Makalah Optimalisasi Peran Parpol Dalam Mengembalikan Kepercayaan Rakyat
-
Upload
rifki-alfauzi -
Category
Documents
-
view
44 -
download
2
description
Transcript of Makalah Optimalisasi Peran Parpol Dalam Mengembalikan Kepercayaan Rakyat
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perebutan tahta kekuasan yang marak dilakukan di berbagai daerah di
Indonesia, membuat catatan buruk bagi demokrasi di Negara ini, bukan hal yang
baru ketika momentum pemilihan umum sedang mendekati masanya, banyak dari
elit politik yang mencoba untuk membersihkan dirinya di tengah masyarakat,
dengan melakukan banyak kegiatan social serta langsung turun menyapa
masyarakat sudah hal yang biasa terlihat, sehingga dalam kesempatan tersebut
dirinya berlaku bah seorang Malaikat yang hanya berfikir dan berusaha untuk
membuat kebaikan serta berbuata kemuliaan dan tanpa kenal balas budi, hal
pencitraan yang begitu sempurna dimata masyarakat selalu dipertontonkan.
Namun dibalik itu semua Individu yang diharapkan dalam masyarakat yang
langsung terlibat dalam pemilihan umum (pemilu) diharapkan sebagai targetan
utama.
Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan
arah kepemimpinan negara atau daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi
mendapat perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu
yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan
sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan
yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan
salah satu sarana legitimasi kekuasaan.
Selanjutnya dalam proses Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis
apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat
kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, pemilu
yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian pemilu harus diselenggarakan
secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, pemilu harus inklusif,
artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk
berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan
secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilih harus diberi
2
keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya
dalam suasana bebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi
yang luas. Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen.
Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam
sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional
dan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan
nasional dan daerah melalui pemilu membuktikan keberhasilan partai politik
sebagai pilar demokrasi.
Penyelenggaraan pemilu tahun 2004 dinilai cukup berhasil oleh banyak
kalangan, termasuk kalangan internasional. Dengan gambaran ini dapat dikatakan
bahwa sistem perpolitikan nasional dipandang mulai sejalan dengan penataan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya mencakup penataan partai
politik.
Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem
perpolitikan nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
dinamis dan sedang berubah. Jika kapasitas dan kinerja partai politik dapat
ditingkatkan, maka hal ini akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas
demokrasi dan kinerja sistem politik. Oleh karena itu, peran partai politik perlu
ditingkatkan kapasitas, kualitas, dan kinerjanya agar dapat mewujudkan aspirasi
dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi.
Setelah dilihat dalam kenyataan dilapangan secara umum, bangsa Indonesia
masih belum mampu keluar dari krisis multidimensi yang dihadapinya. Proses
reformasi memang telah mengantarkan Indonesia pada perubahan-perubahan
signifikan menuju Indonesia yang maju dan demokratis. UUD 1945 sebagai
konstitusi negara telah mengalami proses amandemen selama empat kali dan
menghasilkan perubahan-perubahan yang mendasar.
Pembatasan masa jabatan presiden dan pemilihan presiden secara langsung,
pencantuman pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, checks and balances antar
cabang kekuasaan negara di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, otonomi
daerah, penghapusan fungsi politik militer, profesionalisasi kepolisian, upaya
penguatan kedaulatan rakyat melalui pemilihan secara langsung, dan seterusnya
3
adalah contoh dari perubahan-perubahan di bidang sistem politik dan
ketatanegaraan.
Setelah dikaji, ternyata demokrasi yang terjadi serta fungsi dan peran partai
politik untung mengantarkan bangsa ini kearah demokrasi banyak disalah
gunakan, dalam kesempatan ini penulis menyorot kembalikan Demokrasi yang
sebenarnya dan optimalkan peran dan fungsi partai politik sebagai wadah aspirasi
rakyat untuk menyarakan kepentingan serta masalah yang dihadapinya, sehingga
penulis mengambil judul makalah ini dengan “Optimalisasi peran parpol dalam
mengembalikan Kepercayaan Rakyat”.
