Maping Konflik HAMpdf

60
Pendahuluan dan Gambaran Umum 1 BAB I PENDAHULUAN dan GAMBARAN UMUM PENDAHULUAN Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat-Nya kami telah berhasil menyelesaikan Penelitian Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM di Papua pada lima kabupaten, yakni Jayapura , Biak, Manokwari, Jayawijaya dan Merauke. Penelitian dimaksud untuk melakukan pemetaan terhadap pelaku, motif, dan modus dari konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua selama kurun waktu 1995 – 2001. Penelitian ini berangkat dari 3 pertanyaan pokok. Pertama siapa, kedua motifnya apa dan ketiga modus yang digunakan dari jawaban ini dapat dijabarkan lebih lanjut mengenai variabel yang berpengaruh terhadap terjadinya konflik pelanggaran HAM, mengetahui potensi konflik dan perspektif ke depan untuk membangun Papua baru yang lebih adil dan demokratis. A. Maksud dan Tujuan Penelitian Untuk memperoleh data yang obyektif mengani motif dan pelanggaran HAM . Untuk mengetahui jenis-jenis pelanggaran HAM Untuk mengetahui variable dominan penyebab terjadinya Pelanggaran HAM Untuk memberikan masukan kepada semua pihak mengenai potensi potensi sumber konflik yang menyebabkan terjadinya Pelanggaran HAM. Untuk menggagas model penguatan akses masyarakat dalam rangka mencegah konflik Pelanggran HAM. Penelitian ini menghasilkan pemetaan dari tujuan tersebut di atas sehingga bukan untuk menunjukkan siapa yang salah dan siapa yang benar karena hal tersebut merupakan kewenangan yuridiksi dari lembaga peradilan. Oleh karena itu, maka menjadi sangatlah penting membawa kasus–kasus tersebut ke proses hukum melalui mekanisme hukum yang adil dan benar – memproses semua pihak yang terlibat secara transparan dan jujur. Dengan demikian, ada pertanggungjawaban hukum dari semua pihak. B. Target Yang diharapkan Teridentifikasinya : Modus, Motif, Pelaku dan Jenis-jenis Pelanggaran HAM selama kurun waktu 1995-2001 pada 5 (lima) daerah penelitian. C. Methode Penelitian Jenis penelitian bersifat eksploratif dan deskriptif dengan sasaran penelitian melalui pendekatan proposional dan representatif .Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan empirik : Observasi dan wawancara. Tehnik pengelolaan data dilakukan dengan : Editing, coding dan Tabulasi. Sedangkan tehnik analisa data melalui Kualitatif dan Kuantitatif. Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, data diperoleh dari dokumentasi tertulis baik berupa buku, majalah, koran, serta dokumen-dokumen yang tidak diterbitkan (untuk kalangan terbatas). Selain itu data juga diperoleh melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus serta diskusi kritis dengan pakar / tokoh informan yang diwawancarai yang merupakan representasi dari masyarakat, yakni tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, LSM, aktifis HAM, jurnalis, Pemerintah, Militer, Cendikiawan dan kelompok sipil bersenjata. Secara tehnis, tahapan pemetaan ini dilakukan sebagai berikut : Tahap I : Penelitian diawali dengan Training methodelogi selama 2 hari Tahap II : Penelitian ke masing-masing daerah selama 70 hari Tahap III : Perumusan hasil penelitian selama 15 hari Tahap IV : Presentase hasil penelitian / daerah selama 5 hari Tahap V : Perbaikan hasil penelitian selama 10 hari Tahap VI : Diskusi terfokus bersama pakar selama 4 hari Tahap VII : Perbaikan dan persiapan seminar selama 14 hari Tahap VIII : Seminar selama 1 hari Tahap IX : Perbaikan hasil secara keseluruhan / final selama 14 hari.

Transcript of Maping Konflik HAMpdf

Page 1: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 1

BAB IPENDAHULUAN dan GAMBARAN UMUM

PENDAHULUANPuji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat-Nya kami telah berhasilmenyelesaikan Penelitian Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM di Papua pada lima kabupaten, yakni Jayapura ,Biak, Manokwari, Jayawijaya dan Merauke. Penelitian dimaksud untuk melakukan pemetaan terhadap pelaku, motif, danmodus dari konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua selama kurun waktu 1995 – 2001.Penelitian ini berangkat dari 3 pertanyaan pokok. Pertama siapa, kedua motifnya apa dan ketiga modus yangdigunakan dari jawaban ini dapat dijabarkan lebih lanjut mengenai variabel yang berpengaruh terhadap terjadinya konflikpelanggaran HAM, mengetahui potensi konflik dan perspektif ke depan untuk membangun Papua baru yang lebih adildan demokratis.

A. Maksud dan Tujuan Penelitian Untuk memperoleh data yang obyektif mengani motif dan pelanggaran HAM . Untuk mengetahui jenis-jenis pelanggaran HAM Untuk mengetahui variable dominan penyebab terjadinya Pelanggaran HAM Untuk memberikan masukan kepada semua pihak mengenai potensi potensi sumber konflik yang

menyebabkan terjadinya Pelanggaran HAM. Untuk menggagas model penguatan akses masyarakat dalam rangka mencegah konflik Pelanggran HAM.

Penelitian ini menghasilkan pemetaan dari tujuan tersebut di atas sehingga bukan untuk menunjukkan siapa yangsalah dan siapa yang benar karena hal tersebut merupakan kewenangan yuridiksi dari lembaga peradilan. Olehkarena itu, maka menjadi sangatlah penting membawa kasus–kasus tersebut ke proses hukum melalui mekanismehukum yang adil dan benar – memproses semua pihak yang terlibat secara transparan dan jujur. Dengan demikian,ada pertanggungjawaban hukum dari semua pihak.

B. Target Yang diharapkanTeridentifikasinya : Modus, Motif, Pelaku dan Jenis-jenis Pelanggaran HAM selama kurun waktu 1995-2001 pada 5(lima) daerah penelitian.

C. Methode PenelitianJenis penelitian bersifat eksploratif dan deskriptif dengan sasaran penelitian melalui pendekatan proposional danrepresentatif .Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan empirik : Observasi dan wawancara.Tehnik pengelolaan data dilakukan dengan : Editing, coding dan Tabulasi. Sedangkan tehnik analisa data melaluiKualitatif dan Kuantitatif.Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, data diperoleh dari dokumentasi tertulis baik berupabuku, majalah, koran, serta dokumen-dokumen yang tidak diterbitkan (untuk kalangan terbatas). Selain itu data jugadiperoleh melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus serta diskusi kritis dengan pakar / tokohinforman yang diwawancarai yang merupakan representasi dari masyarakat, yakni tokoh masyarakat, tokoh agama,tokoh adat, tokoh perempuan, LSM, aktifis HAM, jurnalis, Pemerintah, Militer, Cendikiawan dan kelompok sipilbersenjata.Secara tehnis, tahapan pemetaan ini dilakukan sebagai berikut :Tahap I : Penelitian diawali dengan Training methodelogi selama 2 hariTahap II : Penelitian ke masing-masing daerah selama 70 hariTahap III : Perumusan hasil penelitian selama 15 hariTahap IV : Presentase hasil penelitian / daerah selama 5 hariTahap V : Perbaikan hasil penelitian selama 10 hariTahap VI : Diskusi terfokus bersama pakar selama 4 hariTahap VII : Perbaikan dan persiapan seminar selama 14 hariTahap VIII : Seminar selama 1 hariTahap IX : Perbaikan hasil secara keseluruhan / final selama 14 hari.

Page 2: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 2

D. Lokasi PenelitianKetika menentukan 5 lokasi daerah penelitian tentang Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM, nampaknyasangat sulit dipilih secara acak, disebabkan setiap daerah di Papua berpotensi konflik yang dapat mengakibatkanterjadi Pelanggaran HAM. Karenanya kami mencoba memilih dengan mempertimbangan alasan geografis : Utara –Selatan, Laut – gunung, dalam dan perbatasan, sehingga menghasilkan 5 lokasi dari 5 lokasi tersebut kamimengadakan penelitian pada Kecamatan, Kelurahan/desa dengan pertimbangan geografis (jumlah kecamatan dankelurahan/desa), demografis (heterogenitas penduduk) dan kecenderungan konflik yang terjadi berdasarkan dataawal yang kami himpun . Kabupaten/Kodya Jayapura dengan wilayah yang sangat luas karena meliputi 2 wilayah admintsrasi terdiri atas

24 kecamatan 6 Kelurahan dan 225 Desa. Maka penelitian dilakukan pada 11 Kecamatan dan 22Kelurahan/Desa.1. Kec. Demta : Desa Muris kecil

Desa Ambora2. Kec. Genyem : Kel.Pobaim

Kel.TabriDesa BesumDesa Karya Bumi

3. Kec. Kemtuk Gresi : Desa Sabron Samon4. Kec. Sentani : Kel. Inakombe

Kel. Sentani Kota5. Kec. Abepura : Kel. Hedam

Kel. Asano6. Kec. Jayapura : Jayapura Kota7. Kec. Sarmi : Kel. Sarmi Kota

Kel. Mararena8. Kec. Tor Atas : Desa Samanente

Desa Safron9. Kec. Pantai Timur : Betaf

Kuefa10. Kec. Bonggo : SP VII

SP VIII11. Kec.Arso : Arso Kota

Arso PIR IV

Kabupaten Biak NumforSecara adminstrasi Biak Numfor membawahi 12 Kecamatan 11 kelurahan dan 142 Desa. Maka penelitiandilakukan pada 5 Kecamatan dan 26 kelurahan/desa.1. Kec. Biak Selatan : Kel. Waufnor

Kel. BurokupDesa SumberkerDesa AmbrobenDesa Mandala

2. Kec. Biak Timur : Desa MnurwarDesa WonigiDesa AngraidiDesa Oswer

3. Kec. Biak Utara : Desa AndeyDesa KoremDesa KeruboiDesa Warsa

4. Kec. Biak Barat : Desa Sopen - Desa KrisdoriDesa Sarwa - Desa WardoDesa Farusi Adadikam - Desa KafdadiDesa Wari - Desa Wafendori

5. Kec. Supiori Selatan : Desa MansramDesa Bu BusdonDesa MisarwayDesa Amingweri

Page 3: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 3

Kabupaten ManokwariTerdiri dari 17 Kecamatan 11 kelurahan dan 557 desa.Lokasi penelitian pada 4 Kecamatan dan 24 Kelurahan/desa :1. Kec. Manokwari : Kel. Fanindi

Kel. SanggengKel. KwawiKel. Pasir PutihKel. Amban

2. Kec. Wasior : Kel/desa Mandomawi 1Kel/Desa Mandomawi 2Desa KebouwDesa WondiboiDesa IsuyDesa RamikiDesa RaseyDesa TandiaDesa SanderawaoyDesa Wasior Kota

3. Kec.Babo : Kel/Desa BaboDesa TafoiDesa Tanah MerahDesa Plasma

4. Kec. Bintuni : Kel/Desa BintuniSP IISP IVKilo II

Kabupaten Merauke .Terdiri dari 23 Kecamatan 512 desa, 9 kelurahan dan 11 Unit Pemukiman Transmigrasi.Lokasi penelitian berlangsung pada 9 Kecamatan 27 kelurahan / desa.1. Kec. Merauke : Kel. Mandala

Kel. MaroKel. Bambu PemaliKel. Rimba JayaKel. Kelapa LimaDesa Sota

2. Kec. Citak Mitak : Desa SenggoDesa Tamanim

3. Kec. Suator : Kota Kecamatan Suator4. Kec. Atsy : Desa Atsy

Desa Yasiu5. Kec. Assue : Desa Eci

Desa Asgon6. Kec. Kimaam : Desa Kimaam ( kota Kecamatan)

Desa Wogekel (Wanam Camp)Desa Kiworo

7. Kec. Mandobo : Desa Maju ( kota Kecamatan )Desa PersatuanDesa PerjuanganDesa Mawan

8. Kec. Jair : Desa GententiriDesa Asiki

9. Kec. Kurik : Desa Kurik IDesa IvimahadDesa Kurik V

Page 4: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 4

Kabupaten JayawijayaTerdiri dari 28 Kecamatan – baru dimekarkan dari 12. Jumlah kelurahan/desa yang semula 269 menjadi 678sedangkan kelurahan tidak mengalami perubahan yakni 5.Adapun lokasi penelitian pada 7 Kecamatan dan 24 kelurahan/desa.1. Kec. Wamena : Kel. Wamena Kota

Desa AssolokobalDesa WoumaDesa Wesaput

2. Kec.Bokondini : Kel.BokondiniDesa Bilubaga

3. Kec. Kelila : Desa KelilaDesa Timeria

3. Kec. Tiom : Kel.BokonDesa Nggolo ( sekarang masuk kec.Pirime)

4. Kec. Oksibil : Desa BulankopDesa KutdolDesa Yapimaket

5. Kec. Kiwirok : Desa KukihilDesa KiwiDesa Kubipkop

6. Kec. Mapnduma : Desa MpendumaDesa NolakDesa AlamaDesa HuaremDesa YenggeloDesa JigiDesa GeseleimaDesa Mbua

Dari hasil temuan di lapangan kami menemukan banyak sekali kasus “pelanggaran HAM” akan tetapi sebagaiacuan kami berpangkal pada defenisi pelanggaran HAM yang tertuang dalam UU NO 39 / 1999 tentang HakAsasi Manusia Bab I : Ketentuan Umum pasal 1 : 6

“Pelanggaran adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baikdisengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yangdijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperolehpenyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku’……”

Kalimat “…..tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil danbenar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku….” Menunjukkan indikasi bahwa adanya unsur ( baca : peran)negara dalam setiap bentuk Pelanggaran HAM yang terjadi baik karena :Pertama, kejahatan yang langsung dilakukan (violence by action).Kedua, karena peraturan (violence by judicial) seperti banyak kasus yang terjadi akibat kebijakan tentangpengibaran bendera bintang Fajar oleh Gus Dur, perijinan HPH dan sejenisnya.Ketiga, karena proses pembiaran yang dilakukan oleh negara seperti pertikaian antar kelompok masyarakat akibatpersoalan-persoalan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas sedangkan negara mempunyai tanggungjawab.Serta perbuatan yang ditimbulkan membawa akibat yang lebih luas bukan saja kepada pelaku dan korban langsungtetapi juga kepada masyarakat. Karena itu ada 2 indicator penting yang kami pakai dalam meneliti kasus adalah :peran atau keterlibatan dari negara dan akibat dari peristiwa yang terjadi terhadap masyarakat yang terlibatlangsung maupun tidak langsung dari peristiwa tersebut.Untuk periode tahun kami mengambil kurun waktu 1995 s/d 2001 hal ini diharapkan agar dapat mengetahuikecenderungan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum era reformasi dan setelah era reformasi..Terbuktibahwa setelah reformasi maka kasus dengan motif politik cenderung meningkat, kategori pelaku bertambah danjuga meningkatnya wilayah konflik dengan kekerasan bersenjata. Hal ini bisa saja disebabkan karena : Reformasiditafsirkan sebagai alat pembenaran untuk mewujudkan kebebasan total dalam segala aspek kehidupan bagi siapasaja sehingga ada “pemaafan“ yang akan diberikan jika orang bertindak mengabaikan hak-hak orang lain mengingatsudah puluhan tahun sebelumnya rakyat dipaksa untuk bungkam melalui oleh Orde BaruHasil penelitian kami memperlihatkan bahwa tingginya intensitas “perlawanan” yang dilakukan oleh masyarakatPapua akhir-akhir ini – terutama setelah reformasi 1998 – dikarenakan munculnya kesadaran kolektif akan proseshukum dari sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, ketidakadilan pemerintah dan pihak perusahaan serta tindak

Page 5: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 5

kekerasan TNI/POLRI. Karena belum adanya persamaan pandangan terhadap hal tersebut maka terjadilah konflikyang senantiasa menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia atau yang biasa disingkat denganPelanggaran HAM di Papua.Sesungguhnya secara riil adalah sangat sulit untuk memisahkan kasus perkasus secara jelas dan berdiri sendirikarena ada banyak kasus yang terjadi akibat atau menyusul peristiwa sebelumnya dalam waktu yang relatif sangatsingkat. Sehingga hal tersebut pula yang menghasilkan bahwa terkadang sumber konflik / motif tidak dapat berdirisendiri Selain itu dengan membatasi tahun penelitian 1995 – 2001 rasanya juga kurang “ fair” karena banyak kasusyang saling berkaitan diluar kurun waktu tersebut. Terutama kasus yang berkaitan dengan proses hukum darisejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Akan tetapi selama periode 1995-2001 kami menemukan 74 kasus denganvariasi 87 sumber konflik dari tiga motif utama yakni politik, ekonomi dan sosial budaya.Penelitian dengan dasar kwalitatif ini mencoba juga merumuskan hasil berupa data kwantitatif – sebagai fungsipemetaan – yang dapat dilihat melalui motif, modus, pelaku, korban, aspek geografis – teritorial bahkan jugaperubahan/pergeseran motif, perubahan modus, pertambahan pelaku dan meluasnya jenis korban akibat konflikpelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu tahun 1995 – 2001.Ucapan terima kasih disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada masyarakat terutamayang berada di lokasi penelitian : Jayapura, Manokwari, Biak, Merauke dan Jayawijaya, pemerintah, pihakTNI/POLRI, teman-teman LSM, para jurnalis serta semua pihak yang telah membantu kami – baik dengan informasilisan maupun tertulis.Terima kasih yang sama kami sampaikan pula kepada pihak USAID – CSSP atas kerjasama yang diberikan.Disadari bahwa hasil penelitian ini masih banyak yang harus diperbaiki, diperkaya dan disempurnakan sebagaibagian yang tak terpisahkan dari upaya mencegah terjadinya pelanggaran HAM di tanah Papua karena kesadaranakan adanya suatu “ketidakadilan”. Di saat kita mulai setuju dengan pendapat di atas maka kita selangkah lebihmaju dalam kesadaran kemanusiaan kita sendiri. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat kami harapkan dan untuk itudidahulukan penyampaian terima kasih.

1-3GAMBARAN UMUM

Page 6: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 6

I. Kabupaten JayapuraA. Batas Wilayah dan Letak Geografis

Secara geografis, Kabupaten Jayapura berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut : Bagian Utara berbatasan dengan samudera Pasifik, berada pada 10 27’ LS. Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya, berada pada 30 49’ LS. Bagian Barat berbatasan dengan Kab. Yapen Waropen dan Paniai, berada pada

1370 27’ BT. Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea, berada pada 1410 BT.

B. Luas WilayahBerdasarkan data pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura, bahwa luas wilayah Kabupaten Jayapuraadalah 61.493 Km2 .

C. Jumlah PendudukJumlah penduduk Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat StatistikKabupaten Jayapura pada tahun 2000 yaitu 155.439 jiwa dengan perincian, jumlah laki-laki adalah 82.821 jiwaserta perempuan 72.618 jiwa.

D. Potensi Sumber Daya AlamBerdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura bahwa untuk sumber daya alamkhususnya migas tidak terdapat di Kabupaten Jayapura, sedangkan sumber daya alam dari non migas misalnya didaerah Arso merupakan daerah perkebunan kelapa sawit dan juga sebagai pusat pertanian di samping KecamatanKemtuk Gresi dan Kecamatan Nimboran, sedangkan hasil hutan ada pada kecamatan DemtaE. Pembagian Wilayah Pemerintahan.

Kabupaten Jayapura mempunyai 24 Kecamatan dengan perincian 6 kelurahan dan 225 desa.

II. Kabupaten Biak NumforA. Batas Wilayah dan Letak Geografis

Secara geografis, Kabupaten Biak Numfor berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut : Bagian Utara berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 0,550 LS. Bagian Selatan berbatasan dengan selat Yapen, berada pada 1,36 LS Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Manokwari, berada pada 1340 47’ BT. Bagian Timur berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 1360 BT.

B. Jumlah PendudukSecara kuantitas, data kepadatan penduduk Kabupaten Biak Numfor, berdasarkan data di Badan Pusat Statistikhingga tahun 2000, adalah sebanyak 115.958 jiwa. Dengan angka rata-rata kepadatan penduduk per-desanyasebesar 37,05%.

D. Potensi Sumber Daya AlamPotensi sumber daya alam yang terdapat di Kabupaten Biak Numfor, memang tergolong minus karena tidakterdapat hasil bumi seperti kandungan migas. Yang ada hanya non-migas berupa kawasan samudara pasifikyang di dalamnya menghidupkan biota laut yang sangat endemic, mulai dari jenis ikan lautnya yang beragamdan terumbu karangnya yang unik. Sehingga potensi ini merupakan objek parawisata yang andalan KabupatenBiak Numfor khususnya dan Provinsi Papua secara umum.

E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.Secara administratif, Kabupaten Biak Numfor membawahi 12 Kecamatan, yaitu Kecamatan Biak Kota,Kecamatan Samofa, Kecamatan Yendidori, Kecamatan Biak timur, Kecamatan Padaido, Kecamatan Biak Barat,kecamatan Biak Utara, Kecamatan Warsa, Kecamatan Supiori Utara, Kecamat Supiori Selatan, KecamatanNumfor Timur dan Kecamatan Numfor Barat. Yang kesemuanya itu, membawahi langsung 11 kelurahan dan142 desa.

III. Kabupaten ManokwariA. Batas Wilayah dan Letak Geografis

Secara geografis, Kabupaten Manokwari berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut : Bagian Utara berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 00, 35’ LS Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Fakfak, berada pada 30, 25’ LS Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong, berada pada 1320, 35’ BT Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Biak Numfor, berada pada 1340, 45 BT

Page 7: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 7

B. Luas WilayahKabupaten Manokwari memiliki luas wilayah 37.901 Km².C. Jumlah PendudukBerdasarkan data yang ada pada Pemerintah Daerah, sampai tahun 2002, Kabupaten Manokwari memiliki jumlahpenduduk 201.080 jiwa.D. Pembagian Wilayah Pemerintahan.Terdiri atas 17 Kecamatan yang membawahi 11 Kelurahan dan 557 desa.

IV. Kabupaten MeraukeA. Batas Wilayah dan Letak Geografis

Secara geografis, Kabupaten Merauke berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya dan berada pada 137º BT. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, berada pada 141º BT. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mimika dan berada pada 5º LS. Sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea dan berada pada 9º LS.

B. Luas WilayahKabupaten Merauke merupakan wilayah tertimur di Indonesia. Kabupaten Merauke yang berada padaketinggian 3,5 meter di atas permukaan laut mempunyai luas wilayah 119.749 Km2 atau 28,87% dari luaspropinsi Papua. Bentangan jarak terjauh adalah dari Utara ke Selatan, yaitu sejauh 445 Km. KecamatanKimaam merupakan daerah terluas, yakni 14.357 Km2 atau 11, 99 %, sedangkan Kecamatan Citak Mitak adalahwilayah terkecil, yaitu 491 Km2 atau 0,41 % dari total luas Kabupaten Merauke.

C. Jumah PendudukBerdasarkan hasil registrasi penduduk Badan Pusat Statistik, pada pertengahan tahun 2000, jumlah pendudukKabupaten Merauke adalah 304.996 jiwa, yang terdiri dari 157.667 laki-laki dan 147.329 perempuan. Denganjumlah tersebut, berarti Kabupaten Merauke memiliki Kepadatan penduduk yang mencapai 2,55 / Km2. Darijumlah penduduk tersebut, Kecamatan Merauke merupakan daerah kosentrasi penduduk dengan jumlah 85.400jiwa, serta yang terkecil adalah di Kecamatan Waropko, dengan jumlah penduduk 3.097 jiwa.

D. Potensi Sumber Daya AlamKondisi wilayah Kabupaten Merauke yang terdiri dari dataran rendah yang sangat luas dan subur, sangat tepatuntuk menjadikan Kabupaten Merauke sebagai daerah Lumbung Padi Nasional, yang pada tahun 2000 laluberhasil memanen 61.773 ton beras. Selain itu, keterbukaan hidrologis dan luasnya tumbuhan bakau padapesisir pantai dan sepanjang daerah aliran sungai di sebagian besar daerah Kabupaten Merauke menunjukanbetapa potensialnya habitat fauna air seperti, ikan dan udang, yang tahun 2000 lalu berhasil mengekspor tidakkurang dari 50.000 ton ikan dan udang. Juga hasil hutan, selain jenis kayu gaharu yang memiliki nilai ekonomisangat tinggi, dengan hamparan hutan yang sangat luas, Kabupaten Merauke telah berhasil mengekspor tidakkurang dari 140.000 M3 pada tahun 2000.

E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.Secara administratif, setelah dimekarkan, Kabupaten Merauke memiliki 23 kecamatan dengan 512 desa, dan 9kelurahan serta 11 Unit Pemukiman Transmigrasi.

V. Kabupaten JayawijayaA. Batas Wilayah dan Letak Geografis

Secara geografis, Kabupaten Jayawijaya berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut : Bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayapura, berada pada 03º 20’ LS. Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merauke dan Mimika, berada pada 05º 12’ LS. Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Puncak Jaya dan Paniai, berada pada 137º 19’ BT. Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea, berada pada 141º 00’ BT.

B. Luas WilayahWilayah Kabupaten Jayawijaya memiliki luas 52.916 Km2 dengan jarak dari Barat ke Timur sepanjang 339 kmdan dari Utara ke Selatan 209 km.

Page 8: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 8

C. Jumah PendudukJumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya hingga terakhir ( data tahun 2000 ) berjumlah sebanyak 434.036 jiwa,yang terdiri dari Laki-laki 221. 477 jiwa dan Perempuan 212. 559 jiwa. Berdasarkan persentase, makapenduduk laki-laki 51,03 % sedangkan perempuan adalah 48,97 % dari jumlah penduduk kabupatenJayawijaya. Dimana penduduk terbanyak di Kecamatan Anggruk sebanyak 50.917 jiwa dan yang tersedikit dikecamatan Iwur sebanyak 4.476 jiwa.

D. Potensi Sumber Daya AlamBerdasarkan data dari BP3D, bahwa Kabupaten Jayawijaya memiliki kekayaan sumber daya alam sepertiTembaga, Besi, Khrom, Aluminium, Emas dan Minyak bumi. Akan tetapi belum dikelola. Hasil hutan juga tidakkalah potensialnya sebagai sumber daya alam yg dapat diperbaharui.Kondisi kesuburan tanah dengan iklim pegunungan sangat mendukung pertumbuhan sayur-mayur hidupdengan subur. Di Kabupaten Jayawijaya juga banyak mengalir sungai dengan arusnya yang deras. Ini sangatsesuai bila digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA ).

E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.Setelah pemekaran daerah Kabupaten Jayawijaya yang dulunya hanya mempunyai 12 telah menjadi 28kecamatan. Jumlah desa yang awalnya berjumlah 269 menjadi 678 buah. Sedangkan Kelurahan tidakmengalami perubahan, yaitu 5 kelurahan.

Page 9: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 9

BAB II

WAJAH PELANGGARAN HAM

KABUPATEN / KOTA JAYAPURA

A. Kecamatan Demta1. 1999

Pemalangan Log Pound PT. Youliem SariPada tahun 1983 penandatanganan HPH dilakukan di Jakarta antara pihak Pemerintah Pusat dan pihakpemilik HPH. PT. Youliem Sari, tanpa melibatkan masyarakat dalam kesepakatan yang dilakukan.Setahun kemudian 1984, PT. Youliem Sari untuk pertama kalinya membuka base camp di demta dan mulaimelakukan pengoperasian dengan penebangan hutan tanpa sepengetahuan masyarakat pemilik hakulayat. Hal ini terus berlangsung selama 5 tahun, yaitu 1988 tindakan tersebut mengundang pertanyaandan tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat agar pihak perusahan memberikan ganti rugi atas hak ulayatyang digunakan oleh perusahaan. Tuntutan tersebut oleh pihak PT. Youliem Sari berjanji akan membayarkepada masyarakat pemilik hak ulayat sebesar Rp.150,0 per meter dari 10.000 Ha yang digunakan olehperusahaan dan berjanji kepada masyarakat pemilik akan membuka sekolah, memberikan bea siswa bagipara anak didik, membuka sarana kesehatan/ Puskesmas, membangun rumah bagi masyarakat,memasukkan listrik dan air bersih. Kesepakatan tersebut tidak terealisasi satupun sebagaimana yangdijanjikan hingga tahun 1989, pihak masyarakat kembali menuntut agar memperhatikan kesepakatan yangpernah dibuat setahun sebelumnya. Sehingga ketika itu juga dilakukan penandatanganan ulang tentangjanji-janji antara kedua belah pihak.Pada Tahun 1997 mengirim surat ke Gubernur Papua menuntut PT. Youliem Sari dan meminta gubernurmengeluarkan rekomendasi ganti rugi sesuai dengan perjanjian PT. Youliem Sari.Pada tahun 1998 (5/12) penandatanganan perjanjian perusahaan untuk ganti rugi sebesar Rp. 400 juta.Pada Tahun 1999 (14/9) pihak masyarakat dan PT. Youliem Sari menandatangani perjanjian untukmembuka pemalangan yang dilakukan masyarakat untuk pengoperasian PT. Youliem Sari.Pada tahun 2000, masyarakat melakukan demonstrasi ke DPRD Propinsi Papua dan Polda Papua,menuntut PT. Youliem Sari memberikan ganti rugi atas selama kurang lebih 10 tahun.

2. 2000 Kesewenangan yang dilakukan oleh TNI Pasukan Non Organik

Show force yang dilakukan oleh pasukan non organik (Kopasus, Marinir), maksud dari show force di siniyaitu bahwa mereka melakukan aksi dengan membunyikan senjata yang diarahkan ke atas, aksi merekadilanjutkan dengan melakukan tindakan intimidasi.

B. Kecamatan Nimboran1. 1996

Sengketa Tanah Pada Lokasi Transmigrasi (1996)Besum ditetapkan sebagai wilayah/daerah transmigrasi pada tahun 1980-an. Semenjak itu pula perlawananrakyat terhadap kebijakan pemerintah tiap tahun tetap ada, alasanya bahwa pada saat Besum dibukasebagai wilayah tarnsmigrasi, Pemerintah belum pernah menyelesaikan persoalan penggantian pemakaiantanah adat untuk mendatangkan warga trans pada 14 suku yang mempunyai tanah di Besum jugadisebabkan bahwa ada perbedaan antara 14 suku tadi dalam hal menyangkut prosedur pelepasan tanahadat akibatnya bahwa para tuan tanah mempersengketakan tanah tersebut pada tahun 1996 yang dimanapara warga trans akhirnya tidak bisa menggarap lahan sebesar 300 dan 600 hektar. Dari akumulasiberbagai macam persoalan dan kekecewaan tersebut akhirnya masyarakat adat dan warga Transmenghadap Pemerintah tapi dari hasil dari pertemuan tersebut tidak ditanggapi dan hanya dijanjikan bahwamereka (Pemerintah) akan segera menindaklanjuti permasalahan yang terjadi di Besum, yang padaakhirnya sampai sekarang belum ada realisasi dari janji Pemerintah.

2. 1998 Kesewenangan Brimob Terhadap Massa Pengibar Bendera Bintang Kejora

Pengibaran Bendera Bintang Kejora terjadi pada bulan 1 Juli 1998 tepatnya di Kota Kecamatan Nimboran(Genyem). Aksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut membuat Camat, Kapolsek Nimboran kaget.Masyarakat menginginkan bahwa bendera naik pagi dan turun pada sore harinya. Pada proses selanjutnyaterjadi dialog antara masyarakat, Bupati, Camat Nimboran, Kapolsek Nimboran, Kapolres Jayapura danDandim Jayapura. Dialog tersebut berlangsung di ruangan Kapolres Jayapura.

Page 10: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 10

Hasil dialog pihak Polres Jayapura menginginkan mereka yang terlibat dalam aksi pengibaran Benderaharus ditahan, tetapi Camat serta Kapolsek Nimboran menginginkan bahwa mereka jangan ditahan danditangkap dan mereka(Camat, Kapolsek Nimboran dan tokoh masyarakat) siap menjadi jaminan dan bisadipanggil sewaktu-waktu kalau ada surat panggilan, akhirnya mereka tidak jadi ditahan. Keesokan harinyaBrimob turun ke Kota Kecamatan dengan melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadapmasyarakat yang terlibat dalam aksi pengibaran Bemdera Bintang Kejora. Sampai akhirnya merekaditangkap dalam dilepas dalam beberapa bulan.

3. 1999 Pencaplokan Tanah Masyarakat

Kasus ini bermula ketika Pdt Andreas Ayomi selaku Ketua Wilayah Gereja XIX Irian Jaya meminta kepadawarga Nimboran dengan sukarela agar memberikan tanah seluas 6 Hektar untuk berkebun.. Tidak lamakemudian Pdt Andreas Ayomi menjual tanah tersebut kepada Pihak Yasuka dengan luas Tanah melebihi 6Hektar (57, 96 H) Atas dasar itulah Pihak Yasuka mengklaim bahwa tanah yang mereka miliki sebesar57,96 Hektar dari hasil pembelian dengan Pdt Andreas Ayomi. Hal inilah yang mejadi awal konflik antaraAdam Tanggarang (pemilik tanah) dengan Pihak Yasuka. Adam Tanggarang selaku pemilik hak atas tanahtersebut tidak menerima sehingga melakukan perlawanan atas tindakan yang dilakukan oleh Pihak Yasuka.Atas tuntutan masyarakat, dalam hal ini keluarga Adam Tanggarang, Maka pihak Yasuka melakukantindakan hukum yaitu dengan memperkarakan masalah tanah tersebut di Pengadilan Negeri pada Tanggal4 Juni 1999. Selain itu pihak Yasuka mempertahankan tanah yang mereka tempati sekarang denganmemakai Kepolisian dari Kesatuan Brimob Jayapura. Dalam kejadian tersebut pihak Yasukamendatangkan satu Kompi Brimob untuk mengambil/menangkap pemilik tanah, selain itu merekamembongkar rumah milik masyarakat dan memukul salah seorang pemuda bernama Decky Sewar, satuhal yang perlu kami kemukakan bahwa Pihak Polres Jayapura sudah menerima suap. Setelah PihakYasuka memperkarakan kasus tersebut di Pengadilan Negeri Jayapura , maka pihak Keluarga AdamTanggarang membawa bukti yang lengkap serta saksi, akhirnya dalam persidangan tersebut pihak YasukaKalah dan hak atas tanah dikembalikan kepada keluarga Adam Tanggarang. Menyangkut putusan dariPengadilan Negeri dibacakan pada tanggal 19 Juni 2000.Di sisi lain bahwa dalam kasus Yasuka sempat terjadi perkelahian antar dua kubu di Pengadilan NegeriJayapura. Awalnya hanya bersitegang, tapi tiba-tiba masyarakat (pemuda) mengurung mobil yangdikendarai Pdt Andreas Ayomi pada pukul 10.30 WP. Akibat kejadian yang mereka alami bahwa pihakkorban sudah melaporkan kejadian ke Polres Jayapura, tetapi pihak Polres tidak respon/ menanggapi suratyang kami layangkan. Penembakan dan penyisiran terhadap masyarakat dengan memakai stigmaseparatis, ternyata dari kasus di atas ada terkesan permainan/rekayasa yang dilakukan oleh pihakkeamanan agar kasus ini tidak terungkap secara jelas dan transparan.

C. Kecamatan Kemtuk Gresi1. 1999

Perilaku Kesewenangan Aparat MiliterTanggal 7 juni 1999 adalah pesta Demokrasi Bangsa Indonesia, dimana setiap masyarakat Indonesia ikutmemberikan hak suaranya dalam pemilu 1999. Suasana ini kemudian dikejutkan dengan peristiwapenembakan aparat TNI dari Kesatuan 515 Ugratama Yudha bernama Hadi Pryitno terhadap korban RobbyYauw. Berikut ini kronologis singkat dari peristiwa tersebut seperti yang diceritakan oleh keluarga korban :Waktu itu tanggal 7 Juni 1999 Robby Yauw yang adalah seorang pelajar SMU di Sentani ikut memberikanhak suaranya di TPS Desa Besum. Setelah itu di Desa Besum Robby bersama sopir Yohannis Tanditullahdan kondekur Yan Frits Tayume menggunakan mobil pick up mengantar kulkas untuk di service di Sentani.Dalam perjalanan ke Sentani, tepat di Desa Sabron Samon dua orang anggota TNI menghentikan mobiltersebut, tetapi karena jalan tersebut bertanjakan dan tikungannya cukup tajam juga karena rem yangkurang berfungsi baik, maka sopir berusaha berhenti pada jarak tertentu untuk posisi parkir yang baik.Ternyata tiba-tiba terdengar bunyi tembakan rentetan kearah mobil dan langsung mengenai sasarankorban Roby yauw di bagaian jantung mengakibatkan korban meninggal seketika itu juga.Atas peristiwa tersebut masyarakat marah dan mulai melakukan protes. Pada peristiwa tersebutmasyarakat melakukan aksi dengan mengusung mayat Robby sambil berjalan kaki ke Pos Boroway dansampai ke DPRD Propinsi Papua, selain itu atas kejadian tersebut membawa dampak hingga ke Sentanimasyarakat pada saat itu membakar ban-ban mobil dan mengambirkan pasir ditengah-tengah depanRumah Bpk Theys Elluay,aksi berlanjut dengan meminta kepada pihak yang berwajib agar pelakupenembakan diproses secara hukum dan meminta agar jenazah Robby dimakamkan di Depan KoramilKecamatan Nimboran, dan akhirnya lewat kesepakatan antara masyarakat dengan Pangdam Trikora AmirSembiring dan Ketua DPRD Propinsi Papua N. Kaiway yang akhirnya disepakati bahwa TNI akanmengganti segala kerugian yg dialami oleh pihak korban kemudian meminta maf atas kejadian tersebut danjenazah Robby boleh dimakamkan di Koramil Nimboran tepatnya di bawah papan 8 Sapta Marga TNIsebagai bukti pelanggaran HAM.

