Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An
description
Transcript of Manajemen Pendidikan Pesantren Berbasis Al-Qur'An
MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN BERBASIS AL-QUR’AN(Pembacaan Kisah Nabi Khidhr as dan Nabi Musa as Dalam Surat al-Kahfi
Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Pesantren)Oleh : Heriyanto, S.Sy.
A. Pendahuluan
Diakui atau tidak, pendidikan dalam agama Islam sebenarnya
sudah ada sejak Islam itu muncul. Doktrin-doktrin agama yang
dikembangkan oleh Nabi sendiri pada dasarnya diarahkan untuk
menciptakan generasi-generasi muslim yang berilmu dan berakhlaq mulia.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya nash-nash syar’i – baik Al-Qur’an
maupun Hadits – yang berbicara tentang pentingnya pendidikan. Sebagai
contoh, dalam Al-Qur’an (Surat al-Zumar : 9);
.…
Artinya: “….Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
Secara tidak langsung ayat tersebut telah melakukan persuasi
terhadap manusia untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang
berpengetahuan agar dapat menjadikan ilmu sebagai tolak ukur dalam
beramal. Doktrin yang demikian dalam faktanya telah memicu
perkembangan pendidikan Islam dari masa ke masa, di mana hal itu
ditandai dengan munculnya berbagai sistem pendidikan yang bervariatif.
Di Indonesia sendiri pendidikan pesantren merupakan salah satu sistem
pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang secara pesat.1
1 Secara historis, ada dua kemungkinan munculnya pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren adalah hasil dari islamisasi sistem pendidikan agama Hindu yang kemudian diterapkan dalam agama Islam. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam di Indonesia, lembaga pesantren sudah ada. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Kedua, pesantren berasal dari tradisi Islam sendiri, yakni thariqat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat sufi. Lihat: Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), Jilid IV, h. 100
1
Pesantren sebagai salah satu instrumen pendidikan tentu
membutuhkan sistem yang dapat menunjang tercapainya target dan tujuan.
Sebagai lembaga pendidikan, agar tetap eksis, maka pesantren juga
membutuhkan sebuah upaya pengelolaan (managing) dan
pengorganisasian (organizing) yang ideal. Ini dilakukan agar proses
pendidikan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan
output yang maksimal. Dua upaya tersebut (managing-organizing) dalam
pendidikan sering disebut-sebut sebagai unsur sekaligus fungsi dari
manajemen pendidikan.2
Di sini, dapat dipahami bahwa manajemen pendidikan pesantren
merupakan hal yang sangat urgen dalam mekanisme pendidikan Islam
yang dibangun di lingkungan pesantren. Untuk itu perlu adanya
perumusan lebih lanjut terkait konsep manajemen pendidikan pesantren
yang ideal. Namun, sebagai langkah epistemik, menurut hemat penulis,
karena basisnya adalah pendidikan Islam, maka mau tidak mau proses
deduksinya harus berangkat dari Al-Qur’an. Dari latarbelakang
permasalahan tersebut, maka akan muncul pertanyaan bagaimana
sebenarnya manajemen pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an? Jawaban
dari pertanyaan ini nantinya diharapkan akan dapat diimplementasikan
dalam penyusunan konsep manajemen pendidikan pesantren yang ideal.
Fokus kajian ini akan diarahkan pada kisah Nabi Khidhr as dan
Nabi Musa as yang terdapat dalam rentetan beberapa ayat yang ada dalam
surat al-Kahfi, di mana ayat-ayat tersebut akan penulis kaji dengan
pendekatan semiotika strukturalis. Dalam pembacaan kisah, penulis
mencoba untuk membuat strukturisasinya agar dapat dianalisis secara
simbolik. Ini dilakukan untuk merunut kronologi dari narasi yang
ditampilkan oleh Allah Swt pada ayat-ayat tersebut. Menurut penulis,
pendekatan semiotik tersebut penting untuk diterapkan dalam kajian ini,
2 Musthofa Rahman, Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren dalam Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002), h. 109
2
karena muatan kisah tersebut berbicara tentang proses pendidikan yang
diberikan Nabi Khidhr as kepada Nabi Musa as yang mana dilukiskan
dengan simbol-simbol kebahasaan. Oleh karena itu, penggunaan
pendekatan semiotik, agaknya relevan dalam tataran ini.
