Makalah selesai
-
Upload
raihandsome -
Category
Documents
-
view
128 -
download
2
Transcript of Makalah selesai
REFERAT
LUNG MIKOSIS
Oleh :
Raihan Syafiin Syakti S.ked (091801129)
Satya Adi Nugraha S.ked (091801077)
Preceptor :
Dr. Dedy Zairus, Sp.P
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD Dr. H.ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
DESEMBER 2013
BAB I
A. Definisi
Mikosis paru adalah gangguan paru yang disebabkan oleh
infeksi/kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap jamur.
B. Klasifikasi
Berdasarkan jamur penyebab, Riddell menglasifikasikan mikosis paru
menjadi2:
1. Aktinomisetes (aktinomikosis, nokardiomikosis).
2. Ragi dan jamur menyerupai ragi (kriptokokosis, kandidosis).
3. Jamur berfilamen (aspergillosis, mukormikosis).
4. Jamur dimorfik (histoplasmosis, koksidiodomikosis, blastomikosis).
Sementara, berdasarkan keberadaan jamur dalam tubuh, mikosis paru
dibagi menjadi2:
1. Mikosis paru yang disebabkan jamur pathogen, bisa bersifat:
- Endemic yaitu histoplasmosis, blastomikosis, koksidiodomikosis dan
parakoksidiodomikosis.
- Nonendemik yaitu kriptokokosis
2. Mikosis paru disebabkan jamur oportunis, yaitu aspergillosis, kandidosis,
nokardiosis, mukormikosis
Berikut ini merupakan penjelasan dari beberapa mikosis paru yang sering
terjadi, yaitu:
1. Histoplasmosis
Histoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan jamur Histoplasma
capsulatum.H. capsulatum bersifat dimorfik, hidup dalam tanah yang
mengandung kotoran burung, ayam, kelelawar. Histoplasmosis hidup dan
tumbuh sangat baik pada suhu 22-29°C dengan kelembaban udara berkisar
67%-87%.1,3
Manusia biasanya terinfeksi dengan cara terhirup spora H. capsulatum,
tidak ditularkan dari manusia ke manusia lainnya maupun dari hewan ke
manusia atau sebaliknya.2 Saat terinhalasi spora H capsulatum, beberapa spora
berhasil menghindari pertahanan nonspesifik paru hingga mencapai alveolus.
Spora kemudian berubah menjadi fase ragi dan bermultiplikasi dengan
pembelahan biner. Sistem pertahanan tubuh yang pertama berespon kemudian
adalah neutrofil, lalu diikuti dengan makrofag yang memfagosis ragi. Ragi
yang difagosit tidak berhasil dibunuh, justru bermultiplikasi dalam tubuh
makrofag, menyebar ke hilus lalu ke seluruh tubuh.3
Dua minggu setelah inhalasi, respon imun yang dimediasi limfosit mulai
berkembang. Terjadi peningkatan limfosit dan makrofag untuk mengendalikan
infeksi jamur histoplasosis. Berbagai sitokin proinflamasi dikeluarkan, seperti
interleukin-12 (IL-12), interferon-γ (IFN-γ), tumor necrosis factor-α (TNF-α),
yang bersifat protektif terhadap jamur. Pembentukan granuloma bergantung
interaksi antara limfosit dan makrofag, semakin meningkat intensitas
inflamasi akan memunculkan nekrosis kaseosa yang sulit dibedakan dengan
TB.3
Penyembuhan lesi ini disertai fibrosis periferal. Area tengah berupa
nekrosis yang terkapsulasi, seringkali disertai kalsifikasi. Fokus kalsifikasi
dapat terlihat sebagai nodul tunggal atau multipel pada foto rontgen atau
sebagai kompleks Gohn yang disertai kalsifikasi hilar dan periferal.3
Manifestasi penyakit ini dapat tidak bergejala, positif dengan uji kulit
histoplasmin sampai penyakit paru yang fatal. Masa inkubasi sekitar 14 hari
dengan gambaran klinis kadang menyerupai tuberculosis. Gambaran klinis
histoplasmosis paru dibagi atas2,3:
a) Histoplasmosis asimtomatik, dapat dijumpai sekitar 90% penduduk
terinfeksi H. capsulatum pada daerah endemik, tidak ada gejala, tes
histoplasmin positif.