1.2 Rumusan masalah
Adapun permasalahan yang terdapat dalam makalah ini
1. Praktek Money politik yang sering Terjadi dalam Proses PEMILU
2. Partai Politik Sudah Bergeser Nilai
3. Keprcayaan Masyarakat Mulai Terkikis Terhadap Pemilu
1.3 Tujuan pembahasan
Dengan pembahasan yang dilakukan terhadap ketiga masalah diatas
diharapkan, praktek demokrasi kembali berjalan sebagaimana mestinya, dan
diharapkan mampu melekukakan perubahan atas lahirnya seorang pemimpin yang
ideala dengan proses pemilihan yang dekmokratis, serta pemikiran masyarakat
terhadap partai politik kembali menuai mamfaat sebagai wadah aspirasi rakyar
dalam mengeluarkan aspirasinya, serta problematika masyarakat yang tergolong
kea rah golput bias teratasi, dan kepeercayaan masyarakan untuk mengikuti proses
serta demokrasi bias berjalan sesuai perintah Undang-undang, dan menghasilkan
pemimpin yang diidamkan masyarakat serta memperoleh pemimpin yang lahir
dari perta deokrasi yang mempunyai dan menerapkan azas LUBER JURDIL
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Partai Politik
Dalam hal ini Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan
pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat
merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses
politik, Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik
(kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik
berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di
pihak lain. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi
yang secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan Pemerintah,
keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham
demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.
Sudah banyak definisi yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai pengertian
Partai Politik tersebut.
Definisi-definisi tersebut antara lain :
Beberapa sarjana mengemukakan tentang deenisi dari partai politik yakni :
Carl J. Friedrich: Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan
tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materiil.
R.H. Soltou: Sekelompok warganegara yang sedikit banyak terorganisir, yang
bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasaan
memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan
umum mereka.
Sigmund Neumann: Organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar
persaingan melawan golongan atau golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
Miriam Budiardjo: Suatu kelompok yang terorganisir yang anggotaanggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan
5
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan
cara konstitusional guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, kita dapat melihat adanya
"benang merah" hubungan pengertian antara pendapat yang satu dengan yang
lain, yaitu bahwa tujuan Partai Politik itu didirikan adalah untuk merebut ataupun
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan guna melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah digariskan oleh masing-masing Partai
Politik. Untuk merebut dan mempertahankan penguasaannya di dalam
Pemerintahan tentunya dilakukan secara konstitusional.
Hal ini berarti keberadaan Partai Politik juga dimaksudkan sebagai sarana
untuk meredam konflik kepentingan ataupun persaingan yang muncul di
lingkungan masyarakat dalam mempengaruhi pemerintahan. Oleh sebab itu, tidak
ada salahnya jikalau Keberadaan partai Politik di negara modern dipergunakan
untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih beradab. Hal ini
mengingat sebelum dikenal adanya paham mengikut sertakan rakyat dalam sistem
politik, perebutan kekuasaan selalu dilakukan dengan cara kekerasan. "Kasus Ken
Arok " dalam sejarah Indonesia merupakan contoh yang dapat dipergunakandisini.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka pada hakikatnya
Partai Politik adalah suatu kelompok manusia yang terorganisir secara teratur baik
dalam hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekruitmen keanggotaan, dengan
tujuan pokok yakni menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaannya
dalam pemerintahan secara konstitusional.
2.2 Tujuan Partai politik
Setiap organisasi yang dibentuk oleh manusia tentunya memiliki tujuan-
tujuan tertentu. Demikian pula organisasi yang disebut Partai Politik. Tujuan
pembentukan suatu Partai politik, disamping yang utama adalah merebut,
mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara
- juga dapat diperlihatkan dari aktivitas yang dilakukan. Rusadi Kantaprawira
mengemukakan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Partai Politik pada
umumnya mengandung tujuan:
6
a. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukkan orang-
orangnya menjadi pejabat pemerintah sehingga dapat turut serta mengambil atau
menentukan keputusan politik atau output pada umumnya;
b. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu terhadap
kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas (terutama dalam
keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan Partai Politik yang
bersangkutan).
c. Berperan untuk dapat memadu (streamlining) tuntutan-tuntutan yang masih
mentah (raw opinion), Sehingga Partai Politik bertindak sebagai penafsir
kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik (political issue) yang dapat
dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas.
Dengan melihat aktivitas dari Partai Politik tersebut di atas, maka rakyat
sebagai subyek dalam sistem ketatanegaraan dapat melakukan pilihan-pilihan
alternatif, yakni Partai Politik mana yang akan diikuti atau menjadi saluran politik
mereka. Berkaitan dengan hal ini, di dalam struktur masyarakat yang masih
paternalistik, maka pilihan rakyat untuk berafiliasi kepada suatu Partai Politik
tertentu sangat ditentukan oleh ideologi atau aliran yang dianut oleh suatu Partai
Politik.
