Makalah Seni

download Makalah Seni

of 30

description

J

Transcript of Makalah Seni

  • TRADISI KHITANAN:

    SISINGAAN

    KELOMPOK 4:

    Ayu Erlyanda Alifirani

    Dewa Rakmatullah

    Husna Ghaisani

    Satrio Pinandito

    Sekar Ayu Chadarwati

    X-7

    SMA Negeri 3 Bogor

    Jalan Pakuan no. 4 Kota Bogor

    Tahun Pelajaran 2011/2012

  • i

    ANGGOTA KELOMPOK

    Ayu Erlyanda Alifirani

    Sebagai Notulen

    Dewa Rakmatullah

    Sebagai penyaji

    Husna Ghaisani

    Sebagai Penata gerak

    Satrio Pinandito

    Sebagai moderator

    Sekar Ayu Chadarwati

    Sebagai penyaji

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya

    karya tulis kami yang membahas tentang tradisi khitanan atau dapat disebut juga sebagai

    sisingaan. Dalam karya tulis ini kami berusaha sebisa mungkin untuk memberika

    penjelasan mengenai topik bahasan kami sedetail dan secermat mungkin.

    Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

    menyelesaikan karya tulis kami. Kepada pihak guru yang telah bersedia membantu,

    teman-teman yang memberikan informasi tambahan, dan tentunya kepada Tuhan yang

    telah memberkati kami sehingga lancar dalam pengerjaan karya tulis ini.

    Seperti kata peribahasa berakit-rakit dahulu, berenang-renang ketepian kami

    mengalami kesulitan pada tahap-tahap awal pengerjaan karya tulis ini, namun dengan

    bantuan semua pihak dan kepada Tuhan, kami akhirnya dapat mengerjakan karya tulis

    kami dengan lancar.

    Karya tulis ini kami tulis dengan tujuan dapat membagi informasi mengenai

    tradisi khitanan & sisingaan kepada pihak guru dan kepada teman-teman sekalian. Tujuan

    lain dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memenuhi tugas kesenian dan kebudayaan

    yang diberikan kepada kami. Kami berharap bahwa karya tulis kami dapat bermanfaat

    bagi pihak yang membaca dan memanfaatkannya.

    Bogor, 16 Januari 2012

    Tim Penulis

  • iii

    DAFTAR ISI

    Kata pengantar..iii

    Daftar isi....iv

    Bab I: Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang Masalah ..1

    1.2 Tujuan Penulisan...2

    1.3 Manfaat.....2

    Bab II : Isi Materi

    2.1 Sejarah...3

    2.2 Sinopsis.7

    2.3 Watak....8

    2.4 Durasi........9

    2.5 Gerakan.9

    2.6 Iringan......11

    2.7 Tata Rias......13

    2.8 Tata Busana.....15

    2.9 Tata Cara......16

    2.10 Pola Lantai.....17

    2.11 Galeri Foto.18

    Bab III : Kesimpulan

    3.1 Kesimpulan..21

    3.2 Kritik dan Saran...22

    3.3 Lembar pertanyaan..23

    3.4 Tabel Penilaian24

    Bab IV : Penutup

    4.1 Penutup ..25

    4.2 Daftar Pustaka....26

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

    Akhir-akhir ini makin banyak generasi muda yang seolah-olah tutup mata terhadap

    kebudayaannya sendiri seiring dengan makin derasnya arus globalisasi yang dengan

    mudahnya masuk dan diserap oleh masyarakat Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara

    yang sangat kaya akan suku bangsa, bahasa, budaya, tradisi, serta adat istiadat. Bangsa

    Indonesia memiliki suatu karakteristik yang unik dan berbeda-beda antar daerahnya. Yakni

    ciri khas yang hanya dimiliki tiap daerah tersebut. Inilah yang membuat bangsa indonesia

    yang unik di mata dunia. Setiap kebudayaan Indonesia memiliki peran yang penting

    terhadap ketahanan budaya nasional.

    Perilaku tutup mata ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi, karena jika

    dibiarkan terjadi maka bukan tidak mungkinjika nanti kebudayaan yang tadinya milik

    Indonesia menjadi berpindah tangan ke negara lain. Kalau hal ini sudah terjadi barulah

    mereka menjadi pahlawan kesiangan yang meneriakkan kata-kata makian kepada negara

    yang mencuri kebudayaannya. Padahal jika mereka lebih menjaga, melestarikan, dan

    bangga terhadap budayanya, maka tidak akan ada lagi negara yang berani mengakui

    kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan negaranya.

    Salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia adalah tradisi khitanan di berbagai

    daerah. Seperti di Jawa Barat, adat khitanan disebut Sisingaan, sedangkan adat khitanan di

    Jawa Tengah disebut Supitan, dsb. Budaya khitanan di Indonesia berasal dari masuknya

    agama Islam di Indonesia. Dalam agama Islam, khitanan atau lebih familiar disebut

    sebagai sunatan, adalah sebuah proses pendewasaan bagi seorang anak lelaki.

  • 2

    1.2 TUJUAN PENULISAN

    Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

    Membuka wawasan tentang kebudayaan Masyarakat Jawa Barat

    Menginformasikan tentang tradisi khitanan di Indonesia khususnya di daerah Jawa

    Barat yaitu tradisi Sisingaan.

    Menumbuhkan rasa cinta terhadap kesenian daerah Jawa Barat

    Menambah pengetahuan tentang kebudayaan daerah Jawa Barat

    Melengkapi nilai tugas pelajaran seni budaya

    1.3 MANFAAT

    Kami menulis makalah ini agar kami dapat memberitahukan manfaat-manfaat dari

    khitanan dan sisingaan yang mengiringi tradisi khitanan tersebut. Salah satunya manfaat

    dari khitanan adalah meminimalisasi penularan penyakit menular seksual. Manfaat lainnya

    adalah agar mencegah penumpukan air seni agar tidak mengkristal dan membuat benih

    penyakit. Manfaat lainnya adalah sebagai salah satu ibadah bagi umat islam. Walaupun

    demikian, khitanan tidak hanya dilaksanakan bagi umat Islam saja. Khitanan mempunyai

    banyak sekali manfaat posotif sehingga umat beragama lainnya idak jarang melangsungkan

    khitanan bagi anak lelakinya. Selain itu dalam kepercayaan masyarakat, jika seorang anak

    sudah disunat, biasanya anak itu akan menjadi pintar dan mengalami perubahan tinggi

    badan secara drastis. Selain itu anak yang disunat akan menjadi berkah bagi keluarganya.

    Sedangkan sisingaan sendiri pada awalnya terbatas hanya untuk sarana hiburan pada

    saat anak dikhitan, dengan cara melakukan helaran keliling kampung. Namun pada saat ini

    kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi

    penyambutan tamu terhormat, dengan jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk

    menyambut atlit yang berhasil memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara

    eksklusif berdasarkan permintaan.

  • 3

    BAB II

    ISI MATERI

    2.3 SEJARAH

    Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang

    tumbuh dan berkembang di Kabupaten Subang. Kesenian ini

    mempunyai ciri khas atau identitas sepasang patung sisingaan atau

    binatang yang menyerupai singa.

    Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang, yakni pada masa

    pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur,

    dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en

    Tjiasemlanden). Pada saat Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat

    mulai diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota kerajaan.

    Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di bawah kekuasaan Inggris, yang

    memperkenalkan lambang negaranya yakni singa. Sehingga secara administratif daerah

    Subang terbagi dalam dua bagian, yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara

    ekonomi dikuasai oleh Inggris.

    Masyarakat Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis, ekonomis, sosial, dan

    budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun masyarakat tidak tinggal diam, mereka

    melakukan perlawanan, perlawanan tersebut tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun

    juga perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk kesenian tersebut

    mengandung silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan),

    sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka (kiasan atau

    melambangkan), sasmita (contoh cerita yang mengandung arti atau makna). Dengan

    demikian masyarakat Subang bisa mengekspresikan atau mewujudkan perasaan mereka

    secara terselubung, melalui sindiran, perumpamaan yang terjadi atau yang menjadi

    kenyataan pada saat itu. Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi masyarakat Subang,

  • 4

    dengan menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian dikenal dengan nama

    sisingaan.

    Kesenian sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan,

    atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah. Perwujudan

    dari rasa ketidaksenangan tersebut digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan, yaitu

    melambangkan kaum penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah tersebut

    menindas masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi miskin, sehingga

    para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus bisa bangkit, mengusir

    penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati kehidupan yang sejahtera.

    Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri dari 4 orang pengusung sisingaan

    sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan, waditra nayaga, dan sinden atau juru

    kawih. Secara filosofis 4 orang pengusung sisingaan melambangkan masyarakat

    pribumi/terjajah/tertindas, sepasang patung sisingaan melambangkan kedua penjajah yakni

    Belanda dan Inggris, sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang

    nantinya harus mampu mengusir penjajah, nayaga melambangkan masyarakat yang

    bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi motivasi/semangat kepada

    generasi muda untuk dapat mengalahkan serta mengusir penjajah dari daerah mereka.

    Kesenian sisingaan yang diciptakan oleh para seniman pada saat itu, sangat tepat dan

    jitu menggunakan sisingaan sebagai sarana/perwujudan/alat perjuangan, dalam melepaskan

    diri dari tekanan kaum penjajah. Sementara itu pihak kaum penjajah tidak merasa disindir,

    tidak terusik, akan tetapi malah merasa bangga melihat kesenian sisingaan, karena lambang

    negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk kesenian rakyat. Pihak penjajah hanya

    memahami bahwa kesenian sisingaan merupakan karya seni hasil kreativitas masyarakat

    secara spontan, sangat sederhana untuk sarana hiburan pada saat ada hajatan khitanan anak.

    Padahal maksud masyarakat Subang tidaklah demikian, dengan menggunakan lambang

    kebesaran Negara mereka, kemudian ada seorang anak yang naik di atasnya dengan

    menjambak rambut sisingaan, merupakan salah bentuk ekspresi kebencian kepada kaum

    penjajah.

    Pada awal terbentuknya sisingaan tidak seperti sisingaan pada saat sekarang ini, cikal

    bakal sisingaan sekarang yakni singa abrug. Disebut dengan singa abrug karena patung

  • 5

    singa ini dimainkan dengan cara diusung, dan pengusungnya aktif menari, sedangkan singa

    abrug tersebut digerakkan ke sana kemari seperti hendak diadu. Singa abrug untuk pertama

    kalinya berkembang di daerah Tambakan, Kecamatan Jalancagak.

    Pada zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat sederhana, bagian

    muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang ringan seperti kayu randu atau albasia,

    rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan

    terbuat dari carangka (keranjang atau anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan

    karung kadut (karung goni) atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan.

    Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Proses

    pembuatan sisingaan biasanya dilakuakan secara bersama-sama, secara gotong royong oleh

    masyarakat.

    Sementara itu lagu-lagu yang dinyanyikan pada masa itu antara lain lagu badud

    samping butut, manuk hideung, sireum beureum, dan lain-lain. Sedangkan untuk lagu

    pembuka biasanya menampilkan lagu tunggul kawung. Apabila yang mempunyai adalah

    tokoh agama/ulama, maka lagu yang disajikan biasanya lagu yang bernuansa Islami atau

    shalawat nabi.

    Pengusung sisingaan biasanya dari warga masyarakat, karena pada saat itu belum

    terbentuk kelompok atau grup kesenian sisingaan, diantara mereka masih saling meminjam

    sisingaan. Gerakannya pun masih sangat sederhana dan dilakukan secara spontan, namun

    tidak menghilangkan gerakan yang mengandung makna heroik, atau gerak yang

    melambangkan keberanian dalam menghadapi musuh. Gerakan yang ditampilkan saat

    pertunjukan pada saat itu adalah tendangan, lompatan, mincid, dan dorong sapi. Sedangkan

    busana atau pakaian yang dikenakan oleh pengusung sisingaan pada saat itu hanya

    mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Sedangkan kalau yang

    hajatan dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, busana yang dikenakan

    antara lain baju takwa, sinjang lancar, iket. Kemudian pada sekitar tahun 1960 an, busana

    pengusung sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian, seperti perubahan

    warna yang mencolok dan bahan pakaian yang cukup baik.

