Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

24
MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN BERBASIS AL-QUR’AN (Pembacaan Kisah Nabi Khidhr as dan Nabi Musa as Dalam Surat al-Kahfi Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Pesantren) Oleh : Heriyanto, S.Sy. A. Pendahuluan Diakui atau tidak, pendidikan dalam agama Islam sebenarnya sudah ada sejak Islam itu muncul. Doktrin-doktrin agama yang dikembangkan oleh Nabi sendiri pada dasarnya diarahkan untuk menciptakan generasi-generasi muslim yang berilmu dan berakhlaq mulia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya nash-nash syar’i – baik Al-Qur’an maupun Hadits – yang berbicara tentang pentingnya pendidikan. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an (Surat al-Zumar : 9); . Artinya: “….Katakanlah: "Adakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.Secara tidak langsung ayat tersebut telah melakukan persuasi terhadap manusia untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang berpengetahuan agar dapat menjadikan ilmu sebagai tolak ukur dalam 1

description

svsvsv

Transcript of Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

Page 1: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN BERBASIS AL-QUR’AN(Pembacaan Kisah Nabi Khidhr as dan Nabi Musa as Dalam Surat al-Kahfi

Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Pesantren)Oleh : Heriyanto, S.Sy.

A. Pendahuluan

Diakui atau tidak, pendidikan dalam agama Islam sebenarnya

sudah ada sejak Islam itu muncul. Doktrin-doktrin agama yang

dikembangkan oleh Nabi sendiri pada dasarnya diarahkan untuk

menciptakan generasi-generasi muslim yang berilmu dan berakhlaq mulia.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya nash-nash syar’i – baik Al-Qur’an

maupun Hadits – yang berbicara tentang pentingnya pendidikan. Sebagai

contoh, dalam Al-Qur’an (Surat al-Zumar : 9);

.…

Artinya: “….Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

Secara tidak langsung ayat tersebut telah melakukan persuasi

terhadap manusia untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang

berpengetahuan agar dapat menjadikan ilmu sebagai tolak ukur dalam

beramal. Doktrin yang demikian dalam faktanya telah memicu

perkembangan pendidikan Islam dari masa ke masa, di mana hal itu

ditandai dengan munculnya berbagai sistem pendidikan yang bervariatif.

Di Indonesia sendiri pendidikan pesantren merupakan salah satu sistem

pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang secara pesat.1

1 Secara historis, ada dua kemungkinan munculnya pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren adalah hasil dari islamisasi sistem pendidikan agama Hindu yang kemudian diterapkan dalam agama Islam. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam di Indonesia, lembaga pesantren sudah ada. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Kedua, pesantren berasal dari tradisi Islam sendiri, yakni thariqat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat sufi. Lihat: Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), Jilid IV, h. 100

1

Page 2: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

Pesantren sebagai salah satu instrumen pendidikan tentu

membutuhkan sistem yang dapat menunjang tercapainya target dan tujuan.

Sebagai lembaga pendidikan, agar tetap eksis, maka pesantren juga

membutuhkan sebuah upaya pengelolaan (managing) dan

pengorganisasian (organizing) yang ideal. Ini dilakukan agar proses

pendidikan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan

output yang maksimal. Dua upaya tersebut (managing-organizing) dalam

pendidikan sering disebut-sebut sebagai unsur sekaligus fungsi dari

manajemen pendidikan.2

Di sini, dapat dipahami bahwa manajemen pendidikan pesantren

merupakan hal yang sangat urgen dalam mekanisme pendidikan Islam

yang dibangun di lingkungan pesantren. Untuk itu perlu adanya

perumusan lebih lanjut terkait konsep manajemen pendidikan pesantren

yang ideal. Namun, sebagai langkah epistemik, menurut hemat penulis,

karena basisnya adalah pendidikan Islam, maka mau tidak mau proses

deduksinya harus berangkat dari Al-Qur’an. Dari latarbelakang

permasalahan tersebut, maka akan muncul pertanyaan bagaimana

sebenarnya manajemen pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an? Jawaban

dari pertanyaan ini nantinya diharapkan akan dapat diimplementasikan

dalam penyusunan konsep manajemen pendidikan pesantren yang ideal.

