Manajemen Nyeri Pada Pasien Spondylitis Tb

34
LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny.Fm RM : 309938 Tgl Lahir/Umur : 18 April 1967/ 45 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat/Tlp : Jl.Macini Gusung 23 Pekerjaan : Tidak bekerja Agama : Islam Status perkawinan : Kawin Tgl Masuk RS : 14 Desember 2012 jam 19.00 WITA B. ANAMNESIS Bagian Neurologi: Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri punggung yang dialami sejak kurang lebih 8 bulan yang lalu, memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri terlokalisasi di bagian tengah punggung, rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan memberat bila beraktifitas, bergerak atau membungkuk. Membaik bila dalam posisi statis ( terlentang atau miring ). Riwayat demam dan keringat pada malam hari tidak dikeluhkan pasien, pasien mengeluh batuk-batuk lama lebih dari 2 bulan dengan lendir berwarna hijau, Pasien juga terkadang mengeluhkan sesak nafas apabila 1

description

referat

Transcript of Manajemen Nyeri Pada Pasien Spondylitis Tb

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.Fm

RM : 309938

Tgl Lahir/Umur : 18 April 1967/ 45 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat/Tlp : Jl.Macini Gusung 23

Pekerjaan : Tidak bekerja

Agama : Islam

Status perkawinan : Kawin

Tgl Masuk RS : 14 Desember 2012 jam 19.00 WITA

B. ANAMNESIS

Bagian Neurologi:

Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri punggung yang dialami sejak

kurang lebih 8 bulan yang lalu, memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri

terlokalisasi di bagian tengah punggung, rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan

memberat bila beraktifitas, bergerak atau membungkuk. Membaik bila dalam

posisi statis ( terlentang atau miring ). Riwayat demam dan keringat pada malam

hari tidak dikeluhkan pasien, pasien mengeluh batuk-batuk lama lebih dari 2 bulan

dengan lendir berwarna hijau, Pasien juga terkadang mengeluhkan sesak nafas

apabila batuk. Riwayat penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir kurang

lebih 7 kg dan pasien juga mengeluhkan nafsu makannya menurun. Riwayat BAK

dan BAB normal. Riwayat berobat di puskesmas 2 bulan yang lalu dan diberi obat

parasetamol. Riwayat berobat kepada dokter spesialis rehabilitasi medik dan

dilakukan fisiotrapi selama kurang lebih 1 bulan. Riwayat berobat TB paru

disangkal. Riwayat hipertensi, diabetes melitus juga disangkal. Riwayat trauma

atau terjatuh dalam posisi duduk disangkal, riwayat sering angkat beban berat

disangkal.

1

C. PEMERIKSAAN FISIS NEUROLOGI :

a. GCS: E4M6V5

b. Fungsi kortikal luhur : dalam batas normal

c. Rangsang Menings : Kaku kuduk (-), Kernig sign : (-/-)

d. Nn. Cranialis : Pupil bulat, isokor, 3 mm / 3 mm, Refleks cahaya langsung

+/+, Refleks cahaya tidak langsung +/+, Nn. Cranialis lain dalam batas

normal.

e. Motorik: P N N K 5 5 T N N

N N 5 5 N N

Rf N N Rp - -

N N - -

f. Pemeriksaan columna vertebralis/badan: gibbus (-), pergerakan terbatas,

nyeri tekan Th VI-VII (+) dan nyeri ketok (+).

g. Sensorik dalam batas normal

h. SSO : buang air kecil dan buang air besar normal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (17/12/2012)

HEMATOLOGI

HASIL NILAI

RUJUKAN

UNIT

WBC 5.27 4.00 – 10.0 [103/uL]

RBC 4.59 4.00 – 6.00 [106/uL]

HGB 12.3 12.0 – 16.0 [g/dL]

HCT 37.5 37.0 – 48.0 [%]

PLT 270 150 – 400 [103/uL]

2

Ureum 16 10-50 Mg/dl

Kreatinin 0,5 <1,3 Mg/dl

SGOT 16 <41 u/L

SGPT 8 <38 u/L

GDS 111 140 Mg/dl

PT 10,6 control 11,6 10-14 Detik

APTT 22 control 24,3 22-30 Detik

CT 8’00” 4-10 Menit

BT 3’00” 1-7 Menit

2. Hasil Foto Thoraks PA (05/12/2012) : aspek bronchitis

3. Hasil CT Scan Thoraks (06/12/2012): TB paru lama aktif dextra, suspek

spondilitis TBC dengan paravertebra abses pada level Th 7-8.

