Makalah Penegakan Hukum Dahlan
-
Upload
walidibnurusdi -
Category
Documents
-
view
975 -
download
0
Transcript of Makalah Penegakan Hukum Dahlan
Makalah Penegakan Hukum Baru
Januari 14, 2009 oleh makalahhukum
PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI PELUANGMENCIPTAKAN KEADILAN
PENDAHULUAN Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitaskehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum,pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antaraberbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan –kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telahdisepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapatsemata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukumsebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakanhukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapattersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensiperilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapatmengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalumenonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in thebooks”.Pada saat ini dapat mengamati, melihat dan merasakanbahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidakmenggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparatpenegak hukm dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafiaperadilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD dikalangan birokrasi. Dafatar ketidakpuasan masyarakat dalampenegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membukakembali lembaran – lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret diPapua dan lain-lainnya.Pengadilan yang merupakan representasi utama wajahpenegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanyakepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial danpemberdayaan sosial melalui putusan – putusan hakimnya.Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukumdiatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaanmasyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakatterhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir.Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporanatau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukumkita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kitasemua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadapwibawa hukum.Bagaimana juga masih banyak warga masyarakat yang tetapmenghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan.Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila masyarakatmempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan tersebut. Adanyapenilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum /pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosialmasyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosiallingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakatmempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yangdipandang bertentangan dengan nilai – nilai keadilan hidup dantumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnyaopini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnyacitra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakatakan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakatkebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.
SUMBER WIBAWA HUKUMDalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanyaditerjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadilisecara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata.Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran parapenegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang,itulah yang akan menjadi hukumnya.Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakanhukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasakeadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum.Proses mengadili – dalam kenyataannya bukanlah proses yuridissemata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang – undang, melainkan proses yangmelibatkan perilaku –perilaku masyarakat dan berlangsung dalamstruktur sosial tertentu. Penelitian yang telah dilakukan oleh MarcGalanter di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatuputusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari
kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektifsosiologis, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multifungsi dan merupakan tempat untuk ”record keeping”, ”site ofadministrative processing”, ”ceremonial changes of status”,”settlement negotiation”, ”mediations and arbitration”, dan warfare. Produk dari pengadilan adalah putusan hakim. Dari sinilahawal dapat dibangunnya wibawa hukum. Dalam putusan hakim,wibawa hukum dipertaruhkan. Para petinggi hukum tidak perluberteriak-teriak minta kepada masyarakat agar menghormatipengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupunMA membuat putusan yang bermutu tinggi, maka rasa hormat ituakan datang dengan sendirinya.Kiranya masyarakat dapat memberikan penilaian tersendiriterhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwamenegakkan wibawa pengadilan tidakkah semudah membaliktelapak tangan. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakanwarisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalamprakteknya. Sisa-sisa perilaku sebagai bangsa terjajah masihtampak di kalangan para hakim. Sebagai contoh, sampai saat inikita masih bisa melihat digunakannya Osterman Arrest dari HogeRaad Belanda sebagai contoh tentang Perbuatan Melawan Hukum(PMH). Dari sisi ini setidaknya kita dapat melihat adanya tiga hal,yaitu : pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diriuntuk mengutip yuriprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia.Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yangdapat dianggap berkualitas kasus itu. Ketiga, menganggapyuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.Munculnya kritik-kritik terhadap keberadaan lembagaperadilan tidak lain karena peradilan kita tidak dapat memberikanpengayoman kepada warg masyarakat. Putusan pengadilan yangdiharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yangterganggu tidak dapat terpenuhi. Adanya isu mafia peradilan,keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang),KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara,tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan ”produksampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilanmasyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukumyang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilanyang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis.
Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengembantujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dankemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untukmenuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat,maka pengadilan harus senantiasa mengedapkan empat tujuanhukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalandengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu ”hukumuntuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demiian, pada akhirnyatidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum danKetertiban) tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice(Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilandan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya lembagapengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilansebagai pengayom masyarakat.
