MAKALAH sgd 3
-
Upload
ayu-ervyna -
Category
Documents
-
view
84 -
download
9
description
Transcript of MAKALAH sgd 3
DISASTER NURSING
SGD 7
Thayakinta Pertiwi 1002105019
Kadek Dwi Pradnya Iswari 1002105040
Ni Made Dewi Ratnasari 1002105045
Ayu Ervyna Novita Sari 1002105051
Ni Luh Putu Devi Kusumayanti 1002105053
I Gede Ardi Suyasa 1002105057
Ni Wayan Yuliantari 1002105059
Ni Made Putri Karuniawati 1002105065
Kadek Ana Dwijayanti 1002105075
Ni Luh Putu Dian Yunita Sari 1002105083
Ni Putu Ayu Jayanti 1002105089
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2013
Learning task kamis, 5 Desember 2013
1. Sebutkan dan jelaskan jenis pendarahan dan jelaskan penanganannya
2. Sebutkan dan jelaskan fraktur dan jelaskan penanganannya
3. Jelaskan tentang syndrome kompartemen
4. Jelaskan tentang syok, jenis syok dan manifestasi klinis dari syok
5. Jelaskan tentang peningkatan tekanan intracranial, penyebab dan tanda klinisnya
6. Sebutkan dan jelaskan isi dari kotak P3K
7. Carilah gambar atau video tentang bandage dan splinting
Didemonstrasikan
Buatlah balutan pada cedera kepala
Buatlah balutan pada trauma dada
Buatlah balutan pada luka laserasi pada lengan \ ketiak
Buatlah balutan pada luka amputasi
Buatlah balutan mitela untuk menggantungkan lengan yang cedera
Buatlah balutan pada fraktur klavikula
Buatlah bidai pada fraktur femur sinistra
1. Jenis perdarahan dan penanganannya:
A. Perdarahan Luar (terbuka)
Jenis perdarahan ini terjadi akibat kerusakan dinding pembuluh darah disertai
dengan kerusakan jaringan kulit, yang memungkinkan darah keluar dari tubuh dan
terlihat jelas dari luka. Bila kita menjumpai perdarahan terbuka, makakita sebagai
penolong harus berhati-hati karena darah korban bisa saja menular pada kita.
Berdasarkan rusaknya pembuluh darah yang mengalami gangguan, perdarahan luar
diklasifikasikan menjadi:
a) Perdarahan nadi (arteri)
Plasma darah yang berasal dari pembuluh nadi keluar menyembur sesuai dengan
denyut nadi dan berwarna merah terang karena masih kaya oksigen (O2). Banyaknya
plasma darah yang keluar dipengaruhi tekanan sistoloik, bila tekanan menurun maka
pancaran darah berkurang. Hal inilah yang membuat perdarahan arteri sulit
dikendalikan, sehingga perlu pemantauan dan pengendalian ekstra sepanjang
perjalanan menuju fasilitas kesehatan.
b) Perdarahan balik (vena)
Plasma darah yang berasal dari pembuluh balik keluar mengalir dan berwarna merah
gelap. Pendarahan jenis ini mudah untuk dikendalikan karena tekanan dalam
pembuluh balik lebih rendah dari pada tekanan luar.
c) Perdarahan kapiler
Pendarahan berasal dari pembuluh kapiler, darah yang keluar merembes perlahan. Hal
ini dikarenakan tekanan pembuluh darah ini sangat kecil dibandingkan pembuluh
arteri dan vena. Warna plasma darah yang keluar bervariasi antara merah terang
seperti darah arteri dan merah gelap sepertidarah vena.
Perdarahan luar pada dasarnya bisa dikendalikan dengan 4 cara berikut:
a) Tekanan langsung di tempat perdarahan
Cara ini adalah yang terbaik untuk perdarahan luar pada umumnya. Caranya adalah
dengan menggunakan setumpuk kasa steril atau kain bersih biasa,tempat perdarahan itu
ditekan. Tekanan tersebut harus dipertahankan sampai terhenti atau sampai pertolongan
yang lebih lanjut (pertolongan olehtenaga medis) dapat di berikan. Penekanan ini
dilakukan selama 15-20 menit atau sampai terfiksasi sehingga tidak ada lagi
perdarahan. Kasa boleh dilepas apabila kasa sudah terlalu basah oleh darah dan perlu
diganti denganyang baru. Kemudian kasa tersebut di tutup dengan dengan balutan yang
menekan, dan bawa penderita ke rumah sakit.
b) Elevasi (dilakukan bersamaan penekanan)
Tindakan ini hanya berlaku untuk perdarahan di daerah alat gerak saja.Tinggikan
anggotan badan yang berdarah lebih tinggi dari jantung. Ini akan menyebabkan daya
tarik bumi mengurangi tekanan darah, sehingga memperlambat perdarahan. Jangan
menggunakan metode ini bila ada indikasi cedera otot rangka dan benda tertancap.
c) Tekanan pada tempat-tempat tertentu
Tempat-tempat yang di tekan adalah hulu (pangkal) pembuluh nadi yang terbuka. Jadi
tujuan dari penekanan ini adalah untuk menghentikan aliran darah yang menuju ke
pembuluh nadi yang cidera. Perhatikan gambar berikut, garis – garis panah
menunjukkan arah aliran darah di dalam pembuluh nadi, tempat-tempat yang ditekan
terletak diantara jantung dan tempat luka.