b) Histoplasmosis paru akut, seringkali terjadi pada orang yang
berkunjung ke daerah endemic. Gejala klinis tidak khas, bila spora
yang terhirup cuku banyak, dapat menimbulkan sesak napas, sianosis,
sakit dada, ruam, eritema multiforme, dan sakit pleura. Stadium akut
ini berakhir dalam 3 minggu dengan penyembuhan sempurna.
c) Histoplasmosis paru kronik, dijumpai pada orang dewasa dengan
riwayat penyakit paru kronik, misalnya TB paru, dapat juga pada
penderita diabetes mellitus. Foto toraks menunjukkan gambaran
kaverne pada kedua lobus atas paru, sering disangka TB paru.
d) Histoplasmosis diseminata, timbul pada pasien yang disertai dengan
gangguan imun. Secara klinis sering didapati demam tinggi yang tidak
spesifik, hepatosplenomegali, limfadenopati, pansitopenia dan lesi di
mukosa dapat terjadi berupa lesi ulseratif di mulut, lidah, dan
orofaring. Pada foto toraks, gambaran dapat normal atau didapati
infiltrat difus.
Gambar . Foto toraks histoplasmosis paru
2. Kriptokokosis
Penyakit ini disebabkan oleh ragi berkapsul, Cryptococcus
neoformans.Infeksi jamur ini terjadi melalui alat pernapasan.2 Saat mencapai
alveolus, ragi tumbuh dan berkapsul. Makrofag alveolus merupakan
pertahanan pertama terhadap C. neoformans. Jamur ini memiliki protein
antifagositik (Appl) yang menghambat jalur termediasi komplemen untuk
perlekatan dan ingesti ragi.Selain itu, jamur ini juga memiliki kapsul
polisakarida yang membuatnya tahan saat difagosit neutrofil. Kapsulnya juga
dapat mengganggu maturasi sel dendritik sehingga tidak bisa mengeluarkan
IFN-γ.3
Infeksi primer di paru jarang menimbulkan gejala klinis. Gejala yang
timbul menyerupai infeksi paru subakut dengan batuk. Kebanyakan akan
menimbulkan meningitis, terutama akibat disfungsi sel T dan sel natural killer
(NK).3
Pada individu normal, infeksi kriptokokus dapat diatasi secepatnya oleh
reaksi granulomatosa. Pasien dengan gangguan imunitas berat tidak akan
membentuk granuloma sehingga kriptokokus dapat tumbuh subur. Jamur ini
memiliki tropisme ke sistem saraf pusat, sehingga meningitis kriptokokus
merupakan bentuk ekstraparu yang sering pada penyakit ini.3
Foto toraks menunjukkan gambaran yang bervariasi dan tidak spesifik,
bisa berupa infiltrat, konsolidasi lobus, abses, nodul, bentuk milier, adenopati
hilus atau efusi pleura. Diagnosis ditegakkan bila menemukan Cryptococcus
pada pemeriksaan histopatologi atau isolasi Cryptococcus dari dahak, cairan
bilasan bronkus, atau jaringan paru.2
Gambar . Foto toraks gambaran kriptokokosis
3. Aspergilosis
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Aspergillus, terutama spesies A.
fumigatus. Jamur ini banyak berhamburan di udara sehingga gampang dihirup
melalui saluran napas.Spora jamur yang terhirup, kemudian mengadakan
kolonisasi di permukaan mukosa.Jamur dapat menembus jaringan hanya bila
ada gangguan sistem imun, baik lokal atau sistemik.Bergantung kepada status
imunologis dan genetic, A. fumigatus dapat menimbulkan berbagai
manifestasi, yaitu:2,3
a) Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA)
ABPA merupakan manifestasi aspergillosis yang sering muncul.