B. Manajemen Pendidikan
Secara etimologi kata manajemen berasal dari kata kerja memenej
(to manage), yang berarti suatu proses cara memimpin, berusaha dan
sebagainya), mengendalikan (rumah tinggal, lembaga) dengan maksud
untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan dengan cara menggunakan
sumber daya dengan tepat.3 Manajemen didefinisikan sebagai suatu proses
sosial, yang direncanakan untuk menjamin kerja sama, partisipasi,
intervensi, dan keterlibatan orang lain dalam mencapai sarana tertentu atau
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan efektif.
Dalam dunia pendidikan sendiri, para ilmuwan sudah banyak yang
memberikan definisi manajemen pendidikan yang berbeda-beda. Made
Pidarta – sebagaimana dikutip oleh Soebagio Atmodiwirio – mengatakan
bahwa manajemen pendidikan adalah suatu aktivitas memadukan sumber-
sumber pendidikan agar terpusat dalam mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan sebelumnya.4
Definisi yang berbeda diutarakan Ricard H. Hastrop yang juga
dikutip oleh Soebagio Atmodiwirio, ia mengatakan bahwa manajemen
pendidikan adalah upaya seseorang untuk mengerahkan dan memberi
kesempatan kepada orang lain untuk melaksanakan pekerjaan secara
efektif, dan menerima pertanggungjawaban pribadi untuk mencapai
pengukuran hasil yang telah ditetapkan.5
Dalam prakteknya, manajemen pendidikan dipusatkan kepada
fungsi-fungsi manajemen dan hasil yang diukur. Fungsi-fungsi manajemen
3 Iwa Sukiswa, Dasar-dasar Umum Manajemen Pendidikan, (Bandung: Tarsito, 1986), h. 13
4 Soebagio Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: PT. Ardadizya Jaya, 2000), h. 22.
5 Ibid. h. 23
3
bila dilihat dari sudut pandang ilmu sosial dimaksudkan dengan
karakteristik tertentu yang membedakan suatu tugas dengan tugas yang
lain sehingga fungsi suatu pekerjaan akan memberikan corak tersendiri
terhadap proses penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas yang dimaksud.6
Fungsi-fungsi manajemen yang dimaksud adalah : Perencanaan
(Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pemimpinan (Leading), dan
Pengawasan (Controling) dan Penilaian (Evaluating).7 Oleh karena itu,
manajemen diartikan sebagai proses merencana, mengorganisasi,
memimpin, mengendalikan dan menilai upaya organisasi dengan segala
aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
Sebagaimana telah penulis singgung, pendidikan merupakan proses
kumulatif dari komponen-komponen pendidikan yang terbentuk menjadi
satu kesatuan sistem. Diantara komponen-komponen pendidikan tersebut,
dituntut untuk selalu membina hubungan asosiatif agar proses pendidikan
dapat berjalan dengan tertib, lancar dan benar-benar terintegrasi dalam
suatu sistem kerja sama untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
C. Strukturisasi Kisah Nabi Khidhr as dan Nabi Musa as dalam Surat
al-Kahfi
1. Episode I : Awal (Latar Peristiwa) Kisah
Bukhari menceritakan bahwa pada suatu hari Nabi Musa as
berpidato dihadapan kaum bani Israel. Tidak dijelaskan apa tema dan
isi pidatonya, seusai menyampaikan khutbahnya, datanglah seorang
laki-laki bertanya; "siapakah diantara manusia ini yang paling
berilmu ?"Jawab Musa; “Aku”. Jawaban ini mengandung sifat takabur.