MEMBUDAYAKAN PERILAKU ANTIKORUPSIDalam 10 tahun terakhir, gelombang perubahan yangmenakjubkan telah terjadi di Indonesia. Pemerintah telah memilihjalan untuk melaksanakan program desentralisasi secara besar-besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsunguntuk memilih presiden, gubernur, bupati, dan walikota. Hal iniharuslah dilihat sebagai proses transisi secara damai dari rezimotoriter kepada rezim demokrasi yang diikuti pula dneganperubahan – perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untukdikaji. Korupsi bukanlah sesuatu yang khas Indonesia. Hampir dikebanyakan negara korupsi selalu terjadi. Korupsi merebak hampirdi semua negara di dunia baik negara industri maupun negaraberkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasionalmenunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korupdi dunia. Dalam bidang pemberantasan korupsi, skor Indonesiahanya sejajar dengan Nigeria dan Bangladesh dan tertinggal jauhapabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia.Hasil survei ini mencerminkan transparansi yang lebih besarmengenai korupsi di Indonesia dan menunjukkan bahwamasyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.Masyarakat mengakui bahwa korupsi secara objektif terjadi diberbagai sektor dan masyarakat juga berpendapat bahwa korupsimerupakan kejahatan yang harus dibasmi. Korupsi merupakanancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi di Indonesiakarena korupsi melemahkan kemampuan negara untuk
menyediakan barang – barang publik dan mengurani kredibilitas negara di mata rakyat. Dalam jangka panjang korupsi merupakanancaman bagi keberlangsungan demokrasi.Survei nasional yang dilaksanakan oleh Partnerhip forGovernance Rerofm in Indonesia menyajikan sumber informasiyang kaya tentang persepsi 2.300 rumah tangga, pejabat publik danpengusaha. Hasil survei mengungkapkan bahwa 75 % respondenberpendapat bahwa korupsi sangat lazim di sektor publik. Disamping itu, 65 % rumah tangga melaporkan telah mengalamisecara langsung dan 70 % responden melihat korupsi sebagai“penyakit yang harus diberantas”. Survei juga mengungkapkantingkat kemarahan publik dan kemuakan terhadap korupsi. 80 %responden menghendaki agar pejabat-pejabat yang korupdipenjarakan dan disita kekayaannya. Sebagian kecil respondenmenghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaristidak ada dukungan untuk memberikan amnesti atau tumpanganbagi pelaku korupsi di masa lalu.Survei tersebut menawarkan tiga temuan yang signifikan.Pertama, orang tidak terlalu percaya pada lembaga – lembaganegara. Lembaga-lembaga yang dianggap paling paling koruptermasuk di sektor peradilan (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaandan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (DinasPabean dan Instansi perpajakan), Departemen Pekerjaan Umumdan Bank Indonesia. Kedua, lembaga – lembaga yang dirankingpaling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa.Ketiga, survei tersebut memberi wawasan terhadap penyebab-penyebab aktual di Indonesia. Walaupun hasil survei menunjukkakepercayaan yang kuat bahwa korupsi disebabkan oleh gajipegawai yang rendah, rendahnya moral perorangan, serta tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisisdata yang cermat menunjukkan bahwa empat variabel tersebutberkorelasi dengan manajemen bermutu tinggi, nilai – nilaiorganisasi yang anti korupsi, manajemen kepegawaian bermututinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak jaman VOC,pemberantasan korupsi diyakini akan sulit dilakukan karena akanmenentang kepentingan – kepentingan kelompok yang kuat,terorganisasi secara rapi dalam kelompok – kelompok yang salingmenguntungkan. Terjadinya distorsi – distorsi secara sistematisdalam struktur yang menghalalkan sistem insentif sehingga mampumengubah cara pengambilan keputusan masyarakat sehingga
mengubah pula perilaku masyarakat yang bebas korupsi akantergambar suasana sebagai berikut : (1) Birokrasi sebagai pelayanpublik merasa bertanggung jawab atas pelayanan mereka, merasatakut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkantakut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkaninsentif resmi karena bertindak jujur. (2) Masyarakat menganggapaturan – aturan akan ditaati sehingga masyarakat memposisikanperilakunya dalam kerangka peraturan tersebut. (3) Masyarakattidak perlu membayar insentif tidak resmi (komisi, suap, uangpelicin) karena mengetahui bahwa tanpa membayar pun akandilindungi hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yangberkualitas.
Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa upaya untukmembangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu yang lama dankomitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terusmenerus dari masyarakat dan media massa. Oleh karena itumengharapkan Indonesia mampu memberantas korupsi danmembudayakan perilaku antikorupsi dalam waktu singkat, adalahharapan yang berlebihan. Dibutuhkan waktu yang lama melaluiproses yang disebut oleh Peter L Berger sebagai prosesinternalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.Indonesia menemukan momentum untuk memulai perangmelawan korupsi dengan dilakukan perubahan mendasar dalambidang ketatanegaraan yang memungkinkan dilaksanakannyapemilihan umum yang jujur, bebas, adil dan pemilihan langsungpresiden pada tahun 2004. Hal ini membuat presiden dan anggotaparlemen lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan kepaladaerah secara langsung sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004tentang pemerintahan daerah akan meningkat akuntabilitas ditingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para pemegangkekuasaan publik lebih berhati – hati karena masyarakat menuntutakuntabilitas yang lebih besar sebagai imbalan dari suara yangdiberikan pada saat pemlilihan kepala negara dan kepala daerah.Pergeseran dalam pemilihan kepala daerah di Indonesiaharuslah dilihat sebagai peluang untuk membangun perilaku barudalam penciptaan sebagai peluang untuk membangun perilaku barudalam penciptaan keadilan dan pemberantasan korupsi melaluikontrak politik antara calon kepala daerah dan konstituennya. Daritahun 2005 sampai dengan tahun 2009 akan terjadi pemilihan 33Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Oleh karena itu perubahan sistem ketatanegaraan ini
haruslah dijadikan sebagai momentumuntuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalamkelengkapan pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untukmemerangi korupsi dan membangun perilaku antikorupsi. Pranatahukum ini bersumber dari Ketetapan MPR bulan Oktober 1999 yangmenetapkan sebagai tujuan reformasi yaitu suatu aparat negarayang berfungsi dalam penyelenggaraan jasa kepada rakyat yangprofesional, efisien, produktif, transparan, dan bebas dari kolusi,knrupsi dan nepotisme. Pranata hukum lainnya adalah UU Nomor.28 tahun 1999 tentang pemerintah yang bersih dan bebas KKNyang mengharuskan pejabat-pejabat publik mengumumkan hartakekayaannya dan menyetujui audit secara berkala, UU Nomor 31tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yangmendefinisikan secara lebih luas tentang pidana korupsi danmenetapkan gugatan dan prosedur penuntutan, dan amandemenUU tersebut melalui UU Nomor 2 tahun 2001 yang meletakkanbeban pembuktian kepada terdakwa. Selain itu juga sudahdiundang-undangan UU tentang Pencucian Uang dan UU Nomor 30tahun 2002 tentang Komisi Anti Korupsi. Dari segi pengelolaankeuangan negara telah pula diundangkan UU Nomor 17 tahun 2003tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentangPerbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentangTatacara Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban KeuanganNegara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pranata hukum diIndonesia sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasankorupsi di Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukanpemerantas-an korupsi dan membangun perilaku anti korupsi. Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensionaldalam penegakan hukum seperti kejaksaan dan kepolisian, telahpula dibentuk komisi ombudsman nasional yang bertugasmenangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) yang bertugas secara khusus untuk menangkap danmemeriksa pelaku korupsi dan pusat pelaporan dan analisistransaksi keuangan (PPATK) yang bertugas untuk memantautransaksi yang mencurigakan dan melaporkan transaksi tersebutkepada Jaksa Agung.
