Makna Yadnya sesa bagi Kehidupan Keseharian Ummat...
Transcript of Makna Yadnya sesa bagi Kehidupan Keseharian Ummat...
MAKNA YADNYA SESA BAGI KEHIDUPAN
KESEHARIAN UMAT HINDU (Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)
S K R I P S I
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam
Disusun Oleh:
Endah Humaidah 102032124625
Program Studi Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
J A K A R T A
2 0 0 8
MAKNA YADNYA SESA BAGI KEHIDUPAN
KESEHARIAN UMAT HINDU (Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)
S K R I P S I
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh:
Endah Himaidah 102032124625
Diperiksa dan Disetujui,
Di Bawah Bimbingan
Dra. Hj. Hermawati, M.A NIP. 150 227 408
Program Studi Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
J A K A R T A
2 0 0 8
P E N G E S A
H A N
Skripsi yang
berjudul:
MAKNA YADNYA SESA BAGI KEHIDUPAN KESEHARIAN UMAT HINDU
(Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok) telah diujikan dalam Sidang
Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20
Februari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar
Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Perbandingan Agama.
Jakarta, 20 Februari
2008
Sidang
Munaqasah,
(Dr. Hamid Nasuhi, M.A.) (Maulana, M.A.)
NIP. 150 241 817 NIP. 150 293 221 A
n
g
g
ot
a,
(Drs. H. Roswen Dja’far) (Dra. Siti Nadroh,
M.A)
NIP. 150 022 782 NIP. 150 282 310 Pemb
imbin
g,
Dra. Hj.
Hermawati, M.A NIP. 150 227 408
i
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu penulis baik
secara moril maupun materil selama menempuh perkuliahan pada jenjang Strata
Satu ( S1 ) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis yakin tanpa adanya
dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik yang bersifat pribadi maupun
kolektif, tidaklah mungkin skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan terima kasih
yang tiada terhingga kepada:
1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dra. Ida Rosyidah, M. A dan Bapak Drs. Maulana, M. A. selaku Ketua
dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat yang telah memberikan banyak pengarahan dan motivasi hingga
akhir studi penulis.
3. Ibu Dra. Hj. Hermawati, M. A. selaku Dosen Pembimbing atas kesediaan
waktunya untuk membimbing penulis dalam merampungkan skripsi ini;
4. Ayahanda dan ibunda tercinta: Bapak H. Bunyamin dan Ibu Hj.
Marhamah, orang tua penulis yang sangat banyak memberikan bantuan,
doa dan fasilitas, baik moril maupun materil.
5. “B.U” tersayang yang selalu ada saat ku butuhkan.
ii
6. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya
pengajar Jurusan Perbandingan Agama yang dengan ikhlas mentransfer
ilmu pengetahuannya yang tiada ternilai harganya.
7. Kepada Bapak Drs. Anak Agung Gede Raka Mas sebagai dosen Sekolah
Tinggi Agama Hindu (STAH) yang telah banyak meluangkan waktunya
untuk wawancara.
8. Pimpinan dan pegawai Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
9. Pimpinan dan pegawai Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dalam melengkapi
referensi penulis.
10. Pimpinan dan pegawai Akademik Pusat dan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Keluarga besar, Kakak-kakak dan adik-adikku tersayang, yang telah
memberikan motivasi dan kehaangatan dalam keluarga.
12. Semua teman-temanku di Jurusan Perbandingan Agama “Angkatan 2002”
terutama sahabat-sahabat terdekatku, Inna Muthi’ah R, Ida Farida, M.
Sahal, Helmi, Abew, Dini, dan Phei, Eha, teman berbagi suka dan duka,
tempat mencurahkan isi hati dan motivator terbaik.
13. Serta segenap pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dalam proses penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas segala
bantuannya.
iii
Mudah-mudahan semua amal baik mereka diterima oleh Allah swt. dan
mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari-Nya. Selain itu, melalui kajian yang
sederhana ini penulis tentunya juga berharap dapat memberikan sumbangan
pengetahuan yang bermanfaat bagi umat Hindu dan para mahasiswa Jurusan
Perbandingan Agama yang memerlukannya. Demikian pula melalui ajaran
Yadnya Sesa itu penulis juga berharap agar kekuatan moral yang ada didalamnya
bisa membentuk generasi bangsa yang baik serta bertanggung jawab. Akhirul
kalam, ibarat tiada gading yang tak retak, mudah-mudahan skripsi yang masih
jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.
Jakarta, 3 Desember 2007
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 7
D. Metode Penelitian .............................................................. 7
E. Sistematika Penulisan ........................................................ 10
BAB II KORBAN SUCI
A. Sekilas tentang Yadnya ...................................................... 12
1. Pengertian Yadnya ....................................................... 12
2. Bentuk Yadnya ............................................................. 15
a. Panca Yadnya ......................................................... 15
b. Sarana Yadnya ....................................................... 16
3. Pelaksanaan Yadnya ..................................................... 16
a. Nitya Karma ........................................................... 16
b. Naimitika Karma .................................................... 16
B. Yadnya Sesa ..................................................................... 17
a. Pengertian Yadnya Sesa ......................................... 17
b. Fungsi dan Tujuan Yadnya Sesa ............................ 19
c. Tata Letak Pelaksanaan Yadnya Sesa ..................... 23
d. Tata Cara Pelaksanaan Yadnya Sesa ....................... 24
v
e. Doa Yadnya Sesa ................................................... 25
C. Makanan Persembahan (Banten) ........................................ 31
D. Filsafat Bhuta Kala ............................................................ 34
BAB III KEHIDUPAN UMAT HINDU
A. Grhasta Asrama ................................................................. 37
B. Sraddha (Keimanan) .......................................................... 41
C. Bhakti Marga (Cinta Kasih) ............................................... 43
D. Masyarakat Hindu Cinere dan Yadnya Sesa ....................... 45
BAB IV MAKNA YADNYA SESA
A. Nilai Filosofis Yadnya Sesa ............................................... 49
B. Makna Agamis Yadnya Sesa .............................................. 54
C. Peranan Yadnya Sesa dalam Pertumbuhan
Moral Spiritual ................................................................... 58
D. Macam-macam Yadnya Sesa Berdasarkan Makanan
Persembahannya ................................................................ 61
1. Segehan Kepel ........................................................... 61
2. Segehan Sasah ........................................................... 63
3. Segehan Agung .......................................................... 64
4. Segehan Siban ............................................................ 65
5. Segehan Wong-wongan ............................................. 66
vi
E. Analisa Kritis ..................................................................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 75
B. Saran-saran ........................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Hindu, manusia selalu menginginkan kehidupan yang penuh
dengan kedamaian. Untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan kedamaian,
antara kehidupan rohani dan jasmani harus selalu seimbang. Tetapi kenyataannya,
sering dialami sekarang ini manusia selalu merasa tidak bahagia, sebagian besar
hidupnya selalu digunakan untuk mengejar materi semata. Padahal ajaran Hindu
sudah berulang kali menekankan bahwa untuk mencapai kebahagiaan hidup setiap
perbuatan harus dilandaskan moral agama, salah satunya adalah melalui upacara
Yadnya.
Alam semesta dengan segala bentuk ciptaan sebenarnya telah diciptakan
melalui proses Yadnya. Karena itu semua yang ada di alam semesta ini juga
ditopang oleh Yadnya. Artinya tanpa Yadnya tidak akan pernah ada kehidupan,
demikian pula tanpa Yadnya alam semesta ini pasti mengalami kehancuran.
Pengertian Yadnya itu sendiri adalah pengorbanan yang tulus dan suci.
Umat Hindu diajarkan percaya dengan Panca Yadnya, yaitu: Dewa
Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya serta Pitra Yadnya. Melalui
Panca Yadnya tersebut, umat Hindu diharuskan selalu mengingat kelima unsur
yang telah menyebabkan keberadaan manusia di dunia. Hal-hal yang berkaitan
dengan Panca Yadnya tersebut antara lain: melalui ajaran Dewa Yadnya, sebagai
manusia mereka selalu diingatkan untuk percaya serta berkewajiban untuk
2
memuja Tuhan, melalui upacara serta perenungan Japa mantra sesuai dengan yang
diajarkan oleh agama.
Kemudian melalui upacara Butha Yadnya mereka juga selalu diingatkan
untuk senantiasa sadar terhadap alam dan lingkungan tempat manusia berpijak.
Mereka juga diajarkan untuk saling menghormati umat lainnya, sebab manusia
tidak hidup sendirian di tengah-tengah alam semesta ini.
Melalui ajaran Rsi Yadnya, mereka juga disadarkan serta diajarkan untuk
1selalu ingat serta menghormati para Rsi dan para guru, karena dengan keberadaan
beliau-beliau itulah mereka akhirnya bisa mendapatkan ilmu pengetahuan
sehingga pikiran manusia yang biasanya selalu diliputi oleh kegelapan berubah
menjadi terang.
Kemudian melalui upacara Manusa Yadnya, umat Hindu senantiasa
diingatkan agar mulai sedini mungkin diajarkan patuh terhadap agamanya dengan
pelaksanaan berbagai macam kegiatan upacara keagamaan. Bahkan semenjak bayi
semasa dalam kandungan, kemudian lahir, dewasa, sampai meninggal dunia
semuanya diwujudkan dengan upacara. Demikian pula makna yang terkandung di
dalamnya, yang mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan terhadap
sesamanya, hidup tolong-menolong dalam bermasyarakat.
Terakhir, melalui upacara Pitra Yadnya, manusia juga diingatkan bahwa
kehidupan di dunia ini tidak ada yang kekal. Segala sesuatu yang pernah lahir
semuanya akan meninggal dan kembali ke asalnya. Sebagai manusia yang
sempurna, mereka diwajibkan untuk menjaga kehormatan serta melindungi orang
iii.
1 I.G.A. Mas Mt. Putra, Panca Yadnya, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1988), hlm. ii-
3
tuanya. Salah satu wujud bakti si anak terhadap orang tuanya adalah
melaksanakan upacara Ngaben, untuk membantu mengembalikan jasad orang
tuanya ke asalnya, agar jiwanya menjadi tenang.
Oleh sebab itu, salah satu kegiatan umat Hindu di dalam menghayati
agamanya adalah melalui pelaksanaan Yadnya Sesa. Jika di Bali kita mengenal
istilah Yadnya Sesa, maka di India dikenal istilah Prasadam, yaitu menikmati
makanan hasil atau setelah dipersembahkan ke hadapan-Nya.2
Di beberapa tempat
di Bali, Yadnya Sesa diterjemahkan juga dengan Meseiban atau Mejotan.3
Yadnya Sesa adalah satu Yadnya dari sekian banyak Yadnya yang ada
dalam agama Hindu, Yadnya Sesa merupakan Yadnya sehari-hari yang sangat
sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Sehabis memasak para ibu
keluarga Hindustani mempersembahkan makanan yang tersaji dalam sebuah
bokor atau nampan di altarnya kemudian barulah mereka menikmati hidangan
bersama keluarganya. Ada semacam keyakinan dari para keluarga Hindu di India
bahwa menikmati prasadam akan mendapat berkah dari-Nya.4
Yadnya Sesa
menjadi ritual sederhana namun sangat penting. Hal ini diterangkan di dalam
Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III. sloka 69 dan 75 yang mengatakan:
“Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa
2 Niken Tambang Raras, Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), Cet. 1, hlm. 1. 3 Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka
Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm.40. 4 Niken Tambang Raras, Yajna Sesa, (Surabaya: Paramita, 2005), Cet. 1, hlm. 2.
4
dihapus dengan melakukan Yadnya Sesa.”5
Dan diterangkan pula di dalam kitab
suci Bhagavat-gita III.12-13 yang memuat sloka berikut:
Istan bhoan hi vo deva
dasyante yajna-bhavitah
tair dattan apradayaibhyo
yo bhunkte stena eva sah
Yadnya sishtasinsah santo
mucnyante sarva kilbishail
bhunjate te tv agham papa
ye pacanty atma karamat
Artinya:
“Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan
kepadamu oleh para dewa karena Yadnya-mu, sedangkan ia yang telah
memperoleh kesenangan tanpa memberi Yadnya sesungguhnya adalah
pencuri. Ia yang memakan sisa Yadnya akan terlepas dari segala dosa,
tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya
makan dosa.” 6
Karena itu, penting sekali melakukan Yadnya Sesa meski nampaknya
sederhana. Sepintas umat Hindu tampak sangat patuh untuk melaksanakan segala
bentuk upacara sesuai dengan yang diajarkan agamanya. Tetapi apabila kita
bercermin lebih dalam, upacara yang mereka laksanakan itu terkesan sangat semu.
Contohnya: mereka pada umumnya merasa bangga karena telah dapat
melaksanakan upacara yang telah dibentuk oleh tradisi melalui peninggalan para
leluhurnya. Tetapi sangat disayangkan karena mereka pada umumnya tidak
mengerti makna yang tersirat di dalam upacara tersebut. Sehingga timbul kesan
arogan yang hanya mementingkan kulit luarnya saja. Mereka kebanyakan hanya
mementingkan nilai kemegahan dari upacara tersebut, bukan dari nilai
spiritualnya. Mereka lebih menekankan besarnya biaya yang harus dikeluarkan
5 G. Pudja dan Sudharta, Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra
Kencana Buana, 2003), Bab III. 69, hlm. 151. 6 Pudja G, Bhagavad-gita, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1984), Bab III. 13.
5
sehingga upacara yang di laksanakan kelihatan lebih besar dan megah, dan tidak
ada orang lain yang dapat menandinginya. Padahal ajaran agama Hindu selalu
menekankan untuk mencari makna yang terkandung di dalam pelaksanaan
upacara itu sendiri, rasa ketulusan serta wujud bakti persembahannya, bukan
kemegahannya.
Perlu juga dimaklumi bahwa Yadnya itu bukan sistem barter (pertukaran
barang atau bisnis), maksudnya adalah jika seseorang beryadnya besar-besaran
dengan nilai mata uang sekian, maka Tuhan memberikan imbalan materi dengan
nilai mata uang dua kali lipat dari itu. Bukan itu tujuan dari Yadnya. Yadnya Sesa
yang dilakukan setiap hari secara perlahan-lahan mendidik seseorang
menumbuhkan rasa kasih terhadap alam lingkungannya, kasih terhadap
penciptanya dan juga kasih terhadap sesamanya. Secara tidak disadari seseorang
,melangkah perlahan-lahan menuju landasan hidup spiritualitas. Seandainya saja
langkah pertama ini diimbangi dengan ilmu pengetahuan rohani pada diri setiap
individu, tentu Yadnya sederhana yang berupa Banten Jotan tersebut tidak
membuat seseorang merasa terpaksa menghaturkannya karena tradisi turun
menurun.
Di samping itu pula upacara Yadnya Sesa kelihatannya sangat rumit dan
mengandung makna yang sangat mendalam serta masih banyaknya orang-orang
yang belum mengetahui dan memahami tentang upacara Yadnya Sesa tersebut,
maka penulis menjadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh dan membahasnya. Di
samping itu, karena upacaranya mengandung makna yang sangat sakral, maka
alangkah baiknya bila tata cara pelaksanaannya dipelajari secarta mendalam
6
sehingga dengan demikian penulis yakin ada sesuatu yang akan ditemukan
sehingga sesuatu itu bisa dituangkan ke dalam nilai-nilai pendidikan Agama
Hindu. Penulis juga menyadari sulitnya mempelajari moral apa yang terkandung
di dalam Yadnya Sesa itu.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah tentang Makna
Yadnya Sesa Bagi Kehidupan Keseharian Umat Hindu (Studi Kasus Masyarakat
Hindu Cinere, Depok). Penulis memilih mengadakan penelitian di wilayah Cinere,
Depok, berkaitan dengan makanan persembahan (Banten) Yadnya Sesa yang
dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Cinere yang digolongkan dalam jenis
Segehan Saiban. Namun penulis perlu untuk merumuskan penulisan skripsi ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana umat Hindu khususnya umat Hindu Cinere, memaknai Yadnya
Sesa dalam kehidupan kesehariannya?
2. Bagaimana pelaksanaan Yadnya Sesa dapat dijadikan sarana pendidikan
untuk menumbuhkan moral yang baik?
3. Masih relevankah upacara Yadnya Sesa itu dilaksanakan, bila dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari pada zaman millennium yang serba modern
ini?
7
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini terdiri
dari tujuan umum dan tujuan khusus, sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memenuhi persyaratan ujian
Munaqosah dalam rangka mencapai gelar sarjana Strata 1 (S1) pada
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menambah wawasan
pengetahuan penulis mengenai tema yang berkaitan yakni makna Yadnya
Sesa, untuk mengenal serta memahami kehidupan beragama umat Hindu,
serta untuk memberikan sumbangan pengetahuan bagi yang
membutuhkan.
D. Metode Penelitian
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan
oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu: Buku “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta”, yang diterbitkan oleh UIN Press tahun ajaran
2006/2007.
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis
mengunakan metode-metode sebagai berikut:
8
1. Metode dan Alat dalam Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan (Library Research), yakni penulis berusaha membaca,
menelaah, dan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan
penelitian ini dari literatur-literatur yang menunjang.
b. Penelitian lapangan (Field Research), yakni penelitian yang penulis
lakukan lebih mendalam dalam penulisan skripsi ini, tujuannya adalah
mencari data-data yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi. Dengan
metode ini, penulis mendapatkan informasi dan pemahaman secara
langsung yang signifikan.
c. Teknik Observasi (Pengamatan)
Kelurahan Cinere terletak di Kecamatan Limo kota Depok dengan luas
wilayah seluruhnya 6 ha/m2. Batas-batas kelurahan ini sebagai berikut:
Sebelah utara : Kelurahan Pangkalan Jati, Limo
Sebelah selatan : Kelurahan Limo, Limo
Sebelah timur : Kelurahan Gandul, Limo
Sebelah barat : Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Pamulang
Populasi masyarakat Cinere berjumlah 22. 748 jiwa dengan jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 12. 231 jiwa dan perempuan sebanyak 10.