Lalu Musa ditegur oleh Allah Swt karena tidak merujuk jawaban
kepada Allah Swt, sebab hanya Allah yang Maha berilmu. Kemudian
Tuhan memberi wahyu kepada Musa; “bahwa ada orang yang lebih
6 Musthofa Rahman, Menggugat Manajemen..., h. 1057 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2000), h. 1
4
pandai dari dia, yaitu seorang laki-laki yang kini berada dikawasan
pertemuan dua laut”.8
Mendengar wahyu tersebut, tergeraklah hati Musa as untuk
menuntut ilmu dan mengabdi (khidmah) kepada orang yang disebut
oleh Allah tersebut, bahwa dia adalah seorang hamba-Nya yang lebih
pandai dari Nabi Musa as, yaitu Nabi Khidir as. Nabi Musa bertanya
kepada Allah : “Ya Rabbi bagaimanakah caranya agar saya dapat
menjumpai orang tersebut?”. Allah menjawab dengan firman-Nya
"bawalah seekor ikan dan taruhlah pada sebuah kantong sebagai
suatu benda. Bila ikan itu hilang, maka engkau akan menjumpainya
disana".
Setelah mendengar keterangan tersebut, Nabi Musa segera
menemui seorang pemuda untuk dijadikan teman dalam perjalanan
tersebut dan menyuruhnya agar menyediakan seekor ikan sebagaimana
telah diperintahkan oleh Allah kepadanya. Sebelum berangkat, Nabi
Musa berjanji bahwa ia tidak akan kembali pulang sebelum ia sampai
ke tempat yang dituju, meskipun harus berjalan bertahun-tahun.9
Pada episode awal ini, secara eksplisit Al-Qur’an
menggambarkan;
Artinya: “(60) Dan (ingatlah) ketika Musa berkata
kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan
8 Muhammad Ahmad Jad al-Maula, Qashashul Qur,an, (Mesir: Maktab Tijariyah Kubro, t.t.) h. 162
9 Ibid.
5
sampai bertahun-tahun". (61) Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (62) Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". (63) Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". (64) Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”
2. Episode II : Dialog
Singkat cerita, setelah melalui pencarian yang begitu lama dan
melelahkan, akhirnya Nabi Musa as dapat bertemu dengan Nabi
Khidhr as, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an;
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Untuk lebih mempermudah dalam menjelaskan alur kisah yang
terjadi antara Nabi Khidhr as dan Nabi Musa as dalam episode kedua
ini, maka penulis memetakannya dalam beberapa bagian berikut:
a. Permohonan untuk menjadi murid
Sebagaimana telah penulis jelaskan, pertemuan Nabi Musa
as dengan Nabi Khidhr as ini berawal dari teguran Allah Swt
karena kesalahan yang dilakukan Nabi Musa as (berlaku
sombong). Untuk menundukkan kesombongan Nabi Musa as,
Allah kemudian menunjukkan kepada Musa bahwa ada seseorang
yang jauh lebih pandai darinya. Sejauh ini dapat dimengerti bahwa
dorongan yang menyebabkan Nabi Musa as tergerak untuk benar-
benar bisa bertemu dengan orang yang telah ditunjukkan oleh
6
Allah adalah berupa dorongan teologis, di mana pencarian Nabi
Musa as tersebut merupakan bentuk dari sebuah penebusan dosa.
Namun, di satu sisi, yang mendorong Nabi Musa as bisa saja
karena adanya gejolak intelektual seorang Nabi yang haus akan
ilmu pengetahuan.
Dari kedua dorongan tersebut, Nabi Musa as kemudian
menyatakan berkeinginan untuk menjadi murid dari sang Nabi
yang diceritakan Allah.
“(66) Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (67) Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. (68) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
Ayat itulah awal mula terjadinya dialog antara Nabi Musa
as dan Nabi Khidhr as. Dari dialog tersebut dapat disimpulkan
bahwa setelah Nabi Musa as mengutarakan maksudnya untuk
menjadi murid Nabi Khidhr as, tekad Nabi Musa as itu justru
dimentahkan dan diragukan oleh Nabi Khidhr as dengan asumsi
bahwa Nabi Musa as belum cukup kompeten untuk menjadi murid
Nabi Khidhr as.
b. Pernyataan kesiapan
Diragukan tekadnya, Nabi Musa as pun tidak menyerah
begitu saja. Dengan tegas ia kemudian menyatakan kesiapannya
akan menjadi murid yang ta’at dan sabar. Mendengar itu, Nabi
Khidhr as lalu mengajukan satu syarat yang harus dipenuhi oleh
7
Nabi Musa as, yakni berkenaan dengan larangan bertanya sebelum
adanya penjelasan langsung dari Nabi Khidhr as.
