(4.382) Pengaruh Teknik Relaksasi Bernafas Terhadap Respon Adaptasi Nyeri Pada Pasien Inartu Kala
Manajemen Nyeri Pada Pasien Spondylitis Tb
-
Upload
rafly-suwandhi-wahid -
Category
Documents
-
view
130 -
download
4
description
Transcript of Manajemen Nyeri Pada Pasien Spondylitis Tb
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.Fm
RM : 309938
Tgl Lahir/Umur : 18 April 1967/ 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat/Tlp : Jl.Macini Gusung 23
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Tgl Masuk RS : 14 Desember 2012 jam 19.00 WITA
B. ANAMNESIS
Bagian Neurologi:
Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri punggung yang dialami sejak
kurang lebih 8 bulan yang lalu, memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri
terlokalisasi di bagian tengah punggung, rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan
memberat bila beraktifitas, bergerak atau membungkuk. Membaik bila dalam
posisi statis ( terlentang atau miring ). Riwayat demam dan keringat pada malam
hari tidak dikeluhkan pasien, pasien mengeluh batuk-batuk lama lebih dari 2 bulan
dengan lendir berwarna hijau, Pasien juga terkadang mengeluhkan sesak nafas
apabila batuk. Riwayat penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir kurang
lebih 7 kg dan pasien juga mengeluhkan nafsu makannya menurun. Riwayat BAK
dan BAB normal. Riwayat berobat di puskesmas 2 bulan yang lalu dan diberi obat
parasetamol. Riwayat berobat kepada dokter spesialis rehabilitasi medik dan
dilakukan fisiotrapi selama kurang lebih 1 bulan. Riwayat berobat TB paru
disangkal. Riwayat hipertensi, diabetes melitus juga disangkal. Riwayat trauma
atau terjatuh dalam posisi duduk disangkal, riwayat sering angkat beban berat
disangkal.
1
C. PEMERIKSAAN FISIS NEUROLOGI :
a. GCS: E4M6V5
b. Fungsi kortikal luhur : dalam batas normal
c. Rangsang Menings : Kaku kuduk (-), Kernig sign : (-/-)
d. Nn. Cranialis : Pupil bulat, isokor, 3 mm / 3 mm, Refleks cahaya langsung
+/+, Refleks cahaya tidak langsung +/+, Nn. Cranialis lain dalam batas
normal.
e. Motorik: P N N K 5 5 T N N
N N 5 5 N N
Rf N N Rp - -
N N - -
f. Pemeriksaan columna vertebralis/badan: gibbus (-), pergerakan terbatas,
nyeri tekan Th VI-VII (+) dan nyeri ketok (+).
g. Sensorik dalam batas normal
h. SSO : buang air kecil dan buang air besar normal
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (17/12/2012)
HEMATOLOGI
HASIL NILAI
RUJUKAN
UNIT
WBC 5.27 4.00 – 10.0 [103/uL]
RBC 4.59 4.00 – 6.00 [106/uL]
HGB 12.3 12.0 – 16.0 [g/dL]
HCT 37.5 37.0 – 48.0 [%]
PLT 270 150 – 400 [103/uL]
2
Ureum 16 10-50 Mg/dl
Kreatinin 0,5 <1,3 Mg/dl
SGOT 16 <41 u/L
SGPT 8 <38 u/L
GDS 111 140 Mg/dl
PT 10,6 control 11,6 10-14 Detik
APTT 22 control 24,3 22-30 Detik
CT 8’00” 4-10 Menit
BT 3’00” 1-7 Menit
2. Hasil Foto Thoraks PA (05/12/2012) : aspek bronchitis
3. Hasil CT Scan Thoraks (06/12/2012): TB paru lama aktif dextra, suspek
spondilitis TBC dengan paravertebra abses pada level Th 7-8.
4. Hasil MRI T-Spine dengan kontras (20/12/2012): Destruksi CV T7 dan T8
disertai massa paravertebra yang menyebabkan stenosis totalis canalis spinalis
pada level tersebut sesuai gambaran spondylitis.