Page 11: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 11

D. Kecamatan Sentani1. 2000

Kasus Pembakaran Pasar Sentani (Juli)Awal mula terjadinya pembakaran Pasar Sentani bermula adanya peristiwa pembunuhan terhadap korbanyang bernama Palo yang terjadi di Tanjung Elmo Sentani yang dilakukan oleh seorang warga yang tidakdiketahui namanya. Oleh pihak keluarga Palo yang berasal dari kampung Ifale mendesak agar pihak aparatPolsek Sentani agar segera menangkap pelaku pembunuhan yang dicurigai masyarakat Kampung Ifalesengaja disembunyikan oleh warga disekitar Pasar Sentani. Namun keterlambatan aparat kepolisian(Polsek Sentani) dalam menangani peristiwa tsb, maka kembali lagi terjadi pembunuhan dan pembalasanoleh warga masyarakat terhadap salah seorang warga pasar Berinisial A. Peristiwa ini kemudian memicukemarahan warga pasar Sentani dan terjadi bentrok antar warga menyebabkan salah seorang wargamasyarakat Kampung Kehiran berinisial CW di bunuh di pasar Sentani , kemudian pasar sentani semakintegang.Tanggal 8 Juni 2000, tepatnya pukul 15.00 WP, kampung Kehiran dan kampung Yoboi dinformasikanbahwa CW dibunuh oleh warga pasar Sentani, mendengar itu warga kampung Kehiran dan Yoboi dalamjumlah ratusan orang berlari menuju pasar sentani dengan parang, panah, tombak dan alat tajam lainnyauntuk melakukan perlawanan dan melakukan pembakaran-pembakaran pasar Sentani dan rumah-rumahwarga pasar sentani.Pada pukul 17.00 aparat keamanan dari kesatuan TNI 751 Sentani sebanyak 6 Truk dengan kekuatanbersenjata otomatis melakukan penembakan kearah warga masyarakat. Dalam peristiwa ini seoarangkorban tertembak oleh aparat langsung mati ditempat. Dan korban DW tertembak dikaki kanan dan masihhidup sampai saat ini. Menurut salah satu responden yg kami wawancarai bahwa kejadian pembakaranPasar Sentani tidak lepas dari peranan Pemerintah bahwa sebelum terjadinya peristiwa tersebut adabeberapa indikasi keterlibatan pemerintah, diantaranya ada surat edaran dari Bupati Jayapura yangmengatakan bahwa sebelum tgl 7 harus dikosongkan pemukiman Pasar Sentani, kemudian ada pertemuanyang dilaksanakan di hotel Sentani tentang pemindahan Pasar Sentani. Dari kedua indikasi keterlibatanPemerintah maka jelaslah bahwa ini merupakan hasil rekayasa yang dilakukan oleh pemerintah agar parawarga pasar sentani pindah dengan alasan bahwa pasar tidak dipergunakan karena ada peristiwapembakaran pasar Sentani.Dampak dari peristiwa tsb yaitu korban nyawa dan cacat tubuh yang tertembakoleh pihak aparat keamanan sedangkan kerugian materaial mencapai Rp 9,7 Milyard.

2. 2001 Meninggalnya Ketua PDP, Theys H Elluay dan Pembakaran Aset Perekonomian

Hari Sabtu Tanggal 10 November 2001Sekitar pukul 19.00 WIT, Theys Hiyo Eluay menuju markas Satgas Tribuana di Hamadi guna mengikutiresepsi Hari Pahlawan atas undangan Komandan Satgas Tribuana. Sekembali dari resepsi, sekitar pukul22.15 WIT, informasi via hand phone dari Aris Masoka, sopir Theys Hiyo Eluay, ke Ny. Yaneke Eluay,mengatakan bahwa bapak Theys diculik oleh sekelompok Amber (Pendatang) yang berbadan tegap, danmobil dibawa lari oleh mereka.Minggu Tanggal 11 November 2001, Pukul 12.30, istri Theys Hiyo Eluay, dengan didampingi kuasa hukumbeliau, melaporkan perihal tersebut ke Polda Papua. Tim Kepolisian yang melakukan upaya pencariansejak malam sebelumnya akhirnya berhasil menemukan Theys Hiyo Eluay bersama mobilnya di daerahKoya Tengah dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Sedangkan sopir beliau tidak berada di tempat.Kabar meninggalnya Theys H. Eluay telah menyulut kemarahan beberapa orang masyarakat Papua. DiSentani, aksi spontanitas mereka ekpresikan dengan membakar beberapa bangunan pertokoan danperkantoran. Akan tetapi aksi tidak meluas.Setelah diotopsi di RSUD Jayapura, keesokan harinya jenazah disemayamkan di gedung DPRD Papua,kemudian jenazah dengan diirngi puluhan ribu massa dibawa menuju ke kediaman almarhum di Sentanipada tanggal 13 November. Suasana ketegangan sangat terasa di seluruh kota Jayapura.Setelah disemayamkan di rumah duka, pada 17 November, jenazah dikebumikan di lapangan Sepak BolaSentani.

Page 12: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 12

E. Kecamatan Abepura1. 1996

Pembakaran Pasar Abepura (Maret)Peristiwa pembakaran Pasar Abepura sebagai rentetan peristiwa di Sentani, Abepura dan Jayapura ataswafatnya Tokoh Politik Papua Thomas Wanggai secara tidak wajar di LP Cipinang – Jakarta .Berikut Kronologis Kasus yang dihimpun oleh Tim Peneliti Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AlDP).Tanggal 16 Maret 1996. Berita Kematian Thomas Wanggai sampai di keluarga Besar Wanggai di- Dok IXJayapura dan oleh Keluarga Besar Wanggai meminta agar Jenazah Thomas Wanggai dikirim ke Jayapura.Tanggal 17 Maret 1996. Dilaksanakan rapat untuk membentuk Panitia penjemputan Jenazah Alm ThomasWanggai. Untuk mengkoordinir penjemputan ini dipercayakan Kepada para Mahasiswa sekaliguspengarahan massa penjemputan.Tanggal 18 Maret 1996. Pukul 07.00 s/d 09.30 WP : Massa Simpatisan Thomas Wanggai dari Jayapura,Abepura & Sentani dengan menggunakan kenderaan maupun berjalan kaki ke Sentani bermaksudmenunggu dan sekaligus mengiringi jenasah dari Sentani sampai ke Jayapura.a. Sentani

Pukul 10.00 WP : Jenasah tiba di Bandar Udara Sentani dengan menggunakan pesawat, setelah itujenasah diturunkan dari pesawat dan langsung dinaikkan di mobil jenasah. Di halaman bandar udarapenjagaan sangat ketat sekali, karena ribuan massa hadir untuk menjemput jenasah. AparatKeamanan menahan mobil dan meloloskan mobil jenasah tersebut melewati jalan Yabaso Sentani dankeluar melalui pompa bensin dengan truk tentara yang dikawal ketat menuju Jayapura dengan melaluiAbepura. Massa simpatisan yang menjemput yang terdiri dari para Pelajar, Mahasiswa danmasyarakat bersama-sama bergabung di Kampus Uncen

b. AbepuraPukul 09.30 WP : Mobil Jenasah yang berisi peti mayat kosong dikawal oleh aparat TNI dan POLRItiba didepan Kampus Uncen langsung dihadang oleh para Mahasiswa dan bermaksud mengarahkanjenasah ke Aula Kampus Uncen untuk penghormatan terakhir. Dengan perlahan mobil Ambulanceyang diduga membawa peti kosong mengambil haluan kanan dan ternyata diketahui oleh paramahasiswa bahwa peti yang berada didalam mobil jenasah kosong.Dalam situasi itu Truk Tentara yang membawa jenasah Thomas Wanggai berhasil melarikan jenasahitu dan diikuti oleh mobil Ambulance dengan kecepatan tinggi. Karena penculik jenasah itu,menyebabkan para mahasiswa marah dan terjadilah pelemparan dan pembakaran mobil, Taxi, Trukdan motor roda dua di depan Kampus Uncen. Massapun melakukan long March dari Abepura menujuJayapura sambil melakukan pelemparan dan pembakaran-pembakaran sesampainya massasimpatisan Thom Wanggai di Skyline. Mereka dihadang oleh pasukan Tentara dan Kepolisian agartidak sampai ke Jayapura. Akhirnya massa simpatisan Thom Wanggai kembali ke Abepura danbermaksud membakar Kantor Pengadilan Negeri. Kira-kira pukul 10.00 WP Aparat Kemananmelepaskan tembakan untuk membubarkan massa.Massa pun kemudian berpencar hingga ke Pasar dan melakukan pembakaran terhadap terhadapPasar Abepura, sehingga menyebabkan penikaman oleh warga sekitar Pasar Abepura terhadap 3orang asal suku Wamena dalam keadaan luka parah sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Dok IIJayapura. Pada korban Jiwa , harta benda dan penangkapan sewenang-wenang oleh AparatKeamanan trehadap Massa simpatisan Thomas Wanggai.

2. 1998 Uncen Berdarah

Peristiwa ini diawali oleh kegiatan mimbar bebas yang dilakukan oleh mahasiswa Uncen yang dikoordinirlangsung Senat Mahasiswa Universitas Cenderawasih pada hari Jumaat tanggal 03 Juli 1998, aksi tersebutbertempat di depan Ruang Rektorat lama Kampus Uncen Abepura. Aksi itu pada intinya menuntutdiselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, sebelum aksi mimbar bebas itudilaksanakan di Uncen terlebih dahulu mereka laksanakan di Kantor DPRD Propinsi Papua. Aksi mimbarbebas ini dilaksanakan merupakan rangkaian dari kegiatan yang dilangsungkan sejak tanggal 01 Juli 1998.Setelah beberapa hari melangsungkan Demonstrasi di Gedung DPRD maka para mahasiswa mengalihkankegiatan mereka di Kampus Uncen tanggal 03 Juli 1998. Kegiatan mimbar bebas itu sendiri dimulai padapukul 10.00 WP. Selama berlangsungnya aksi tersebut tidak ada tanda-tanda akan terjadi chaos semuanyaberjalan dengan tertib, aman dan damai, tapi tiba-tiba saja terjadi keributan tatkala ada anggota intel PolresJayapura duduk diatas pagar dan ini diketahui oleh para mahasiswa, mereka langsung memukul danmenghajar intel tersebut sehingga mengakibatkan suasana menjadi kacau balau, oknum yang diduga inteltersebut mengalami luka yang serius disamping itu senjata yang ia miliki dirampas. Tak lama kemudianmuncul mobil patroli dan langsung melepaskan tembakan dan mengejar para mahasiswa yang mengikutiaksi mimbar bebas, akibatnya bahwa dari kejadian tersebut telah menelan korban Mahasiswa FakultasHukum Semester IV yang bernama Steven Suripaty yang pada waktu itu tengah menyaksikan aksi mimbar

Page 13: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 13

bebas. Steven Suripaty tertembak di Gedung PGSD-Uncen dengan mengalami luka yang serius, tembakanpeluru nyasar yang dilakukan oleh Militer mengenai kepala Steven Suripaty dan tergeletak tak berdaya,disamping itu tembakan tersebut mengenai siswa SMP St Aquino yang bernama Monim pada bagian kaki.Melihat Steven Suripaty tergeletak tak berdaya, seketika itu pula para Mahasiswa langsung membawanyakerumah sakit Dok II Jayapura. Selama dirawat di RS Dok II penjagaan yang dilakukan oleh mahasiswasangat ketat sekali dan ekstra hati-hati. Akhirnya selama sempat dirawat Di Rumah Sakit kurang lebih 14hari, Steven Suripaty meninggal dunia akibat tembakan yang mengenai dikepala. Mendengar kabar StevenSuripaty Meninggal dunia maka seketika itu Uncen berkabung. Pasca Kematian Steven Suripaty pihakUncen langsung membentuk Tim Pencari Fakta yang beranggotakan dari unsur Dosen dan Mahasiswayang diketuai oleh Elly Lewerissa, SH, M.H. Hasil dari investigasi tersebut ada indikasi kuat bahwa institusiTNI terlibat dengan berdasarkan fakta di lapangan yaitu berupa peluru , motif, modus serta keterangan daripara saksi. Meskipun Tim Pencari Fakta telah bekerja secara optimal dan sudah merampungkan hasillaporannya dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib tapi hingga kini belum ditindaklanjuti hasillaporan tersebut.

3. 2000 Konflik Etnik (November)

Konflik yang terjadi di pasar Abepura pada tanggal 14 November 2000 berawal dari 2 (dua) orang pemudaPapua yang mabuk, masuk ke warung makan milik pendatang (makassar). Setelah selesai makan keduapemuda tadi tidak membayar. Oleh pemilik warung diminta untuk harus membayar, dan kedua pemuda tadi“membayar” dengan pukulan kepada pemilik warung kejadian ini terjadi kurang lebih pukul 16.00 WP.Akibat dari kejadian tersebut warga pemilik warung dan massa sekitarnya melakukan reaksi untukmembalas perbuatan kedua pemuda tadi dan akhirnya meluas kepada seluruh warga penghuni pasar yangkemudian melakukan reaksi tanpa melihat siapa pelakunya. Reaksi warga pribumi yang berjualan di pasarmenjadi sasaran dari warga pasar.Warga pribumi yang berjualan berlarian untuk menyelamatkan diri sebagian besar kelompok tersebutberlari dan berkumpul di sepanjang jalan depan toko Garuda dan kantor LBH-Papua. Pada saat itu terjadiaksi pelemparan batu dari warga pribumi (yang dikejar) kepada warga pasar yang mengejar denganperalatan tajam.Masyarakat disekitar tempat kejadian yang ingin mengetahui apa yang sedang terjadi (sebagian besarwarga pribumi) berkumpul bersama-sama dengan warga pribumi yang dikejar dari pasar. Akhirnya terjadikelompok-kelompok yaitu bagian atas (sepanjang jalan) bagian besar warga pribumi dan kelompok di pasarbagian besar warga pendatang dan terjadilah baku serang antara warga pasar dan warga pribumi.Warga pendatang yang menggunakan alat tajam, panah wayar, senjata rakitan dsb melakukanpenyerangan kepada warga pribumi dan masyarakat yang melihat kejadian dengan melepaskan panahsehingga menyebabkan warga yang tidak tahu persoalan menjadi korban. Juga sebaliknya warga pribumidan masyarakat melakukan serangan balik dengan menggunakan batu, kayu dsb juga menyebabkankorban dari warga pasar. melihat kondisi tersebut ada sebagian warga pribumi kemudian mengambiltombak, panah dan parang untuk menyerang warga pasar namun niat tersebut bisa dihalangi oleh wargadisekitar tempat kejadian.Ketika konflik terjadi sudah cukup lama (2 jam atau pukul 18.00 WP), kemudian 4 (empat) orang polisidatang, namun masyarakat melempari mereka karena kejengkelan masyarakat atas keterlambatan polisidalam menyikapi keadaan. Akibat perlakuan massa ini, maka Petugas dari Polsek Abepura kembali kemarkasnya. Setelah itu kurang lebih 3 jam kemudian Polisi dar kesatuan Brimob (PHH) dengan peralatanlengkap datang untuk mengamankan lokasi dan membuat batasan-batasan (garis demarkasi) bagi keduakubu yang bertikai. Anehnya, Brimob kemudian menghadang kelompok pribumi sementara kelompokwarga pasar tidak sehingga mereka bebas berkeliaran dengan membawa peralatan tajam.Ketua KKSS Kota Jayapura - Salam Usman – setelah mengetahui adanya peristiwa tersebut segera datangke lokasi kejadian. Anehnya bahwa ada di antara massa yang menghadang maksud baik dari Ketua KkSStersebut. Sekelompok orang ini kemudian dicurigai oleh KKSS sebagai kelompok yang bukan sebagaiwarga pasar Abepura. Karena bagaimanapun juga hampir semua warga pasar mengenal Bpk. SalamUsman, paling tidak mengetahui peran dan fungsi KKSS.Aparat terus berjaga-jaga di lokasi kejadian sampai hari keempat.. pada hari keempat, Aparat Keamananmelakukan sweeping dan yang didapati hanya sebuah clurit dan sebuah badik.

Page 14: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 14

4. Penyerangan Polsek Abepura (Desember)Pada 7 Desember 2000, sekitar pukul 01.30 sekelompok masa yang berjumlah kira-kira 15 orangberpakaian celana pendek, kaos bola kaki, dan tanpa menggunakan sepatu atau sandal, memasukihalaman mapolsek abepura. Kedatangan mereka di terima oleh petugas piket jaga Briptu Darmo secarabaik. Dua dari mereka mendekati meja piket, tiga orang ke ruang televiisi dan sepuluh orang bediri di pintugerbang. Setelah terjadi percakapan salah seorang yang mendekati meja piket dengan petugas langsungmengayunkan senjata tajam berupa kapak untuk menyerang Briptu Darmo. Begitu juga terhadap BripkaYoyok Sugiarto. Sementara itu hampir dalam waktu yang bersamaan tiga orang yang berada di ruangtelevisi menyerang Bripka Mesak Kareni dengan parang dan kapak. Sepuluh orang yang berada dihalaman menyerang Brigpol Petrus Epaa. Akibat penyerangan tersebut mengakibatkan Brigpol PetrusEpaa tewas, sedangkan Bripka Darmo, Bripka Mesak Kareni dan Bripka Yoyok Sugiarto, mengalami luka-luka. Selain itu massa yang masuk juga mengambil sepucuk senjata jenis Mouser milik Polsek. Massakemudian berpencar di sekitar lingkaran Abepura setelah adanya penembakan aparat polsek.a. Pembakaran Ruko

Dalam hampir waktu yang bersamaan dengan masuknya kelompok tak di kenal ke polsek abepura,terjadi pembakaran ruko di Jl. Gerilyawan yang berjarak sekitar 100 meter dari polsek abepura dilakukan oleh kelompok massa lain yang tak di kenal. Ruko yang terbakar terdiri dari satu RumahMakan Padang, dan satunya lagi toko pakaian dan Arloji ‘Restu Ibu’ milik tuan Darwis yang kebetulanterjadinya peristiwa tersebut tidak berada di TKP.

b. Pembunuhan satpam di Kantor Dinas Otonom tk.I Papua -Kota RajaSekitar pukul 05.00 atau menjelang pagi di temukan mayat Markus Padana di kantor dinas OtonomPropinsi Papua yang berjarak sekitar 2 km dari Mapolsek abepura. Markus Padana seharinya bekerjasebagai satpam di Kantor Dinas Otonom Kota raja. Korban diperkirakan tewas akibat luka bacok padaleher, luka tombak pada bagian perut.

c. Tindakan Kepolisian Pasca Penyerangan Polsek abepura.Beberapa saat kemudian setelah penyerangan tersebut, anggota polsek abepura yang piket malam itumelaporkan kejadian itu kepada kapolsek AKBP. Alex Korwa melalui telpon. Dan salah seoranganggota polsek Mesak Kareni langsung melaporkan ke Brimobda di Kota raja untuk meminta tenagapengamanan. Setelah menelepon, wakapolda, kapolres mengeluarkan perintah pengejaran danpenyisiran.

d. Pengejaran ke asrama-asrama dan pemukiman Warga pegunungan.

Di Asrama Ninmin, Satuan Brimob, sekitar pukul 02.00 dini hari di bawah komandan Bripka HansFairnap menggerbek mahasiswa yang sedangpulas tidur. Setelah melakukan tindak kekerasan,beberapa anggota Brimob tersebut membawa para mahasiswa dan pelajar yang berjumlah 23 orangdengan truk Brimob ke Polres Jayapura.Di pemukinan warga Kobakma Mamberamo, Wamena dan kampung Wamena di Abe Pantai, satu reguBrimob dibawah pimpinan Bripka Zawal Halim sekitar pukul 05.30 WP, tanggal 7 Desember,mengepung rumah-rumah warga sambil melepaskan tembakan. Anggota memerintahkan semuawarga yang berjumlah sekitar 75 KK untuk berkumpul di gereja GIDI dan melakukan pemukulansebagian warga dengan popor senjata. Setelah dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kelompok laki-laki terus di pukul dengan popor senjata dan ditendang dengan sepatu lars sambil melepaskantembakan untuk menakut-nakuti warga. Kemudian anggota Brimob membawa 4 orang, yaitu MatiasHeluka, Yepam Yokosam, Yonir wanimbo dan Arnol Mundu Soklayo dengan paksa ke Polsek Abepura.Di Asrama Yapen Waropen, satuan Brimob yang terdiri dari 15 orang dibawah pimpinan Iptu SuryoSudarmadi sekitar pukul 05.30 WIT, juga melakukan penyiksaan.Ketika melarikan diri, satu diantara mahasiswa penghuni asrama yang bernama Timotius Siramimengalami luka di bagian kepala (8 jahitan) akibat terserempet peluru. 4 orang dari mereka berhasilditangkap, 3 orang di antara mereka yaitu Yason Awaki, Yedit Koromat dan John Ayer di pukuldengan popor senjata dan di tendang, kemudian diseret, diangkat dan dilemparkan ke dalam trukselanjutnya dibawa ke polsek abepura. Sedangkan seorang lagi, Djen Mambrasar menyusul yanglainnya ke Polsek Abepura.Di pemukiman warga suku Lani asal Mamberamo dan wamena Barat di Jalan Baru Kotaraja, Satu reguanggota Brimob dipimpin Iptu Suryo Sudarmadi sekitar pukul 08.00 WP, tanggal 7 Desember. AnggotaBrimob bergerak masuk ke dalam pemukiman penduduk sambil melepaskan tembakan ke udara. Danmemaksa para warga yang berada di halaman rumah untuk tiarap. Bersamaan dengan itu beberapaanggota Brimob mulai melakukan pemukulan terhadap warga dengan popor senjata dan menendangserta menginjak bagian dada dan kaki warga yang sudah bertiarap. Sebagian anggota Brimob yanglain memasuki rumah-rumah dan memaksa orang-orang keluar untuk bergabung dengan warga yangsudah berada di halamansebelumnya. Selain itu aparat Brimob mengambil parang, sabit, panah danpisau-pisau dapur di dalam rumah penduduk. Kemudian mereka dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitulaki-laki dan perempuan. Di sini, anggota Brimob membawa 48 orang dengan paksa ke PolresJayapura.

Page 15: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 15

Di pemukiman Warga suku Yali,Anggruk di Skyline, satu regu Brimob dibawah pimpinan Brigpol JohnKamudi sekitar pukul 09.00 WIT hari yang sama. Anggota Brimob mengepung rumah tempat kediamanElkius Suhuniap dan langsung melepas tembakan ke udara. Ketika berusaha melarikan diri, ia ditembak anggota Brimob dari jarak 3 meter yang langsung tewas di tempat akibat luka tembak dipunggung tembus bagian dada sebelah kanan. Adik sepupu Elkius, yang bernama Lilimus Suhuniapyang juga lompat keluar lewat jendela, langsung ditangkap anggota Brimob. Korban lainnya yaitu AgusKabak, di tembak di bagian tubuh sisi kanan tembus perut bagian atas. Agus berusaha sembunyi disemak dekat kali, dan dalam keadaan luka, ia berhasil dari kejaran anggota Brimob yang kemudianmenyeret jenasah Elkius dan menggiring Lilimus ke Polres Jayapura.Di Asrama IMI (Ilaga) di Kampkey, Abepura. Kembali Satu regu Brimob, masih dibawah pimpinan IptuSuryo Sudarmadi sekitar pukul 23.00 WIT. Asrama ini di huni oleh mahasiswa dan pelajar asal daerahIlaga Kabupaten Puncak Jaya. Anggota Brimob langsung mengepung asrama sambil melepaskantembakan ke udara. Sebagian penghuni yang sedang duduk di halaman asrama langsung diperintahkan diam di tempat dan angkat tangan. Sebagian lagi dari anggota Brimob memasuki asrama.Ada yang mendobrak pintu dan ada yang masuk melalui belakang. Sesampai di dalam asramaanggota Brimob membangunkan secara paksa Teofilus Murib, Erenis Tabuni, Kelinus Tabuni danNaman Tabuni yang sedang tidur di dalam kamar dengan memukul dan menodongkan senjata danselanjutnya diseret ke halaman asrama. Anggota Brimob juga mengobrak-abrik isi kamar danmengambil dompet. Selanjutnya anggota Brimob mengumpulkan mereka yang berjumlah 14 oranglaki-laki. Setelah melalui penyiksaan yang panjang, mereka selanjutnya dibawa ke Polres Jayapura.

Tidak sampai di situ, di Polres Jayapura, beberapa masyarakat yang berhasil ditangkap dan dibawa kePolres langsung disambut dengan siksaan. Perempuan dan laki-laki, semua mendapat perlakuan yangsama. Beberapa dari mereka berasal dari asrama Ninmin, yakni sebanyak 23 orang; 14 laki-laki, 8perempuan dan 1 orang anak perempuan berusia 7 tahun di perintahkan turun dari truk langsung dipukul satu per satu oleh aparat kepolisian dengan tongkat plastik, popor senjata, skop, rotan danbalok.Mereka kemudian didata dan dipisahkan laki-laki dari perempuan, sekitar pukul 05.30 para korban laki-laki di masukkan kedalam ruang besuk tahanan polres sambil di pukul dan di tendang. Mereka juga dipisahkan antara pelajar dan mahasiswa. Disana mereka terus di pukul dan di siksa sehingga lantai dandinding ruangan penuh darah akobat luka-luka yang di derita. Dan beberapa orang dari mereka diperintahkan untuk membersihkan darah tersebut dengan air dan dipaksa meminumnya. Salah seorangyang bernama Eky Gwijangge rambutnya dipotong dan dipaksa memakan potongan rambut itu sambilditodong dengan pisau di leher. Setelah itu satu per satu diinterogasi di ruang ruang serse Polda dibawah pimpinan kasat serse AKBP Drs. Prasetyo Widiono, setelah itu mereka dibawa kembali keruangan tahanan Polres dan sebagian dibawa lagi ke dalam sel. Di dalam sel mereka disatukandengan tahanan lainnya sehingga berdesak-desakkan. Di sana mereka bertemu dengan seorangtahanan WNA asal Swiss, bernama Iten Oswald Joseph mereka menyaksikan Ory Ndrongky tewas ditahanan Polres Jayapura akibat penyiksaan yang dilakukan aparat polres.Kira-kira pukul 09.00 wpb 48 orang berasal dari jalan baru dalam kondisi babak belur diangkut dengansatu truk Brimob tiba di Polres Jayapura. Mereka diturunkan satu per satu sambil dipukul terusmenerus dan digiring ke ruang besuk tahanan Polres dan rambut para korban diberi cat warna putihsambil terus dipukul dan disiksa. Para korban yang berasal dari jalan baru ini dibebaskan pada tanggal8 Desember 2000 sekitar jam 16.00 wpb. Pukul 03.00 dini hari tanggal 8 Desember 2000 14 orangpenghuni asrama IMI diangkut ke Polres Jayapura, sampai ke Polres Jayapura mereka terus dipukuldan disiksa berulang kali secara bergantian.Pukul 05.00 wpb mereka dimasukkan ke dalam ruang tahanan Polres Jayapura. Pukul 16.00 sebanyak14 orang dipulangkan dengan menggunakan truk polisi. Sementara itu pada pukul 08.00 para korbanyang ditangkap di asrama Yapen Waropen dan Abe Pantai tiba di Polsek Abepura, merekapun dipukuldan disiksa secara bergilir oleh aparat kepolisian.Semua tahanan baru dipulangkan pada tanggal 8 Desember 2000 sekitar jam 17.00 wpb setelahterlebih dulu dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan yang samadan wajib lapor.

Penahanan Komponen PDPPada tanggal 28 November 2000 Sekjen PDP Thaha Al Hamid ditangkap jajaran Polda Irja untuk dimintaketerangannya atas dugaan keterlibatannya dalam Deklarasi 12 November 1999, tidak lama kemudianPentolan PDP lainnya Pdt Herman Awom, Don Flassy, Jhon Mambor serta Ketua PDP Theys H Eluay jugaditahan di Polda Papua. Pada Tanggal 29 November 2000 mereka resmi menjadi tahanan Polisi dandikurung di Polda. Kapolda Mengatakan bahwa penangkapan dan penahanan mereka tidak ada kaitannyadengan rencana issue 1 Desember, sekali lagi Kapolda hanya mengatakan bahwa mereka ditangkapkarena diduga merencanakan makar. Adapun proses penahanan yang mereka lalui diantaranya :Ditahan di Polda dari tanggal 05 s/d 25 Desember 2000, perpanjangan penahanan oleh Kepala KejaksaanNegeri Jayapura dari tanggal 26 s/d 29 Desember 2000, oleh Jaksa Penuntut Umum dari tanggal 29

Page 16: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 16

Desember 2000 s/d 17 Januari 2001, penetapan perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri Jayapura dari 18Januari s/d 16 Februari 2001, Penetapan perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri dari Tanggal 17 Februaris/d 15 Maret 2001, penangguhan penahanan oleh Kejaksaan Negeri Jayapura pada tanggal 16 Maret2001. Selama proses hukum yang mereka lewati Ketua PDP Theys Eluay sempat di RS Cikini – Jakartajuga Bpk Jhon Mambor dirawat RS Jakarta. Setelah dilakukan penangguhan penahanan oleh KejaksaanNegeri Jayapura maka pada tanggal 14 Mei 2001 kasus tersebut akhirnya dilimpahkan pada PengadilanNegeri Jayapura dengan dakwaan melakukan kegiatan makar, kegiatan itu diantaranya Deklarasi 12November 2000, Mubes Papua, Peringatan 1 Desember dan Konggres II Papua tgl 29 Mei s/d 04 Juni 2000. Satu hal yang tak bisa dilupakan bahwa selama persidangan suasana aman, damai dan tenteram tapijuga telah memakan korban yaitu Tewasnya Ketua PDP pada bulan November 2001. Tapi kasus tersebutakhinya dilanjutkan terus sampai dengan akhir persidangan PDP dengan putusan bebas pada tanggal 04Maret 2002.

F. Kecamatan Sarmi1. 2000

Penyerangan TPN/OPM Oleh Polsek SarmiKontak senjata antara pihak TPN/OPM dengan Polsek Sarmi terjadi pada bulan November 2000 tepatnyadi Pasar Sarmi-Kota Pukul 14.00 WP. Awal mula peristiwa tersebut terjadi ketika sekelompok TPN/OPMberbelanja di Pasar untuk kebutuhan hidup. Pada saat mereka berbelanja mereka bertemu dengan salahsatu anggota Polsek Sarmi, mereka terlihat terlibat pembincangan yang sungguh bersahabat, maklumanggota Polsek Sarmi tersebut sudah saling kenal baik dengan mereka (TPN/OPM) sehingga merekasangat akrab. Tiba-tiba saja pasukan Polsek Sarmi menyerang dan membuat kelompok TPN/OPMmenghindar dan lari bersembunyi. Pada saat peristiwa tersebut Pasukan Polsek Sarmi berhasil melukaibeberapa orang dan satu orang diantaranya tewas ditempat kejadian. Selain itu peluru yang ditembakkanoleh Pasukan Polsek Sarmi melukai dua orang warga sipil, dua orang tersebut terkena peluru nyasar ketikaperistiwa berlangsung. Camat Sarmi pada saat itu langsung memerintahkan membawa korban ke RumahSakit Jayapura dengan mencarter pesawat dari Sarmi ke Jayapura.

G. Kecamatan Tor Atas1. 2000

Perampasan Senjata oleh TPN/OPMPada tanggal; 25 Desember tahun 2000 sekitar pukul 11.00 WP siang anggota TPN/OPM menyerangseorang anggota Polsek yang kebetulan pada waktu itu bertugas di Desa Samanente dan dalampenyergapan tersebut mereka berhasil mengambil satu pucuk senjata. Markas Polisi Sektor Kecamatan TorAtas diserang oleh kelompok TPN/OPM. Penyerangan tersebut sebagai upaya TPN/OPM bermaksudmengambil senjata. Penyerangan dan penyergapan dilakukan terhadap salah seorang Polsek tepatnya diDesa Konerjan kira-kira 10 Km dari Polsek Tor Atas . Akibat dari peristiwa tersebut masyarakat menjaditakut dan trauma atas kejadian yang menimpa pada daerah mereka. Di sisi lain berdampak padapenempatan pos-pos militer yang dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Tor Atas adalah daerah merah.

Kecamatan Betaf ( Pantai Timur)1. 2001

Kontak Senjata TPN/OPM di Pos Satgas Tribuana (Februari)Peristiwa ini diawali ketika TPN/OPM tiba-tiba menyerang Pos Satuan Tugas (Satgas Tribuana) Di DesaKuefa (Basecamp PT Sumalindo) pada hari sabtu tanggal 03 Februari 2001 . Dalam aksi tersebut limaorang tewas terdiri dari empat anggota Satgas Tribuana dan satu anggota OPM/TPN. 8 pucuk senjata apidibawa kabur oleh OPM/TPN. Penyerangan yang dilakukan oleh OPM/TPN hari Sabtu tanggal 03 Februari2001 sekitar pukul 17.00 WP dengan menggunakan senjata Tradisional seperti panah, parang dll kekuatanOPM/TPN diperkirakan pada saat penyerangan sekitar 50 orang.Di Pos Kuefa sebelum penyerangan ada 7 orang yang bertugas dan mereka sedang melakukanpenyuluhan tentang Otonomi kepada masyarakat setempat. Keempat anggota Satgas Tribuana yang tewasyaitu Serka Warni, Serda Zulkarnaen, Serka Nandang dan Pratu Sudirman, keempatnya mengalami lukabacok, luka tusuk disekujur tubuh dan mengalami pendarahan yang terus menerus. Sedangka satuanggota OPM/TPN yang bernama Messakh Dawer tewas ditempat kejadian dalam kontak senjata.Sebelum dilakukan penyerangan oleh Kelompok OPM/TPN berdasarkan informasi masyarakat setempatbahwa kelompok tersebut berteriak agar aparat keamanan segera mengembalikan dua pucuk mouser milikmereka (TPN/OPM) yang diserahkan oleh pimpinan TPN/OPM Max Rumbiak kepada pihak Keamanan.Akibat dari peristiwa tersebur masyarakat menjadi takut hal ini disebabkan karena pasukan yangditempatkan pada wilayah Betaf melakukan penyisiran dibeberapa tempat yang diduga menjadi

Page 17: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 17

tempat/basis TPN/OPM, masyarakat lalu berlari dan meminta perlindungan kepada Bpk Camat, pada saatitu Bpk Camat sendiri memberikan jaminan kepada pihak keamanan bahwa warganya/ masyarakatnyatidak akan berbuat yang tidak diinginkan.

Kecamatan Bonggo1. 2000

Terlantarnya Warga Trans Di Lokasi TransmigrasiPada awal tahun 1999, Pemerintah Indonesia melalui program transmigrasi nasional, menempatkan 65 KKtransmigran umum dari NTT dan Jawa ditambah 35 KK transmigran local di Satuan Pemukiman/SP VIIIArmopa, Bonggo. Para transmigran yang didatangkan tepat dengan Krisis Moneter yang tengah melandaNegara Indonesia ini ditempatkan pada lokasi yang sudah dibuka dua tahun sebelumnya. Lokasi sudahmenjadi hutan kembali, rumah-rumah penduduk tergenang dalam air rawa karena tidak ada drainase. Tidakada fasilitas infrastruktur yang memadai seperti gedung sekolah untuk anak-anak usia sekolah dasar dantenaga guru, Puskesmas dan petugas kesehatannya, kantor KUPT, rumah ibadah (Mesjid dan gereja).Jalan raya dan sarana transportasi serta pasar pun tidak ada. Jembatan-jembatan timbunan pun putuskarena banjir. Sementara jarak lokasi SP VIII dengan kota Sentani, Jayapura lebih dari 300 km. Wargaharus berjalan kaki sejauh 50 km untuk mendapatkan kendaraan di kali Miruway, SP. IV Bonggo. Merekadapat meneruskan perjalanan ke kota dengan menumpangi bus kendaraan angkutan umum dengan tariffRp. 40.000 – 50.000 per-orang.Karena lokasi itu tanah berawa dan tidak ada drainasenya, maka tidak ada hasil tanaman pangan sepertijagung, padi dan singkong yang tidak bisa tumbuh. Tanah di lokasi tidak cocok untuk bertani. Sementarajaminan hidup (Jadup) dari Deptrans itu tersendat-sendat, bahkan selama enam bulan warga tidakmenerima jaminan hidup. Akhirnya warga menderita kelaparan yang mengakibatkan munculnya berbagaimacam penyakit hingga tercatat 18 korban meninggal di lokasi.