“(69) Musa berkata: "Insya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (70) Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".”
c. Pembelajaran pertama
Setelah diijinkan menjadi murid Nabi Khidhr as, Nabi
Musa as kemudian mendapatkan pelajaran pertamanya.
“(71) Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala
keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (72) Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". (73) Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".”
d. Pembelajaran kedua
Setelah Nabi Musa as meminta maaf atas kekhilafannya,
Nabi Khidhr as lalu melanjutkan dengan memberikan pelajaran
keduanya.
8
“(74) Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala
keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (75) Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (76) Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".”
e. Pembelajaran ketiga
Dalam dua kasus sebelumnya, Nabi Musa as telah gagal
menjalankan janjinya akan mematuhi dan menta’ati gurunya. Akan
tetapi hal ini tidak menyebabkan Nabi Khidhr as mengurungkan
niatnya untuk memberi pelajaran ketiganya.
“(76) Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu
tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (77) Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
3. Episode III : Klimaks
Sebelumnya, Nabi Musa as merasa heran dan kagum melihat
perbuatan Nabi Khidir, maka ia berkata "Jika kamu mau, niscaya kamu
9
mengambil upah untuk itu" sebagaimana terekam dalam surat al-Kahfi
ayat 77 di atas. Musa berkata seperti itu untuk memberikan dorongan
kepada Khidhr agar mengambil upah dari perbuatannya itu, untuk
dinafkahkan dalam membeli makanan dan minuman, tetapi Nabi
Khidhr as menolaknya dan menganggap perbuatan Musa ini melanggar
janjinya sendiri. Maka Khidhr menjatuhkan hukuman baginya.
Kemudian Nabi Khidhr berkata, sebagaimana tersebut dalam surat al-
Kahfi ayat 78;
"Inilah perpisahan antara aku dan kamu, aku akan memberitahukan kepadamu akibat dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
Sebelum perpisahan itu terjadi, Nabi Khidir menepati janjinya
untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi satu persatu,
sebagaimana terekam dalam surat al-Kahfi ayat 79-82;
“(79) Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-
orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (80) Dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (81) Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (82) Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua
10
orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."
D. Dari Teks ke Interpretasi Simbolik
Penafsiran-penafsiran yang ada terhadap ayat-ayat di atas hampir
kebanyakan fokus pada usaha mendeskripsikan narasi teks saja. Fakhru
Al-Razi semisal, dalam menafsirkan ayat 71-73 (pembelajaran pertama) ia
hanya mencoba mendeskripsikan narasi tersebut secara utuh untuk
kemudian dijadikan dasar pijakan berstatement bahwa setiap perkara di
dunia ini memiliki dimensi dlahir dan bathin, dan menurutnya hal yang
dilakukan Nabi Khidr As adalah merupakan analogi sederhana ketika
menghadapi ta’arudl al-dlararain (pertentangan antara dua bahaya) yang
mengharuskan Nabi Khidr As memilih mengambil bahaya yang paling
ringan.10
Senada dengan itu, Ibnu Katsir pun tidak banyak berkomentar
terkait cerita tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa kapal yang
ditenggelamkan oleh Nabi Khidr As tersebut masih baru dan bagus,
sementara raja pada saat itu sering melakukan perampasan kapal secara
paksa. Tindakan Nabi Khidr menenggelamkan kapal tersebut bertujuan
agar kapal tersebut tidak jatuh ke tangan raja sehingga masih bisa
dimanfaatkan oleh pemilik kapal, yang mana dalam ayat tersebut disebut
sebagai orang miskin yang tidak punya apa-apa lagi untuk dimanfaatkan
sebagai mata pencaharian selain kapal tersebut.11
Selain dari pandangan-pandangan para mufassir tersebut,
sebenarnya masih banyak lagi komentar-komentar menarik lainnya, akan
tetapi penafsiran yang ada lebih menekankan penggalian kesejarahan kisah 10 Fakhru Al-Razi, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 21, h. 16011 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Beirut: Dar Ibn. Hazm, 2000), Cet. I, h.