E. DIAGNOSIS
Spondilitis TB + KP dextra aktif
Pasien di konsul oleh bagian neurologi ke poli nyeri RSWS untuk evaluasi,
pemeriksaan serta rawat sama pada tanggal 19 Desember 2012 jam 08.30.
3
Jawaban Konsul dari bagian Anestesi:
Dari hasil pemeriksaan dan evaluasi yang dilakukan atas pasien Ny. Fm/ wanita /
45 tahun dengan D/ Low Back Pain ec. Spondilitis TB + KP dextra aktif
didapatkan :
Anamnesis:
Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri punggung yang dialami sejak
kurang lebih 8 bulan yang lalu, memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri
terlokalisasi di bagian tengah punggung, rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan
memberat bila beraktifitas, bergerak atau membungkuk. Membaik bila dalam
kondisi istirahat. Saat ini pasien demam (-), batuk (-), sesak (-). Riwayat batuk
lama (+), Riwayat penurunan berat badan (+), Riwayat berobat di Rumah Sakit(+)
dan dilakukan fisioterapi selama 1 bulan. Riwayat OAT (3 hari), Riwayat
Hipertensi (-), Riwayat Diabetes melitus (-).
Pemeriksaan Fisis :
- Keadaan umum : sakit sedang/ gizi kurang /composmentis
- BB: 42 kg TB: 161 cm BMI: 16,40 kg/m2
- Tanda vital : Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu tubuh : 36,70C
VAS : 2/10
- Kepala : normosefal
Mata : anemis -/-, ikterus -/-
rambut : hitam, sulit dicabut
- Leher : KGB : tidak ada pembesaran
- Paru
Inspeksi : simetris kiri = kanan
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri=kanan
4
Auskultasi : bunyi pernapasan : vesikular
Bunyi tambahan : Rh - / - Wh -/-
- Jantung
Inspeksi : IC tidak nampak
Palpasi : IC tidak teraba
Perkusi : pekak (+)
auskultasi : BJ I / II murni, regular
- Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : MT (-) NT (-), hepar / limpa tidak teraba
Perkusi : timpani (+)
- Columna vertebralis
Inspeksi : Gibbus (-)
Auskultasi : terbatas
Palpasi : nyeri tekan Th VI - VII
Perkusi : nyeri ketuk (+)
- Ekstremitas : edema - / -
Kesimpulan: Pasien dengan moderate pain ec spondilitis TB
F. ASSESMENT & PLAN
Pasien ini mengeluh nyeri punggung yang dialami sejak kurang lebih 8
bulan yang lalu, memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri terlokalisasi di bagian
tengah punggung, rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan memberat bila beraktifitas,
bergerak atau membungkuk. Membaik bila dalam posisi statis ( terlentang atau
miring ). Dari Visual analog scale (VAS) didapati skala nyeri yang dirasakan
pasien bernilai 4/10, maka diberikan terapi :
5
R/ Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Follow up Bagian Anestesi
Tanggal Perjalanan penyakit Instruksi dokter
19/12/2012 KU : Baik
TD : 110/70 mmHg
N : 112 x/m
P : 20 x/m
S : 36,10C
VAS 4/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
MST continus 10 mg 2x1
20/12/2012 KU : Baik
TD : 120/70 mmHg
N : 72 x/m
P : 20 x/m
S : 36,60C
VAS 4/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
MST continus 10 mg 2x1
21/12/2012 KU : Baik
TD : 120/60 mmHg
N : 76x/m
P : 18 x/m
S : 36,60C
VAS 4/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
MST continus 10 mg 2x1
22/12/2012 KU : Baik
Keluhan : Nyeri kepala (+)
TD : 130/80 mmHg
N : 88x/m
P : 16 x/m
S : 36,70C
VAS 4/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
MST continus 10 mg 2x1
23/12/2012 KU : Baik
TD : 120/80 mmHg
N : 80 x/m
P : 20 x/m
S : 36,50C
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
6
VAS 3/10
24/12/2012 KU : Baik
TD : 130/80 mmHg
N : 100 x/m
P : 18 x/m
S : 370C
VAS 3/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
25/12/2012 KU : Baik
TD : 130/80 mmHg
N : 100 x/m
P : 18 x/m
S : 370C
VAS 2/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
26/12/2012 KU : Baik
TD : 130/80 mmHg
N : 100 x/m
P : 18 x/m
S : 370C
VAS 2/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
27/12/2012 KU : Baik
TD : 130/80 mmHg
N : 100 x/m
P : 18 x/m
S : 370C
VAS 1/10
R/
Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv
Duragesic patch 25 mcg
7
Resume:
Seorang pasien wanita umur 45 tahun dikonsul dari bagian neurologi dengan
keluhan utama nyeri punggung yang dialami sejak kurang lebih 8 bulan yang lalu,
memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri terlokalisasi di bagian tengah punggung,
rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan memberat bila beraktifitas, bergerak atau
membungkuk. Membaik bila dalam posisi statis ( terlentang atau miring ). Saat ini
pasien demam (-), batuk (-), sesak (-). Riwayat batuk lama (+), Riwayat