Pengalaman penderitaan di atas yang mendorong para transmigran umum dari Jawa dan NTT yangbermukim di lokasi Armopa VIII Bonggo ini untuk keluar meninggalkan lokasi transmigrasi. Merekamengungsi ke kota Jayapura dengan membawa aspirasi tuntutan untuk dipulangkan kembali ke daerahasal masing-masing. Mereka mendatangi Kakandep Transmigrasi Kabupaten Jayapura, Ir. Yan Pali,Kakanwiltrans Propinsi Papua/ Irian Jaya, Ir. Budi Sinulingga, dan Ketua DPRD Propinsi Papua/Irian Jaya,Nathaniel Kaiway,SH (alm). Namun unjukrasa yang dilakukan berkali-kali sejak Februari 2000 hingga Juli2000 itu ternyata hanya membuahkan hasil teror, intimidasi dan ancaman hukuman penjara yang terbuktidengan tiga orang juru bicara warga ditahan selama 68 hari di Polres Jayapura dengan tuduhanprovokator/penghasutan, pasal 160 KUHAP. Selama perjuangan mereka untuk menuntut perlakuan adildari pemerintah di Jayapura ini telah tercatat dua orang korban meninggal. Hingga bulan November 2001ini nasib para ‘pengungsi’ korban pembangunan transmigrasi di Propinsi Papua ini terkatung-katung. Meskidemikian, mereka masih terus berjuang menuntut pemerintah dengan mengambil sikap tetap bertahan ditempat penampungan di halaman kantor LBH Papua sebagai aksi protes terhadap pemerintah Indonesiadalam hal ini pemerintah Daerah Propinsi PapuaWarga transmigran eksodus Bonggo ini masih bermukim di halaman kantor LBH Papua. Jumlahnya masih30 KK (115 jiwa), laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ke-30 KK ini mayoritas warga dari Timor Barat, NTTditambah sejumlah KK dari Jawa Barat.

Kecamatan Arso

1. 1999 Kasus Penyanderaan Warga Sipil Arso Pir IV (Mei)

Pada Tanggal 31 Mei 1999 sebelas Warga Arso disandera oleh Kelompok OPM Hans Bomay. KelompokOPM/TPN Pimpinan Hans Bomay tiba-tiba saja memasuki daerah PIR IV-Arso dan menyandera 11 orangpada peristiwa tersebut. Ke sebelas Warga Arso yang disandera terdiri dari empat orang laki-laki dan tujuhorang laki-laki. Peristiwa tersebut terjadi tepat pukul 14.30 WP. Pada saat penyanderaan KelompokTPN/OPM mempergunakan senjata dan alat tajam tradisional berupa panah dan tombak. Dampak dariperistiwa penyanderaan tersebut masyarakat sekitarnya mengalami ketakutan. Dari sebelas orang yangdisandera empat orang tewas, kesemuanya laki-laki. Sebelum penyanderaan terjadi, Kelompok TPN/OPMPimpinan Hans Bomay ingin bertemu dengan Pangdam Trikora di Jayapura, tetapi setelah mereka sampaiditempat tujuan Pangdam tidak berada di tempat. Mereka akhirnya kecewa dan sesampainya dilokasi PIRIV-Arso langsung menyandera sebelas orang warga Trans, selain itu menurut informasi dari korban bahwasatu hal yang mereka tuntut yaitu merdeka dalam arti lepas dari NKRI, sedangkan korban penyanderaantersebut mengalami ketakutan., tetapi akhirnya mereka dibebaskan oleh Tentara PNG di lembah Bewani,selanjutnya proses pengembalian para korban penyanderaan diselesaikan sepenuhnya oleh pemerintahPapua New Guinea (Tentara dan polisi PNG). Mereka disandera kurang lebih satu bulan dengan

Page 18: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 18

berpindah-pindah tempat di dalam hutan. Penjemputan para korban penyanderaan langsung disambut olehPangdam Trikora Amir Sembiring.

Page 19: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 19

KABUPATEN BIAK NUMFOR

A. Kecamatan Biak Selatan1. 1995

Pembakaran Pasar (Januari)Berawal dari perkelahian antara seorang pembeli, Kaleb Yawan, yang kebetulan beretnis Papua, denganseorang pedagang yang kebetulan juga berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis) di areal pasar dan telahmengakibatkan pembeli tersebut meninggal dunia di tempat kejadian akibat pendarahan hebat setelahterkena pukulan alat/senjata tajam. Oleh pihak keamanan, Polisi, mayat tersebut tidak langsung diserahkankepada pihak keluarga korban, sebab masih akan diautopsi. Sikap pihak Kepolisian tersebut telahmemancing amarah keluarga korban yang sempat bersitegang dengan pihak Kepolisian setelah 1 minggumayat belum juga dikembalikan kepada keluarga korban.Peristiwa tersebut ternyata telah menimbulkan solidaritas etnis di kalangan masyarakat Papua. Merekakemudian membentuk kelompok-kelompok serta melengkapi diri mereka dengan berbagai bentuk senjatatajam dan mengancam akan membunuh ( balas dendam ) 1 orang pendatang sebagai ganti dari keluargamereka yang telah meninggal dunia. Ancaman inilah yang kemudian menyebabkan seorang oknumpendatang mengintruksikan kepada seluruh pemilik kios di areal pasar untuk menutup toko dan kiosnyaserta berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang akan terjadi.

Seorang responden mengatakan bahwa aksi pedagang tersebut disertai larangandari pihak keluarga korban yang menuntut harus ada korban di pihak masyarakatPapua sebagai ganti keluarga mereka yang telah meninggal dunia.

Masih dengan amarah yang sangat, pihak keluarga korban serta beberapa orang masyarakat Papua telahmenstabilokan persoalan ini sebagai pertikaian etnis. Malam harinya, sekitar pukul 02.30 dini hari waktusetempat, mereka berhasil membawa lari bahan bakar bensin setelah membobol gudang toko Palaka. Olehmereka, bensin hasil curian tadi kemudian disiram di kios-kios yang diperkirakan ada orang yangmenjaganya lantas dibakar dengan menggunakan sejenis bahan peledak (dopis) yang telah merekapersiapkan sebelumnya. Api merambat begitu cepat dan melalap sebagian besar kompleks pasar, setelahsebagian lainnya berhasil diselamatkan oleh tim pemadam kebakaran.Akibatnya, 1 orang langsung meninggal dunia dan 6 orang mengalami luka yang cukup serius, serta 2orang lainnya hanya mengalami luka ringan. Sedangkan kerugian material diperkirakan mencapai milyaranrupiah. Kota Biak langsung menjadi sepi dan lengang dengan aroma ketegangan yang sangat tinggi.Nuansa konflik etnis sangat terasa sekali. Hal ini terlihat dari banyaknya kelompok massa yangbergerombol berdasarkan etnis (Papua dan non Papua) di beberapa tempat. Masing-masing orang dalamkelompok tersebut melengkapi diri dengan berbagai macam senjata tajam. Akan tetapi ketegangan tersebuttidak berubah menjadi sebuah konflik horizontal yang besar, karena masing-masing pimpinan suku dariyang bertikai bertemu dan bersepakat untuk mengakhiri perseteruan tersebut. Masalah dianggap selesaisetelah masing-masing kelompok melakukan ritual adat berdasarkan aturan adatnya dan berjanji berdamaiserta tidak saling mengganggu lagi setelah sebelumnya mereka membuat perjanjian jika nanti ada lagi darietnis pendatang (Bugis) yang berbuat hal serupa, mereka akan dipulangkan kembali ke daerah asalnya.

2. 1998 Biak Berdarah (6 Juli)

2 Juli, pukul 04.45 WIT, bendera Bintang Kejora sudah berkibar di atas ketinggian 35 m menara air.Melihat hal tersebut, ratusan massa sipil Papua kemudian terkosentrasi di sekitar menara. Hanya beberapasaja yang berada di bawah menara. Hal ini, oleh Filep Karma, yang disebut-sebut sebagai pimpinan massa,kemudian mencoba untuk menarik perhatian sebagian besar massa yang hanya berdiri cukup jauh darimenara dengan memanggil mereka untuk bersama-sama dengan massa lainnya yang berada di bawahmenara. Akan tetapi, ajakan tersebut tidak diindahkan. Beberapa saat kemudian, usaha Filep Karma kiniterbantu dengan kehadiran sekelompok pemain musik yang berasal dari Biak Timur. Mereka kemudianmenyanyi dan menari sehingga menarik simpati dari sebagian besar massa yang tadinya hanya beradacukup jauh dari menara, sehingga diperkirakan jumlah massa yang berada dekat dengan menara air telahmencapai 1.000-an orang.Atas peristiwa tersebut, maka Bupati, Danrem 173 dan Kapolres serta Ketua Pengadilan Negeri BiakNumfor, mencoba untuk bernegosiasi dengan Filep Karma untuk menurunkan bendera Bintang Kejora.Negosiasi gagal. Akan tetapi pihak Muspida Biak Numfor tidak kehabisan akal, orang tua Filep Karma yangberada di RSUD Biak Numfor dihadirkan untuk membujuk Filep Karma agar menurunkan Bendera BintangKejora. Hasilnya, semua upaya tersebut tetap saja tidak menyurutkan niat Filep Karma.Sekitar pukul 15.30, Pasukan Anti Huru-hara mencoba untuk menghalau massa pengibar bendera yangtetap saja bertahan di tempat. Halauan PHH ini kemudian menimbulkan perlawanan dari massa. Akhirnya,13 orang dari pihak PHH mengalami luka-luka dan 2 di antaranya dinyatakan kritis, sementara beberapa

Page 20: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 20

orang dari massa pengibar bendera juga mengalami luka yang serius. Walaupun insiden tersebut telahmenimbulkan korban, namun massa tetap saja bertahan di tempat. Bendera tetap tegar di atas menara air.Tanggal 3 Juli. Massa yang mengetahui ada Kapal Putih (KM. Dobonsolo) yang akan berlabuh di dermagaBiak Numfor (lokasi dermaga tidak berjauhan dengan menara air, tempat berkibarnya Bendera BintangKejora), mencoba untuk meluaskan daerahnya sampai di dermaga. Tumpahnya massa di dermaga tentusaja membuat nahkoda KM. Dobonsolo merasa ketakutan untuk merapat ke dermaga. Namun sekelompokpenumpang KM. Dobonsolo, yang terdiri dari beberapa Pendeta (yang baru saja pulang dari kegiatankeagamaan di Manokwari) menemui Nahkoda dan menawarkan jasa untuk berdialog dengan rombonganmassa. Sementara itu, di dermaga, Ketua DPRD Biak Numfor mencoba untuk melakukan negosiasi denganFilep Karma. Hasilnya, Filep Karma mengizinkan KM. Dobonsolo merapat ke dermaga dan berjanji akanmenjamin keselamatan penumpangnya.4 Juli. Pihak Gereja yang sangat menyesalkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 2 Juli tersebut. Gunamencegah timbulnya korban yang lebih besar lagi, maka pihak Gereja berinisiatif mengutus 6 orangPendeta untuk melakukan negosiasi dengan Filep Karma sebagai pimpinan massa, yang kini sudahmempersenjatai diri mereka dengan senjata, parang, tombak bahkan bom Molotov setelah mendengar adasekelompok massa Papua lain yang bekerja sama dengan pihak TNI dan Polisi akan membubarkanmereka. Hasilnya, berbagai macam senjata telah dikumpulkan dan dibuang ke laut. Akan tetapi, denganhanya mengandalkan Al Kitab (Injil), massa tetap bertahan di bawah naungan bendera yang masih sajaberkibar di atas menara air. Sebagian massa telah bertekad lebih baik mati di bawah bendera. 5 Juli. Pukul12.00 WIT, usai Kebaktian di Gereja, kembali pihak gereja, kini diwakili oleh Pendeta Hagar Maryembersama beberapa jemaatnya, mencoba menemui dan membujuk Filep Karma agar mau menurunkanbendera Bintang Kejora. Negosiasi kembali gagal.Gagalnya negosiasi yang berulang kali tersebut, tidak membuat pihak yang peduli dengan kemanusiaanputus asa. Pukul 15.00 WIT pada hari yang sama, Gereja GKI, Bupati serta Danrem 173 Biak Numforkembali menemui massa dengan maksud yang masih tetap sama, yakni penurunan bendera BintangKejora. Tetap gagal.Di lain pihak, Tripika (Camat, Dan Ramil serta Kapolsek) Biak Barat, diindikasikan berupaya untukmengadu massa pengibar bendera dengan masyarakat di Biak Barat. Massa (dari Biak Barat) yang sudahberkumpul kemudian menyadari besarnya resiko yang akan dihadapi, mereka akhirnya memutuskan untukkembali dan membatalkan niat awalnya untuk menyerang (membubarkan) massa Papua lain yangbertahan dengan kibaran bendera Bintang Kejora di menara air.

Anehnya, beberapa orang dari massa tersebut ada yang tidak paham untuk apamereka dikumpulkan oleh pihak Tripika.

Pada 5 Juli, kembali pihak Tripika Biak Barat mengumpulkan massa (sebagai pengganti massa yangdimaksudkan untuk mmbubarkan pengibar bendera) dengan mewajibkan 11 desa yang ada di dalamwilayah administrasinya untuk mengumpulkan masing-masing 30 orang warga dilengkapi dengan berbagaimacam senjata. Namun, oleh Bupati Biak Numfor, massa yang sudah kembali terkumpul di suruh pulangsetelah sebelumnya Danrem memberikan uang tunai sebesar Rp. 500.000,- kepada mereka.

Upaya adu domba dari pihak pemerintah dengan cara membelokan arah konflikdari vertical menjadi horizontal sangat terlihat dari upaya yang dilakukan oleh pihakTripika Kecamatan Biak Barat dan ketidakpahaman beberapa orang dari massayang berhasil dikumpulkan pihak Tripika Biak Barat tersebut.

6 Juli, pukul 05.30 WIT. Pasukan gabungan yang terdiri dari Brimob, Polres Biak Numfor, Yonif 733, Korem173 dan Kodim 1703 Biak Numfor serta Marinir yang ada di pangkalan Biak Numfor serta beberapapasukan non organik yang ada di Biak Numfor, menyerbu pihak massa sipil yang berada di sekitar menaraair dengan hujan peluru tajam. Tindakan brutal dari aparat keamanan telah mengakibatkan puluhan orangluka-luka bahkan 8 orang lainnya langsung meninggal di tempat kejadian. Tidak sampai di sini, aparatkemudian meluaskan operasinya ke pemukiman penduduk yang ada di sekitar menara air. Ratusan orangsambil terus dianiaya oleh aparat digiring menuju pelabuhan. Sampai di pelabuhan, massa disuruhberbaring dan manatap panasnya matahari sambil tidak henti-hentinya aparat keamanan menginjak danmenganiaya mereka. Banyak sekali masyarakat sipil yang tidak terlibat sama sekali dan tidak tahu menahudengan persoalan pengibaran bendera Bintang Kejora menjadi sasaran amuk aparat keamanan.Pasca peristiwa tersebut, di sekitar perairan dan pantai Biak, ditemukan sekitar 32 mayat yang tidakdikenal. Di antaranya ada yang memakai baju bergambar Golkar dan logo OSIS. Beberapa dari mayattersebut sudah tidak utuh lagi anggota tubuhnya, payudara terpotong, kemaluan rusak berat, kepaladigunduli dan lain-lain. Anehnya, oleh pemerintah setempat, dinyatakan bahwa mayat-mayat berbajuGolkar dan berlambang OSIS tersebut adalah korban tsunami yang mengguncang negara PNG.

Page 21: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 21

Bagaimana mungkin di PNG ada partai Golkar dan lambang yang persisdengan lambang organisasi anak sekolah di Indonesia? Juga secarageografis, letak sungai Mamberamo di daerah Jayapura –memisahkandaerah Biak Numfor dengan PNG– sangat memungkinkan mayat korbantsunami di PNG tidak mampu menyeberangi derasnya arus Mamberamo.

Atas tragedi kemanusiaan tersebut, telah mengundang simpati berbagai lembaga kemanusiaan, baik lokal,nasional maupun internasional. Akan tetapi rekomendasi dari semua lembaga pekerja HAM tersebut tidakpernah ditindaklanjuti sampai ke pengadilan atas kejahatan yang telah dilakukan oleh negara tersebut.Bahkan rekomendasi dari lembaga yang bertugas menangani persoalan-persoalan kemanusiaan setingkatKomnas HAM sekalipun, tidak mampu membuka kata dan mata hati para penguasa negeri ini. Kembali peties hukum dan politik negeri ini terisi oleh kasus yang berlabel Biak Berdarah.

B. Kecamatan Biak Timur1. 1996 - 2001

Pencaplokan Tanah Masyarakat AdatLagi-lagi aparat negara, Kepala Kecamatan dan Polsek Biak Utara melakukan tindakan yang merugikanrakyatnya sendiri. Adalah pencaplokan hutan yang menjadi hak ulayat masyarakat di desa Marau,Mnurwar, Tanjung Barari, Sepse dan desa Rimba Jaya serta desa Makmakerbo. Untuk menyuplaipermintaan agen kayu yang membutuhkan dalam jumlah besar, mereka lalu melakukan eksploitasi hutantanpa melakukan pembicaraan dengan masyarakat adat sebagai pemilik yang sah atas hutan yangdieksploitasi tersebut.Kepala desa dengan dibantu oleh pihak Kepolisian secara rutin mengkontrol daerah tebangan. Akan tetapikontrol tersebut kemudian berubah menjadi proses intimidasi terhadap masyarakat yang hidup di sekitarhutan. Tidak jarang intimidasi dilakukan dengan tidak diperbolehkannya masyarakat masuk ke areal hutanyang menjadi areal eksploitasi tersebut. Bahkan beberapa kali di antaranya mereka mengeluarkan aturanyang justru melanggengkan usaha ekonominya. Masyarakat menjadi bingung dan tidak tahu harusberladang di tempat mana, sebab sebagian besar hutan telah diklaim sebagai milik pemerintah. Jangankanberpikir kelangsungan anak dan cucunya, untuk kehidupan sehari-hari merekapun tidak ada yang bisamenjamin.Sikap diamnya masyarakat atas ulah pemerintah tersebut, kemudian berubah menjadi apatis dancenderung pasrah atas nasib yang menimpa mereka. Toh, kalaupun mereka melaporkan hal ini ke pihakberwajib tentu saja tidak akan ditanggapi. Sebab yang melakukan eksploitasi adalah pihak pemerintah juga.Hal lain adalah mereka takut jangan sampai dicap OPM –seperti desa-desa lain yang bertetangga dengandesa mereka– jika harus protes atas kebijakan tersebut ikut pula menjadi penyebab kepasrahanmasyarakat.Belum ada usaha untuk menghalangi tindakan aparat pemerintah tersebut, minimal sampai usainya prosespenelitian ini dilakukan.

2. 2001 PHK Karyawan Hotel Marauw (Juni)

Karena tidak mampu lagi membiayai operasionalnya setelah terus menerus mengalami kerugian, makapenguasaan aset Hotel Marau dinyatakan dialihkan ke pihak Pemda Biak Numfor. Ketidakmampuanperusahaan inilah yang telah berdampak pada di-PHK-nya 500 orang karyawan hotel.Persoalannya adalah, ke 500 orang karyawan tersebut sudah tidak mendapatkan gaji selama 10 bulansebelum di-PHK. Ditambah lagi proses PHK tersebut yang tidak sesuai dengan kontrak kerja yang telahditandatangani karyawan ketika masuk bekerja, bahwa karyawan yang terkena PHK akan diberikanpesangon, tetapi kenyataannya hal tersebut tidak terealisasi.Mengetahui bahwa aset Hotel Marau telah dialihkan ke pihak Pemda Biak Numfor, kelompok karywantersebut lantas mengadukan nasib mereka ke Pemda Biak Numfor dan bermaksud untuk meminta gaji danpesangon yang belum dibayar. Belum ada realisasi kongkrit dari pemerintah setempat, minimal sampaibulan Mei 2002 ini, selain janji pihak Pemda Biak Numfor, bahwa persoalan gaji dan pesangon karyawantersebut telah dianggarkan pada RAPBD tahun ini (2002).

Page 22: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 22

C. Kecamatan Biak Utara1. 1995

Klaim Atas Tanah UlayatPertikaian dua marga yang mempersoalkan kepemilikan tanah antara marga Komboi (marga asli darikampung tersebut) dan marga Rumaropen (marga pendatang) kejadian ini terjadi di desa Karuboi padatahun 1995 yang menewaskan satu keluarga dari marga Rumaropen dibakar habis dengan rumahnya,korban semuanya berjumlah 5 orang. Insident ini kemudian diselesaikan secara adat oleh kedua belahpihak.

3. 2001 Pencaplokan Tanah Masyarakat Adat

Lagi-lagi aparat negara, Kepala Kecamatan Biak Utara melakukan tindakan yang merugikan rakyatnyasendiri. Adalah pencaplokan tanah yang berupa lahan tidur (bekas lokasi penumpukan pasir akibatbencana tsunami di Biak tahun 1996) seluas 1 ha yang menjadi hak masyarakat yang menetap di sekitartempat tersebut, yang hendak dijadikan penambakan udang selama 10 tahun.Oknum Kepala Kecamatan tersebut hanya melakukan perjanjian dengan pihak perusahaan yang berasaldari Korea. Ketika hal tersebut dikonfirmasikan oleh masyarakat pemilik ke pemerintah kecamatan, merekajustru dianjurkan untuk mendukung proyek yang diklaim sebagai proyek pemerintah tersebut. Masyarakatyang tidak puas atas jawaban tersebut lantas melakukan aksi dengan menutup saluran air yang menuju ketambak dan memalang kantor perusahaan. Belum ada bentuk penyelesaian yang kongkrit atas persoalantersebut.

D. Kecamatan Biak Barat dan Kecamatan Supiori Selatan Terbelenggunya Masyarakat Atas Label Desa SeparatisKasus yang satu ini terjadi pada setiap desa yang diberikan stigma bahwa desa tersebut adalah desa separatissehingga pihak TNI melakukan social deference terhadap masyarakat yang over protective dari intimidasi secaratidak langsung ini kemudian menyebabkan masyarakat di desa tersebut mengalami kecemasan yang sangatmencekam. Umumnya desa-desa yang diberikan stigma ini terdapat di Biak barat desa Sarwa, desa Napdori, desaKrisdori, desa Orkdori, Desa Farusi Adadikam dan desa Sopen sedangkan kecamatan Supiori selatan desaMarsram.

Stigma akan desa separatis, umumnya nampak pada setiap kecamatan yang dianggap sarangnya TPN / OPM,anggapan ini secara perlahan-lahan menimbulkan diskriminasi rasial yang tidak kentara hingga masyarakatsetempat terisolir dari jangkauan pembangunan dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, dalamrealitasnya memang ada program pembangunan yang diarahkan kedesa-desa tersebut seperti program airbersih, pembangunan MCK dan kegiatan bhakti sosial yaitu pengobatan secara cuma-cuma namun ternyataselalu dimotori oleh militer yang berbusana tukang bangunan, tukang air dan juru rawat. Konon BIDES yangditugaskan di desa Farusi Adadikam yang merupakan putri asal desa tersebut mendadak dimutasikan ke RSUDBiak, sampai sekarang tidak ada petugas kesehatan di desa-desa tersebut. Dengan sangat terpaksa, wargaharus setiap bulannya menunggu program kesehatan yang sangat unik tapi mencekam ini untuk memenuhikebutuhan akan kesehatannya.

Page 23: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 23

KABUPATEN MANOKWARI

Kota Manokwari

1999Kasus Pelabuhan (24 – 25 September)

Bermula dari terdengar khabar akan datangnya gelombang pengungsi dari Ambon pada tanggal 24September 1999 dengan menumpang kapal KM. Dobonsolo. Kabar angin itu kemudian diresponsi olehmasyarakat sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan petaka, karena disinyalir diantara rombonganpengungsi tersebut terdapat provokator-provokator yang akan mengacaukan stabilitas di tanah Papua.Selanjutnya masyarakat mengadakan pertemuan dengan pihak Muspida serta kepolisian, yang amna hasilpertemuan tersebut membuahkan kesepakatan yaitu Pemuda dan Satgas diberikan kesempatan untukmelakukan sweeping dan bekerjasama dengan aparat kepolisian di pelabuhan Manokwari. Memang padasaat itu Pemda menyetujui akan tetapi dari pihak kepolisian kurang menyetujui aksi sweeping tersebut.Pada tanggal 24 September 1999 (pagi hari) ada pengumuman dari pihak Kepolisian melalui RRI yangisinya ”tidak dibenarkan mengadakan sweeping kepada penumpang-penumpang kapal di Pelabuhan”. Soreharinya sekelompok Pemuda dan Satgas mendatangi pelabuhan dengan membawa spanduk yangbertuliskan “Kami Rakyat Papua Menolak Provokator-Provokator dari Maluku”, dan melakukan sweeping.Tidak lama kemudian terjadi bentrokan antara aparat kepolisian dengan massa yang melakukan sweeping,karena massa marah melihat seorang anak kecil yang dipukul aparat. Aparat kemudian menangkap 9orang Pemuda dan Satgas, massa kemudian melakukan negosiasi dengan aparat untuk dapatmembebaskan ke 9 orang yang ditangkap itu, akan tetapi aparat tidak menggubris tuntutan massa, bahkanmenghalau massa dengan melakukan penembakan ke udara untuk membubarkan massa. Hal ini justrumembuat massa panik dan marah atas perlakuan aparat, kemudian massa lari sambil balas melempar kearah aparat. Berikut terjadi kejar mengejar sampai di Jl. Siliwangi, dan Jl. Merdeka sampai di Kantor PosPusat tepatnya di depan Bank Mandiri lama yang sekarang menjadi PLN, massa berhadap-hadapandengan aparat Kepolisian dari sebelah pelabuhan menghadap ke arah Sanggeng Kota sementara massamenghadap ke arah Pelabuhan. Kembali terjadi keributan antara aparat dengan massa yang menuntutuntuk dilepaskan rekan mereka yang ditahan pada saat keributan terjadi di pelabuhan, kemudian dilakukannegosiasi untuk melepaskan ke 9 orang yang ditangkap oleh aparat. Akan tetapi negosiasi gagal kemudianaparat Kepolisian melakukan penembakan ke udara dan mengejar mereka, massa kembali bubar dan larikearah Sanggeng kemudian terpecah, ada yang kearah Sanggeng, Borasi dan Fanindi.Polisi terus mengejar massa, yaitu lewat 2 arah bawah (pasar Sanggeng) arah atas Jl. Diponegorokendaraan yang lewat atas ini terdiri atas dari 2 kendaraan yaitu mobil Daihatsu Rocky yang dikendaraiKasat Intel Polres Manokwari (saat itu, Letda Hamdani) bersama 3 orang anggota kepolisian, kemudian dibelakang mobil itu ada sebuah truck penuh dengan anggota kepolisian (Dalmas) yang menggunakanpakaian anti hura-hara lengkap dengan senjata. Di sepanjang jalan mereka terus menerus mengeluarkantembakan kemudian turun lewat Jl. Taman Makam Pahlawan ke Jl. Yos Sudarso, tepatnya di perempatanantara Jl. Yos Sudarso – Pasar Ikan – Pahlawan. Di bawah Trafick Light depan komplek Fasarkhan adasekelompok massa yang cukup banyak berkumpul di situ untuk melihat apa yang terjadi, karenamendengar bunyi tembakan yang dikeluarkan oleh aparat. Pada saat meluncur ke bawah, kedua mobil itudibagi dalam 2 jalur, truk yang membawa anggota Dalmas pada saat melucur mendekati massa langsungmelakukan tembakan kearah massa. Massa menjadi panik sehingga lari terpencar untuk menyelamatkandiri. Di perempatan itu ada seorang di antara massa yang berdiri yaitu Jhon Wamafma karena panik jugamaka ia berlari menyelamatkan diri tiba-tiba ia jatuh terkena tembakan. Menurut salah satu orang saksiyang sempat tiarap/berlindung (jongkok) tepat dibawah Trafic Light di bawah bak mobil truk anggota(Dalmas) dia melihat bahwa ada beberapa senapan/senjata diarahkan pada massa dan terdengar pulaletupan bunyi senjata berturut-turut, tetapi saksi (orang tersebut) tidak dapat memastikan apakahsenapan/senjata tersebut yang digunakan untuk menembak massa atau bunyi dari senjata yang lain. Adadua orang saksi lain yang lari dan berlindung di gedung sekitar jalan itu salah seorang diantaranya sempatmelihat korban yang jaraknya sekitar 20-30 meter mencoba lari, kemudian jatuh dan lari lagi lalu jatuh lagisetiap bunyi tembakan, akan tetapi dia tidak mengenali siapa-siapa orang yang jatuh-jatuh tersebut, nantisetelah keadaan aman barulah dia melihat bahwa orang tersebut adalah John Wamafma dan polisi sudahada yang datang di lokasi itu. Saksi lainnya mengatakan (orang-orang di sekitar lokasi kejadian), ketikamendekati lokasi mayat tadi sempat mendengar bunyi botol-botol yang dipecahkan disekitar lokasi tersebut,setibanya di lokasi ternyata ada mayat yang sudah dikerubungi banyak orang dan disekitar mayat tersebutbanyak pecahan botol. Tidak lama setelah truk polisi datang lalu mayat itu diangkut petugas ke atas trukdibawa ke rumah sakit. Belakangan setelah kejadian ada informasi di koran menurut polisi bahwa orangtersebut mati karena boom Molotov dalam botol yang dipegangnya pecah, padahal menurut keterangan(visum) dokter pada beberapa bagian tubuh korban ada lobang yang saling berhubungan serta pinggiranluka tidak rata dan ada bekas luka bakar.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pasukan terbagi menjadi dua bagian ada yang menujujalan ke atas dan ada yang kebawah, yang menuju jalan kebawah ini kemudian melepaskan tembakan

Page 24: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 24

kearah massa yang berlarian. Tepat didepan Kantor Pos Sanggeng ada satu lagi korban tertembak padabagian belakang tubuh korban dan terjatuh kedalam parit, orang tersebut biasa dipanggil Momo namaaslinya Abraham Mambraku. Disekitar lokasi ini juga ada lagi korban lainnya namanya Nehemia Kapissatertembak pada bagian pinggul bagian kanan.Besoknya tanggal 25 September 1999 pagi massa mulai mendatangi rumah sakit untuk membawa pulangmayat John Wamafma, diperjalan sekitar Jalan Merdeka dekat pos Polisi yang dijaga oleh Polisi, Marinirdan sebagian Angkatan Darat. Massa mulai beringas ketika melihat ada Polisi yang berjaga di pos tersebutkemudian melakukan pelemparan ke arah Polisi dan pada saat pelemparan itulah Polisi mulai melepaskantembakan peringatan. Massa kemudian menjadi panik dan berlarian tak tentu arah, salah satu dari massayang berlarian tadi ada yang tertembak pada bagian kepala namanya Markus Kambu selanjutnya korbandibawa berobat ke rumah sakit AD di Jakarta. Dua jam setelah kejadian di depan gedung DPRD Manokwaripolisi datang dengan mengendarai truck kembali melepaskan tembakan ke arah massa yang berdiri dipinggir jalan, ada satu lagi korban yang tertembak pada bagian paha sebelah kiri namanya Yan Makabori.

2. 2000 Kasus Amban Pantai (13 Desember )

Hiskia Opur adalah seorang operator sensor (Chain saw) yang dipekerjakan oleh dinas kehutanan untukmelakukan survei jalan dan pematokan areal hutan lindung di Testega, Kecamatan Anggi. Pada tanggal 13Desember 2000 pagi hari, karena tidak ada kayu bakar dirumah, orangtuanya menyuruh Hiskia untukmemotong kayu bakar dengan sensor (chain saw) didepan rumah tepat dimuara kali Pami Amban Pantai.Tidak lama berselang datang sebuah truk milik Hock Marani yang bertempat tinggal di Fanindi BengkelTan, yang dikemudikan oleh Wilson Hihatubun untuk mengangkut pasir. Dalam truk tersebut ada 6 orangpemuda 5 asal Biak, 1 asal Serui.Mereka sudah dua kali mengambil pasir secara diam-diam, dimana pasir yang mereka muat itu sudah dibelioleh CV. Fulica untuk membuat talud jembatan kali Pami yang terletak di Amban Pantai dari orang tuaHiskia. Pada ret (Trip) yang ketiga saat mereka mau mengambil pasir lagi, anak Hiskia melapor kepadabapaknya yang sedang memotong kayu bakar di muara kali “bapak truk yang tadi pagi angkat pasir adadatang mengambil pasir lagi”. Begitu mendengar laporan dari anaknya Hiskia langsung menghentikankegiatannya dan pergi melihat truk yang saat itu sudah memuat pasir ± ½ truck, kemudian Hiskia bicaradengan mereka agar pasir yang mereka muat itu jangan diambil karena sudah dibeli oleh CV. Fulica dariorang tuanya. Hiskia katakan pada mereka silahkan ambil pasir disini namun harus ada persennya karenapasir yang sudah kamu ambil itu sudah dibeli. Akan tetapi mereka menolak untuk memberikan persenansehingga Hiskia tetap bersikeras kepada mereka untuk menurunkan kembali pasir yang sudah diisi dalamtruk, setelah terjadi adu mulut antara Hiskia dan 6 orang ditambah 1 orang supir. Kemudian mereka (6orang bersama sopir tersebut)mengalah dan meninggalkan areal penambangan pasir. Namun tak lamakemudian mereka datang kembali dengan membawa dua orang anggota Brimob yang berasal dari TanahMerah (Jayapura) dan satu lagi berasal dari Key temannya Wilson Hihatubun. Ketika mereka tiba dengansikap arogan anggota Brimob asal Jayapura ini langsung memukul Hiskia dengan popor senjata dandinaikan ke atas truk. Dalam perjalanan menuju pos Brimob sepanjang jalan Hiskia dipukuli oleh keduaanggota brimob tersebut. Tiba dipos Brimob ada 5-6 orang anggota Brimob lainnya yang langsungmelakukan penyiksaan dengan cara ditendang, dipukul dan diinjak dengan menggunakan sepatu larssampai Hiskia jatuh pingsan, dalam keadaan tidak sadarkan diri Hiskia diangkat dan dibawa ke belakanggedung Pepera (Posko Brimob), Kemudian para anggota Brimob menyiram tubuh Hiskia dengan 3 emberair. Menurut para saksi mata Hiskia sudah tidak bergerak saat itu dan suhu tubuhnya dingin. SelanjutnyaHiskia dibawa ke RSUD Manokwari, tiba dirumah sakit Hiskia Opur sudah tidak bernyawa lagi.

3. 2001 Kasus Fanindi Dalam (1 Mei)

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, Peristiwa Fanindi Dalam adalah peristiwa yang sarat denganrekayasa. Hal ini diketahui dari hasil diskusi dengan beberapa nara sumber yang ada di Manokwari.Peristiwa ini dimulai dengan keinginan pihak keamanan untuk menurunkan bendera Bitang Kejora. Upayakearah ini telah dilakukan oleh pihak keamanan dengan cara pendekatan kepada pihak Panel PresidiumDewan Papua Manokwari, tetapi pihak Panel Manokwari tetap bertahan pada kesepakatan dan ijin yangdiberikan oleh Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid, dimana hasil keputusannya adalahbendera Bintang Kejora dapat dikibarkan sebagai lambang kultur asalkan bersamaan dengan benderaMerah Putih dan harus lebih besar dan lebih tinggi dari bendera Bintang Kejora. Menurut keterangananggota Panel, dalam berbagai pertemuan dengan Kapolres Manokwari pada waktu itu AKBP BambangBudi Santoso selalu menekankan kepada Panel untuk segera menurunkan bendera Bintang Kejora denganmenyebutkan bahwa Kab, Manokwari adalah daerah yang sangat bandel, jika dibandingkan Kabupaten lainyang telah menurunkan bendera Bintang Kejora, inilah yang menyebabkan Kapolres Manokwari danJajarannya selalu mendapatkan tekanan dari Kapolda Papua dan Kapolri. Selain pertemuam denganPanel PDP Manokwari, aparat keamanan juga telah menurunkan berdera Bintang Kejora dibeberapatempat seperti di Kelurahan Amban, Kelurahan Wosi, Desa Aroi dan beberapa tempat lainnya.