Oleh sebab itulah di dalam negara dengan struktur masyarakat yang masih
paternalistik, Partai Politik gemar untuk memainkan ideologi-ideologi Partai guna
memperoleh dukungan massa rakyat, sehingga memperkuat posisi dalam
kehidupan politik ketatanegaraan. Penekanan mengenai program kehendak
menjadi titik tolak utama untuk memperoleh dukungan massa rakyat. Kehidupan
dan aktivitas Partai politik semacam ini masih dapat dikategorikan sebagai Partai
Politik tradisionil.
Sebagai tujuan umum partai politik yang mewujudkan cita-cita nasional
bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, Serta mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila
dengan menjunjung tinggi nilai kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. 2. Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-
7
cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sudah barang tentu hal ini yang akan diwujudkan bagi setiap warga negara.
Partai politik memiliki fungsi :
Sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu proses pembentukan sikap dan
orientasi politik paraanggota masyarakat.
Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu proses penyampaian informasi
mengenai politik daripemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat
kepada pemerintah.
Sebagai sarana rekruitmen politik, yaitu seleksi dan pengangkatan seseorang
atau sekelompokorang untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem
politik pada umumnya dan pemerintahanpada khususnya.
Sebagai pengelola konflik, yaitu mengendalikan konflik melalui cara
berdialog dengan pihak-pihakyang berkonflik, menampung dan memadukan
berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihakyang berkonflik dan
membawanya ke parlemen untuk mendapatkan penyelesaian melalui
keputusanpolitik.
Sebagai sarana artikulasi dan agegrasi kepentingan, menyalurkan berbagai
kepentingan yang adadalam masyarakat dan mengeluarkannya berupa
keputusan politik.
Sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah, yaitu sebagai mediator antara
kebutuhan dankeinginan masyarakat dan responsivitas pemerintah dalam
mendengar tuntutan rakyat.
Ada 6 alasan yang menyebabkan kita harus berpartisipasi dalam partai politik :
Manusia sebagai khalifah di bumi bertanggung jawab untuk melaksanakan misi
khalifah, yaitumemelihara, mengatur dan memakmurkan bumi yang
merupakan aktivitas politik yang paling otentik. Misi khilafah ini merupakan
amanah Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap insan sesuai dengan hukum-
hukum-Nya.
Islam adalah sistem hidup yang universal, yang mencakup seluruh aspek
kehidupan baik agama, ekonomi, sosial, budaya, politik maupun negara. Setiap
muslim diperintahkan untuk menerapkan keuniversalan ini secara utuh.
8
Adanya kewajiban-kewajiban Islam yang tidak dapat dilaksanakan kecuali
secara berjamaah dan memerlukan adanya kebijakan politik.
Realitas masyarakat muslim yang ingin menyalurkan aspirasi, potensi dan
peran mereka untuk ikutmenentukan kebijakan bangsa memerlukan sebuah
wadah. Maka partai politik adalah wadah yang paling efektif sebagai tempat
penyalurannya.
Keharusan menegakkan amar maruf nahi munkar, keharusan memiliki
kepedulian terhadap persoalan ummat sebagaimana sabda nabi : Barang siapa
tidak peduli dengan urusan muslim, maka dia bukan dari golongan kami.
Bergabung dalam partai adalah salah satu bentuk kepedulian kita terhadap
problematikaumat.
Mereka yang ingin menyingkirkan Islam dari kehidupan berbangsa senantiasa
bekerja sekuattenaga untuk menggalang kekuatan, sementara Allah
memerintahkan agar ummat memberikanperlawanan yang setimpal.
2.3 Klasifikasi Partai Politik
Banyak jenis dan bentuk Partai Politik yang hidup dan berkembang di
dalam suatu kehidupan ketatanegaraan. Berkaitan dengan hal inilah, maka pada
hakikatnya Klasifikasi Partai Politik dapat digambarkan sebagai berikut:
Klasifikasi Partai Politik ditinjau dari Komposisi dan Fungsi Keanggotaannya.
1. Klasifikasi semacam ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis Partai
Politik, yaitu :
a. Partai Massa, yakni suatu Partai Politik yang lebih mengutamakan
kekuatannya berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Oleh karena itu biasanya
terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat
yang sepakat di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya
luas dan agak kabur.
b. Partai Kader, yaitu suatu Partai Politik yang lebih mementingkan keketatan
organisasi dan disiplin kerja dan anggota-anggotanya. Pemimpin Partai biasanya
menjaga kemurnian doktrin Partai yang dianut dengan jalan mengadakan saringan
calon-calon anggotanya secara ketat.