penurunan berat badan (+), Riwayat berobat di Rumah Sakit(+) dan dilakukan
fisioterapi selama 1 bulan. Riwayat OAT (3 hari), Riwayat Hipertensi (-), Riwayat
Diabetes melitus (-).Dari pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi
kurang , composmentis. Pemeriksaan fisis pada kepala, leher, paru, dan jantung
abdomen dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan. Namun pada pemeriksaan
columna vertebralis melalui inspeksi didapatkan gibbus (-), pergerakan terbatas
(+), palpasi nyeri tekan (+) pada V.Thorakal VI-VII , pada perkusi nyeri ketuk
(+). Hasil laboratorium menunjukkan nilai dalam batas normal. Pemeriksaan
penunjang berupa foto polos thoraks posteroanterior menunjukkan aspek
bronkhitis, CT scan thoraks tanpa kontras menunjukkan TB paru lama aktif
dextra, suspek spondilitis TBC dengan paravertebra abses pada level Th 7-8.
Sedangkan melalui MRI T- Spine dengan kontras memberi hasil destruksi CV T7
dan T8 disertai massa paravertebra yang menyebabkan stenosis totalis canalis
spinalis pada level tersebut sesuai gambaran spondylitis.
8
DISKUSI
A. PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan global, TB menjadi
penyebab sakit jutaan manusia dan menempati posisi kedua setelah human
immuno deficiency virus (HIV) sebagai penyebab kematian terbanyak akibat
penyakit infeksi di seluruh dunia. Pada tahun 2011 diperkirakan ada 9 juta kasus
baru dan 1,4 juta orang yang meninggal akibat TB. Indonesia menduduki
peringkat ketiga di dunia setelah Cina dan India dalam jumlah kasus TB.
Prevalensi TB di Indonesia dan negara negara berkembang lainnya cukup tinggi.
Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah lebih dari 600.000 orang dan
sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55
tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari
dan terjadi lebih dari 100.000 kematian per tahun. Hal tersebut merupakan
tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. 1,2
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan
penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang
sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis
dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan
Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi
imigran,tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV
(Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980). Selain itu dari
penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan
terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini.2
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai
dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian
9
besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini
mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi
tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong. 2
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat
terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight
bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering
terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut,tulang
belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang
(kurang lebih 50% kasus) (Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang
panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan
tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. 2
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan
penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatic. Insidensi
paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-
anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa
pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang
ditemukan keadaan ini. 2
Ketika tuberkulosa telah melibatkan tulang belakang akan terjadi kifosis
dari daerah yang terinfeksi, keadaan ini dapat menimbulkan nyeri yang hebat dan
komplikasi neurologis.(Fang 1983, Chaloupka 2000, dan Nas,2003). Umumnya
penderita spondilitis tuberkulosa datang dengan keluhan nyeri, pertuiset
melaporkan penelitiannya pada 58 penderita spondilitis TB datang dengan
keluhan nyeri spinal atau radikular 97 %, kelainan defisit neurologi 50 %,
penurunan berat badan 48 %, demam lebih dari 38 derajat celcius sebanyak 31 %
dan keringat malam 18 %. (Pertuiset,1999). 3
10
B. DEFINISI DAN KLASIFIKASI NYERI
IASP (International Association for The Study of Pain) mendefinisikan
nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Definisi ini menunjukkan
terjadinya nyeri tidak lepas dari unsur subjektivitas, emosi, dan psikologis,
sehingga respon setiap orang terhadap nyeri sangat bervariasi.