    Busana-busana yang mengalami perkembangan dan bervariasi dapat dilihat dari yang

    dikenakan oleh para penari yang ikut dalam meramaikan pertunjukan, bahkan penonton

  • 6

    yang tertarik dapat ikut menari di depan sisingaan secara spontan. Baik yang yang ikut dari

    awal atau saat sisingaan melewati tempat mereka atau kampong mereka. Sehingga

    kesenian sisingaan bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional, kesenian rakyat yang

    bersifat terbuka, umum, dan spontan.

    Pada bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure ketuk tilu dan

    silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan atau kerjasama waditra yakni adanya

    tambahan dua buah gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan

    sebuah kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek. Patung sisingaan pun

    mulai ada perubahan yang cukup besar dan mendasar.

    Untuk mengetahui perkembangan sisingaan ada beberapa bukti pergelaran pada masa

    lalu antara lain, pada awal terbentuknya sisingaan sering ditampilkan pada saat upacara

    peringatan hari ulang tahun P & T Lands. Sehingga kesenian ini semakin dikenal luas,

    meskipun belum terbentuk kelompok resmi kesenian sisingaan.

    Pada masa setelah kemerdekaan, pada masa orde baru, seniman sisingaan mulai

    mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian sisingaan,

    seiring dengan kreativitas seniman dalam menuangkan inspirasinya. Kemudian mulai

    bermunculan kelompok-kelompok kesenian sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru,

    namun demikian tetap masih ada koreografer-koreografer tradisional yang masih

    mendasarkan pada naluri atau tradisi dalam menggarap kesenian sisingaan.

    Penyebutan sisingaan kadang-kadang berbeda di setiap daerah/wilayah, hal ini

    disesuaikan dengan yang mereka lihat dan mereka dengar. Kawasan Subang utara

    menyebut sisingaan dengan istilah pergosi atau Persatuan Gotong Sisingaan. Kemudian

    daerah lain menyebut sisingaan dengan istilah odong-odong, citot, kuda depok, kuda

    ungkleuk, kukudaan, kuda singa, singa depok.

    Atas prakarsa para seniman sisingaan maka pada tanggal 5 Januari tahun 1988,

    diselenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar tersebut memutuskan untuk

    pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa

    sepasang sisingaan adalah melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan,

    kekuasaan, kebodohan, serta kemiskinan.

  • 7

    Kesenian sisingaan mulai diperkenalkan ke tingkat nasional pada saat penyambutan

    kedatangan Presiden Soeharto, pada saat hari Krida Tani tahun 1968 di Balanakan.

    Semenjak saat itu sisingaan mulai ditetapkan, difungsikan sebagai kesenian untuk

    menyambut tamu terhormat/tamu kehormatan. Untuk mengangkat kesenian sisingaan

    Subang, para seniman mengubah sisingaan dari bentuk helaran ke bentuk pergelaran arena.

    Event lain yang semakin memunculkan sisingaan yakni saat tahun 1971 saat

    penyelenggaraan Jakarta Fair, kesenian ini dipentaskan di panggung kesenian acara

    tersebut. Kemudian pada tahun 1972 dipentaskan di Istana Bogor, pada tahun 1973

    dipentaskan di Istana Negara, tahun 1981 menjadi duta seni Indonesia di Hongkong dan

    menjadi juara pertama. Pada tahun 1991 sisingaan diminta oleh panitia terjun paying

    internasional untuk mengadakan pergelaran di Jakarta. Kemudian pemerintah daerah

    secara rutin menyelenggarakan festivial sisingaan setiap tahun, sehingga saat ini kesenian

    sisingaan tidak hanya menjadi milik masyarakat Subang, namun sudah menjadi milik

    nasional.

    2.2 SINOPSIS

    Pola penyajian Sisingaan meliputi:

    1. Tatalu (tetabuhan, arang-arang bubuka) atau keringan

  • 8

    2. Kidung atau kembang gadung

    3. Sajian Ibingan, yang terdiri atas tahap-tahap berikut:

    Naekeun, yakni gerak tari yang pertama kali dilakukan untuk mengangkat

    anak yang dikhitan ke atas sisingaan.

    Helaran, yaitu pergelaran/pagelaran yang dilakukan dengan cara

    berkeliling, atau sesuai dengan rute jalan yang telah ditentukan. Dalam

    kesenian sisingaan, helaran merupakan salah satu unsur yang harus

    dilaksanakan, karena hal ini telah menjadi ketentuan. Pada saat helaran para

    pengusung melakukan gerakan tari dengan menjaga kekompakan, saling

    memperhatikan gerakan satu pengusung dengan pengusung lainnya.

