitas yang mendukung sistem
pembelajaran di sekolah tersebut, dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di kota atau di
daratan. Sementara di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 BAB II
Pasal 3 dengan jelas menyebutkan bahwa pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin akses,
mutu pendidikan yang mencukupi, merata, terjangkau, efektif, efisien dan akuntabel.
Akibat yang ditimbulkan dari marginalisasi tersebut yaitu, masyarakat memilih untuk keluar
dari desa untuk mendapatkan pendidikan yang layak, beberapa diantaranya mengekoskan anak mereka,
atau dititipkan kepada saudara dan Sekolah didesa tidak dapat mengikuti perkembangan yang terjadi
seperti pada sekolah-sekolah lainnya. Berdasarkan temuan yang menjawab rumusan masalah penelitian
ini, peneliti juga menemukan bahwa teori marginalisasi menurut Alfitri dapat dilengkapi dengan teori
Negara Lemah (Weak State) dari Francis Fukuyama, sehingga dapat disimpulkan munculnya
marginalisasi merujuk pada lemahnya negara yang juga membawa pengaruh terhadap lemahnya
pemerintahan. Negara yang lemah tidak memperhatikan ruang lingkupnya ketika menjalankan
fungsinya. Maka berdasarkan ini marginalisasi dalam bidang pendidikan dapat dilihat dari segi
infrasturktur, sumber daya manusia dan anggaran.
20
DAFTAR PUSTAKA
Alfitri. (2006). Pembangunan Marginal, 67. Retrieved from
http://eprints.unsri.ac.id52651buku_pembangunan_marginal.pdf
Bintan, B. pusat statistik kabupaten. (2016). Kecamatan Bintan Pesisir dalam Angka 2016.
Departemen hukum dan hak asasi manusia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendudukan, Pub. L. No. PP NOMOR 17
TAHUN2010, 215 (2010). Indonesia.
Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia. (2012). Retrieved February 15, 2017, from
http://www.ppkkp3k.kkp.go.id/direktoripulau/index.php/public_c/pulau_info/2488
Fukuyama, F. (2004). The Imperative of State-Building. Journal of Democracy, 15(2), 15.
Hairi, D. (2016). Respon Pemuda Perbatasan dalam Menghadapi Keterbatasan Fasilitas Pendidikan
Pada Pulau Combol Desa Selat Mie Kecamatan Moro Kabupaten Karimun. Universitas Maritim
Raja Ali Haji. Universitas maritim raja ali haji. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1080/0305498750010104
Hikmat, H. (2003). Kontingensi Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Universitas Padjajaran, 1–10.
Moleong, L. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nugroho, I. and R. D. (2012). Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan.
Jakarta: LP3ES.
Pasolong, H. (2013). Metode Penelitian Aministrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Sayuti, H. (2013). Hakikat Affirmative Action dalam Hukum Indonesia ( Ikhtiar Pemberdayaan Yang
Terpinggirkan ). Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau., 47.
Siagian, P. S. (2014). Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: Bumi
Aksara.
Silalahi, U. (2010). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Smith, J. A. (2004). Feature Article Marginalization and School Nursing. The Journal of School
Nursing, 20(6), 6.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.