PENUTUPHaruslah disadari benar bahwa upaya menegakkan hukumtidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang
sekarang menimpa lembaga hukum hanyalah satu proses untukmenuju terciptanya wibawa hukum. Sikap mawas diri merupakanlangkah terpuji yang seyogyanya dibarengi dengan upaya-upayayang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum mulaikejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan organisasi penasehathukum. Sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukummelakukan : Pertama, evaluasi berkesinambungan atas semuaprogram dan kebijaksanaan yang sudah dicanangkan, agar dapatmengurangi kendala yang dihadapi ; Kedua, klarifikasi kasus-kasusbesar yang diputuskan oleh pengadilan, sehingga masyarakatmengetahui secara jelas pertimbangan hukum dan dasar-dasarhukum yang digunakan. Ketiga, adalah reorientasi visi dan misilembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia dibidang hukum mutlak perlu. Di dalam era global seperti sekarang ini, dengan perubahan sosial yang begitu cepat, aparat penegakhukum harus tanggap dan melakukan penyesuaian diri denganmeningkatkan kemampuan. Adanya perbedaan penafsiran bunyisuatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang samaterhadap suatu konstruksi hukum akan sangat mendukungkeberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaanpersepsi antar aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, danPengacara) harus dikembangkan sejak dini. Pembenahan palingdini dapat dimulai dari sistem rekrutmennya. Seperti yang kitaketahui, rekrutmen untuk jabatan-jabatan inti dalam hukum sepertihakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukumyang sangat bervariasi mutunya. Pada umumnya dapat dikatakanbahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksabukanlah lulusan yang terbaik. Seleksi pelamar terutama yangmenyangkut tentang kemahiran, pengetahuan, dan kemampuanhukum tidaklah ketat.Di negara maju, untuk seleksi jabatan hakim, jaksa, danadvokat benar-benar memperhatikan mutu pengetahuan,kemahiran, dan kemampuan hukum. Seleksi untuk memperolehjabatan inti ini sangat ketat. Di Jepang, hakim, jaksa, dan advokatharus mengikuti pendidikan khusus setelah mereka lulus dari
Ke dua
Penegakan hukum, bicara soal penegakan hukum di Indonesia, pikiran kita tentu masih teringat sebuah sindiran yang menjadi “guyonan” umum sehari-hari, bahwa koruptor kelas kakap yang korupsi milyaran bahkan trilyunan begitu gampangnya dibebaskan dari dakwaan, masih bisa berkeliaran dengan bebas,
rekreasi ke luar negeri, masih bisa jalan-jalan di tempat hiburan, bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan “enjoynya”. Padahal mereka jelas-jelas mencuri uang Negara, pengkhianat amanah 200 juta penduduk Indonesia, tapi kenapa seolah-olah hukum “sangat bersahabat” dan menjadi “kaki tangan” mereka. Sementara pencuri ayam, pencuri semangka, pencuri jagung bisa terkena dan terancam hukuman tiga bulan penjara bahkan lima tahun penjara padahal mencurinya karena untuk mempertahankan hidupnya. (temporaktif.com 2009/12/08; Prasaja.web.id).Kita juga masih ingat bagaimana kasus upaya kriminalisasi terhadap KPK dan kasus Prita yang makin menunjukkan potret penegakan hukum di Indonesia masih suram, masih jauh dari ketidakberpihakan dan masih jauh dari tujuan hukum itu sendiri yaitu menciptakan keadilan. Bukan tidak mungkin kasus-kasus lain pun sebenarnya banyak yang seperti itu. Mungkin kebetulan kasus ini saja yang baru terungkap ke masyarakat. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tersurat dalam sila ke-5 pancasila seolah-olah hanya menjadi slogan tidak mengaplikasi pada kehidupan bangsa ini..Kebijakan Pemerintah dan Kondisi FaktualBanyak kasus korupsi di Indonesia yang sampai saat ini tidak jelas kapan akan selesainya, seperti kasus BLBI (Rp 138,4 T), HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young(Rp 15,025 T), Korupsi di BAPINDO(Rp 1,3 T), dan yang baru-baru ini kasus BANK Century (Rp 6,7 T)yang begitu “njelimet penyelesaiannya” dan masih banyak lagi kasus-kasus yang belum selesai (forum.vivanews.com).Kita mengetahui bersama pemerintahan SBY-Boediono telah mengeluarkan program 5 tahunnya dan juga program 100 harinya yang berakhir tanggal 31 januari, telah berkomitmen menyelesaikan masalah korupsi dan kasus penegakan hukum yang menyangkut mafia hokum, tetapi bagaimana hasilnya di lapangan?? Maka disini perlu pengawalan agar program ini tidak hanya omong kosong dan perlu adanya evaluasi bagaimana program ini dijalankan, apakah realita yang ada dilapangan sama dengan apa yang di upayakan???. Peran Mahasiswa Peran mahasiswa sebagai moral force dan social control disini harus benar-benar dijalankan dalam rangka upaya penegakan hukum di Indonesia, bagaimana posisi mahasiswa yang begitu krusial sebagai kaum intelektual yang mampu menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah tidak boleh disia-siakan demi egoisme dan individualisme semata. Banyak rakyat yang membutuhkan suara-suara kita, tapi apakah kita mau bersuara untuk mereka ??? tergantung apakah kepedulian terhadap orang lain itu masih ada atau ditelan hedonisme…….