4. Hasil MRI T-Spine dengan kontras (20/12/2012): Destruksi CV T7 dan T8

disertai massa paravertebra yang menyebabkan stenosis totalis canalis spinalis

pada level tersebut sesuai gambaran spondylitis.

E. DIAGNOSIS

Spondilitis TB + KP dextra aktif

Pasien di konsul oleh bagian neurologi ke poli nyeri RSWS untuk evaluasi,

pemeriksaan serta rawat sama pada tanggal 19 Desember 2012 jam 08.30.

3

Jawaban Konsul dari bagian Anestesi:

Dari hasil pemeriksaan dan evaluasi yang dilakukan atas pasien Ny. Fm/ wanita /

45 tahun dengan D/ Low Back Pain ec. Spondilitis TB + KP dextra aktif

didapatkan :

Anamnesis:

Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri punggung yang dialami sejak

kurang lebih 8 bulan yang lalu, memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri

terlokalisasi di bagian tengah punggung, rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan

memberat bila beraktifitas, bergerak atau membungkuk. Membaik bila dalam

kondisi istirahat. Saat ini pasien demam (-), batuk (-), sesak (-). Riwayat batuk

lama (+), Riwayat penurunan berat badan (+), Riwayat berobat di Rumah Sakit(+)

dan dilakukan fisioterapi selama 1 bulan. Riwayat OAT (3 hari), Riwayat

Hipertensi (-), Riwayat Diabetes melitus (-).

Pemeriksaan Fisis :

- Keadaan umum : sakit sedang/ gizi kurang /composmentis

- BB: 42 kg TB: 161 cm BMI: 16,40 kg/m2

- Tanda vital : Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu tubuh : 36,70C

VAS : 2/10

- Kepala : normosefal

Mata : anemis -/-, ikterus -/-

rambut : hitam, sulit dicabut

- Leher : KGB : tidak ada pembesaran

- Paru

Inspeksi : simetris kiri = kanan

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor kiri=kanan

4

Auskultasi : bunyi pernapasan : vesikular

Bunyi tambahan : Rh - / - Wh -/-

- Jantung

Inspeksi : IC tidak nampak

Palpasi : IC tidak teraba

Perkusi : pekak (+)

auskultasi : BJ I / II murni, regular

- Abdomen

Inspeksi : datar, ikut gerak napas

Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal

Palpasi : MT (-) NT (-), hepar / limpa tidak teraba

Perkusi : timpani (+)

- Columna vertebralis

Inspeksi : Gibbus (-)

Auskultasi : terbatas

Palpasi : nyeri tekan Th VI - VII

Perkusi : nyeri ketuk (+)

- Ekstremitas : edema - / -

Kesimpulan: Pasien dengan moderate pain ec spondilitis TB

F. ASSESMENT & PLAN

Pasien ini mengeluh nyeri punggung yang dialami sejak kurang lebih 8

bulan yang lalu, memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri terlokalisasi di bagian

tengah punggung, rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan memberat bila beraktifitas,

bergerak atau membungkuk. Membaik bila dalam posisi statis ( terlentang atau

miring ). Dari Visual analog scale (VAS) didapati skala nyeri yang dirasakan

pasien bernilai 4/10, maka diberikan terapi :

5

R/ Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Follow up Bagian Anestesi

Tanggal Perjalanan penyakit Instruksi dokter

19/12/2012 KU : Baik

TD : 110/70 mmHg

N : 112 x/m

P : 20 x/m

S : 36,10C

VAS 4/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

MST continus 10 mg 2x1

20/12/2012 KU : Baik

TD : 120/70 mmHg

N : 72 x/m

P : 20 x/m

S : 36,60C

VAS 4/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

MST continus 10 mg 2x1

21/12/2012 KU : Baik

TD : 120/60 mmHg

N : 76x/m

P : 18 x/m

S : 36,60C

VAS 4/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

MST continus 10 mg 2x1

22/12/2012 KU : Baik

Keluhan : Nyeri kepala (+)