Fokus kajian ini akan diarahkan pada kisah Nabi Khidhr as dan

Nabi Musa as yang terdapat dalam rentetan beberapa ayat yang ada dalam

surat al-Kahfi, di mana ayat-ayat tersebut akan penulis kaji dengan

pendekatan semiotika strukturalis. Dalam pembacaan kisah, penulis

mencoba untuk membuat strukturisasinya agar dapat dianalisis secara

simbolik. Ini dilakukan untuk merunut kronologi dari narasi yang

ditampilkan oleh Allah Swt pada ayat-ayat tersebut. Menurut penulis,

pendekatan semiotik tersebut penting untuk diterapkan dalam kajian ini,

2 Musthofa Rahman, Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren dalam Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002), h. 109

2

Page 3: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

karena muatan kisah tersebut berbicara tentang proses pendidikan yang

diberikan Nabi Khidhr as kepada Nabi Musa as yang mana dilukiskan

dengan simbol-simbol kebahasaan. Oleh karena itu, penggunaan

pendekatan semiotik, agaknya relevan dalam tataran ini.

B. Manajemen Pendidikan

Secara etimologi kata manajemen berasal dari kata kerja memenej

(to manage), yang berarti suatu proses cara memimpin, berusaha dan

sebagainya), mengendalikan (rumah tinggal, lembaga) dengan maksud

untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan dengan cara menggunakan

sumber daya dengan tepat.3 Manajemen didefinisikan sebagai suatu proses

sosial, yang direncanakan untuk menjamin kerja sama, partisipasi,

intervensi, dan keterlibatan orang lain dalam mencapai sarana tertentu atau

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan efektif.

Dalam dunia pendidikan sendiri, para ilmuwan sudah banyak yang

memberikan definisi manajemen pendidikan yang berbeda-beda. Made

Pidarta – sebagaimana dikutip oleh Soebagio Atmodiwirio – mengatakan

bahwa manajemen pendidikan adalah suatu aktivitas memadukan sumber-

sumber pendidikan agar terpusat dalam mencapai tujuan pendidikan yang

telah ditetapkan sebelumnya.4

Definisi yang berbeda diutarakan Ricard H. Hastrop yang juga

dikutip oleh Soebagio Atmodiwirio, ia mengatakan bahwa manajemen

pendidikan adalah upaya seseorang untuk mengerahkan dan memberi

kesempatan kepada orang lain untuk melaksanakan pekerjaan secara

efektif, dan menerima pertanggungjawaban pribadi untuk mencapai

pengukuran hasil yang telah ditetapkan.5

Dalam prakteknya, manajemen pendidikan dipusatkan kepada

fungsi-fungsi manajemen dan hasil yang diukur. Fungsi-fungsi manajemen

3 Iwa Sukiswa, Dasar-dasar Umum Manajemen Pendidikan, (Bandung: Tarsito, 1986), h. 13

4 Soebagio Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: PT. Ardadizya Jaya, 2000), h. 22.

5 Ibid. h. 23

3

Page 4: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

bila dilihat dari sudut pandang ilmu sosial dimaksudkan dengan

karakteristik tertentu yang membedakan suatu tugas dengan tugas yang

lain sehingga fungsi suatu pekerjaan akan memberikan corak tersendiri

terhadap proses penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk

menyelesaikan tugas yang dimaksud.6

Fungsi-fungsi manajemen yang dimaksud adalah : Perencanaan

(Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pemimpinan (Leading), dan

Pengawasan (Controling) dan Penilaian (Evaluating).7 Oleh karena itu,

manajemen diartikan sebagai proses merencana, mengorganisasi,

memimpin, mengendalikan dan menilai upaya organisasi dengan segala

aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.

Sebagaimana telah penulis singgung, pendidikan merupakan proses

kumulatif dari komponen-komponen pendidikan yang terbentuk menjadi

satu kesatuan sistem. Diantara komponen-komponen pendidikan tersebut,

dituntut untuk selalu membina hubungan asosiatif agar proses pendidikan

dapat berjalan dengan tertib, lancar dan benar-benar terintegrasi dalam

suatu sistem kerja sama untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

C. Strukturisasi Kisah Nabi Khidhr as dan Nabi Musa as dalam Surat

al-Kahfi

1. Episode I : Awal (Latar Peristiwa) Kisah

Bukhari menceritakan bahwa pada suatu hari Nabi Musa as

berpidato dihadapan kaum bani Israel. Tidak dijelaskan apa tema dan

isi pidatonya, seusai menyampaikan khutbahnya, datanglah seorang

laki-laki bertanya; "siapakah diantara manusia ini yang paling

berilmu ?"Jawab Musa; “Aku”. Jawaban ini mengandung sifat takabur.