9
2. Klasifikasi Partai Politik ditinjau Dari Sifat dan Orientasinya. Partai Politik
dengan Klasifikasi semacam ini dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu :
a. Partai Lindungan (Patronage Party), yaitu suatu Partai Politik yang pada
umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (meskipun organisasi di
tingkat lokal sering cukup ketat). Disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu
mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Tujuan utama dari Partai Politik
jenis ini adalah memenangkan Pemilihan Umum untuk anggota-anggota yang
dicalonkannya. Oleh sebab itu Partai semacam ini hanya giat melaksanakan
aktivitasnya menjelang Pemilu. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah
Partai Demokrat dan Republik di AS.
b. Partai Ideologi (Partai Asas), yaitu suatu Partai Politik (biasanya) yang
mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pemimpin dan
berpedoman pada disiplin Partai yang kuat dan mengikat Hampir sebagian besar
Partai-partai Politik yang ada di Indonesia dapat dikategorikan sebagai Partai
Ideologi.
Berdasarkan dua klasifikasi besar mengenai Partai Politik tersebut di atas -
jika Partai-partai Politik itu akan melakukan koalisi - maka langkah yang paling
mudah dan relatif berhasil untuk ditempuh adalah dengan melakukan koalisi
Partai Politik yang sama-sama berjenis Partai Massa atau sama-sama Partai
Lindungan. Koalisi antar Partai Kader atau antar Partai Ideologi relatif sulit untuk
dilakukan. Apalagi Koalisi antar Partai Politik dengan Ideologi yang jauh
berseberangan. Misal Koalisi antar Partai yang berideologikan keagamaan
tertentu.
2.4 Sistem Kepartaian
Dalam kehidupan Politik ketatanegaraan suatu negara, pada prinsipnya
dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu :
a. Sistem Partai Tunggal (the single party system). Istilah mi dipergunakan
untuk Partai Politik yang benar-benar merupakan satusatunya Partai Politik dalam
suatu Negara, maupun untuk Partai Politik yang mempunyai kedudukan dominan
di antara beberapa Partai politik lainnya. Namun demikian - oleh para sarjana -
10
dianggap merupakan bentuk penyangkalan diri (contradictio in terminis),
mengingat dalam pengertian sistem itu sendiri akan selalu mengandung lebih dari
satu unsur atau komponen. Kecenderungan untuk mengambil sistem Partai
Tunggal disebabkan, karena Pimpinan negara-negara baru sering dihadapkan
masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, suku bangsa
yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila
keanekaragaman sosial budaya ini dibiarkan tumbuh dan berkembang, besar
kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial yang menghambat usaha-usaha
pembangunan dan menimbulkan disintegrasi.
b. Sistem dua Partai (two party system). Menurut Maurice Duverger, sistem ini
adalah khas Anglo Saxon (Amerika, Filipina). Dalam system ini Partai-partai
Politik dengan jelas dibagi kedalam Partai Politik yang berkuasa (karena menang
dalam Pemilihan Umum) dan Partai Oposisi (karena kalah dalam Pemilihan
Umum).
c. Sistem Banyak Partai (multy party system). Pada umumnya system
kepartaian semua ini muncul karena adanya keanekaragaman social budaya dan
politik yang terdapat di dalam suatu negara.[8][17]
Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas.
Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat
mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan.
Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru
dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan yang dihadapi
oleh sistem politik.
Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasi partai
yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompok
baru ke dalam sistem politik.
11
2.5 Perkembangan Partai Politik Di Indonesia
a. Keberadaan Partai Politik di Indonesia dimulai sejak Pemerintah Hindia
Belanda mencanangkan Politik Etis pada tahun 1908. Dengan adanya Politik Etis
ini, maka banyak kalangan cerdik pandai kaum Bumiputera yang mulai tergerak
untuk ikut serta dalam kehidupan ketatanegaraan melalui berbagai organisasi
kemasyarakatan. Pelopor utama dari Organisasi kemasyarakat tersebut adalah
Boedi Oetomo.