TD : 130/80 mmHg

N : 88x/m

P : 16 x/m

S : 36,70C

VAS 4/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

MST continus 10 mg 2x1

23/12/2012 KU : Baik

TD : 120/80 mmHg

N : 80 x/m

P : 20 x/m

S : 36,50C

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

6

VAS 3/10

24/12/2012 KU : Baik

TD : 130/80 mmHg

N : 100 x/m

P : 18 x/m

S : 370C

VAS 3/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

25/12/2012 KU : Baik

TD : 130/80 mmHg

N : 100 x/m

P : 18 x/m

S : 370C

VAS 2/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

26/12/2012 KU : Baik

TD : 130/80 mmHg

N : 100 x/m

P : 18 x/m

S : 370C

VAS 2/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

27/12/2012 KU : Baik

TD : 130/80 mmHg

N : 100 x/m

P : 18 x/m

S : 370C

VAS 1/10

R/

Dynastat 40 mg/ 12 jam/ iv

Duragesic patch 25 mcg

7

Resume:

Seorang pasien wanita umur 45 tahun dikonsul dari bagian neurologi dengan

keluhan utama nyeri punggung yang dialami sejak kurang lebih 8 bulan yang lalu,

memberat dalam 1 bulan terakhir, nyeri terlokalisasi di bagian tengah punggung,

rasanya seperti tertusuk-tusuk, dan memberat bila beraktifitas, bergerak atau

membungkuk. Membaik bila dalam posisi statis ( terlentang atau miring ). Saat ini

pasien demam (-), batuk (-), sesak (-). Riwayat batuk lama (+), Riwayat

penurunan berat badan (+), Riwayat berobat di Rumah Sakit(+) dan dilakukan

fisioterapi selama 1 bulan. Riwayat OAT (3 hari), Riwayat Hipertensi (-), Riwayat

Diabetes melitus (-).Dari pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi

kurang , composmentis. Pemeriksaan fisis pada kepala, leher, paru, dan jantung

abdomen dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan. Namun pada pemeriksaan

columna vertebralis melalui inspeksi didapatkan gibbus (-), pergerakan terbatas

(+), palpasi nyeri tekan (+) pada V.Thorakal VI-VII , pada perkusi nyeri ketuk

(+). Hasil laboratorium menunjukkan nilai dalam batas normal. Pemeriksaan

penunjang berupa foto polos thoraks posteroanterior menunjukkan aspek

bronkhitis, CT scan thoraks tanpa kontras menunjukkan TB paru lama aktif

dextra, suspek spondilitis TBC dengan paravertebra abses pada level Th 7-8.

Sedangkan melalui MRI T- Spine dengan kontras memberi hasil destruksi CV T7

dan T8 disertai massa paravertebra yang menyebabkan stenosis totalis canalis

spinalis pada level tersebut sesuai gambaran spondylitis.

8

DISKUSI

A. PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan global, TB menjadi

penyebab sakit jutaan manusia dan menempati posisi kedua setelah human

immuno deficiency virus (HIV) sebagai penyebab kematian terbanyak akibat

penyakit infeksi di seluruh dunia. Pada tahun 2011 diperkirakan ada 9 juta kasus

baru dan 1,4 juta orang yang meninggal akibat TB. Indonesia menduduki

peringkat ketiga di dunia setelah Cina dan India dalam jumlah kasus TB.

Prevalensi TB di Indonesia dan negara negara berkembang lainnya cukup tinggi.

Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah lebih dari 600.000 orang dan

sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55

tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari

dan terjadi lebih dari 100.000 kematian per tahun. Hal tersebut merupakan

tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. 1,2

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya

berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang

tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa

merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan

sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan

penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang

sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis

dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan

Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi

imigran,tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV

(Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980). Selain itu dari

penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan

terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini.2

Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai

dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian

9

besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini

mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi

tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong. 2

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi

terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat

terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight

bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering

terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut,tulang

belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang

(kurang lebih 50% kasus) (Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang

panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan

tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah

(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering

terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai

maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. 2

Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis

tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan

penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatic. Insidensi

paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-

anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa

pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang

ditemukan keadaan ini. 2

Ketika tuberkulosa telah melibatkan tulang belakang akan terjadi kifosis

dari daerah yang terinfeksi, keadaan ini dapat menimbulkan nyeri yang hebat dan

komplikasi neurologis.(Fang 1983, Chaloupka 2000, dan Nas,2003). Umumnya

penderita spondilitis tuberkulosa datang dengan keluhan nyeri, pertuiset

melaporkan penelitiannya pada 58 penderita spondilitis TB datang dengan

keluhan nyeri spinal atau radikular 97 %, kelainan defisit neurologi 50 %,

penurunan berat badan 48 %, demam lebih dari 38 derajat celcius sebanyak 31 %

dan keringat malam 18 %. (Pertuiset,1999). 3

10

B. DEFINISI DAN KLASIFIKASI NYERI

IASP (International Association for The Study of Pain) mendefinisikan

nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau

yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Definisi ini menunjukkan

terjadinya nyeri tidak lepas dari unsur subjektivitas, emosi, dan psikologis,

sehingga respon setiap orang terhadap nyeri sangat bervariasi.

Nyeri berdasarkan patofisiologinya diklasifikasikan menjadi nyeri nosiseptif

dan nyeri neuropati, dan berdasarkan perlangsungannya diklasifikasikan atas nyeri

akut dan nyeri kronik. Ada pula yang membagi nyeri berdasarkan etiologinya

seperti nyeri post operasi dan nyeri kanker. Klasifikasi ini dibuat untuk

memudahkan klinisi dalam menentukan modalitas terapi yang akan digunakan.3

Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang terjadi akibat aktivasi nosiseptor perifer,

khususnya reseptor yang berperan dalam transduksi stimulus noxius. Nyeri

neuropati adalah akibat adanya abnormalitas atau trauma pada sistem saraf baik

sentral maupun perifer. 4

C. MEKANISME NYERI

Proses nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang dimulai

saat aktivasi nosiseptor oleh stimulus noxious (nyeri) sampai terjadinya

pengalaman subjektif nyeri. Selama proses tersebut terdapat 4 proses. 5,6,7

1. Transduksi: aktivasi reseptor. Pada proses ini, stimulus noxious diubah

menjadi potensial aksi. Fungsi nosiseptor adalah sebagai transduser yang

merubah energi mekanik, termal, atau kimia menjadi sinyal elektrik yang

kemudian ditransmisikan ke medulla spinalis melalui serabut saraf aferen

primer.

2. Transmisi: potensial aksi ditransmisikan menuju neuron susunan saraf

pusat yang berhubungan dengan nyeri. Impuls ini akan dibawa oleh

serabut saraf A Delta (mechanothermal receptor) dan serabut C (C-

polymodal nociceptor) sebagai neuron pertama yang membawa impuls

11

nyeri dari perifer menuju kornu dorsalis medula spinalis. Pada kornu

dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik

melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut

sebagai neuron kedua. Pada neuron kedua inilah terjadi sensitisasi sentral.

Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang

memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona

radiata menuju girus postcentralis korteks serebri.

3. Modulasi: proses modifikasi terhadap rangsang dan merupakan bagian

yang penting dari nyeri. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik

dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri, tetapi yang paling

banyak diketahui adalah pada kornu dorsalis. Modulasi pada tingkat spinal

melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental, keseimbangan

antara input nosiseptif dan input aferen lainnya serta descending contol

mechanism.

Opioid endogen memberi efek analgesia melalui inhibisi presinaps dari

injury evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen

primer. Opioid endogen juga menyebabkan inhibisi postsinaps neuron

nociresponsif kornu dorsalis. Transmisi input nosiseptif pada medulla

spinalis dapat dihambat oleh aktivitas segmental dan aktivitas neuron

descenden dari pusat supra spinal. GABA dan glisin berperan penting pada

inhibisi segmental nyeri di medulla spinalis. GABA memodulasi transmisi

aferen informasi nosiseptif melalui mekanisme presinaps dan postsinaps.

Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu dorsalis dimana disini

merupakan neurotransmitter inhibisi utama. Mekanisme modulasi

informasi nosiseptif oleh glisin di kornu dorsalis adalah melalui inhibisi

postsinaps.