Penyakit ini timbul akibat respons berlebihan imunoglobulin E (IgE) dan
IgG terhadap pertumbuhan intrabronkial jamur. IgE spesifik Aspergillus
dapat ditemukan pada pasien ABPA, biasanya dilepaskan ke darah tepi
saat eksaserbasi. IgE spesifik tersebut menyebabkan degranulasi sel mast,
pelepasan mediator inflamasi, dan reaksi inflamasi lokal. Secara
histopatologi, plug bronkial dapat terlihat pada ABPA, yang terdiri dari
campuran eosinophil dan benang-benang hifa jamur. Bronkus proksimal
berdilatasi menggambarkan bronkiektasis sakular, tapi bronkus distal
normal.3,4
Manifestasi klinis ABPA sangat bervariasi, berupa badan tidak enak,
demam, sesak, sakit dada, wheezing, dahak purulent dan batuk darah.
Berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, dan serologis, sudah
dikenal 5 macam staging ABPA seperti tercantum pada tabel 1.2,4
Tabel 1. Sistem staging ABPA4
b) Aspergiloma
Aspergiloma biasanya terjadi pada pasien yang sudah mempunyai
kelainan anatomis paru, misal ada kavitas karena TB paru, bronkiektasis,
abses paru, tumor paru. Jamur tidak menembus sampai ke parenkim paru.
Secara klinis, hemoptysis (batuk darah) merupakan gejala utama yang
dapat massif sehingga mengancam jiwa. Selain batuk darah, dapat
dijumpai gejala penyakit dasarnya. Secara radiologis, tampak kelompok
hifa dan spora jamur memberikan bayangan radioopak, sedangkan rongga
kavitas radiolusen, sering disebut fungus ball.2,4
c) Aspergillosis Invasif
Aspergillosis pneumonia merupakan penyakit infeksi jamur paru yang
banyak dijumpai pada pasien yang mempunyai kelainan sel neutrofil.
Jamur menimbulkan nekrosis dan infark multipel, jamur juga menyerbu
pembuluh darah yang dapat menimbulkan abses di otak, hati, kulit, dll.
Karena yang diserang pembuluh darah, bisa menyebabkan hemoptisis
ringan atau perdarahan paru yang fatal. Pemeriksaan radiologi berupa high
resolution CT scan memberikan gambaran nodul kecil di dasar pleura
dengan “halo sign” yaitu area yang atenuasinya lemah mengelilingi lesi
noduler tersebut. Temuan lainnya berupa rongga dari lesi noduler tersebut
berupa radiolusen seperti bulan sabit yang menggambarkan jaringan paru
yang infark.2,4
d) Aspergillosis Kronik Nekrotizing
Penyakit ini merupakan bentuk antara aspergiloma dan aspergillosis
invasif. Jamur tumbuh dan berkembang dalam rongga udara yang tidak
normal pada paru yang juga tidak normal. Infeksi menyebar secara
perlahan, menembus dan menghancurkan daerah paru yang berdekatan,
dijumpai lesi berongga pada lobus atas paru menyerupai gambaran
tuberculosis yang berlanjut membentuk aspergiloma, atau awalnya
aspergiloma kemudian menjadi invasive secara lokal. Gejala yang timbul
berupa sesak napas, batuk kronik, berdahak, berat badan menurun,
keringat malam, demam, dan batuk darah intermitten.2
. foto toraks PA pasien aspergilosis paru
CT Scan toraks dengan halo sign (early aspergilosis invasif) (tanda panah)
. CT Scan toraks dengan crescent (tanda panah) (aspergilosis invasif)
4. Kandidosis
Penyakit ini disebabkan oleh jamur spesies Candida, terutama C. albicans.