b. Dengan keluarnya Maklumat Wk. Presiden No. X tahun 1945 tanggal 16
Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 setelah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Indonesia menganut sistem Multi Partai yang
ditandai dengan munculnya 24 Partai Politik yang berbasis Aliran (ideologi).
c. Menjelang Pemilu tahun 1955 yang berdasarkan Demokrasi Liberal terdapat
70 Partai Politik maupun perseorangan yang mengambil bagian dalam Pemilu
tersebut. Perlu diketahui bahwa Pemilu tahun 1955 dipergunakan untuk memilih
anggota Konstituante yang bertugas untuk merumuskan UUD yang akan
menggantikan UUDS 1950, dan memilih DPR.
d. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dilakukanlah penyederhanaan sistem
Kepartaian di Indonesia, yaitu : Penpres No. 7 tahun 1959 dan Peraturan Presiden
(Perpres) No. 13 tahun 1960 mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan
pembubaran Partai-partai Politik. Pada tanggal 17 Agustus 1960 PSI dan
Masyumi dibubarkan.
e. Tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 9 Partai Politik yang mendapat
pengakuan, yaitu PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katolik, Perti, Murba,
dan Partindo. Dengan berkurangnya jumlah Partai Politik tersebut, tidak berarti
konflik ideologi dalam masyarakat umum sebagai akibat pengaruh yang dibawa
oleh Partai-partai Politik tersebut menjadi berkurang. Untuk mengatasi hal ini,
maka pada tanggal 12 Desember 1964, di Bogor diselenggarakan pertemuan
Partai-Partai Politik dan menghasilkan Deklarasi Bogor.
f. Tanggal 12 Maret 1966 setelah terjadi Pemberontakan G/30/S PKI, maka
PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai Partai terlarang di Indonesia. Kemudian
dimulailah usaha pembinaan Partai-partai Politik yang dilakukan oleh Orde Baru.
12
g. Tanggal 20 Pebruari 1968 didirikan Parmusi
Ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang munculnya partai politik.
Pertama, teori kelembagaan. Teori ini mengatakan bahwa kemunculan partai
politik disebabkan karena dibentuk oleh kalangan elit legislative serta orang yang
berkepentingan untuk mengadakan kontak dengan masyarakat.
Kedua, teori situasi historik. Teori ini mengatakan bahwa timbulnya partai politik
sebagai upaya untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan
masyarakat secara luas, yaitu berupa krisis legitimasi, integrasi dan partisipasi
serta krisis kepercayaan. Dengan demikian Untuk mengatasi hal itu dibentuk
partai politik yang dekat dengan kehidupan pribadinya.
Ketiga, teori pembangunan. Teori ini melihat bahwa munculnya partai politik
sebagai produk modernisasi sosial ekonomi yang mengaju kepada wadah untuk
melakukan perubaha dalam menghadapi proses pembangun dan merubah watak
masyarakat yang mendiami daerah tertentu.[9][19]
2.6 Pembentukan Partai Politik
Hal lain yang turut serta menyokong lemahnya pelembagaan partai politik
adalah longgarnya syarat bagi pembentukan partai politik. UU Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa “Partai politik didirikan dan
dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik
Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris”.
Dari ketentuan itu terlihat bahwa pendirian atau pembentukan partai politik
mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 (lima puluh) orang, sehingga
mendorong setiap orang atau kelompok untuk mendirikan partai politik. Oleh
karena itu, di masa depan perlu diupayakan adanya kenaikan jumlah warga
negara yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendirikan partai
politik paling sedikit 250 orang.
Hampir sebagian besar partai politik menghadapi masalah sentralisasi yang
terlalu kuat dalam organisasi partai, antara lain ditandai oleh sentralisasi dalam
pengambilan keputusan di tingkat pengurus pusat (DPP) dan pemimpin partai.
Hal ini membuat kepengurusan partai di daerah sering kali tidak menikmati
otonomi politik dan harus rela menghadapi berbagai bentuk intervensi dari
13
pengurus pusat partai. Dalam kaitan ini, penyempurnaan sistem kepartaian dalam
rangka mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial dan sistem
perwakilan, perlu diatur ketentuan yang mengarah pada terbentuknya sistem
multipartai sederhana, terciptanya pelembagaan partai yang efektif dan kredibel,
terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel, dan penguatan
basis dan struktur kepartaian.