Cara lain yang dapat membantu menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut :
Imobilisasi dengan atau tanpa pembidaian
Kompres dingin
Metode Torniket
Penggunaan metode Torniket: Torniket adalah balutan yang menjepit sehingga aliran
darah di bawahnya terhenti sama sekali. Sehelai pita kain yang lebar, pembalut segitiga
yang di lipat-lipat, atau sepotong ban dalam sepeda dapat digunakan untuk keperluan
ini. Panjang torniket harus cukup untuk dua kali melilit bagian yang hendak di balut.
Tempat yang paling baik untuk memasang torniket ini adalah lima jari di bawah ketiak
(untuk perdarahan di lengan) dan lima jari di bawah lipat paha (untuk perdarahan di
kaki).
Cara menggunakan torniket ini adalah:
1) Lilitkan torniket di tempat yang dikehendaki. Lebih bagus lagi apabila sebelumnya
dialasi dengan kain atau kain kasa untuk mencegah timbulnya lecet pada kulit yang
terkena torniket langsung.
2) Apabila menggunakan kain maka ikatkan dengan sebuah simpul hidup,kemudian
selipkan sebatang kayu di atas simpul tersebut. Selanjutnya diikatlagi dengan
simpul air untuk mengencangkan torniket, tetapi jangan diputar terlalu keras, karena
dapat melukai jaringan-jaringan di bawahnya.
3) Tanda-tanda apabila torniket ini sudah dapat memperkecil denyut nadi bagian tubuh
yang berada di bawah torniket, akan terlihat dari warna kulitdi sekitar daerah
tersebut menjadi kekuningan.
4) Untuk memudahkan pengusungan, perlihatkan torniket, jangan di tutup dengan
selimut. Selain itu setiap 10 menit torniket harus dikendurkan selama 30 detik,
untuk memberi kesempatan darah memberi makanan-makanan ke jaringan di bawah
torniket tersebut. Sementara torniket kendor,luka dapat ditekan dengan kasa steril.
5) Penderita yang ditorniket harus segera dikirim ke rumah sakit, untuk memperoleh
pertolongan selanjutnya.
B. Pendarahan Dalam (tertutup)
Jenis perdarahan ini terjadi akibat kerusakan dinding pembuluh darah tetapitidak
disertai dengan kerusakan jaringan kulit, yang memungkinkan darah tidak keluar dari
tubuh dan tidak terlihat jelas seperti pada luka memar. Perdarahan dalam umumnya
disebabkan oleh benturan tubuh korban dengan benda tumpul, ataukarena jatuh,
kecelakaan kendaraan bermotor, ledakan dan lain sebagainya. Perdarahan dalam ini juga
bevariasi mulai dari yang ringan hingga yang dapat menyebabkan kematian. Mengingat
perdarahan dalam berbahaya dan tidak terlihat (tersamar), maka penolong harus
melakukan penilaian dari pemeriksaan fisik lengkap termasuk wawancara dan analisa
mekanisme kejadiannya.
Penatalaksanaan pada pendarahan dalam:
1) Baringkan penderita
2) Periksa dan pertahankan A-B-C (Air Breath Control)
3) Berikan oksigen bila ada
4) Rawat sebagai penderita syok
5) Jangan memberikan makan dan minum sementara
6) Jangan lupa menangani cedera atau gangguan lain
7) Segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat
2. Fraktur dan penanganannya:
A. Definisi
Fraktur adalah gangguan kontinuitas yang terjadi ketika tulang mendapat tekanan
yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorbsinya dan dapat tejadi juga injuri jaringan
lunak disekitarnya. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut
Carpenito (1999), menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price, 1995).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar.
Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial
untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999).
B. Klasifikasi
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit/tanpa cidera jaringan lunak sekitarnya
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
a) Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
b) Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
c) Derajat III
- Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang.
2). Fraktrur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
b) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
C. Penatalaksanaan Fraktur
a) Penatalaksanaan secara umum
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada
masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu
tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di
RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi
semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada
jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.
b) Penatalaksanaan kedaruratan
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari
adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai
adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segara sebelum pasien
dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan
sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen
patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan
lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen
tulang
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan
bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang
panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai
bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang
cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji
untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah
bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi
cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa
mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
c) Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi
stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis,
gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prosedur
pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna
atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis
pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :
· Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah
· Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,
paku dan pin logam
· Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang
berpenyakit.