    Atraksi/demonstrasi, merupakan variasi gerak dan tari pada sisingaan

    yang dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai daya tarik.

    Dengan demikian penonton semakin takjub, terpukau melihat penampilan

    ini.

    4. Penutup dengan musik keringan.

    2.3 WATAK

    Kesenian sisingaan ini berwatak senang, gembira, dan riang karena kesenian

    sisingaan ini bertujuan untuk menghibur anak yang baru dikhitan.

  • 9

    2.4 DURASI

    Tradisi Sisingaan untuk menghibur anak yang baru dikhitan biasanya

    berlangsung lama, bisa dari pagi hingga sore atau malam. Yang membuat sisingaan ini

    berlangsung lama adalah saat helaran, atau berjalan berkeliling kampung. Namun jika

    hanya untuk hiburan atau pertunjukan, biasanya hanya berlangsung sekitar sepuluh

    menit. Namun dalaam presentasi ini kami hanya menayangkan tayangan sisingaan

    yang berdurasi 10 menit.

    2.5 GERAKAN

    Naekeun, yakni gerak tari yang pertama kali dilakukan untuk mengangkat anak

    yang dikhitan ke atas sisingaan. Gerak tari naekeun terdiri dari beberapa gerakan

    antara lain:

    Gobyog, yakni gerakan naik turun sisingaan kemudian berlari.

    Najong, yaitu melakukan tendangan kaki dan meletakkan sisingaan.

    Silat tepak tilu, yaitu melakukan gerakan silat menangkis, menendang,

    memukul, dan mengunci.

    Depok tungkul, yakni menaikkan anak yang dikhitan ke atas sisingaan.

    Kidung yakni melagukan kidung yang diikuti dengan tarian, menendang,

    dan memiringkan badan ke kanan dan ke kiri.

    Ewag, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tarian.

    Mincid, yakni gerakan memindahkan usungan sisingaan dari pundak sambil

    memutarkan kepala.

    Solor, yakni melakukan gerakan maju mundur, yang diakhiri dengan

    gerakan tendangan.

    Mincid badag, yakni gerakan atau tarian dengan diikuti suara gendang yang

    lebih keras dan sambil melakukan tendangan.

    Helaran, yaitu pergelaran/pagelaran yang dilakukan dengan cara berkeliling, atau

    sesuai dengan rute jalan yang telah ditentukan..Gerak tari yang dilakukan dalam

    helaran antara lain:

  • 10

    Mincid yaitu melakukan gerakan seperti berlari kecil dan diiringi dengan

    musik untuk lebih mempercepat helaran dengan menghentakkan kaki ke

    tanah.

    Najong, yakni gerakan menendangkan kaki ke depan, ke samping sesuai

    dengan irama gendang.

    Gopar/bangkaret, yakni gerakan menendang tapi ditarik kembali sebatas

    lutut.

    Meresan, yakni berjalan kecil-kecil sesuai dengan irama musik.

    Mars/incek, yakni berjalan kecil-kecil seiring irama yang cepat tapi halus.

    Ewag, yakni gerak tari yang diikuti oleh lagu kangsreng.

    Gerak jaipong, yakni gerakan yang divariasikan dengan tarian jaipong di

    awal.

    Solor, yakni gerakan yang dilakukan dengan lari, lalu menghentakkan kaki

    ke tanah (nenjrag).

    Atraksi/demonstrasi, merupakan variasi gerak dan tari pada sisingaan yang

    dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai daya tarik. Dengan

    demikian penonton semakin takjub, terpukau melihat penampilan ini. Gerak dan

    tari yang ditampilkan dalam atraksi/demonstrasi antara lain:

    Bubuka gebrag, yakni membuka gerakan dengan cara meloncat dan

    menggebrak sambil mengangkat sisingaan.

    Gobyog, yakni gerak naik turun sisingaan, kemudian berlari.

    Najong, yakni menendangkan kaki ke depan dan ke samping, sesuai dengan

    irama gendang.

    Silat tepak tilu, yakni melakukan gerakan silat menangkis, menendang,

    memukul, dan mengunci.