Nyeri berdasarkan patofisiologinya diklasifikasikan menjadi nyeri nosiseptif
dan nyeri neuropati, dan berdasarkan perlangsungannya diklasifikasikan atas nyeri
akut dan nyeri kronik. Ada pula yang membagi nyeri berdasarkan etiologinya
seperti nyeri post operasi dan nyeri kanker. Klasifikasi ini dibuat untuk
memudahkan klinisi dalam menentukan modalitas terapi yang akan digunakan.3
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang terjadi akibat aktivasi nosiseptor perifer,
khususnya reseptor yang berperan dalam transduksi stimulus noxius. Nyeri
neuropati adalah akibat adanya abnormalitas atau trauma pada sistem saraf baik
sentral maupun perifer. 4
C. MEKANISME NYERI
Proses nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang dimulai
saat aktivasi nosiseptor oleh stimulus noxious (nyeri) sampai terjadinya
pengalaman subjektif nyeri. Selama proses tersebut terdapat 4 proses. 5,6,7
1. Transduksi: aktivasi reseptor. Pada proses ini, stimulus noxious diubah
menjadi potensial aksi. Fungsi nosiseptor adalah sebagai transduser yang
merubah energi mekanik, termal, atau kimia menjadi sinyal elektrik yang
kemudian ditransmisikan ke medulla spinalis melalui serabut saraf aferen
primer.
2. Transmisi: potensial aksi ditransmisikan menuju neuron susunan saraf
pusat yang berhubungan dengan nyeri. Impuls ini akan dibawa oleh
serabut saraf A Delta (mechanothermal receptor) dan serabut C (C-
polymodal nociceptor) sebagai neuron pertama yang membawa impuls
11
nyeri dari perifer menuju kornu dorsalis medula spinalis. Pada kornu
dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik
melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut
sebagai neuron kedua. Pada neuron kedua inilah terjadi sensitisasi sentral.
Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang
memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona
radiata menuju girus postcentralis korteks serebri.
3. Modulasi: proses modifikasi terhadap rangsang dan merupakan bagian
yang penting dari nyeri. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik
dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri, tetapi yang paling
banyak diketahui adalah pada kornu dorsalis. Modulasi pada tingkat spinal
melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental, keseimbangan
antara input nosiseptif dan input aferen lainnya serta descending contol
mechanism.
Opioid endogen memberi efek analgesia melalui inhibisi presinaps dari
injury evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen
primer. Opioid endogen juga menyebabkan inhibisi postsinaps neuron
nociresponsif kornu dorsalis. Transmisi input nosiseptif pada medulla
spinalis dapat dihambat oleh aktivitas segmental dan aktivitas neuron
descenden dari pusat supra spinal. GABA dan glisin berperan penting pada
inhibisi segmental nyeri di medulla spinalis. GABA memodulasi transmisi
aferen informasi nosiseptif melalui mekanisme presinaps dan postsinaps.
Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu dorsalis dimana disini
merupakan neurotransmitter inhibisi utama. Mekanisme modulasi
informasi nosiseptif oleh glisin di kornu dorsalis adalah melalui inhibisi
postsinaps.
Keseimbangan antara input nosiseptif dan input aferen lainnya dikenal
dengan istilah gate contol theory. Berdasarkan teori ini, aktivitas neuron
di medulla spinalis yang menerima input dari serabut nosiseptif dapat
dimodifikasi oleh input neuro aferen non-nosiseptif. Aktivitas pada serabut
12
Aβ menghambat respons neuron kornu dorsalis dari serabut Aδ dan
serabut C.
Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal dari midbrain
(periaqueductal gray matter dan locus ceruleus) dan medulla oblongata
(nucleus raphe magnus dan nucleus reticularis giganto cellularis). Sistem
modulasi nyeri ini menuju medulla spinalis melalui funikulus dorsolateral.
Neuron-neuron di rostroventral medulla oblongata membuat koneksi
inhibisi pada kornu dorsalis lamina I, II, dan V, sehingga stimulasi neuron
di rostroventral medulla oblongata akan menghambat neuron-neuron
traktus spinothalamikus di kornu dorsalis yang memberikan respon
stimulus noxius. Serabut desenden lain yang berasal dari medulla
oblongata dan pons juga berakhir pada kornu dorsalis superfisial dan
menekan aktivitas nosiseptif neuron kornu dorsalis. Neurotransmitter
utama yang berperan pada descending pain control ini adalah serotonin (5-
hydroxytryptamine, 5-HT) dan norepinefrin (noradrenalin). Neuron-
neuron serotoninergik dan noradrenergik turun melalui funikulus
dorsolateral dari batang otak menuju medulla spinalis dan berakhir pada
kornu dorsalis, dan sangat berperanan pada modulasi nyeri. Stimulasi
elektrik pada daerah periaqueductal dan nucleus raphe magnus akan
mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan norepinefrin
endogen.
4. Persepsi: pesan nyeri di relay menuju ke otak dan menghasilkan
pengalaman yang tidak menyenangkan. Serabut aferen nosiseptik tingkat
dua mempunyai badan sel yang terletak di dalam kornu dorsal medula
spinalis yang memproyeksikan akson ke pusat-pusat di SSP yang
bertanggung jawab untuk pengolahan informasi nosiseptik. Traktus
spinotalamik juga mengirim cabang-cabang kolateral ke formasio
retikularis. Impuls yang dihantarkan melalui traktus ini bertanggung jawab
untuk diskriminasi atau pembedaan sensasi nyeri dan respon-respon
emosional yang menyertainya. Formasio retikularis kemungkinan
bertanggung-jawab untuk peningkatan bangkitan atau depolarisasi dan
13
peningkatan aspek komponen emosional-afektif pada nyeri serta
peningkatan refleks motorik somatik dan refleks motorik otonom. 8
D. PATOFISIOLOGI NYERI PADA LOW BACK PAIN
Berbagai faktor genetik bisa memberi kontribusi pada perkembangan nyeri
punggung bawah kronis dengan memberikan pengaruh pada diskus intervertebral,
mempengaruhi respon inflamasi dan secara abnormal memodulasi persepsi nyeri.
Gen yang bertanggungjawab pada integritas struktur dari diskus intervertebral
memiliki peran dalam perubahan laju degenerasi dari diskus intervertebral.
Variasi genetik pada gen sitokin spesifiknya lokus interleukin 1 (IL-1) memiliki
peran dalam perkembangan nyeri punggung bawah dengan menghasilkan
mediator inflamasi yang mensensitasi nosiseptor yang menpersarafi diskus dan
jaringan spinal di sekitarnya. Polimorfik dari antagonis reseptor IL-1 telah
memperlihatkan pengaruh pada densitas mineral tulang dan mendukung penyakit
degenerasi dari diskus. Mediator inflamasi seperti IL-1,IL-6 dan TNF adalah
faktor kunci untuk menyebarkan respon inflamasi yang bisa meningkat dan sulit
terkontrol dengan polomorfik gen tertentu. 9
E. PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri dimulai dengan melakukan anamnesis terkait nyeri, meliputi
onset dan durasi nyeri, apakah nyeri menetap atau hilang timbul, derajat
keparahan nyeri, pengaruh nyeri terhadap aktivitas harian (selera makan, tidur,
rutinitas harian), interkasi sosial (lebih mudah tersinggung), mood (sering
menangis, marah, atau berupaya bunuh diri), dan riwayat pengobatan yang pernah
diperoleh untuk mengatasi nyeri tersebut. Penting pula untuk ditanyakan adakah
faktor tertentu yang memperbert rasa nyeri yang diderita pasien atau faktor apa
yang meringankan nyeri, apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping
nyeri seperti mual, muntah, konstipasi, gatal, kelemahan, atau sulit tidur.4,5