Ke tiga
perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informatika di era globalisasi bukanlah suatu hal yang fiktif melainkan sudah menjadi kenyataan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk. Penyebaran informasi telah melintasi batas-batas wilayah dan perbedaan waktu sudah tidak lagi memisahkan manusia. Dengan kemajuan dan perkembangan telekomunikasi multimedia, ruang lingkup dan kecepatan komunikasi lintas batas meningkat, ini berarti masalah hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi dan penegakan serta pemilihan hukum yang berlaku terhadap suatu sengketa multi-yurisdiksi akan bertambah penting dan konfleks
Pemanfaatan teknologi tersebut telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat, karena berbagai informasi dapat disajikan melalui hubungan jarak jauh dengan mudah dapat diperoleh. Mereka yang ingin mengadakan transaksi tidak harus bertemu muka face to face, cukup melalui peralatan komputer dan telekomunikasi.
Fenomena perdagangan dengan kecangihan teknologi yang dikenal dengan internet (electronic commerce yang disingkat dengan e-commerce ) hanyalah salah satu bentuk dari perubahan perilaku masyarakat yang timbul akibat revolusi teknologi informasi.
Kita memang tidak dapat membantah bahwa penerapan teknologi informasi akan menimbulkan berbagai perubahan sosial. Karena itu perlu untuk diperhatikan bagaimana upaya melakukan transformasi teknologi dan industri dalam mengembangkan struktur sosial yang kondusif. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dan peranan hukum, upaya pengembangan teknologi tidak saja kehilangan dimensi kemanusiaan tetapi juga menumpulkan visi inovatifnya.
Peranan hukum diharapkan dapat menjamin bahwa pelaksanaan perubahan itu akan berjalan dengan cara yang teratur, tertib dan lancar. Perubahan yang tidak direncanakan dengan sebuah kebijakan hukum acap kali akan menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat. Di sinilah hukum akan berfungsi dalam menghadapi perubahan masyarakat.
Untuk menjerat pelaku kejahatan melalui internet, Tim penyusun RUU KUHP Baru juga telah berusaha memasukkan pasal-pasal baru untuk menghadapai masalah cyber crime yaitu Pasal 188 untuk data komputer, Pasal 189 untuk terminal komputer, Pasal 190 untuk akses ke system komputer dan Pasal 191 tentang jaringan telepon yang termasuk jaringan komputer (Mardjono Reksodiputro, 2001:3).
Menurut Heru Soepraptomo (2001:4) tim interdep juga pernah berencana menyisipkan satu dua pasal dalam KUHP dengan harapan agar pasal-pasal tersebut dapat dioperasionalkan dalam menghadapi kejahatan komputer. Namun rencana itu belum kunjung direalisasi, padahal dengan berkembangannya pemakaian internet, e-commerce, e-business, e-banking untuk pelbagai kepentingan sudah mendesak agar dapat dilakukan langkah-langkah yang kongkrit. Langkah-langkah ini merupakan hal yang penting untuk penegakan hukum terhadap cyber crime. Jika kita lihat dalam peraturan perundang-undangan yang konvensional, maka perbuatan pidana yang dapat digunakan dibidang cyber crime adalah; penipuan, kecurangan, pencurian dan perusakan, yang dilakukan secara langsung (dengan menggunakan bagian tubuh secara fisik dan pikiran)
Ke empat
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
1. Undang-undang tidak berlaku surut.
2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
3. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.
6. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut:
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
3. Yang kurang-ditambah.
4. Yang macet-dilancarkan.
5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa
baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka & Soerjono soekantu):
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Ke lima
Orang dapat menganggap lain atas istilah krisis penegakan hukum itu dan memberi tekanan pada
faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari hukum. Namun untuk mencapai
supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak
hukum juga sangat berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja.
Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih
belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat. Pengadilan sebagai
institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat memberikan rasa puas bagi masyaralat
bawah. Buktinya para koruptor milyaran bahkan triliunan rupiah masih berkeliaran dialam bebas,
bolak-balik keluar negeri, hiburan kemana saja bisa dilakukan. Padahal mereka jelas-jelas korup
uang negara. Bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa
melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan kalau kita lihat ke bawah pencuri, jambret,
perampok kecil-kecilan yang terpaksa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
mempertahankan hidupnya harus dihajar dan dianiaya dalam proses penyidikan dikepolisian.