1168
11
dan upaya penguakan hikmah dibalik penceritaan kisah tersebut.
Sementara di sini penulis mencoba menggunakan pendekatan semiotik
untuk mengurai aspek-aspek manajemen pendidikan yang ada didalamnya.
Dari hasil pembacaan penulis, paling tidak ayat-ayat tersebut akan
mengarahkan pada beberapa aspek-aspek penting tentang manajemen
pendidikan. Menyoal manajemen pendidikan, jika mengacu pada kisah
Nabi Musa as dan Nabi Khidhr tersebut, maka langkah pertama yang harus
ditempuh adalah dengan menekankan kompetensi guru terlebih dahulu
dalam proses pendidikan yang diadakan (sebagaimana disebutkan pertama
dalam Surat al-Kahfi ayat 65). Dalam ayat tersebut sekilas hanya
informasi yang diberikan Allah saja kepada Nabi Musa as, namun secara
simbolik sebenarnya ayat tersebut berbicara soal kompetensi ustadz.
Maksudnya, pertemuan Nabi Musa as dengan seorang hamba Allah yang
diberikan ilmu secara langsung dari Allah tersebut merupakan isyarat
secara tidak langsung tentang pentingnya kompetensi ustadz dalam
pendidikan pesantren.
Kemudian, ucapan Nabi Musa as yang berkeinginan untuk menjadi
murid Nabi Khidhr as (yang terekam dalam surat al-Kahfi ayat 66) sama
halnya bicara soal pendaftaran calon santri. Artinya dalam ayat tersebut,
konteks pendaftaran santri baru menjadi aspek yang kedua setelah
kompetensi ustadz dalam upaya membangun manajemen pendidikan
pesantren. Selanjutnya, anggapan Nabi Khidhr as yang meragukan
kesiapan Nabi Musa as (sebagaimana tercantum dalam surat al-Kahfi ayat
67-68), dapat dipahami sebagai upaya standarisasi yang dilakukan oleh
Nabi Khidhr as dalam menerima Nabi Musa as sebagai santri barunya.
Usaha Nabi Musa as yang mencoba meyakinkan Nabi Khidhr as
(yang ada dalam surat al-Kahfi ayat 69) mengisyaratkan pentingnya
pernyataan kesiapan calon santri sebelum benar-benar diterima dalam
sebuah pesantren. Sedangkan ayat setelahnya (ayat 70) paling tidak bisa
dipahami sebagai syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang santri
dalam menempuh proses pendidikannya. Adapun ayat 71-82 adalah
12
menyoal tentang proses pembelajaran dalam pendidikan pesantren yang
dilakukan.
Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap aspek-aspek
manajemen pendidikan yang tertuang dalam kisah tersebut, penulis
menggambarkannya dalam skema berikut:
13
Kompetensi Ustadz
PendaftaranSantri Baru
StandarisasiSantri
KesiapanSantri &
Pemenuhan Syarat-Syarat
(Preparing)
Planning&
Organizing
سورةاية الكهف
71 - 82
Proses Pembelajaran
Controling & Evaluating
Dari skema tersebut, penulis memandang dalam upaya
menyelenggarakan manajemen pendidikan pesantren, maka perlu adanya
penekanan terhadap aspek kompetensi ustadz terlebih dahulu. Setelah itu,
baru melakukan langkah selanjutnya dengan mempersiapkan mekanisme
pendaftaran santri baru yang baik. Mekanisme pendaftaran santri baru
yang ideal, jika mengacu pada skema di atas harus adanya standarisasi
santri, tentu saja hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Semisal
dengan mengadakan ujian kompetensi santri atau upaya-upaya lain yang
sejenis.