Page 25: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 25

Peristiwa ini, diawali dengan penghadangan kendaraan milik Setwilda Manokwari (baru dilantik pagi tadi)yang lagi merayakan kemenangannya, oleh sekelompok pemuda yang tidak dikenal. Pada saatpenghadangan, terjadi pertengkaran mulut antara para penghadang dengan Setwilda baru dan sempatkeluar kata-kata kasar dari mulut setwilda baru, sehingga memicu kemarahan kelompok pemuda yangmenghadang. Dalam kemarahannya kelompok pemuda tersebut kemudian membakar mobil setwilda danberlari menuju ke arah Pos Satgas Papua (rumah kediaman ketua LMA Manokwari yang juga sebagaiKetua Panel Manokwari). Pihak keamanan menganggap peritiwa ini dilakukan oleh pihak Satgas Papua,kemudian melakukan pengejaran dan penembakan kearah anggota satgas Papua yang bertahan di depanwartel Surya, karena tidak mampu lagi bertahan atas tekanan aparat yang terus menerus menembaki.Kemudian mereka mengundurkan diri ke kawasan Fanindi Dalam (lokasi Rumah Ketua LMAManokwari/Posko). Aparat terus mendesak menuju posko LMA dan berhasil menurunkan bendera BintangKejora serta membubarkan posko. Massa disekitar itu tetap berusaha untuk mempertahankan berkibarnyabendera Bintang Kejora, maka terjadilah bentrok antara aparat keamanan dengan anggota Satgas danmassa. Kasus Fanindi mengakibatkan korban 7 orang luka tembak dan penganiayaan terhadapmasyarakat.

Kecamatan Wasior

2001 Kasus Desa Wombu (31 Maret)

Perusahaan HPH yang beroperasi di desa Wombu yaitu PT. Dharma Mukti Persada yang telah beroperasidi daerah ini selama 9 (sembilan) tahun. Sepanjang perusahaan beroperasi hak masyarakat sebagian tidakdibayar oleh perusahaan.

Menurut keterangan masyarakat adat, Perusahaan belum memberikanpembayaran fee kepada suku Mayrasi dan suku Mere pada tahun 1995 dan1996 (dua tahun berturut-turut) hal inilah yang selalu dituntut olehmasyarakat.

Sebagai reaksi ketidak puasan maka masyarakat pemilik hak ulayat melakukan pemalangan jalanperusahaan pada tanggal 31 Maret 2001. Mereka menghadang manajer dan karyawan perusahaan serta6 orang anggota Brimob di kilometer 35, maka terjadi kontak senjata yang mengakibatkan 3 orangkaryawan perusahaan meninggal dunia.Masyarakat Desa Wombu mengungsi ke kehutan karena terdengar informasi, pihak aparat keamananakan menembaki siapa saja yang mereka temui di desa wombu, dengan alasan telah terjadipersekongkolan antara masyarakat adat dengan pihak TPN-OPM.

Kasus Desa Rasiey (3 Mei)Asal mula kasus ini digambarkan sebagai berikut, 22 orang masyarakat (pemuda) dari Pegunungan tengahdan Nabire diundang oleh masyarakat desa Rasiey untuk mengadakan pesta adat (ibadah pengucapansyukur) kehadiran mereka di Rasiey oleh aparat dicurigai sebagai anggota TPN/OPM dari pegunungantengah yang datang untuk memberikan latihan bagi anggota TPN/OPM di Wasior. karena merasa tidakaman sebab sudah cap sebagai anggota TPN/OPM maka mereka mengungsi ke Raimubaba yang letaknyadiantara Nanimori dan Dusner. Mereka berdiam di sini selama kurang lebih 3 minggu (proses mengapamereka kembali lagi ke desa Rasiey tidak dipaparkan dalam tulisan ini, karena menyangkut keamanan,sebab ditemukan dugaan ada rekayasa antara aparat dengan orang yang mengantar mereka keRaimubaba). Saat mereka tiba kembali di Rasiey tiba-tiba diserang oleh aparat dengan cara menembak kearah perahu, akibat dari penembakan ini, 6 orang hilang, 16 orang ditangkap, 3 orang yang tertembak danmengalami luka-luka. Dari 3 orang yang tertembak. Selanjutnya mereka dibawa ke Manokwari untukdiproses hukum, dalam persidangan, karena tidak terbukti atas tuduhan yang diberikan (tuduhan makar)maka, pihak jaksa merubah tuntutannya melanggar Undang-Undang Darurat Nomor. 12 Tahun 1951tentang membawa senjata tajam. Hasilnya adalah, Putusan pengadilan Negeri Manokwari kepada merekaadalah rata-rata 1 tahun hukuman penjara dipotong masa tahanan.

Page 26: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 26

Kasus Desa Wondiboy (13 Juni)Kasus Wondiboy, 13 Juni 2001, berawal dari tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat kepada perusahaan.CV. Vatika Papuana Perkasa dan CV. Trima Jaya Sukses Lestari sebagai kontraktor perusahaan HPHyang beroperasi di desa Wondiboy, selama beroperasi perusahaan telah mengabaikan kesepakatan-kesepakatan yang antara lain pembangunan perumahan penduduk, pengadaan air bersih untuk pendudukdan penerangan (Listrik) sepanjang wilayah yang dijangkau perusahaan. Di sisi lain sistem pembayaranyang tidak transparan (terbuka), memunculkan rasa tidak puas dari keret-keret pemilik hak ulayat kepadaperusahaan (sudah ada 3 kali pengapalan, menurut perjanjian antara perusahaan dengan masyarakatadat, ialah setiap kali pengapalan harus ada pembayaran), maka pada saat rencana pengapalan kayu logyang ke- 4 inilah terjadi kasus penyerangan kepada pos Brimob yang bertugas di Log Pon.Sebelum terjadinya penyerangan ke pos Brimob pernah terjadi sebuah bentrok kecil, dimana pemilik hakdari marga Yoteni yang diwakili oleh dua orang (nama kedua orang ini tidak ditampilkan karena alasankeamanan), menuntut perusahaan agar membayar 2 (dua) Milyar, tuntutan sebesar ini dimaksudkan agarada perhatian yang serius dari perusahan.Dan karena perusahaan tidak mengabulkan permintaan tersebut, pelampiasan dari tuntutan mereka ialahmenahan speed boat perusahaan sebagai jaminan. Penahanan speed boat dirasakan perusahaanmengganggu produktivitas. Maka mantan kepala Desa Tandia ( Markus Webori ) yang sekaligus menjabatsebagai Manejer Camp CV. Vatika Papuana Perkasa mengontak pimpinan perusahaan di Manokwari untukmendatangkan aparat keamanan dalam rangka mengamankan aset perusahan. Aparat keamanan (Brimob)didatangkan oleh Pak. Nataniel Kateri direktur CV Vatika Papuana Perkasa dan Mr Ling Ai Ung DirekturTrimajaya Sukses Lestari (perusahaan kontraktor pelaksana eksploitasi hutan).Dampak dari kehadiran pihak keamanan di Desa Wondiboy adalah masyarakat adat mulai tidak percayakepada pihak pemerintah (aparat sipil maupun keamanan) mereka beranggapan bahwa seharusnyapemerintahlah yang membela kepentingan masyarakatat adat bukan sebaliknya membela perusahaan.

Lebih lanjut menurut keterangan beberapa masyarakat, ada anggota TPN-OPM yang berada di Kecamatan Wasior, mereka sangat bersimpati denganpersoalan yang dialami oleh masyarakat adat dan sangat sakit hati terhadapperbuatan pihak perusahaan yang dilindungi oleh aparat pemerintah. Selainitu, penyerangan ke kamp (Logpon) perusahaan dan Brimob sebagai akibatsakit hati dari perlakuan Brimob pada saat penyerangan yang terjadi di DesaRasiey terhadap 22 orang Paniai.

Pada Tanggal, 13 Juni 2001, dini hari jam 03.00 Wit, sekelompok masyarakat sipil bersenjata masuk kekamp (logpound) perusahaan dan membunuh 5 orang anggota Brimob dan 1 orang karyawan sertamengambil 6 pucuk senjata. Pagi hari 16 0rang karyawan yang hendak masuk kerja tiba-tiba merekaditangkap dan dipukul dengan alasan mengetahui/ikut dalam peristiwa ini dengan todongan senjata merekadisuruh naik ke atas speed boat oleh anggota Brimob dan Polisi dibawa ke Manokwari untuk ditahan diPolres Manokwari.Pasca peristiwa menyerangan pos Brimob di Log Pon Wondiboy terjadi penangkapan semena-mena,penganiayaan, pembakaran rumah penduduk, bahkan penembakan oleh aparat keamanan padamasyarakat adat, peristiwa seperti ini terjadi di beberapa desa.Dari hasil penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut :a. Penganiayaan : 74 orangb. Penembakan, : 11 orang meninggal dan 1 orang luka beratc. Rumah yang rusak : 63 unit

Page 27: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 27

sementara iniissu yang

sangatmengganggu

aktifitasmasyarakat

adalahadanya team kemanusiaan (tim penyelamatan senjata), team ini beranggotakan masyarakat setempat dandibantu oleh aparat keamanan. Tetapi sampai saat ini tidak jelas siapa anggota team tersebut, sehinggamembuat masyarakat mulai saling mencurigai diantara mereka sendiri dan yang sangat berbahaya adalah,kecurigaan ini bukan hanya terjadi antara anggota masyarakat didalam satu desa tetapi antara masyarakatsatu desa dengan desa yang lain. Selain itu ada juga satu team yang dibentuk oleh masyarakat Wandamadi rantau, team ini diberi nama Team Peduli Kemanusiaan Teluk Wandama, dengan tujuanmengupayakan agar pemerintah segera membangun kembali rumah-rumah yang dirusak oleh aparatkeamanan.

C. Kecamatan Babo1. Lintas Kasus yang Dilakukan oleh Djayanti Group (1995 – 2001)

Djayanti Group merupakan salah satu perusahan besar yang terdiri dari beberapa perusahan, yang melakukanberbagai eksplorasi dan eksploitasi di Kecamatan Babo. Dari hasil penelitian yang dilakukan di kawasan inidiperoleh gambaran tentang aktifitas Djayanti Group sebagai berikut, (peneliti mencoba mengangkat beberapapersoalan yang diakibatkan oleh tiga perusahan yang tergabung dalam Djayanti Group)

Pelanggaran Wilayah Penangkapan IkanMenurut laporan masyarakat bahwa, berdasarkan ijin yang dikeluarkan oleh pemeritah kepada PT. BintuniMina Raya hanya boleh beroperasi 4 Mil dari bibir pantai, tetapi realitanya, kapal-kapal mereka beroperasisampai dibibir pantai pada hal kawasan ini biasanya dijadikan tempat untuk mencari ikan oleh para nelayantradisional.Masyarakat adat telah beberapa kali meminta kepada Pemerintah (Camat dan Dinas Perikanan) untukmenegur perusahan, agar tidak melanggar batas wilayah operasi masyarakat adat (nelayan tradisional)tetapi sampai saat penelitian ini berjalan, pelanggaran tetap berlangsung.

Saleh Fimbay (Sekertaris LMA Babo) :Masalah batas 4 Mil ini kami sudah pernah bicarakan dengan pihak Pemerintah tetapitidak ada perhatian. Masyarakat juga pernah minta perhatian dari perusahan, tetapiPerusahan Djayanti ini seperti perusahan adat, jadi dia seenaknya bikin apa saja disini,dan saya jadi bingung pemerintah ini ada untuk urus apa, dan untuk siapa ?

Perlu diketahui bahwa, perusahan ini bekerja pada seluruh perairan kawasan teluk Bintuni, bahkan menurutlaporan masyarakat, bila air pasang kapal-kapal mereka masuk sampai ke sungai-sungai.

No Modus Desa Kejadian Jumlah Keterangan

1. Penganiayaan

WondiboyIsuyRasieyIseyTandiaKaibiKabuow

19 org9 org3 org4 org10 org1 org18 org

2. Penembakan luka Wondiboy 1 org

3.Penembakan/Penganiayaan(meninggal)

WondiboyIsuySanderawoyIriatyRamikiWasior Kota

1 org2 org1 org5 org1 org1 org

4.Pengrusakan/PembakaranRumah masyarakat

WondiboyIsuyIseySanderawoyIriatyWasior kota

5 bh1 bh3 bh50 bh3 bh1 bh

1 kampung

Page 28: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 28

Ketidakjelasan Areal Perkebunan PerusahaanAreal perkebunan PT. Varita Maya Tani terdapat di Desa Tofoy tepatnya di atas tanah ulayat milik sukuIrarutu, Menurut keterangan Kepala Desa Tofoy, masyarakat sampai saat ini tidak mengetahui secara jelassebenarnya luas lahan yang dipakai untuk lokasi perkebunan ini, dan berapa besar serta apa saja yangmenjadi hak masyarakat adat ? Menurut mereka seharusnya ada dua persoalan yang harus dibicarakansecara terpisah, yaitu :1. Berapa Luas dan berapa besar harga tanah ?2. Berapa recognisi dari hutan yang ditebang (eksploitasi) ?Kedua persoalan ini harus dibicarakan terpisah karena, yang memiliki ijin perkebunan yaitu PT. Varita MayaTani. Sedangkan kayu dikelolah oleh PT. Agoda Rimba Irian dalam bentuk IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu),selain itu karena aktifitas kedua perusahan ini berbeda. Lebih lanjut diakui oleh Kepala Desa bahwamemang masyarakat pemilik hak ulayat pernah menerima uang recognisi sebesar Rp 100.000.000,-dengan perincian Rp 500,-/m², yang dipahami oleh masyarakat adalah sebagai berikut.Ijin yang dikeluarkan oleh Dirjen Pengolahan Hutan Produksi bagi PT. Agoda Rimba Irian No.137/KPTS/KWL.d/2000 adalah seluas 6.300 Ha. Artinya sebesar itu pula (paling tidak saat ini) ijin yangdiperoleh untuk areal perkebunan. Bila demikian masyarakat adat beranggapan bahwa, uang recognisiuntuk tanah ulayat sebesar 6.300 Ha X 100 m² X Rp 500 = Rp 315.000.000,- (tiga ratus lima belas jutarupiah) dengan demikian ada selisih yang besar antara nilai yang harus diterima dengan yang telahditerima.Untuk kegiatan pengambilan kayu oleh PT Agoda Rimba Irian dalam bentuk IPK terjadi beberapa kalipergantian nilai fee. Menurut keterangan Kepala Desa Tofoy, pergantian nilai fee ini akibat ketidak jujuranpihak Perusahan dan aturan (SK Gubernur) yang tidak berpihak pada masyarakat adat, sebagai contoh SKGubernur yang tidak berpihak ialah SK Gubernur 1995, nilai fee sebesar Rp 500,- (lima ratus, rupiah)/m³.Setelah tahun 1999, akibat ketidak puasan masyarakat adat maka naik lagi menjadi Rp 1.000,-/m³ sampaisaat ini. Menurut Kepala Desa, mereka telah mendengar bahwa, besar nilai fee ini telah naik lagi tetapidibagi berdasarkan jenis kayu (Klas) yaitu, Klas Merbau Rp 2.000,- per meter kubik sedangkan untuk klaskayu campuran Rp 600,- per meter kubik. Namun sampai saat ini mereka belum pernah mendapatkankepastian tentang berapa fee yang sebenarnya. Bahkan sampai saat ini masyarakat tidak pernah tahudengan pasti berapa besar produksi perusahan

Pembangunan Pemukiman TransmigrasiDi Desa Tofoy ada 2 SP (Satuan Pemukiman) Transmigrasi yang dibangun disini, menurut laporan kepaladesa, 2 SP ini dibangun untuk menunjang kegiatan PT. Varita Maya Tani, lokasi pemukimannya diatastanah ulayat Marga Ateta, Inanosa, Wamay dan Bayumi, tanpa ada pelepasan tanah adat (hak ulayat).Persoalan ini pernah dibicarakan dengan pemerintah (pihak Transmigrasi) tetapi sampai saat ini belumada jawaban. Padahal jika ada warga transmigrasi yang tidak betah tinggal dilokasi mereka denganleluasa dapat menjual rumah dan lahannya kepada pihak lain (orang luar). Jadi terlihat dengan jelasbahwa, para pemilik hak ulayat tidak mendapat suatu apapun dari tanah ulayatnya tetapi wargatransmigrasi (asal Pulau Jawa) yang tidak memiliki hak apapun atas tanah pemukiman dapat menjual danmemperoleh uang. Lebih lanjut menurut kepala desa, mereka tidak berani menekan PT. Varita Maya Tani(Keberadaan 2 SP Transmigrasi atas kepentingan perusahan ini) karena takut. kepada pihak keamanan.

Pemukulan Karyawan PT. Varita Maya Tani.Ada keinginan oleh para pekerja diperkebunan PT. Varita Maya Tani untuk memohon perhatian dari pihakperusahan agar menaikan upah mereka. Pada hari kejadian, ada pertemuan antar karyawan, yangdipelopori oleh beberapa orang, menurut keterangan beberapa orang, inti pertemuan itu ialah memintakepada perusahan agar upah mereka disesuaikan dengan ketentuan Upah Minimum Regional Papua(UMR) terakhir dari, Rp 420.000,- menjadi Rp 530.000,- . Pada saat pertemuan sedang berlangsungdatang pihak keamanan untuk membubarkan rapat tersebut bahkan peserta rapat tersebut dipukul dandigertak dengan tembakan. Akibat perbuatan pihak keamanan tersebut, beberapa orang yang mengikutipertemuan itu mengalami luka-luka, diantaranya yaitu;1. Amirudin2. Latif Manuama3. Alfred Inanosa4. Elieser5. Vitalis6. Ruben7. Tinus Inanosa8. FerdinanPeristiwa ini membuat para karyawan selalu bertanya, untuk apa aparat keamanan berada di Tofoy kalauhanya untuk melindungi pihak perusahan ? Bila ada karyawan / masyarakat yang melakukan kesalahanaparat mengambil tindakan itu baru benar, dan kami bisa terima. Apakah jika karyawan memperjuangkanperbaikan nasib itu merupakan tindakan yang salah?

Page 29: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 29

Pembentukan SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)Kesadaran akan berserikat ternyata telah tumbuh dan berkembang dikalangan pekerja yang berada diKawasan Teluk Bintuni, terutama mereka yang bekerja pada Djayanti Group. Yonathan Kailele (salah satupekerja di saw mill Djayanti Group), mendapat mandat dari SBSI sorong untuk mendirikan cabang SBSI diTofoy, dengan tujuan agar mereka dapat membela hak-hak para karyawan. Yonathan Kailele mulaimenghimpun para pekerja (mendaftar dan membentuk cabang SBSI), beberapalama kemudian diabermaksud berangkat ke kota Sorong untuk melaporkan perkembangan kegiatannya, tetapi Yonathan tidakmendapat izin dari pihak perusahan. Dia tetap memaksa untuk berangkat, pada saat berada diatas kapaldatang beberapa aparat keamanan memaksa Yonathan untuk membatalkan niatnya, tetapi Yonathanbersikeras untuk berangkat (bahkan dia bersedia membayar ongkos kapal sebesar Rp 100.000,-). Karenamerasa perintah mereka (aparat) tidak diindahkan, Yonathan pun dipukul. Menurut keterangan beberapakaryawan yang berada ditempat kejadian (nama-nama ada pada peneliti, mereka mohon untuk tidakditampilkan namanya karena takut dipecat perusahan). Yonathan, walaupun dipukul masih tetap sajaberangkat ke Sorong. Selanjutnya sampai saat ini mereka tidak mendapat kabar lagi dari Yonathan, tetapipara pekerja ini tetap berharap kedepan ada sebuah institusi yang berpihak kepada karyawan berdiri diKec. Babo untuk membela kepentingan mereka.Peneliti AlDP pernah mengkonfirmasikan masalah ini kepada Pihak pemerintah dalam hal ini DinasTenaga Kerja Manokwari. (Drs. H. Kaharuddin Latarang. KASUBDIN Perlindungan Tenaga Kerja), tetapiterkesan persoalan ini kurang mendapat perhatian dengan beberapa alasan antara lain;

- Pendirian SBSI, seharusnya tidak melalui Kab. Sorong, tetapi harus melaluiKabupaten Manokwari karena Perusahan Djayanti Group camp Tofoy (sawmill, tempat Yonathan Kailele bekerja) berada diwilayah kerja Dinas TenagaKerja Kab. Manokwari. apa lagi pihak SBSI dan Yonathan Kailele, tidakpernah melaporkan keberadaanya kepada Dinas Tenaga Kerja Kab.Manokwari.

- Bila di bandingkan dengan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), aktifisSBSI dinilai lebih sering melakukan protes.

Alasan-alasan inilah yang membuat para petugas Dinas Tenaga Kerja Kab. Manokwari tidak bersimpati.Tetapi menurut keterangan beberapa pekerja di Djayanti Group (Camp Tofoy). Pihak Dinas Tenaga KerjaKab. Manokwari, sebenarnya tidak berpihak pada para pekerja terbukti, para petugas Dinas Tenaga KerjaKab. Manokwari bila datang ke Tofoy, sekalipun tidak pernah bertemu dengan para pekerja. Dari hasilpenelitian ini, diketahui bahwa persoalan-persoalan yang timbul lebih diakibatkan oleh ketidak terbukaanpihak Djayanti dan keterbatasan informasi menyangkut undang-undang maupun aturan-aturan ketenagakerjaan, serta apa yang menjadi hak dan kewajiban pekerja.

Tanah Termurah di DuniaDesa Tanah Merah merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Babo, dengan luaswilayah 9,470Km². ± 24,9% dari luas Kabupaten Manokwari(± 37.901 Km² luas Kab. Manokwari, DataBapeda Dati I Papua, 1999). Dimana desa tersebut dihuni oleh 511 jumlah jiwa (110 KK) yang padaumumnya mereka tergabung dalam suku Simuri (data Team Peneliti Unipa, 2002) – salah satu suku asliTeluk Bintuni dimana kawasan mereka, berikut akan dieksploitasi sumberdaya alamnya oleh Pertamina-Arco. Sementara marga/keret-nya berjumlah 9 marga yang terdiri dari; Kamisopa, Sabandafa, Dokasi,Wayuri, Agofa, Siwana, Mayera, Masipa dan Dofa. Dimana mereka sudah tinggal atau bermukim sejaklama diatas hak ulayat marga Soway.Rencana pembangunan Kilang LNG Tangguh yang akan dibangun di desa Tanah Merah menjadikansebuah permasalahan bagi penduduk setempat, karena mau atau tidak mau, suka atau tidak suka merekaharus rela untuk meninggalkan tempat yang selama ini didiaminya, untuk berpindah ke lokasi pemukimanbaru yaitu desa Saengga yang jaraknya lebih kurang 500m (dihuni oleh suku Simuri).Pada tanggal 20 Mei 1999 yang kemudian lebih dipertegas lagi pada tanggal 19 Juli 1999 ada sejumlahnegoisasi yang disepakati oleh pemegang hak ulayat marga Simuna dengan pihak Pertamina-Arco, yangdifasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Manokwari. Salah satunya adalah akan dilakukan program (relokasidan resettlement) dengan melibatkan masyarakat desa Tanah Merah dan masyarakat desa Saengga.Guna mendukung pelaksanaan relokasi dan resettlement penduduk Tanah Merah maka dalam keduakesepakatan itu memuat juga hal sebagai berikut :a. Marga Simuna telah melepaskan hak atas tanah adatnya seluas 200 ha kepada Pertamina-Arco untuk

keperluan relokasi dan resettlement.b. Harga tanah disepakati sebesar Rp. 150.000,- per hektar.Sementara ganti rugi tanaman dan tumbuhan disepakati berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat IIManokwari Nomor: 213 tahun 1997 tanggal 12 Mei 1997.Kemudian yang menjadi permasalahan adalah mengenai harga tanah yang menurut peneliti jauh dibawahharga standar sehingga menimbulkan tanda tanya sebagai berikut ;

Page 30: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 30

a. Apakah harga tanah Rp.15 per meter² layak untuk ukuran sekarang ?b. Apakah karena ketidak pahaman masyarakat atas harga Rp. 150.000,-/hektar, sehingga dipahami lain

oleh masyarakat bahwa Rp. 150.000,- itu adalah /m² ?c. Ataukah ada intervensi pihak ketiga dengan cara mengintimidasi masyarakat untuk menerima

kesepakatan tersebut ?Ketika peneliti tiba di desa Tanah Merah yang menjadi obyek daerah penelitian, terlihat masyarakatterkesan apatis bahkan cenderung apriori terhadap orang-orang baru yang datang di desa itu. Ternyata adakesepakatan yang dibuat dari sebuah lembaga yang di bentuk Community Developmen BP danmasyarakat desa Tanah Merah (masyarakat setempat menyebutnya dengan comite) untuk tidak menerimabahkan berbicara dengan orang baru yang datang ke desa itu, terutama organisasi-organisasikemasyarakatan (LSM).

Menurut keterangan yang peneliti dapat dari Team Sensus Ekonomi Unipa2002 (setelah peneliti kembali ke Manokwari), mereka juga sampai 3 kalimendapat perlakuan yang sama, bahkan ada yang mengancam akanmemotong leher salah satu dari Team Sensus Ekonomi Unipa 2002.

Kami mungkin masih beruntung karena ada salah satu tokoh masyarakat namanya Salim Masipa(responden yang ditunjuk oleh Key Person di kec. Babo) masih mau menerima kami kendati kelihatansetengah hati untuk memberikan keterangan. Hal tersebut terlihat dari sikapnya yang selalu gelisah saatkami berbincang-bincang bahkan ketika salah satu dari peneliti menawarkan untuk merekam wawancaratersebut, beliau menolak dengan alasan sedang melakukan pelatihan komite. Sehingga baru saja dialogberlangsung beberapa saat kemudian beliau pamit untuk pergi mengikuti kembali pelatihan dan berjanjiakan segera menemui peneliti setelah pelatihan selesai. Akan tetapi pak Salim Masipa tidak muncul sampaipelatihan usai. Satu jam kemudian beliau muncul akan tetapi belum lagi kami sempat berbincang-bincang,tiba-tiba terjadi keributan yang berasal dari sekelompok pemuda mabuk dan berakhir dengan perkelahiandiantara mereka. Ditengah keributan itu kami sempat mendengar teriakan-teriakan dari mereka antara lain;

“stop sudah latihan, bubarkan komite, komite apa itu, kami ini marga Masipatetap saja miskin yang jadi kaya itu orang lain !”

Kejadian tersebut membuat kami menangguhkan perbincangan dengan pak Salim Masipa karena beliauharus menenangkan keadaan, kami sempat menunggu beberapa saat akan tetapi keributan tidak jugareda, akhirnya kami mengambil inisiatif untuk segera meninggalkan desa tersebut dan kembali nantisetelah keadaan tenang.Ternyata rencana pembangunan Kilang LNG Tangguh masih banyak menyimpan permasalahan dalammasyarakat, seperti boom waktu yang dapat meledak setiap saat jika tidak diantisipasi dan dicarikansolusinya. Teriakan-teriakan pemuda mabuk itu mengungkapkan rasa ketidakpuasan atas hadirnya megaproyek tersebut – ini hanya sebuah contoh kecil dampak dari keberadaan Kilang LNG Tangguh yang belumberoperasi, apalagi kalau sudah berproduksi ?Dari hasil wawancara singkat yang dapat peneliti catat dengan bapak Salim Masipa adalah sebagai berikut;

“Harga tanah yang paling murah didunia ini hanya ada di desa Tanah Merah,Rp.15/m², bahkan lebih murah dari harga satu buah gula-gula“.

ketika peneliti mencoba menanyakan kenapa tidak dibicarakan lebih lanjut dengan pihak Pertamina – Arco? Jawabannya adalah;

“Kami ini hanya orang kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa, kami pikir bahwabiar kami tolak juga perusahaan itu akan tetap ada“.

Pembangunan Kilang LNG Tangguh di kawasan Teluk Bintuni terkesan dipaksakan, tanpa menghiraukandampak-dampak yang akan muncul dikemudian hari akibat persoalan-persoalan yang tidak diselesaikansecara baik dengan masyarakat setempat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah yang hendak di eksploitasisumberdaya alamnya.

D. Kecamatan Bintuni

1. 2001 Penyerangan Polsek Bintuni (26 Agustus)

Peristiwa ini bermula dari aspirasi Masyarakat Papua yang berada di Kec. Bintuni untuk menuntut kembalikemerdekaan yang pernah diproklamirkan pada 1 Desember 1961. Seiring dengan bertiupnya anginreformasi maka di kecamatan ini banyak pemuda yang menghimpunkan dirinya bergabung dengan SatgasPapua, salah satu pemuda yang berkumpul dalam satgas papua ialah Yulian Nauw.Pada tanggal 26 Agustus 2001 malam, Saudara Max Ronsumbre dan beberapa temannya berkumpuluntuk minum-minuman keras, tiba-tiba datang beberapa anggota polisi menangkap mereka, pada prosespenangkapan ini tidak terjadi keributan apa-apa, selain itu penangkapan ini tidak diketahui pula oleh para

Page 31: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 31

anggota Satgas Papua, dini hari kira-kira pukul 04.00 WIT baru peristiwa tersebut diketahui oleh mereka.Yulian Nauw dan beberapa temannya merasa tidak terima akan kejadian ini,

(Pada banyak kasus mabuk, biasanya polisi tidak mengambil tindakan apapun,kecuali si pemabuk melakukan tindakan yang melanggar ketertiban. Menurutketerangan beberapa saksi, Max Ronsumbre dan teman-temannya tidakmelakukan pelanggaran apapun)

langsung mendatangi Polsek Bintuni untuk minta agar Max Ronsumbre dan teman-temannya dibebaskan.Menurut keterangan saksi mata, bahwa ada teman Yulian Nauw yang membawa senjata tradisional. Polisimenganggap tindakan ini merupakan penyerangan, sehingga kedatangan Yulian dan teman-temannyalangsung disambut dengan tembakan dan pemukulan.Dampak kejadian ini adalah :(1). Yulian Nauw mengalami luka tembak dan menjadi cacat seumur hidup, padahal Yulian adalah tulang

punggung dalam keluarga keluarga Baldus Nauw.(2). Penangkapan terhadap beberapa aktifis Papua Merdeka.Sementara itu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah mengirim Yulian Nauw ke Surabayauntuk berobat (Yulian telah berada kembali di Bintuni, tetapi dalam keadaan cacat seumur hidup)sedangkan upaya masyarakat adalah meminta berbagai pihak untuk dapat melepaskan mereka dari jerathukum.

Page 32: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 32

KABUPATEN MERAUKE

I. Kecamatan Merauke1. 1996

Pencaplokan Tanah AdatBerawal dari keinginan Yakob Banggo, salah satu dari 2 marga pemilik tanah, sekaligus –waktu itu–kepaladesa Sota, yang mengusulkan kepada Pemda Merauke agar mendatangkan transmigran di daerahtersebut. Atas kehadiran para transmigran, marga Ndiken, sebagai pemilik sah hak ulayat lainnya yangmerasa tidak pernah dilibatkan sebelumnya –juga tidak mendapatkan ganti rugi– lantas mengadukan hal inikepada Pemda Merauke, tetapi tidak mendapatkan tanggapan.Pada tahun 2000, (Yakob Banggo tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa) kembali marga Ndikenmenuntut ganti rugi. Atas tuntutan tersebut, Pemda Merauke menjanjikan untuk mempertemukan keduamarga pemilik tanah dan akan memberikan ganti rugi. Akan tetapi hal tersebut belum terealisasi sampaisekarang. Alasan Pemda Merauke adalah Perda tentang tanah belum dirampungkan.Sementara itu, transmigran yang menempati kawasan sengketa tersebut sampai sekarangbelum mendapatkan sertifikat tanah. Padahal keberadaan mereka telah menjadi tanggung jawab PemdaMerauke. Akibatnya, transmigran kebingungan menentukan sikap. Hendak membangun rumah dankeperluan lain yang berhubungan dengan tanah yang ditempatinya, akan tetapi mereka merasa takut jikananti menimbulkan masalah dengan pemilik tanah adat yang tengah menuntut ganti rugi. Dalamkebimbangannya, sebagian transmigran memilih kembali pulang ke tanah asalnya di Jawa, sedangkansebagian lainnya memilih pindah ke daerah lain. Transmigran yang tetap bertahan di lokasi tersebut lantasmengadukan nasib mereka ke pihak Pemda Merauke yang sampai sekarang belum mendapatkan jawabanyang pasti.

Pertikaian EtnisBerawal dari keributan kecil, telah mengakibatkan perkelahian antara seorang masyarakat Papua dengannon Papua yang berbuntut pada meninggalnya etnis Papua. Hal ini telah membuat sekelompok masyarakatPapua melampiaskan kemarahannya kepada etnis non Papua yang berada di dalam dan di sekitarkompleks pasar. Setelah mengusir keluar masyarakat non Papua (sambil mengancam denganmenggunakan senjata tradisonal) dari dalam kompleks pasar, beberapa kios dan toko milik etnis nonPapua dirusak dan dijarah.Pada saat yang bersamaan, di terminal yang merupakan bagian dari pasar Ampera, sekelompokmasyarakat Papua lainnya juga melakukan hal yang sama. Beberapa mobil/taksi tidak diperbolehkanmasuk terminal. Bahkan ada yang sempat dikejar, dirusak dan sopirnya dianiaya. Beberapa orangdilaporkan mengalami luka-luka dan mengharuskan mereka menjalani perawatan di RSUD Merauke. Selainluka-luka, tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Selama beberapa hari, keadaan kota Meraukesempat terlihat lengang. Pasar macet total dan sebagian besar toko tutup.

Dari laporan beberapa responden (pelaku – masyarakat Papua), bahwa kemarahanmereka sebetulnya dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial atas keistimewaanfasilitas yang diperoleh etnis non Papua dalam pasar. Sebelum kejadian tersebut,masyarakat Papua tidak boleh menempati areal di dalam pasar. Mereka hanyaberjualan di sekitar pinggiran pasar.Seorang responden lain (pedagang di dalam pasar – etnis non Papua),mengemukakan alasannya, bahwa bagaimana mungkin di los penjualan pakaian,makanan atau juga kelontongan harus bercampur dengan para penjual buah,sayur, atau ikan dan daging. Tentunya para konsumen tidak akan ada yang maubelanja di tokonya karena terkesan kotor.

2. 1999 Pengrusakan Aset Pemerintah dan Warga Non Papua (September)

Peristiwa penghancuran beberapa bangunan milik pemerintah dan BUMN, serta penjarahan beberapa tokodan kios milik etnis non Papua berawal dari tenggelamnya KM. Bimas Raya II di perairan laut Merauke,dengan korban meninggal dunia mencapai 300-an orang.Kelambanan tim penyelamat ketika mengevakuasi korban pada akhirnya telah menyebabkan sekelompokmasyarakat Papua sudah tidak mampu untuk bersabar lagi. Dalam suasana duka, marah dan lelahmenunggu terlalu lama, (menurut responden berinisial FK) tiba-tiba muncul seorang Papua dalam keadanmabuk dan tidak mereka kenali, lalu mengeluarkan kalimat bernada menghasut –dengan memakai isuPapua Merdeka– kepada semua masyarakat Papua yang berada di sekitar pelabuhan. Hasutan itulah yangtelah menyebabkan beberapa perkantoran milik pemerintah (diantaranya Kantor Pelni, Navigasi danAdministrator Pelayaran) rusak berat akibat amukan massa.Massa yang kian brutal terus mengarahkan aksinya menuju kantor DPRD Merauke untuk menyampaikantuntutannya. Sepanjang jalan yang mereka lalui (Jl. Brawijaya dan Jl. TMP Polder), beberapa toko dan kios

Page 33: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 33

milik etnis non Papua menjadi korban penjarahan dan pengrusakan. Tidak puas dengan hal itu, aksi massa–yang kini telah kental dengan nuansa Papua Merdeka– masih juga melakukan pengrusakan terhadapbangunan kantor DPRD.Hal yang patut disesalkan adalah tindakan aparat keamanan yang terkesan membiarkan gelombang massadalam jumlah yang cukup besar melakukan aksinya. Hal ini terlihat dari meluasnya wilayah konflik yangtentu saja menyebabkan kerugian yang semakin bertambah banyak.Atas peristiwa tenggelamnya kapal, Pemda Merauke memberikan santunan sebesar Rp. 5.000.000,- perkorban. Selain itu, mendatangkan 3 buah kapal untuk melayani daerah-daerah di pedalaman Merauke.Tetapi yang aneh, Muspida Merauke terkesan tidak menghiraukan korban dari penjarahan yang dilakukanoleh massa Papua ketika meluapkan amarahnya. Padahal kerugian material di pihak etnis pendatang saatitu cukup besar. Walaupun telah ada yang dikembalikan, namun sebagian dari pemilik barang yang dijarahmasih belum mendapatkan barangnya. Juga tidak ada upaya dari penegak hukum terhadap para pelaku.Pasca munculnya tuntutan kemerdekaan secara terang-terangan yang ditandai dengan dikibarkannyabendera Bintang Kejora Juli 1998 di Jayapura, telah berakibat pada menguatnya institusi dan ideologiPapua Merdeka di seluruh tanah Papua. Di beberapa daerah kecamatan di pedalaman Merauke, isu yangberedar lebih besar lagi, yakni bahwa Papua telah merdeka dan masyarakat Papua tinggal datang ke kota(Merauke) untuk mengambil atau memilih rumah sendiri, dan untuk Satgas Papua telah disediakan uangdan senjata.Isu inilah yang telah membuat masyarakat Papua di pedalaman Merauke –tanpa memikirkankeselamatannya– berbondong-bondong ke kota Merauke dengan menumpang kapal perintis (alternatiftransportasi paling murah) yang mempunyai daya angkut tidak lebih dari 100 orang, akan tetapipenumpang kapal telah melebihi 700 orang. Dengan over bagasi yang sangat besar ditambah dengankondisi kapal yang sudah tua (lama beroperasi di pedalaman Kalimantan) telah menyebabkan tidak kurangdari 300 orang menjadi korban akibat tenggelamnya kapal.Pada saat yang bersamaan, di kota Merauke, tengah terbangun isu pertentangan antaragama (Protestan –Katolik juga Protestan – Katolik – Islam), antarsuku di Papua (Utara –Selatan) juga antar etnis Papua dannon Papua.