    Kidung depok, yakni gerak tari yang diakhiri dengan berlutut, dengan

    irama yang lambat.

    Cisanggean, yakni gerakan penghubung antar atraksi.

    Ewag/ewag depok, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan

    gerak tari.

  • 11

    Ewag luhur, yakni menyanyikan lagu kangsreng yang diikuti dengan gerak

    tari dan sisingaan diangkat.

    Mincid sedeng, yakni gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo

    sedang.

    Mincid variasi, yakni gerakan memindahkan sisingaan untuk berpindah

    pundak.

    Mincid solor, yakni gerakan yang dilakukan setelah ewag dalam lagu

    kangsreng dan lagu polos.

    Gondang, yakni gerakan mundur perlahan-lahan lalu menggebrak dan

    menyerang sambil meloncat, kemudian telungkup.

    Bukaan jaipong, yakni memadukan tari jaipong dengan gerak tari

    sisingaan, sehingga terlihat lebih variatif dan atraktif.

    Geblag/gendut, yakni gerakan terakhir dari mincid tari jaipong sebelum

    masuk ke atraksi.

    Atraksi, beberapa atraksi yang sering ditampilkan dalam sisingaan antara

    lain oray-orayan, gugunungan, melak cau, dan sebagainya.

    2.6 IRINGAN

    Musik pengiring Sisingaan pada awalnya cukup sederhana, antara lain:

    Kendang yang digunakan sebanyak 2 buah.

    Fungsi: mengatur irama dan memberi tekanan musik.

    Kulanter yang digunakan sebanyak 1 buah

    Fungsi: mengikuti irama.

    Kendang Indung

    Kulanter

  • 12

    Bonang yang digunakan sebanyak 3 buah

    Tarompet yang digunakan sebanyak 1 buah

    Fungsi: untuk membawakan melodi.

    Goong yang digunakan sebanyak 1 buah

    Fungsi: menutup akhir irama dan mengiringi irama.

    Kempul yang digunakan sebanyak 1 buah

    Kecrek yang digunakan sebanyak 1 buah

    Fungsi: ntuk mempertegas dan mengatur irama.

    Bonang (ketuk)

    Tarompet

    Goong

    Kempul

    Kecrek

  • 13

    Karena Helaran memainkannya sambil berdiri, digotong dan diikatkan ke tubuh.

    Dalam perkembangannya sekarang memakai juru kawih dengan lagu-lagu (baik vokal

    maupun intrumental), antara lain: Lagu Keringan, Lagu Kidung, Lagu Titipatipa, Lagu

    Gondang,Lagu Kasreng, Lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet rajet, Serat Salira,

    Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dll), Lagu Gurudugan,

    Lagu Mapay Roko atau Mars-an (sebagai lagu penutup). Lagu lagu dalam Sisingaan

    tersebut diambil dari lagu-lagu kesenian Ketuk Tilu, Doger dan Kliningan.

    2.7 TATA RIAS

    Foundation

    Fungsi :

    1. Berguna untuk menyamarkan noda serta lingkar kehitaman di

    daerah mata.

    2. Sebagai shading dan highlight pada beberapa bagian wajah,

    sehingga bentuk wajah terlihat lebih proporsional. Untuk tujuan ini gunakan beberapa

    foundation dalam berbagai tingkatan warna sesuai dengan bagian yang ingin di

    gelapkan (shading) atau di terangkan (highlight)

    3. Sebagai penyamar noda untuk fungsi ini gunakan foundation berformula pekat dan

    sesuai dengan warna kulit.

    Concealer

    Fungsi: untuk menutupi kekurangan yang ada pada wajah

    kita,misalnya seperti flek,bekas jerawat,mata yang cekung

    karena kurang tidur,dll.

    Loose powder

    Fungsi : Menyatukan foundation dan concealer sehingga pori-pori

    tampak lebih kecil dan kosmetikpun bertahan lebih lama.

  • 14

    Compact Powder

    Fungsi : Memberikan efek rapi dan lembut pada riasan wajah

    secara keseluruhan

    Lipstik

    Fungsi: Memberi warna pada bibir sehingga tercipta kesan yang

    diinginkan.