Kandida dapat hidup sebagai organisme komensal di mulut, saluran cerna dan
vagina, tapi pada keadaan tertentu dapat menjadi pathogen dan menyebabkan
kandidosis. Infeksi jamur ini banyak terjadi secara endogen dari traktus
gastrointestinal atau kulit yang menyebar melalui pembuluh darah, walaupun
infeksi eksogen dapat juga terjadi melalui inhalasi spora tapi tidak lazim.
Pasien dengan kandidosis biasanya juga memiliki gangguan sistem kekebalan
tubuh. Sistem imun yang terutama berperan adalah sel polimorfonuklear
(PMN).2,3
Manifestasi klinis kandidosis paru bisa berupa:2
Jamur hidup sebagai saprofit di saluran napas, misalnya pada penyakit
paru kronik
Kandidosis primer, timbul karena aspirasi jamur dari rongga mulut.
Manifestasi berupa pneumonia atau dapat menyebar ke berbagai organ.
Infeksi sistemik yang melibatkan berbagai organ
Kadang berupa misetoma
Kandidosis bronkopulmoner alergi
Secara radiologis bisa dijumpai bercak-bercak segmental atau ada juga
berupa gambaran abses. Diagnosis dapat dipastikan dengan biopsi paru atau
ditemukan candida dalam jumlah banyak di dalam dahak dan sekret bronkus.2
C. Diagnosis
Prosedur diagnosis mikosis paru masih menjadi tantangan sampai saat ini.
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat merupakan langkah penting dalam
prosedur diagnosis mikosis paru. Langkah tersebut harus diikuti pemeriksaan
penunjang yang tepat, meliputi: pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan
mikologi. Meningkatnya kewaspadaan klinisi terhadap kemungkinan infeksi
jamur paru dan pemilihan modalitas diagnosis yang tepat akan membuat
penatalaksanaan lebih baik. 1
Keluhan pasien mikosis paru mirip dengan keluhan penyakit paru, pada
umumnya, tidak ada kelugan patognomonik. Keluhan demam, batuk, sesak, dll
perli diwaspadai sebagai gejala mikosis paru pada pasien dengan keadaan sebagai
berikut 1:
1. Pasien yang memiliki kondisi imunosupresi (neutropenia berat, keganasan
darah, transplantasi organ atau kemoterapi)
2. Penggunaan jangka panjang alat-alat kesehatan invasif
3. Pasien dengan kondisi imunokompromis akibat penggunaan jangka
panjang antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid dan obat
imunosupresi
4. Penyakit kronik seperti keganasan rongga toraks, PPOK, bronkiektasis,
luluh paru, sirosis hati, insufisiensi renal, diabetes
5. Gambaran infiltrat di paru dengan demam yang tidak membaik setelah
pemberian antibiotika adekuat dengan atau tanpa adenopati
6. Pasien dengan manifestasi mikosis kulit berupa lesi eritema nodosum pada
ekstremitas bawah terutama di daerah endemik jamur tertentu
7. Pasien terpajan atau setelah bepergian ke daerah endemik jamur tertentu.
Pada pemeriksaan fisis, mikosis paru sulit dibedakan dengan penyakit paru
lainnya, tergantung pada kelainan anatomi yang terjadi pada paru. Pemeriksaan
penunjang untuk mendiagnosis mikosis paru antara lain pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan laboratorium klinik tertentu, serta pemeriksaan mikologi. Gambaran
foto toraks pada sebagian besar mikosis paru tidak menunjukkan ciri khas, dapat
ditemukan infiltrat interstisial, konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi pleura.
Gambaran yang khas dapat terlihat pada aspergiloma, yaitu fungus ball di dalam
kavitas pada pemeriksaan foto toraks. Hasil laboratorium rutin yang mungkin
berkaitan dengan mikosis paru adalah peningkatan jumlah sel eosinofil. 1
Gambar 1. Fungus ball
Pemeriksaan laboratorium mikologi merupakan prosedur diagnosis
mikosis paru yang sangat penting. Kualitas pemeriksaan ini ditentukan oleh
pemilihan, pengumpulan serta cara pengiriman bahan klinik (spesimen) yang
baik. Penanganan spesimen yang tidak memadai dapat mengakibatkan
ketidaktepatan diagnosis. Sepsimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus,
kurasan bronkoalveolar (BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pelura, pus, dll.