2.7 Pemilu Dengan Politik Uang
Pemilu yang bersih dan demokratis akhir akhir ini sudah jarang didapat dalam
kalangan masyrakat, proses pesta demokrasi yang tercoreng dnga banyaknnya elit
politik yang di paksakan untuk melakukan politik uang menyebabkan
tercorengnya proses demokrasi yang diharapkan, karena pemilu yang di dasarkan
pada pemilu angsung membuat banyak kejanggalan dan ketimpangan sehingga
akan mudah melakukan politk uanga, karea rakyat yang langsung memilih.
Yang dimaksud dengan pemilu yang bersifat langsung adalah rakyat sebagai
pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan
kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Warga negara yang memenuhi
persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti pemilu dan memberikan suaranya
secara langsung.
Sedangkan pemilu yang bersifat umum mengandung makna terjaminnya
kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi. Pemilu yang
bersifat bebas berarti bahwa setiap warga negara yang berhak memilih bebas
untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam
melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat
memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Pemilu yang
bersifat rahasia berarti bahwa dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin
pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun.
Selanjutnya, pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang
mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara
lebih berkualitas, sistematis, legitimate, dan akuntabel dengan partisipasi
masyarakat seluas-luasnya.
14
Penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu,
pemantau pemilu, pemilih, dan semua pihak yang terkait harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemilih dan peserta
pemilu mendapat perlakuan yang sama dan bebas dari kecurangan atau perlakuan
yang tidak adil dari pihak mana pun.
Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin
kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih
tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
Sistem presidensial di Indonesia hingga saat ini belum dapat mewujudkan
secara penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam rangka menciptakan
pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif perlu didukung pula oleh sistem
kepartaian yang sederhana.
Dengan sistem kepartaian sederhana akan dapat dihasilkan tingkat
fragmentasi yang relatif rendah di parlemen, yang pada gilirannya dapat tercipta
pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah partai yang terlalu
banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena banyaknya partai
politik peserta pemilu akan berakibat sulitnya tercapai pemenang mayoritas. Di
sisi lain, ketiadaan partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen
merupakan kendala bagi terciptanya stabilitas pemerintahan dan politik.
Seperti kita ketahui bersama, praktik yang sekarang terjadi adalah ketiadaan
koalisi besar yang permanen, sehingga setiap pengambilan keputusan oleh
pemerintah hampir selalu mendapat hambatan dan tentangan dari parlemen. Oleh
karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong terbentuknya koalisi partai
politik yang permanen, baik yang mendukung pemerintahan maupun koalisi partai
politik dalam bentuk yang lain. Hal ini diperlukan sebagai upaya agar bisa tetap
sejalan dengan prinsip check and balances dari sistem presidensial.
Munculnya banyak partai politik selama ini dikarenakan persyaratan
pembentukan partai politik yang cenderung sangat longgar. Selain itu,
penyederhanaan sistem kepartaian juga terkendala oleh belum terlembaganya
sistem gabungan partai politik (koalisi) yang terbangun di parlemen atau pada saat
pencalonan presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, serta
bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
15
Pada pemilu presiden tahun 2004 dan terpilihnya beberapa kepala daerah dan
wakil kepala daerah baru-baru ini, gabungan partai politik (koalisi) sebetulnya
sudah dilaksanakan. Namun, gabungan (koalisi) tersebut lebih bersifat instan,
lebih berdasarkan pada kepentingan politik jangka pendek dan belum berdasarkan
pada platform dan program politik yang disepakati bersama untuk jangka waktu
tertentu dan bersifat permanen.
Secara teori ada keterkaitan yang erat antara upaya penataan sistem politik
yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam masa
transisi politik, pemahaman terhadap hubungan antara kedua proses itu menjadi
sangat penting. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, seringkali penataan
elemen sistem politik dan pemerintahan dilakukan secara terpisah. Logika yang
digunakan seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam realitas, semua
elemen tersebut akan digunakan dan menimbulkan kemungkinan komplikasi satu
dengan lainnya.
Berdasarkan pengalaman, ada hubungan yang relatif konsisten antara sistem
kepartaian dengan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat
terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem
presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan
untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya
mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan.
Pada saat yang sama partai politik dan gabungan partai politik yang
mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan
untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat
mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota parlemen terhadap
kesepakatan yang dibuat pimpinan partai politik jarang bisa dipertahankan.
Dengan kata lain, tidak adanya disiplin partai politik membuat dukungan
terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan
partai politik juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik
yang ada.