· Amputasi : penghilangan bagian tubuh
· Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar)
atau melalui pembedahan sendi terbuka
· Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
· Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis
· Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi
dengan logam atau sintetis
· Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
· Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia.
Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad (1998), sebelum menggambil
keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitife. Prinsip penatalaksanaan fraktur
ada 4 R yaitu :
a. Recognition: diagnose dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesa,
pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi
fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi
yang mungkin terjadi selama pengobatan.
b. Reduction
Tujuannya untuk mengembalikan panjang dan kesegarisan tulang. Dapat dicapai yang
manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan
traksimoval untuk menarik fraktur kemudian memanipulasi untuk mengembalikan
kesegarisan normal/dengan traksi mekanis.
Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal / tidak memuaskan. Reduksi
terbuka merupakan alat frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang solid seperti pen, kawat, skrup dan plat.
Reduction interna fixation (ORIF) yaitu dengan pembedahan terbuka dan
mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk memasukkan skrup/pen
kedalam fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur
secara bersamaan.
c. Retention
Imobilisasi fraktur tujuannnya mencegah fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam union.
Untuk mempertahankan reduksi (ektremitas yang
mengalami fraktur) adalah dengan traksi.
Traksi merupakan salah satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-
tulang sebagai kekuatan dengan control dan tahanan beban keduanya untuk menyokong
tulang dengan tujuan mencegah reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi,
mempertahankan ligament tubuh/mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri,
mempertahankan anatomi tubuh dan mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2
pemasangan traksi adalah: skin traksi dan skeletal traksi.
d. Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal mungkin.
3. Sindrom kompartemen
A. Definisi
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang
tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen
jaringan. Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak
Berdasarkan letaknya komparteman terdiri dari beberapa macam, antara lain:
1) Anggota gerak atas
a. Lengan atas : Terdapat kompartemen anterior dan posterior
b. Lengan bawah : Terdapat tiga kompartemen,yaitu: flexor superficial, fleksor
profundus, dan ekstensor
2) Anggota gerak bawah
a. Tungkai atas: Terdapat tiga kompartemen, yaitu: anterior, medial, dan posterior
b. Tungkai bawah: Terdapat empat kompartemen, yaitu: kompartemen anterior,
lateral, posterior superfisial, posterior profundus
Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada daerah tungkai
bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior
profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal).
B. Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1) Penurunan volume kompartemen, kondisi ini disebabkan oleh:
Penutupan defek fascia
Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2) Peningkatan tekanan eksternal
Balutan yang terlalu ketat
Berbaring di atas lengan
Gips
3) Peningkatan tekanan pada struktur komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
Pendarahan atau Trauma vaskuler
Peningkatan permeabilitas kapiler
Penggunaan otot yang berlebihan
Luka bakar
Operasi
Gigitan ular
Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45
% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
C. Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal
yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan
nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya,
peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup.
Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler
bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga
menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya
tekanan dalam kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan
menimbulkan nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan
intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan
berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi
hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus,
yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom yaitu,
antara lain:
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b. Theori of critical closing pressure.
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan mural
arteriol yang tinggi. Tekanan trans mural secara signifikan berbeda (tekanan arteriol-
tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan
tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada lagi
perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing
pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup.
c. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan vena
maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu dari
kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan sehingga
drainase vena terbentuk kembali. McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa
perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg
mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen. Patogenesis dari sindroma
kompartemen) kronik telah digambarkan oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar
20% selama latihan dan akan menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra
kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular
pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang. Sindroma kompartemen kronik
terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus – menerus tetap tinggi dan
mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri
selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot.
Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah biasanya yang kena
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
1) Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting.
Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-
anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya).
Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2) Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.
3) Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4) Parestesia (rasa kesemutan)
5) Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom. Sedangkan pada
kompartemensyndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
- Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah berlari
atau beraktivitas selama 20 menit.
- Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
- Terjadi kelemahan atau atrofi otot.
E. Penanganan
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa
adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.
Penanganan kompartemen secara umum meliputi:
1) Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan
sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemia
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut
kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi selotot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas
2) Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki
perfusi otot.
Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat
dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik,
evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk
maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi
adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi
ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman
dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan
resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
4. Syok
A. Definisi
Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah
yang memadai; syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian
sel maupun jaringan.
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat
gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland
tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis. Syok adalah keadaan tidak cukupnya
pengiriman oksigen ke jaringan. Sirkulasi darah berguna untuk mengantarkan oksigen
dan zat-zat lain ke seluruh tubuh serta membuang zat-zat sisa yang sudah tidak
diperlukan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan
pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif.