517 jiwa. Jumlah ini meliputi masyarakat yang menganut agama Islam
sebanyak 16. 985 jiwa, beragama Kristen sebanyak 2. 587 jiwa, beragama
Katholik sebanyak 1. 740 jiwa, beragama Hindu sebanyak 768 jiwa dan
beragama Budha sebanyak 668 jiwa. Dari keseluruhan jumlah Kepala
9
Keluarga di Cinere yang berjumlah 9. 627 Kepala Keluarga, masyarakat
yang beragama Hindu terdiri dari 55 Kepala Keluarga.7
Bentuk topografi tanah yang berupa dataran rendah menjadikan kelurahan
Cinere sesuai untuk kawasan perkantoran dan pertokoan/bisnis. Kegiatan
sosial keagamaan masyarakat Hindu tidak berpaling dari kegiatan-kegiatan
di Pura setempat yakni di Pura Amrta Jati yang berlokasi di Jalan Punak
no. 33 Pangkalan Jati. Namun mengingat Yadnya Sesa merupakan ritual
harian yang dilaksanakan di rumah masing-masing, maka observasi
dilakukan penulis dengan mengunjungi rumah-rumah masyarakat Hindu di
Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Depok untuk mendapatkan informasi
secara langsung yang signifikan.8
d. Teknik Wawancara
Melalui teknik ini, penulis mengunakan komunikasi langsung atau
wawancara (interview), wawancara ini dilakukan secara mendalam (in
depth interview) dengan para informan tentang data-data yang diperlukan
yang sesuai dengan judul skripsi. Dalam wawancara ini, penulis telah
mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan judul
skripsi, dan di samping itu ada pula pertanyaan-pertanyaan yang tidak
tertulis.
2. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diklasifikasikan untuk disesuaikan
dengan masalah yang sedang dibahas. Adapun metode yang digunakan dalam
7 Data diambil dari salinan dokumen kantor Kelurahan Cinere, Depok, Lampiran II, hlm.
2 dan 25. 8 Observasi dilaksanakan pada tanggal 22-23 Mei 2007.
10
pengolahan data dan menganalisa data yaitu menggunakan pendekatan
fenomenologis. Sifat pokok pendekatan fenomenologis ini adalah membiarkan
realita (fakta), atau kejadian, atau keadaan, atau benda berbicara sendiri dalam
suasana intention.9
Tujuannya ialah untuk mencari pengertian-pengertian atau
untuk memahami konsepsi-konsepsi Yadnya Sesa dari sudut pandang penganut
Hindu.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan
diuraikan dalam skripsi ini, maka perlu penulis kemukakan susunan atau
sistematika penyusunan sebagai berikut:
BAB I Mencakup lima pasal pembahasan yang terdiri dari Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,
Tujuan Penelitian Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Memuat pembahasan menyeluruh tentang Korban Suci atau
Yadnya, Yadnya Sesa meliputi: pengertian, fungsi dan
tujuan, tata cara pelaksanaan dan makanan persembahannya
(banten), serta membahas tentang Filsafat Bhuta Kala
dalam kaitannya dengan Yadnya Sesa.
BAB III Memuat pembahasan tentang Kehidupan Umat Hindu yang
menitikberatkan pada pembahasan Grhyasta Asrama,
9 Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, terj. Djamannuri, ( Jakarta: Raja Grafindo
Press, 1994 ), Cet.4, hlm. 35.
11
Sraddha, Bhakti Marga dan Masyarakat Hindu Cinere
berkaitan dengan pelaksanaan Yadnya Sesa.
BAB IV Memuat Telaah Pengorbanan dalam Konsep Hindu dan
Perspektif Islam berikut Analisanya.
BAB V Merupakan bab terakhir dari penyusunan skripsi ini yang
memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan dan ditutup
dengan saran-saran untuk berbagai pihak.
12
BAB II
KORBAN SUCI
A. Sekilas tentang Yadnya
Yadnya atau upacara merupakan bagian ketiga dari kerangka agama
Hindu. Dari sudut filsafatnya, yadnya ialah cara-cara melakukan hubungan antara
Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta
semua manifestasinya, Yadnya adalah jalan untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk
upacara ini dipergunakan upacara ayat suci tentang Yadnya sebagai alat penolong
yang nyata untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya dengan Sang
Hyang Widhi Wesa dalam bentuk nyata.
1. Pengertian Yadnya
Yadnya dalam pengertian secara luasnya adalah suatu pengorbanan yang
sangat tulus tanpa pernah mengharapkan imbalan. Kata yadnya (yajna) berasal
dari bahasa Sanskerta dengan akar kata “Yaj” yang artinya memuja, menyembah,
berdoa atau pengorbanan.1
Kemudian kata yadnya ini berkembang dan
berkembang sehingga salah satu maknanya kita kenal dengan “korban suci”, yakni
korban yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan dan tanpa pamrih.2
Adapun pengertian yadnya yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari
adalah upacara keagamaan yang sama artinya dengan Samskara atau Sanaskara.
Kata Samskara atau Sanaskara diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang
1 AA Gede Raka Mas, Tuntunan Susila untuk Meraih Hidup Bahagia, (Surabaya;
Paramita, 2002), Cet. 1, hlm. 40. 2 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), Cet. 5, hlm. 238.
13
berarti “Upacara”.3
Namun demikian, yadnya mengandung pengertian yang jauh
lebih luas dibandingkan pengertian upacara atau upakara.
Beryadnya berarti memuja Tuhan, juga bermakna menyucikan diri sendiri.
Melaksanakan yadnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas
spiritual manusia. Tujuan beryadnya adalah agar mendapatkan tuntunan sinar
sucinya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga dalam mengarungi hidup yang
penuh gejolak ini mendapat ketenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan.4
Demikian pula di dalam setiap keluarga harus saling mengorbankan diri
demi berhasilnya sebuah keluarga. Kemudian dari tingkat keluarga rasa
pengorbanan tersebut hendaknya ditingkatkan pula ke dalam kehidupan
bermasyarakat, lalu bernegara dan seterusnya. Sebab Tuhan pun di dalam
menciptakan alam semesta ini juga melalui pengorbanan. Tidak ada perjuangan di
dunia ini tanpa melalui pengorbanan. Terutama sekali berkorban demi
kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia demi untuk keseimbangan hidup di
dunia. Karena itu, pengorbanan yang tulus tanpa menuntut imbalan, itulah yang
dinamakan yadnya, pengorbanan yang paling utama sesuai dengan yang
dianjurkan oleh ajaran Agama. Di dalam kitab suci Bhagavad-gita III.10,
disebutkan:
Sahayajnah prajah sristwa
puro waca prajapatih
anena prasawisya dhiwam
esa wo’sstwista kamadhu
3 Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I
Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 4. 4 AA Gede Raka Mas, Menjadi Orang Tua Mulia dan Berguna, (Surabaya: Paramita,
2002), hlm. 17.
14
Artinya:
“Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan Tuhan telah menciptakan manusia melalui Yadnya dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana lembu perahan yang memerah susunya karena
keinginanmu (sendiri).”5
Demikian pula dalam kitab suci Manawa Dharma Sastra Bab. III.75,
tertulis sebagai berikut:
Swadhyaye nityayuktah
syaddaiwe caiweha karmani,
daiwakarmani yukto hi
bibhar timdam caracaram
Artinya:
“Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap
harinya menghaturkan mantra-mantra suci Weda dan juga
melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin
menjalankan yadnya pada hakekatnya membantu ciptaan Tuhan baik
yang bergerak maupun yang tak bergerak.”6
Karena itu alam semesta ini sebenarnya timbul atau diciptakan melalui
proses yadnya, serta dipelihara oleh yadnya. Tanpa melalui yadnya, alam semesta
ini pasti tidak akan pernah ada. Demikian pula tanpa ditunjang oleh yadnya, alam
semesta ini pasti akan mengalami kehancuran. Pelaksanaan yadnya sebenarnya
sangat penting untuk menyeimbangkan perputaran siklus di dalam kehidupan ini.
Hanya dengan cara seperti itu suatu kehidupan baru bisa dipelihara, serta
berkembang sesuai dengan yang semestinya. Selain itu Yadnya juga dipengaruhi
adanya filsafat hutang atau Rna yakni: Dewa Rna : adalah hutang
5 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III. 10. 6 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana,
2003), Bab III.75, hlm. 152-153
15
hidupkehadapan Ida Hyang Widhi. Pitra Rna : adalah hutang suci kepada Rsi.
Rsi Rna : adala hutang jasa kepada para Leluhur.7
Karena itu setiap umat Hindu selalu melaksanakan upacara Yadnya di
dalam kehidupannya, terutama umat Hindu yang ada di Bali. Bagi mereka tidak
ada hari tanpa upacara. Hal tersebut merupakan cermin kehidupan masyarakat
Hindu Bali yang religius. Sebab umat Hindu lebih mengutamakan perbuatan yang
baik daripada hanya sekedar teori. Penghayatan agama umat Hindu tercermin
dalam setiap aktivitas kesehariannya di mana pelaksanaan Yadnya Sesa termasuk
salah satu aktivitas tersebut.
2. Bentuk Yadnya
a. Panca Yadnya
Ada lima perwujudan yadnya yang dikenal oleh umat Hindu dengan Panca
Yadnya, sebagai berikut:
1) Dewa Yadnya; yadnya yang ditujukan ke hadapan Tuhan/Ida Hyang
Widhi beserta manifestasi-Nya;
2) Pitra Yadnya; yadnya yang ditujukan kepada para leluhur dan kepada
yang mendahuluinya;
3) Rsi Yadnya; pengorbanan yang ditujukan kepada orang-orang suci dari
pimpinan agama yang sudah mendwijati;
4) Bhuta Yadnya; pengorbanan yang ditujukan kepada para Bhuta dan
segala makhluk ciptaan Tuhan yang lebih rendah dari manusia;
7 Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I
Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 3-4.
16
5) Manusia Yadnya; segala pengorbanan yang ditujukan untuk
pemeliharaan umat manusia mulai dari dalam kandungan sampai akhir
hidup manusia itu.8
b. Sarana Yadnya
Menurut Bhagavadgita IV.28, sarana yadnya dapat berupa:
1) Drawya Yadnya, yaitu yadnya dengan sarana benda-benda material dan
kekayaannya;
2) Tapa Yadnya, yaitu yadnya dengan melaksanakan tapa atau latihan batin;
3) Yoga Yadnya, yaitu yadnya dengan melaksanakan yoga;
4) Swadhyaya Yadnya, yaitu yadnya dengan mempelajari ajaran suci;
5) Jnana Yadnya, yaitu yadnya dengan ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan.9
3. Pelaksanaan Yadnya
Pelaksanaan yadnya terbagi dua, yakni:
a. Nitya Karma, disebut juga Nimita Karma yakni pelaksanaan yadnya setiap
hari (rutin), termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan upacara Yadnya
Sesa dan pembacaan Gayatri Mantra.
b. Naimitika Karma, pelaksanaan yadnya pada waktu-waktu tertentu
(berkala), seperti upacara Ngaben, dilaksanakan berdasarkan Desa (tempat
8
Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I
Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 3. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai,
Manawa Dharma Sastra, ((Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69-71, hlm. 151. 9 A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan
Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm. 43-44.
17
di mana yadnya akan dilaksanakan) dan Kala (perhitungan hari baik) dan
Patra (keadaan ekonomi).10
B. Yadnya Sesa
1. Pengertian Yadnya Sesa
Semua perbuatan kebajikan dapat diartikan ‘Yadnya’ atau kurban suci atau
upakara (banten). Sedangkan ‘Sesa’ berasal dari kata ‘Wisesa’ yang dapat berarti
religius dan mengandung sifat-sifat ‘pengeruat’ (penyupatan), maksudnya sebagai
simbol dari kekuatan-kekuatan di luar diri manusia yang dilaksanakan untuk
memelihara keseimbangan Sarwa Prani (alam semesta beserta isinya).11
Upacara Yadnya Sesa, atau yang disebut juga Ngejot atau Banten Saiban,
adalah pelaksanaan Yadnya yang dilakukan setiap hari (Nimita Karma).12
Upacara
Yadnya seperti ini biasanya dilaksanakan pada saat selesai memasak di dapur.
Pelaksanaan upacara seperti ini adalah salah satu bukti di dalam ajaran agama
Hindu, bahwa sebelum menyantap makanan, terlebih dahulu seseorang harus
mempersembahkannya untuk Tuhan yang telah menciptakan segala yang ada
sebagai wujud rasa terima kasih kita kepada Tuhan. Seseorang juga harus
menyisihkan sebagian makanan sebagai permohonan ijin kepada-Nya. Sebab
tanpa memohon ijin terlebih dahulu, berarti sama saja dengan mencuri namanya.
Sebagaimana tertulis sloka suci Bhagavad-gita, Bab III sloka 13, sebagai berikut:
10 I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar:
Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 6. 11
I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar:
Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 67. 12 I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar:
Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 69.
18
Yajna sistasinah santo mucyante sarva kinbisaih
bunjate te twagham papa
ye pacanty atma karanat
Artinya:
“Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, (tetapi)
ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri,
sesungguhnya makan dosa.”13
Itulah sebabnya umat Hindu mempersembahkan sebagian makanannya
terlebih dahulu sebelum mereka memakannya. Persembahan itu sebenarnya
sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka ke hadapan Tuhan. Di samping itu
persembahan itu menandakan sebagai pengakuan bahwa semua yang ada di dunia
ini adalah milik Tuhan, makanan apapun bentuknya yang mereka makan harus
memohon ijin terlebih dahulu. Apalagi mengingat makanan yang dimakan
sebelumnya berupa makhluk hidup, seperti hewan dan tumbuhan, sehingga jika
ingin memakannya tentu harus menghilangkan nyawa dari hewan dan tumbuhan
tersebut. Dan dengan menghilangkan nyawa dari sumber makanan tersebut,
manusia hendaknya memohon izin terlebih dahulu kepada Sang Kuasa.
Dan itu pula sebabnya umat Hindu tidak boleh sembarangan untuk
memakan ataupun membunuh makhluk lainnya. Sebagaimana tertulis dalam kitab
suci Manawa Dharma Sastra, Bab III sloka 68, sebagai berikut:
Panca suna grhasthasya
culli pesanyu paskarah,
kandani codakumbhacca badha
yate yastu wahayan
Artinya:
13 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III.13, hlm 34.
19
“Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat
penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu lesung dan
alunya, tempayan tempat air dengan pemakaian mana ia diikat oleh
belenggu dosa.”14
Dengan memberikan sesuatu kapada Tuhan, mereka akan terdidik untuk
mambiasakan diri berbuat bagi kepentingan umum tanpa meminta suatu imbalan
dan mengakhirkan segala kepentingan pribadi. Sebab apabila seseorang berbuat
baik, karma yang baik pun akan senantiasa menyertainya.
Dengan demikian, dengan melalui persembahan (banten) Yadnya Sesa
umat Hindu berusaha untuk mengikis kenikmatan duniawi agar mencapai
kebebasan rohani. Karena itu secara tidak langsung umat Hindu telah menciptakan
keharmonisan, hidup berdampingan antara makhluk yang satu dengan yang lain.
Sebab, persembahan Yadnya Sesa itu akhirnya akan dinikmati oleh makhluk
lainnya.
2. Fungsi dan Tujuan
Untuk mengetahui fungsi dan tujuan Yadnya Sesa, sebelumnya kita harus
tinjau dahulu fungsi dan tujuan Yadnya secara garis besarnya yakni:
a. Sebagai sarana untuk menyeberangkan Atma (jiwa) mencapai Brahman,
yang diumpamakan sebagai sebuah kapal untuk membawa
penumpangnya menuju tempat tujuan. Dalam hal ini untuk membawa
manusia mencapai tingkat moksa;
14 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.68, hlm. 150.
20
b. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan, agar
semua harapannya bisa terwujud serta senantiasa dilindungi oleh-Nya;
c. Sebagai sarana untuk mencapai suasana yang terang dan penuh dengan
kesucian.
d. Sebagai sarana pendidikan untuk menumbuhkan perilaku yang sopan.15
Menurut R. B. Pandey, di dalam bukunya, “Hindu Samskara:
Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya”, fungsi dan tujuan Yadnya
Sesa adalah:
a. Membuat atau menjadikan sifat welas asih serta penyayang terhadap
sesamanya;
b. Pelaksanaan yadnya juga bisa menyebabkan semakin berkurangnya
perasaan yang negatif yang telah menguasai diri manusia;
c. Juga mampu untuk menumbuhkan sifat-sifat kerohanian, sehingga
menyebabkan orang-orang menjadi sabar, wajar, serta tenang
menghadapi segala macam cobaan;
d. Menumbuhkan sifat-sifat sosial, suka berdana punia16
serta tidak
mempunyai sifat egois (hanya senang mementingkan diri sendiri);
e. Mengembangkan serta membina kepribadian, sehingga dengan
melaksanakan yadnya akhirnya bisa untuk membudayakan tingkah laku
yang sopan, berpikiran suci mulia;
15 G. Pudja, Acara Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 1985), hlm. 28 16
Dana punia berarti bersedekah harta sebab dalam beryadnya juga membutuhkan biaya,
lihat A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan
Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm. 46.
21
f. Yadnya juga sebagai sarana pendidikan, yaitu dengan menciptakan
tempat pelaksanaan yadnya dari yang tidak suci menjadi suci.17
Itu pula
sebabnya alat-alat yang dipakai untuk upacara harus disucikan terlebih
dahulu melalui upacara Prayascita.18
Dengan demikian, seseorang
termotivasi untuk berpikir suci serta berperilaku yang baik sesuai dengan
ajaran agama.
Di dalam kitab suci Bhagavad-gita, Bab III sloka 15, disebutkan bahwa
alam semesta ini sebenarnya timbul atau diciptakan melalui proses yadnya dan
dipelihara oleh yadnya. Karena itu, tanpa melalui yadnya, alam semesta ini pasti
tidak akan pernah ada. Demikian pula tanpa ditunjang oleh yadnya, alam semesta
ini pasti akan mengalami kehancuran. Demikianlah semua berjalan
berkesinambungan guna memelihara keseimbangan siklus kehidupan di alam
semesta ini. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci Bhagavad-gita Bab III sloka
15, sebagai berikut:
Anand bhawanti bhutani
prajnyad annasambhawah
yadjnad bhawati parjanyo
yadjnad karma samadbawah
Artinya:
“Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya, sedangkan adanya yadnya
adalah karena perbuatan (karma).”19
17 R. B. Pandey, Hindu Samskara: Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya,
(Surabaya: Mayasari, 1985), hlm. 11. 18
Upacara Prayascita adalah upacara yang bertujuan untuk membersihkan, alat-alat
upacara dibersihkan melalui sesajen Prayascita, lihat Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah
Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 96. 19 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III.15 hlm. 33.