Pengiriman spesimen harus disertai keterangan klinis yang cukup dan permintaan
yang jelas. Hal itu akan mempermudah staf laboratorium mengarahkan
pemeriksaan yang diperlukan dan menghindari kesalahan interpretasi hasil
pemeriksaan. Spesimen harus diletakkan dalam wadah steril yang tertutup rapat,
tanpa bahan pengawet dan dilabeli dengan baik. Selanjutnya spesimen dikirim ke
laboratorium dalam waktu paling lama dua jam setelah prosedur pengambilan.
Bila tidak memungkinkan segera diproses dalam dua jam, spesimen dapat
disimpan dalam suhu 4o C. Bila spesimen disimpan terlalu lama, keberhasilan
pemeriksaan dapat menurun.1
Sputum sebaiknya diambil pagi hari sebelum makan, dilakukan tiga hari
berturut-turut. Pasien harus berkumur dengan air matang sebanyak 2-3 kali,
selanjutnya berusaha mengeluarkan sputum dengan membatukkannya. Induksi
sputum lebih dianjurkan karena lebih mempresentasikan spesimen saluran napas
bawah. Jumlah sputum yang diperlukan sekitar 10-15 mL. 1
Jaringan hasil biopsi memiliki arti klinik paling tinggi karena penemuan
jamur dalam jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis. Spesimen biopsi
sebaiknya diambil dari tengah dan tepi lesi, selanjutnya diletakkan di antara kasa
steril yang sedikit dibasahi dengan larutan garam faal sekedar untuk mencegah
kekeringan. Jangan diberi bahan pengawet karena akan mematikan jamur dalam
jaringan sehingga tidak dapat dilakukan proses pembiakan serta uji kepekaan
jamur terhadap obat antijamur. 1
Metode laboratorium untuk mendiagnosis mikosis paru dilakukan melalui
tiga pendekatan penting, yaitu: pemeriksaan mikroskopik, isolasi dan identifikasi
jamur pada biakan serta deteksi respons serologis terhadap jamur atau
penandanya. Prosedur diagnostik berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid
(DNA) jamur saat ini sedang dikembangkan. Biakan spesimen maupun hasil
biopsi jaringan masih menjadi baku emas diagnosis mikosis paru. Pemeriksaan uji
kepekaan jamur terhadap obat perlu dilakukan hanya untuk menentukan pemilihan
obat antijamur yang tepat atau evaluasi terapi. 1
1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik spesimen klinik secara langsung maupun dengan
pewarnaan harus selalu dilakukan karena dapat mendiagnosis kemungkinan
terdapatnya infeksi jamur secara cepat, mudah dan murah, meskipun nilai
diagnostiknya sangat bervariasi bergantung pada spesies jamur yang
ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan
menambahkan laritan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India. Teknik
pewarnaan dapat dilakukan dengan Giemsa, gomori methenamin silver
(GMS), calcofluor, maupun deteksi antibodi monoklonal dengan pewarnaan
imunofluoresens.
2. Biakan
Pemeriksaan biakan jamur yang berasal dari berbagai spesimen respirasi
memiliki nilai diagnostik bervariasi, tergantung pada spesies jamur, asal
spesimen serta derajat penyakit yang dialami pasien. Pemeriksaan diagnostik
memiliki nilai diagnostik tinggi bahkan menjadi baku emas diagnosis infeksi
jamur tertentu. Pemeriksaan biakan membutuhkan waktu beberapa hari
sampai minggu, tetapi penting dilakukan untuk identifikasi spesies secara
konvensional maupun uji kepekaan jamur terhadap obat-obat antijamur.