Dan memang ini adalah merupakan kejahatan dan melanggar hukum, tetapi kalau dibandingkan
dengan para koruptor (penjahat kera putih) yang hanya dapat dilakukan orang diatas dapat begitu
saja lepas dari jeratan hukum. Dan ini adalah faktor aparat penegak hukumnya yang belum
mampu menegakan supremasi hukum. Kepolisian sebagai aparat yang berhubungan langsung
dengan masyarakat dan mempunyai tugas sebagai pelindung dan pengayom, menjadi tugas yang
disampingkannya. Polisi ditingkat sektor terutama, dengan uang tebusan dari keluarga seorang
penjahat atau yang sudah mempunyai status tersangka bisa keluar dan tidak diproses sesuai
dengan hukum yang berlaku, padahal sebenarnya sudah sangat jalas didalam KUHAP, yang nota
bene hukum produk manusia ini menekankan bahwa perkara pidana adalah perkara yang tidak
mengenal Winwin solution , seperti dalam perkara perdata. Dalam contoh di atas membuktikan
ketidak profesional atau polisi yang hanya mencari duit lewat pemerasan saja. Bukti tersebut
banyak sekali penulis dapat memberikan fakta. Kasus serupa tidak hanya dilakukan oleh pihak
kepolisian saja tetapi di tingkat pengadilan pun ada, seperti dalam kasus asuransi jiwa manulaif,
ketidak profesionalan polisi dan hakim ini disebabkan karena moral dan pendidikannya yang
tidak baik. Kesalahan moral tidak seperti kesalahan seperti salah tendang dalam permainan sepak
bola atau salah tamplek dalam bulu tangkis tetapi kesalahan moral adalah kesalahan dari hati
yang paling dalam/luhur dan di pertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memanglah sulit untuk mencari orang yang mempunyai moral yang baik sekarang ini, mungkin
disebabkan kerena keadaan ekonominya. tetapi penulis mempunyai gagasan bahwa moral akan
terbentuk dengan berdasarkan Agama sebagi keyakinan bukan Ilmu, jadi berprilaku secara
agama dan berfikir secara ilmu, dari segi pendidikan para aparat penegak hukum sekarang ini
juga belum menunjukkan kepintarannya, penulis mempunyai gagasan bahwa untuk memperbaiki
aparat penegak hukum di Indonesia khususnya hakin dan jaksa, perlulah bangsa ini mempunyai
lembaga/ konstitusi yang jelas berdasarkan aturan yang jelas pula. Kekecewaan atau ketidak
puasan pencari keadilan dapat kita lihat dalam setiap kasus yang masuk dan diproses didalam
pengadilan (kasus Perdata) atau banyaknya para pihak yang berperkara di pengadilan yang
setelah diputus oleh hakim pengadilan tingkat pertama, melakukan upaya hukum, (banding,
kasasi, peninjauan kembali) ini membuktikan bahwa setiap keputusan di pengadilan belum dapat
memberikan rasa adil dan puas. Dan walaupun memang setiap orang berhak untuk melakukan
upaya hukum sesuai peraturan yang berlaku.
(Disampaikan dalam diskusi interaktif Unit Pengabdian dan Studi Hukum Fakultas Hukum UJB
Yogyakarta koordinator devisi pengabdian dan advokasi hukum UPSH FH UJB)
Berbagai macam Undang-Undang telah di syahkan, direvisi dan di berlakukan KUHP,
KUHPerdata dan peratuaran lain di Indonesia yang peningglan kolonial sudah tidak cocok lagi
untuk jaman sekarang ini. Dan untuk mengatasinya. pemerintah khususnya legislatif sudah
Undang-Undang tersebut. Didalam hasil revisi ternyata memang telah direvi namun benar juga
walaun hasinya maksimal namun kalu kita lihat secara rasional aturan yang dibuat oleh manusia
dan untuk diberlakukan untuk manusi memang harusbersumber dari sesuatu dimana hukum itu
dari pembuat aturan hukum sejati, lain tidaklain adalah sang pembuat hukum sejati itu adlah
Allah Aza wa Jalla.