Lalu Musa ditegur oleh Allah Swt karena tidak merujuk jawaban

kepada Allah Swt, sebab hanya Allah yang Maha berilmu. Kemudian

Tuhan memberi wahyu kepada Musa; “bahwa ada orang yang lebih

6 Musthofa Rahman, Menggugat Manajemen..., h. 1057 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya,

2000), h. 1

4

Page 5: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

pandai dari dia, yaitu seorang laki-laki yang kini berada dikawasan

pertemuan dua laut”.8

Mendengar wahyu tersebut, tergeraklah hati Musa as untuk

menuntut ilmu dan mengabdi (khidmah) kepada orang yang disebut

oleh Allah tersebut, bahwa dia adalah seorang hamba-Nya yang lebih

pandai dari Nabi Musa as, yaitu Nabi Khidir as. Nabi Musa bertanya

kepada Allah : “Ya Rabbi bagaimanakah caranya agar saya dapat

menjumpai orang tersebut?”. Allah menjawab dengan firman-Nya

"bawalah seekor ikan dan taruhlah pada sebuah kantong sebagai

suatu benda. Bila ikan itu hilang, maka engkau akan menjumpainya

disana".

Setelah mendengar keterangan tersebut, Nabi Musa segera

menemui seorang pemuda untuk dijadikan teman dalam perjalanan

tersebut dan menyuruhnya agar menyediakan seekor ikan sebagaimana

telah diperintahkan oleh Allah kepadanya. Sebelum berangkat, Nabi

Musa berjanji bahwa ia tidak akan kembali pulang sebelum ia sampai

ke tempat yang dituju, meskipun harus berjalan bertahun-tahun.9

Pada episode awal ini, secara eksplisit Al-Qur’an

menggambarkan;

Artinya: “(60) Dan (ingatlah) ketika Musa berkata

kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan

8 Muhammad Ahmad Jad al-Maula, Qashashul Qur,an, (Mesir: Maktab Tijariyah Kubro, t.t.) h. 162

9 Ibid.

5

Page 6: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

sampai bertahun-tahun". (61) Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (62) Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". (63) Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". (64) Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”

2. Episode II : Dialog

Singkat cerita, setelah melalui pencarian yang begitu lama dan

melelahkan, akhirnya Nabi Musa as dapat bertemu dengan Nabi

Khidhr as, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an;

Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”

Untuk lebih mempermudah dalam menjelaskan alur kisah yang

terjadi antara Nabi Khidhr as dan Nabi Musa as dalam episode kedua

ini, maka penulis memetakannya dalam beberapa bagian berikut:

a. Permohonan untuk menjadi murid

Sebagaimana telah penulis jelaskan, pertemuan Nabi Musa

as dengan Nabi Khidhr as ini berawal dari teguran Allah Swt

karena kesalahan yang dilakukan Nabi Musa as (berlaku

sombong). Untuk menundukkan kesombongan Nabi Musa as,

Allah kemudian menunjukkan kepada Musa bahwa ada seseorang

yang jauh lebih pandai darinya. Sejauh ini dapat dimengerti bahwa

dorongan yang menyebabkan Nabi Musa as tergerak untuk benar-

benar bisa bertemu dengan orang yang telah ditunjukkan oleh

6

Page 7: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

Allah adalah berupa dorongan teologis, di mana pencarian Nabi

Musa as tersebut merupakan bentuk dari sebuah penebusan dosa.

Namun, di satu sisi, yang mendorong Nabi Musa as bisa saja

karena adanya gejolak intelektual seorang Nabi yang haus akan

ilmu pengetahuan.

Dari kedua dorongan tersebut, Nabi Musa as kemudian

menyatakan berkeinginan untuk menjadi murid dari sang Nabi

yang diceritakan Allah.