3. Serologi
Uji serologi secara tradisional digunakan untuk mendeteksi reaktivitas
antibodi pejamu terhadap elemen-elemen jamur. Nilai diagnostiknya sangat
terbatas, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan interpretasi hasil.
Dewasa ini telah dikembangkan deteksi antigen yang memiliki nilai
diagnostik lebiih tinggi. Uji ini didasarkan atas deteksi komponen dinding
jamur yang dilepaskan ke aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur
berproliferasi.
4. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR maupun real-time PCR juga sedang dikembangkan teatpi
masih digunakan secara terbatas karena belum terdapatnya standarisasi dan
validasi.
Diagnosis dini sangat penting untuk memperoleh luaran klinis optimal.
Keterlambatan diagnosis akan mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan
yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Dalam penegakan
mikosis sistemik dikenal beberapa istilah yang menentukan derajat diagnostik,
yaitu: proven, probable, possible.1
1. Kriteria diagnosis proven
Ditemukan faktor pejamu dan gambaran klinis dan
Hasil pemeriksaan mikologi positif sebagai berikut:
Pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan elemen jamur
positif dari hasil biopsi atau aspirasi disertai bukti kerusakan
jaringan (secara mikroskopik atau radiologi) atau
Biakan positif dari spesimen yang berasal dari tempat steril serta
secara klinis dan radiologi meunjukkan kelainan/lesi yang sesuai
dengan infeksi atau
Pemeriksaan mikroskopik/antigen Cryptococcus dan likuor
serebrospinal (LSS).
2. Kriteria diagnosis probable
Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu dan
Satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor pada lokasi lesi
abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis atau
radiologi dan
Satu kriteria mikologi.
3. Kriteria diagnosis possible
Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu dan
Satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor dan lokasi lesi
abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis atau
radiologi.
tanpa kriteria mikologi atau hasil pemeriksaan mikologi negatif.
Tabel 1. Kriteria faktor pejamu, gambaran klinis dan hasil pemeriksaan
mikologi 1
Kriteria Deskripsi
Faktor pejamu Neutropenia (neutrofil <500/mm3 selama >10 hari)
Menerima transplantasi sumsum tulang alogenik
Menerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan
rerata dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari
selama >3 minggu
Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya
siklosporin, penyekat TNF-alfa, antibodi monoklonal
spesifik (misalnya alemtuzumab), atau analog
nukleosida dalam 90 hari terakhir.
Mengalami imunodefisiensi primer berat (misalnya
penyakit granulomatosa kronik atau imunodefisiensi
berat lainnya)
Gambaran klinis Mayor
Terdapat salah satu dari tiga kondisi berikut pada CT-scan:
lesi padat dengan atau tanpa halo sign, air-crescent sign
atau kavitas.
Minor
Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk,
nyeri dada, sesak napas, hemoptisis)
Pemeriksaan fisis terdapat pleural rub
Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai kriteria
mayor
Hasil mikologi Pemeriksaan langsung
Ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen
sputum BAL, bilasan bronkus, aspirat sinus
Pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan
Pemeriksaan tidak langsung
Aspergilosis: antigen galaktomanan terdeteksi
dalam plasma, serum, BAL atau LSS
Penyakit jamur invasif selain kriptokokus dan
zigomikosis: beta-glucan terdeteksi dalam serum
D. Penatalaksanaan1
Penatalaksanaan mikosis paru berkaitan erat dengan jenis jamur, status
imun pejamu, lokasi infeksi, kepekaan jamur terhadap obat, terapi antijamur
sebelumnya, penanganan sumber infeksi dan faktor risiko. Penatalaksanaan ini
terdiri atas medikamentosa dan bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan
memberikan obat anti jamur (OAJ), yang terdiri atas beberapa golongan obat:
polien, flusitosin, azol dan ekinokandin.