3. 2000 Penolakan Otonomi (16 Februari)

Sehari sebelumnya, 15 Februari, bakal calon Bupati Merauke (Drs. Jhon Gluba Gebze – sekarang BupatiMerauke) melakukan kampanye otonomisasi yang disiarkan langsung melalui RRI. Pada 16 Februari,sekelompok masyarakat sipil Papua menuju bandara Mopah Merauke dengan maksud mencegat kelompokyang mereka duga sebagai utusan yang akan meminta otonomi ke Jakarta dan meminta sdr Drs. JohnGluba Gebze untuk meluruskan perkataannya di RRI. Aksi kemudian dilanjutkan –setelah upaya negosiasiyang coba dilakukan oleh Uskup Agung Merauke dan yang lainnya gagal– dengan melakukan pengrusakanpada kantor RRI yang telah dianggap ikut menyebarluaskan otonomi. Massa Papua yang bersenjatakanpanah dan kampak serta senjata tajam lainnya semakin marah ketika mereka kembali berhadapan dengansatuan Kepolisian. Akibatnya, seorang anggota Kepolisian dan seorang pegawai RRI terluka parah ketikaberhadapan dengan kelompok massa. Di pihak massa, tercatat seorang langsung meninggal dunia dan 2orang lainnya luka terkena terjangan peluru aparat.Tidak sampai di sini. Kelompok massa yang semakin brutal, dengan membawa beberapa jenis senjatatradisional kemudian mengalihkan obyek amuknya pada kantor Bupati Merauke serta mendatangi PolresMerauke guna meminta pertanggungjawaban Kepolisian atas jatuhnya korban di pihak mereka. KapolresMerauke, Letkol Pol. I Nyoman Rubrata dan Kajari Merauke yang berusaha melakukan negosiasi, tidakdihiraukan oleh kelompok massa. Melihat gelagat ini, pihak Kepolisian langsung memberikan tembakanperingatan ke arah kerumunan massa yang belum juga bergeming. Sampai akhirnya seorang darikelompok massa –yang ternyata bukan bagian dari kelompok massa penyerang– tertembak dan langsungmenghembuskan nafas terakhirnya, serta 7 orang lainnya mengalami luka-luka, telah mengkocar-kacirkanbarisan massa. Selain itu, di pihak Kepolisian tercatat sekitar 10 orang mengalami luka-luka.Sampai sekarang, kasus tersebut tidak pernah ada upaya penyelesaian hukum terhadap oknum polisi yangmelakukan penembakan terhadap masyarakat di kantor RRI dan Polres Merauke.

Kasus Jl. Natuna (4 – 11 November)Bermula dari persoalan keluarga di Jl. Natuna (yang kebetulan berdekatan dengan Markas BrimobMerauke dan Posko Satgas Papua) pada 3 November 2000. Masing-masing pihak yang bertikai ada yangmelapor ke Markas Brimob dan ada yang melapor ke Posko Satgas Papua. Ketika anggota Brimob datangke TKP, terjadi pertengkaran mulut dengan salah seorang masyarakat Papua yang berada di TKP (salahsatu responden mengatakan bahwa anggota Brimob tersebut dianiaya oleh salah seorang Satgas Papua).

Page 34: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 34

Anggota Brimob yang tidak menerima perlakuan Satgas Papua kemudian memanggil teman-temannya lalumenodongkan senjata ke salah seorang dari mereka sehingga menimbulkan perseteruan kecil antaraanggota Satgas Papua dan anggota Brimob di TKP. Dankie Brimob selanjutnya melaporkan perihalpemukulan anggotanya oleh masyarakat Papua tersebut kepada satuan Sabhara Polres Merauke yangkebetulan mengantar anggota Brimob BKO yang akan berjaga di Polres Merauke.

Laporan resmi Polres Merauke :Terjadi kesalahan informasi, bahwa tidak benar ada anggota Brimob dianiaya olehSatgas Papua.

Pada 4 November 2000, sekitar pukul 11.00 WIT, 2 peleton aparat kepolisian dari Brimob dan PolresMerauke diturunkan untuk menangkap oknum sipil Papua yang melakukan penganiayaan terhadapanggota Brimob.Kehadiran mereka dengan arogansi yang tinggi telah menimbulkan perlawanan dari Satgas Papua diPosko Jl. Natuna. Akibat perlawanan tersebut, 3 truk pasukan dari Polres dan Brimob Merauke kembaliditurunkan untuk mem-back up satuan sebelumnya. Perlawanan Satgas Papua berhasil dilumpuhkan dan25 orang massa Papua ditangkap pada saat kejadian, 5 orang lainnya ditembak ketika berusaha melarikandiri dan menewaskan salah seorang dari mereka (Lukas Base, 29 tahun, laki-laki, etnis Asmat). Tidakhanya di Jl. Natuna. Aparat keamanan kemudian meluaskan daerah operasinya ke beberapa tempat.Di Jl. Ampera IV, oknum Polisi menembak salah seorang massa Papua di bahu sebelah kanan (RobertusWaimu, 21 tahun, etnis Yakai). Sementara di daerah Jl. Raya Mandala (Muli), masyarakat Papua yangmengadakan perlawanan dengan panah, kampak dan parang memaksa satuan polisi menembak 2 orangdari mereka, masing-masing Ferry Tandigaimu, suku Mapi dan Aloysia Bivak, suku Asmat). Di Bea Cukaidan Pintu Air, 2 orang, yakni Adam Baiyt dan Kolitus Kandaimu, masing-masing suku Asmat dan suku Mapimenyusul menghembuskan nafas terakhirnya. Selain itu, korban luka-luka dari masyarakat Papua yangharus menjalani opname dan perawatan di RSUD Merauke mencapai 14 orang.

Laporan resmi Polres Merauke :Upaya tersebut ditempuh setelah di setiap wilayah muncul laporan tindakankekerasan yang dilakukan oleh kelompok Satgas Papua.

Pada saat yang bersamaan, massa Papua (sebagian besar adalah anggota Satgas Papua) yang merasafrustrasi menghadapi aparat keamanan akhirnya menumpahkan kemarahan mereka kepada masyarakatetnis pendatang. Maka terjadilah pemalangan jalan, intimidasi, pembakaran kendaraan, pemukulan,pemerkosaan bahkan pembunuhan. Akibatnya 6 orang etnis non Papua terpaksa mengalami opname danperawatan di RSUD Merauke. Tercatat pula, 10 buah truck, 4 buah mobil pick up dan 1 buah mobil jeep disandera oleh kelompok Stgas Papua di daerah Mopa Lama.5 November 2000. Pihak Kepolisian terus mengadakan pengejaran dan pembongkaran terhadap Posko-Posko Satgas Papua dan penurunan serta penyobekan bendera Bintang Kejora. Sementara itu, dibeberapa tempat, masyarakat etnis Papua juga terus melakukan penganiayaan dan berbagai intimidasilainnya terhadap etnis non Papua. Pada hari ini, Sulistio, Risaumidin, Sukarno dan Yono, suku Jawa sertaSangkala, suku Bugis juga Zet Manggape harus menjalani opname di RSUD Merauke karenanya.6 November 2000, di daerah Blorep, seorang etnis non Papua dianiaya oleh beberapa orang Papua danmeninggal setelah mendapatkan perawatan (RB. Purba, suku Batak).9 November 2000, aparat kepolisian yang kini telah di-back up oleh satuan TNI kembali menembak matiseorang Papua (Thomas Tombi, suku Muyu) di Mopah Lama. Pada saat yang bersamaan, kelompokPapua juga melakukan aksinya, seorang dipanah dan satu lagi diperkosa (Abraham Bangaling Lindo danDamaris masing-masing suku Toraja). Masyarakat Papua yang semakin frustrasi, terus melakukan aksibalas dendamnya terhadap etnis non Papua. Kembali 2 orang meninggal dan 4 orang dari etnis non Papualainnya menderita luka-luka.Aksi balas membalas antara massa Papua terhadap etnis non Papua dan aparat keamanan terhadapmasyarakat Papua terus terjadi. Pada 11 November 2000, seorang oknum non Papua (Djuhari, suku Jawa)dibakar hidup-hidup bersama mobilnya di daerah Mopa Lama dan Ahmad Junaedi, suku Jawa, menderitaluka akibat dianiaya oleh massa Papua, setelah massa Papua mengetahui aparat keamanan kembalimenembak mati salah seorang dari kelompok mereka sehari sebelumnya. Pada saat yang sama, seorangPapua (Sebastianus Ayep, suku Asmat) harus diopname setelah terkena luka tembak oleh aparatkeamanan.Pada 16 November, Kapolres Merauke (AKBP Yohanes Agus Mulyono) mengakui, bahwa sikap represifanggotanya bukan atas perintahnya, hal itu dilakukan karena luapan emosi saja. Akan tetapi ironisnya,bahwa peristiwa yang telah merenggut dan mencabut hak hidup manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhanyang paling sempurna tersebut, dianggap tidak pernah ada oleh Muspida dan juga DPRD Merauke. Hal initerbukti tidak digubrisnya tuntutan beberapa kelompok masyarakat dan atau kelompok aktivis HAM yangmendesak untuk diadakannya pengusutan dan upaya hukum terhadap aparat TNI/Polisi sebagai pelakuatas state crime. Juga terhadap kelompok-kelompok sipil bersenjata (Papua maupun non Papua) yangtelah saling menghilangkan eksistensi kemanusiaan satu sama lainnya.

Pengibaran Bintang Kejora (2 – 4 Desember)

Page 35: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 35

Tanggal 9 November 2000, Muspida tingkat I Papua mengadakan pertemuan dengan Presidium DewanPapua (PDP) di Jayapura, yang menghasilkan kesepakatan antara lain, hanya boleh ada 1 benderaBintang Kejora yang berkibar di setiap rumah Ketua LMA Kabupaten. Pada tanggal 29 November 2000,Kapolres Merauke dalam suratnya bernomor B/1859/XI/2000/Res Mrk, perihal, pemberitahuan kepadaKetua Panel Dewan Papua (Januarius Wiwaron) dan Komandan Satgas Papua di Merauke (NicolausYeem) menyatakan antara lain, 1 Desember 2000, Bendera Bintang Kejora hanya ada 1 yang dikibarkan dirumah Ketua LMA Merauke berdampingan dengan Merah Putih.Akan tetapi, pada tanggal 30 November 2000, pukul 08.00 WIT, pihak Muspida Merauke mengadakanpertemuan dengan pimpinan dan ketua-ketua fraksi DPRD Merauke yang isinya antara lain melarangpengibaran bendera pada tanggal 1 Desember 2000.Kesepakatan tersebut oleh Muspida Merauke, kemudian dibawa dalam pertemuan dengan Dewan PanelKabupaten Merauke pada hari yang sama, sekitar pukul 20.00 WIT. Pengakuan seorang responden yangkebetulan anggota PDP dari Kabupaten Merauke mengatakan bahwa, pada pertemuan tersebut tidak adakesepakatan, melainkan pemaksaan kehendak untuk menerima kesepakatan antara Muspida denganDPRD Merauke pada pagi harinya.Setelah kurang lebih 5 jam berselang usai pemaksaan kehendak tersebut, 1 Desember, masyarakat Papuayang bermaksud mengibarkan bendera Bintang Kejora di lapangan Pemda Merauke mendapat halangandari pihak keamanan. Setelah dilakukan negosiasi antara Kapolres dan Bupati Merauke dengan massaPapua, bendera tidak jadi dinaikan. Masyarakat kembali ke rumah masing-masing.Pagi hari 2 Desember, sekelompok masyarakat Papua berhasil mengibarkan bendera Bintang Kejora.Setelah melalui negosiasi dengan Kepoliisian, maka bendera diturunkan setelah sekitar 30 menit berkibar,dan masyarakat kembali ke rumah masing-masing. Pada hari yang sama, di daerah Kuda Mati, seorangnon Papua meninggal setelah dianiaya oleh massa Papua beberapa saat setelah mereka kembali darilapangan Pemda.Setelah itu, kembali puluhan etnis Papua, kali ini dengan membawa senjata tradisional, dari arah Kuda Matimenuju lapangan Pemda Merauke. Ketika melewati kantor pariwisata, beberapa dari kelompok massatersebut menurunkan dan menyobek bendera Merah Putih serta bermaksud hendak menyerang aparatkeamanan. Kondisi tersebut kemudian memancing emosi pihak keamanan yang langsung melakukanpenembakan terhadap kerumunan massa Papua hingga akhirnya mengakibatkan 1 orang meninggal ditempat kejadian dan 6 orang lainnya menyusul setelah tidak berhasil diselamatkan di RSUD Merauke.Sedangkan 4 orang Papua lainnya mengalami luka-luka. Setelah itu, menyusul 1 orang non Papuameninggal dunia dan beberapa harus menjalani perawatan di rumah sakit.Hari itu juga, pihak kepolisian melakukan pembongkaran Posko Satgas, pengejaran dan penangkapanterhadap massa Papua yang dicurigai sebagai anggota Satgas di sekitar Kuda Mati dan Jl. Sesate, GudangArang serta kantong-kantong massa Papua sampai tanggal 4 Desember 2000.

Menyangkut LMA, di Kabupaten Merauke jauh sebelumnya telah dibentuk ForumKomunikasi Cendikiawan Masyarakat Adat Merauke (FKCMAMER) yang diketuaioleh Januarius Wiwaron. Organisasi ini telah diakui penguasa sebelumnya danmasyarakat adat Papua sebagai representase dari kelompok adat di KabupatenMerauke serta dianggap sebagai LMA Kabupaten. Akan tetapi paham ini tidakberlaku bagi Bupati Drs. John Gluba Gebze. FKCMAMER bukan LMA, danJanuarius Wiwaron bukan Ketua LMA. Dengan alasan belum adanya LMA diKabupaten Merauke tersebut, maka Muspida Merauke melarang pengibaranbendera Bintang Kejora.

Kembali, aparat keamanan yang melakukan penyisiran dan penangkapan dengan menggunakan pelurutajam yang mematikan, belum mampu juga mengidentifikasi pelaku dan yang bukan pelaku. Akibatnya,masyarakat yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa dengan persoalan Papua Merdeka pun jugaditangkap, dipukul serta dianiaya oleh aparat kemanan.Pendeknya, selain perempuan dan orang tua serta bayi semuanya ditangkap, bahkan anak laki-laki yangmasih kecil juga tidak luput dari tindakan brutal aparat keamanan. Sehingga menurut pengakuanresponden (etnis pribumi dan pendatang), di daerah Kuda Mati, setidaknya ada 2 titik yang diduga sebagaitempat kuburan massal (perlu pembuktian lebih akurat lagi). Selain banyaknya korban yang meninggal danluka-luka, juga tidak sedikit masyarakat Papua yang mengungsi sampai ke PNG untuk menyelamatkan diridan keluarganya dari kejaran pihak kepolisian.Sementara itu, di pihak masyarakat pribumi, isu kemerdekaan Papua telah dipahami dan dimaknai sebagaigerakan rasialis dan telah diterjemahkan dalam bentuk pengusiran, pengintimidasian, bahkan yang lebihparah adalah pembunuhan terhadap etnis pendatang yang dianggap sebagai orang-orang Indonesia. Halini juga diperparah dengan rasa frustrasi mereka ketika tidak mampu menghadapi tindakan represif dariaparat keamanan. Sedangkan di pihak etnis non Papua, semangat mempertahankan diri semakindipertebal dengan propaganda nasionalisme dari aparat keamanan dan pemerintah. Akibatnya, nuansakonflik horizontal semakin kental. Siapa yang diuntungkan ?Sampai sekarang, Muspida dan DPRD Merauke masih bersikap apatis terhadap peristiwa yang dapatdikategorikan sebagai violence by action atas state crime tersebut. Hal ini terbukti dari tidak adanya

Page 36: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 36

keinginan dari Muspida dan juga DPRD Merauke untuk mengupayakan pengusutan sampai tuntaspersoalan tersebut, apa lagi upaya hukum terhadap pelaku (oknum aparat keamanan dan juga masyarakatsipil secara keseluruhan). Bahkan Kapolres Merauke (AKBP Yohanes Agus Mulyono) dengan sangat tegassekali tidak menyetujui adanya rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang bertikai pada peristiwa yang semakinmemperpanjang deretan praktek impunity tersebut.Menyertai insiden 4 November dan 2 Desember 2000 yang telah mengakibatkan tidak kurang dari 50 orangetnis non Papua menjadi korban dari tindakan anarkis kelompok Papua. Di beberapa tempat, telah lahirkelompok-kelompok sipil non Papua bersenjata dalam bentuk keamanan lingkungan yang mempersenjataidiri mereka dengan parang, tombak, keris, badik bahkan senjata dan bom rakitan.

Menurut salah seorang responden, kebanyakan dari senjata rakitan tersebutmendapat dukungan peluru dari aparat keamanan (?).

Tindakan mereka berawal dari himbauan Kapolda Papua (Irjen SY. Wenas) pada tanggal 29 September2000 kepada seluruh etnis pendatang untuk mempersenjatai diri. Himbauan ini telah ditafsirkan olehmasyarakat non Papua -- setelah sekian lama cenderung berdiam diri dalam ketakutan oleh tindakananarkis masyarakat Papua – sebagai legitimasi untuk melakukan perlawanan. Tindakan kelompokmasyarakat sipil non Papua bersenjata ini kerap kali hampir menyamai kebrutalan dan arogansi dari aparat,bahkan cenderung tindakan mereka berubah menjadi anarkis.

B. Kecamatan Citak Mitak1. 1995 – 1999

Kesewenangan aparat KepolisianKehadiran aparat keamanan, dalam hal ini Polisi (Polsek) di Kecamatan Citak Mitak bukannya merupakansebagai pelindung dan pengayom masyarkat. Akan tetapi mereka lebih banyak hadir sebagai pelakuekonomi. Ironisnya, kerap kali mereka mengunakan cara-cara yang kotor ketika menjalankan usahanya.Tanpa perasaan malu, masyarakat Papua pencari kayu gaharu atau hasil alam lainnya sering kali diperasdan intimidasi untuk menjual hasil pencahariannya di bawah standar. Masyarakat dengan keluguan danketakutannya terhadap sosok manusia bersenjata, tanpa berpikir panjang saja menyerahkan apa yangdiminta.Seorang oknum anggota Polsek, berinisial Bripka RY, berdasarkan laporan dari responden pernah denganterang-terangan menganiaya seorang masyarakat hanya karena dianggap bertingkah ketika mengajukanpenawaran harga. Beberapa masyarakat yang sudah terlalu muak dengan sikap dan tingkah lakunya lantasmengejar oknum polisi tersebut yang kemudian menyelamatkan diri pada salah satu rumah yang ditempatioknum TNI (dari kesatuan Kostrad) yang juga ditempatkan di Citak Mitak. Kemarahan warga berhasildiredakan oleh oknum TNI tersebut.

2. 1999 – 2000 Aspirasi Merdeka

Terbatasnya informasi dan komunikasi serta sumber daya manusia di kecamatan ini, telah menjadikanmereka sangat gampang termakan oleh isu. Hal inilah yang kemudian membuat kenapa begitu cepat isuPapua Merdeka mengkristal. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dibantah di kecamatan ini adalah,keinginan kuat masyarakat untuk Merdeka lepas dari semua penindasan dan kesewenang-wenanganaparat keamanan (TNI/Polisi).

C. Kecamatan Suator1. 1997

Penembakan 7 Orang Suku Terasing Oleh Oknum TNI.Menjamurnya pencari kayu gaharu sejak 1996, telah menjadikan persoalan tersendiri di kalanganmasyarakat adat di pedalaman Merauke. Ketenangan mereka terusik, hak ekonomi, adat dan budayanyaterampas. Sebagai daerah kecamatan yang baru dimekarkan, kecamatan Suator tentu saja masih sangattertinggal dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini terbukti dengan masih adanya suku terasingdan sangat terisolir dengan alam di luar mereka.Pencari kayu gaharu yang lebih tergiur oleh uang ketimbang keselamatan dirinya telah membuatnya relaberjalan puluhan kilo meter bahkan ratusan kilo meter ke dalam hutan. Kehadiran mereka inilah yang telahdianggap pengganggu oleh suku terasing, karena pencari kayu gaharu tanpa permisi telah memasukidaerah mereka. Protes masyarakat adat dari suku terasing inilah yang justru dijawab oleh beberapa oknumpencari kayu dengan membayar seorang oknum anggota Koramil di daerah tersebut untuk memberikanpengamanan kepada mereka.

Page 37: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 37

Kembali, masyarakat terasing ini bermaksud mengusir pencari kayu tersebut, akan tetapi kesigapan dankelihaian anggota TNI tersebut telah berhasil menembak mati 7 orang dari kelompok masyarakat sukuterasing, sementara beberapa diantaranya mengalami luka-luka.Oknum TNI dan Polri, masih saja seringkali mengabaikan tugas utamanya. Mereka juga terobsesi denganbesarnya keuntungan materi yang didapatnya jika berhasil. Hal ini merupakan kewajaran bagi mereka,mengingat gaji mereka yang sangat kecil sedangkan kebutuhan pemenuhan biaya hidup di pedalamansangat tinggi, demikian pengakuan seorang responden yang kebetulan seorang anggota kepolisian.

D. Kecamatan Atsy1. 1999 – 2000

Arogansi Anggota Satgas dan Masyarakat PapuaKecamatan Atsy tidak luput dari menguatnya isu Papua merdeka. Praktek intimidasi terhadap etnis nonPapua menjadi hal yang biasa dilihat sehari-hari. Keberanian mengaktualisasikan diri inilah yang dijadikanpeluang untuk menggugat status tanah yang dipakai oleh etnis non Papua sejak jauh sebelumnya.Intimidasi yang cenderung mengarah ke penganiayaan sering kali dilakukan oleh oknum masyarakat Papuaterhadap etnis non Papua ketika menuntut hak atas tanah juga pada saat oknum Satgas Papua menagihuang untuk biaya operasional Satgas.Kecamatan Atsy, sebagai salah satu daerah penghasil kayu gaharu, banyak terdapat rumah keluarga,warung makan dan penginapan yang beralih fungsi sebagai tempat prostitusi. Ironisnya adalah –pengakuan 2 orang responden yang kebetulan pegawai negeri namun beda instansi– para wanita inidipasok dari Agats dan Timika oleh oknum TNI dan Polisi yang bertugas di Polsek dan Koramil Atsy.

E. Kecamatan Assue1. 1995 – 2001

Perilaku Aparat KeamananPerlakuan petugas keamanan (TNI dan Polisi) di Kecamatan Assue tidak berbeda dengan KecamatanCitak Mitak dan Atsy. Bahkan dalam melakukan manuvernya, mereka telah menguasai semua sentrakehidupan masyarakat. Beberapa dari mereka menjadi beking dari pengusaha, mendatangkan danmelindungi WTS, perjudian dan minuman keras. Seorang responden (anggota Polisi) mengakui jikabeberapa dari mereka ada yang melakukan hal tersebut. Laporan dari tokoh masyarakat di KecamatanAssue juga memperkuat hal itu. Tindakan oknum kepolisian sering kali bertentangan dengan keinginan danaturan adat. Ketika pihak kelompok adat berkeinginan untuk membubarkan judi, minuman keras danmengusir WTS, maka mereka senantiasa harus berhadapan dengan senjata aparat kemanan. Tercatatsetidaknya 3 kali kelompok mama-mama dan wanita di kecamatan Assue melakukan unjuk rasa menuntutpengembalian para WTS liar, tetapi sebanyak itu pula mereka harus berhadapan dengan aparat kepolisian.Bahkan seorang ibu yang menggerakan demonstrasi tersebut justru ditampar oleh oknum polisi.Kepolisian sering kali menindak masyarakat yang mabuk dengan dentuman dan popor senjata. Tercatatpada 1999, 2 orang warga Papua ditembak mati oleh seorang oknum TNI dan pada 2000, seorang Papuameninggal setelah terkena peluru milik oknum kepolisian (Brimob).Sampai sekarang tidak pernah ada upaya hukum terhadap pelaku. Kalaupun atasan mereka mengetahuidan menindak oknum-oknum tersebut, paling berat adalah sanksi administrasi.Perihal perilaku dan kesewenangan aparat kepolisian dan TNI ini telah dilaporkan oleh LMA ke Muspidadan instansi terkait, akan tetapi sampai sekarang belum ada tanggapan.

Page 38: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 38

F. Kecamatan Kimaam1. 1995 – 2001

Kesewenangan Perusahaan dan Aparat Keamanan (TNI/Polisi)Masyarakat lokal, yang hidup di kampung-kampung sekitar pantai barat dan selatan laut dan kali/sungai dipulau Kimaam sangat menggantungkan kehidupan mereka pada kemurahan alam. Alam bagi mereka tidakhanya bermakna pada dimensi ekonomi, akan tetapi juga bermakna sosial dan budaya. Selain itu, kondisitanah yang bisa dikatakan tidak layak untuk pertanian, karena jika musim hujan tiba, maka semuapermukaan tanah tertutup oleh air. Pun ketika musim kemarau, tanah menjadi retak-retak, kering dantandus. Olehnya itu, masyarakat sangat menjaga perairan (laut, kali/sungai dan rawa) sebagai kekayaanmereka satu-satunya dan tempat mereka menggantungkan hidup.Sejak kehadiran perusahaan PT. Djarma Aru (Djajanti Grop) di Wanam Camp –serta kapal penangkap ikandari Sumatera, Jawa dan Sulawesi– yang melakukan operasinya di perairan (laut dan kali/sungai) pulauKimaam, kedamaian masyarakat terusik. Karena bagaimanapun juga sumber penghasilan mereka akanberkurang. Pula sering kali tanpa pamit, mereka langsung menebar jaring di kali-kali.Undang-Undang Perairan yang mengatakan bahwa Zona I dari Zona Territorial (± 5 mill dari peisir pantai)diperuntukam bagi nelayan tradisional. Tapi kenyataannya pihak perusahaan telah jauh memasuki daerahtersebut bahkan sampai di sepanjang kali dan sungai. Tidak jarang masyarakat yang hidup di sekitar arealpenangkapan ikan menjadi obyek penipuan dari beberapa pencari ikan, bahkan dari aparat keamanansekaligus ekonom, serta dari pedagang.Atas kebijakan perusahaan, pihak Polsek Kimaam diberikan 1 unit kapal pencari ikan yang digunakan untukmenangkap ikan sendiri. Kehadiran Polisi penangkap ikan ini yang pada prakteknya sering kali melakukantindakan intimidasi dengan bentuk menembakan senjata dengan maksud menakut-nakuti, memukul,menodongkan senjata kepada masyarakat agar mau menjual ikannya dengan harga murah, bahkan tidakjarang menghina eksistensi orang Papua sebagai suku terasing, kotor, bodoh serta perkataan bermaknamenghina lainnya. Seorang kepala desa Kawe pernah dianiaya oleh aparat keamanan sampai babak belurdan tidak diberikan makan sehari penuh. Apalagi hanya seorang masyarakat biasa.Masyarakat lokal yang berusaha mempertahankan hidup di tengah tingginya harga barang yang dijual olehpara pedagang dan –terkadang– aparat keamanan, akhirnya menaikan harga jual ikan. Akan tetapi, upayamereka selalu berhadapan dengan moncong senjata aparat keamanan. Kecewa dan marah, itu hal yangpasti dirasakan mereka.Akibat dari seringnya masyarakat diperlakukan demikian, timbul kemarahan masyarakat lokal terhadappencari ikan, keamanan dan para pedagang. Sikap antipati ini, telah diterjemahkan dalam bentuk merusakbeberapa jaring dari kapal pencari ikan serta beberapa bentuk protes lain. Atas ulah kelompok masyarakattersebut, pihak perusahaan mulai mengikutkan seorang aparat keamanan pada setiap kapal untukmelindungi pencari ikan.

Pihak perusahaan tentu tidak mugkin kehabisan stok aparat keamanan, sebab dilokasi perusahaan (Wanam Camp – desa Wogekel), 5 satuan keamanan, yakniBrimob, Kostrad, Polairud, Pos Polsek, Pos Koramil, plus Satpam perusahaan telahsiap untuk mengamankan asset perusahaan sekaligus asset negara.

Dalam prakteknya, kerap kali kehadiran aparat keamanan melakukan intimidasi dalam bentuk yang lebihbesar lagi, antara lain melakukan penyiksaan terhadap masyarakat yang dianggap pengganggu. Intimidasijuga biasanya dilakukan dengan melakukan penembakan dengan maksud agar masyarakat tidakmendekati kapal serta menghalangi kebiasaan-kebiasaan lama aparat kemanan. Tidak jarang, aparat jugamenembakan langsung senjatanya kepada masyarakat, hingga mengakibatkan beberapa dari merekamengalami luka.

2. 1999 – 2000 Arogansi Kelompok Masyarakat Sipil Pro Merdeka

Isu Papua Merdeka juga ikut merambah ke daerah Kimaam. Kehadiran Yakosarai, seorang penasehatTPN/OPM yang berusaha untuk memobilisir massa pro merdeka dengan membentuk Satgas Papua. Tidakjarang dari mereka melakukan intimidasi psikis, bahkan fisik terhadap masyarakat non Papua denganmemakai isu Papua Merdeka. Akan tetapi, belum pernah ada satupun laporan tentang adanya korban jiwaakibat intimidasi tersebut.Keberadaan mereka berjalan tidak begitu mulus, karena kelompok Willem Onde yang selalu menyebut diridan kelompoknya sebagai TPN (Tentara Pembebasan Nasional Papua), kini membubarkan kelompokSatgas Papua bentukan Yakosarai.

Page 39: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 39

3. 2001 Pembunuhan ABK KM. Kiman 15 (23 Juli)

Tanggal 25 Juli 2001, sekitar pukul 10.00 WIT, sekelompok masyarakat Papua di bawah pimpinan YakobMawen membunuh 12 orang ABK Kapal KM. Kiman 15 (kapal milik PT. Djarma Aru) dan menyembunyikankapal KM. Kiman 15 di kepala kali Korimen (± 50 km dari tempat kejadian). Tidak ada korban jiwa darimasyarakat.Insiden ini tidak dapat dipisahkan dengan point 1 –lihat : Kasus Kesewenangan Aparat Perusahaan danAparat Keamanan (TNI/Polri). Karena akumulasi kemarahan dan kekecewaan terhadap kapal pencari ikan,perusahaan, aparat keamanan (TNI/Polri), dan pihak Muspika (pemerintah) yang tidak pernah menggubrispengaduan mereka serta belum pernah sekalipun melakukan kunjungan kerja ke daerah pantai barat, terusbertumpuk sejak 1995, kini telah diekspresikan melalui perlawanan terhadap kapal pencari ikan.

Pembakaran Kapal dan Pembunuhan ABK KM. Jala PerkasaPeristiwa ini masih merupakan rangkaian dari point 1 –lihat : Kesewenangan Aparat Perusahaan danAparat Keamanan (TNI/Polri). Sekelompok masyarakat Papua, masih di bawah pimpinan Yacob Mawen,dengan menggunakan perahu mendatangi kapal pencari ikan KM. Jala Perkasa (kapal dari Tanjung Balai).Ketika merapat, seorang dari kelompok masyarakat tersebut meminta rokok pada salah satu ABK, akantetapi pada saat yang bersamaan, terdengar bunyi tembakan dari arah anjungan kapal. Bunyi tembakantersebutlah yang membuat Yacob Mawen marah dan langsung mengejarnya. Yacob Mawen dan orangyang membunyikan senjata akhirnya berkelahi sampai di kamar mesin.Dalam keremangan malam, karena semua lampu kapal dipadamkan, Yacob Mawen keluar dari kamarmesin, ketika itu seorang dari anak buahnya tidak bisa lagi mengetahui dengan jelas posisi pimpinannyalangsung melepaskan anak panah yang telah mengakibatkan nyawa Yacob Mawen tidak dapatdiselamatkan lagi.Mengetahui pimpinannya telah meninggal, dengan seketika semua anak buahnya yang sebelumnya beradadi atas perahunya masing-masing menyerbu ke atas kapal. 2 buah drum yang berisi persediaan bahanbakar ditumpahkan ke atas kapal dan langsung membakar kapal. Seluruh ABK serta-merta menyelamatkandiri dengan jalan melompat ke kali. Kondisi ini dijadikan kesempatan oleh sekelompok masyarakat Papuatersebut yang langsung menyerang mereka dengan busur dan anak panah, kampak serta tombak.Akibatnya, 19 orang ABK KM. Jala Perkasa dan seorang aparat keamanan (Bharada Asep Firkah Fansuri –tidak diketemukan jenazahnya) dari sat Pol Airud di Wanam Camp langsung meninggal. Seorang ABKlainnya, Sofyan Hadi, berhasil diselamatkan oleh tim yang diturunkan untuk melakukan evakuasi.

Pembakaran Desa (September)Setelah peristiwa 12 Agustus 2001, masyarakat Kawe mengungsi ke kampung Kawe lama. Sementara itu,akibat dari 2 peristiwa pembunuhan dan pembakaran kapal pada Juli dan Agustus 2000 tersebut,sekelompok aparat Kepolisian dari satuan Brimob dan Polairud yang bertugas di Wanam Camp (arealperusahaan) ditambah dengan beberapa anggota dari Polsek Kimaam melakukan pembakaran bevak-bevak di sekitar aliran kali Kontuar. Selain itu, 9 buah rumah di kampung Sibenda dan 6 buah rumah dikampung Wetau serta 64 buah rumah masyarakat di desa Kawe (baru) habis dibakar. Beberapa simbolnegara antara lain, bendera Merah Putih, stempel dan arsip/dokumen desa serta baju dinas kepala desaKawe ikut terbakar.