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat sistem presidensial agar mampu
menjalankan pemerintahan dengan baik adalah dengan menyederhanakan jumlah
partai politik. Jumlah partai politik yang lebih sederhana (efektif) akan
16
mempersedikit jumlah veto dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi
diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah
diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi partai politik maupun pilihan
kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana.
Yang mestinya dibenahi adalah meningkatkan kualitas partisipasi politik
rakyat. Dalam jangka panjang, pemilih harus cerdas-terididik sehingga memilih
calon yang benar, bukan yang melakukan politik uang. Jika hal ini terjadi,
perlahan elit politik dipaksa menjadi BTP. Syaratnya, harus ada pendidikan
politik. Sementara untuk jangka pendek, harus muncul individu berkarakter BTP,
yang berani tidak menggunakan politik uang.
Terhadap kandidat seperti ini, publik mestinya mendukung. Misalnya dengan
memberikan donasi 10 ribu per bulan. Tujuannya, untuk memangkas
ketergantungan kandidat pada pengusaha. Kandidat BTP bisa muncul melalui
Parpol atau melalui jalur independen. Manfaatnya agar Pilkada imun dari kandidat
koruptor yang di kemudian hari hanya akan menjadi alat korporasi semata.
Jadikan Pilkada sebagai sarana kedaulatan rakyat, bukan untuk mewujudkan
kepentingan elit.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar
dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional
menuntut penyelenggara pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang
dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk
lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
penyelenggaraan pemilu.
Perlu dilakukan upaya untuk mengakomodasi dinamika dan
perkembangan masyarakat yang menuntut peran parpol dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan parpol sebagai organisasi
yang bersifat nasional dan modern. Upaya tersebut antara lain dapat ditempuh
melalui pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender
yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban,
meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan
kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai
derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilu harus
dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perlu
diupayakan perubahan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui
langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan
menguatkan pula sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dimaksudkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demokrasi
bagi proses rekrutmen kader maupun seleksi para pejabat publik.
Politik transaksional yang diwarnai pertimbangan untung/rugi dalam
sistem seleksi para pejabat publik dalam sistem kepartaian kini lebih mendominasi
dibandingkan sistem seleksi para elite politik berdasarkan kualitas ide, gagasan
maupun visi. Tentu, buruknya sistem politik semacam ini memiliki dampak
negatif dalam pelaksanaan fungsi eksekutif maupun legislatif, yang pada
18
gilirannya juga akan menimbulkan dampak berupa rendahnya kinerja pelaksanaan
fungsi-fungsi pokok eksekutif maupun legislatif dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Dalam sistem demokrasi yang baik/ideal, partai politik memiliki beberapa fungsi
strategis, yaitu:
(1) Sarana Komunikasi Politik;
(2) Sarana Agregasi Politik;
(3) Rekrutmen Politik; dan
(4) Pengelola Konflik.
Disamping fungsi-fungsi tersebut, partai politik juga dinisbatkan untuk
menjalankan fungsi kontrol politik guna meningkatkan kualitas kebijakan publik
dan sekaligus juga menjaga bekerjanya sistem saling pengawasan (checks and
balances) dalam sistem demokrasi. Fungsi-fungsi tersebut hanya dapat
dilaksanakan dengan baik jika sistem dan kultur perpolitikan memungkinkan bagi
seleksi kader maupun elite partai politik yang profesional, berkualitas.dan
berintegritas. Selama ini, yang jarang dipergunakan sebagai variabel dalam
menganalisis terhadap kecenderungan terjadinya banalitas (partai) politik adalah
kultur politik yang mendorong terjadinya sistem politik yang korup dan
manipulatif.
Sistem kampanye yang lebih diwarnai politik ‘padat modal’ daripada
‘padat karya’, kontestasi politik yang cenderung transaksional daripada
profesional (money driven politic) telah mendorong terjadinya sistem pemilu
maupun pemilu kada yang jauh dari semangat good governance.
Tak heran jika kultur dan sistem politik semacam itu akhirnya
menghasilkan banyak elite politik yang îtersanderaî biaya kampanye yang tinggi
dan setelah terpilih kebanyakan tersandung berbagai praktik korupsi. Selain itu,
sistem pendanaan partai politik yang selama ini tidak transparan juga tak jarang
menjadi ajang transaksi kepentingan antara pemodal/pengusaha (nakal) dengan
elite politik.