B. Jenis Syok
Syok digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu :
1. Shock Hypovolemic
a. Hemoragik, bisa karena adanya trauma atau pun masalah gastrointestinal dan
retroperitoneal
b. Non hemoragik/ kekurangan cairan dibagi lagi menjadi kehilangan cairan
eksternal seperti dehidrasi, muntah, diare, poliuria dan retribusi cairan interstitial
seperti akibat suhu, trauma, anafilaksis.
c. Peningkatan kapasitas vaskuler atau venodilatation misalnya sepsis, anafilaksis
dan toxins atau karena obat-obatan
2. Shock Cardiogenic
a. Miopati seperti, infark mikardial ventrikel kiri atau kanan, trauma miokardial,
miokarditis, kardiomiopati, post ischemic myocardial stunning, septic myocardial
depression, dan farmakologi seperti kardiotoksik anthracycline serta Ca channel
blocker
b. Mekanik mencakup gagal katup obstruktif dan regurgitasi, kardiomiopati
hipertrofi, ventricular septal defect.
c. Aritmia karena sinus bradikardi, blok atrioventrikuler dan takikardi
supraventikuler serta ventrikel.
3. Shock Extracardiac Obstructive seperti penurunan preload ventrikel dan peningkatan
afterload ventrikel
4. Shock Distributive mencakup
a. Syok anafilaktik (akibat reaksi alergi)
Syok anafilaktik disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya
sudah membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen) mengalami reaksi anti
gen- anti bodi sistemik.
b. Syok septik (berhubungan dengan infeksi)
jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering menjadi penyebab
kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling
sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar. Shock sepsis
akibat bakteri, fungi, virus, rickettsial, sindrom toksik, anafilaksis, anaphylactoid
c. Syok neurogenik (akibat kerusakan pada sistem saraf).
Yang ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum tulang
belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta takhikardi
atau vasokonstriksi.
C. Manifestasi Klinis
- Nadi cepat dan lemah
- Napas cepat dan dangkal
- Kulit pucat,dingin dan lembab
- Sering kebiruan pada bibir dan cuping telinga
- Haus
- Mual dan muntah
- Lemah dan pusing
- Merasa seperti mau kiamat, gelisah
D. Stadium
1. Stadium Kompensasi.
a. MAP menurun 10 – 15 mmHg
b. Mekanisme kimia dan ginjal diaktifkan
c. Pelepasan rennin, ADH, aldosteron, katekolamin mengakibatkan GFR menurun
dan urine output menurun, reabsorbsi Na meningkat – vasokonstriksi sistemik
d. Hipotensi jaringan organ non vital dan ginjal
2. Stadium intermediate.
a. MAP menurun lebih dari 20 mmHg
b. Kompensasi tak begitu lama untuk menyuplay oksigen
c. Hipoksia organ vital, organ lain mengalami anoxia, iskemik yang selanjutnya
menyebabkan sel – sel jaringan rusak dan mati dan ini mengancam jiwa
d. Koreksi dalam 1 jam (golden hour)
3. Irreversible Stage.
a. Anoxia jaringan dan kematian sel meningkat
b. Sel tersisa metabolisme anaerob
c. Terapi tidak efektif
E. Penatalaksanaan
1. Fluid volume deficit :
a. Terapi intravena (sesuai jenis shock) : Kristaloid (untuk mengembalikan cairan
elektrolit) : RL, ringer Acetat, Normosal
b. Kolloid (untuk mengembalikan volume plasma dan mengembalikan tekanan
osmotic) : WB, PRC, plasma (plasmanat, dekstran, dll).
2. Decrease Cardiac Output
Tujuan intervensi : Meningkatkan cairan vaskuler, Mendukung mekanisme
kompensasi klien, Mencegah komplikasi iskemia.
1) Therapi obat :
a. Meningkatkan venous return.
b. Memperbaiki kontraksi miokard.
c. Menjamin perfusi miokard yang adekuat :
- Vasoconstrictor agent : Dopamin, Epinephrine, NE, Vasopressin
- Agen yang meningkatkan kontraksi mokard : Dobutamin, Epinephrine,
Iso proterenol.