Keseimbangan antara input nosiseptif dan input aferen lainnya dikenal

dengan istilah gate contol theory. Berdasarkan teori ini, aktivitas neuron

di medulla spinalis yang menerima input dari serabut nosiseptif dapat

dimodifikasi oleh input neuro aferen non-nosiseptif. Aktivitas pada serabut

12

Aβ menghambat respons neuron kornu dorsalis dari serabut Aδ dan

serabut C.

Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal dari midbrain

(periaqueductal gray matter dan locus ceruleus) dan medulla oblongata

(nucleus raphe magnus dan nucleus reticularis giganto cellularis). Sistem

modulasi nyeri ini menuju medulla spinalis melalui funikulus dorsolateral.

Neuron-neuron di rostroventral medulla oblongata membuat koneksi

inhibisi pada kornu dorsalis lamina I, II, dan V, sehingga stimulasi neuron

di rostroventral medulla oblongata akan menghambat neuron-neuron

traktus spinothalamikus di kornu dorsalis yang memberikan respon

stimulus noxius. Serabut desenden lain yang berasal dari medulla

oblongata dan pons juga berakhir pada kornu dorsalis superfisial dan

menekan aktivitas nosiseptif neuron kornu dorsalis. Neurotransmitter

utama yang berperan pada descending pain control ini adalah serotonin (5-

hydroxytryptamine, 5-HT) dan norepinefrin (noradrenalin). Neuron-

neuron serotoninergik dan noradrenergik turun melalui funikulus

dorsolateral dari batang otak menuju medulla spinalis dan berakhir pada

kornu dorsalis, dan sangat berperanan pada modulasi nyeri. Stimulasi

elektrik pada daerah periaqueductal dan nucleus raphe magnus akan

mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan norepinefrin

endogen.

4. Persepsi: pesan nyeri di relay menuju ke otak dan menghasilkan

pengalaman yang tidak menyenangkan. Serabut aferen nosiseptik tingkat

dua mempunyai badan sel yang terletak di dalam kornu dorsal medula

spinalis yang memproyeksikan akson ke pusat-pusat di SSP yang

bertanggung jawab untuk pengolahan informasi nosiseptik. Traktus

spinotalamik juga mengirim cabang-cabang kolateral ke formasio

retikularis. Impuls yang dihantarkan melalui traktus ini bertanggung jawab

untuk diskriminasi atau pembedaan sensasi nyeri dan respon-respon

emosional yang menyertainya. Formasio retikularis kemungkinan

bertanggung-jawab untuk peningkatan bangkitan atau depolarisasi dan

13

peningkatan aspek komponen emosional-afektif pada nyeri serta

peningkatan refleks motorik somatik dan refleks motorik otonom. 8

D. PATOFISIOLOGI NYERI PADA LOW BACK PAIN

Berbagai faktor genetik bisa memberi kontribusi pada perkembangan nyeri

punggung bawah kronis dengan memberikan pengaruh pada diskus intervertebral,

mempengaruhi respon inflamasi dan secara abnormal memodulasi persepsi nyeri.

Gen yang bertanggungjawab pada integritas struktur dari diskus intervertebral

memiliki peran dalam perubahan laju degenerasi dari diskus intervertebral.

Variasi genetik pada gen sitokin spesifiknya lokus interleukin 1 (IL-1) memiliki

peran dalam perkembangan nyeri punggung bawah dengan menghasilkan

mediator inflamasi yang mensensitasi nosiseptor yang menpersarafi diskus dan

jaringan spinal di sekitarnya. Polimorfik dari antagonis reseptor IL-1 telah

memperlihatkan pengaruh pada densitas mineral tulang dan mendukung penyakit

degenerasi dari diskus. Mediator inflamasi seperti IL-1,IL-6 dan TNF adalah

faktor kunci untuk menyebarkan respon inflamasi yang bisa meningkat dan sulit

terkontrol dengan polomorfik gen tertentu. 9

E. PENILAIAN NYERI

Penilaian nyeri dimulai dengan melakukan anamnesis terkait nyeri, meliputi

onset dan durasi nyeri, apakah nyeri menetap atau hilang timbul, derajat

keparahan nyeri, pengaruh nyeri terhadap aktivitas harian (selera makan, tidur,

rutinitas harian), interkasi sosial (lebih mudah tersinggung), mood (sering

menangis, marah, atau berupaya bunuh diri), dan riwayat pengobatan yang pernah

diperoleh untuk mengatasi nyeri tersebut. Penting pula untuk ditanyakan adakah

faktor tertentu yang memperbert rasa nyeri yang diderita pasien atau faktor apa

yang meringankan nyeri, apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping

nyeri seperti mual, muntah, konstipasi, gatal, kelemahan, atau sulit tidur.4,5

Penilaian terhadap nyeri juga dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, perlu

diperhatikan ada tidaknya keterlibatan tulang seperti deformitas tulang, apakah

terjadi pembengkakan sendi, hambatan gerakan dan perubahan tonus otot, apakah

14

menimbulkan gangguan fungsi saraf, serta penilaian terhadap keterlibatan organ

viscera. Penilaian pada kulit juga penting untuk mengetahui ada tidaknya

abnormalitas sistem saraf simpatis berupa perubahan suhu, hilangnya rambut pada

daerah kulit tertentu, perubahan vaskular dan diskolorisasi, serta ada tidaknya

gangguan sensoris.10

Penilaian aspek psikologis menjadi sangat penting terutama pada kasus

nyeri kronik atau nyeri kanker, karena nyeri yang berlangsung lama dapat

menimbulkan frustasi dan kemarahan. Seorang ahli psikologis perlu melakukan

eksplorasi terhadap kondisi emosional pasien-pasien dengan nyeri terutama nyeri

kronik. 10

Pengukuran derajat nyeri secara kuantitatif dapat membantu menentukan

intervensi terapeutik dan mengevaluasi keberhasilan terapi yang diberikan. Untuk

itu, berbagai teknik pengukuran derajat nyeri telah dikembangkan. Numerical

rating scale, verbal rating scale, visual analog scale (VAS), dan faces rating scale

adalah skala yang paling sering digunakan untuk membantu menentukan derajat

nyeri.4

Numerical Rating Scale (NRS)

Ini merupakan cara pengukuran yang sederhana dan paling sering digunakan

untuk mengevaluasi nyeri. Terdapat skala 0-10, dimana angka 0 menunjukkan

tidak ada nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang hebat. Keuntungan

menggunakan skala ini karena mudah dimengerti oleh pasien karena pasien hanya

memillih nilai untuk menunjukkan nyerinya.5

Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala

lima poin ; tidak nyeri, nyeri ringan, sedang, berat dan sangat berat. 5

Visual Analog Scale (VAS)

VAS merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis diberi 0

sebagai penanda tidak ada nyeri dan akhir garis 100 menandakan nyeri hebat.

15

Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan

nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih

mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan

VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara

luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga

penggunaannya relatif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata

sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Pengukuran dengan VAS pada

nilai di bawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai 4-7 dinyatakan sebagai nyeri

sedang, dan nilai di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat. 5

Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Wong-Baker Faces Pain Rating Scale adalah modifikasi VAS yang

digunakan untuk anak atau orang dewasa dengan gangguan kognitif,

menggantikan angka dengan kontinum wajah tersenyum sampai menangis.11

Gambar 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale.

Pada gambar di atas, tampak wajah 0 tersenyum karena tidak merasakan

nyeri. Wajah 1 sampai 5 memperlihatkan peningkatan intensitas nyeri (sedikit

sampai yang paling parah) dengan ekspresi yang semakin sedih.11

F. MANAJEMEN NYERI

Terapi dengan menggunakan obat meringankan nyeri secara temporal,

khususnya untuk nyeri punggung akut. Parasetamol dan NSAID membuat nyeri

yang dirasakan pasien mencapai level yang dapat ditoleransi, tetapi seharusnya

tidak digunakan untuk jangka waktu lama ( petunjuk obat untuk pribadi biasanya

membatasi penggunaanya hingga 12 hari). Penggunaan satu jenis obat yaitu

narkotik atau dengan kombinasi tidak lagi dijauhi, tetapi juga tidak dapat

16

digunakan dalam periode yang panjang, sebagaimana resiko dari ketergantungan

dapat meningkat. Three Step ladder analgesik WHO yang aslinya digunakan

untuk pengobatan nyeri kanker dapat digunakan pada nyeri punggung bawah.