    Pensil alis

    Fungsi: Membentuk dan memberikan efek tebal pada alis

    Maskara

    Fungsi: Membuat bulu mata menjadi lebih tebal, lentik, dan

    memberi kesan panjang

    Eyeshadow

    Fungsi: untuk menghias kelopak mata dengan warna-warna yang

    menarik dan indah.

  • 15

    Eyeliner

    Fungsi: Membuat mata terlihat lebih tajam dan tegas.

    Blush On

    Fungsi: Untuk menegaskan bentuk rahang atau tulang pipi

    2.8. TATA BUSANA

    Busana yang dipakai oleh pengusung hanya satu jenis saja, yaitu:

    1. Iket terbuat dari kain batik berwarna coklat,

    2. Kampret berwarna merah atau oranye

    3. Beubeur dengan warna kuning

    4. Celana panjang (pangsi) hijau atau oranye

    5. Sepatu kelinci (titania) dengan warna putih

    6. Kaos kaki panjang

    Sedangkan busana yang digunakan oleh penari jaipong adalah kebaya, kain (untuk

    rok), ikat pinggang, selendang,sanggul, dan perlengkapan lain

  • 16

    2.9 . TATA CARA

    o Orang tua, keluarga, dan kerabat berkumpul. Seorang dukun sunat yang disebut

    paraji beserta asistennya yang memimpin upacara. Paraji sunat bukan hanya

    sekedar tukang sunat, tetapi melainkan dianggap sebagai orang yang mempunyai

    koneksi terhadap dunia ghaib. Selama upacara awal, sang anak ditemani oleh

    seorang gadis cilik yang melambangkan kalau laki-laki dan perempuan itu tidak

    terpisahkan.

    o Kedua bocah itu lalu dibawa mengelilingi lesung dan menerima sejumput padi.

    Menjelang petang, upacara awal ditutup.

    o Keesokan harinya, seusai shalat shubuh, angklung jengglang mengiringi arak-

    arakan. Sang anak menuju sungai untuk berendam. Berendam disungai adalah

    sebuah syarat awal penyunatan. Tujuannya agar darah membeku agar anak tidak

    merasa begitu sakit saat disunat.

    o Ritual disungai pun usai. Sang anak kemudian dipangku dan dibawa ke halaman

    rumah untuk disunat oleh paraji sunat.

    o Banyak orang yang menyaksikan diantaranya ada yang membawa ayam untuk

    disembelih, ada yang memegang petasan dan ada yang membawa berbagai macam

    tetabuhan sambil menyanyikan marhaba. Bersamaan dengan disunatnya anak itu,

    ayam jantan disembelih sebagai bela, petasan disulut dan tetabuhan dibunyikan.

    o Tidak lama setelah itu para undangan berdatangan, baik yang dekat maupun yang

    jauh. Mereka memberikan uang/nyecep pada anak yang telah disunat itu agar

    bergembira dan melupakan rasa sakitnya .

    o Dari pagi hingga malam, pertunjukan kesenian sisingaan ditampilkan. Pertunjukan

    sisingaan dibagi kedalam tiga tahap yaitu naekeun (menaikkan sang anak keatas

    patung sisingaan), helaran (diarak keliling kampong), dan atraksi (variasi gerak dan

    tari pada sisingaan yang dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai

    daya tarik.)

    o Saat malam semakin larut, Angklung Jengglung kembali dikumandangkan. Namun,

    ritual penutup ini khusus digelar bagi roh halus yang telah memberikan berkah

  • 17

    sehingga perhelatan berjalan sukses. Warga sekitar percaya roh-roh ghaib turut

    bergembira melalui perantara badan-badan penari yang kesurupan. Pesta selesai

    seiring dengan menyatunya jagad manusia dengan alam ghaib.

    2.10 POLA LANTAI

    KETERANGAN:

    = Patung Singa

    = Pengusung

    = Pembawa payung

    = sinden

    P

    E

    M

    A

    I

    N

    M

    U

    S

    I

    K

    P

    E

    N

    O

    N

    T

    O

    N

  • 18

    2.11 Galeri Foto

    Sisingaan Helaran

    Mengusung sisingaan Para pengusung sisingaan

    Melakukan gerakan secara kompak Penari Jaipong

    Menari Jaipongan Anak yang dikhitan

  • 19

    Atraksi atau demonstrasi Atraksi atau demonstrasi

    Atraksi atau demonstrasi Atraksi atau demonstrasi

    Musik keringan

    Kidung

    Sisingaan Sisingaan

  • 20

    Atraksi Atau Demonstrasi Mengusung Sisingaan

    Menari Jaipongan

  • 21

    BAB III

    KESIMPULAN

    3.1 KESIMPULAN

    Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di

    Kabupaten Subang. Kesenian ini mempunyai ciri khas atau identitas sepasang patung

    sisingaan atau binatang yang menyerupai singa.

    Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang, yakni pada masa

    pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur,

    Pada saat Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai diperkenalkan

    dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota kerajaan. Dalam waktu yang

    bersamaan daerah Subang juga di bawah kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan

    lambang negaranya yakni singa.

    Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami perkembangan

    secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan, busana, dan fungsi sisingaan.

    Sehingga bisa dikatakan bahwa kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti

    perkembangan zaman, dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.

    Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana hiburan pada

    saat anak dikhitan, dengan cara keliling kampung. Namun pada saat ini kesenian sisingaan

    mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat,

    dengan jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit yang berhasil

    memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara eksklusif berdasarkan

    permintaan.

    Tradisi sisingaan ini sekarang biasa di pakai sebagai hajatan seorang anak sehabis di

    khitan. Sebagai tanda kalau anak itu telah memasuki ke tingkat dewasa. Anak yang habis

    dikhitan tersebut, biasanya menaiki sisingaan tersebut. Kemudian sisingaan tersebut di

  • 22

    angkat atau di gotong oleh 4 orang dewasa. Lalu anak tersebut di gotong memakai

    sisingaan tersebut mengelilingi kampung dengan di iringi musik-musik tradisional khas

    sunda. Tradisi sisingaan ini masih ada di daerah Jawa Barat, terutama di daerah Subang.

    3.2 KRITIK DAN SARAN

    Menurut kelompok kami, pelaksanaan tradisi khitanan yaitu sisingaan sudah

    berlangsung cukup baik. Namun ada bagian yang kurang kami setujui. Pada bagian tata

    cara pelaksanaan, anak yang mau dikhitan harus berendam di sungai pada dini hari agar

    darahnya membeku sehingga anak tidak merasa sakit saat dikhitan. Jika kita lihat dari sisi

    medis, hal ini justru membahayakan. Darah seharusnya tidak boleh dibuat membeku

    karena akan berbahaya bagi tubuh si anak dan bisa menyebabkan kematian.

    Selain itu mungkin tidak ada yang bisa kami kritik karena secara keseluruhan tradisi

    sisingaan ini berlangsung cukup baik dan tertib.

  • 23

    3.3 LEMBAR PERTANYAAN DAN JAWABAN

    NO KELOMPOK & NAMA PERTANYAAN JAWABAN

  • 24

    3.1 TABEL PENILAIAN

    NO NAMA PENILAIAN

  • 25

    BAB IV

    PENUTUP

    4.1 PENUTUP

    Assalamualaikum wr. wb.

    Dengan berakhirnya makalah ini, kami sebagai tim penulis mengharapkan karya

    tulis ini digunakan untuk hal yang semestinya dan tidak disalahgunakan. Kami

    menyadari tidak ada gading yang tak retak. Sehingga kami mohon maaf apabila ada

    kesalahan informasi, kesalahan penulisan, dan kata-kata yang menyinggung perasaan.

    Kami menerima kritik maupun saran yang diberikan kepada kami mengenai karya tulis

    ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siswa/siswi SMA Negeri 3 Bogor dan

    pihak lain yang membaca karya tulis kami.

    Wassalamualaikum wr. wb.

    Salam hormat,

    Tim Penulis

  • 26

    4.1 DAFTAR PUSTAKA

    http://blog.ugm.ac.id/2010/11/11/tradisi-sisingaan-di-subang/

    http://id.wikipedia.org/wiki/Sisingaan

    Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan &

    Pariwisata Jawa Barat, Bandung.

    Respository.upi.edu/operator/upload/s_c0951_055349_chapter4.pdf

    http://www.infowisata.web.id/2011/06/sisingaan.html

    http://situseni.com/jejak/wikiseni

    http://ferdy-skynet.blogspot.com/2010/03/genjring-bonyok.html