- Agen yang menambah perfusi miokard : Nitrogilserin, Nitropruside,
Isosorbid dinitrat
2) Therapi Oksigen
3) Posisi
Penanganan shock berbeda-beda berdasarkan klasifikasinya. Berikut penanganan shock
berdasarkan parameter DO2/VO2
1) Protocol umum jika menggunakan PA cath (protocol vincent)
2) Proto
col
perioperative (protocol pearce)
3) Protocol hipovolemik (protocol parillo)
4) Protocol panduan untuk transfusi PRC
5) Protocol sepsis (protocol rivers)
5. Peningkatan tekanan intra cranial
A. Definisi
Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial
dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler,
2006). Menurut Morton, et.al tahun 2005, tekanan intrakranial normal adalah 0-15
mmHg. Nilai diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau
peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
otak (sekitar 80% dari volume total),cairan serebrospinal (sekitar 10%) dan darah (sekitar
10%) (Joanna Beeckler, 2006). Monro–Kellie doktrin menjelaskan tentang kemampuan
regulasi otak yang berdasarkan volume yang tetap (Morton, et.al, 2005). Selama total
volume intrakranial sama, maka TIK akan konstan. Peningkatan volume salah satu faktor
harus diikuti kompensasi dengan penurunan faktor lainnya supaya volume tetap konstan.
Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang lain akan
menimbulkan perubahan TIK (Morton, et.al, 2005). Beberapa mekanisme kompensasi
yang mungkin antara lain cairan serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau
arteriserebral berkonstriksi menurunkan aliran darah otak (Joanna Beeckler, 2006).
Pembuktian adanya kenaikan TIK dibuktikan dengan pemeriksaan diagnostik seperti
radiografi tengkorak, CT scan, MRI. Lumbal pungsi tidak direkomendasikan karena
berisiko terjadinya herniasi batang otak ketika tekanan cairan serebrsopinal di spinal
lebih rendah daripada di kranial. Lagipula tekanan cairan serebrospinal di lumbal tidak
selalu menggambarkan keakuratan tekanan cairan serebrospinal intrakranial
(Black&Hawks, 2005).
B. Indikasi dan Kontra Indikasi
a. Indikasi pemantauan TIK
Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasikan bahwa TIK
harus dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8
setelah resusitasi) dan hasil CT Scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma,
kontusio, pembengkakan, herniasi dan penekanan sisterna basalis), TIK juga
sebaiknya dipantau pada pasien cedera kepala berat dengan CT scan kepala normal
jika diikuti dua atau lebih criteria antara lain usia>40 tahun, sikap motorik, dan
tekanan darah sistolik <90mmHg.
Indikasi pemantauan TIK menurut Smith,M. (2008) dalam Monitoring Intracranial
Pressure in Traumatic Brain Injury. International Research Society
No. Indikasi pemantauan TIK
1 Severe head injury
2 Intracerebral hemorrhage
3 Subarachnoid hemorrhage
4 Hydrocephalus
5 Stroke
6 Cerebral edema
7 Central nervous system infections
8 Hepatic encephalopathy
b. Kontra indikasi pemantauan TIK
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada beberapa
kontraindikasi relatif yaitu:
Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pemasangan
pemantauan TIK. Bila memungkinkan pemantauan TIK ditunda sampai
International Normalized Ratio (INR), Prothrombin Time (PT) dan Partial
Thromboplastin Time (PTT) terkoreksi (INR < 1,4 dan PT < 13,5 detik). Pada
kasus emergensi dapat diberikan Fresh Frozen Plasma dan vitamin K.
Trombosit < 100.000/mm3
Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya berikan sekantong
platelet dan fungsi platelet dengan menghitung waktu perdarahan.
Imunosupresan baik iatrogenic maupun patologis juga merupakan
kontraindikasi relative pemasangan pemantauan TIK.
C. Penyebab
a. Tumor primer atau metastasis
b. Hemoragia otak
c. Hematoma subdural
d. Abses otak
e. Hidrosefalus akut
f. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari peningkatan TIK disebabkan oleh tarikan pembuluh darah
dari jaringan yang merenggang dan karena tekanan pada duramater yang sensitif dan
berbagai struktur dalam otak. Indikasi peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi dan
penyebab naiknya tekanan dan kecepatan serta perluasannya. Manifestasi klinis dari
peningkatan TIK meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan,
iritabel, confusion, penurunan GCS, perubahan dalam berbicara, reaktifias pupil,
kemampuan sensorik/motorik dan ritme/denyut jantung. Sakit kepala, mual, muntah,
penglihatan kabur sering terjadi. Papiledema juga tanda terjadinya peningkatan TIK.
Cushing triad yaitu peningkatan tekanan sistolik, baradikardi dan melebarnya tekanan
pulsasi adalah respon lanjutan danmenunjukkan peningkatan TIK yang berat dengan
hilangnya aoturegulasi (Black&Hawks, 2005). Perubahan polanafas dari cheyne-stokes
ke hiperventilasi neurogenik pusat ke pernafasan apnuestik dan pernafasan ataksik
menunjukkan kenaikan TIK.
6. Isi kotak P3K
SNI STANDARD. 1995TINDAKAN PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN & PERALATAN
Tabel jumlah petugas K3, berdasarkan Jumlah Pekerja.