1. Golongan polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin dan natamisin.
Cara kerjanya adalah merusak membran sel jamur dengan cara berikatan
dengan ergosterol (komponen penting dinding sel), sehinga permeabilitas
selular meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang berakibat kematian jamur
(efek fungisidal). Saat ini golongan polien yang tersedia di Indonesia adalah
amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan nistatin.
2. Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida, Cryptococcus. Cara
kerjanya dengan mengganggu sintesis asam nukleat. Mudah mengalami
resistensi. Absorpsi oral baik, disekresi dalam urin. Obat ini terdistribusi baik
dalam SSP dan dapat dikombinasikan dengan amfoterisin-B untuk infeksi
jamur sistemik. Efek samping meliputi neutropenia, trombositopenia. Perlu
dilakukan pengawasan terhadap kemungkiman terjadinya gangguan fungsi
ginjal. Obat ini tidak tersedia di Indonesia.
3. Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol telah digunakan
dalam praktek klinis. Golongan azol diklasifikasikan menjadi dua kelas
berbeda:
a. imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan ketokonazol)
b. triazol (flukonazol, itrakonazol, vorikonazol dan posakonazol)
Cara kerja obat golongan azol adalah dengan mengganggu sintesis
ergosterol, suatu komponen penting dalam membran sel jamur. Efek ini terjadi
melalui penghambatan enzim lanosterol 14-alfa demetilase yang berperan
mengubah lanosterol menjadi ergosterol, sehingga terjadi gangguan struktur
dan fungsi normal membran sel. Selanjutnya pertumbuhan jamur akan
terhambat (efek fungistatik), meskipun beberapa penelitian in vitro
melaporkan efek fungisidal beberapa obat golongan azon pada dosis standar.
Obat golongan azol pada umumnya ditoleransi baik oleh tubuh. Efek
samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan gastrointestinal (mual,
muntah, diare), hepatotoksisitas. Obat golongan azol tidak boleh diberikan
pada perempuan hamil. Obat ini dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom
P-450, sekaligus merupakan inhibitor poten sitokrom P-450 yang
memungkinkan terjadinya interaksi dengan berbagai obat, misalnya
rifampisin, barbiturat, karbamazepin, statin.
4. Golongan ekinokandin
Ekinokandin merupakan antijamur golongan baru, cara kerjanya melalui
penghambatan sintesis enzim 1,2-beta-D dan 1,6-beta-D-glucan synthase.
Enzim itu penting dalam produksi glukan (komponen penting dinding sel
jamur) yang mengakibatkan ketidakstabilan osmotik sehingga sel jamur tidak
dapat mempertahankan bentuknya dan berujung pada kematian jamur. Glukan
tidak ditemukan pada dinding sel mamalia sehingga efek samping
ekinokandin terhadap sel manusia sangat sedikit. Semua golongan
ekinokandin memiliki keterbatasan bioavailabilitas oral dan hanya tersedia
dalam sediaan intravena.
Obat anti jamur dapat diberikan sebagai: terapi profilaksis, empiris, pre-
emptive (targeted prophylaxis), dan definitif.
1. Terapi profilaksis
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, tanpa tanda infeksi,
dengan tujuan mencegah timbulnya infeksi jamur. Terapi profilaksis biasanya
diberikan pada awal periode risiko tinggi terkena infeksi.
2. Terapi empirik
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, disertai tanda infeksi
(misalnya persisiten dengan neutropenia biasanya selama 4-7 hari) yang
etiologinya belum diketahui dan tidak membaik setelah tearpi antibiotika
adekuat selama 3-7 hari. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan
diagnosis possible.
3. Terapi pre-emptive (targeted prophylaxis)
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, disertai gejala klinis,
dan hasil pemeriksaan radiologi dan atau laboratorium yang mencurigakan
infeksi jamur. Terapi pre-emptive diberikan kepada pasien dengan diagnosis
probable
.
4. Terapi definitif
Pemberian OAJ kepada pasien yang terbukti (proven) mengalami infeksi
jamur sistemik.