Jika hal itu sudah dilakukan, maka langkah berikutnya adalah
preparing (persiapan), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengharuskan
para calon santri untuk menyatakan kesiapannya secara tertulis dan
memberikan syarat-syarat tertentu agar proses pendidikan yang ditempuh
menjadi terarah. Dan langkah terakhir adalah dengan menentukan
mekanisme pembelajaran yang akan dilakukan.
Dalam ayat 71-82, penulis melihat adanya tiga proses
pembelajaran yang diajarkan oleh Al-Qur’an, yang mana ketiganya
memuat proses pengontrolan dan evaluasinya masing-masing. Dalam
tahap awal, proses kontrol dan evaluasi bisa dilakukan dengan
memberikan teguran dan peringatan, sebagaimana yang tersirat dalam
kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidhr as yang menaiki perahu dalam ayat
71-73.
Tahapan kontrol dan evaluasi selanjutnya, jika para santri ada yang
melakukan kesalahan maka dapat dilakukan dengan memberikan
peringatan dengan catatan adanya pernyataan dari santri yang melanggar.
Hal ini secara eksplisit dijelaskan dalam ayat 74-76, pada ayat tersebut
Nabi Musa as mengeluarkan pernyataan tidak akan mengulangi
kesalahannya untuk kedua kalinya. Jika dalam prakteknya ada santri yang
masih melanggar, maka solusi terakhir adalah dengan mengeluarkannya
dari pesantren. Ungkapan Nabi Khidhr as yang tersurat dalam ayat 78
esensinya mengajarkan untuk memberikan ketegasan kepada para santri
14
yang sudah melampaui batas dalam pelanggaran dan kesalahan-
kesalahannya.
Dari penjelasan tersebut penulis melihat bahwa walaupun ayat-ayat
tersebut substansinya adalah sebuah proses naratif, namun hal itu tidak
menutup kemungkinan untuk di interpretasikan secara simbolik sebagai
proses manajemen pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga pendidikan
pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam perlu untuk
menerapkan dan mengembangkan mekanisme tersebut agar dapat sesuai
dengan ajaran-ajaran yang digariskan oleh Allah Swt.
E. Kesimpulan
Sampai di sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebenarnya
jauh sebelum kajian menajemen pendidikan secara makro digagas oleh
para pemikir pendidikan, Al-Qur’an sudah lebih dulu menggariskan
prinsip-prinsipnya yang tersirat dalam kisah Nabi Musa as dan Nabi
Khidhr as.
Dari kajian yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa
bicara soal manajemen pendidikan, maka paling tidak harus dilakukan atas
empat prinsip dasar, yakni planning, organizing, controling, dan
evaluating. Al-Qur’an dalam hal ini agaknya sepakat dengan keempat
dasar tersebut, yang mana dari pembacaan yang penulis lakukan terhadap
kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidhr as ditemukan adanya indikasi-
indikasi tentang pandangan Al-Qur’an terhadap mekanisme manajemen
pendidikan pesantren yang baik. Yakni dengan menggunakan planning-
organizing; kompetensi guru, pendaftaran santri baru, standarisasi santri,
preparing (kesiapan santri dan pemenuhan syarat-syarat). Juga dengan
melakukan proses controling dan evaluating yang harus dilakukan dalam
tiga tahapan sebagaimana telah dijelaskan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maula, Muhammad Ahmad Jad, Qashashul Qur,an, (Mesir: Maktab Tijariyah
Kubro, t.t.)
Al-Razi, Fakhru, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr,1981)
Atmodiwirio, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: PT.
Ardadizya Jaya, 2000)
Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1993)
Fattah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2000)
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Beirut: Dar Ibn. Hazm, 2000), Cet. I
Rahman, Musthofa, Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren dalam
Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Fak.
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002)
Sukiswa, Iwa, Dasar-dasar Umum Manajemen Pendidikan, (Bandung: Tarsito,
1986)
16