KATEGORI RESIKO
JUMLAH NAKERPETUGAS P3K
Resiko RendahToko, kantor/office, perpustakaan
< 50 pekerja diantara 50 dan 200 pekerja > 200 pekera
Orang yang ditunjuk paling sedikit 1 (satu) orang. Paling tidak 1 (satu) orang untuk 200 pekerja.
Resiko MenengahTeknik ringan, Gudang/warehouse,Proses Makanan
< 20 pekerja diantara 20 dan 100 orang
pekerja > 100 pekerja
Orang yang ditunjuk paling sedikit 1 (satu) orang.
Sedikitnya 1 (satu) orang untuk 100 pekerja.
A. Resiko TinggiIndustri berat, industri kimia, slaughter houses
< 5 pekerja diantara 5 dan 50 pekerja > 50 pekerja
Orang yang ditunjuk paling sedikit 1 (satu) orang.
Sedikitnya 1 (satu) orang untuk 50 pekerja.
Sedikitnya 1 (satu) orang petugas P3K telah dilatih untuk kondisi darurat.
Sumber: HSE (First Aid) ISBN 0-7176-0426-8
Jumlah Naker
Tempat Kerja Dg Sedikit Kemungkinan Terjadi Kecelakaan
Tempat Kerja Dg Ada Kemungkinan Terjadi
Kecelakaan
Tempat Kerja Dg Banyak Kemungkinan
Terjadi Kecelakaan
0 s/d 25Kotak P3K Bentuk IKotak P3K Bentuk I&IIKotak P3K Bentuk II
25 s/d 100IIIIII
100 s/d 500IIIIIIII + Kotak Dokter
> 500II Setiap 500 naker
III + Kotak DokterSetiap 500 naker Kotak
Dokter
IIISetiap 500 naker +
Kotak dokter
Daftar Isi Kotak P3K menurut bentuknya masing-masing:
- Kotak Bentuk I berisi:
10 gram kapas putih
1 rol pembalut gulung lebar 2.5 cm
1 rol pembalut gulung lebar 5 cm
1 pembalut segitiga (mitella)
1 pembalut cepat steril/snelverband
10 buah kassa steril ukuran 5x5 cm
1 rol plester lebar 2.5 cm
10 buah plester cepat (mis. Tensoplast, dll.)
1 buah gunting
1 buku catatan
1 buku pedoman P3K
1 daftar isi kotak P3K
Obat-obatan untuk Kotak P3K Bentuk I
Obat pelawan rasa sakit (mis. Antalgin, Acetosai, dll)
Obat sakit perut (mis. Paverin, enterovioform, dll)
Norit
Obat anti alergi
Obat merah
Soda Kue
Obat tetes mata
Obat gosok
- Kotak Bentuk II berisi:
50 gram kapas putih
100 gram kapas gemuk
3 rol pembalut gulung lebar 2.5 cm
2 rol pembalut gulung lebar 5 cm
2 rol pembalut gulung lebar 7.5 cm
2 pembalut segitiga (mitella)
2 pembalut cepat steril/snelverband
10 buah kassa steril ukuran 5x5 cm
10 buah kassa steril ukuran 7.5x7.5 cm
1 rol plester lebar 1 cm
20 buah plester lebar 1 cm
20 buah plester cepat (mis. Tensoplast)
1 bidal
1 gunting pembalut
1 buah sabun
1 dos kertas pembersih (cleansing tissue)
1 pinset
1 lampu senter
1 buku catatan
1 buku pedoman P3K
1 daftar isi kotak P3K
Obat-obatan untuk Kotak P3K Bentuk II
Obat pelawan rasa sakit (mis. Antalgin, Acetosai, dll)
Obat sakit perut (mis. Paverin, enterovioform, dll)
Norit
Obat anti alergi
Soda Kue, garam dapur
Merculochrom
Obat tetes mata
Obat gosok
Salep anti histamimka
Salep sulfa atau S.A. powder
Boor zalif
Sofratulle
Larutan rivanol 1/10 500 cc
Amoniak cair 25% 100 cc
- Kotak Bentuk III berisi:
300 gram kapas putih
300 gram kapas gemuk
6 rol pembalut gulung lebar 2.5 cm
8 rol pembalut gulung lebar 5 cm
2 rol pembalut gulung lebar 10 cm
4 pembalut segitiga (mitella)
1 rol plester lebar 2.5 cm
3 bidal
1 gunting pembalut
1 buah sabun
2 dos kertas pembersih (cleansing tissue)
2 pembalut cepat steril/snelverband
20 buah kassa steril ukuran 5x5 cm
40 buah kassa steril ukuran 7.5x7.5 cm
1 rol plester lebar 1 cm
20 buah plester cepat (mis. Tensoplast)
1 pinset
1 lampu senter
1 buku catatan
1 buku pedoman P3K
1 daftar isi kotak P3K
Obat-obatan untuk Kotak P3K Bentuk III sama dengan obat-obatan untuk Kotak P3K Bentuk II
Kotak Khusus Dokter berisi:
1 set alat-alat minor surgery lengkap
1 botol Alcohol 70% isi 100 cc
1 botol Aquadest isi 100 cc
1 botol Betadine solution 60 cc
1 botol Lysol isi 100 cc
5 spnit injection diskosable 2 ½ cc
5 spnit injection diskosable 5 cc
20 lidi kapas