Lapangan Maskura Berdarah (28 November)Setelah kembali dan mendapatkan rumah dan bevak mereka telah habis terbakar, ditambah dengangambaran penderitaan pada point 1, yang terakumulasi dengan kekecewaan dan kemarahan mereka,maka dengan dibantu oleh beberapa masyarakat dari desa tetangga (Kelilam, Wetau, Sibenda dan BatuMerah), mereka menyatakan tekadnya untuk menyerang Polsek Kimaam. Kelompok tersebut merekanamakan Pasukan 3 Buta (menurut mereka adalah, Buta Pendidikan, Buta Kunjungan dan ButaKesehatan). Perjalanan menuju kota Kecamatan Kimaam ditambah dengan persiapan mereka di desaKodar memakan waktu sekitar 2 minggu. Menanggapi niat dari Pasukan 3 Buta tersebut, pihak TripikaKecamatan Kimaam mengirim tim negosiasi yang terdiri dari Ketua LMA Khimakhima, Petrus XaveriusYamaka dan seorang guru SD, Primus Berans, ke desa Kodar untuk menemui Pasukan 3 Buta danmenyarankan untuk tidak melanjutkan niatnya. Akan tetapi usaha tim gagal.Masih di desa Kodar, pada tanggal 27 November, untuk kedua kalinya tim negosiasi yang kali iniberanggotakan Ketua LMA Khimakhima, Petrus Xaverius Yamaka; Pastor Gery Ohoiduan, MSc; stafKecamatan Kimaam, Fredy Buer; Kepala desa Ilwayab, Johanis Agape Mahuze; guru SD, Primus Berans;dan seorang purnawirawan TNI – AD, Vinsen Waffa, kembali mendatangi Pasukan 3 Buta. Negosiasigagal. Pasukan 3 Buta tetap dengan pendiriannya, bahwa tanggal 28 November, mereka tetap akanmenyerang Polsek Kimaam dan meminta kepada Pastor Gery untuk membunyikan lonceng gereja ketikaPasukan 3 Buta memasuki kota Kimaam.28 November. Dengan iringan lonceng gereja, Pasukan 3 Buta yang beranggotakan 65 orang memasukikota Kimaam dan berhenti di ujung lapangan Maskura. Sementara itu, 3 orang dari satuan Brimob dari

Page 40: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 40

Wanam Camp dan 2 orang anggota Koramil Kimaam telah didatangkan untuk membantu anggota PolsekKimaam dan telah siap di ujung lapangan lain dengan senjata di tangan.Pastor Gery Ohoiduan, M.Sc, dan Pastor Frans Mandagi, M.Sc serta Sekcam Kimaam, Philipus Tokoro,S.Sos, bermaksud melakukan negosiasi untuk ketiga kalinya dengan Pasukan 3 Buta. Akan tetapi belumsampai ke lapangan, tembakan peringatan disertai tembakan mendatar yang beruntun dan telahmengakibatkan 2 orang meninggal seketika, serta yang lainnya luka-luka. Saat itu juga aparat terusmengejar Pasukan 3 Buta sampai ke kampung Kodar dan kampung-kampung tetangganya.Akibatnya, 2 orang dari Pasukan 3 Buta, yakni Yohanis Racu tertembak di dada dan lengan kiri sertaRuben Munbera, tertembak di paha, lutut dan bokong, langsung meninggal di tempat. Beberapa lainnyamengalami luka-luka, 2 diantaranya dievakuasi ke RSUD Merauke dengan menggunakan helicopterbersama-sama dengan rombongan Kapolres, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Merauke yang turun langsungke TKP.Pengakuan Pasukan 3 Buta, mereka sedang dalam posisi menari-nari dan belum melewati tiang benderasebagai batas antara kedua pasukan ketika tembakan terdengar. Melihat bekas proyektil peluru aparat didinding SD YPPK St. Don Bosco, yang berada di ujung lapangan Maskura, dimana Pasukan 3 Butaberhenti. Sebagian besar bekas proyektil tersebut mengarah ke bagian dada dan kepala. Jelas terlihatbahwa pihak aparat tidak menerapkan sepenuhnya Prosedur Tetap (Protap) pengendalian massa.Atas rentetan tragedi kemanusiaan di Kecamatan Kimaam tersebut, telah mengundang simpati dari parapejuang HAM di kota Merauke yang kemudian membentuk FORMED (Forum Merauke untuk Demokrasi),serta bertindak sebagai Tim Pencari Fakta dan telah melaporkan hasilnya ke pihak Pemda Merauke. Belumada tanggapan serius dari Pemda Merauke, minimal sampai akhir bulan Mei 2002.

G. Kecamatan Mandobo1. 1995 – 1999

Reklaiming Hutan oleh Masyarakat AdatSelain kecamatan Jair dan Muting, Mandobo juga merupakan daerah konsensi perusahaan PT. BadeMakmur Orisa, sebagai pemilik izin HPH. Di kecamatan ini pun, pihak perusahaan tidak pernah melbatkanmasyarakat adat sebagai pemilik sah atas tanah dan hutan sejak awal beroperasinya (1994). Kejadian initerus berlangsung sampai pertengahan 1999.Pada 1999 – 2001, setelah ada SK Gubernur mengenai harga kayu, perusahaan baru mau mulaimembayarkan kompensasi. Tuntutan demi tuntutan terhadap perusahaan pada areal hutan yang samakerap kali muncul. Ternyata perusahaan tidak pernah menuntaskan persoalan sampai ke akar-akarnya.Lihat point 1 denga kasus yang sama di kecamatan Jair.

2. 1998 – 2000 Arogansi Kelompok Papua Sipil Bersenjata

Di Kecamatan Mandobo, kelompok perjuangan Papua Merdeka terbagi dalam tiga faksi, yakni SORANDA,Willem Onde –yang mengkalim diri sebagai TPN/OPM– dan Satgas Papua. Kecenderungan arogansimereka terhadap kelompok non Papua sangat terasa ketika memasuki tahun 1999 – 2000.

H Kecamatan Jair1. 1995 – 1999

Reklaiming Hutan Oleh Masyarakat AdatPT. Bade Makmur Orisa memulai operasinya sejak tahun 1994, sampai sekarang terus melakukanpenebangan yang pada awalnya tidak pernah melibatkan masyarakat adat. Pada 1999, ketika masyarakatmulai berani menuntut haknya, perusahaan baru mulai membayar kepada masyarakat adat. Akan tetapikendala terus bermunculan. Setiap kali selesai diadakan pembayaran, selalu saja ada tuntutan baru atasareal hutan yang sama. Apa sebab demikian ?Pihak perusahaan dalam setiap menyelesaikan pembayaran hanya meminta pihak pemerintah untukmenentukan batas dan pemilik yang sah. Padahal yang lebih memahami dan mengerti setiap sudut batasadat atas hutan yang menjadi daerah konsensi perusahaan adalah masyarakat adat sendiri, bukanpemerintah. Akhirnya perusahaan kewalahan sendiri menghadapi para penuntut ini. Mestinya perusahaanjuga memahami strata adat dan kepemilikan hutan menurut hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.

2. 1998 – 2001 Arogansi kelompok masyarakat sipil Papua bersenjata

Pengaruh Willem Onde sampai juga di Kecamatan Jair. Begitu pula SORANDA yang berbasis diKecamatan Mandobo serta Satgas Papua di Kecamatan Jair. Pertikaian mereka dalam perebutanpengaruh dan wilayah kekuasaan kerap kali terjadi. Misalnya pada September 2000, Wilem Ondemembubarkan kelompok Satgas Papua yang sedang melakukan latihan, dan menuntut untuk segera

Page 41: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 41

membubarkan kelompok Satgas Papua, serta melarang penaikan bendera Bintang kejora pada 1Desember 2000. Padahal pada November 1999, Willem Onde-lah yang mengkoordinir masyarakat Papuauntuk melakukan aksi penaikan bendera Bintang Kejora.Selain itu, Willem Onde juga sering kali melakukan serangan (menakut-nakuti) terhadap masyarakat Auyusebagai penduduk asli yang sah di Asiki (lokasi peusahaan plywood – PT. Korindi Group), dan tidak jarangpula di tempat-tempat umum (pasar), kelompok Willem Onde menembakan senjata berkali-kali denganmaksud menakut-nakuti masyarakat. Juga sering kali melakukan pemalangan terhadap setiap mobil daridan ke kota Merauke. Ketika hal ini dikonfirmasikan ke pihak kepolisian, secara implisit, Kapolsek Jairmengakui bahwa ada ketakutan tersendiri pada kekuatan lain yang ada di belakang barisan Willem Ondejika harus menindaknya.Kelompok Willem Onde sering kali melakukan pemerasan terhadap perusahaan. Sehingga atas koordinasidengan semua satuan keamanan di sekitar Perusahaan (Kopasus, Kostrad, Brimob, Koramil dan Polsek –Kapolsek Jair tidak mengakui jika ada koordinasi tersebut), maka perusahaan memberikan 1 unit rumahkepada kelompok Willem Onde sebagai Markas, dan memberikan tunjangan makanan dan uang setiapbulannya. Hal yang diakui oleh Kapolsek Jair tersebut, (karena pernah menyaksikan langsung) dibantaholeh pihak perusahaan.Dampak yang timbul pada masyarakat adat di sekitar perusahaan adalah, kecemburuan sosial atas sikapperusahaan pada perlakuan istimewa terhadap Willem Onde, sedangkan dia bukan suku asli di daerahtersebut (Willem Onde adalah suku Muyu di Kecamatan Waropko).

3. 2001 Penyanderaan karyawan dan Pimpinan PT. Korindo Group (17 Januari 2001).

Aksi Willem Onde berawal dari kekecewaannya ketika mabuk di kota Merauke, dan dihajar oleh seoranganggota Brimob. Pada saat yang bersamaan, anak buahnya yang berada di markas perusahaan di Asiki,meminta 6 drum bahan bakar kepada perusahaan, akan tetapi pihak perusahaan tidak menghiraukanpermintaan mereka. Kekecewaan dan kemarahan terhadap penolakan perusahaan atas permintaan anakbuahnya ditambah dengan kejengkanyya terhadap anggota Brimob di kota Merauke telah dilampiaskannyadengan menyandera 16 orang karyawan perusahaan, termasuk salah satu pimpinan perusahaanberkebangsaan Korea.Proses pembebasan berhasil setelah Bupati dan Kapolres Merauke –yang turun langsung– menjanjikanuntuk memenuhi tuntutan Willem Onde dalam bentuk uang senilai Rp. 1 milyar dan bertemu denganPresiden Republik Indonesia.

I Kecamatan Kurik1. 1995 – 2001

Arogansi kelompok masyarakat sipil Papua bersenjataMunculnya kelompok sipil Papua bersenjata pada prakteknya sering kali melakukan intimidasi dankekerasan fisik terhadap masyarakat non Papua di Kecamatan kurik. Setiap orang yang lewat di depanPosko Satgas harus diperiksa. Bagi kendaraan bermotor, wajib memperlambat laju kendaraannya. Tidakhanya kepada masyarakat non Papua sikap ini diberlakukan, akan tetapi beberapa masyarakat Papua jugamengalami hal yang sama. Tidak jarang kekerasan fisik bahkan juga penganiayaan dari Satgas Papua inidialami oleh beberapa masyarakat non Papua.Kecenderungan anarkis dari kelompok pro merdeka ini telah menimbulkan solidaritas di kalanganmasyarakat non Papua dan telah diterjemahkan dalam bentuk kelompok-kelompok sipil bersenjata padaawal tahun 2000. Mereka mengorganisir diri dengan maksud untuk berjaga-jaga terhadap kelompok Papuayang melakukan intimidasi terhadap mereka (perlawanan ?).Nuansa konflik horizontal ini mereda ketika ada penempatan pasukan keamanan (Brimob) di KecamatanKurik.

Page 42: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 42

KABUPATEN JAYAWIJAYA

A. Kecamatan Wamena Kota1. 2000

Wamena Berdarah (6 Oktober)Sebagai pusat kendali dari semua pembangunan, di mana telah terjadi perubahan dalam semua bidang yangsignifikan terutama dalam bidang politik yang mana setelah terjadinya reformasi, eskalasi kegiatan politiksemakin meningkat berkaitan dengan aspirasi masyarakat untuk memisahkan diri dari Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI). Apalagi bendera Bintang Kejora dapat berkibar dengan bebas di semua tempatsetelah mendapat ijin / restu dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal inilah yang melatarbelakangiterjadinya peristiwa Wamena berdarah yang terjadi pada hari Jumat tanggal 6 Oktober 2000.Adapun kronologis dari peristiwa Wamena berdarah adalah sebagai berikut :a. Pkl. 06.00 WIT

Aparat terdiri dari pasukan gabungan (Dalmas, Brimob dan TNI) yang mana didominasi oleh Brimobmulai beraksi menurunkan bendera Bintang Kejora di bawah pimpinan Kapolres Jayawijaya DanielSuripatty. Brimob mulai bergerak ke Sinakma Atas. Di Sinakma Brimob tidak datang untuk menurunkanbendera walaupun ada 3 posko di sana. Hal ini karena benderanya telah diturunkan oleh masyarakat.

b. Pkl. 06.30 WITPasukan Brimob melakukan penurunan bendera Bintang Kejora di posko I – PGRI Sinakma Bawah yangberada di Jl. Bhayangkara. Semua anggota Satgas lari karena aparat mengeluarkan tembakan beberapakali. Tidak ada korban. Bendera diturunkan, lalu tiangnya digergaji dengan sensor, sedang honai poskodibakar. Benderanya dibawa oleh polisi. Tak satupun anggota Satgas yang di bawa ke Mapolres.

c. Pkl. 06.45 WITPasukan Brimob menurunkan bendera bintang Kejora di posko II- YPK, Jl. Bhayangkara, 100 m dariposko I. Posko II ini berada di depan gubuk anak–anak sekolah dari kampung– kampung yang kebetulansekolah di PGRI dan YPK. Pasukan datang dengan tembakan peringatan beberapa kali. Mereka datangdengan menggunakan 3 buah truk dan 2 mobil. Semua Satgas melarikan diri mencari perlindungan keasrama YPK, 50 m dari TKP. Tembakan beruntun menyusuli mereka. Tidak ada korban jiwa di sini.Bendera diturunkan secara paksa oleh aparat, tiang bendera langsung digergaji dengan sensor, honaiposko dirusak. Bendera dibawa ke Mapolres, 7 orang dipaksa naik ke atas truk aparat di mana 6 orangdiantaranya adalah anak sekolah sedang seorang lagi adalah wakil ketua satgas di posko tersebut. Itumerupakan gelombang pertama. Gelombang ke dua, 28 orang lagi diangkut dari gubuk yang sama.Sehingga dari posko II semuanya 35 orang yang ditangkap dan disiksa di Mapolres Jayawijaya.

d. Pkl 07.00 WITPasukan Brimob bersama ketujuh orang (gelombang I) dari posko II itu tiba di posko satgas III diSinapuk. Di sana hanya ada seorang bapak dan 3 orang ibu yang berada di dalam honai. Ketika pasukanmulai mendobrak pintu pagar untuk masuk menurunkan bendera bapak itu berkata :

“Kamu mau menurunkan bendera atas perintah siapa ? Apakah Presiden yangperintah ?“.

Kapolres menjawab dengan tegas“Saya ini Kapolres Jayawijaya. Saya yang perintahkan untuk turunkan benderabintang Kejora”.

Brimob pun mulai beraksi dengan menurunkan bendera dan selanjutnya tiang bendera disensor. 2 orangSatgas yang baru muncul dari rumah kediamannya yang berada tidak jauh dari posko langsung dipaksanaik ke truk. Honai posko tidak dirusak dan bendera dibawa oleh polisi.

e. Pkl 07.15 WITPasukan Brimob tiba di posko IV di Kama. Mereka langsung menurunkan bendera secara paksa, tiangbendera digergaji dengan sensor, honai posko dibakar, seorang satgas ditendang oleh Brimob hinggajatuh tersungkur tak berdaya lalu ditarik dengan kasar dinaikkan ke mobil.

f. Pkl 07.30 WITPasukan tiba di posko V di pertigaan Hom-Hom, Pikhe dan pasar baru di Jl. Pikhe. Posko iniberdampingan dengan pos penjagaan kehutanan Jayawijaya. Bendera diturunkan dengan paksa olehaparat menggunakan sensor. Terjadi bentrokan fisik antara aparat dengan satgas papua. 2 orang SatgasPapua terluka dan 1 brimob terluka. Brimob mengeluarkan tembakan beruntun, akibatnya semuaanggota satgas mundur. Bendera dibawa brimob, honai posko dirusak dan 15 orang ditangkap dandibawa ke Mapolres.

g. Pkl 07.50 WITPasukan mulai lagi beraksi di posko honai resort di jln. Pikhe. Bendera diturunkan secara paksa, tiangbendera disensor aparat dan honai posko dirusak. Bendera di bawa oleh aparat dan 6 orang ditangkap.

Page 43: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 43

Beberapa menit kemudian warga Pikhe mulai berkumpul di pertigaan dengan maksud ingin menyerangpasukan Brimob. Warga Pikhe akhirnya membatalkan rencana penyerangan itu karena dilarang olehtua–tua adat. Namun di hadapan pasukan mereka berteriak :

“Kami naikkan bendera bukan untuk membentuk negara dalam negara. Tapi ingatjustru karena kalian (TNI/Polri) yang pernah merampas negara kami dengan segalamacam alasan. Kami minta tanah air kami dikembalikan sekarang juga. Kamibangsa Papua yang berada di lembah Baliem sekarang ini juga siap melawankalian dengan tombak dan jubi demi tanah yang kami cintai ini“.

Pasukan brimob tidak peduli. Dan atas perintah Kapolres mereka kembali ke Mapolres.h. Pkl 08.00 WIT – 08.20 WIT

Pasukan yang beroperasi tiba di mapolres Jl. Bhayangkara. Bendera–bendera hasil sitaan di simpan diMapolres. Sedangkan ke-59 orang yang ditangkap langsung dimasukkan ke dalam tahanan danselanjutnya penyiksaan mulai berlangsung dengan sadis. Mereka dipukul dengan tangan, poporsenapan, rotan, ban pinggang/kopel dan ditendang dengan sepatu lars. Siksaan berat dialami olehmereka, padahal sebagian besar dari mereka adalah anak–anak sekolah yang tidak tahu apa–apa.Nampak beberapa dalmas dan Brimob papua asli yang tidak dipersenjatai yang sempat menahan aparatuntuk tidak lagi melakukan penyiksaan karena kondisi mereka sudah sempoyongan.

i. Pkl. 08.30 WITAtas perintah kapolres, pasukan mulai beraksi lagi di posko induk Jl. Trikora kompleks lama WamenaKota. Aksi kekerasan digelar aparat, bendera bintang kejora diturunkan secara paksa dengan menyensortiang bendera. Pasukan mengejar anggota satgas dengan tembakan beruntun. Terjadi bentrokan fisiksehingga beberapa anggota satgas papua luka– luka. Bendera disita, tetapi tidak ada yang berhasilditangkap. Polisi kembali ke Mapolres. Suasana Wamena mencekam. Berbagai aktivitas warga macetdan semua orang diliputi ketakutan.

j. Pkl 09.00 – 14. 59 WITSuasana Wamena Kota menjadi tegang. Tetapi belum ada orang yang bereaksi untuk mengungsi.Sementara itu Brimob mengirim berita kepada satgas di Posko Maflima dan Wouma di daerah misi/jalurKurima, bahwa tepat pukul 15.00 WIT pasukan akan datang untuk menurunkan bendera. Mendengarberita itu, satgas Papua di kedua posko bersama para pencinta Bintang Kejora membalas berita ke polisibahwa mereka akan siap melawan dengan tombak dan anak panah. Bahwa mereka siap mati demitanah leluhur mereka yang telah dirampas.

k. Pkl 15.00 WITPasukan gabungan (TNI/POLRI) sudah berada di pasar kaget kompleks Missi Jl. A. Yani Tolikara.Anggota pasukan ini menggunakan 3 buah truk. Sementara itu sekitar 2.000 orang masyarakat asli dariarah Kurima sudah berada di sebelah jembatan Tolikara – Wouma. Melihat masyarakat yangbersenjatakan jubi, tombak dan parang mulai menyeberang jembatan untuk maju menyerang, pasukangabungan itu bergerak mundur sampai di depan gereja Katolik. Orang Baliem dari Kurima dan Woumayang berbudaya perang itu berarak– arakan maju tanpa melepaskan anak panah. Setelah merekamelewati perempatan pasar kaget itu terdengar bunyi tembakan beruntun dari arah rumah–rumahpenduduk sipil di sekitar pasar kaget. Bunyi tembakan itu bukan bunyi tembakan peringatan, tetapisekaligus tembakan isyarat perang. Peluru tajam yang diberondongkan aparat berhamburan. Akibatnyakorban berjatuhan.Pasukan berlindung di rumah–rumah penduduk sipil dan di dalam truk, lantas memberondongkan pelurutajam. Dalam suasana demikian masyarakat menjadi tegang. Akhirnya sasaran penyerangan sebenarnyaaparat, tetapi karena mereka bersembunyi di dalam rumah warga akhirnya membangkitkan kemarahanmassa dan melampiaskan emosionalnya terhadap masyarakat pendatang. Warga dibunuh serta dibantai.Rumah– rumah warga pendatang dibakar karena diduga masih ada pasukan bersenjata yang berlindungdi dalamnya. Maka korbanpun berjatuhan, termasuk warga sipil yang tak berdosa dan tak tahu apa–apaseperti bayi–bayi belia.Pertikaian fisik yang sengit itu berlangsung hingga pukul 18.00 WIT. Korban luka–luka yang sempatdilihat langsung dilarikan ke RS, sementara korban tewas belum dapat dikumpulkan karena suasanabelum mengijinkan. Pasukan bersenjata kembali ke markasnya dan masyarakat juga demikian. Suasanakota tegang. Ibu kota kabupaten Jayawijaya dalam sekejap berubah menjadi kota mati yang sunyisenyap. Hingga pukul 24.00 WIT di RSUD Wamena tercatat 21 korban luka–luka dan 3 orang meninggaldunia.Setelah peristiwa Jumat berdarah tersebut aparat mengambil langkah–langkah represif yang dibantupasukan dari Jayapura. Berbagai langkah diambil guna pemulihan keamanan. Dalam operasi penyisirantersebut di sekitar TKP terjadi berbagai penyiksaan dan intimidasi. Tercatat 7 orang ditangkap danditahan. 2 orang di antaranya menderita luka berat. Selain itu seorang fotografer asal NTT ( TIFA PAPUA), Yoseph Udin tewas dianiaya polisi.Jadi jumlah seluruh korban akibat peristiwa 6 Oktober tersebut yaitu 32 orang meninggal dan 53 lainnyamengalami luka baik ringan maupun berat akibat penyiksaan yang dilakukan aparat. Korban semuadikubur secara massal di pekuburan Sinakma dengan memisahkan yang beragama Islam dan Kristen.Selain itu ada pula yang dikubur di kampung karena permintaan dari keluarganya.

Page 44: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 44

Dari peristiwa tersebut tergambarkan kesewenang–wenangan aparat Kepolisian di mana telahmengambil tindakan secara sepihak melanggar kesepakatan yang telah di buat dengan anggotaPresidium dan Panel Kabupaten Jayawijaya. Sebelum terjadi peristiwa itu ada negosiasi dengan paneldan Presidium dan menghasilkan kesepakatan bahwa bendera Bintang Kejora akan diturunkan setelahanggota Presidium (Pdt. Obed Komba) mengadakan pertemuan dengan PDP di Jayapura. Pada tanggal3 Oktober 2000 ada pertemuan PDP dengan Muspida tentang rencana penurunan bendera yang diberibatas akhir hingga tanggal 19 Oktober setelah PDP pulang bertemu dengan Presiden Gus Dur. Inipunbukanlah merupakan harga mati.Di Jayawijaya sendiri telah ada usaha untuk menurunkan bendera di Sinakma dan juga beredar isu telahditurunkannya bendera dan benderanya disobek–sobek serta poskonya pun dibakar. Akhirnya padatanggal 6 Oktober peristiwa itu terjadi yang dimulai dengan penurunan bendera secara paksa dengancara disensor tiangnya dan posko dibakar dan dirusak.Peristiwa yang menelan korban jiwa tidak sedikit tersebut membuat semua pihak kaget sebab setahumereka akan ada sosialisasi dulu dari Pdt. Obed Komba setelah kepulangannya dari Jayapura. Namunbeliau belum pulang untuk sosialisasi peristiwa tragis tersebut sudah meledak.Selain itu yang cukup mengerikan adalah jatuhnya korban dari pihak sipil pendatang yang tidak tahu–menahu persoalan. Menurut cerita masyarakat bahwa pada waktu itu pasukan Brimob yang menembakimassa bersembunyi di rumah penduduk sipil. Mereka masuk ke dalam rumah secara paksa. Akhirnyamassa pun menyerang penduduk sipil untuk melampiaskan emosi mereka karena dirasa menyimpanmusuh mereka. Hal ini terlihat dari luka korban tembak yang semuanya terletak di samping kiri dan kanantubuh korban. Selain itu pada bulan Pebruari – Maret 2001 telah terjadi penyerangan anggota Kodimterhadap anggota Brimob yang berjaga-jaga pada waktu sidang kasus Makar Panel dan PresidiumKabupaten Jayawijaya. Penyerangan ini dilakukan karena ada istri salah satu anggota Kodim yang ikutterbunuh pada waktu peristiwa 6 Oktober tahun 2000. Fakta inilah yang memperkuat dugaan bahwapada waktu itu bila anggota Brimob tidak masuk secara paksa maka peristiwa mengerikan tersebut tidakterjadi. Menurut cerita masyarakat yang lain bahwa penurunan bendera dilakukan diakibatkan Kepolisiantidak mendapat proyek sehingga melampiaskan emosi mereka. Yang ironis sekali setelah kejadian ituanggota Panel dan Presidium yang berjumlah 5 orang ditangkap dan dituduh sebagai pelaku peristiwa 6Oktober. Mereka yang ditangkap adalah :a. Pdt. Obed Komba ( Anggota Presidium Kab. Jayawijaya )b. Murjono Murib, S.Pd ( Ketua Panel Kab. Jayawijaya )c. Yafeth Yelemaken ( Sekretaris Panel Kab. Jayawijaya )d. Pdt. Yudas Meage ( Anggota Panel Kab. Jayawijaya )e. Ibu Amelia Jigibalom ( Anggota Panel Kab. Jayawijaya )Penangkapan dan penahanan terhadap mereka terasa sangat janggal. Hal ini dikarenakan pada waktusebelum mereka ditangkap diadakan pertemuan di kantor Bupati, dimana mereka diminta untukmempertanggung jawabkan peristiwa tersebut berserta dengan 17 anggota Satgas Papua yangditangkap pada waktu terjadi penurunan bendera. Dengan kejadian itu Presidium dan panel sertamasyarakat sipil dijadikan kambing hitamnya. Tetapi karena merasa tidak berbuat jadi mereka tidak mau.Akhirnya mereka langsung ditangkap dan diperiksa di kantor Polisi. Pemeriksaan mereka dilakukanbergiliran hingga dini hari. Namun yang lebih tragis lagi pemberitaan yang dilakukan ke luar Wamena(Jakarta) tersiar bahwa pelaku kasus 6 Oktober sudah tertangkap. Namun dalam pemeriksaan diKepolisian dan Pengadilan Negeri Wamena para terdakwa diperiksa berkaitan dengan kasus Makar dimana mereka ditanya seputar keikutsertaan mereka pada Mubes, Kongres dan kegiatan– kegiatanlainnya. Dengan demikian, yang terjadi adalah proses pembelokan masalah.Selain itu dampak lain adalah terjadi gelombang pengungsian besar–besaran ke luar dari Wamena(Jayapura dan Merauke) sekitar 4.000 – 5.000 orang. Sedang yang lain diungsikan di Makodim 1702,Mapolres Jayawijaya, rumah–rumah ibadah, rumah penduduk, Lembaga Pemasyarakatan dan HotelNayak serta Maranu Jaya yang keseluruhan berjumlah 6.144 orang.Menurut keterangan warga yang lain bahwa tindakan di luar dari kesepakatan ini diambil karena pihakKepolisian tidak mendapat dana proyek. Akhirnya melampiaskan emosinya dengan melakukanpenurunan bendera secara paksa dengan tidak mempedulikan kesepakatan yang telah dibuat dengananggota Presidium dan Panel Jayawijaya.Telah ada upaya untuk mengadakan perdamaian yang dilakukan oleh Pemda dengan melibatkan seluruhTokoh Agama, Adat dan masyarakat yaitu dengan mengadakan upacara adat. Tetapi masyarakatmenolak karena acara itu hanya formalitas saja sedang yang harus dilakukan adalah mencari siapa yangbertanggung jawab peristiwa tersebut. Akhirnya peristiwa Wamena Berdarah hingga sekarang tidak jelaskarena tidak ada yang mau bertanggung jawab.

B. Kecamatan Tiom1. 2000

Pemaksaan Penurunan Bendera Bintang Kejora(15 Desember)

Page 45: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 45

a. Pada tanggal 14 Desember 2000, masyarakat meminta ijin untuk menaikkan bendera Bintang Kejora,tetapi tidak diijinkan. Walaupun demikian masyarakat tetap mengibarkan bendera. Namun setelahmelalui proses negosiasi akhirnya bendera Bintang Kejora bisa diturunkan.

b. Pada tanggal 15 Desember 2000, masyarakat menaikkan bendera di desa Nggolo. Mendengar ituaparat TNI dari kesatuan Yonif 721 yang diperbantukan pada Yonif 713 berjumlah 4 orang bergeraknaik bermaksud untuk menurunkan bendera tersebut (letak pengibaran bendera di gunung).

Setibanya di sana militer dengan paksa menurunkan bendera yang sebelumnya menembak tiang bendera.Kepada anak–anak yang menjaga tiang bendera diperintahkan untuk segera menurunkan bendera. Tetapimereka berkata bahwa mereka hanya di suruh menjaga. Lalu aparat menembak lagi sehingga anak–anakkecil tersebut melarikan diri.Kemudian aparat berhasil menurunkan bendera dan langsung pulang dengan menggiring 13 anggotamasyarakat. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh masyarakat yang jumlahnya banyak danmengepung aparat. Mereka bersenjatakan anak panah, parang, kapak dan alat tajam lainnya.Aparat kemudian melepaskan tembakan peringatan. Tetapi hal itu tidak membuat masyarakat takut.Akhirnya masyarakat menyerbu aparat. 2 orang anggota melarikan diri ke base kamp suatu perusahaanyang sedang beroperasi di sana untuk mengambil motor. Dua (2) orang lagi melarikan diri hingga ke kaliTiom. Di tempat ini terjadi kontak fisik. Beberapa warga luka kena tembak sedang 1 orang aparat matiterkena anak panah di leher (Kopda Sahrudin). Tetapi dalam kondisi sekarat, aparat tersebut sempatmenembak warga yang memanah dia. Kejadian ini terjadi di dekat jembatan besar sebagai saranapenghubung desa tersebut dengan ibu kota kecamatan. Tembakan itu tepat di kening warga masyarakattersebut sehingga langsung mati di tempat.Sedangkan aparat yang satunya yang mengalami luka–luka akibat terkena panah dan kena bacokandiantar pulang oleh masyarakat ke Koramil di Bokon.Kemudian Dan Ramil dengan beberapa orang dari Koramil datang ke TKP untuk mengambil mayat anggotatetapi masyarakat bersikeras untuk menahannya. Tetapi setelah diadakan negosiasi akhirnya jenazahaparat tersebut berhasil dibawa pulang. Kemudian keesokan harinya mayat Kopda Sahrudin diterbangkandari lapangan Sentani menuju ke Makasar.Pada peristiwa itu senjata aparat yang dibunuh berhasil dibawa kabur oleh masyarakat.Kejadian ini berawal dari pelaporan anak buah perusahaan yang sedang beroperasi di sana bahwa adapenaikan bendera di gunung di desa Ngolo. Mendengar laporan tersebut 4 orang anggota TNI langsungbergerak ke sana tanpa melapor/koordinasi ke pimpinan terlebih dahulu (Babinsa). Padahal menurut sistemmiliter hal ini terlebih dahulu harus dilaporkan ke pimpinan dan bila disetujui oleh pimpinan baru bisadilaksanakan.4 (empat) orang aparat tersebut adalah :1. Kopral Dua Sahrudin (meninggal dunia).2. Kopral Dua Zulkifli3. Prajurit Satu Nasir4. Prajurit Satu AsrilPada kejadian tersebut yang uniknya adalah salah seorang aparat yang terluka justru di antar ke Koramil diBokon, sedang yang seorang ditembak dengan anak panah hingga meninggal. Menurut cerita wargabahwa aparat yang mati adalah aparat yang sangat arogan dan sangat kejam terhadap masyarakat karenabeliau bekas aparat dari Timor–Timur.Berdasarkan responden yang lain bahwa penaikan bendera disebabkan karena warga yang meminta danaBangdes tidak diberikan oleh Kecamatan. Menurut informan tersebut Camat Tiom berkata bahwa uangBangdes tersebut adalah milik Republik Indonesia bukan milik orang Papua. Stigma TPN/OPM yangdiberikan kepada masyarakat telah memancing kemarahan warga sehingga menaikkan bendera BintangKejora.Mendengar kejadian itu aparat bergerak mendatangi honai yang menjadi posko Satgas Papua di sekitarTKP dan langsung di rusak dan di bakar, sehingga menyebabkan 3 warga meninggal. Suasana semakinmencekam dengan kondisi tersebut apalagi ada pemalangan bagi masyarakat pendatang (perdagangan).Kondisi ini semakin membuat masyararakat resah dan diliputi ketakutan. Apalagi beredar isu akan adapenyerangan dari TPN/OPM terhadap Posko militer di ibukota Kecamatan Tiom.Setelah kejadian tersebut Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat setempat dikumpulkan dan disuruhmencari senjata yang hilang. Akhirnya pada hari Minggu tanggal 17 Desember 2000, senjata yangdirampas oleh warga pada waktu terjadi kontak fisik dikembalikan lagi kepada aparat setelah didesak olehTokoh Agama dan Tokoh Masyarakat. Sedangkan dari peristiwa itu, aparat militer yang melakukanindisipliner tersebut tidak diambil tindakan yang tegas.Sehingga dari kasus penaikan bendera tersebut, 1 orang tentara dan 4 orang warga masyarakat meninggaldunia (Tinius Wandik, Terius Tabuni, Wekinus Wenda dan Banbier Wenda) serta 3 orang luka tertembak.Bahkan ketika Tim Peneliti AlDP tiba di lokasi, ada rencana dari TPN/OPM akan melakukan penyeranganterhadap pos militer. Pasukan OPM telah bersiap sedia di balik gunung. Untung saja Tokoh Agama di sanamelarang dan mengusir mereka agar jangan melakukan penyerangan.

Page 46: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 46

C. Kecamatan Bokondini1. 1999

Penanganan yang Berlebihan (1 Desember)Di Kecamatan ini tidak terjadi konflik yang berskala besar. Tetapi akibat peningkatan eskalasi kegiatanpolitik sehingga militer mengerahkan kekuatan guna terus mengawasi gerak – gerik warga dari berbagaiaktivitasnya. Hal ini tentu saja meresahkan warga karena mereka merasa tidak bebas untuk bergerakkarena akan di terror serta diintimidasi. Hal ini terjadi pada tokoh – tokoh yang berperan di sana (tokohagama, masyarakat, dll).Peristiwa yang terjadi di Bokondini ini bermula dari pengibaran bendera pada tanggal 1 Desember 1999,akibat Bupati David Hubi tidak menijinkan pengibaran di Wamena. Pengibaran ini di lakukan pukul 07.20WIT dan diturunkan pada pukul 15.45 WIT setelah Pdt. Obed Komba didatangkan dengan helikopter dariWamena. Akibat pengibaran bendera tersebut maka pada tanggal 12 Desember di Wamena PolresJayawijaya memeriksa 9 orang pelaku pengibaran bendera. Dan pada tanggal 19 Desember ditangkap lagi1 orang pelaku pengibaran bendera yang kesemuanya berjumlah 10 orang.Di Kecamatan Bokondini aparat keamanan dalam memperlakukan masyarakat telah bertindak di luarbatas–batas kemanusiaan. Harga diri sebagai manusia sangat begitu tidak dihargai padahal mereka adalahmanusia yang juga ingin hidup bebas beraktifitas sebagaimana mestinya. Kondisi ini pernah dilaporkanbeberapa kali kepada Bupati David Hubi dan juga Dandim Kabupaten Jayawijaya namun sepertinya tidakdigubris.Dampak peristiwa itu akhirnya masyarakat menjadi resah karena diteror dan diintimidasi oleh aparat.Hingga sekarang daerah ini menjadi mencekam karena gerak–gerik mereka diawasi terus. Masyarakatmenjadi tidak bebas di tanahnya sendiri, hal ini dikarenakan adanya penambahan pasukan dalam jumlahyang besar. Aparat keamanan menunjukkan kesewenang–wenangannya (show power) dan menakuti–nakuti warga dan mengancam dengan senjata sehingga warga semakin takut dan ada warga yang akhirnyameninggalkan kampungnya untuk pergi ke kampung lain atau ke hutan (mengungsi).Pada saat Peneliti tiba di Bokondini, Bendera bintang kejora masih berkibar di daerah Bilu baga yangmerupakan dampak dari traumatis pengalaman tahun 1977 dan aspirasi politik yang terjadi di seluruhPapua. Akibatnya masyarakat di kecamatan Bokondini khususnya desa Bilubaga mengalami ketakutan dankecemasan akan terjadinya konflik antara militer dengan pengikut bapak Yatan Weah dan EliasBaminggen. Tokoh adat desa Bilubaga meminta kepada Tim Peneliti (AlDP) untuk memfasilitasi ke PDPmemberikan penguatan kepada masyarakat desa Bilubaga agar bendera diturunkan sehingga potensikonflik pelanggaran HAM dapat dihindari. Sekarang ini bendera Bintang Kejora telah di turunkan setelahada perintah dari Presidium Dewan Papua (PDP) yang difasilitasi oleh AlDP. Sehingga ketakutan akanterjadinya konflik yang dikuatirkan oleh masyarakat menjadi sedikit berkurang.Sebagai contohnya, bahwa di ibu kota Kecamatan Bokondini, responden (Ketua Klasis Bokondini) ditodongdengan senjata karena dituduh mengijinkan tim peneliti untuk bertemu dengan korban penyiksaan tahun2002 (Tote Weah dan Jondi Weah) serta Elias Baminggen. Akibatnya Tim Peneliti juga diancam akandibunuh apabila datang ke Ibu kota Kecamatan Bokondini.