Hadirnya UU No 2 Tahun 2011 sebagai revisi dari UU No 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik yang mencoba memperbaiki sistem kepartaian mulai dari
19
proses pendirian, sistem rekrutmen kader/elite partai politik, tatakelola
(governance) partai politik hingga akuntabilitas dan transparansi sistem
pendanaan partai politik harus sungguh-sungguh digunakan sebagai kerangka
hukum (legal framework) untuk membenahi pengelolaan partai politik.
Partai politik dalam sistem demokrasi modern menduduki fungsi yang
sangat penting di berbagai negara manapun, terlepas dari pilihan sistem kepartaian
yang dipergunakan. Dengan demikian, dalam sisa waktu yang sangat pendek
menjelang pemilu tahun 2014, menjadi tantangan bagi partai-partai politik untuk
membenahi sistem internal partai masing-masing untuk mengembalikan
kepercayaan publik. Yang terpenting untuk digarisbawahi adalah tak mungkin
membentuk sistem pemerintahan eksekutif maupun legislatif yang baik tanpa
memperbaiki kualitas (partai) politik di negeri ini.
3.2 Saran
Dalam proses pesta demokrasi yang diharapkan kiranya dapat memberikan
manfaat bagi warga Negara, apabila peran serta partai politik serta dapat
mengaplikasikan nya dalam kehidupan bermasyarakat, dan proses politik uang
terhapuskan sehingga dapat menghasilkan pemimpin yang sebagaimana yang
diharapkan masyarakat.
Juga hal yang palingg mendasar masyrakat serta pemerintah haru bekerja
sama dalam mengatasi masalh tersebut dengan saling memberikan informasi
terhadap pelanggaran pencoretan proses pesta demokrasi tersebut, sehingga para
pelaku politik uang pun berfikir dua kali untuk melakukan tindakan pelanggaran
politik tersebut.
Selanjutnya pola fikir masyarakat yang menganggap mudah untuk menjual
suaranya sudah mulai dihilangkan serta fikiran masyarakat yang selalu memilih
golongan putih (golput) dalam momen pesta demokrasi kiranya dapat dihilangkan,
serta prinsip memilih segera ditingkatkan dan saling mengajak untuk sama-sama
berpartisipasi dalam hal deokrasi.
Terhadap makalah saya ini, penulis sangat berharap bagi pembaca agar
kiranya makalah saya ini dapat diberikan masukan berupa kritikan yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
20
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia suatu Model Pengantar, Cet V,
Sinar Baru, Bandung, 1988, .
Harun Arrasyid, pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Madju, Bandung, 1998
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi
Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia),
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003.
Lubis Solly M, Asas Partai Politik, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1999
Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Fakultas Pasca Sarjana UI,
Jakarta,1990.
Hasan Al Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta, 1999.
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Cet. IV, Aksara Baru,
Jakarta, 1987.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia-Jakarta, 1986
Subagyo Firman, Menata Partai Politik, RM BOOK, Bandung 2000
Fatwa AM, Kampanye Partai Politik Kampus, Gramedia Pustaka Utama,
Bandung, 2003
Subanidro, Pembentukan Partai Politik Islam, Hibrur Aman, Semarang,
1988
Moh. Kusnardi & Hasmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi HTN-FHUI, Jakarta, 1983.
Mansyuruddin T, Sosiologi, Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU,
Medan, 1999
Tarigan Pandestaren,Arah Negara Hukum Demokratis, Pusaka Bangsa Press,
Medan, 2003
Ali Daud Muhammad, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Urger M Roberto, Posisi Hukum Politik dalam Masyarakat, Nusa Media,
Bandung, 2007
Nonet Philipe, Teori-teori Hukum dan Politik, Nusa Media, Bandung,
2008
21
Salman Otje S, Mengingat Mengumpulkan Masyarakat, Refika Aditama,
Bandung, 2008
Rusadi Kartaprawira, Sistem Politik Indonesia pada umumnya,Sinar Baru,
Bandung, 1988
Maurice Duverjer, Partai Politik Dan Kelompok Penekan, Rineka Cipta, Bandung,
1994
Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Garamedia, Bandung, 1999
Munawwir Imam, Partai Politik Dalam Kerangka Pembangunan Politik di
Indonesia, Bina Ilmu, 1992
Bambang S, Partai-Partai Politik Indonesia Serta Ideologi, Strategi, dan Program,
Media Nusantara, Bandung, 2008
b. Perundang Undangan
Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen I, II, III dan IV
Undang-Undang No. 22 Tahun 2007, tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik
Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD,
Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan kedudukan