2 flakon ATS injection isi 100 cc (disimpan ditempat sejuk)
5 flakon P.S. 4:½ atau 4:1 atau PP injectie
Ampul morphine injectie
3 ampul pethridine injectie
2 flakon antihistamine injectie
2 flakon anti panas injectie
5 ampul adrenaline injectie
1 flakon cartison injectie
2 ampul cardizol injectie
2 ampul aminophyline injectie
10 sulfas atropine injectie 0.25 g
10 sulfas atropine injectie 0.5 g
5 ampul anti spascodik injectie
2 handuk
1 tempat cuci tangan
1 mangkok bengkok
1 buku catatan
1 buku pedoman P3K
1 daftar isi
Sumber: SNI-19-3994-1995
Menurut dr. Swee Yong Peng, instruktur P3K dan dokter di IAG HealthSciences Singapura
isi kotak P3K adalah:
Alat pelindung, seperti sarung tangan, celemek, masker
Alat-alat itu untuk melindungi penolong terhadap paparan dari luka yang akan ditangani.
Alat pembersih, seperti alkohol, krim antiseptik atau antibiotik
Tujuannya, untuk membersihkan luka demi mengurangi risiko terjadi infeksi.
Kain kasa
agar luka tidak terpapar udara luar.
Perban atau perekat
untuk menutup luka setelah diberi kain kasa.
Obat pereda rasa sakit, seperti aspirin
untuk meringankan rasa sakit yang diderita korban secara cepat.
Obat antibiotik
untuk mengantisipasi demam atau gejala lanjutan akibat luka
Gula batu atau permen manis
untuk meningkatkan kadar gula darah agar tubuh korban tidak lemas.
Iodin
untuk mengontrol pertumbuhan bakteri pada luka.
Pinset atau kapas
untuk media pengantar obat cair.
Buku manual yang berisi fungsi dan cara penggunaan alat-alat di atas
Berdasarkan PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-15/MEN/VIII/2008. TENTANG
PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA. ISI
KOTAK P3K:
7. Carilah gambar atau video tentang bandage dan splinting
A. Prinsip Bandaging/pembalutan
Membalut merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai dengan baik oleh
dokter dan pemberi pelayanan kesehatan lainnya. Istilah pembalut merujuk pada aplikasi
secara luas maupun secara sempit pembalutan untuk tujuan terapeutik. Apapun
alasannya, perlu diingat bahwa jika tidak diterapkan dengan benar, membalut dapat lebih
cepat dan mudah menyebabkan injury. Tekanan pembalutan harus tidak melebihi tekanan
hidrostatik intravaskuler, jika membalut bertujuan untuk mengurangi pembentukan
oedema tanpa meningkatkan tahanan vaskuler yang dapat merusak aliran darah.
Tujuan dilakukan pembalutan antara lain:
a. Menahan bagian tubuh supaya tidak bergeser dari tempatnya
b. Menahan pembengkakan yang dapat terjadi pada luka
c. Menyokong bagian tubuh yang cedera dan mencegah agar bagian itu tidak
bergeser
d. Menutup bagian tubuh agar tidak terkontaminasi
e. Melindungi atau mempertahankan dressing lain pada tempatnya
Macam alat pembalutan:
a. Mitella (pembalut berbentuk segitiga)
Bahan pembalut terbuat dari kain yang berbentuk segitiga sama kaki dengan
berbagai ukuran. Pnjang kaki antara 50-100cm. Pembalut ini dipergunakan pada
bagian kaki yang tebentuk bulat atau untuk menggantung bagian anggota badan
yang cedera. Pembalut ini biasa dipakai pada cedera di kepala, bahu, dada, siku,
telapak tangan, pinggul, telapak kaki, dan untuk menggantung lengan.
b. Dasi (mitella yang berlipat-lipat sehingga berbentuk seperti dasi)
Pembalut ini adalah mitella yang dilipat-lipat dari salah satu sisi segitiga agar
beberapa lapis dan berbentukseperti pita dengan kedua ujung-ujungnya lancip dan
lebamya antara 5-10cm. Pembalut ini biasa dipergunakan untuk membalut mata,
dahi (atau bagian kepala yang lain), rahang, ketiak, lengan, siku, paha, lutut, betis
dan kaki terkilir.
c. Pita (pembalut gulung)
Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kassa, flanel atau bahan elastis.