Penatalaksanaan nyeri menurut WHO terdiri dari Three Step ladder berikut:3,12

Step I: Penderita dengan nyeri ringan sampai sedang harus diobati dengan

analgesik nonopioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-obat

tambahan jika ada indikasi. Pada step ini dapat digunakan golongan

NSAID (Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs). Golongan obat ini

menghambat enzim cyclooxygenase sehingga konversi asam arachidonat

menjadi prostaglandin terinhibisi. Prostaglandin memediasi sejumlah

besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan

lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet. Enzim

cyclooxygenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-

2.

Gambar 2. Jalur COX 1 dan COX 2

Step II: Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang sampai

berat, atau yang gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan

analgesik nonopioid harus diobati dengan opioid konvensional yang

17

digunakan untuk nyeri sedang (opioid lemah). Yang termasuk dalam

golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, profoksifen.

Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan nonopioid dan bisa

diberikan bersama-sama dengan analgesik adjuvan.

Step III: Penderita yang menderita nyeri berat, atau gagal mendapatkan perbaikan

yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima

opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri berat (opioid kuat).

Obat golongan ini terdiri atas2,8:

1. Opioid kerja lama, seperti fentanyl transdermal atau metadon yang

dapat menangani hampir semua keluhan nyeri. Opioid kerja lama

memiliki waktu paruh sekitar 12 jam, sehingga penderita

mendapatkan obat ini dua kali setiap harinya.

2. Opioid kerja cepat, seperti hidromorfon, atau tablet fentanyl

transmukosal yang digunakan untuk mengatasi nyeri insidental atau

breaktrough pain. Kebanyakan opioid kerja cepat memiliki waktu

paruh 3-4 jam dan pada preparat oral kadar maximal dicapai dalam 60

menit, 30 menit melalui jalur subkutan dan 15 menit melalui intavena.

Obat-obatan golongan opioid ini dapat memberikan kesembuhan pada

70-90% penderita.

18

Gambar 3. Step Ladder WHO

Gambar 4. Lokasi Kerja Analgetik

19

WHO menganjurkan pemakaian obat nyeri adalah sebagai berikut13:

1. Obat diberikan secara oral

2. Tepat waktu. Harus dimakan sesuai jadwal, bila sedang tidur

dibangunkan untuk minum obat anti nyeri

3. Sesuai dengan pedoman step ladder WHO

4. Individual, pengobatan nyeri sama dengan pengobatan lain, setiap

pasien memberikan respon yang mungkin tidak sama, sehingga

perlakuannya bersifat individual.

5. Penuh perhatian terhadap hal-hal kecil

Pada pasien ini awalnya diberikan dysnatat intravena dan MST continus

selama 4 hari sejak dikonsul untuk manajemen nyeri. Dysnatat (parecoxib)

merupakan obat yang termasuk dalam golongan NSAID yang bekerja selektif

terhadap COX 2. Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalis

sintesis prostaglandin dari asam arachidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah

besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan

lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet. Pemilihan

golongan NSAID yang bekerja pada COX 2 dimaksudkan untuk mengurangi efek

samping yang lebih besar jika dibandingkan pemberian NSAID non-selektif

karena dapat mempengaruhi barier mukosa lambung dan agregesi platelet.

Parecoxib merupakan inhibitor COX 2 spesifik yang hanya tersedia dalam sediaan

parenteral.14,15

Tablet MST continus mengandung zat aktif dari morfin sulfat, yang

merupakan salah satu jenis obat opioid. Obat opioid bekerja dengan cara yang

mirip dengan zat kimia anti nyeri alami pada tubuh manusia yaitu endorfin.