D. Kecamatan Kelila1. 1999

Penanganan yang Berlebihan (1 Desember)Aparat sering melakukan banyak tindakan kekerasan, baik itu penyiksaan secara fisik maupun non fisikseperti, intimidasi, terror serta beban psikologis karena dihina, dicaci maki dan diberikan stigma inferior(malas, bodoh dan primitif). Keadaan tersebut menyebabkan masyarakat di Kelila dicap sebagai DaerahMerah. Warga menjadi tidak bebas bergerak di wilayahnya sendiri. Sebelum tahun 1999, teror danintimidasi lainnya terus dilakukan oleh aparat karena daerah ini dianggap sebagai daerah merah. Akibatpendekatan represif yang dilakukan oleh militer dan juga berbagai stigma yang mendiskreditkan wargasehingga telah menjadi stereotip warga bahwa militer identik dengan kekerasan.Setelah 1999, eskalasi kegiatan politik semakin meningkat dimana roda reformasi bergulir melanda negeridan juga setelah diijinkannya pengibaran bendera oleh Penguasa. Suasana telah berubah semakinmencekam karena tindakan terror, penyiksaan menunjukkan peningkatan yang signifikanAparat militer khususnya pasukan non organik yang ditempatkan di sana tidak berusaha untuk beradaptasidengan masyarakat, tetapi malah mempertontonkan kehebatannya dengan menggunakan senjata (showpower). Berbagai aturan-aturan adat telah dilecehkan dan menganggap bahwa dialah hukum yang berlaku.Penghormatan terhadap tokoh yang berperan dirasa sudah tidak ada. Padahal bagi masyarakat sepertitokoh adat dan tokoh Agama begitu dihormati dan dihargai. Simbol-simbol adat (topi kepala suku) sebagailambang keagungan masyarakat adat dan hanya dipakai pada acara-acara khusus saja (bersifat sakral),kini dipermainkan seperti barang sampah, padahal seharusnya simbol tersebut. Apa yang diinginkan harus

Page 47: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 47

dipenuhi dan bila tidak maka akan berhadapan dengan moncong senapan. Keadaan ini semakinmenjadikan kebencian yang mendalam kepada militer apalagi memori 1977 belum hilang dari ingatan dimana terjadi pembantaian besar-besaran dan kini memoria pasionis tersebut kembali bertambah denganbanyaknya penyiksaan, teror, intimidasi, penyiksaan dan berbagai macam tekanan yang membuatmasyarakat depresi.

F. Kecamatan Mapnduma1. 1996

Penyanderaan Tim Lorentz (8 Januari)Kejadian ini bermula dari kedatangan Tim Lorenzt ke Mapnduma pada tahun 1996 untuk melakukanpenelitian terhadap tumbuhan dan tanah yang ada di kawasan Taman Nasional Lorentz. Masyarakatmerasa kurang suka melihat keadaan ini karena bertentangan dengan budaya setempat. Merekamenyandera dan membawa tim tersebut ke tengah hutan.Adapun kronologis peristiwa dari penyanderaan hingga pembebasan dan akhirnya diadakan operasipenyisiran, adalah :a. Tanggal 8 Januari 1996

Penyanderaan mulai dilakukan oleh TPN/OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel YudasKogoya. Tim peneliti yang disandera berjumlah 24 orang.

b. Bulan Pebruari – Maret 1996Ada usaha negosiasi terhadap penyandera oleh Palang Merah Internasional (ICRC) yang dilakukanoleh Silviana Bonday, namun upaya pembebasan sandera gagal di lakukan.

c. 8 Mei 1996Dilakukan operasi pembebasan sandera oleh Kopassus yang di pimpin oleh Mayjen Prabowo. Sedangyang diturunkan di Mapnduma di pimpin oleh Kapten Made. Selain itu juga dari kesatuan lain sepertiKostrad, Pasukan Kasuari dsb.

d. Maret – Mei 1996Terjadi pembantaian besar–besaran, kebun, rumah dan gereja dirusak serta dibakar. Kampungdimusnahkan

e. Juni – Agustus 1996Terjadi pemerkosaan terhadap seorang perempuan dewasa. Hal ini dilaporkan ke komandan atasperbuatan anak buahnya namun sebagai bentuk upaya perdamaian hanya diberikan beras sebanyak150 Kg.

Penyanderaan yang dilakukan terhadap tim peneliti terjadi diakibatkan ketidakpahaman peneliti Lorentzmereka terhadap budaya lokal, di mana mereka mengambil tanah dan tumbuhan yang akan digunakanuntuk keperluan penelitian dan akan diangkut ke Wamena Kota dan akhirnya ke luar dari Papua. Padahalkegiatan tersebut bertentangan dengan adat yang berlaku dan menyebabkan warga tersinggung danmarah. Masyarakat merasa seluruh hasil bumi mereka akan diangkut ke luar dan nantinya mereka tidakakan dapat hidup lagi karena semuanya telah habis.Untuk peristiwa tersebut dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahapan yang terdiri dari :I. Periode Pra penyanderaan

Sosialisasi oleh Tim Peneliti tentang tujuan kedatangan mereka. Namun dalam rapat tersebutpendapat salah seorang (dikemudian hari diketahui pelaku penyanderaan) tidak diterima, yangmengakibatkan dia marah dan melaporkan hal ini kepada Kelly Kwalik.Pertanyaan dia adalah tentang pengalaman suku Amungme yang memprihatinkan dan tragis, di manahanya jadi penonton atas pengrusakan habitat mereka yaitu dengan beroperasinya PT. Freeport.Ketakutan dan kecemasan inilah yang membuat warga tersebut marah dan ke luar dari ruangankarena pendapatnya tidak diterima. Kemudian tidak berapa lama dia datang dengan sejumlahtemannya dan langsung melakukan penyanderaan terhadap 24 orang peneliti, termasuk masyarakatsipil yang mengikuti rapat tersebut (tanggal 8 januari 1996).

II. Periode PenyanderaanPeristiwa penyanderaan tersebut telah menarik simpati banyak pihak karena terdapat di dalamnyapeneliti dari Luar Negeri antara lain dari Ingris, Jerman, Belanda. Berbagai pendekatan dilakukansebagai upaya pembebasan. Berbagai mediator di pakai guna menjadi negosiator antara ke dua belahpihak (pemerintah/ABRI dengan OPM).Pendekatan persuasif telah dilakukan antara lain oleh pihak gereja, ICRC, militer, Tokoh MasyarakatLokal dan Pemda Jayawijaya.

Page 48: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 48

Namun karena negosiasi tidak berhasil, maka langkah yang diambil selanjutnya adalah melakukanoperasi militer. Di sinilah awal terjadinya berbagai peristiwa yang menakutkan dan mencekam.Militer kemudian membuat basis pangkalan di daerah sekitar penyanderaan seperti di Keneyam, yangjumlah mereka sangat banyak dan dari berbagai kesatuan seperti dari Kostrad, Kodam VIII Trikora,Pasukan Kasuari, kopassus dll. Mobilisasi pasukan ini dilakukan dengan menggunakan pesawathelikopter. Selain itu juga dilakukan “Silent Operation“. Operasi yang dilakukan dan terkesan ShowPower semakin membuat warga diliputi rasa ketakutan, shock karena tertekan dan tidak bebas, karenatakut dituduh sebagai anggota dari TPN/OPM.Padahal ketika merencanakan pembebasan sandera telah diperingatkan oleh ketua Klasis untukberhati-hati, bahwa harus dibedakan mana yang masyarakat sipil biasa dan mana yang anggotaTPN/OPM. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak diindahkan. Militer melakukan penyisiran danmengejar warga hingga ke dalam hutan yang menyebabkan warga banyak yang mati tertembak.Bahkan rumah warga ada yang dijadikan basis militer sehingga mereka pergi mengungsi ke keluargamereka. Selain itu sekolah juga turut dipakai sehingga aktifitas belajar terganggu. Warga dilaranguntuk tidak boleh ke mana-mana padahal mereka bisa bertahan hidup dari hasil berkebun.Selain itu, militer juga melakukan penyisiran terhadap kampung-kampung yang ada. Warga karenayang akhirnya melarikan diri ke hutan-hutan yang diperkirakan berjumlah sekitar 500 Jiwa. Kemudianmiliter juga melakukan penyisiran di pinggir-pinggir kampung dan banyak membunuh warga karenadituduh termasuk anggota penyandera. Padahal mereka inilah para warga yang mengungsi ke hutan-hutan.Bahkan ada pula yang mati karena kelaparan sebab tidak mempunyai cadangan makanan. Wargayang menyerahkan diri karena sudah kelaparan juga disiksa dan dibunuh. Warga yang telah matiditembak, lantas ditinggalkan begitu saja hingga mayatnya dimakan oleh binatang liar.Militer yang melakukan penyisiran ke kampung-kampung terus melakukan kekerasan serta menerormasyarakat. Setidaknya ada 5 (lima) desa yang diobrak-abrik oleh aparat rumah dan tanaman dirusakdengan bom. Tempat ibadah (Gereja) di Soroama juga dihancurkan dengan bom. Perempuandiperkosa (dewasa + di bawah umur). Bahkan ada perempuan yang hamil digilir oleh 7 orang aparat.Penembakan membabi buta dilakukan sehingga banyak yang cedera hingga cacat dan juga mati.Penganiayaan juga terus dilakukan dan bahkan ada seorang warga yang disuruh minum air kencing(urine) aparat, yang bernama Leon Nerigi.Ke-5 lima desa yang menjadi daerah paling parah yaitu :a. Desa Geseleimab. Desa Yenggeloc. Desa Alamad. Desa Huareme. Desa NolakEskalasi kekerasan militer semakin meningkat tatkala penyandera menunda pembebasan sandera.Akhirnya warga kembali mengalami penderitaan. Rumah ibadah dan sarana lainnya digunakansebagai basis militer. Hutan dirusak dengan cara dibom yang akan digunakan sebagai tempatpendaratan helicopter. Juga ada tokoh agama mengalami nasib yang tragis dimana ditembak hinggamati di depan gereja yang dilakukan oleh Yonif 751, yang sebelumnya gereja tersebut lebih dahulu dibom dari udara. Jadi penyisiran yang dibuat oleh aparat militer dilakukan baik dari darat maupun dariudara. Juga pernah terjadi di Keneyam yaitu peledakan bom yang ditinggalkan oleh aparat di rumahpenduduk di mana mengakibatkan 5 orang meninggal dan 2 orang lainnya luka – luka.Ketika terjadi pembebasan sandera telah diberikan bantuan berupa bahan makanan kepadamasyarakat. Namun ternyata usaha bantuan kemanusiaan dinodai oknum tertentu di mana helicopteryang berencana menurunkan bahan makanan, tetapi di dalamnya telah bersiap pasukan dari luarnegeri untuk menghabisi warga, karena pada waktu itu ada pertemuan antara masyarakat denganpenyandera. Masyarakat mengira helicopter itu akan menurunkan bahan makanan seperti biasanyakarena terlihat dari pesawat tersebut dikeluarkan bendera lambang Palang Merah. Masyarakatmendekati pesawat itu. Tetapi kemudian ketika pintu pesawat dibuka maka tembakan membabi butadilakukan oleh pasukan yang memang telah berada pada posisi siap tempur. Akhirnya korban puntidak bisa dihindarkan. Warga yang selamat kemudian mengungsi lagi ke hutan. Ada warga yang matidi tempat, ada yang akhirnya cacat seumur hidup dan lainnya luka-luka.Menurut responden, pesawat yang dipakai dalam operasi pembebasan sandera adalah milik PT.Freeport yang dipakai oleh Air Fast untuk melakukan pengejaran dan menembak masyarakat hinggake hutan. Dan juga helikopter militer TNI berjenis Twin Otter maupun Puma.Pada tanggal 15 Mei 1996 para sandera dibebaskan, namun ada 2 orang peneliti yang meninggalyaitu Nafi (Sulawesi Utara) dan Matias dari Ambon. Sedangkan di pihak TPN/OPM meninggal 1 orang.Selama terjadi penyisiran dan selama operasi pembebasan di lakukan, kurang lebih ratusan jiwameninggal (menurut responden 300) dan banyak penduduk yang mengungsi serta perempuan-perempuan kampung yang diperkosa, namun karena malu sehingga tidak dilaporkan. Ada yangmenderita cacat. Namun yang paling berat adalah beban mental (kondisi psikologis) yang dirasakanakibat operasi pembebasan sandera. Kondisi ini semua pernah dilaporkan oleh warga kepada Els-

Page 49: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 49

HAM (Lembaga Studi dan Advokasi HAM) di Jayapura. Sedang pemerintah nampaknya bersifat apatismelihat kondisi tersebut.

III. Periode Pasca PenyanderaanKeadaan ini (setelah pembebasan sandera pada tanggal 15 Mei 1996) tidak secara otomatis langsungmenghilangkan penderitaan warga. Karena setelah itu penyiksaan, pembunuhan dan bentukkekerasan lainnya tetap dirasakan. Karena walaupun telah di cabut status Mapnduma dari DaerahOperasi Militer (DOM) menjadi Pengawalan Daerah Rawan (PDR), toh tindak kekerasan terus terjadi.Pernah terjadi di Keneyam yaitu peledakan bom yang ditinggalkan oleh aparat dimana mengakibatkan5 orang meninggal dunia dan 2 orang luka-luka. Juga anak ketua Klasis yang bernama Joni, ikutmeninggal karena tertembak oleh pasukan 751 pada tanggal 16 Juni 2000, bahkan ada anakperempuan yang berumur 3 dan 11 tahun di perkosa.

G. Kecamatan Oksibil1. 1996

Perilaku Kelompok Sipil BersenjataDaerah ini merupakan salah satu dari 6 (enam) Kecamatan yang berada di sebelah Timur KabupatenJayawijaya. Konflik yang terjadi di sini pada umumnya akibat ulah militer yang bertindak di luar aturan. Halini di karenakan daerah ini dekat dengan negara tetangga, PNG.Adapun kasus yang terjadi pada tahun 1996 di Desa Kutdol Kecamatan Oksibil yaitu :Kasus ini berawal dari seorang anggota OPM, bernama Titus Uropdana yang tinggal bersama denganKomandan OPM Paulus Kaladana di perbatasan wilayah Oksibil dengan Kiwirok dan PNG (Yapsi). Padasaat itu di daerah tersebut terdapat seorang anak perempuan yang orang tuanya memiliki hutang terhadapkeluarganya Titus Uropdana. Pada saat Titus Uropdana menagih hutang tersebut untuk segera dibayar,keluarga yang berhutang malah mengembangkan isyu bahwa Titus membayar orang untuk membunuhkeluarga yang berhutang tersebut.Pada awalnya pula Titus Uropdana ini bukanlah anggota OPM, dalam hal ini yang menjadi anggota OPMadalah adiknya yang bernama Xaverius Uropdana. Kemudian Titus tersebut melaporkan permasalahannyakepada adiknya Xaverius Uropdana yang kemudian keduanya bersama rombongan OPM lainnya denganmembawa senjata lantas mendatangi kampung tempat tinggal keluarga yang berhutang tersebut danmembunuh serta mengambil hasil ternak dan kebun para warga Kampung. Setelah selesai melakukan halitu, kemudian mereka turun ke kampung berikutnya. Kebetulan pada saat itu Hari Jumat, TNI bersamamasyarakat sedang ke Desa Kutdol untuk melaksanakan ABRI Masuk Desa. Mendenganr hal itu,rombongan Titus dan Xaverius Uropdana langsung merencanakan penghadangan dan menjaga di jalanyang akan dilewati oleh TNI dari Kostrad 509 bersama masyarakat.Pada saat TNI dan masyarakat lewat di jalan tersebut, rombongan Titus dan Xaverius langsungmelepaskan tembakan ke arah TNI dan masyarakat, namun tembakan tersebut meleset. Setelahmelepaskan tembakan, rombongan Titus dan Xaverius berlari kearah kampung tempat di mana keluargayang berhutang kepada Titus tersebut tinggal. Akibatnya TNI dari Kostrad 509 mengejar kelompokpenyerang dengan mengepung kampung dan melepaskan tembakan secara beruntun.

Ketika TNI sedang melakukan penyerangan terhadap kelompok Titus dan Xaverius Uropdana, tiba-tibaYunus Gobay, seorang anggota Koramil yang kebetulan ikut bersama TNI pada saat itu, berlompatmenerobos masuk menuju ke arah kelompok Titus dan Xaverius Uropdana. Dan pada saat itu pulaKomandan TNI yang bernama Zulkifli langsung menembak anggota Koramil tersebut hingga tewas danrombongan OPM Titus dan Xaverius lari masuk hutan. Seorang anggota masyarakat yang bernamaUropyambul Ningmabin tewas tertembak dan ada pula seorang ibu tua yang meninggal karena terkejutsetelah mendengar suara tembakan terus-menerus.Setelah kejadian tersebut, masyarakat kemudian memindahkan warga kampung ke Ibukota Desa untukmenghindari terjadinya konflik susulan.

Page 50: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 50

2. 1996 – 1997 Penanganan yang Berlebihan

Teror dan intimidasi tersebut dilakukan oleh Kopasus dan Militer dengan menuduh masyarakat menyimpansenjata dan masyarakat dituduh berhubungan dengan OPM. Teror dan intimidasi dilakukan pula denganpenodongan senjata kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi takut dan cemas.Kasus ini telah dilaporkan oleh masyarakat kepada lembaga keagamaan (Keuskupan) dan Kodam XVIITrikora dan berbagai pihak namun nampaknya tidak ditindak lanjuti.

H. Kecamatan Kiwirok1. 1995

Balas DendamAdapun runtutan peristiwa yang terjadi mulai tahun 1995 – 2002 antara lain :Pembantaian yang dilakukan oleh aparat militer pada masa pemberlakuan DOM terhadap masyarakat desaKukihil, desa Tapahik hingga desa Marikong Pahik Kecamatan Kiwirok.Peristiwa ini berawal dari persoalan keluarga yang diadukan oleh Yosepha Taplo yang merupakan anakdari Hegap Kaweng Taplo ( korban penyiksaan oleh Kapolsek Kiwirok tahun 1982 ) mengadu ke pos 732dengan mengatakan bahwa di desa Kukihil dan kampung sekitarnya terdapat markas kelompok TPN/OPMpimpinan Daniel Taplo.Mendengar laporan tersebut aparat langsung menuju ke desa tersebut dan melakukan operasi. Masyarakatkemudian di kumpulkan dan ditangkap serta dimasukkan dalam suatu rumah lalu di tembak mati semuanyadan rumahnya di bakar. Jumlah korban peristiwa tersebut berjumlah 579 orang. Dan salah seorang wargayang lolos dari peristiwa itu bernama Tabub Kakadier kini telah menjadi kepala desa Asua. Adapun pelakupembantaian adalah Komandan Pos Tirton dengan Komandan operasinya Adolof Telepari dengan sandiOperasi Pembersihan GPK. Setelah kejadian pembantaian tersebut Pos yonif 732 langsung ditarik ke luardari kecamatan Kiwirok.

2. Tahun 1996 Penanganan yang Berlebihan

a. Terjadi pembunuhan terhadap Yusak Taplo salah seorang anggota Majelis Gereja oleh Yonif 403,pada tanggal 10 Maret pada pukul 06.00 WIT bertepatan dengan hari Minggu.Peristiwa ini berawal pada pukul 04.00 dini hari, di mana anggota TNI dari Yonif 403 menyerangkampung Depsos desa Kiwi. Karena ketakutan, korban kemudian berlari ke luar dari rumah. Pada saatitu korban langsung ditangkap di jalan raya kemudian di tembak mati langsung di seret.Setelah di tembak mati, mayat korban di jaga oleh aparat dan bagi masyarakat yang mendekat untukmelihat mayat tersebut akan di tembak. Pelaku penembakan tersebut bernama Prada Supriyono dariYonif 403 yang dilakukan di depan Camat Kiwirok Drs. Yusuf Syawal. Korban kemudian di makamkanpada pukul 15.00 WIT setelah masyarakat pulang dari kebaktian di Gereja. Alasan pembunuhantersebut adalah bahwa korban bukan merupakan warga desa Kiwi dan tidak memiliki KTP. Alasan lainadalah bahwa korban sering menyembunyikan anaknya yang bernama Marius Taplo yang di dugamerupakan anggota TPN/OPM.

b. Tiga (3 ) bulan setelah terjadi penembakan terhadap Yusak Taplo, anak dari korban yang bernamaMarius Taplo di tangkap oleh Team Merah Putih yang sengaja dibentuk yang terdiri dari putra aslisetempat.Korban kemudian ditangkap lalu di bunuh di desa Okbab yang terletak di antara Kecamatan Kiwirokdan Kecamatan Okbibab. Alasan pembunuhan terhadap Marius Taplo karena di tuduh sebagaianggota TPN/OPM dan juga menyebarkan paham / ideologi Kargoisme.

3. Tahun 2001 Mogok Kerja Pegawai Puskesmas

a. Terjadi aksi mogok pegawai Puskesmas dan Bidan Puskesmas Kiwirok sebagai akibat daripemotongan gaji yang tidak transparan kegunaannya. Pemotongan ini mulai terjadi dari bulan Marethingga Desember 2001 dan juga terhadap Tunjangan Hari Raya (THR) untuk tahun tersebut.Jumlah pegawai dan Bidan PPT yang dipotong gajinya sebanyak 19 orang dengan total pemotongansebesar Rp 42.177.000 yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas Kiwirok yaitu Henok Uropmabin.Dari uraian kasus yang pertama terlihat nampak bahwa tindakan aparat militer sangatlah arogan.Oknum aparat terlalu over action dalam menghadapi masyarakat. Tidak ada pendekatan persuasifyang dilakukan guna menyelesaikan persoalan yang muncul ataupun menyeleksi berita – berita yangdiinformasikan. Akhirnya dengan suatu doktrin agar menumpas habis gerakan separatis menjadi alatlegitimasi untuk melakukan kekerasan yang walaupun korban berasal dari masyarakat sipil tidak tahu –menahu tentang kegiatan TPN/OPM.

Page 51: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 51

Dan yang sangat disayangkan dan disesalkan bahwa aparat pelaku tindak kekerasan terhadap warga walaupunsudah di tarik dari Kiwirok namun tidak diambil tindakan tegas kepada mereka, terkesan seolah – olah tindakantersebut direstui oleh pimpinannya.

Sedangkan bagi kasus ke dua di mana terjadi aksi mogok pegawai Puskesmas Kecamatan Kiwirokyang di latar belakangi akibat pemotongan gaji mereka yang dilakukan oleh pimpinan Puskesmastempat mereka bertugas. Upaya untuk memperkaya diri dengan jalan yang tidak benar (korupsi) telahmenyebabkan orang lain menderita kerugian. Selain itu juga beliau sering mengancam pasien danmenyuruh pulang tanpa alasan yang jelas. Bahkan beliau sering mengambil apa yang menjadi tugasorang lain dengan alasan, dia adalah putra asli.

Walaupun sudah melapor ke pimpinan di kabupaten dan Propinsi namun tidak di gubris. Warga yang mengalamikerugian kini tetap menanti akan tegaknya keadilan bagi mereka.

Dampak dari aksi mogok tersebut kini Puskesmas tersebut menjadi terlantar dan pelayanan kesehatanterhadap masyarakat tidak berjalan dengan baik.

Page 52: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 52

BAB IIIPEMBAHASAN DAN ANALISA

KONFLIK PELANGGARAN HAM DI PAPUA

A. MotifDari hasil penelitian sangatlah sulit dipisahkan bahwa tiap kasus berdiri sendiri karena lebih banyak ditemukankasus yang terjadi menyusul seketika atau hampir bersamaan dengan peristiwa sebelumnya atau dapat disinyalirmerupakan rentetan kasus. Dari motif / penyebab munculnya konflik pelanggaran HAM ditemukan adanya 3 motifutama yakni politik, ekonomi dan sosial budaya serta dijumpai bahwa terdapat pergesaran motif sehingga dari 74kasus terdapat 87 kali konfigurasi motif hal ini terjadi karena bisa saja pada satu peristiwa tidak saja terdapat satumotif tetapi bisa terdapat 2 atau 3 motif sekaligus yang ketika ditarik ke sumber konflik maka ada 87 pergeseranmotif. Hal ini dapat di lihat pada Matriks Pelanggaran HAM di 5 kabupaten.Seperti diketahui bahwa sejak lama telah muncul perjuangan dalam rangka menggugat kembali proses masuknyaPapua ke dalam NKRI yang terjadi di beberapa tempat yang didominasi oleh kekuatan bersenjata dengan polaperjuangan tertutup karena lebih banyak bergerilya berbasis di hutan. Reformasi tahun 1998 memunculkan pola–pola perjuangan baru yang merupakan babak baru dari perjuangan untuk menggugat kembali proses masuknyaPapua ke dalam NKRI tersebut. Secara internal, kondisi ini ditandai dengan dimulainya dialog Tim 100, kemudianMubes Papua 2000 dan Konggres Papua II 2000. Secara eksternal, kondisi ini ditandai dengan perubahan polakepemimpinan nasional yang dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid sehingga memberikan peluangdemokrasi yang lebih besar – walaupun konsistensinya dipertanyakan kemudian – hal ini ditandai dengandisetujuinya pengibaran bendera Bintang Fajar.Maka hal tersebut menjadi momentum dari perubahan pola perjuangan Papua Merdeka ke areal yang lebih terbuka.Kondisi ini disikapi pula dengan berbagai banyak cara berjuang yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat,ternyata langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan ketetanegaraan dan pemerintahan(baca : politik pembangunan) di Papua melalui penjinakan (domestikasi), seperti politik bagi-bagi duit yang dilakukanoleh pemerintah, dana crash program, JPS maupun Otsus – nampaknya hal yang sama merupakan pengulangandari sejarah era 60-an (blueprint) ketika proses masuknya Papua ke dalam NKRI : penjinakan dilakukan kepadapara tokoh-tokoh masyarakat.Dilihat dari matriks Pergeseran Motif / Tahun (Matrix D1) berdasarkan kabupaten, maka ditemukan :Pertama, motif politik dimulai pada daerah Jawawijaya tahun 1995 dengan peristiwa di desa Kukihil - Kiwirokberkaitan dengan munculnya keinginan atau aspirasi masyarakat untuk merdeka dan di daerah Biak NumforKecamatan Biak Barat dan Supiori Selatan yang berkaitan dengan terkekangnya masyarakat atas label daerahseparatis yang disebabkan oleh momentum empirik perjuangan masyarakat pada waktu lampau. Motif ekonomidimulai di Biak Selatan pada Januari 1995, yakni pembakaran pasar Inpres dan juga di Merauke tentang reclaiminghutan masyarakat adat di kecamatan Mandobo—sekaligus merupakan motif sosial budaya. Motif sosial budayadimulai juga pada desa Karuboi – Biak dan Kecamatan Jair – Merauke mengenai reclaiming hutan masyarakatadat.Kedua, terdapat kasus yang terus terjadi atau dapat dipandang terjadi lebih dari setahun yakni selama periode1995-2001. Biasanya tidak muncul dengan intensitas tinggi atau memuncak akan tetapi dampak / pengaruhnyaterhadap masyarakat setempat tidak dapat dikatakan lebih ringan dari kasus yang muncul sekaligus dalam tempo ygrelatif singkat. Dari motif politik setidaknya ada beberapa desa di Biak Barat dan Supiori Selatan, yakni pada desa-desa yang diberi stigma TPN/OPM karena dipandang sebagai basis TPN/OPM.Kondisi ini mempengaruhi psikologis masyarakat karena masyarakat menjadi takut dan merasa tidak aman untukmelakukan aktifitas kehidupan sehari-hari.Hal yang sama terjadi pula di daerah Merauke pada Kecamatan Mandobodan Kecamatan Kurik. Hanya saja masyarakat yang menjadi korban dari situasi tersebut di wilayah ini justrumasyarakat migran / non Papua akibat ulah kelompok Satgas Papua dan Kelompok papua bersenjata lainnya.Untuk motif ekonomi yang terus terjadi sepanjang tahun adalah reklaiming atas tanah, hutan dan kekayaaan alam.Hal ini terjadi di Kecamatan Babo – mulai dari pelanggaran batas wilayah penangkapan ikan oleh perusahaan,ketidakjelasan luasnya areal perkebunan perusahaan, pengalihan tanah untuk pemukiman transmigrasi dan kasusTanah termurah di dunia. Di Merauke untuk alasan yang sama, yakni persoalan reclaiming tanah terjadi juga diKecamatan Mandobo, Kecamatan Jair dan penguasaaan asset / kekayaan alam di Kecamatan Kimaam, Assue danCitak Mitak.Untuk kasus dengan motif sosial budaya secara khusus, kasus yang menyangkut persoalan budaya terjadi di desaAndey di Biak dan di Manokwari – Kecamatan Babo (masih bersinggungan dengan motif ekonomi) serta Meraukepada Kecamatan Assue, Jair dan Mandobo (juga masih bersinggungan dengan motif ekonomi).

Page 53: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 53

PolitikDari hasil penelitian dijumpai pelanggaran HAM yang terjadi dengan motif politik yang terjadi sekitar tahun 1995 didaerah Jayawijaya dan Biak Numfor. Hal ini sendiri perlu diselidiki lebih lanjut apakah ini terjadi berkaitan dengansiklus peristiwa Wamena 1977 dan Biak 1971 – 1972 akibat akumulasi penderitaan selama 20 tahun yangtergambar dalam memoria pasionis sehingga memunculkan perlawanan (Tentu saja tanpa bermaksud mengabaikankasus–kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi sekitar masa tersebut di daerah lain). Tahun 1999 – 2000,sedikitnya ada 34 kasus bermotif politik (lihat Matrix D1& D2) yang mencuat terjadi hampir di setiap daerah. Mulaidari Jayapura, Manokwari, Jayawijaya, Merauke dan Biak . Hal ini justru terjadi pada saat era reformasi : sekali lagidapat ditandai sebagai akibat kondisi internal dan eksternal Papua – kebangkitan Nasionalisme Papua dan jugaperubahan kebijakan pemerintahan era Gus Dur.

Adanya beberapa daerah yang merupakan basis TPN/OPM terutama sebagai tempat pengerahan kekuatansipil bersenjata seperti Pantai Timur, Tor Atas maupun Betaf yang ditandai sebagai daerah merah termasukpada daerah-daerah yang diberi stigma basis TPN/OPM menjadi tempat yang signifikan terhadap munculnyamotif politik. Motif politik mulai pada kasus yang benar-benar nampak dengan pemicunya politik murni sepertikasus Wamena 6 Oktober 2000; Biak Juli 1998; Merauke November dan Desember 2000 maupun dari kasuskasus yang muncul seolah–olah bermotif ekonomi dan sosial budaya.Catatan menarik adalah, bahwa semua kasus yang terjadi berkaitan dengan motif politik selalu mengenai 2kehendak yang berbeda, yakni bergabungnya Papua dalam NKRI serta Papua yang merdeka terlepas dariNKRI. Bahkan dari data dapat dilihat dengan sangat lugas seperti contoh semua kasus politik yang terjadi diJayawijaya yang hanya berkisar pada 2 kehendak tersebut. Motif politik di sini tidak lagi dikategorikan padaperbedaan jangka pendek, perubahan kebijakan persoalan politik pembangunan dan sejenisnya, tetapi lebihpada perdebatan soal nation.

Sosial BudayaMotif Sosial budaya tidak saja ditandai dengan penguasaan terhadap sumber daya alam tetapi juga penguasaanterhadap nilai-nilai yang telah lama ada seperti nilai kepatutan, keharmonisan dan keseimbangan yang semuanyatercermin dalam kebudayaan Papua. Pergeseran akibat penguasaan terhadap nilai-nilai tersebutlah yang menjadimotif dari pelanggaran HAM. Tanah yang semula bernilai religius magis, berubah menjadi nilai ekonomis. ritual dansimbol–simbol adat yang semula dihargai berubah menjadi hal yang biasa-biasa saja ,rakyat yang semula sebagaipemilik hak ulayat serta seluruh kekayaan alam tiba-tiba berubah menjadi buruh dan lain sebagainya.

Masuknya kekuatan-kekuatan kapitalis , perusahaan – Group Center – dapat dilihat dari sejumlah perusahaansemisal di Kecamatan Kimaam – Merauke, Perusahaan Kayu DMP Wasior – Manokwari, Kecenderungan BP –LNG Bintuni dan sejenisnya.Pembukaan lahan sebagai pemukiman transmigrasi seperti di Sota – Merauke,desa Besum dan desa Karya Bumi – Jayapura juga merupakan kisah nyata dari hilangnya penguasaan hakatas tanah dan kekayaan alam local people. Hal ini biasanya disertai dengan proses alienasi systemdemokrasi local ke dalam institusi-institusi formal buatan pemerintah seperti dibentuknya LKMD atau LMA demikepentingan pemerintah yang kemudian digunakan oleh pemerintah sebagai representase dari rakyat ketikapemerintah menyelesaikan persoalan dengan rakyatnya. Intervensi pemerintah terhadap hak ulayat dapat jugamenyebabkan konflik sosial budaya antara local people seperti yang terlihat pada penggunaan lahantransmigrasi di desa Sota – Merauke tahun 1996, yang masih merupakan permasalahan 2 ( dua ) marga yangberbeda sampai sekarang ini.Masuknya nilai-nilai baru dari luar selalu mengalienasi nilai-nilai budaya yang telah ada sebelumnya.Sehinggamembingungkan rakyat setempat tentang nilai–nilai yang harus dipatuhi kemudian : benar-salah, baik – buruk,penting – tidak penting : rakyat mengalami disorientasi nilai dan juga memarginalkan diri mereka pada skemasocial : majikan – buruh, pemilik – pekerja : rakyat mengalami disorientasi lokasi pada skema sosial yangkemudian ada.

EkonomiKekayaan sumber daya alam Papua menjadikan Papua sangat diminati oleh tidak hanya pelaku usaha tetapipemerintah – TNI/POLRI. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ekploitasi dan manipulasi kekayaan alam yangsungguh luar biasa (out of countrol). Sehingga akhirnya semua kelompok kepentingan (pelaku usaha maupun bukanpelaku usaha) berbondong-bondong mendatangi dan menguasai sumber-sumber kekayaan alam. Nampak denganterdapatnya banyak perusahaan, keterlibatan pemerintah dan juga kekuatan TNI/POLRI di daerah-daerah yangmemiliki sumber kekayaan alam. Hal ini menyebabkan rakyat “kehilangan“ kekuatan untuk mengelola kekayaanalamnya sendiri melalui seperti : pertambangan rakyat, perkebunan rakyat, kendati ada beberapa perusahaan yangmemakai label “rakyat”. Lihat saja penguasaan hak ulayat oleh pihak perusahaan kayu di desa Wombu. Bahkanpara kelompok kepentingan yang bukan pelaku usaha memanfaatkan kondisi tersebut. Lihat saja penguasaan paraaparat TNI/POLRI terhadap daerah yang kaya akan hasil hutan dan laut pada Kecamatan Kimaam di Merauke.Ternyata motif ekonomi tersebut tidak saja terjadi antara pihak kapitalis – perusahaan dengan masyarakat pemilikhak ulayat, akan tetapi mulai nampak terjadi juga pada soal tingkat kesejahteraan buruh perusahaan sendiri.

Page 54: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 54

Hal ini dapat dilihat dari kasus tuntutan perbaikan kesejahteraan karyawan dan pembentukan SBSI tahun 1999 –2001 yang terjadi di Kecamatan Babo – Manokwari dan persoalan PHK karyawan Hotel Marau – Biak, Juni 2001.Walau kasus tersebut baru terjadi pada sebagian kecil perusahaan akan tetapi berpotensi meledak sewaktu-waktupada perusahaan–perusahaan lainnya.