22
Oleh karena itu, setiap hidangan harus dipersembahkan kepada Tuhan dan
didoakan agar menjadi suci untuk dimakan. Tanpa melakukan Yadnya Sesa,
makanan itu hanya berupa sampah yang selalu dikotori oleh berbagai unsur klesa
(dosa) yang ada di dalam bahan makanan dan termasuk noda dari si pembuat
makanan tersebut. Dengan mengucapkan doa (mantra) dan dipersembahkan
kepada Tuhan, makanan yang tadinya kotor akan berubah menjadi suci
(prasadham)20
. Dengan demikian, makanan tersebut akan menjadi suatu kekuatan
yang dahsyat sehingga layak untuk dimakan.
Tuhan menciptakan segala yang dibutuhkan agar semua makhluk dapat
berkembang sebagaimana mestinya. Sebagai wujud rasa terima kasih umat Hindu
kepada Tuhan, mereka diharuskan menyisihkan sebagian makanan.
Mempersembahkan makanan ini juga dipandang sebagai permohonan izin
kepada-Nya karena mereka bermaksud mengambil apa yang menjadi milik-Nya
semata. Tanpa memohon ijin terlebih dahulu, seseorang sama seperti seorang
pencuri yang mengambil milik Tuhan. Seperti yang tertulis dalam kitab suci
Bhagavad-gita III.13, sebagai berikut:
Yajna sistasinah santo
mucyante sarva kinbisaih
bunjate te twagham papa
ye pacanty atma karanat
Artinya:
“Orang-orang yang baik yang senantiasa memakan apa yang tersisa
dari pelaksanaan yadnya, mereka itu sebenarnya telah terlepas dari
papa (dosa). Akan tetapi, bagi mereka yang memakan makanan tanpa
20
Prasadham adalah istilah yang dipakai di India untuk menyebut makanan yang telah di-
Yadnya Sesa-kan, lihat Niken T. R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm. 1.
23
melalui yadnya atau yang selalu mengutamakan makanan untuk
kepuasan dirinya sendiri, mereka itu tidak ubahnya seperti seorang
pencuri yang penuh dengan papa klesa.”21
3. Tata letak Pelaksanaan
Tempat pelaksanaan upacara Yadnya Sesa adalah di tempat-tempat yang
dianggap penting oleh umat Hindu, dasarnya adalah kitab Manawa Dharma Sastra
Bab III.68.22
Di tempat-tempat itu pula persembahan Yadnya Sesa diletakkan,
yakni di lima tempat berikut:
a. Di altar perapian atau di dapur. Persembahan diletakkan di dekat api atau
kompor. Persembahan ditujukan kepada Dewa Brahma (Dewa yang
menguasai api). Melalui persaksian api inilah persembahan Yadnya Sesa
diterima, sebab api dipandang sebagai saksi dan manifestasi dari Tuhan
dan api juga merupakan mulutnya para dewa di dalam fungsinya sebagai
pelebur segala yang ada (pralina);
b. Di tempat penyimpanan air. Persembahan diletakkan di dekat sumur
ataupun di kamar mandi atau tempat penyimpanan (guci/jambangan) air.
Persembahan ditujukan kepada Dewa Baruna (Dewa yang menguasai
air), yaitu lambang sebagai penyucian segala kotoran. Di samping itu air
adalah lambang dari sumber kehidupan, merupakan salah satu unsur dari
Panca Maha Bhuta, salah satu sarana yang sangat penting dalam ajaran
agama Hindu;
21 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III.13, hlm. 34. 22 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, ((Jakarta: Nitra Kencana Buana,
2003), Bab III. 69, hlm. 150.
24
c. Di atas genteng/atap rumah, persembahan ditujukan kepada Dewa Bayu
(Dewa Udara). Dengan melakukan persembahan ini, manusia diingatkan
untuk selalu menghormati udara dan tidak boleh mencemarinya, sebab
tanpa udara mustahil bagi manusia untuk hidup dan bernafas;
d. Di pekarangan rumah, persembahan diletakkan di atas tanah dan
ditujukan kepada Dewi Pratiwi atau Bumi sebagai simbol kebijaksanaan
dan kasih sayang yang selalu memberikan makanan (hasil bumi) kepada
seluruh makhluk;
e. Di tugu penunggu karang, ditujukan kepada Dewa Akasa atau
Kehampaan, yang merupakan simbol Tuhan yang tiada akhirnya, asal
mula dari segala yang ada. Karena itulah persembahan Yadnya Sesa
diletakkan di tugu yang diyakini sebagai simbol Tuhan yang senantiasa
mengawasi perjalanan kehidupan seluruh umat manusia. 23
Upacara Yadnya Sesa seperti ini sebenarnya adalah salah satu wujud
persembahan yang ditujukan kepada Tuhan yang tidak pernah bisa kita lihat
melalui mata yang serba terbatas (niskhala).
4. Tata Cara Pelaksanaan
Berdasarkan penuturan dari Bapak A. A. Gede Raka Mas, tata cara
pelaksanaan Yadnya Sesa adalah sebagai berikut:
Setiap pagi sehabis memasak di dapur, dianjurkan untuk mengambil
selembar daun pisang. Jika tidak tersedia diperbolehkan juga menggunakan
selembar kertas yang bersih, atau piring kecil dari plastik ataupun dari bahan
23 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm. vii.
25
lainnya asalkan bersih. Kemudian daun pisang atau kertas tersebut dipotong-
potong. Pembagiannya berdasarkan besar kecilnya luas bangunan tempat
tinggal keluarga yang melakukan persembahan Yadnya Sesa. Semakin luas
bangunan, maka semakin banyak potongan persembahan Yadnya Sesa
tersebut. Jumlah persembahannya tergantung banyaknya tempat-tempat
yang dianggap penting oleh umat Hindu. Jika rumah tangganya sangat besar
dan bangunannya sangat luas, seperti yang terdapat di Bali, maka potongan
persembahan Yadnya Sesa-nya dapat mencapai 150 potong persembahan.
Contoh ukuran potongan daun atau kertas tersebut adalah 4x4 cm. Setelah
siap, daun pisang atau kertas tersebut diisi dengan nasi, yang ukuran
minimalnya 2 cm, lalu ditambahkan dengan garam dan lauk-pauk. Semua
makanan hanya diisikan sedikit-sedikit karena sifatnya sebagai simbol
belaka. Hal yang patut diperhatikan pada waktu membuat persembahan
adalah keikhlasan sebagai kesadaran bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah diisi, persembahan Yadnya Sesa ini lalu diletakkan di tempat-tempat
seperti di dekat kompor, di dekat penyimpanan makanan, di tempat
penyimpanan air, di halaman, di tempat bersembahyang (Pura) dan lain-lain
yang tujuannya dipersembahkan ke hadapan Dewa Akasa, Dewa Bayu,
Dewa Agni, Dewa Air, dan Dewa Pertiwi. Oleh karena itu Yadnya yang
akan dipersembahkan setiap harinya sebanyak lima tangkih (lima macam
sesuai dengan urutan Panca Maha Bhuta), dan jika dipersembahkan satu-
persatu maka tempat pelaksanaannya disesuaikan dengan urutan dewa-dewa
yang dituju.24
Setelah sampai di tempat yang dituju, doa (mantra) dihaturkan untuk
memusatkan pikiran sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan yang telah
memberikan berbagai macam kenikmatan hidup. Setelah melaksanakan Yadnya
Sesa seperti itu, berarti makanan yang dihidangkan telah suci dan menjadi
prasadham.25
Dengan demikian, makanan tersebut dianggap sah dan layak untuk
dimakan.
5. Doa Sebelum dan Sesudah Menghaturkan Yadnya Sesa
Berdasarkan kutipan dari Gede Pudja dalam buku Pengantar Agama
Hindu II, sebagai berikut:
24 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 25 Lihat note Bab II no. 19
26
“Pemujaan atau doa dapat dilakukan oleh setiap orang, di mana saja, kapan
saja, sendiri atau berjemaah. Di samping itu dikemukakan pula bahwa doa
dapat dilakukan tidak hanya dengan kata-kata atau dapat dilakukan dengan
bahasa lain misalnya dengan menggunakan symbol atau alat-alat sebagai
pengganti bahasa. Dengan demikian dapat dibedakan:
a. Doa yang dilakukan dengan cara pengucapan kata-kata, misalnya dengan pengucapan mantra-mantra menurut bahasa yang terdapat dalam Weda,
maupun menurut bahasa dan kalimat yang disusun terlebih dahulu menurut
tujuannya;
b. Dengan mempergunakan alat-alat yang merupakan bahasa simbol;
c. Dengan mempergunakan doa mantra dan simbol misalnya sesajen, yang
juga disebut yadnya.”26
Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan
pemujaan, karena itu mantra dinamakan doa. Kata lain yang sering dipergunakan
yang sama artinya ialah stuti/stava. Jadi stuti atau stava adalah ayat-ayat Veda
yang dipergunakan untuk melakukan puji-pujian kepada Tuhan.27
Dalam kehidupan beragama, unsur kepercayaan akan doa merupakan
bagian yang sangat penting sekali. Dalam setiap kejadian, doa selalu disampaikan
untuk segala tujuan, ini merupakan ciri khas dari tata kehidupan beragama. Tanpa
percaya akan kedudukan dan penggunaan doa itu, maka tidaklah ada artinya doa
itu. Oleh karena itu telah disadari bahwa doa itu penting, karena doa merupakan
bagian dari unsur keimanan dalam beragama menurut ajaran agama Hindu.28
Ada berbagai jenis doa yang dipergunakan oleh seluruh umat Hindu di
dunia dengan berbagai versi dan bahasa. Keberagaman itu tidak membatasi umat-
Nya, entah cara dan sarana apapun yang mereka pakai. Istilah apapun dalam
mengucapkan mantra itu tidak ada patokan yang baku. Entah mereka itu
26 Gede Pudja, Pengantar Agama Hindu II, (Surabaya: Paramita, 1976), hlm. 28. 27
I Made T., Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), hlm. 11-13. 28 I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 33.
27
mempergunakan bahasa Sansekerta, bahasa Indonesia atau bahasa daerah
setempat dan sebagainya.
Telah dikemukakan bahwa doa adalah salah satu daripada unsur keimanan
dalam agama Hindu, dengan fungsi kedudukan doa sebagai salah satu unsur
Sraddha dalam agama Hindu, menyebabkan kedudukan doa dalam agama sangat
penting sekali artinya. Dan telah menjadi kebiasaan bahwa dalam setiap doa selalu
dikemukakan berbagai pengharapan agar Tuhan selalu memberikan rahmat
kepada yang berdoa. Dengan demikian maka kedudukan doa dapat dikatakan
sangat luas. Fungsi dan tujuannya tidak selalu sama, tergantung darimana orang
melihatnya. Yang penting bahwa adapun fungsinya dan tujuannya, doa itu
mempunyai arti dalam kehidupan mereka yang beriman. Karena itu dasarnya
adalah keimanan (sraddha) atau percaya atas kebenaran isi dari pada doa itu.
Umumnya umat Hindu di Bali dan di luar Bali mempergunakan kedua-
duanya, yaitu bahasa setempat dan bahasa Indonesia serta bahasa Sanskerta.
Ketika menghaturkan Yadnya Sesa ke hadapan Sarwa Prani, yakni kepada
simbol-simbol Sang Hyang Widhi yang bersifat bhuta, yang bantennya diletakkan
di tanah, mantranya adalah sebagai berikut:
Om atma tat swatma suhamam swaha,
Swasti-swasti sarwa bhuta, kala, durgha,
sukha pradhana
ya namah swaha
Artinya:
“Om Sang Hyang Widhi Wasa,
Engkaulah Paramatma daripada Atma,
semoga berbahagia semua ciptaan-Mu
28
yang berwujud Bhuta, kala, dan durgha.”
29
Kemudian ketika menghanturkan persembahan untuk para Dewa dan
leluhur, mantranya sebagai berikut:
b. Untuk para Dewata
Om atma tat swatma suhamam swaha,
Swasti-swasti sarwa dewa,
sukha pradhana
ya namah swaha
Artinya:
“Om Sang Hyang Widhi Wasa,
Engkaulah Paramatma daripada Atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu
yang berwujud Dewa.”30
c.Untuk Leluhur
Om buktyantu pitara dewam
Bukti mukti waras wadah, Ang Ah31
Setelah selesai menghaturkan Banten Jotan, tibalah saatnya menghadapi
hidangan baik di atas meja maupun di lantai beralas tikar. Di beberapa daerah
pemanggilan empat orang saudara untuk diajak makan bersama sudah lumrah
dilakukan.
Versi Bali jika tidak mempergunakan bahasa Sanskerta, maka doanya
sebagai berikut:
a. Pada Pagi Hari
29 Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka
Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 43. 30 Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka
Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 42. 31
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm 8.
29
Artinya:
Inggih Ratu Sang Hyang Sunya Amerta, sane mangkin semeng,
I Ratu meraga Sang Hyang Surya Ditya
tumurun iriki ring sarwa ajengan,
raris munggah ring sariran kusan titiang, ngamertanin sane sarwa maurip,
dumadi jatma muah sesanak itiang kabeh,
mepageh urip titiang,
Om sawa Amerta ya Namah.
“Oh Ratu Sang Hyang Sunya Amertha, saat ini pagi hari,
Engkau bergelar Sang Hyang Surya Ditya,
Engkaulah yang memberkati semua, hidangan
ini, kemudian semua makanan ini, akan
pindah ke dalam tubuh saya, menghidupkan
semua makhluk,
apakah itu manusia atau makhluk jelmaan lainnya, sehingga teguh dan
panjang umurlah hamba
dan makhluk ciptaan-Mu
Om Sarwa Amerta Ya Namah!”32
b. Pada Siang Hari
Inggih Ratu Sang Hyang Sunya Amerta,
sane mangkin tajeg surya,
I Ratu meraga Sang Hyang Baskar Amerta,
temurun iriki ring sarwa ajengan sane nenten diriki,
raris munggah ring sariran kusan titiang,
nemertanin sane sarwa maurip,
dumadi jatma muah sesanak titiang kabeh,
mapageh urip titiang.
Om Sarwa Amerta ya Namah.
Doa yang dilakukan pada sore hari dan malam hari, sama dengan yang kita
lakukan saat pagi hari, hanya saja gelar beliau berganti menjadi: Sang Hyang
Panca Amerta.33
32 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm. 9. 33
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm 10.
30
Berikut ini, marilah kita simak bersama beberapa bait doa dalam bahasa
Sansekerta dalam hal menghadapi makanan:
Artinya:
Om hirangagarbah samawartatagre bhutasya jatah patireka asit
sadadhara pritiwim dyam uteman
kasmai dewaya hawisa widhema
Om Purnam adah purnamidam
purnat purnama daya
purnamewawasyate.
“Ya Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkau asal alam semesta
dan satu-satunya kekuatan awal,
Engkau yang memelihara semua makhluk,
seluruh bumi dan langit,
hamba memuja Engkau. Ya Tuhan Yang Maha Sempurna
dan yang membuat alam sempurna,
alam ini akan lenyap dalam kesempurnaan-Mu, Engkau Maha Kekal.
hamba mendapat makanan yang cukup berkat anugerah-Mu.
hamba menghaturkan terima kasih.”34
Om annapate annasya
no dehyanmiwasya susminah
pra-pra dataram taris urjam
nho dhehi dwipade catuspade.
Artinya:
“Ya Tuhan,
Engkau penguasa makanan,
anugrahkanlah makanan ini,
semoga memberi kekuatan
dan menjauhkan dari penyakit.”35
c. Doa mulai mencicipi makanan
34 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm. 11. 35
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm 11.
31
Artinya:
Om anugraha amtadi sanjiwani
ya namah swaha.
“Ya Tuhan, semoga makanan ini menjadi
penghidupan hamba lahir dan batin yang suci.”36
d. Doa Selesai Makan
Om Dhirgayur astu,
awighnamastu, subham astu
Om Sriyam bhawantu, sukham bhawantu,
purnam bhawantu,
ksama sampurnaya namah swaha.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Artinya:
“Ya Tuhan semoga makanan
yang telah masuk ke dalam tubuh hamba
memberikan kekuatan dan kesehatan,
panjang umur dan tidak mendapat
sesuatu halangan apapun.
Ya Tuhan, semoga damai,
damai di hati, damai di dunia,
damai selama-lamanya.”37
C. Makanan Persembahan (Banten)
Tujuan makan adalah untuk memelihara badan, kesehatan dan kehidupan.
Di samping untuk memelihara badan (jasmani), makanan juga berfungsi untuk
kesehatan rohani. Semua orang mendambakan dan mencari kebahagiaan dalam
hidupnya. Sedangkan kebahagiaan tersebut hanya dapat dicapai jika seseorang
36 Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka
Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 44. 37
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm. 12.
32
dalam keadaan yang sehat jasmani dan rohaninya. Kitab suci Bhagavadgita Bab
XVII sloka 8-10 membedakan makanan menjadi tiga, sebagai berikut:
1. Sattvika (vegetarian), yaitu makanan dan minuman yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, termasuk air murni dan susu segar;
2. Rajasa, yaitu makanan dan minuman yang berasal dari hewani, yang
memabukkan (seperti minuman keras), termasuk pula makanan yang
terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, terlalu pedas, terlalu berbumbu
serta makanan yang membuat badan menjadi panas;
3. Tamasa, yaitu makanan basi, busuk, atau sisa orang lain serta jenis
makanan yang diawetkan atau yang sudah dimasak berulang-ulang.38
Dengan demikian, umat Hindu meyakini bahwa makanan yang dapat
memberi energi hidup, energi kesehatan dan kebahagiaan digolongkan ke dalam
makanan sattvika, sedangkan rajasa adalah makan yang menyebabkan penyakit
dan kesedihan. Sementara makanan tamasa adalah makanan yang menyebabkan
kebodohan dan kegelapan.39
Makanan yang tergolong utama dan memenuhi syarat kesehatan adalah
makanan vegetarian. para pakar ilmu gizi, para tokoh agama, orang-orang suci,
senantiasa menganjurkan kepada umat manusia agar menjadi seorang vegetaris,
karena begitu besar manfaatnya menjadi seorang vegetarian (tidak makan daging),
maka makanan jenis inilah yang tergolong sattvika. Ada suatu ungkapan yang
mengatakan “Kamu adalah seperti apa yang kamu makan”. Mengkonsumsi daging
berarti memindahkan sifat-sifat hewan ke dalam tubuh manusia, maka dari itu
38 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab XVII.8-10, hlm 99.
39 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm. 24-25.