Penilaian terhadap nyeri juga dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, perlu
diperhatikan ada tidaknya keterlibatan tulang seperti deformitas tulang, apakah
terjadi pembengkakan sendi, hambatan gerakan dan perubahan tonus otot, apakah
14
menimbulkan gangguan fungsi saraf, serta penilaian terhadap keterlibatan organ
viscera. Penilaian pada kulit juga penting untuk mengetahui ada tidaknya
abnormalitas sistem saraf simpatis berupa perubahan suhu, hilangnya rambut pada
daerah kulit tertentu, perubahan vaskular dan diskolorisasi, serta ada tidaknya
gangguan sensoris.10
Penilaian aspek psikologis menjadi sangat penting terutama pada kasus
nyeri kronik atau nyeri kanker, karena nyeri yang berlangsung lama dapat
menimbulkan frustasi dan kemarahan. Seorang ahli psikologis perlu melakukan
eksplorasi terhadap kondisi emosional pasien-pasien dengan nyeri terutama nyeri
kronik. 10
Pengukuran derajat nyeri secara kuantitatif dapat membantu menentukan
intervensi terapeutik dan mengevaluasi keberhasilan terapi yang diberikan. Untuk
itu, berbagai teknik pengukuran derajat nyeri telah dikembangkan. Numerical
rating scale, verbal rating scale, visual analog scale (VAS), dan faces rating scale
adalah skala yang paling sering digunakan untuk membantu menentukan derajat
nyeri.4
Numerical Rating Scale (NRS)
Ini merupakan cara pengukuran yang sederhana dan paling sering digunakan
untuk mengevaluasi nyeri. Terdapat skala 0-10, dimana angka 0 menunjukkan
tidak ada nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang hebat. Keuntungan
menggunakan skala ini karena mudah dimengerti oleh pasien karena pasien hanya
memillih nilai untuk menunjukkan nyerinya.5
Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
lima poin ; tidak nyeri, nyeri ringan, sedang, berat dan sangat berat. 5
Visual Analog Scale (VAS)
VAS merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis diberi 0
sebagai penanda tidak ada nyeri dan akhir garis 100 menandakan nyeri hebat.
15
Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan
nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih
mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan
VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara
luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga
penggunaannya relatif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata
sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Pengukuran dengan VAS pada
nilai di bawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai 4-7 dinyatakan sebagai nyeri
sedang, dan nilai di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat. 5
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale adalah modifikasi VAS yang
digunakan untuk anak atau orang dewasa dengan gangguan kognitif,
menggantikan angka dengan kontinum wajah tersenyum sampai menangis.11
Gambar 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale.
Pada gambar di atas, tampak wajah 0 tersenyum karena tidak merasakan
nyeri. Wajah 1 sampai 5 memperlihatkan peningkatan intensitas nyeri (sedikit
sampai yang paling parah) dengan ekspresi yang semakin sedih.11
F. MANAJEMEN NYERI
Terapi dengan menggunakan obat meringankan nyeri secara temporal,
khususnya untuk nyeri punggung akut. Parasetamol dan NSAID membuat nyeri
yang dirasakan pasien mencapai level yang dapat ditoleransi, tetapi seharusnya
tidak digunakan untuk jangka waktu lama ( petunjuk obat untuk pribadi biasanya
membatasi penggunaanya hingga 12 hari). Penggunaan satu jenis obat yaitu
narkotik atau dengan kombinasi tidak lagi dijauhi, tetapi juga tidak dapat
16
digunakan dalam periode yang panjang, sebagaimana resiko dari ketergantungan
dapat meningkat. Three Step ladder analgesik WHO yang aslinya digunakan
untuk pengobatan nyeri kanker dapat digunakan pada nyeri punggung bawah.