Kalau telaah lebih dekat lagi krisis penegakan hukum yang telah menjamur terjadi di
indonesia ini. Dari berbagai kasus dari tingat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada
keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk
kalangan yang berduit. Yang tidak mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum
walaupun dia benar. Kalau dilihat dari struktur Negara kita Indonesia adalah negara hukum tapi
kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertayaan yang selalu muncul dalam benak kita.
Krisis Penegakan hukum telah menjamur dinegeri ini, mungkin ironis sekali jika hal ini
menjadikan negara kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum dan banyak miskin dalam
hal lain lagi. Hal ini dikarenakan landasan berpijak hukum kita adalah hukum Kolonial yang
penuh dengan bentuk diskriminasi dan celah. Tak dapat disanggkal lagi penyebab krisis hukum
ini kalau kita kaji lebih mendalam adalah diterapkanya hukum-hukum buatan manusia yaitu
hukum Kolonial produk zaman belanda yang sudah tak relevan lagi seperti KUHP (Kitab
Undang_Undang Hukum Pidana), KUHPerdata (Kitab Undang_Undang Hukum Perdata).
Penyebab krisis hukum ini adalah tidak diterapkanya hukum-hukum yang bersumber dari
Allah dan didak adanya institusi yang sempurna yang mengatur segala permasalahan hukum di
Negara kita ini, serta tidak adanya pemimpin yang menerapkan aturan-aturan yang merujuk dari
suatu aturan yang sempurna yaitu ISLAM. Jelas yang terjadi penyimpangan dalam penegakan
hukum itu sendiri. Karena hukum di Indonesia ini produk dari manusia. Sehingga pembuat
hukum biasa yang menguntungkan si pembuat hukum itu sendiri. Jadi krisis penegakan hukum
saat ini tidak lain hanya bentuk dari kecerobohan manusia itu sendiri yang diberi hak untuk
membuat hukum/ aturan. Karena hak yang membuat hukum hanya milik Allah.
Solusi praktis dalam penerapan hukum ini hanya satu yaitu kembali pada aturan dari si
penguasa manusia itu yaitu hukum Allah. Dan tiada orang lain yang akan menerapkan hukum
Allah ini adalah pemimpin yang didedikasikan sebagai orang yang akan menerapkan hukum dari
Allah itu sendiri yang berupa AL-QURAN dan AL-HADIST. Maka diperlukan pemimpin yang
tahu tentang penerapan hukum-hukum Allah. KHILAFAH adalah pemimpin itu, Daulah
Khilafah bentuk negaranya. secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan
Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin dan non muslimin
di dunia untuk menegakkan hukum-hukum yang bersumber dari sang penguasa jagat raya ini
yaitu Syariat Islam. (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Karena
hanya dengan hukum ini dunia akan sejahtera apalagi hanya untuk negara indonesia ini. Sejarah
membuktikan idiologi kapitalisme dan sosialis komunis telah gagal dalam membangun
masyarakat yang makmur di muka bumi ini. apalagi sosialis komunis yang telah turun dalam
pentas dunia yang telah mengalami kegagalan dalam mensejahterakan rakyatnya dengan sistem
kolektifnya yang sebenarnya hanya untuk orang-orang tertentu. Kapitalisme baru kira-kira 80
tahun memimpin dunia ini telah membawa masyarakat ini ke dalam keterpurukan diberbagai
bidang, dari bidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan sosial budaya dan khususnya untuk
aspek hukum itu sendiri. Kesenjangan yang teramat dalam terjadi di negara yang kaya ini. Ada
pepatah “ tikus mati dilumbung padi” artinya dinegeri kaya dengan berbagai kekayaan namun
kekurangan pangan bahkan mati kelaparan, sangat ironis sekali hal ini bisa terjadi.
http://cana23.multiply.com/journal/item/9
http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-penegakan-hukum-di-indonesia/
http://makalahhukum.wordpress.com/2009/01/14/makalah-penegakan-hukum-baru/
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1989, Perkembangan Pemikiran tentang PembinaanHukum Nasional, Jakarta, Akademika Presindo.
Adamson, Walter L., 1980 Hegemony and Revolution : A Study ofAntonio Gramsci’s Political and Culture Theory. Berkeley,University of California Press.
Darmaputera, Eka, 1997, Pancasila, Identitas dan Modernitas,Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Glenn, H Patrick, 2000. Legal Traditions of The World, OxfordUniversity Press.