33
sangat dianjurkan untuk menjadi seorang vegetarian, atau mengkonsumsi
makanan nabati (yang berasal dari tumbuh-tumbuhan).
Makanan sattvika inilah makan yang terbaik untuk dipersembahkan
kepada Tuhan dalam berbagai upacara termasuk dalam upacara Yadnya Sesa.
Karena persembahan dalam Yadnya Sesa bersifat Bhakti, tentulah makanan
tersebut harus berdasarkan kasih sayang. Bahkan kitab suci menganjurkan agar
seseorang hendaknya mengusahakan untuk memperoleh makanan itu
berlandaskan dharma. Hal ini tersirat dalam kitab suci Reg Veda Bab XII.1.17,
yang berbunyi “Bumi ditegakkan oleh Dharma”40
, maksudnya adalah jika
adharma (kejahatan) merajalela maka peradaban di muka bumi ini akan hancur
karena perbuatan demikian akan merusak keseimbangan kehidupan. Jika makanan
yang akan dipersembahkan kepada Tuhan merupakan hasil dari adharma, maka
yadnya orang yang mempersembahkannya akan menjadi sia-sia. Sebagaimana
bunyi sloka Sarasamuccaya 184, yang isinya sebagai berikut:
Pranasantapanirwistahkakinyo ‘pi
Mahapalah, anyayopajita data na pararthe
sahasracah, Yadyapin akedika ikang dana,
ndan mangene welkang ya,
agong phalanika, yadyapin akwqha tuwi,
mangke welkang tuwi,
yan antukning aniaya,
nisphala ika, kalinganya, ta si kweh,
ta si kedik,
amuhara kweh kedik ning danaphala
keneng paramarthanya,
nyayangyay ning dana juga.
Artinya:
40
I Made T., Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006),
hlm. 102.
34
“Biarpun sedikit pemberian (sedekah) itu, tetapi mengenai kehausan
atau keinginan hati, besarlah manfaatnya. Meski banyak apabila
menyebabkan semakin haus dan diperoleh dengan cara yang tidak
layak atau tidak patut, tiada faedahnya itu. Tegasnya bukan yang
banyak atau bukan yang sedikit faedah pemberian itu, melainkan pada
hakekatnya tergantung dari layak atau tidaknya pemberian itu.”41
D. Filsafat Bhuta Kala
Yadnya Sesa muncul sebagai akibat dari filsafat Samkya di mana pada
masa itu terjadi perubahan pemikiran di kalangan umat Hindu. Dari sanalah
bermula filsafat Bhuta Kala.
Kata Bhuta berasal dari suku kata bahasa Sanskerta “Bhu” yang artinya
menjadi, ada, gelap, berbentuk, makhluk, kemudian menjadi kata “Bhuta” yang
artinya telah diwujudkan. Sedangkan kata “Kala” berarti energi. Bhuta kala
artinya, energi yang timbul dan mengakibatkan kegelapan.42
Menurut filsafat
agama, Bhuta Kala adalah suatu kekuatan yang timbul sebagai akibat terjadinya
suatu kekuatan kerja di alam semesta beserta isinya, baik yang bersifat positif
maupun negatif, tergantung dari penyerasian Panca Maha Bhuta yang
bersemayam pada alam semesta (bhuwana agung) dengan Panca Maha Bhuta
yang bersemayam pada badan manusia (bhuwana alit). 43
hlm. 19.
41 I Nyoman Kadjeng, Sarasamuccaya, (Denpasar: Dharma Nusantara, 1998), hlm. 33. 42 Lihat juga Ida Pedanda, Lontar Tutur Andhabhuwana, (Denpasar: Puja Pepada, 1967), 43
I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya,
(Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 19-24. Lihat juga Ida Pedanda, Lontar Tutur
Andhabhuwana, (Denpasar: Puja Pepada, 1967), hlm. 22-25.
35
Mengenai filsafat Bhuta Kala umat Hindu mempergunakan landasan sastra
agama “Prakerti Tattwa” antara lain:
Sang Hyang Widhi memiliki dua kekuasaan yaitu kekuatan “Purusa”
(Cetana) dan kekuatan “Prakerti” (Acetana). Dari kekuatan prakerti-Nya
memiliki mutu Daiwi Sampad (sifat kebaikan) dan Asuri Sampad (sifat
keburukan), tetapi yang paling dominan adalah mutu Asuri Sampad-Nya. Dari
sinilah terjadi proses manifestasi (melalui 25 tattwa) untuk diciptakan badan
materiilnya agar dapat dilihat secara nyata seperti terciptanya alam semesta
beserta isinya. Sang Hyang Prakerti bermanifestasi menjadi unsur-unsur alam
pikiran yang masih bersifat murni dan suci yang disebut “Mahat”. Dari adanya
unsur alam pikiran ini, mahat bermanifestasi lagi menjadi unsur-unsur
kepribadian yang disebut “Bhudi”. Dari bhudi bermanifestasi lagi dan lahirlah
“Ahamkara”, yaitu berupa unsur-unsur Triguna. Unsur-unsur Triguna tersebut
yakni: Waikerta Ahamkara (Sattvam), Taijasa Ahamkara (Rajah), dan Bhutadi
Ahamkara (Tamas).44
Dari Waikerta Ahamkara lahirlah Manah dan Dasendriya yaitu Panca
Bhudindrya dan Panca Karmendriya, sedangkan dari Bhutadi Ahamkara lahirlah
Panca Tan Matra yaitu: sabda tan matra, sparsa tan matra, rupa tan matra, rasa
tan matra dan ganda tan matra. Sedangkan Waikerta dan Taijasa Ahamkara
bergabung mendukung Bhutadi Ahamkara. 45
Kemudian Panca tan matra bermanifestasi menjadi Panca Maha Bhuta
yaitu: Teja, Bayu, Akasa, Apah dan Pertiwi. Panca Maha Bhuta inilah yang
44 I. G. Agung Putra, Wraspati Tattwa, (Surabaya: Paramita, 1988), hlm. 34. 45 I. G. Agung Putra, Wraspati Tattwa, (Surabaya: Paramita, 1988), hlm. 35.
36
memiliki kekuatan kegaiban berinfiltrasi (wiapiwyapaka nirwikara) sebagai
kekuatan alam semesta beserta isinya baik bersifat nyata maupun tidak nyata.
Kelima unsur tadi memberikan kekuatan pada masing-masing titik hypocentrum
seperti arah mata angin Timur, Selatan, Barat, dan Utara, sedangkan yang di
tengah-tengah merupakan sumber pengendali memberi kekuatan pada titik
epicentrum agar perputaran bumi pada sumbunya tetap harmonis, dalam keadaan
keseimbangan, demikian juga terhadap isi alam semesta. 46
Dari Panca Maha Bhuta lahirlah banyak tattwa lagi seperti bhuta tattwa,
kala tattwa, durga tattwa dan lain-lain. Semuanya itu disebut Prakerti Tattwa atau
Pertiwi Tattwa. Dari pengaruh prakerti tersebut akan ada pengaruh-pengaruh
yang bersifat kebajikan atau keburukan terhadap alam semesta. Dua pengaruh ini
akan selalu ada pada setiap insan sebagai alat bagi Sang Hyang Widhi untuk
menguji keteguhan imannya. Manusia dipacu kemampuannya dalam menciptakan
keseimbangan antara dirinya dan Sang Hyang dengan usaha menyadarkan diri
pribadi (Atman) agar senantiasa terhindar dari papa/dosa dan menetralisir
kekuatan Bhuta Kala melalui subha karma (kebajikan) seperti mengadakan
upacara Yadnya. 47
46
I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 14-16.
Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Tutur Kandapat, (Denpasar: Kencana, 1987), hlm. 54. 47 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya,
(Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 19-20. Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Tutur Kandapat,
(Denpasar: Kencana, 1987), hlm. 55.
37
BAB III
KEHIDUPAN UMAT HINDU
A. Grhasta Asrama
Umat Hindu mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang harus dilalui
manusia untuk mencapai tujuan tertinggi dalam kehidupan beragamanya.
Tahapan atau tingkatan kehidupan ini adalah Catur Asrama. Catur berarti
“empat” dan Asrama berarti “usaha orang”. Secara seumantik, Catur Asrama
diartikan sebagai empat tingkatan hidup manusia.1
Susunan tingkatan Catur
Asrama adalah sebagai berikut:
1. Brahmacarin Asrama
Pada tingkatan hidup Brahmacarin, seorang dwija2
akan meninggalkan
rumah orang tuanya dan menetap sebagai siswa di kediaman seorang guru untuk
mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Pada tingkatan
ini, yang mendapat prioritas utama adalah dharma. Walaupun demikian, masalah
artha (mencari kebendaan), kama (kesenangan/hawa nafsu), dan moksa tetap
menjadi tujuan hidup.
2. Grhasta Asrama
Grhasta Asrama adalah masa hidup berumah tangga. Menurut persepsi
Hindu, yang disebut sebagai keluarga ialah seorang pria dan seorang wanita yang
1 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), Cet. 5, hlm. 393-394. 2
Dwija adalah umat Hindu yang telah ditahbiskan melalui upacara Upanayana, di mana
seorang anak resmi sebagai anggota kasta dan untuk pertama kali diterima masuk berguru pada
seorang guru spiritual/ lembaga pendidikan asrama, dilaksanakan sekitar usia 7-8 tahun. Djam’annuri, ed., “Agama Hindu” dalam Agama-agama di Dunia, ( Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988), hlm. 71-72. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma
Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), hlm 17 dan 71.
38
telah melaksanakan upacara perkawinan yang selanjutnya hidup bersama dan
umumnya mereka kemudian tinggal di dalam sebuah rumah. Di dalam rumah
itulah mereka bersama-sama membina rumah tangga dalam rangka mencapai
tujuan hidupnya meliputi: dharmasampatti (bersama-sama mewujudkan
pelaksanaan Dharma), praja (melahirkan keturunan), dan rati (menikmati
kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya).3
Pada tingkatan ini dimulailah
pelaksanaan kewajiban seseorang terhadap keluarga, masyarakat dan kewajiban
terhadap para dewa. Dalam tahapan ini, yang menjadi prioritas utama adalah
Dharma namun pelaksanaan dharma tersebut disalurkan melalui artha dan kama.
Menurut ajaran Hindu, kebahagiaan hidup tidak mungkin tercapai bila artha dan
kama tidak mendapat perhatian yang sebaik-baiknya.4
3. Vanaprastha
Vanaprastha adalah tingkatan hidup melepaskan diri dari kehidupan
keduniawian dengan menjalani hidup di hutan. Tingkatan ini adalah tingkatan
yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala
kewajibannya diserahkan kepada anak laki-laki. Pada tingkatan ini yang menjadi
prioritas utama adalah mengabdikan diri secara keagamaan guna mencapai moksa.
4. Sanyasa
Sanyasa adalah tingkatan tertinggi di mana seseorang telah mencapai
moksa, yakni bersatunya Atma dan Brahman.5
Moksa ini dapat dicapai pula di
3 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), Cet. 5, hlm. 394. 4 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 5 Moksa disebut juga mukti, tujuan terahir umat Hindu, di mana terputusnya siklus
kelahiran dan kematian, juga hilangnya ke-aku-an (ahamkara). I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 198-199.
39
waktu seseorang masih hidup, di mana ia telah melapaskan diri dari segala
keterikatan duniawi.6
Menurut A. A. Gede Raka Mas, Yadnya Sesa tidak bisa dilepaskan dari
hubungannya dengan Gryhasta Asrama karena di tingkatan hidup Gryhasta
Asrama-lah Yadnya Sesa mulai dilaksanakan.7
Sebagaimana tertulis dalam kitab
Manawa Dharma Sastra Bab III.67, yang berbunyi:
Waiwahike gnau kurwita
grhyam karma yathawidhi
panca yajna widhanam ca
paktim canwahikim grhi
Artinya:
“Dengan menyalakan api suci dalam upacara perkawinan seorang
kepala rumah tangga akan melakukan sesuai dengan hukum-hukum
yang ada upacara keluarga dan upacara Panca Yadnya dan dengan
demikian ia memasak nasinya sendiri.”8
A. A. Gede Raka Mas menafsirkan sloka di atas bahwa seseorang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan Yadnya Sesa dikarenakan ia memasak
nasinya sendiri. Jika tidak memasak, misalnya memakan makanan hasil masakan
orang lain, maka ia tidak bertanggung terhadap pelaksanaan Yadnya Sesa
tersebut. Adapun wewenang pelaksanaannya dilimpahkan kepada siapa saja
anggota yang tinggal dalam satu atap. Baik ibu, ayah, anak, keponakan ataupun
pembantu, kewajibannya adalah sama. Intinya, makanan yang di masak di suatu
6 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 7 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007 8
G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana,
2003), Bab III.67, hlm.150.
40
rumah keluarga Hindu tidak boleh dimakan atau dihidangkan kepada siapa pun
sebelum di-Yadnya Sesa-kan.9
Dituturkan dari pengalaman pribadi A. A. Gede Raka Mas, bahwa dahulu
semasa duduk di tingkat Sekolah Dasar, ia pulang ke rumah pukul 12.30 dan
sebelum makan siang ia membantu ibunya mempersiapkan Yadnya Sesa. Namun
berbeda dengan kejadian esok harinya, di mana ia sudah sampai di rumah pukul
10 pagi dan merasa lapar. Ibunya sudah selesai memasak tetapi karena merasa
letih maka masakan yang sudah jadi belum sempat di-Yadnya Sesa-kan. Melihat
anaknya lapar maka si ibu pun menyuruhnya melaksanakan Yadnya Sesa itu
sendirian. Demikianlah anak-anak dalam keluarga Hindu belajar mengenai
Yadnya Sesa dari pengalaman pribadinya masing-masing. Adapun saat ini, A. A. G.
Raka Mas mengakui bahwa Yadnya Sesa di rumahnya justru tidak lagi menjadi
tanggung jawab ia maupun istrinya karena wewenangnya telah ia limpahkan
kepada pembantu yang sudah lebih dahulu diajarkan mengenai tata cara
pelaksanaan Yadnya Sesa tersebut. Mengapa demikian? Karena meskipun biaya
keperluan dapur dan hak tuan rumah ada padanya, baik ia maupun istrinya jarang
ada di rumah. Maka mustahil anak-anaknya menunggu dengan perut lapar sampai
orang tua mereka tiba di rumah dan melaksanakan ritual tersebut. Dengan
demikian, masalah siapa yang akan melaksanakan Yadnya Sesa tersebut kembali
kepada kesadaran nurani masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut.
9 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
41
Yang lebih utama lagi, pelaksanan Yadnya Sesa tersebut tidak boleh dilepaskan
dari sraddha (keimanan) dan ketulusan bhakti (cinta kasih).10
B. Sraddha (Keimanan)
Kata sraddha berasal dari akar kata “srat” yang berarti keimanan atau
kebenaran (satyamani).11
Sraddha adalah keimanan atau kepercayaan yang tulus
yang menegaskan kebenaran dan hukum untuk mengikat nilai-nilai spiritual pada
diri manusia. Sraddha juga merupakan suatu keyakinan tentang tujuan hidup
sebagai manusia yakni, suatu disiplin yang harus dipraktekkan untuk
mencapainya, kemudian ajaran yang melandasi tujuan hidup itu sendiri serta
disiplin yang harus dilakukan.12
Di dalam ajaran kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan pokok-pokok
ajaran Hindu, dikembangkan ajaran Panca Sraddha. Panca Sraddha ini mencakup
lima pokok masalah yang menjadi landasan ajaran Hindu.13
Lima kepercayaan
atau keyakinan dalam Panca Sraddha, sebagai tujuan untuk mendapatkan hidup
yang sempurna (moksa) meliputi:
1. Sraddha tentang adanya Brahman atau Atman
2. Sraddha tentang adanya Avatara, kitab suci dan para Rsi
3. Sraddha tentang adanya hukum karma
4. Sraddha tentang adanya samsara (punarbhava)
10 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 11 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), Cet. 5, hlm. 165. 12
I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. vii. 13 I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 41.
42
5. Sraddha tentang adanya moksa.
14
Sraddha sebagai pokok ajaran bagi umat Hindu mempunyai fungsi dan
kedudukan yang khas dalam ajaran keagamaan Hindu. Fungsi-fungsi sraddha
sebagai berikut:
1. Sraddha sebagai kerangka dharma merupakan kerangka bentuk isi dari
pada agama Hindu. Laksana sebuah rumah, kerangka dari agama Hindu
adalah sraddha itu sendiri. Sraddha-lah yang mewujudkan bentuk lahir
dan berfungsi sebagai penyangga yang mendasari agama Hindu.
2. Sraddha sebagai alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju
kepada Tuhan. Pengertian ini dapat kita lihat dalam Yajur Weda XIX. 30
dan 77 yang mengatakan:
Sraddhaya satyam apyati
sraddham satye prajapatih
Artinya:
“Dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan. Tuhan menetapkan,
dengan sraddha menuju kepada Satya”15
3. Sraddha sebagai syarat utama dalam persembahan (korban). Pengertian
ini dapat kita lihat dalam Reg Veda X. 151.5, sebagai berikut:
Sraddhaya agnih samidhyate sraddhaya huyate havih sraddham bhagasya murdhani
vacasa vedayamasi
14 I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 54-55. 15
I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), Cet. 5, hlm. 168.
43
Artinya:
“Api pengorbanan (persembahan) dinyalakan dengan keyakinan
yang mantap (sraddha). Persembahan (korban) dihaturkan dengan
sraddha. Kami memohon sraddha, yang memiliki nilai tertinggi di
dalam kemakmuran.” 16
Dari uraian di atas jelas bahwa sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi
yang mendasar yang membentuk ajaran agama Hindu yang perlu diyakini bagi
para penganutnya. Sebab, setiap tindakan tanpa dilandasi keyakinan yang mantap,
akan sia-sia belaka. “Sraddha apnoti brahma apnoti,” mereka yang memiliki iman
yang mantap dapat mencapai dan bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian pula dalam melaksanakan yadnya, mutlak dilandasi sraddha yang
mantap.17
C. Bhakti Marga (Cinta Kasih)
Dari beberapa jalan (marga) yang diyakini umat Hindu dapat menjadi
sarana untuk mencapai Tuhan, Bhakti marga termasuk salah satunya. Bhakti
artinya “cinta kasih”.18
Istilah bhakti ini digunakan untuk pernyataan cinta kasih
kepada sesuatu yang lebih dihormati. Bhakti dibagi atas dua tingkat yaitu
Aparabhkti dan Parabhakti. Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya
masih rendah dan dipraktekkan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat
16 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), Cet. 5, hlm. 166-167. 17 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), Cet. 5, hlm. 243. 18
Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma
Karma, 1987), hlm. 18.