“(66) Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku

mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (67) Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. (68) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

Ayat itulah awal mula terjadinya dialog antara Nabi Musa

as dan Nabi Khidhr as. Dari dialog tersebut dapat disimpulkan

bahwa setelah Nabi Musa as mengutarakan maksudnya untuk

menjadi murid Nabi Khidhr as, tekad Nabi Musa as itu justru

dimentahkan dan diragukan oleh Nabi Khidhr as dengan asumsi

bahwa Nabi Musa as belum cukup kompeten untuk menjadi murid

Nabi Khidhr as.

b. Pernyataan kesiapan

Diragukan tekadnya, Nabi Musa as pun tidak menyerah

begitu saja. Dengan tegas ia kemudian menyatakan kesiapannya

akan menjadi murid yang ta’at dan sabar. Mendengar itu, Nabi

Khidhr as lalu mengajukan satu syarat yang harus dipenuhi oleh

7

Page 8: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

Nabi Musa as, yakni berkenaan dengan larangan bertanya sebelum

adanya penjelasan langsung dari Nabi Khidhr as.

“(69) Musa berkata: "Insya Allah kamu akan

mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (70) Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".”

c. Pembelajaran pertama

Setelah diijinkan menjadi murid Nabi Khidhr as, Nabi

Musa as kemudian mendapatkan pelajaran pertamanya.

“(71) Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala

keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (72) Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". (73) Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".”

d. Pembelajaran kedua

Setelah Nabi Musa as meminta maaf atas kekhilafannya,

Nabi Khidhr as lalu melanjutkan dengan memberikan pelajaran

keduanya.

8

Page 9: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

“(74) Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala

keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (75) Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (76) Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".”

e. Pembelajaran ketiga

Dalam dua kasus sebelumnya, Nabi Musa as telah gagal

menjalankan janjinya akan mematuhi dan menta’ati gurunya. Akan

tetapi hal ini tidak menyebabkan Nabi Khidhr as mengurungkan

niatnya untuk memberi pelajaran ketiganya.

“(76) Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu

tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (77) Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".

3. Episode III : Klimaks

Sebelumnya, Nabi Musa as merasa heran dan kagum melihat

perbuatan Nabi Khidir, maka ia berkata "Jika kamu mau, niscaya kamu

9

Page 10: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

mengambil upah untuk itu" sebagaimana terekam dalam surat al-Kahfi

ayat 77 di atas. Musa berkata seperti itu untuk memberikan dorongan

kepada Khidhr agar mengambil upah dari perbuatannya itu, untuk

dinafkahkan dalam membeli makanan dan minuman, tetapi Nabi

Khidhr as menolaknya dan menganggap perbuatan Musa ini melanggar

janjinya sendiri. Maka Khidhr menjatuhkan hukuman baginya.

Kemudian Nabi Khidhr berkata, sebagaimana tersebut dalam surat al-

Kahfi ayat 78;

"Inilah perpisahan antara aku dan kamu, aku akan memberitahukan kepadamu akibat dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

Sebelum perpisahan itu terjadi, Nabi Khidir menepati janjinya

untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi satu persatu,

sebagaimana terekam dalam surat al-Kahfi ayat 79-82;

“(79) Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-

orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (80) Dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (81) Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (82) Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua

10

Page 11: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."

D. Dari Teks ke Interpretasi Simbolik

Penafsiran-penafsiran yang ada terhadap ayat-ayat di atas hampir

kebanyakan fokus pada usaha mendeskripsikan narasi teks saja. Fakhru

Al-Razi semisal, dalam menafsirkan ayat 71-73 (pembelajaran pertama) ia

hanya mencoba mendeskripsikan narasi tersebut secara utuh untuk

kemudian dijadikan dasar pijakan berstatement bahwa setiap perkara di

dunia ini memiliki dimensi dlahir dan bathin, dan menurutnya hal yang

dilakukan Nabi Khidr As adalah merupakan analogi sederhana ketika

menghadapi ta’arudl al-dlararain (pertentangan antara dua bahaya) yang

mengharuskan Nabi Khidr As memilih mengambil bahaya yang paling

ringan.10

Senada dengan itu, Ibnu Katsir pun tidak banyak berkomentar

terkait cerita tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa kapal yang