Endorfin ditemukan pada otak dan medula spinalis, morfin bekerja seperti

endorfin dengan bereaksi terhadap reseptor opioid yang terdapat pada otak dan

medulla oblongata. Obat ini dirancang untuk melepas morfin secara perlahan-

lahan dan berkesinambungan selama 12 jam untuk membantu menjaga kadar obat

dalam darah stabil dan mengurangi rasa nyeri lebih lama. 16

20

Setelah diberikan kombinasi dari dynastat intravena dan MST continus

selama 4 hari, VAS dari pasien belum memberikan hasil yang menunjukkan

perbaikan sehingga diberikan kombinasi dynastat intravena dan fentanyl

transdermal. Fentanyl yang merupakan golongan opiod sintetik dari kelompok

fenilpiperidin. Fentanyl merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang

bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan

κ. Fentanyl merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300

kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur

susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanyl transdermal melepaskan fentanyl

perlahan ke subkutis dan selanjutnya ke aliran darah. Nyeri mulai reda setelah 8-

12 jam dari pemasangan fentanyl patch dan perlu diganti setelah 72 jam.3,17

Pada pasien ini diberikan terapi analgesia multimodal yakni menggunakan

dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk

mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek

samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dynastat

yang merupakan golongan NSAID yang menghambat cyclooxygenase (COX) dan

selektif terhadap COX-2 sedangkan fentanyl merupakan salah satu opiod

kuat.14,15,17

G. KESIMPULAN

Nyeri punggung bawah bukanlah suatu penyakit tetapi sebuah kumpulan

dari gejala yang biasanya bersifat akut dan self limited. Mengatasi nyeri punggung

bawah adalah sebuah tantangan yang besar. Nyeri punggung bawah adalah

penyebab mayor dari cacat sementara dan tantangan bagi keputusan terapi medis

dan pembedahan.

Untuk memudahkan pengobatan nyeri, WHO membuat suatu pedoman

penilaian nyeri yang sangat dikenal dan dipakai hampir di seluruh dunia, yaitu

Step ladder WHO. Berdasarkan pedoman ini akan lebih mudah untuk

menatalaksana nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

21

1. WHO. Global Tuberculosis Report 2012. [Online].[cited 2013 January]. Available from: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75938/1/9789241564502_eng.pdf

2. Vitriana. Spondilitis Tuberculosa. [Online]. [cited 2013 Januari]. Available from URL: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/

3. Ramzi. Perbedaan skala nyeri visual analogue score (vas) sebelum dan sesudah operasi spondilitis tuberkulosa di Rumah Sakit Penddikan FK USU [Online]. [cited 2013 Januari]. Available from URL:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6217/1/08E00866.pdf

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical Anesthesiology 4th Edition. New York: Blackwell Science; 2009.

5. Setiyohadi B, Sumariyono, Kasjmir YI, Isbagio H, Kalim H. Nyeri. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.1166-1173.

6. Giordano J. The Neuroscience of pain and analgesia. In Boswell MV, Cole BE, editors. Weiner's pain management a pratical guide for clinicians. 7th ed. New York: Taylor & Francis; 2006. p. 15-20.

7. Gottschalk A, Smith DS. American family physician. [Online].; 2001 [cited 2012 August. Available from: http://www.aafp.org.

8. Davis LE, King MK, Schultz JE. Disorders of Pain and Headache. In: Fundamentals of Neurologic Disease. New York: Demos Medical Publishing; 2005. p. 201-2.

9. Eugene J. Carragee. Park Young. Chronic Low Back Pain.In: Mary E. Lynch, Kenneth D. Craig, Philip W.H. Peng. Clinical Pain Management : A Practical Guide. Chichester : Blackwell Publishing; 2009

10. Gwinnutt CL, ed. Lecture Notes Clinical Anaesthesia Second Edition. Massachusetts: Blackwell Science Ltd. 2004. p. 139-50

11. Gubbels SP, Andersen PE. Head and Neck Cancers. In: Sibell, David M.; Kirsch, Jeffrey R, eds. 5 Minute Pain Management Consult, The , 1st Edition.New York: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.

22

12. Worgo BW, Burton AW. Cancer pain. In wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and management. New York: McGraw Hill; 2005. p. 183-189.

13. Harsal A. Penanggulangan Nyeri pada Kanker. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.885-7

14. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-antipiretik analgesik anti-inflamasi nonsteroid dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007.

15. Portenoy RK. Three Step Analgesic Ladder for management of cancer pain. 2006.

16. Anonim. MST continus. [Online]. [cited 2012 August. Available from URL http://www.netdoctor.co.uk/aches-and-pains/medicines/mst-continus-tablets.html

17. Dewoto HR. Analgesik opiod dan antagonis. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2006.

23