44
kerohanian yang tinggi. Sedangkan parabhakti adalah cinta kasih dalam
perwujudannya yang lebih tinggi dan kerohaniannya sudah meningkat.19
Ajaran tentang bhakti adalah ajaran yang mencari Tuhan dengan
penyerahan diri dan pencurahan rasa, di mana cinta sebagai alat dan cinta juga
sebagai tujuan. Seorang bhakta (penganut bhakti) adalah orang yang penuh cinta
kasih, cinta kepada Tuhan, cinta kepada manusia dan cinta kepada alam semesta
(sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Seorang bhakta mencintai Tuhan bukan karena
ingin mendapat imbalan surga atau neraka ataupun moksa, karena bagi mereka
kebahagiaan tertinggi itu adalah bercinta dengan Tuhan. Bhakti inilah yang
menimbulkan rasa rindu untuk bertemu dan melahirkan keikhlasan untuk
berkorban. Ide tentang persembahan (bantenan) dalam upacara-upacara pun lahir
dari bhakti.20
Adapun landasan yang dipakai dalam Bhakti marga ini antara lain sloka
Bhagavad-gita XI.54, sebagai berikut:
Bhaktya tv ananyaya sakya
aham evam-vidho ‘rjuna
jnatum drastum ca tattwena
pravestum ca pramtapa
Artinya:
“Hanya dengan sujud bhakti Arjuna, aku dapat dijumpai berwujud sebagai ini, setelah benar-benar mengenal dan melihat (wujudku)
akan kembali bersatu (dengan Aku), Parantapa.”21
19 Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma
Karma, 1987), hlm. 18. 20 Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma
Karma, 1987), hlm. 19, 21, 26. 21 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab XI.54 hlm 102.
45
D. Masyarakat Hindu Cinere dan Yadnya Sesa
Ajaran mengenai Yadnya Sesa pada dasarnya memuat bahwa setiap umat
Hindu wajib melakukan Yadnya Sesa karena jika seseorang memakan makanan
yang belum di-Yadnya Sesa-kan, maka orang itu dianggap berdosa. Namun
demikian, ada pula rumah-rumah yang tidak melaksanakan Yadnya Sesa. Menurut
A. A. Gede Raka Mas, hal ini terkait pada tingkat kesadaran beragama yang
dimiliki oleh masing-masing individu sebagai umat beragama.22
Umumnya setiap rumah terdiri dari satu kepala keluarga Hindu yang
memasak sendiri makanannya. Meskipun kewajiban ber-Yadnya Sesa dimulai
pada tingkatan hidup Grhasta Asrama (terhitung setelah upacara perkawinan di
mana seseorang memulai kewajibannya beryadnya sebagai kepala rumah
tangga),23
pada kenyataannya perhitungan pelimpahan tanggung jawab dalam
melaksanakan Yadnya Sesa didasarkan pada adanya bangunan rumah. Oleh
karena itu, meski terdapat dua kepala keluarga dalam satu rumah, tetap
pelaksanaan Yadnya Sesa dihitung dari siapa yang memasak makanannya pada
hari itu. Misalkan dalam satu rumah terdapat ayah, ibu, anak, kakek-nenek, dan
keponakan. Kepala keluarga adalah kakek dan ayah. Maka siapa pun yang
memasak pada hari itu, baik nenek maupun ibu, maka kewajiban berYadnya Sesa
jatuh pada seluruh penghuni rumah. Selama ada salah satu dari penghuni rumah
yang telah meyadnya-sesakan hasil masakan maka hasil masakan tersebut dapat
dimakan oleh seluruh penghuni rumah. Jika tidak ada satu orang pun yang
22 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 23
G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana,
2003), Bab III.67, hlm.150.
46
meyadnya-sesakan masakan tersebut, maka masakan itu terlarang bagi setiap
penghuni rumah dan mereka dianggap berdosa jika memakannya. 24
Lain halnya jika pada suatu hari tiba masanya mereka tidak sempat
memasak maka mereka membeli makanan di rumah-rumah makan kemudian
menyantapnya tanpa meyadnya-sesakannya terlebih dahulu. Maka tiada dari
mereka yang bersalah.25
Kemudian jika mereka memasak makanannya sendiri, mereka
meletakkannya di lima tempat persembahan sesuai yang diperintahkan dalam
kitab Manawa Dharma Sastra yaitu di dapur, di tempat penyimpanan air, di atas
genteng rumah, di pekarangan dan di Tugu Penunggu Karang (Karang berarti
halaman atau pekarangan).26
Namun untuk tempat persembahan yang ke-lima
terdapat perbedaan. Pasalnya, tidak setiap rumah memiliki bangunan Tugu
Penunggu Karang yang biasanya didirikan di pekarangan rumah. Karena adanya
sifat Veda yang tidak mengikat maka mereka tidak diharuskan memiliki bangunan
tugu tersebut. Beberapa orang merasa tidak adanya Tugu Penunggu Karang di
halaman rumahnya tidak menjadi masalah sebab dengan adanya bangunan tugu
tersebut maka mereka harus ingat untuk meletakkan banten Yadnya Sesa di sana
dan itu berarti porsi Yadnya Sesa yang mereka buat setiap hari menjadi bertambah
satu porsi. Lagipula mereka merasa telah meletakkan banten Yadnya Sesa di
pekarangan rumah yang ditujukan kepada Dewa Pertiwi. Hal ini sudah mereka
24 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 25 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 26 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Lihat
juga G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.68, hlm. 150.
47
anggap mencakup kepedulian mereka terhadap pekarangan rumah masing-
masing.27
Mengenai jumlah porsi Yadnya Sesa terdapat perbedaan di tiap-tiap rumah
tergantung dari besarnya bangunan di rumah tersebut dan besarnya keikhlasan
berkorban setiap penghuni rumah. Ada rumah yang hanya melaksanakan Yadnya
Sesa sebatas di lima tempat persembahan utama dan ada pula rumah-rumah yang
meletakkan banten Yadnya Sesa melebihi dari lima tempat yang diperintahkan.
Sebagai contoh, ada rumah yang memiliki halaman sangat luas dan ditanami
pepohonan. Di mana terdapat sebuah pohon besar yang dianggap keramat maka
banten Yadnya Sesa turut dipersembahkan. Selain itu, mereka meletakkan banten
Yadnya Sesa di muka pintu rumah, di tempat mencuci, di sumur dan pompa air, di
loteng ataupun ruangan-ruangan di lingkungan rumah, baik pada bangunan yang
terpisah maupun pada bangunan yang menyatu dengan bangunan utama yang
mereka anggap keramat, di tempat-tempat pemujaan dan sembahyang, bahkan di
tempat pelimbahan air.28
Bentuk Yadnya Sesa-nya pun telah disempurnakan
dengan pembakaran dupa pada setiap banten dan penyucian dengan air suci. Hal
ini mereka lakukan sebagai tanda besarnya rasa syukur mereka terhadap segala
kesenangan dan kecukupan rezeki yang diberikan Tuhan kepada mereka dan hal
ini diperbolehkan oleh agama selama mereka melaksanakannya dengan ikhlas dan
diiringi semangat kepedulian dan kasih sayangnya terhadap makhluk-makhluk
Tuhan di alam semesta ini. Meletakkan banten Yadnya Sesa pada tempat-tempat
yang dianggap penting sebagaimana tersebut di atas juga disusul oleh kegiatan
27 Observasi ke rumah masyarakat Hindu Cinere, Depok tanggal 22 dan 23 Mei 2007. 28 Observasi ke rumah masyarakat Hindu Cinere, Depok tanggal 22 dan 23 Mei 2007.
48
membersihkan tempat-tempat tersebut sebagai wujud kepedulian terhadap
lingkungan29
Berkaitan dengan doa atau mantra pengiring Yadnya Sesa, ada yang
dilantunkan secara sederhana dan ada pula yang dilantunkan dengan doa yang
panjang. Ada yang menggunakan bahasa setempat, namun ada pula yang
menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Sanskerta maupun bahasa asing seperti
bahasa Inggris. Lirik doanya pun ada yang berdasarkan sloka-sloka kitab suci
Veda atau sloka-sloka sastra dan ada pula yang berdasarkan bahasa hati, yakni
menggunakan kata-kata sendiri yang mungkin singkat tapi tulus tercetus dari
lubuk hatinya. Bahkan ada yang berdoa tidak melalui pengucapan mantra. Mereka
mempersembahkan Yadnya Sesa lalu menghaturkan Ngayab (gerakan merapatkan
kedua telapak tangan dan diangkat sejajar dengan dahi sebagai simbol
penghormatan).30
Menurut mereka, rasa syukur yang diungkapkan dengan kata-
kata mempunyai batasan sehingga mereka menganggap penghormatan dengan
ngayab atau dengan sikap diam (hening cipta) tersebut nilainya lebih tinggi untuk
mengungkapkan makna rasa syukur yang terdalam.31
29 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 30
Observasi ke rumah masyarakat Hindu Cinere, Depok tanggal 22 dan 23 Mei 2007 dan
wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Lihat juga Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.)
Edisi Revisi, hlm. 44. 31
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
49
BAB IV
MAKNA YADNYA SESA
A. Nilai Filosofis Pelaksanaan Yadnya Sesa
Umat Hindu mengenal tentang Keberadaan Universal, yakni suatu Zat
Tunggal, suatu Pribadi Tunggal di alam semesta raya ini. Jumlah ciptaan-Nya
banyak, tetapi pada dasarnya bersumber pada yang satu, Yang Esa
memanifestasikan dirinya pada Sarwa Prani yakni Panca Maha Bhuta.1
Seorang
margi (penyembah/bhakta) atau umat-Nya akan selalu berusaha menyatukan
jiwanya dengan wujud-wujud kosmik alam semesta, atau melalui kepribadian
Tuhan Yang Maha Esa.
Yadnya Sesa yang dilakukan oleh seluruh umat Hindu di dunia boleh
dikatakan merupakan suatu bentuk keterikatan, tapi keterikatan yang mengarah
kepada kekuasaan kosmis dalam sebuah Keluarga Universal, seperti telah
diketahui bahwa Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) terbebas dari segala ikatan.
Sedangkan manusia dibelenggu oleh berbagai macam ikatan, terikat oleh badan
jasmani yang menuntut berbagai macam kebutuhan hidup sehari-hari, seperti
makan, pakaian, perumahan, perhiasan dan sebagainya. Keinginan yang lebih
halus adalah keinginan untuk disanjung, dipuji, ketenaran nama, kemasyhuran dan
sebagainya. Umat yang lebih cerdas tentunya akan berusaha mengarahkan segala
keterikatan tersebut kepada Keberadaan Universal (Penciptanya). Keinginannya
1 Sarwa Prani ditujukan pada unsur-unsur Panca Maha Bhuta; merupakan manifestasi
Tuhan yang bersifat Bhuta; dipahami juga sebagai alam semesta atau “lingkungan sekitar
manusia”. Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka
Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 43. Lihat juga Bab II.D mengenai Prakerti Tattwa.
50
adalah untuk menyenangkan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Keterikatan akan
benda-benda materi itu diarahkan pada keterikatan sebuah persembahan. Misalnya
jika dia seorang penyanyi, maka nyanyiannya itu adalah tentang Tuhan
(mengagungkan nama-Nya). Jika dia seorang penulis (sastrawan) maka tulisannya
pun akan senantiasa tentang pendakian spiritual.
Jika suatu saat nanti Sang Bhakta (pembhakti) mampu mengadopsi dan
mengembangkan sifat-sifat Sang Keberadaan Universal, melalui sadhana (sarana
bhakti), maka suatu saat nanti Sang Bhakta tersebut akan menyatu (manunggal)
dengan Sang Penciptanya.
Berdasarkan sastra dan tradisi dalam ajaran agama Hindu, ditemukan
petunjuk yang kuat mengenai sarana upacara Yadnya, yang merupakan ciri khas
yang kuat di dalam pelaksanaan upacara Yadnya Sesa, antara lain:
a. Lima Tempat Persembahan
Persembahan Yadnya Sesa ini diletakkan di lima tempat utama sebagaimana
diperintahkan dalam kitab Manawa Dharma Sastra, yakni di tempat memasak, di
tempat penyimpanan air, di atas genteng, di halaman dan di tugu/tempat suci.2
Sesungguhnya lima tempat peletakan banten Yadnya Sesa tersebut ditujukan
kepada wujud Panca Maha Bhuta, yaitu Akasa, Udara, Api, Air dan Bumi.
Kelima aspek tersebut merupakan produk dari Panca Tan Matra, yakni: Sabda,
Sparsa, Rupa, Rasa, dan Bau. Semuanya ini merupakan Tattwa Prakerti (tattwa
adalah filsafat sebagai kerangka pertama agama Hindu).3
Tattwa Prakerti
2 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana,
2003), Bab III.68, hlm. 150. 3
A. A. G. Raka Mas, Membangun Masyarakat Berkualitas Melalui Kepedulian pada
Tata Susila dan Budhi Pekerti Hindu, (Surabaya: Paramita, 2003), hlm. 1.
51
merupakan satu dari sekian banyak tattwa yang membentuk alam semesta sebagai
unmesa atau perkembangan dan perluasan Sang Hyang Widhi dan diyakini oleh
seluruh umat Hindu sebagai manifestasi dari Sang Hyang Widhi itu sendiri. 4
b. Sarana Api (Agni)
Salah satu unsur yang sangat penting di dalam upacara agama Hindu adalah Api.
Dalam pelaksanaan Yadnya Sesa yang sempurna, makanan persembahan (banten)
dipersembahkan beserta dupa yang menyala. Lambang api pada dupa dianggap
sangat penting didasarkan pada sloka kitab Manawa Dharma Sastra Bab III.76,5
sehingga api mempunyai peranan sebagai berikut:
1) Berfungsi sebagai saksi (grahapati) yang dianggap sebagai tanda hadirnya
Tuhan di tengah-tengah upacara yang dilaksanakan;
2) Berfungsi sebagai duta yang bisa menghubungkan antara kehadiran
manusia dengan Tuhannya;
3) Berfungsi sebagai Pandita yang dianggap sebagai pemimpin upacara
(Purohita);
4) Berfungsi sebagai sarana untuk menyucikan segala pikiran;
5) Berfungsi sebagai kekuatan untuk melindungi dari segala kekuatan yang
jahat;
6) Berfungsi sebagai mulutnya para dewa untuk mempralina segala yang
sudah dianggap usang (mulut tempat mempersembahkan segala bentuk
yadnya);
4 I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 16.
Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar:
Dharma Acarya, 2001), hlm. 19-20. 5 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana,
2003), Bab III.76, hlm 153.
52
7) Berfungsi sebagai pemberi untuk memenuhi segala keinginan, serta
rahmat.
8) Berfungsi untuk meleburkan dosa.6
c. Sarana Air
Air adalah simbol untuk menyucikan atau membersihkan segala sesuatu
kotoran. Air juga merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan. Oleh
karena itu air menjadi salah satu sarana yang sangat penting di dalam pelaksanaan
upacara Yadnya. Umumnya, setiap makanan yang akan dipersembahkan disajikan
bersama air terlebih dahulu sebagai lambang penyucian makanan tersebut.7
d. Doa atau Mantra
Doa adalah salah satu cara yang paling mudah, tepat dan alamiah dalam
menghubungkan diri dengan Tuhan. Doa adalah cetusan hati. Doa yang mujarab
adalah doa yang mengandung tiga unsur:
1) Pengakuan akan kelemahan diri dan ketidakmampuan
Doa yang mengandung unsur pengakuan akan kelemahan diri dan
ketidakmampuan kemudian diiringi sikap penyerahan diri adalah alat
yang paling ampuh untuk meredakan kobaran kesombongan manusia.
Dengan pengakuan seperti ini, manusia menyadari bahwa ada kekuatan
yang maha dahsyat di luar dirinya yang mengendalikan setiap hal.
Adanya pengakuan bahwa Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah
penting sebab orang yang egonya tinggi tidak mampu melihat dan tidak
6
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Lihat
juga Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka
Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 40-43. 7 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
53
mau menerima kebenaran yang datang dari Tuhan sehingga sulit baginya
untuk melihat hakikat segala sesuatu;
2) Pengharapan dan permohonan
Setiap ajaran suci mengarahkan penganutnya untuk berdoa mengajukan
pengharapan dan permohonan. Apapun bentuk permohonan yang
diajukan, baik permohonan yang berisi sekedar pemuasan indrawi atau
duniawi maupun permohonan yang lebih bijaksana, selama mengharap
hanya kepada Tuhan maka permohonan itu boleh-boleh saja. Dengan
bersandar pada Tuhan melalui doa-doanya, seseorang menjadi berani
menghadapi segala rintangan di dunia karena percaya bahwa ada
kekuatan Tuhan yang senantiasa melindungi-Nya. Dengan bermohon
akan sesuatu, seseorang menyatakan diri melalui ucapan dan akan
menyatakan diri melalui perbuatan demi mewujudkan dan menjaga
terkabulnya permohonan tersebut.
3) Puji dan syukur.
Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari manusia. Hakikat pujian adalah
bagi yang memuji. Ada yang memuji karena ingin sesuatu, ada pula
yang memuji karena rasa terima kasihnya atas permohonan yang
terkabul dan nikmat yang ia dapatkan. Rasa syukur pun ditunjukkan
dengan kesadaran berbuat bermacam kebajikan. Dengan memuji Tuhan,
54
manusia kembali menyadari bahwa bukan dirinyalah yang hebat. Dari
sini ia belajar mengikis ego dan mengakui kebesaran-Nya.8
Demikianlah doa yang dimaknai sungguh-sungguh dan dihayati oleh yang
berdoa diyakini akan membuahkan pertolongan bagi orang yang berdoa tersebut.