ditenggelamkan oleh Nabi Khidr As tersebut masih baru dan bagus,

sementara raja pada saat itu sering melakukan perampasan kapal secara

paksa. Tindakan Nabi Khidr menenggelamkan kapal tersebut bertujuan

agar kapal tersebut tidak jatuh ke tangan raja sehingga masih bisa

dimanfaatkan oleh pemilik kapal, yang mana dalam ayat tersebut disebut

sebagai orang miskin yang tidak punya apa-apa lagi untuk dimanfaatkan

sebagai mata pencaharian selain kapal tersebut.11

Selain dari pandangan-pandangan para mufassir tersebut,

sebenarnya masih banyak lagi komentar-komentar menarik lainnya, akan

tetapi penafsiran yang ada lebih menekankan penggalian kesejarahan kisah 10 Fakhru Al-Razi, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 21, h. 16011 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Beirut: Dar Ibn. Hazm, 2000), Cet. I, h.

1168

11

Page 12: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

dan upaya penguakan hikmah dibalik penceritaan kisah tersebut.

Sementara di sini penulis mencoba menggunakan pendekatan semiotik

untuk mengurai aspek-aspek manajemen pendidikan yang ada didalamnya.

Dari hasil pembacaan penulis, paling tidak ayat-ayat tersebut akan

mengarahkan pada beberapa aspek-aspek penting tentang manajemen

pendidikan. Menyoal manajemen pendidikan, jika mengacu pada kisah

Nabi Musa as dan Nabi Khidhr tersebut, maka langkah pertama yang harus

ditempuh adalah dengan menekankan kompetensi guru terlebih dahulu

dalam proses pendidikan yang diadakan (sebagaimana disebutkan pertama

dalam Surat al-Kahfi ayat 65). Dalam ayat tersebut sekilas hanya

informasi yang diberikan Allah saja kepada Nabi Musa as, namun secara

simbolik sebenarnya ayat tersebut berbicara soal kompetensi ustadz.

Maksudnya, pertemuan Nabi Musa as dengan seorang hamba Allah yang

diberikan ilmu secara langsung dari Allah tersebut merupakan isyarat

secara tidak langsung tentang pentingnya kompetensi ustadz dalam

pendidikan pesantren.

Kemudian, ucapan Nabi Musa as yang berkeinginan untuk menjadi

murid Nabi Khidhr as (yang terekam dalam surat al-Kahfi ayat 66) sama

halnya bicara soal pendaftaran calon santri. Artinya dalam ayat tersebut,

konteks pendaftaran santri baru menjadi aspek yang kedua setelah

kompetensi ustadz dalam upaya membangun manajemen pendidikan

pesantren. Selanjutnya, anggapan Nabi Khidhr as yang meragukan

kesiapan Nabi Musa as (sebagaimana tercantum dalam surat al-Kahfi ayat

67-68), dapat dipahami sebagai upaya standarisasi yang dilakukan oleh

Nabi Khidhr as dalam menerima Nabi Musa as sebagai santri barunya.

Usaha Nabi Musa as yang mencoba meyakinkan Nabi Khidhr as

(yang ada dalam surat al-Kahfi ayat 69) mengisyaratkan pentingnya

pernyataan kesiapan calon santri sebelum benar-benar diterima dalam

sebuah pesantren. Sedangkan ayat setelahnya (ayat 70) paling tidak bisa

dipahami sebagai syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang santri

dalam menempuh proses pendidikannya. Adapun ayat 71-82 adalah

12

Page 13: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

menyoal tentang proses pembelajaran dalam pendidikan pesantren yang

dilakukan.

Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap aspek-aspek

manajemen pendidikan yang tertuang dalam kisah tersebut, penulis

menggambarkannya dalam skema berikut:

13

Kompetensi Ustadz

PendaftaranSantri Baru

StandarisasiSantri

KesiapanSantri &

Pemenuhan Syarat-Syarat

(Preparing)

Planning&

Organizing

سورةاية الكهف

71 - 82

Proses Pembelajaran

Controling & Evaluating

Page 14: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

Dari skema tersebut, penulis memandang dalam upaya

menyelenggarakan manajemen pendidikan pesantren, maka perlu adanya

penekanan terhadap aspek kompetensi ustadz terlebih dahulu. Setelah itu,

baru melakukan langkah selanjutnya dengan mempersiapkan mekanisme

pendaftaran santri baru yang baik. Mekanisme pendaftaran santri baru

yang ideal, jika mengacu pada skema di atas harus adanya standarisasi

santri, tentu saja hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Semisal

dengan mengadakan ujian kompetensi santri atau upaya-upaya lain yang

sejenis.