Penatalaksanaan nyeri menurut WHO terdiri dari Three Step ladder berikut:3,12
Step I: Penderita dengan nyeri ringan sampai sedang harus diobati dengan
analgesik nonopioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-obat
tambahan jika ada indikasi. Pada step ini dapat digunakan golongan
NSAID (Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs). Golongan obat ini
menghambat enzim cyclooxygenase sehingga konversi asam arachidonat
menjadi prostaglandin terinhibisi. Prostaglandin memediasi sejumlah
besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan
lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet. Enzim
cyclooxygenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-
2.
Gambar 2. Jalur COX 1 dan COX 2
Step II: Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang sampai
berat, atau yang gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan
analgesik nonopioid harus diobati dengan opioid konvensional yang
17
digunakan untuk nyeri sedang (opioid lemah). Yang termasuk dalam
golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, profoksifen.
Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan nonopioid dan bisa
diberikan bersama-sama dengan analgesik adjuvan.
Step III: Penderita yang menderita nyeri berat, atau gagal mendapatkan perbaikan
yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima
opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri berat (opioid kuat).
Obat golongan ini terdiri atas2,8:
1. Opioid kerja lama, seperti fentanyl transdermal atau metadon yang
dapat menangani hampir semua keluhan nyeri. Opioid kerja lama
memiliki waktu paruh sekitar 12 jam, sehingga penderita
mendapatkan obat ini dua kali setiap harinya.
2. Opioid kerja cepat, seperti hidromorfon, atau tablet fentanyl
transmukosal yang digunakan untuk mengatasi nyeri insidental atau
breaktrough pain. Kebanyakan opioid kerja cepat memiliki waktu
paruh 3-4 jam dan pada preparat oral kadar maximal dicapai dalam 60
menit, 30 menit melalui jalur subkutan dan 15 menit melalui intavena.
Obat-obatan golongan opioid ini dapat memberikan kesembuhan pada
70-90% penderita.
18
WHO menganjurkan pemakaian obat nyeri adalah sebagai berikut13:
1. Obat diberikan secara oral
2. Tepat waktu. Harus dimakan sesuai jadwal, bila sedang tidur
dibangunkan untuk minum obat anti nyeri
3. Sesuai dengan pedoman step ladder WHO
4. Individual, pengobatan nyeri sama dengan pengobatan lain, setiap
pasien memberikan respon yang mungkin tidak sama, sehingga
perlakuannya bersifat individual.
5. Penuh perhatian terhadap hal-hal kecil
Pada pasien ini awalnya diberikan dysnatat intravena dan MST continus
selama 4 hari sejak dikonsul untuk manajemen nyeri. Dysnatat (parecoxib)
merupakan obat yang termasuk dalam golongan NSAID yang bekerja selektif
terhadap COX 2. Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalis
sintesis prostaglandin dari asam arachidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah
besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan
lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet. Pemilihan
golongan NSAID yang bekerja pada COX 2 dimaksudkan untuk mengurangi efek
samping yang lebih besar jika dibandingkan pemberian NSAID non-selektif
karena dapat mempengaruhi barier mukosa lambung dan agregesi platelet.
Parecoxib merupakan inhibitor COX 2 spesifik yang hanya tersedia dalam sediaan
parenteral.14,15
Tablet MST continus mengandung zat aktif dari morfin sulfat, yang
merupakan salah satu jenis obat opioid. Obat opioid bekerja dengan cara yang
mirip dengan zat kimia anti nyeri alami pada tubuh manusia yaitu endorfin.