Dalam pelaksanaan Yadnya Sesa juga diiringi doa. Akan tetapi di dalam Reg Veda
IV.25 dinyatakan bahwa doa tanpa banten dapat pula dilakukan.9
B. Makna Agamis Yadnya Sesa
Yadnya Sesa merupakan bahasa isyarat terhadap kekuatan di luar kekuatan
manusia dan merupakan mediator untuk membuat terintegrasinya kekuatan di luar
manusia dengan kekuatan manusia sehingga tercipta keseimbangan, keserasian
dan keselarasan manusia dengan lingkungannya, hal itulah yang dikatakan
“Mosrtham Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah”.10
Sebaliknya, apabila kekuatan diluar manusia tidak bisa berintegrasi dengan
kekuatan manusia maka tidak ada lagi keseimbangan manusia dengan
lingkungannya dan akan terjadi suatu gejolak penyimpangan kekuatan-kekuatan
Bhuta Kala dengan ciri-ciri seperti timbulnya sakit, pertengkaran, kecelakaan,
kesusahan, kesedihan dan lain-lain.11
8 Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma
Karma, 1987), hlm.37-42. 9
I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
2006), Cet. 5, hlm. 240. 10 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya,
(Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 68. 11
I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya,
(Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 13-15 dan 68
55
Dengan demikian Yadnya Sesa adalah salah satu bentuk yadnya yang
memiliki makna dan fungsi sebagai pembangkit kekuatan religius agar terjadi
integrasi antara kekuatan di luar manusia dengan kekuatan manusia agar
terciptanya kembali keseimbangan tersebut, sesuai dengan ajaran Tri Hita
Karana.12
Yadnya Sesa juga merupakan sarana pengeruat (penyupatan) terhadap
makhluk lainnya di luar manusia karena makhluk tersebut dikatakan papa (lemah).
Oleh karena itu manusialah yang harus menolong makhluk lainnya karena
manusia dilahirkan ke dunia adalah menjadi makhluk utama (makhluk berpikir)
yang memiliki kemampuan cipta, rasa, karsa dan karya. Melalui pengorbanan suci
(yadnya) inilah manusia bisa menolong makhluk lainnya untuk nantinya kalau
makhluk tersebut bereinkarnasi menjadi makhluk manusia.13
Di samping itu memiliki nilai tinggi terhadap karmanya manusia karena ia
menyadari bahwa segalanya yang ia makan adalah berkat ciptaan Sang Hyang
Widhi, maka dari itu segala yang dimakan dihaturkan terlebih dahulu kehadapan-
Nya agar tidak menjadi seorang pencuri yang mencuri milik-Nya karena mencuri
adalah perbuatan dosa. Pada sudut pandang ini, korban suci Yadnya Sesa
merupakan sarana peleburan dosanya manusia sendiri karena manusia juga
memiliki perbuatan himsa (kekerasan) secara disadari maupun tidak disadari.
Sebagai contoh: pada suatu saat sedang berjalan atau duduk, pada saat itu
kebetulan ada seekor semut mati terinjak atau mati karena tertindih akibat duduk,
12 Tri Hita Karana mengajarkan bahwa manusia tidak bisa lepas dari mengadakan tiga
hubungan yakni: hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia dan makhluk
lainnya/lingkungan. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
13 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya,
(Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 69.
56
hal itu sudah perbuatan himsa karma karena semut itu pun perlu hidup. Oleh
karena itu, Sang Hyang Widhi telah memberikan petunjuk melalui ajaran Veda
dan terciptalah sarana berupa Yadnya sesa, salah satu jalan sebagai peleburan
dosa manusia. Sebagaimana bunyi sloka Manawa Dharma Sastra Bab III.69
berikut:
Tasam kramena sarwasam
niskrtyastham maharsibhih
panca klrpta mahayajnah
pratyaham grhamedhinam
Artinya:
“Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu
para Maha Rsi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap
harinya melakukan Panca Yadnya.”14
Pada dasarnya, umat Hindu meyakini bahwa Tuhan tidak pernah
membutuhkan segala yang dipersembahkan kepada-Nya. Tuhan juga tidak
mungkin marah jika manusia tidak memberikan sesuatu kepada-Nya. Tetapi
manusia mempunyai perasaan puas kalau segala sesuatunya bisa diungkapkan
melalui sarana yang mungkin tidak ada artinya bagi Tuhan, tetapi Tuhan juga
Maha Mengetahui, sehingga melalui keinginan serta perbuatan yang tulus itu
manusia merasa yakin kekuatan yang baik itu akan berbalik kepada diri mereka
kita sendiri. Sebab, pada dasarnya setiap manusia tidak memiliki apa-apa ketika
lahir ke dunia ini. Semua ciptaan adalah milik Tuhan. Maka sudah sepatutnya apa
yang hendak dinikmati manusia terlebih dahulu dipersembahkan ke hadapan-Nya
sebagai wujud Bhakti kepada-Nya. Dan tentu akan lebih mulia itu jika apa yang
14 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana,
2003), Bab III.69, hlm. 151. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28
Maret 2007.
57
dipersembahkan berasal dari lubuk hati yang paling dalam disertai dengan
keimanan (sraddha).15
Adapun doa atau mantra yang mengiringi persembahan (banten) Yadnya
Sesa adalah sebagaimana halnya pengucapan Gayatri Mantra (nama mantram),
yaitu dilakukan pada pagi, siang dan sore hari setiap menghadapi makanan. Di
dalam makna doa tersebut umat Hindu tidak pernah mengharapkan kebaikan
hanya untuk diri sendiri, tetapi semua makhluk yang tercakup di dalam alam Bhur
(tempat manusia hidup), Bwah (luar angkasa), dan Swaha (surga; alam para
dewa), semuanya didoakan agar sejahtera. Manfaat berdoa sebelum makan juga
diyakini akan menumbuhkan benih-benih pikiran yang sattvika dalam diri
seseorang.16
Oleh karena itu, persembahan Yadnya Sesa itu sebenarnya merupakan
salah satu persembahan yang ditujukan kepada Tuhan sebagai “korban suci”.17
Tuhan tidak pernah membutuhkan segala yang dipersembahkan kepada-Nya.
Tuhan juga tidak mungkin marah jika manusia tidak memberikan sesuatu kepada-
Nya. Tetapi manusia mempunyai perasaan puas kalau segala sesuatunya bisa
diungkapkan melalui sarana yang mungkin tidak ada artinya bagi Tuhan. Tuhan
juga Maha Mengetahui, sehingga melalui keinginan serta perbuatan yang tulus itu
15 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 16
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm 8-10. Sattvika berkaitan dengan ajaran Triguna bahwa terdapat tiga karakter
pada setiap manusia yakni: Sattva, Rajas dan Tamas. Benih sattvika lahir dari sifat sattva, yakni
sifat cerdas, terang, bersih, bahagia dan tenang. Melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan
merupakan indikasi adanya potensi sifat sattva pada diri seseorang yang kemudian akan
memperkuat sifat tersebut dan menjaganya agar senantiasa berada pada jalan subha karma (karma
baik). Lihat juga A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah
Studi dan Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm 34-37. 17 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya,
(Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 17-18 dan 73.
58
manusia merasa yakin kekuatan yang baik itu akan berbalik kepada diri mereka
kita sendiri. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci Bhagavad-gita, IX.26, sebagai
berikut:
Patram pushpam mphalam to yam
yo me bhaktya prayachchhat
tad aham bhaktyu pahritam
asnami prayatat manah
Artinya:
“Barang siapa yang sujud Bhakti kepada-Ku, walaupun hanya dengan
setangkai daun, sekuntum bunga, sebutir buah-buahan dan seteguk air, jika
disertai dengan perasaan tulus, pasti Aku akan menerimanya dengan
perasaan penuh cinta kasih”.18
C. Peranan Yadnya Sesa Bagi Pertumbuhan Moral
Berbhakti kepada Sarwa Prani (alam semesta ciptaan Tuhan) berarti
seluruh kegiatan dan usaha ditujukan untuk mencapai Parama Purusa (Brahman).
Pendidikan moral seperti ini membuat seseorang dalam pergaulan di masyarakat
menjadi lebih berhati-hati. Dia akan berusaha untuk selalu menghindari
lingkungan yang tidak mendukung dirinya pada tahap kemajuan ilmu pengetahuan
rohani.
Ada dua pilihan di dalam melakukan sadhana spiritual dengan berbhakti
kepada Sarwa Prani. Pertama, apakah seseorang diarahkan kepada benda-benda
ciptaan-Nya, kemudian yang kedua, apakah jiwa mereka diarahkan menuju pada
Penciptanya? Hal ini adalah sangat rahasia dan pribadi, hanya bisa diketahui oleh
individu itu sendiri. Jika ritual semacam itu terasa jenuh dan membosankan berarti
seseorang masih terikat pada benda-benda ciptaan-Nya. Sebaliknya, jika ritual
18 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab IX.26 hlm 59.
59
tersebut menimbulkan rasa damai dan bahagia (anandam) berarti jiwanya sudah
mengarah ke Parama Purusa (Tuhan Yang Maha Esa).19
Sebenarnya berbhakti kepada Sarwa Prani, berarti mengarahkan perhatian
kepada ciptaan-Nya, sebab alam semesta tempat para makhluk bersemayam
adalah sebuah Keluarga Yang Universal. Umat manusia berlomba-lomba berusaha
mendapatkan kasih sayang dan berkah-Nya, dan berkah-Nya tidak membeda-
bedakan, Beliau Maha Tahu apakah umat-Nya beryadnya dengan tulus atau tidak
tulus (ego). Bagaimana Yadnya Sesa menjadi sarana bagi pertumbuhan moral
Hindu adalah sebagaimana tertulis di bawah ini:
a. Melalui pelaksanaan Yadnya Sesa, seluruh tubuh akan senantiasa
bergerak melakukan perbuatan yang terpuji setiap harinya, dengan penuh
hormat menghadap Dewa yang berkedudukan di berbagai penjuru
sebagai manifestasi Tuhan itu sendiri;
b. Melalui pelaksanaan Yadnya Sesa, seseorang setiap harinya harus selalu
berkonsentrasi dan berupaya melalui pikirannya untuk
mempersembahkan sebagian makanan yang baru saja habis dimasak
kepada Tuhan yang selalu dihormatinya. Pada saat seperti itu, pikiran
yang selalu melenceng akan senantiasa disibukkan dengan memikirkan
Tuhan yang Maha segala-galanya. Dari mulai memasak makanan,
pikiran sudah tertuju kepada Brahman atau Sang Keberadaan yang
Universal. Setelah matang, nasi, sayur, lauk pauk diambil sejumput demi
sejumput diletakkan di atas daun pisang atau daun apapun boleh, untuk
19
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm. 16.
60
dibuat Banten Jotan. Yadnya semacam ini sebenarnya sudah mengarah
kepada sadhana (sarana bhakti secara terus-menerus) spiritual, karena
seseorang tidak cukup hanya menguasai ilmu pengetahuan rohani saja,
tanpa praktek. Hal ini memerlukan rasa kesungguhan hati, memerlukan
latihan-latihan spiritual. Maksudnya umat manusia dituntun dan
diarahkan menempuh jalan yang jelas bahwa tujuannya adalah
Keberadaan Universal atau Brahman. Jika sadhana yang kecil dan
sederhana seperti tersebut di atas sudah dihayati, maka secara otomatis
pikirannya akan senantiasa diisi oleh pengetahuan Madu Widya
(manisnya ilmu pengetahuan rohani itu) meresap ke dalam jiwa dan
lubuk hati yang terdalam.
c. Melalui pelaksanaan Yadnya Sesa, seseorang selalu diharuskan untuk
mengucapkan mantra atau doa suci kepada Tuhan dengan mulut dan
kata-katanya.
d. Melalui pelaksanaan Yadnya Sesa, secara bertahap akan menyebabkan
tumbuhnya karakter pada diri seseorang untuk selalu menghargai,
menghormati, juga menumbuhkan perasaan toleransi yang tinggi
terhadap sesama makhluk hidup serta lingkungan sehingga dapat tercipta
keharmonisan hidup antara makhluk yang satu dengan makhluk lainnya.
Sebab, melalui bentuk banten Yadnya Sesa itulah (yang terdiri dari nasi,
sayur lengkap dengan lauk pauknya) akhirnya akan dinikmati oleh
61
makhluk lain seperti semut, cecak, burung, kucing, tikus, anjing dan lain
sebagainya.20
Inilah bentuk bhakti seseorang kepada Tuhan-Nya. Dengan menyisihkan
sebagian yang dimiliki, umat Hindu berusaha untuk mengikis kenikmatan duniawi
untuk mencapai kebebasan rohani (moksa) sesuai dengan tujuan agama yang
dianutnya. Dengan mengupayakan jalan kerohanian, sudah tentu aplikasinya akan
memberi manfaat kepada sekitarnya seperti halnya mementingkan kepentingan
umum dari pada kepentingan diri sendiri, dan ini juga berarti untuk melayani
kepentingan umum tanpa pamrih, tanpa menuntut imbalan. Sebab, jika seseorang
berbuat baik maka karma baik (subha karma) pasti akan menyertainya. Dengan
demikian, segala yang diupayakan seseorang, baik atau buruk, akibatnya akan
kembali kepada pelakunya.
D. Macam-macam Yadnya Sesa Berdasarkan Makanan Persembahannya
1. Segehan Kepel
Segehan ini terdiri dari:
a. Bawang, yang mengandung makna dan simbol (niyasa) sebagai kekuatan
tamah, karena bawang tersebut memiliki sifat dingin atau adem
disimbolkan sebagai sifat apatis atau kebodohan, kalau memiliki
kebodohan dapat diartikan memiliki kegelapan, orang yang memiliki
kegelapan dalam hatinya akan lebih mudah kena pengaruh-pengaruh
sampingan yang cenderung negatif.
20 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
62
b. Jahe, mengandung makna dan simbol sebagai kekuatan rajah, dilihat dari
sifat jahe adalah panas, sifat panas menjadi sifat keras atau sifat kroda.
Dengan memiliki sifat keras akan bermanifestasi menjadi egoistis, bagi
orang yang egois biasanya memiliki pergaulan atau sering dijauhi orang.
c. Garam Hitam (Uyah Arang), memiliki makna dan simbol sebagai
kekuatan penetralisir atau Penyomia, yaitu Sattwam.
d. Porosan dan Bunga memiliki makna dan simbol sebagai kekuatan silih
asih.
Mengenai warna dan arah sebagai patokannya adalah berdasarkan ajaran
“Jnana Kanda dan Karma Kanda” antara lain:
a. Segehan warna putih, adalah sebagai simbol “akasa”, pada arah wetan atau
Timur.
b. Segehan warna merah (abang), adalah simbol “teja”, pada arah daksina
atau Selatan.
c. Segehan warna kuning adalah sebagai simbol “apah”, pada arah pascima
atau Barat.
d. Segehan warna hitam adalah sebagai simbol “bayu”, pada arah Utara.
e. Segehan Brumbun adalah sebagai simbol “pertiwi”, pada arah tengah
madya.
f. Segehan kepel Poleng, segehan ini dibuat dari nasi kepel yang berwarna
putih dan hitam menjadi satu kepel, kemudian membuat dua kepel.
Segehan poleng merupakan niyasanya Bhuta Poleng, di mana kekuatan
63
bhuta ini dapat mempengaruhi manusia, sehingga manusia memiliki sifat-
sifat licik, senanh mengandu domba, senang mencuri, dan lain-lain.
g. Segehan Seliwah, segehan ini dibuat dari nasi kepel putih satu kepel dan
nasi kepel hitam satu kepel yang diletakkan pada satu tempat atau ceper
dengan perlengkapannya yang sama. Segehan ini menyimbolkan kekuatan
Bhuta Seliwah, dan kekuatan Bhuta Seliwah dapat mempengaruhi jiwa
manuisia sehingga manusia sering mengalami salah paham sehingga
mengaundang pertenmgakaran. Maka dari itu perlu dinetralisir dengan
membuat Segehan Seliwah.
h. Segehan Putih Kuning, segehan ini dibuat sama seperti di atas hanya
bedanya, warna putih satu kepel dan kuning satu kepel menjadi satu wadah
dengan perlengkapannya sama. Segehan ini menimbulkan kekuatan Bhuta
Nareswari, yang dapat mempengaruhi jiwa manusia sehingga manusia
memiliki perilaku malas dan pemboros. Maka dengan demikian harus
dinetlarisir dengan pembuatan segehan tersebut.
2. Segehan Sasah.
Segahan ini juga dibuat dari nasi putih tetapi bedanya nasinya tidak
dikepel, melainkan ditaruh terurai alasnya sebuah tangkih atau daun, berisi
porosan, bunga dan kacang saur, bukan bawang jahe. Segehan ini mengandung
makna dan simbol sebagai kekuatan durga karena dilihat dari bentuk rambut
terurai kedepan muka (seperti orang yang akan ngelekas menjadi leak) dan bentuk
rambut yang demikian disebut sikap memurti atau durga sedang mengeluarkan
kesaktian untuk mencari sasaran dengan menyakiti. Sedangkan saur merupakan
64
simbol pengeruat (penyupatan) karena kata saur dapat diartikan kedamaian.
Kacang mengandung simbol menyatu atau tidak menyakiti (bermusuhan) karena
dilihat dari bentuknya bulat.
Durga adalah suatu kekuatan yang mengakibatkan penderitaan sakit dan
kematian (bersifat pralina), oleh karena itu perlu membuat Segehan sasah sebagai
sarana penetralisir kekuatan durga agar menjadi kekuatan Durga Hita atau Durga
yang mensejahterakan alam semesta dan kehidupan manusia.
3. Segahan Agung.
Segehan ini dibuat serdemikian rupa dengan tatanan sebagai berikut:
Sebuah alas (tempeh) berisi beras, diatas beras pada bagian tengah tempeh
dipasangkan tri kona besar sebagai alas sebuah kelapa yang telah terkupas
kulitnya. Disamping tri kona disusun sebuah : telur, kemiri, pangi, gegantusan,
pepeselan, semuanya diatas alas dengan kojong. Diluarnya disusun dengan nasi
putih berisi kacang saur dengan alas tangkih sejumlah sebelas tanding dengan
penataan secara melingkar dalam perhitungan arah mata angin yaitu : arah timur,
arah tenggara, arah selatan, arah barat daya, arah barat, arah barat laut, arah utara,
arah timur laut, dan ditengah dipasangkan tiga buah Segehan tadi sehingga
semuanya berjumlah menjadi sebelas tanding dxan di atasnya diisi canang sari.
Pada waktu menghaturkan Segehan ini disertai dengan pemotongan ayam kecil.
Pemotongan ayam ini dilakukan sambil mencipratkan darahnya karena darah
menjadi simbol “kala”. Darah merupakan simbol penetralisir kekuatan kala, agar
menjadi kala hita.
- Tempeh sebagai simbol alam semesta.
65
- Beras sebagai simbol udara (amerta).