Yang paling sering adalah dari kassa, hal ini karena kassa mudah menyerap air,
darah dan tidak mudah bergeser ( Kendor).
Macam-macam pembalut dan penggunaannya :
Lebar 2,5 cm - Biasa untuk jari-jari
Lebar 5cm - Biasa untuk leher dan pergelangan tangan
Lebar 7,5 cm - Biasa untuk kepala, lengan atas, lengan bawah, betis dan kaki
Lebar 10 cm - Biasa untuk paha dan sendi pinggul
Lebar >10-15cm - Biasa untuk dada, perut, dan punggung
d. Plester (pembalut berperekat)
Pembalut in untuk merekatkan penutup luka, untuk fiksasi pada sendi yang
terkilir, untuk merekatkan pada kelainan patah tulang. Khusus untuk penutup luka,
biasa dilengkapi dengan obat anti septik
e. Pembalut yang spesifik
Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa penutup
luka dan steril, baru dibuka pada saat akan dipergunakan, sering dipakai pada
luka-luka lebar yang terdapat pada badan.
Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh
kuman. Biasa dipergunakan pada luka-luka kecil
f. Kassa steril
Adalah kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk menutup luka kecil
yang sudah diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik). Setelah ditutup kassa itu
kemudian baru dibalut.
B. Prinsip splinting/pembidaian
Semua ekstremitas yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai yang
kaku untuk menjaga dan melindungi ekstremitas yang cedera. Pada patah tulang terbuka
atau luka lain, luka harus ditutup dulu dengan kassa, status vaskuler dan neurologis
ekstremitas tersebut harus diperiksa sebelum dan sesudah imobilisasi. Tujuan
immobilisasi : 1. Mengurangi nyeri 2. Mencegah gerakan fragmen tulang, sendi yang
cedera dan jaringan lunak yang cedera (ujung fragmen tulang yang tajam dapat
mencederai syaraf, pembuluh darah dan otot). 3. Mencegah fraktur tertutup menjadi
terbuka 4. Memudahkan transportasi 5. Mencegah gangguan sirkulasi pada bagian distal
yang cedera 6. Mencegah perdarahan akibat rusaknya pembuluh darah oleh fragmen
tulang 7. Mencegah kelumpuhan pada cedera tulang belakang.
MACAM-MACAM BIDAI/SPLINT 1. Rigid splint 2.. Pneumatic splint & gips 3.
Traction splint
Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi
ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak
bergerak (immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit. Sedangkan
prinsip pembidaian adalah : 1. Lakukan pembidaian di tempat dimana anggota badan
mengalami cidera 2. Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi tidak
perlu harus dipastikan dulu ada tidaknya patah tulang 3. Melewati minimal dua sendi
yang berbatasan.
Syarat-syarat pembidaian
(1) Siapkan alat-alat selengkapnya
(2) Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang diukur
lebih dulu pada anggota badan korban yang tidak sakit
(3) Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor
(4) Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan
(5) Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat yang
patah
(6) Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai.
(7) Sepatu, gelang, jam tangan, dan alat pengikat perlu dilepas
GAMBAR
Gambar balutan pada cedera kepala
Gambar balutan pada trauma dada
Gambar balutan pada luka laserasi pada lengan \ ketiak
Gambar balutan pada luka amputasi
Gambar balutan mitela untuk menggantungkan lengan yang cedera
Gambar bidai pada fraktur femur sinistra
DAFTAR PUSTAKA
Argenta C Louis. Compartment syndromes in Basic science for surgeons. Saunders. Philadelphia. 2004. p : 143-4
Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics. Ed 10th. Vol
3. Mosby. USA. 2003. p : 2449-57
Brunner and Suddarth.2002. Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3. Jakarta: EGCDeLee C Jesse, Drez David. Compartment syndrome in DeLee & Drez`s orthopaedic sports
medicine. Ed 2nd. Vol 1. Saunders. USA. 2003. p : 13-4Lastiko Ae. 2013. Bab II Perdarahan Standar Kompetensi: Menjelskan Pada Siswa Konsep
Perdarahan. Diakses tanggal 5 Desember 2013. (http://www.academia.edu/3819369/BAB_III_Perdarahan_Standar_Kompetensi_Menjelaskan_pada_siswa_konsep_perdarahan)
Rasul Abraham. Compartment syndrome. Available at http://www.emedicine.com.
Price, A.S. & Wilson. L.M. (2002). Konsep klinis proses-proses penyakit. (ed 6). Jakarta: EGCSmeltzer, S. C & Bare, B. G. (2002). Brunner & Suddarth’s textbook of medical-surgical
nursing. (ed 8). (Agung waluyu, et al, Penerjemah). Philadelphia: Lippincott. (Buku asli diterbitkan 1996)