Dominasi sentra-sentra ekonomi rakyat pada kelompok etnis tertentu menyebabkan kecemburuan yangberakibat pada kesenjangan sosial. Konflik ini biasanya tidak muncul langsung akan tetapi terjadi/munculmengikuti konflik yang lain seperti pembakaran pasar sentral Abepura tanggal 18 Maret 1996 setelahkedatangan jenazah Tom Wanggai dari Jakarta. Pembakaran pasar Inpres Biak awal Januari 1995 akibat daripengroyokan antara etnis pendatang dengan pribumi, pengrusakan dan penganiayaan yang terjadi di pasarAmpera Merauke tahun 1996 sampai pada pembakaran pasar Sentani November 2001 menyusul kasuspenculikan dan pembunuhan ketua Presidium Dewan Papua.Bahwa kasus yang terjadi pada sentra eknomi rakyat tersebut disebabkan karena semua sentra ekonomirakyat tersebut didominasi oleh kelompok etnis pendatang baik pada pasar-pasar tradisional tetapi juga padapemilik modal besar.Penguasaan sumber daya alam melalui masuknya para investor/kapitalis/Groups Centerselalu bersamaan dengan masuknya persoalan ekonomi ke dalam komunitas masyarakat tersebut. Sehinggasulit ditemui bahwa secara ekonomis masyarakat mengalami perbaikan tingkat kesejahteraan akibat adanyaperusahaan karena biasanya justru terjadi sebaliknya. Pada Kecamatan Kimaam, dimana dulu masyarakatdengan bebas mencari ikan untuk memenuhi kehidupannya justru setelah ada perusahaan di Wanam Camp.Masyarakat malah dibatasi areal pencahariaannya, bahkan juga dibatasi nilai jualnya. Kemudian juga kasustanah termurah, Rp.15 / m2 = Rp.150.000 untuk 1.000 / m2. Logikanya adalah, tanah seluas 1.000 / m2 tentudapat memenuhi kebutuhan sekian orang hidup selama batas waktu yang tidak dapat ditentukan akan tetapidengan nilai Rp.150.000 pastilah tidak mampu membiaya hidup seseorang apalagi untuk sepanjang usianya.Hal yang sama juga terjadi pada perkebunan PIR – Jayapura .Biasanya tahap awal perusahaan membangunan usahanya jarang sekali melibatkan masyarakat bahkan adamasyarakat yang tidak mengetahui luas areal sesungguhnya yang dikuasai oleh perusahaan. Seperti luas arealperusahaan perkebunan pada Kecamatan Babo – Manokwari. Perusahaan selalu menggunakan kekuatan dariluar baik itu dengan menggunakan campur tangan pemerintah seperti kasus hak ulayat desa Andei KecamatanBiak Utara tahun 2000, Kasus BP LNG tahun 2001 (Pembuatan Kesepakatan) dan juga menggunakankekuatan TNI/POLRI untuk menjaga kelangsungan usahanya seperti PT. Djarma Aru (Djajanti Group) diKimaam – Merauke dan perusahaan DMP di Wasior – Manokwari. Bahkan ada perusahaan yang menggunakankekuatan TNI/POLRI lebih dari 1 kesatuan – setidaknya ada 5 kesatuan seperti di Wanam Camp – KimaamMerauke .Selain itu, melimpahnya sumber daya alam/kekayaan alam seperti kayu Gaharu menjadi sebab munculnyakonflik pelanggaran HAM di bidang ekonomi karena perebutan penguasaan sumber daya alam tersebut dengancara-cara kekerasan. Seperti di Kecamatan Citak Mitak, Suator, Assue dan Kecamatan Atsy di Merauke. Pihakkeamanan TNI/POLRI ikut melakukan bisnis tersebut dengan melakukan intimidasi terhadap rakyat setempat.Secara khusus, masalah hak ulayat baik yang berkaitan dengan motif politik, ekonomi dan sosial budaya terjadihampir di setiap tempat lokasi penelitian di Papua. Bahkan dapat dilihat dari 87 pergeseran motif maka jikadipiliah ada sekitar motif politik sebanyak 43 kasus, motif ekonomi 26 kasus dan motif sosbud ada 18 kasus(lihat Matrix A) serta yang menyangkut hak ulayat terdapat 14 kasus. Antara lain seperti yang terjadi pada kasussengketa tanah lokasi transmigrasi desa Besum 1996, Desa Andei Biak utara tahun 2000, desa Yeroboy 1995di Biak, desa Sota – Merauke tahun 1996 dan Kecamatan Babo di Manokwari, dan lain-lain. Jika hal ini tidakjuga diselesaiakan maka akan selalu berpotensi konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM untukwaktu-waktu yang akan datang.

B. Modus

Modus atau cara yang digunakan dalam melakukan konflik pelanggaran HAM pada dasarnya tidak terlepas daricara-cara kekerasan fisik bahkan sampai menyebabkan kematian dan juga kekerasan/intimidasi secara psikologis.Modus masih berupa : penangkapan yang sewenang-wenang, penyisiran, penganiayaan, penipuan,mengancam ,ingkar janji, pembakaran, demonstrasi dan lain-lain. TNI – POLRI

Modus yang digunakan selalu berupa kekerasan fisik mulai dari pemukulan, penganiayaan, penangkapan yangsewenang-wenang, penembakan, penyisiran sampai pembunuhan. Serta kekerasan psikis melalui intimidasipsikologis juga merupakan hal yang sangat ditakutkan masyarakat modus ini digunakan baik di perkotaanmaupun di daerah yang jauh dari kota. Intimidasi psikologis ini biasanya justru membawa kesan yangmendalam mengingat pengalaman traumatik masa lalu, memoriapasionis Wamena 77 atau Biak Barat 71-72.Perilaku TNI/POLRI pada desa-desa di luar kota dimana orang memandang TNI/POLRI sebagai suatu kekuatanpenguasa yang datang dari luar perilaku aparat TNI di daerah perbatasan, aparat POLRI di daerah pedalamanseperti Kecamatan Assue, Atsy, Kimaam di Merauke serta Kecamatan Bokondini, Tiom, Kelilla di Jayawijaya.

Page 55: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 55

Secara khusus, perilaku aparat Brimob di desa Rasey, Wombu, Wondiwoy di Kecamatan Wasior di Manokwari;desa-desa di Kecamatan Biak Barat antara lain desa Sarwa, Napdori, Krisdori, Orkdori, Farusi Adadikam; desaSopen dan Desa Mansram Kecamatan Supiori Selatan.Selain itu modus yang digunakan adalah penjinakan /pembudidayaan/domestikasi terhadap kelompok sipil bersenjata terutama yang terjadi di daerah perbatasanseperti Jayawijaya Timur – Pengunungan Bintang, dikhawatirkan jika target pembudidayaan selesai, makakelompok tersebut akan dihabiskan – hal ini perlu diselidiki lebih lanjut.

Kelompok Sipil bersenjataMelakukan penganiayaan, penembakan seperti terjadi pada kasus desa Wondiboy – Wasior, kasusperampasan senjata di Tor Atas pada 25 Desember 2000 di Jayapura, peristiwa desa Kutdol – Oksibil pada1996 di Jayawijaya, dan juga intimidasi psikologis seperti terjadi di Kecamatan Mandobo dan Kecamatan Jair diMerauke. Kelompok TPN-OPM yang berada di daerah perbatasan dengan negara PNG biasanya modus yangdigunakan berbeda. Untuk daerah yang berbatasan darat dengan negara PNG modus yang digunakan adalahpenyanderaan, lihat kasus penyanderaan warga PIR VI Arso – Jayapura tahun 1999, kasus Penyanderaankaryawan PT.Korindo Group 17 Januari 2001 – Merauke dan kasus penyanderaan Tim Peneliti Lorenzt –Mapnduma 06 Januari 1996.Sedangkan untuk daerah perbatasan yang terbuka karena berbatasan dengan laut misalnya, maka modusyang digunakan lebih banyak dengan melakukan kontak senjata dengan TNI/POLRI, seperti daerah pesisirPantai Timur Tor Atas dan Sarmi tahun 2000, Betaf tahun 2001– Jayapura; desa Rasiey – Kecamatan Wasior –Manokwari.

Kelompok SipilBagi kelompok sipil Papua modus yang digunakan biasanya pembakaran, pemalangan dan juga intimidasiterhadap kaum migran, selain itu, modus lain yang digunakan adalah dengan mencari kelompok tertentu yangbiasanya “berseberangan” dengan institusi pemerintah dan TNI/POLRI. Hal ini terjadi pada saat rakyatkehilangan kepercayaan dan harapannya kepada pemerintah dan atau pihak keamanan TNI/POLRI dalammenyelesaikan persoalan maka mereka memilih alternatif baru, yakni mengadukan persoalan kepada kelompoksipil bersenjata maupun Satgas Papua. Hal ini nampak pada kasus desa Wombu – Manokwari, pengaduanmasyarakat tentang perusahaan HPH yang sebelumnya telah disampaikan kepada pemerintah tetapi tidakditanggapi, desa Kutdol – Jayawijaya : persoalan hutang piutang antara keluarga yang dilaporkan kepadakelompok TPN/OPM, Merauke Kota : persoalan keluarga di Jl. Natuna, yang mana ada yang melapor kepadasatgas dan ada yang ke Brimob.Mempersenjatai diri dengan senjata rakitan adalah juga modus baru yang digunakan terutama oleh kaummigran biasanya terjadi di daerah konsentrasi pemukiman kaum migran seperti daerah transmigrasi.

Kurangnya perhatian dan atau sikap yang tidak tepat dari pemerintah termasuk TNI/POLRI dalam meresponipengaduan masyarakat tidak menyebabkan masyarakat berdiam diri saja akan tetapi masyarakat mencoba mencaricara-cara baru untuk menyelesaikan masalah mereka. Dan cara-cara ini selalu dipandang oleh pemerintah danTNI/POLRI sebagai “perlawanan”. Bahayanya adalah, jika kemampuan untuk menemukan cara-cara baru tersebutdigunakan oleh kelompok tertentu untuk mengadu domba antara pemerintah dan TNI/POLRI dengan rakyat. Pemerintah dan Perusahaan

Agak sulit membedakan antara pemerintah dan perusahaan. Karena biasanya kedua pelaku ini menggunakanmodus yang sama untuk mengamankan kepentingannya. Modusnya dapat berupa ingkar janji (inkonsistensi),khusus sikap pemerintah terhadap kebijakan pengibaran bendera Bintang Fajar. Penipuan dan ingkar janjimelalui kesepakatan, perijinan, penyerahan luas wilayah HPH sering dilakukan atau merupakanpersekongkolan antara pemerintah dan perusahaan. Bahkan juga mereka menggunakan pihak ketiga, sepertikekuatan TNI-POLRI untuk mengamankan kebijakan dan kepentingan usahanya. Termasuk juga membentukinstitusi-institusi formal untuk menggantikan sistem demokrasi local yang telah lama ada dan dijadikan alat adudengan rakyat setempat.

C. PelakuSebelum tahun 1996, kasus pelanggaran HAM cenderung didominasi oleh kekuatan bersenjata TNI/POLRI danTPN/OPM. Pergeseran sekaligus penambahan pelaku pada pihak perusahaan mulai terjadi di era awal 90-an yangditandai dengan munculnya beberapa perusahaan. Di Kecamatan Kimaam – Merauke, Kecamatan Biak Utara –Biak, Kecamatan Babo – Manokwari. Di era reformasi sekitar tahun 1999 – 2000, terutama akibat motif politik makamuncul pula kekuatan baru sebagai pelaku yakni Satgas Papua dari pihak pribumi. Mulanya perlawanan yangdilakukan oleh masyarakat Papua ditujukan kepada pemerintah dan TNI/POLRI akan tetapi ketika tidak sesuaidengan keinginan mereka maka beralih kepada masyarakat migran karena dianggap bagian dari pemerintahIndonesia, bagian dari TNI/POLRI dan bagian dari yang menindas mereka. Sehingga memunculkan pulaperlawanan dari kaum migran (momentum internal). Himbauan lewat radio oleh Kapolda Papua, Irjen S.Y. Wenas,menjelang pengibaran bendera 1 Desember 2000, oleh sebagian kaum migran ditafsirkan sebagai alasan untukmelakukan perlawanan terhadap pribumi ( momentum eksternal) .Maka lahirlah model-model perlawananbersenjatakan rakitan. Seperti yang terjadi di Merauke, Jayapura maupun di Wamena Kota. Ternyata motif politik

Page 56: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 56

berpeluang lebih besar terhadap munculnya kasus yang bernuansa horizontal serta berbanding lurus terhadapbertambahnya jumlah pelaku yang berasal dari masyarakat pribumi maupun migran.Secara umum dapat dilihat, bahwa selama kurun waktu 1995-2001, TNI, terutama pasukan non organic adalahpelaku pada hampir seluruh kasus pelanggaran HAM di Jayawijaya, selain beberapa pelaku sipil seperti TPN/OPM.Untuk daerah Manokwari pelakunya banyak dari Brimob. Beberapa desa di Biak, terutama Biak Barat dan SupioriSelatan banyak dilakukan oleh TNI, baik organic maupun non organic. Untuk daerah lainnya, Merauke dan Jayapuraditemukan pelaku yang sangat variatif, hal ini bisa disebabkan bahwa semakin luasnya wilayah, letak geografissebagai daerah terbuka, tingginya jumlah penduduk dan heterogenitas penduduk serta banyaknya perusahaanmenyebabkan meningkatnya jumlah/kategori pelaku.Baik TNI/POLRI, TPN/OPM ditemukan banyak melakukan pelanggaran HAM di sekitar jazirah Jayapura, JayawijayaTimur dan Merauke. Secara kwantitatif dapat dilihat bahwa pelaku didominasi adalah POLRI, terutama terjadisetelah era reformasi. Sedangkan sebelum reformasi adalah pihak TNI. Prosentase keseluruhan adalah POLRI ( 22%), TNI 19 %, sipil Bersenjata 14 %, sipil tidak bersenjata 14 %, pemerintah 15 %, Perusahaan 10 % serta lain-lain5 %. Hal ini bisa jadi disebabkan karena, pertama dampak pemisahan institusi TNI/POLRI sehingga sekarangPOLRI yang dikedepankan dalam menghadapi setiap konflik yang terjadi (secara eksternal) akan tetapi bisa jugadisebabkan karena perubahan perilaku (secara internal) hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut.Selain itu muncul pula pelaku akibat dari banyaknya kekuatan sipil bersenjata yang ada seiring dengan menguatnyaaspirasi Papua Merdeka (motif politik), seperti di Merauke, ada kelompok TPN/OPM, kelompok Satgas Papua danKelompok SORANDA, dan dari non Papua ada kecenderungan muncul kelompok sejenis (Barisan Merah Putih,Pasukan Jihad dan Laskar Kristus) – perlu dikaji lebih lanjut.

D. Geografis - TeritorialPertama, dari keseluruhan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun dapat dilihat terjadi di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota kabupaten : Kecamatan Babo di Manokwari; Kecamatan Jair, Assue dan Mandoboserta Kimaam yang jauh dari Merauke serta Kecamatan Kiwirok dan Oksibil di Jayawijaya. Hal ini sangatberhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari program pembangunan. Karenakhusus daerah– daerah yang jauh dari ibu Kabupaten dan juga Kecamatan perhatian yang diberikan olehpemerintah kepada aparatur negara sangat terbatas sekali. Hal yang sama juga terjadi pada management diTNI/POLRI terhadap anak buah mereka. Akibatnya baik aparatur negara maupun TNI/POLRI di daerah yang jauhdari kota kurang mendapat pengawasan sehingga cenderung melakukan tindakan kesewenang–wenangan, kendatihal ini terjadi juga bagi aparat yang berada di kota.Kedua, letak geografis termasuk luas wilayah, memberikan peluang yang lebih besar terhadap meningkatnyapelanggaran HAM baik dari segi kwantitas maupun kwalitas serta melahirkan pelaku-pelaku baru yang sangat luasdan heterogen, baik dari segi jumlah tiap motif, juga memunculkan pelaku-pelaku yang baru, seperti kekuatan sipilnon papua bersenjata. Terlihat pada daerah Merauke yang sangat luas wilayahnya, Jayapura sebagai ibukotapropinsi dan jumlah penduduk yang banyak juga daerah-daerah terbuka sebagai basis perusahaan : Jayapura –Merauke dan Manokwari.Ketiga, bagi kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara PNG, mempunyai ciri khusus dalam hal konflikpelanggaran HAM yang terjadi. Dari kasus yang didapat sepanjang tahun 1995 – 2001 ditemui bahwa kasus denganmotif politik sebanyak 55 kasus terjadi di sepanjang pesisir Jayapura, sebelah Timur Jayawijaya dan Merauke.Jazirah ini ditandai sebagai daerah dengan “kekerasan bersenjata” terbanyak. Maka nampak dari besarnyakonsentrasi kekuatan TNI organik maupun non organik dan POLRI disatu pihak, serta juga kelompok sipil Papuabersenjata atau TPN/OPM di pihak lain.Kontak senjata sering terjadi di daerah pesisir Jayapura. Nampak kontak senjata paling banyak terjadi di daerahKecamatan Pantai Timur (Betaf), Tor Atas, Bonggo dan Sarmi. Dapat dicatat pula bahwa daerah Biak Barat, SupioriSelatan ini dipandang strategis karena memberikan ruang gerak yang cukup besar bagi posisi TPN/OPM.Orientasiruang ini berubah setelah kekuatan awal di daerah sekitar Biak dan manokwari (basis tertutup) kurang memberikanruang gerak yang cukup luas. Kondisi ini dipahami pula sebagai alasan untuk menempatkan pasukan non organicdan organic secara besar-besaran, sehingga pada daerah-daerah perbatasan selalu terjadinya konflik pelanggaranHAM.Daerah yang berbatasan langsung dengan negara PNG dapat dipahami sebagai wilayah yang harus dijaga karenamerupakan batas negara RI dengan PNG sehingga terjadi konsentrasi TNI/POLRI yang cukup besar pada pos-possekitar perbatasan termasuk pos-pos di sekitar pemukiman transmigrasi – di Jayapura, dari sekitar 40 pos TNI – nonOrganik, sekitar 75 % berada justru di daerah transmigrasi. Di sisi lain, daerah perbatasan menjadi daerah “ terbuka”bagi kekuatan Sipil bersenjata TPN/OPM.

Page 57: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 57

E. Peran dalam menyelesaikan Konflik. Pemerintah

1. Dari 74 kasus, tidak semua ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah lebih banyak menanggapi semuakasus sebagai persolan kesejahteraan sehingga lebih banyak melakukan bantuan kemanusiaan yangsifatnya lebih banyak jangka pendek seperti memberikan bahan makanan dan santunan – kasus di desaWouma Wamena, Kasus Wasior – Manokwari dan juga di Merauke, rehabilitasi pasar (kasus Biak Selatan),pencarian dan membantu evakuasi korban – kasus Kimaam – Merauke, membantu pembebasan sandera –Kasus Korindo di Merauke, menampung keluhan masyarakat tanpa menindaklanjuti – kasus Puskesmas diKiwirok, mengupayakan refungsi badan-badan usaha – kasus hotel Marauw – Biak.

2. Melakukan dialog dengan Masyarakat : pembakaran pasar abepura dan pertikaian etnis, Kasus DesaBesum dan desa Kayu Bumi, desa Sabron Samon, akan tetapi dari semua dialog biasanya mengeluarkankesepakatan dari pemerintah seperti ganti rugi tanah hak ulayat tapi hanya sebagian kecil dari kesepakatanitu yang kemudian direalisasikan.

3. Membentuk Tim Pencari Fakta seperti kasus Uncen Berdarah di Jayapura dan Biak 1998, PembentukanKPP HAM untuk kasus Abepura 2000, pembentukan KOMNAS HAM dan KPN (kasus penculikan danpembunuhan ketua PDP) dan pembentukan Pansus melalui DPRD.

4. Ada upaya untuk membuat Peraturan Daerah batas-batas wilayah dan tanah adat, seperti keinginanpemerintah Merauke tetapi belum juga direalisasikan sampai saaat ini.

5. Ada kasus yang diproses hukum sampai persidangan di pengadilan Negeri, akan tetapi tidak memperolehpenyelesaian hukum yang adil dan benar. Kasus Betaf – Jayapura dan Kasus Wasior Manokwari, kasusWouma Wamena dan kasus penahanan Tokoh PDP memang sampai pada tingkat pengadilan akan tetapiterjadi perubahan dalam tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), baik dari pasal-pasal makar ke UUDarurat No. 12/1951, perubahan pada tuduhan peran/keterlibatan dan juga mengenai lokasi kejadian. Adayang ditangkap dan ditahan cukup lama kemudian ditangguhkan,ada yang sudah menjalani beberapa kalipemeriksaan tetapi kemudian prosesnya tidak dilanjutkan, termasuk pada perkara yang sudah didaftarkandan disidangkan di Pengadilan Jayapura setelah sebelumnya telah menjalani penahanan Kepolisian,Kejaksaan dan pengadilan sekitar seratus hari lebih tetapi kemudian kasusnya “terbengkalai”. Seharusnyaada pertanggungjawaban hukum terhadap semua pihak yang melakukan proses tersebut.eRehabilitasi danpemulihan nama baik bagi mereka yang mengalami “proses extrajudicial” yang telah dilakukan olehpemerintah dan para penegak hukum. Selain itu, proses hukum tidak ditujukan kepada semua pihak yangterilbat dalam kasus tersebut. Dengan kata lain, dari kasus tersebut yang diproses sampai ke pengadilanhanyalah rakyatnya saja. Lantas bagaimana dengan pelaku lainnya yang terlibat atau turut serta dan jugapada kasus-kasus yang lain ?

Institusi LainPeran ini banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, melalui proses pendampingan litigasi,pendampingan hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, serta upaya non litigasi. Termasukdengan melakukan investigasi, membentuk Tim Pencari Fakta dan juga bantuan kemanusiaan : membantuevakuasi korban dan lain-lain. Juga adanya pendampingan yang terus-menerus terhadap masyarakat yangsenantiasa merasa tidak aman hidupnya sebab selalu berada dalam kondisi penindasan dan intimidasi.

MasyarakatMasyarakat selalu berperan dengan menggunakan lembaga adat maupun komunitas-komunitas budayalainnya. Mulai dengan memberikan surat kepada pemerintah local, nasional maupun institusi–institusiinternasional, demonstrasi, membentuk forum Komunikasi bersama, melakukan pembangunan kembali pasarsecara swadaya dan juga dialog dengan masyarakat maupun pemerintah .

Peran dari pemerintah, institusi lain dan juga masyarakat sejauh ini masih kurang efektif karena tidak adanyasinergis dari ketiga komponen tersebut. Pemerintah masih dalam tahapan menerima dan merencanakan tindaklanjut atau melakukan aksi-aksi jangka pendek, selain proses hukum yang tidak tepat. Hasil-hasil temuan investigasiyang dilakukan oleh instutusi lain seperti LSM, Tim Pencari Fakta, KPN dan KPP HAM, masih sebatas hasildokumentasi yang belum bisa langsung siap dibawa ke proses peradilan, karena mengalami hambatan hukum yangcukup besar akibat intervensi kepentingan penguasa pada lembaga penegak hukum dan juga lemahnya aturanhukum yang ada.Catatan penting lainnya adalah, adanya perbedaan sikap pemerintah dalam menyelesaikan persoalan konflikkemanusiaan di Papua baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Khusus pendekatan yangdilakukan oleh pemerintah di daerah berbeda-beda. Nampak sekali bahwa tidak ada konsep dasar yang jelasmengenai para pihak, tujuan dan bentuk-bentuk kewenangan yang harus dilakukan dalam menyelesaikan konflikpelanggaran HAM. Di Jayapura dan Merauke masih nampak ada upaya dari pemerintah yang cukup “nampak“ jugadi Manokwari – walaupun tidak efektif – untuk meresponi persoalan yang ada, akan tetapi ada juga pemerintah yangberperan sangat kecil dalam menyelesaikan konflik yang terjadi seperti di Jayawijaya. Hal ini menimbulkan kesansangat terbatasnya peran pemerintah di mata masyarakat.

Page 58: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 58

BAB IVP E N U T U P

A. Kesimpulan1. Pelanggaran HAM dengan politik disebabkan pada 2 perbedaan pokok, yakni Papua di dalam wilayah NKRI

dan Papua di luar NKRI, merdeka, lepas dari NKRI.2. Motif politik nampak mencuat setelah era reformasi dan memberikan peluang yang sangat besar terhadap

bertambahnya pelaku pelanggaran HAM.3. Pelanggaran HAM dengan motif ekonomi disebabkan karena kekayaan sumber daya alam Papua yang tidak

saja dilakukan oleh pelaku usaha tetapi juga oleh oleh pihak-pihak diluar pelaku usaha seperti pemerintahdan TNI – POLRI.

4. Pelanggaran HAM dengan motif Sosbud terjadi akibat penguasaan sumber daya alam sekaligus nilai-nilaibudaya oleh kelompok luar (non local people) terutama yang dilakukan oleh pihak perusahaan sehingga rakyatmengalami disorientasi nilai dan disorientasi lokasi.

5. Penyelesaian persoalan di Papua dengan menggunakan pendekatan kekerasan tidak efektif bahkan justrumenimbulkan perlawanan-perlawanan baru karena tidak mendapatkan simpatik rakyat.

6. Tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas berdasarkan mekanisme hukum yang adli dan benar—terhadapsemua pihak -- terhadap semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 1995-2001.

7. Karena kondisi geografis dan demografis Papua yang sangat luas dan beragam maka peran media massasangat besar sekali untuk mempublikasi suatu kasus pelanggaran HAM terutama yang terjadi di daerah-daerah pedalaman / terpencil.

B. RekomendasiPerubahan policy, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun institusi TNI/POLRI, harus juga diikuti denganperubahan yang signifikan pada struktur dan perilaku. Karena kendati beberapa policy telah berubah sepertipenghapusan DOM, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus, maupun UU No.26/1999 tentang Peradilan HAM, akan tetapi jika pada tingkat implementasi tidak mencerminkan adanya perubahanseperti misalnya memperpendek jalur birokrasi demi mempermudah pelayanan, mengadili pelaku pelanggaranHAM, penarikan pasukan non organic, memperhatikan kehendak masyarakat dalam mengeluarkan perijinan HPH,pengakuan kembali hak-hak dasar masyarakat, pendelegasian wewenang dan lain-lain. Jika hal tersebut tidakdilakukan maka sesungguhnya yang terjadi adalah pemerintah termasuk TNI/POLRI hanya “bermetamorfosa” daribentuk bentuk lama ke dalam bentuk-bentuk yang lebih sempurna. Selain itu segenap komponen masyarakat :lembaga adat, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, LSM, Pers dan juga kekuatan sipil bersenjata termasukTPN/OPM harus terus menempuh cara-cara damai dalam menyelesaikan semua konflik yang ada di Papua.Sehingga dapat memperbaiki kenyataan (kesalahan) yang terjadi sekarang ini walaupun dikatakan sebagai erareformasi bagi seluruh komponen termasuk pemerintah dan TNI/POLRI, akan tetapi pelanggaran HAM yang terjadibaik secara kwantitatif, modus, pelaku dan korban justru meningkat jumlahnya. Karena itu hal-hal yang dapatdirekomendasikan adalah sebagai berikut :

Politik1. Mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu tersebut bahkan sebelum tahun

1995 dan setelah tahun 2001.Proses ini diawali dengan adanya upaya untuk melakukan inventarisasikasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM melalui peran serta masyarakat, LSMdan pihak pemerintah. Mendorong pembentukan dan peran institusi-institusi kenegaraan untuk melakukaninvestigasi, penyelidikan, penyidikan dan pengadilan HAM. Seperti mempercepat terbentuknya KomdaHAM , menyiapkan sarana dan prasarana agar terbentuknya Peradilan HAM serta menyelesaikanperbedaan pandangan mengenai Hak Asasi Manusia di dalam system hukum Indonesia (Perbedaanantara UU HAM dan UU Otonomi Khusus tentang pembentukan perwakilan dan Komisi Daerah : HAM ).Serta adanya pelimpahan kewenangan yang sinergis – bukan pelimpahan administrasi antara semuapenegak hukum.

2. Perlu diadakan rekonsiliasi antara semua komponen masyarakat guna mencari solusi yang konkrit, jelasdan bertanggungjawab. Rekonsiliasi ini harus diprakarsai oleh kelompok-kelompok yang teribat dalamkonflik. Seperti mendorong peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang benar-benar sesuai dengankebutuhan rakyat.

3. Kebijakan pemerintah mengenai fungsi pertahanan keamanan dari TNI/POLRI perlu ditinjau kembali.Terutama mengenai kebijakan pengirim dan penempatan pasukan non organic ke wilayah Papua.

4. Perlunya peningkatan partisipasi peran dari negara asing dalam membantu proses penegakan nilai-nilaikemanusiaan yang sifatnya universal : Hak Asasi Manusia di Indonesia. Seperti memberikan bantuantehnis terhadap terbentuknya Peradilan HAM, termasuk sikap terhadap perilaku penguasa (Indonesia)

Page 59: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 59

dalam menjalankan pemerintahannya, yakni secara khusus dimohon agar pemerintah USA tidak mencabutembargo senjata terhadap pemerintah Indonesia.

5. Penertiban aparat pemerintahan dan keamanan melalui monitoring dan pemberian sanksi yang tegasterutama kepada aparat Kepolisian yang berada di daerah-daerah pedalaman seperti Merauke :Kecamatan Atsy, Asgon dan Kimaam yang selalu bertindak sewenang-wenang terhadap aset dan aksesekonomi rakyat. Juga terhadap aparat pemerintahan yang selalu meninggalkan tugasnya seperti : guru,tenaga medis dan pegawai kecamatan.

6. Meningkatkan peran institusi pemerintah, LSM dan masyarakat dalam melakukan penguatan terhadapupaya untuk mencegah terjadinya Pelanggaran HAM melalui advokasi litigasi dan non litigasi termasukdengan pembentukan institusi local – model-model pertahanan masyarakat desa yang sesuai dengansystem demokrasi local seperti dibentuknya polisi adat untuk menjaga keamanan kampung .

7. Perbedaan politik yang menyebabkan kekerasan bersenjata baik yang dilakukan oleh TNI/POLRI,TPN/OPM hendaknya dihentikan dan kelompok-kelompok tersebut termasuk Satgas Papua hendaknyamenghindari segala bentuk intimidasi phisik maupun psikologis terhadap penduduk Papua maupun nonPapua yang sedang melaksanakan kehidupan normal sehari-hari karena itu perlu dilakukan upaya damaitanpa kekerasan baik yang dilakukan langsung antar pihak maupun dengan menggunakan bantuan pihakke tiga (mediasi).

8. Meninjau kembali sejumlah kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah baik untuk kepentinganjangka pendek seperti bagi-bagi uang ataupun seperti pemekaran wilayah agar semuanya mengacukepada kepentingan local people. Hendaknya penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pemerintahtidaklah semata-mata menggunakan pendekatan (politik) pembangunan tetapi juga pemerintah turut aktifmendorong penyelesaian perkara melalui proses hukum dengan memberikan ruang yang sehat terhadapproses hukum tersebut seperti mendorong tindak lanjut pekerjaan yang dilakukan oleh Tim Pencari Faktaatau bahkan KPP HAM sehingga mempercepat proses peradilan HAM.

Ekonomi1. Menghentikan dominasi kelompok tertentu terhadap sentra-sentra ekonomi rakyat dengan cara

memperhatikan siklusi akumulasi modal agar tidak terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu saja melaluipenghapusan monopoli hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan laut serta memberikan subsiditerhadap pedagang-pedagang tradisional yang mengalami keterbatasan modal melalui bantuan yang tidakmengikat. Serta mengarahkan prioritas pembangunan ekonomi dan bantuan/pinjaman luar negeri lebihkepada pelaku usaha kelas menengah ke bawah dan bukan kepada kapitalis/konglomerat .

2. Melakukan penguatan masyarakat terutama melalui masyarakat adat dalam hal pengelolaan sumber dayaalam yang dimiliki melalui penyediaan tenaga management pola usaha yang berbasis pada pasar-pasartardisional yang memasarkan produk-produk local dalam rangka mengurangi ketergantung masyarakatterhadap produk luar. Pengelolaan tanaman sagu, perikanan, hasil hutan melalui lembaga setempat

3. Memperketat/selektif dalam pemberian ijin investor/ perusahaan yang akan membuka usaha di Papuaseperti penetapan areal HPH, perkebunan dan pertambangan, perikanan dengan mengedepankan equitypartisipation rakyat.Caranya dengan melibatkan masyarakat sejak awal dalam setiap proses usaha yangberkaitan dengan hak ulayat mereka.

4. Mengontrol standar harga terutama kebutuhan pokok masyarakat pada daerah-daerahpedalaman/terpencil dengan melakukan subsidi pada sarana transportasi dan juga komunikasi.

5. Perlunya memperhatikan tingkat kesejahteraan TNI/POLRI melalui penyediaan sarana tempat tinggal yangmemadai termasuk subsidi untuk yang bertugas di daerah terpencil.

Sosial Budaya1. Perlunya pengetahuan dan pemahaman bagi semua orang terutama non local people terutama termasuk

para investor dan juga TNI/POLRI mengenai nilai-nilai budaya yang ada di tanah Papua agar munculpenghormatan dan penghargaan terhadap eksistensi kemanusiaan. Misalnya perlu melakukan kajian yangmendalam mengenai Analisa Sosial (Ansos) dan kajian antropologis terhadap suatu daerah yang akandijadikan tempat usaha/investasi tetapi juga daerah-daerah yang akan dilaksanakan programpembangunan maupun penempatan pasukan TNI-POLRI.

2. Memberikan penguatan pada masyarakat adat sesuai dengan system demokrasi local dengan jalanmenghidupkan kembali pranata-pranata adat yang mencerminkan kearifan tradisional dan menghindarimunculnya institusi buatan pihak luar yang dapat dipakai untuk menimbulkan konflik antara sesamamasyarakat adat. Seperti menghidupkan kembali penggunaan dusun, pengembalian batas-batas wilayahyang berdasarkan “pembagian“ administrasi pemerintahan kepada batas-batas wilayah berdasarkan adat.

3. Penanggulangan terhadap penyakit-penyakit social masyarakat seperti perjudian, praktek prostitusi, mafiakayu, miras dan lain-lain dengan jalan melakukan manegement usaha yang transparan dan menghidari

Page 60: Maping Konflik HAMpdf

Pendahuluan dan Gambaran Umum 60

monopoli , penertiban kependudukan desa serta penertiban aparat pemerintahan dan keamanan yangmemback –up praktek-praktek penyakit social tersebut.

4. Diberikannya perhatian yang lebih besar terhadap dunia pendidikan dan juga sarana dan prasaranakesehatan terutama pada daerah-daerah perbatasan dan pedalaman Jayawijaya bagian Timur, Kimaam,Asgon, Atsy di Merauke, Manokwari, Biak dan Jayapura. Hal ini dapat dilakukan dengan penambahantenaga guru dan medis, mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah, kehadiran guru dan paramedis termasuk juga perhatian terhadap tingkat kesejahteraan mereka (para guru dan tenaga medis).

5. Memaksimalkan peran media massa terutama di daerah pedalaman untuk membantu mempublikasikankasus-kasus yang terjadi melalui upaya membangunan kontak dan jaringan dengan lembaga setempat,masyarakat, LSM dan lain-lain atau menyediaakan tenaga-tenaga local dengan methode-methodesederhana yang dapat digunakan membantu memberikan laporan-laporan tentang kasus pelanggaranHAM.

Geografis – TeritorialAgar dihentikannya kekerasan bersenjata terutama pada daerah-daerah yang berbasis TNI/POLRI danTPN/OPM karena di daerah tersebut terdapat juga masyarakat sipil yang membutuhkan kehidupan sehari-hariyang normal dan damai. Akan tetapi jika kekerasan bersenjata tidak dapat dihentikan oleh kedua belah pihak,maka perlu melokalisir wilayah/daerah tertentu kontak senjata berdasarkan kesepakatan para pihak :TNI/POLRI dan TPN/OPM (berlaku hukum Humaniter). Hukum yang mengatur tata cara perang dan jugaperlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil agar rakyat yang tak berdosa tidak menjadi korban –pertama dan terbanyak– baik secara phisik maupun psikis. Kasus Wasior dan Mapnduma serta Pantai TimurBetaf adalah contoh nyata TPN/OPM.

Catatan akhir dari rekomendasi ini adalah : Perlunya keterbukaan dalam memberikan informasi yang akurat danjujur mengenai peristiwa pelanggaran HAM dari pihak pemerintah, DPRD terutama TNI/POLRI (hanya sebagiankecil yang bersikap informative seperti Polres Merauke). Semoga dapat menghindari kesan apatis, memberikan datayang tidak sesuai (data kriminal murni) bahkan intimidasi terhadap para pencari informasi mengenai peristiwapelanggaran HAM seperti yang terjadi pada peneliti kami pada saat mengumpulkan data di lapangan. Hendaknyakerjasama ini dipandang sebagai rangkaian usaha bersama segenap komponen dalam mengatasi dan mencegahterjadinya konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua.Demikian hasil ini disampaikan sebagai pertanggungjawaban penelitian yang telah kami lakukan pada 5 lokasi diPapua : Jayapura, Merauke, Biak, Manokwari dan Jayawijaya. Secara tertulis hasil ini akan kami sampaikan jugakepada pihak pemerintah sipil maupun militer di Propinsi Papua dari 5 lokasi penelitian.Semoga hasil penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mencegah terjadinya konflikpelanggaran HAM di tanah Papua guna mewujudkan terciptanya Papua sebagai Zona Damai untuk semua orangtanpa memandang suku, ras, agama maupun warna kulit.

Port Numbay, 8 Juni 2002

Aliansi Demokrasi Untuk Papua