- Tri kona sebagai simbol kekuatan Tri Guna.
- Kelapa sebagai simbol matahari / sumber panas.
- Telur sebagai simbol bulan.
- Tingkih sebagai simbol bintang.
- Pangi sebagai simbol Samudra / Danau.
- Gegantusan sebagai simbol roh-roh (jiwatma).
- Pepesalan sebagai simbol hutan.
- Canang Sari sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
- Brem sebagai simbol Sang Hyang Prakerti.
- Arak sebagai simbol Sang Hyang Purusa.
4. Segehan Saiban.
Segahan ini dibuat dengan alas tangkih berisi nasi, sayur, ikan, atau daging
dan garam atau ap saja yang dimasak itulah dipakai bahannya. Sehubungan
dengan segahan saiban ini, bagi yang telah selesai memasak, dan kalau mau
makan terlebih dahulu sebelum menghaturkan sesajen maka sisihkanlah dulu
sedikit nasi dan lauk pauknya agar jangan menghaturkan sesajen bekas atau sisa
makanan yang sudah dimakan.
Isi Segehan Saiban mengandung makna dan simbol antara lain :
a. Nasi adalah sebagai simbol amertha (dharma), memiliki sifst Sattwam.
b. Sayur sebagai simbol sarwa mentik, memiliki sifat tamas.
c. Ikan/ Daging sebagai simbol sarwa perani, memiliki sifat Rajas. d.
Garam sebagai simnol kekuatan pengelebur/penertralisir.
66
Dari simbol-simbol diatas maka Segehan Saiban memiliki makna sebagai
sarana pengeruat atau penyupatan terhadap makhluk-makhluk diluar manusia
karena makhluk tersebut adalah dikatakan makhluk papa. Hanya manusialah yang
diharapkan melakukan penyupatan agar nantinya kalau reinkarnasi supaya
menjadi manusia. Di samping itu memiliki nilai tinggi terhadap karmanya
manusia karena ia menyadaribahwa segalanya yang dia makan adalah berkat
ciptaan Sang Hyang Widhi, maka dari itu segala yang dimakan dihaturkan terlebih
dahulu kehadapanNya agar tidak menjadi seorang pencuri yang mencuri miliknya
karena mencuri itu adalh perbuatan dosa.
Dari sudut pandang yang lain makna dari segehan saiban ini adalah
sebagai sarana peleburan dosa manusia akibat dari perbuatan himsa karma baik
secara sadar maupun tidak sadar.
Perbuatan himsa karma ini adalah perbuatan dosa, oleh karena itulah
perlunya melaksanakan korban suci berupa Segehan Saiban sebagai sarana
melaksanakan kebajikan yang mengandung nilai penebusan dosa.
5. Segahan Wong-wongan.
Segehan ini biasanya dibuat bentuk (pawongan) sesuai dengan kebutuhan
dan mengandung makna sebagai niyasa (simbol) menurut fungsinya sebagai
penetralisir kekuatan Bhuta Bucari, Durga Bucari, Kala Bucari untuk menjadi
Bhuta Hita, Durga Hita dan Kala Hita.
Contoh:
a. Segehan berupa/menyerupai bentuk Rangda adalah sebagai sarana
penetralisir kekuatan Durga Bucari.
67
b. Segehan berupa/menyerupai bentuk Naga adalah untuk menetralisir
kekuatan berupa Bhuta Bucari.
c. Segehan berupa/menyerupai bentuk Manusia (Wong) adalah sarana
penetralisir kekuatan Kala Bucari.
Semua bentuk diatas hanya dipergunakan pada saat-saat tertentu sesuai
dengan kebijakan umat Hindu.21
E. Analisa Kritis
Tujuan Yadnya (upacara pengorbanan) adalah untuk memperhalus jiwa
manusia, hanya manusia yang bisa memperbaiki dirinya sendiri, apakah
martabatnya akan menjadi lebih rendah atau lebih tinggi. Jika jiwanya serta
pikirannya kotor maka dia akan dikendalikan oleh badan jasmani, sebaliknya
jiwanya halus maka jasad atau raganya dikendalikan oleh jiwanya. Yadnya yang
dilakukan dengan tulus ikhlas, hati yang suci, pikiran yang hening, akan
membangkitkan unit-unit kesadaran. Unit kesadaran inilah nantinya yang akan
mengendalikan jiwa dan raga manusia menuju pada Kesadaran Kosmis (Tuhan).22
Umat Hindu mengenal adanya Panca Yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Pitra
Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Upacara Yadnya Sesa
yang dipersembahkan kepada Sarwa Prani (Panca Maha Bhuta) dapat digolongkan
sebagai Bhuta Yadnya yang digunakan untuk menyeimbangkan kekuatan Bhuta
Kala. Meskipun kelima yadnya (Panca Yadnya) yang ada mempunyai fungsinya
sendiri-sendiri, perlu juga diketahui bahwa yadnya manapun yang dilakukan oleh
21 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya,
(Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 75-88. 22
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm. 18.
68
umat manusia, semua itu akan mengarah kepada-Nya. Sebab, semua yang ada di
alam semesta adalah manifestasi dari Yang Tunggal. Hal mengenai keberadaan
Ida Sang Hyang Widhi adalah tak terbatas. Namun karena keterbatasan manusia,
maka umat manusia menggambarkan sesuai dengan kemampuannya. Tuhan
adalah sangat abstrak, tidak dapat dilukiskan, tidak dapat diberikan batasan, tidak
dapat diterka-terka, manusia bisa diidentifikasikan sedangkan Tuhan tidak. Untuk
kepentingan pendidikan dan pemujaan, maka umat Hindu mendefinisikan sifat-
sifat Tuhan dalam bentuk Yadnya upacara dan upakara. Walaupun demikian,
makna dari Yadnya Sesa tersebut intinya adalah untuk mencari kebahagiaan yang
abadi, tujuan hidup tertinggi dari setiap umat Hindu, yakni bersatunya Sang Diri
dengan Diri Tertinggi, Atman dan Brahman, atau yang biasa disebut moksa.
Melalui pelaksanaannya, Yadnya Sesa diadakan sebagai sarana bhakti (sadhana)
yang mengajarkan atau mendidik agar membiasakan setiap orang untuk
mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan diri sendiri, untuk
membangun karakter saling menghargai sesama, serta untuk menumbuhkan
perasaan toleransi terhadap alam dan makhluk di sekitarnya. Dari toleransi ini
diharapkan seseorang terus menanjak, dari apara bhakti ke tingkat para bhakti,
menuju tahap mencintai alam semesta dengan semangat berkorban sebagai wujud
cintanya kepada Yang Menciptakan alam semesta tersebut yang kemudian akan
menciptakan keserasian dan keseimbangan siklus kehidupan.23
Yadnya sesa timbul
dari adanya filsafat hutang (Rna). Filsafat hutang ini menerangkan bahwa manusia
mempunyai hutang kepada : Dewa Rna : adalah hutang hidup kepada Ida Hyang
23 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya:
Paramita, 2005), hlm 14. lihat juga A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas
Bhagawadgita: Sebuah Studi dan Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm 43.
69
Widhi. Rsi Rna : adalah hutang suci kepada Rsi. Pitra Rna : adalah hutang jasa
kepada para Leluhur.
Selain itu, pada dasarnya semua ritual pengorbanan dalam perspektif
agama-agama adalah sama-sama berusaha untuk mengadakan hubungan dengan
Yang Maha Tinggi, yakni Tuhan. Karena Tuhan terasa begitu jauh dari jangkauan,
maka melalui bentuk-bentuk pengorbanan itulah manusia bermaksud
menghadirkan Tuhan dan berhubungan dengan-Nya dalam bentuk yang lebih
nyata. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengingatkan diri manusia itu sendiri
sebagai pelaksana korban, bahwa apa pun yang mereka nikmati dari alam
sekitarnya adalah milik Tuhan. Dari adanya bentuk pengorbanan sebagai ritual
atau ibadah tersebut, umat beragama melatih diri secara bertahap untuk sampai ke
tujuan akhir rohaniah yang mereka yakini. Maka dalam hal ini ritual pengorbanan
tersebut hadir sebagai sarana berhubungan dengan Tuhan. Adapun tingkatan
ibadah/ritual pengorbanan seseorang dapat dibagi sebagai berikut:
1. Pertumbuhan Kesadaran dan Rasa Syukur
Setiap ritual pengorbanan datang dari perintah Tuhan dalam kitab suci.
Dari perintah tersebut, manusia diangkat sebagai makhluk bermartabat tertinggi
jika dibandingkan dengan makhluk lain karena ia berpikir. Dengan kelebihannya
tersebut, manusia diperintahkan untuk memikirkan betapa banyak nikmat Tuhan
yang telah diberikan kepada-Nya. Setelah adanya kegiatan berpikir, manusia pun
tercetus untuk melihat ke dalam dan ke luar dirinya. Dari hasil perenungannya,
manusia beranjak ke kesadaran tahap awal di mana ia bersyukur dan menyikapi
70
nikmat dari Tuhan dengan mematuhi perintah-Nya, dalam hal ini ia tergerak untuk
melakukan bentuk pengorbanan sebagai ritual atau ibadah.
2. Permohonan Sederhana
Dalam setiap bentuk ritual kerap diiringi doa, baik yang diucapkan dengan
kata-kata, pernyataan sikap atau sekedar simbol. Doa ini adalah curahan hati dari
yang melaksanakan pengorbanan. Permohonan sederhana adalah permohonan
yang masih mementingkan keinginan-keinginan duniawi. Umumnya, permohonan
seperti ini datang dari pelaksana korban yang takut pada kemurkaan Tuhan atau
sekedar menginginkan harta, kedudukan, dan kesenangan yang bersifat sementara
atau fana. Perilaku moral yang ada pada tahapan ini tidak lain melaksanakan
pengorbanan hanya karena khawatir atau takut jika sampai keinginannya tidak
terpenuhi. Jadi dapat dikatakan tingkat keyakinan/iman pada tahapan ini masih
tergolong rendah. Ia beriman pada kemahakuasaan Tuhan tetapi masih lebih
cenderung kepada keinginan-keinginannya. Karena kemelekatannya dengan apa
yang diinginkan, pada tahapan ini seseorang masih cenderung pada keinginan
berbuat dosa. Pada tingkat ini umat Hindu menyebutnya dengan istilah Apara
bhakti.
3. Permohonan Bijaksana
Pada tahapan ini, tingkat keimanan seseorang sudah meningkat. Ia tidak
lagi melihat pada kesenangan duniawi melainkan menanjak kepada permohonan
ukhrawi, yakni kesenangan yang bersifat abadi, atau yang lebih sering disebut
surga. Perilaku moral yang ada pada tahapan ini bertolak dari menjaga diri dengan
berhati-hati atas perintah dan larangan Tuhan. Pada tahapan ini, seseorang rela
71
kehilangan apapun karena ia berharap dan meyakini bahwa ia akan mendapatkan
apa yang Tuhan janjikan kepadanya berupa kenikmatan abadi atau keselamatan
akhirat.
4. Mencintai Tuhan
Pada tahapan ini tiada lagi kesenangan yang dipikirkan seseorang untuk
dirinya sendiri melainkan hanya untuk Tuhannya. Bahkan surga pun bukan yang
menjadi keinginan terakhirnya. Satu-satunya yang diharapkan adalah bertemu
dengan Tuhan. Dari kerinduan bertemu itulah, ia rela mengorbankan apa saja yang
ada pada dirinya baik yang bersifat materi atau immateri. Jiwa dan raga tercurah
hanya untuk Tuhannya. Tiada yang lebih membahagiakannya selain berkorban
untuk Tuhan yang ia cintai melebihi dirinya dan melebihi alam semesta ciptaan-
Nya. Jika ia berbuat sesungguhnya perbuatannya itu hanya berharap kepada ridha
Tuhannya. Ia tidak lagi menginginkan dan berharap apapun selain-Nya. Pada
tahapan ini, seseorang tidak merasa kehilangan apapun jua karena ia menyadari
bahwa dirinya dan seluruh yang ada seutuhnya berasal dari Tuhan, hanya milik
Tuhan. Sehingga apapun yang ia lakukan hanya untuk Tuhan dan dilakukan di
jalan yang diridhai Tuhannya. Bercinta dengan Tuhan menjadi kebahagiaan
tertinggi; dikenal juga dengan tingkat Para bhakti. Dengan menyadari bahwa
Tuhan adalah Yang Maha Penyayang, maka manusia akan berusaha meneladani
bagaimana Tuhan membagi kasih sayangnya terhadap alam semesta sehingga dari
72
latihan pengorbanan secara bertahap manusia akan menyayangi semua ciptaan-
Nya.24
Demikianlah Yadnya Sesa hadir sebagai sarana yang memberikan manfaat
pendidikan moral dan spiritual.25
Di dalam kitab Acara Agama Hindu tulisan
Gede Pudja disebutkan:
Pada umumnya di dalam melaksanakan upacara di dalamnya merupakan
perpaduan yang sangat harmonis dari berbagai alat-alat upacara, di antaranya
sebagai unsur yang bersifat kompleks, karena hakekatnya telah terpendam di
dalam keyakinan, perasaan, pandangan hidup umat Hindu yang sangat bersifat
pribadi. Juga di dalamnya menyangkut gejolak alam yang serba fenomena serta
mempunyai pengalaman empirisis dari pihak umatnya. Oleh karena itu semua
yang ada di dalamnya sebenarnya tergantung dari tingkat perkembangan
kebijakan dari pola pemikiran para umatnya, yaitu tercermin dari alam pikiran
serta budhi di dalam menghayati berbagai macam benda-benda duniawi yang
digunakan sebagai sarananya, dan juga di dalamnya tergantung dari berbagai
macam pengertian yang mendalam mulai dari bahasa, warna, benda, gambar, arca,
serta diagram tertentu yang akan digunakan.26
Semua sarana yang dimanfaatkan oleh umat Hindu mengandung suatu
rahasia seni yang mengandung kekuatan batin yang mendalam. Itulah sebabnya
hal-hal yang berkaitan dengan upacara dan persembahan sering disalahtafsirkan
24 Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma
Karma, 1987), hlm.37-49. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28
Maret 2007. 25 R. B. Pandey, Hindu Samskara: Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya,
(Surabaya: Mayasari, 1985), hlm. 11. 26 G. Pudja, Acara Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 1985), hlm. 45.
73
bagi orang yang tidak memahami maknanya. Pemahaman seseorang sering
diartikan mengandung mistik yang sifatnya mempunyai muatan negatif, padahal
belum tentu demikian. Setiap hal tergantung dari sudut mana seseorang
memandangnya. Contoh: sudut pandang seseorang dalam melihat matahari.
Matahari bersinar terang menyilaukan mata. Jika seseorang memandang matahari
tersebut melalui kacamata hitam (sunglasses), tentu sinar matahari tersebut
tampak gelap. Tetapi bukan berarti matahari yang sesungguhnya berwarna
demikian. Dalam ajaran Hindu mengenai Raja Yoga juga ditemukan bahwa arti
kata mistik itu sebenarnya adalah suatu ajaran untuk memahami rahasia alam yang
penuh dengan kegaiban, penuh dengan rahasia. Dengan mendalami rahasia Tuhan
yang serba misteri atau gaib itu, barulah seseorang menjadi yakin terhadap Tuhan
itu sendiri. Tanpa mengetahui rahasia kekuatan itu, sangat dikhawatirkan
seseorang akan menjadi verbalisme atau menjadi seorang penghayat Tuhan yang
hanya baru sampai pada tingkatan slogan-slogan saja.27
Pada dasarnya tiada hambatan yang berarti dalam pelaksanaan Yadnya
Sesa sehingga dengan melihat menfaat pendidikan moral spiritualnya, Yadnya
Sesa masih relevan dengan perkembangan zaman untuk dijadikan sarana
pendidikan umat Hindu. Adapun mengenai beraneka ragam tata cara
pelaksanaannya tergantung dari bagaimana umat Hindu memaknai Yadnya Sesa
tersebut dan bergantung dari segi pengetahuan mereka terhadap ajaran-ajaran
agama serta tingkat kesadaran beragama masing-masing individu.28
Yadnya sesa
pada dasarnya merupakan perwujudan dari Bhuta yadnya, artinya pengorbanan
27 G. Pudja, Acara Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 1985), hlm. 46-47. 28 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
74
dalam yadnya sesa ini ditujikkan kepada Bhuta (yang termasuk jenis bhuta ialah
Genderuwo dan makhluk-makhluk halus lainnya). Hal inilah yang mem bedakan
pemgorbanan dalam Hindu dengan perspektif pengorbanan dalan Islam. Karena
meskipun umat Hindu mengatakan ritual pengorbanannya ditujukkan kepada satu
Tuhan, tetapi harus difahami juga Tuhan dalam perspektif Hindu diarahkan di
arahkan pada simbol-simbol yang bisa diterima oleh indra-indra. Mengapa
demikian? Karena kehidupan Hindu terkait denga alam sekitarnya sehingga Tuhan
diwujudkan dalam simbol-simbol berupa api, air, arca, upacara dan lain-lain.
Sehingga tidak heran umayt Hindu dikenal sebagai agama Polyteisma atau non
Monoteisme sementara dalam perspektif Islam setiap amal perbuatan ditujukkan
kepada satu Tuhan (Monoteisme/Tauhid). Inilah yang membedakan antara agama
Hindu dan Islam.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upacara Yadnya Sesa yang di dalam agama Hindu adalah upacara
simbolik yang tak mendatangkan hasil apa-apa kalau tidak direalisasikan dengan
etika sehari-hari dan tanpa dikerjakan dengan penuh hikmat dan makna. Dan
kalaulah umat Hindu mengerjakan apa yang diharapkan dari ajaran agamanya
pastilah mereka akan selalu hidup dalam kedamaian, ketentraman kebahagiaan
dan ketenangan jiwa. Maka dari itu untuk mempertegas pemahaman mengenai
makna Yadnya Sesa, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahwa salah satu cara untuk dapat memaknai ajaran agama Hindu adalah
dengan pengorbanan (Yadnya), yaitu pengorbanan yang harus
dilaksanakan dengan sangat tulus, dan pengorbanan yang dimaksudkan di
sini adalah mengorbankan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki
seseorang. Di dalam kitab Veda disebutkan pemberian yang sangat tulus
adalah salah satu wujud pelaksanaan dharma. Maka barang siapa yang
melaksanakan kewajiban hidup berlandaskan dharma, maka dharma itu
akan berbalik menjadi suatu kekuatan subha karma (kebajikan) yang akan
melindungi dan dalam upacara Yadnya Sesa-lah semua itu dapat
terealisasi. Upacara Yadnya Sesa adalah salah satu bentuk Bhuta Yadnya
dan manifestasi dari Panca Yadnya yang dilakukan setiap hari (nitya
karma) yaitu sehabis memasak di dapur umat Hindu memberikan atau
76
menghaturkan makanan persembahan (banten) sebagai sebuah perwujudan
kasih sayang terhadap semua atau sesama makhluk di alam semesta
(sarwa prani) dan manifestasi sadhana (bhakti yang terus menerus)
kepada Sang Hyang Widhi Wasa menyikapi rasa syukur atas nikmat dan
kemurahan rezeki yang diberikan-Nya setiap hari. Terdapat beraneka tata
cara pelaksanaan Yadnya Sesa tergantung dari tingkat kesadaran beragama
dan tingkat pengetahuan umat Hindu terhadap Yadnya Sesa itu sendiri.