Pembedahan merupakan terapi definitif aspergiloma. Pada pasien dengan
hemoptisis ringan dianjurkan bed rest, postural drainage atau terapi simtomatik
lain. Pada pasien dengan hemoptisis berulang atau hemoptisis masif, pembedahan
dilakukan dengan mempertimbangkan risiko/toleransi operasi. Jika toleransi
operasi tidak memungkinkan, dipertimbangkan embolisasi, atau pemberian OAJ
transtorakal-intrakavitas.
Lama terapi OAJ bersifat individual, tergantung kepada jenis
penyakit/infeksi jamur yang diderita pasien, berat-ringannya penyakit,
perkembangan penyakit selama terapi, serta jenis OAS yang diberikan. Evaluasi
pengobatan harus dilakukan untuk melihat respons terapo dan toksisitas yang
ditimbulkan OAJ. Evaluasi radiologi dilakukan setelah pemberian OAJ 2 minggu.
Evaluasi toksisitas obat dilakukan dengan melihat gejala klinis (mual, muntah,
ikterus, dll) dan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
Tabel 2. Respons terapi OAJ 1
Luaran klinis, respons Kriteria
Sukses
Respons komplit
Respons parsial
Membaik selama periode pengamatan, resolusi
semua gejala klinis dan kelainan radiologi, serta bukti
mikologi (eradikasi jamur).
Membaik selama periode pengamatan, perbaikan
gejala klinis dan kelainan radiologi, serta bukti
biakan jamur steril atau penurunan beban/jumlah
jamur yang ditentukan secara kuantitatif dengan
petanda laboratorium.
Gagal
Respons menetap (stable)
Progresif
Kematian
Membaik selama periode pengamatan, perbaikan
minor atau tanpa perbaikan dalam penyakit jamur,
tetapi tidak ada bukti progresif berdasarkan kriteria
klinis, radiologis dan laboratoris.
Bukti progresivitas penyakit berdasarkan kriteria
klonis, radiologis dan laboratoris.
Kematian dalam periode pengamatan oleh sebab
apapun.
Probable
CT-scan, induksi sputum, bronkoskopi (BAL), biopsi, TTNA, pemeriksaan mikologi
FR (+) Infeksi (-)inInfeksi (-)
Possible Proven
Terapi pre-emptiveProfilaksis Terapi empirik Terapi definitif
OAJ sesuai jenis jamur
Evaluasi toksisitas dan respons terapi
OAJ dilanjutkan 2 minggu setelah perbaikan klinis, radiologi dan mikologiOAJ sampai faktor risiko teratasi >> 3-4 minggu
(+) (-)
Terapi OAJ
Usahakan tatalaksana invasif minimal (kevemostomi, kavemoplasti)
CT-Scan, pemeriksaan lain termasuk pemeriksaan mikologi (konfirmasi jamur).Operasi (bila mungkin) +OAJ
Bila operasi tidak mungkin
OAJEvaluasi respons
Gejala, faktor risiko
FOTO TORAKSFungus ball Lesi lain
E. Algoritma Penatalaksanaaan Mikosis Paru1
DAFTAR PUSTAKA
1. Rozaliyani A, Jusuf A, Hudoyo A, Nawas A, Syahruddin E, Burhan E, et al.
Mikosis Paru. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011.
2. Tanjung A, Keliat EN. Penyakit Paru Karena Jamur. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, 2009. h. 2267-
73.
3. Davies SF, Knox KS, Sarosi GA. Fungal Infection. Dalam: Mason RJ, Murray
JF, Broaddus VC, Nadel JA (editor). Murray and Nadel’s Textbook of
Respiratory Medicine. 4th ed (e-book). Philadelphia: ElSevier Saunders. 2005.
4. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI.
Aspergillus, Candida, and Other Opportunistic Mold Infections of the Lung.
Dalam: Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders, 4th edition (e-book).
New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008: h. 2291-2321.