Endorfin ditemukan pada otak dan medula spinalis, morfin bekerja seperti
endorfin dengan bereaksi terhadap reseptor opioid yang terdapat pada otak dan
medulla oblongata. Obat ini dirancang untuk melepas morfin secara perlahan-
lahan dan berkesinambungan selama 12 jam untuk membantu menjaga kadar obat
dalam darah stabil dan mengurangi rasa nyeri lebih lama. 16
20
Setelah diberikan kombinasi dari dynastat intravena dan MST continus
selama 4 hari, VAS dari pasien belum memberikan hasil yang menunjukkan
perbaikan sehingga diberikan kombinasi dynastat intravena dan fentanyl
transdermal. Fentanyl yang merupakan golongan opiod sintetik dari kelompok
fenilpiperidin. Fentanyl merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan
κ. Fentanyl merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300
kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur
susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanyl transdermal melepaskan fentanyl
perlahan ke subkutis dan selanjutnya ke aliran darah. Nyeri mulai reda setelah 8-
12 jam dari pemasangan fentanyl patch dan perlu diganti setelah 72 jam.3,17
Pada pasien ini diberikan terapi analgesia multimodal yakni menggunakan
dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk
mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek
samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dynastat
yang merupakan golongan NSAID yang menghambat cyclooxygenase (COX) dan
selektif terhadap COX-2 sedangkan fentanyl merupakan salah satu opiod
kuat.14,15,17
G. KESIMPULAN
Nyeri punggung bawah bukanlah suatu penyakit tetapi sebuah kumpulan
dari gejala yang biasanya bersifat akut dan self limited. Mengatasi nyeri punggung
bawah adalah sebuah tantangan yang besar. Nyeri punggung bawah adalah
penyebab mayor dari cacat sementara dan tantangan bagi keputusan terapi medis
dan pembedahan.
Untuk memudahkan pengobatan nyeri, WHO membuat suatu pedoman
penilaian nyeri yang sangat dikenal dan dipakai hampir di seluruh dunia, yaitu
Step ladder WHO. Berdasarkan pedoman ini akan lebih mudah untuk
menatalaksana nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
21
1. WHO. Global Tuberculosis Report 2012. [Online].[cited 2013 January]. Available from: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75938/1/9789241564502_eng.pdf
2. Vitriana. Spondilitis Tuberculosa. [Online]. [cited 2013 Januari]. Available from URL: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/
3. Ramzi. Perbedaan skala nyeri visual analogue score (vas) sebelum dan sesudah operasi spondilitis tuberkulosa di Rumah Sakit Penddikan FK USU [Online]. [cited 2013 Januari]. Available from URL:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6217/1/08E00866.pdf
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical Anesthesiology 4th Edition. New York: Blackwell Science; 2009.
5. Setiyohadi B, Sumariyono, Kasjmir YI, Isbagio H, Kalim H. Nyeri. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.1166-1173.
6. Giordano J. The Neuroscience of pain and analgesia. In Boswell MV, Cole BE, editors. Weiner's pain management a pratical guide for clinicians. 7th ed. New York: Taylor & Francis; 2006. p. 15-20.
7. Gottschalk A, Smith DS. American family physician. [Online].; 2001 [cited 2012 August. Available from: http://www.aafp.org.
8. Davis LE, King MK, Schultz JE. Disorders of Pain and Headache. In: Fundamentals of Neurologic Disease. New York: Demos Medical Publishing; 2005. p. 201-2.
9. Eugene J. Carragee. Park Young. Chronic Low Back Pain.In: Mary E. Lynch, Kenneth D. Craig, Philip W.H. Peng. Clinical Pain Management : A Practical Guide. Chichester : Blackwell Publishing; 2009
10. Gwinnutt CL, ed. Lecture Notes Clinical Anaesthesia Second Edition. Massachusetts: Blackwell Science Ltd. 2004. p. 139-50
11. Gubbels SP, Andersen PE. Head and Neck Cancers. In: Sibell, David M.; Kirsch, Jeffrey R, eds. 5 Minute Pain Management Consult, The , 1st Edition.New York: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
22
12. Worgo BW, Burton AW. Cancer pain. In wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and management. New York: McGraw Hill; 2005. p. 183-189.
13. Harsal A. Penanggulangan Nyeri pada Kanker. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.885-7
14. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-antipiretik analgesik anti-inflamasi nonsteroid dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007.
15. Portenoy RK. Three Step Analgesic Ladder for management of cancer pain. 2006.
16. Anonim. MST continus. [Online]. [cited 2012 August. Available from URL http://www.netdoctor.co.uk/aches-and-pains/medicines/mst-continus-tablets.html
17. Dewoto HR. Analgesik opiod dan antagonis. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2006.
23