Makna yang umum diterima mengenai Yadnya Sesa ialah hadirnya
Yadnya Sesa sebagai sadhana spiritual, sebagai sarana penyupatan,
sebagai sarana peleburan dosa, dan sebagai sarana untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan mencapai moksa.
2. Yadnya Sesa yang banyak mengandung makna bagi kehidupan umat
Hindu diyakini dapat membimbing umat kepada tumbuhnya jiwa sosial,
harmonis dan toleran dalam hidup berdampingan dengan sesama makhluk
serta menanamkan rasa kasih sayang dan rasa terima kasih atas anugerah
Tuhan, menjadikan upacara Yadnya Sesa ini selalu dilaksanakan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya sebagai sarana pendidikan moral spiritual.
Sehingga apa yang diharapkan dari umat tua Hindu terhadap umat muda
Hindu, yakni secara bertahap menghilangkan keterikatan terhadap duniawi
dan dapat menumbuhkan serta memperkuat bhakti dan keimanan
(sraddha) kepada Sang Hyang Widhi Wasa, dapat diraih dengan
melaksanakan Yadnya Sesa sehari-hari, Terlebih lagi dengan
melaksanakan Yadnya Sesa, seseorang belajar mengikis ego dan
77
menyelaraskan antara pikiran, ucapan dan perbuatannya sesuai dengan
ajaran Tri Kaya Parisudha.
3. Yadnya Sesa yang telah mendarah daging dalam diri setiap umat Hindu
tidaklah memberi hambatan yang berarti untuk dilakukan setiap harinya
meski dikaitkan dengan perkembangan zaman karena pada hakikatnya
Yadnya Sesa hanya mampu dijelaskan dengan bahasa hati dan hanya dapat
dipahami oleh orang yang melaksanakannya.
B. Saran-Saran
Setelah melakukan penelitian terhadap Yadnya Sesa, penulis mengajak
berbagai pihak untuk melakukan hal-hal berikut:
1. Kepada berbagai pihak, penulis mengharapkan penelitian bertema Yadnya
Sesa tidak berhenti sampai di sini melainkan terus berlanjut untuk
menyempurnakannya;
2. Mempelajari agama lain bukan berarti berpindah agama dan melupakan
agama yang dianut. Oleh karena itu, hendaknya keingintahuan yang besar
pada diri setiap peneliti yang mempelajari agama lain dapat
memotivasinya untuk memperluas kajian dan pemahamannnya terhadap
agamanya sendiri serta meningkatkan kualitas keimannya kepada Allah
swt. Dengan demikian, potensi yang ada pada dirinya sebagai umat
beragama dapat terealisasi dan dimaksimalkan dengan layak.
3. Penelitian terhadap agama lain hendaknya menjadi perekat antara umat
agama yang satu dengan umat agama yang lainnya.
78
4. Jika setiap umat beragama memelihara dirinya untuk senantiasa berdamai
dengan aturan-aturan Tuhan, tentu hakikat kebenaran tidak akan menemui
perbedaan dan jurang yang memancing perselisihan. Oleh karena itu,
hendaklah sebagai umat yang beragama yang hidup berdampingan dengan
umat beragama lainnya dapat menjaga kerukunan hidup beragama, agar
dapat tercipta jiwa-jiwa yang toleran dan harmonis.
79
DAFTAR PUSTAKA
Cudamani. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan
Wisma Karma, 1987.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI, 2002.
Departemen Agama RI, Buletin Dakwah Islam Sabilul Mukminin “Tuntunan
Rasulullah saw. Ketika Ber-qurban”, (Jakarta: Depag RI, 2007), No. 44, 14-10
Desember 2007,
Djam’annuri, ed., “Agama Hindu” dalam Agama-agama di Dunia. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Kadjeng, I Nyoman Sarasamuccaya. Denpasar: Dharma Nusantara, 1998.
Mas, A. A. G. Raka. Membangun Masyarakat Berkualitas Melalui Kepedulian pada
Tata Susila dan Budhi Pekerti Hindu. Surabaya: Paramita, 2003.
Mas, A. A. G. Raka. Menjadi Orang Tua Mulia dan Berguna. Surabaya: Paramita,
2002.
Mas, A. A. G. Raka. Tuntunan Susila untuk Meraih Hidup Bahagia. Surabaya:
Paramita, 2002.
Mas, A. A. Gede Raka. Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah
Studi dan Analisis. Surabaya: Paramita, 2007.
Maswinara, I Wayan. Konsep Panca Sraddha. Surabaya: Paramita, 1996.
Observasi ke rumah masyarakat Hindu Cinere, Depok tanggal 22 dan 23 Mei 2007.
80
Pandey, R. B. Hindu Samskara: Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya.
Surabaya: Mayasari, 1985.
Pedanda, Ida. Lontar Tutur Andhabhuwana. Denpasar: Puja Pepada, 1967.
Pudja, G. Acara Agama Hindu. Surabaya: Paramita, 1985.
Pudja, G. dan Sudharta, Tjokorda Rai. Manawa Dharma Sastra. Jakarta: Nitra
Kencana Buana, 2003.
Pudja, G. Pengantar Agama Hindu II. Surabaya: Paramita, 1976. Wawancara pribadi
dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
Putra, I. G. Agung. Wraspati Tattwa. Surabaya: Paramita, 1988.
Putra, I.G.A. Mas Mt. Panca Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1988.
Raras, Niken Tambang. Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani. Surabaya:
Paramita, 2005.
Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija. Edisi revisi.
Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.
Sudarsana, I. B. Putu. Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya.
Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001.
Sudarsana, I. B. Putu. Tutur Kandapat. Denpasar: Kencana, 1987.
Surayin, Ida Ayu Putu. Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri
I Upakara Yajna. Surabaya: Paramita, 2002.
Titib, I Made. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita,
2006.
81
Wach, Joachim. Ilmu Perbandingan Agama, terj. Djam’annuri. Jakarta: Raja
Grafindo Press, 1994.
Yunus, Mahmud H. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.
HASIL WAWANCARA
Nara sumber : Drs. A.A. Gede Raka Mas
Jabatan : Pembina sekaligus Dosen STAH (Sekolah Tinggi
Agama Hindu) Dharma Nusantara
Tempat : Tempat kediaman A.A Gede Raka Mas
Tanggal : Cinere, 10 Agustus 2007
P. : Apa yang dimaksud dengan Yadnya Sesa?
J. : Yang dimaksud Yadnya Sesa adalah semua makanan yang diperoleh
setelah terlebih dahulu sebagian di sajikan kepada yang patut diberi
sesajian dalam hal ini kepada para dewa. orang yang menyantap
makanan sisa dari yang telah disajikan itu diharap bebas dari dosa dan
kesalahan hal ini dapat dilakukan misalnya dengan melakukan ngejot
dalam bahasa Bali artinya adalah Yadnya Sesa. Juga artinya dapat
dikatakan di dalam bahasa agama dia melakukan Tarpana Yadnya.
Seorang kepala rumah tangga begitu selesai menanak maka orang itu
dianggap tidak dosa atau dipersilahkan karena berbuat dosa, maka itu
orang yang menanak nasi untuk dirinya sendiri tanpa melakukan
ngejot yadnya sesa itulah yang bersalah. Jadi kesimpulan bagi umat
Hindu siapa dia dimanapun dia begitu keluarga itu habis memasak dia
menghaturkan Yadnya Sesa maka dia menghaturkan yang namanya
Yadnya Sesa atau Ngejot.
P. : Apa fungsi dan tujuan dari pada Yadnya Sesa?
J. : Tujuanya adalah latihan spiritual tahap petama menuju Sadhana atau
bakti kepada Tuhan Sang Hyang Widi Wasa. Tujuan berikutnya adalah
untuk mencapai moksa. Jadi ini merupakan salah satu yadnya,
memang sulit diterjemahkan secara logika dengan kata-kata sebab ia
upacara yadnya kaitannya dengan perasaan. Orang yang melaksanakan
yadnya dengan tulus ikhlas terbetik perasaan bahagia di hatinya,
meskipun ia belum mengerti hakekat makna yadnya tersebut.
Kebahagiaan pada waktu mempersembahkan yadnya adalah tujuan
utama para bakti atau margi itu. Jadi kesimpulan adalah hakekat
yadnya itu hanya bisa diungkapkan dan diterjemahkan dengan bahasa
hati.
P. : Bagaimana cara pelaksanaannya dan dimana pula tempat
pelaksanaannya?
J. : Ketika seorang ibu atau kepala rumah tangga maka untuk membuat
Yadnya Sesa dipersiapkanlah, sangat sederhana sekali dengan
mengambil daun pisang atau pada zaman modern ini sangat sulit
mendapatkan daun pisang maka diambil kertas yang bersih atau kertas
yang untuk nasi bungkus, kemudian kertas itu dipotong-potong dibagi
menjadi misalnya tergantung pada rumah tangga orang itu kalau rumah
tangganya besar jadi bangunannya luas dan sebagainya maka mereka
akan membuat Yadnya Sesa itu bisa lima belas, bisa dua puluh bahkan
mungkin lima puluh. Saya pernah dengar ada di Bali itu rumah
tangganya luas sekali maka ada sampai Yadnya Sesanya itu seratus
lima puluh. Jadi kertas atau daun dipotong kecil-kecil katakanlah
ukuran 4 x 4 cm lalu daun atau kertas itu diisi makanan yang di masak
ibu rumah tangga itu, unsur yang pertama adalah nasi, jadi diisi nasi
sedikit ukuran sedikit minimal 2 cm ditaruh di situ kemudian diisi
garam, diisi lauk-pauk yang dimasak oleh ibu, pokoknya semua
sedikit-sedikit itu hanya simbol saja. Ini sudah merupakan namanya
Yadnya Sesa. Tapi yang jelas jangan dilupakan kalau pada waktu
membuat itu dasarnya adalah tulus ikhlas dan kebahagiaan, tidak ada
paksaan dan sebagainya semua ini dasarnya adalah kesadaran baik
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah diisi lalu Yadnya Sesa ini
ditaruh atau ditempatkan pada tempat-tempat yang menurut umat
Hindu itu adalah merupakan komponen-komponen yang sangat
penting di dalam rumah tangga itu. Contohnya ditempatkan pertama
karena dia masak di dapur maka pasti di dekat kompor. Yang kedua di
tempat beras yang sekarang pada zaman modern disebut sebagai
kosmos, sesudah itu di tempat air, sesudah itu di tempat-tempat yang
penting-penting lagi misalnya di sumur atau di pompa air kemudian di
tempat persembahyangan bagi umat Hindu bagi yang mempunyai
tempat persembahyangan. Kemudian di tempat cucian kemudian pada
waktu orang masuk ke rumah itu maka ditaruh di depan rumah itu.
Kemudian di tempat-tempat lain bahkan mungkin kurang penting tapi
bagi umat Hindu itu penting, misalnya di got. Jadi kesimpulannya
bahwa banyak sedikitnya Yadnya Sesa yang dibuat itu adalah
tergantung pada luas tidaknya rumah itu karena itu menyangkut
tempat-tempat yang dianggap penting atau perlu dibuat Yadnya Sesa.
Jadi dasar pemikiran atau alasan karena tempat-tempat itu mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat Hindu yang ada di
rumah tangga itu. Jadi kesimpulannya adalah umat Hindu itu tidak
melupakan tempat-tempat yang penting itu, itu secara filosofis. Jadi
kegunaan atau manfaat praktis dengan melaksanakan Yadnya Yesa di
tempat-tempat yang penting itu kita tahu bahwa pekarangan kita itu
apakah sudah bersih, di tempat cucian itu apakah tidak licin, di tempat
comberan itu apakah tidak terjadi kemampetan air, di tempat beras itu,
apakah berasnya masih ada apa tidak, di tempat air apakah airnya
masih bersih apa kotor. Jadi sebetulnya kegunaan praktis itu
bermanfaat bagi kehidupan manusia yang ada didalam rumah tangga
itu dengan adanya Yadnya Sesa itu ada dua tahap yang dicapai pertama
tahap filosofis yaitu kepadaTuhan dan yang kedua kepada lingkungan.
Lingkungan ini sangat luas sekali karena Yadnya Sesa dapat
dimanfaatkan begitu ditaruh Yadnya Sesa itu maka kemungkinan
burung yang akan makan atau semut atau ayam atau apa saja, dengan
demikian maka sebetulnya filosofis dari Yadnya Sesa ini kaitannya
juga lekat dengan namanya Tri Hitakarana ialah manusia tidak bisa
lepas mengadakan hubungan harmonis dengan tuhan, manusia dan
lingkungan atau makhluk-makhluk yang menjadi ciptaan Tuhan.
P. : Apa yang dimaksud dengan Catur Asrama?
J. : Catur Asrama adalah salah satu konsep hidup umat Hindu. Catur
berarti empat dan Asrama artinya usaha orang. Jadi secara sistematik
kalau kita cari artinya atau maknanya Catur Asrama artinya 4 tahapan
hidup manusia yaitu Brahmacaria Asrama, Grhasta Asrama,
Wanaprasta asrama,dan Snyasa Asrama. Pengertiannya adalah sebagai
berikut Brahmacaria Asrama pada tingkat ini yang menjadi prioritas
utama adalah dharma walaupun demikian masalah artha, kama dan
moksa tetap menjadi tujuan hidup. Dharma sebagai prioritas utama
karena adanya keterbatasan manusia itu. Yang dimaksud Grhasta
Asrama adalah masa hidup berumah tangga. Dalam tahapan hidup ini
yang menjadi prioritas utama adalah artha dan kama. Karena tanpa
artha dan kama maka rumah tangga akan tidak mungkin tercapai jika
prioritas artha dan kama tidak mendapat perhatian yang sebaik-
baiknya. jadi pada kesempatan inilah yang namanya anggota rumah
tangga yang sudah berkeluarga itu hrs melengkapi dirinya dengan artha
dan kama. Artha artinya mencari kekayaan atau kebendaan dan kama
artinya memenuhi segala kesenangan, kebahagiaan atau yang namanya
hawa nafsu dan sebagainya, sedangkan yang ketiga disebut
Wanaprasta adalah tingkatan hidup melepaskan diri dari kehidupan
keduniawian. Orang yang sudah siap melepaskan kehidupan
keduniawian maka dia pergi ke hutan maka itu disebut Wanaprasta.
Dalam kehidupan sekarang pengertiannya tidak harus pergi ke hutan
tetapi dia berdikit-dikit melepaskan keduniawiannya. Di dalam kedua
tingkatan hidup ini terutama yang Snyasa yang sudah merupakan
tingkatan yang terakhir prioritas utama adalah mencapai moksa yaitu
bersatunya atma dengan Brahman artinya manusia mempunyai tujuan
yang tertinggi didalam kehidupan yaitu adalah untuk mencapai
kehidupan yang kekal abadi di akhirat.
P. : Kenapa Yadnya Sesa berhubungan dengan Catur Asrama?
J. : Jelas sekali Yadnya Sesa ada hubungannya dengan Catur Asrama
karena salah satu Catur Asrama itu yang pertama Brahmacaria Asrama
di sana mementingkan Dharma jadi kehidupan manusia tidak bisa
dilepaskan oleh adanya kehidupan Dharma jadi kerohanian . Yang
kedua adalah Gryhasta asrama adalah hidup berkeluarga jadi didalam
berkeluarga walaupun manusia itu diperkenankan untuk menjadi kaya,
untuk menjadi senang dan sebagainya tetapi tidak boleh melepaskan
diri dari dasar Dharma, jadi dasar kerohanian yang sangat tinggi
nilainya yaitu secara filosofis tidak melupakan ajaran-ajaran tinggi dari
pada tuhan itu. Karena manusia di dunia ini tidak semata-mata
memenuhi hawa nafsu, mencari kekayaan, pangkat dan sebagainya
tetapi tujuan akhirnya adalah moksa. Dengan demikian maka Yadnya
Sesa yang mempunyai nilai filosofis dan mempunyai nilai praktis
maka jelas sekali bahwa Yadnya Sesa itu merupakan bagian kecil dari
pada Catur Asrama itu, namun demikian Yadnya Sesa itu tidak bisa
dilepaskan dari Catur Asrama, karena dengan mengadakan Yadnya
Sesa manusia menjadi puas mengadakan hubungan harmonis dengan
tuhan, manusia dan lingkungan dan sebagainya. Jadi secara singkat
jelas sekali Yadnya Sesa, bahwa Yadnya Sesa yang merupakan suatu
yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu adalah berkaitan erat
dengan Catur Asrama, yang merupakan tahap kehidupan manusia.
P : Apa makna dari Yadnya Sesa ?
J. : Maknanya pertama adalah mengucapkan terima kasih kepada Tuhan,
bahwa Tuhan telah memberikan kita makan dan sebagainya, didalam
hal ini maka siapapun dia terutama umat Hindu harus mengucapkan
terima kasih terhadap apa yang dia makan, karena kalau kita tidak
mengadakan Yadnya Sesa dikatakan didalam Bhagawad Gita itu
adalah manusia yang dosa atau sebagai pencuri karena secara logika
ini adalah filosofis, tetapi secara logika dan praktis itu benar sekali,
karena kalau kita kaji baik secara ilmiah atau spiritual bahwa tidak ada
satu manusia yang lahir ke dunia ini membawa air, api, beras dan
sebagainya. Semua adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dan bahkan
dalam Weda jelas sekali siapapun dia terutama umat Hindu harus
mengucapkan terima kasih kepada kebaikan kasih sayang Tuhan Yang
Maha Esa.