Jika hal itu sudah dilakukan, maka langkah berikutnya adalah

preparing (persiapan), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengharuskan

para calon santri untuk menyatakan kesiapannya secara tertulis dan

memberikan syarat-syarat tertentu agar proses pendidikan yang ditempuh

menjadi terarah. Dan langkah terakhir adalah dengan menentukan

mekanisme pembelajaran yang akan dilakukan.

Dalam ayat 71-82, penulis melihat adanya tiga proses

pembelajaran yang diajarkan oleh Al-Qur’an, yang mana ketiganya

memuat proses pengontrolan dan evaluasinya masing-masing. Dalam

tahap awal, proses kontrol dan evaluasi bisa dilakukan dengan

memberikan teguran dan peringatan, sebagaimana yang tersirat dalam

kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidhr as yang menaiki perahu dalam ayat

71-73.

Tahapan kontrol dan evaluasi selanjutnya, jika para santri ada yang

melakukan kesalahan maka dapat dilakukan dengan memberikan

peringatan dengan catatan adanya pernyataan dari santri yang melanggar.

Hal ini secara eksplisit dijelaskan dalam ayat 74-76, pada ayat tersebut

Nabi Musa as mengeluarkan pernyataan tidak akan mengulangi

kesalahannya untuk kedua kalinya. Jika dalam prakteknya ada santri yang

masih melanggar, maka solusi terakhir adalah dengan mengeluarkannya

dari pesantren. Ungkapan Nabi Khidhr as yang tersurat dalam ayat 78

esensinya mengajarkan untuk memberikan ketegasan kepada para santri

14

Page 15: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

yang sudah melampaui batas dalam pelanggaran dan kesalahan-

kesalahannya.

Dari penjelasan tersebut penulis melihat bahwa walaupun ayat-ayat

tersebut substansinya adalah sebuah proses naratif, namun hal itu tidak

menutup kemungkinan untuk di interpretasikan secara simbolik sebagai

proses manajemen pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga pendidikan

pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam perlu untuk

menerapkan dan mengembangkan mekanisme tersebut agar dapat sesuai

dengan ajaran-ajaran yang digariskan oleh Allah Swt.

E. Kesimpulan

Sampai di sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebenarnya

jauh sebelum kajian menajemen pendidikan secara makro digagas oleh

para pemikir pendidikan, Al-Qur’an sudah lebih dulu menggariskan

prinsip-prinsipnya yang tersirat dalam kisah Nabi Musa as dan Nabi

Khidhr as.

Dari kajian yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa

bicara soal manajemen pendidikan, maka paling tidak harus dilakukan atas

empat prinsip dasar, yakni planning, organizing, controling, dan

evaluating. Al-Qur’an dalam hal ini agaknya sepakat dengan keempat

dasar tersebut, yang mana dari pembacaan yang penulis lakukan terhadap

kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidhr as ditemukan adanya indikasi-

indikasi tentang pandangan Al-Qur’an terhadap mekanisme manajemen

pendidikan pesantren yang baik. Yakni dengan menggunakan planning-

organizing; kompetensi guru, pendaftaran santri baru, standarisasi santri,

preparing (kesiapan santri dan pemenuhan syarat-syarat). Juga dengan

melakukan proses controling dan evaluating yang harus dilakukan dalam

tiga tahapan sebagaimana telah dijelaskan.

15

Page 16: Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maula, Muhammad Ahmad Jad, Qashashul Qur,an, (Mesir: Maktab Tijariyah

Kubro, t.t.)

Al-Razi, Fakhru, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr,1981)

Atmodiwirio, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: PT.

Ardadizya Jaya, 2000)

Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,

1993)

Fattah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda

Karya, 2000)

Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Beirut: Dar Ibn. Hazm, 2000), Cet. I

Rahman, Musthofa, Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren dalam

Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Fak.

Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002)

Sukiswa, Iwa, Dasar-dasar Umum Manajemen Pendidikan, (Bandung: Tarsito,

1986)

16