makalah KKM eklamsia
-
Upload
galihtrimuninggar -
Category
Documents
-
view
110 -
download
11
Transcript of makalah KKM eklamsia
BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan dan persalinan merupakan proses kehidupan yang berisiko bahkan pada
perempuan tanpa masalah kesehatan sebelumnya.1,2 Sekitar 40% wanita hamil mengalami
masalah kesehatan terkait kehamilannya dan 15% dari semua wanita hamil mengalami
komplikasi serius dari kehamilannya yang mengancam jiwa.2 Badan kesehatan dunia atau WHO
pada tahun 1995 memprediksikan sekitar 515.000 wanita di dunia mengalami kematian karena
komplikasi kehamilan dan persalinan.2 Salah satu penyebab kematian ibu tersebut adalah
karena komplikasi dari keadaan preeclampsia.3,4 Sembilan puluh lima persen (95%) kematian
tersebut terjadi di negara-negara berkembang karena kurangnya akses terhadap pelayanan
kesehatan yang bersifat live saving serta sumber daya terbatas yang ada di suatu wilayah .2,3
Angka kematian ibu di Indonesia hingga saat ini menduduki peringkat pertama diantara
negara-negara berkembang lainnya, berdasarkan data SDKI 2003 - 2005, Angka Kematian Ibu di
Indonesia untuk periode tahun 2000-2005, adalah sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup.5
Perdarahan masih menjadi penyumbang nomor satu (43%) sebagai penyebab kematian ibu di
Indonesia, namun preeklamsia/eklamsia menduduki peringkat kedua (21%), komplikasi abortus
(11%) dan infeksi (10%).2,6 Walaupun menduduki peringkat kedua, kematian akibat
komplikasi eklamsia/preeklamsia meningkat cukup tajam dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Hal ini dikarenakan komplikasi yang dapat terjadi bila ibu mengalami preeklamsia/eklamsia
sangat berat, seperti perdarahan otak, edema cerebri, kebutaan, HELLP sindrom, DIC, edem
paru, gagal ginjal kronik dan IUGR.
Preeklamsia/eklamsia apabila diketahui dan disadari secara dini pada kehamilan,
dengan persiapan matang dan fasilitas operasi yang lengkap dapat diatasi dengan baik dan
dicegah resiko komplikasi sampai dengan kematian yang akan terjadi. Untuk ini, penting
diketahui faktor risiko, diagnosis yang tepat preeklamsia/eklamsia, serta tatalaksana dan
rencana terminasi kelahiran pada ibu, sehingga ibu dan bayi dapat selamat.
Tenaga medis mempunyai peranan penting dalam mencegah, mengantisipasi,
mendiagnosis dan menatalaksana preeklamsia/eklamsia. Karena itu, tenaga medis harus
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang preeklamsia/eklamsia pada pasien yang dapat
menyababkan kerusakan multiorgan. Bila secara dini preeklamsia/eklamsia dapat didiagnosis
dan tatalaksana, kemungkinan resiko fatal dapat dihindari.
Pada makalah ini akan dibahas suatu kasus kematian maternal yang disebabkan oleh
gagal napas dan sirkulasi yang disebabkan oleh edema cerebri dd/ perdarahan intrakranial ec
eklamsia pada post sc ai HELLP sindrom. Yang bertujuan untuk menelaah perjalanan penyakit
pasien, mencari faktor-faktor yang menyebabkan kematian. Manfaat yang dapat diambil dari
penulisan makalah ini adalah diketahuinya faktor-faktor penyebab kematian dan
penatalaksanaan yang seharusnya dilakukan agar kasus-kasus serupa dapat tertatalaksana
dengan baik dikemudian hari.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
DILENGKAPI
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Preeklampsia Berat dengan Sindroma HELLP
Diagnosis Klinis dan Laboratoris Sindroma HELLP
Diagnosis sindroma HELLP adalah berdasarkan bukti laboratoris dari anemia hemolitik
mikroangiopatik, disfungsi hepar dan trombositopenia pada pasien yang diduga menderita
preeklampsia. Pada pasien dengan sindroma ini, apus darah tepi akan menunjukkan schistosit,
sel burr dan sel helmet, yang menggambarkan kerusakan eritrosit. Peningkatan laktat
dehidrogenase (LDH) dan penurunan haptoglobulin serum adalah marker awal yang sensitif dari
sindroma HELLP, yang terjadi sebelum peningkatan konsentrasi bilirubin serum indirek dan
penurunan hemoglobin. Penurunan haptoglobulin pada onset dini menggambarkan bahwa
hemolisis terjadi segera setelah onset proses penyakit ini. 9
Trombositopenia merupakan kelainan koagulasi paling awal dan utama yang muncul
pada seluruh penderita sindroma HELLP. Kelainan waktu protombin, waktu tromboplastin
parsial dan fibrinogen biasanya baru muncul pada akhir proses penyakit. Ketika hitung
trombosit mencapai atau hampir kurang dari 50.000/uL, tes seperti produk degadrasi fibrin dan
aktivitas antitrombin III dapat digunakan untuk mengantisipasi lebih awal adanya DIC yang
sedang berlangsung. 9
Disfungsi hepar ditunjukkan dengan variasi peningkatan konsentrasi SGOT, SGPT dan
LDH. Peningkatan bilirubin indirek biasanya minimal, kecuali pada pasien yang penyakitnya
sangat parah. Disfungsi renal, yang diukur dengan lamanya waktu diuresis setelah persalinan,
biasanya bervariasi tergantung tingkat keparahan penyakit, tetapi analisis yang cermat
mengenai disfungsi renal pada sindroma HELLP menunggu penelitian lebih lanjut. 9
Sindroma HELLP dapat muncul dengan fase awal yang lambat, diikuti dengan fase akhir
yang cepat atau sebagai ekspresi sekunder dari sepsis yang kompleks, cedera paru akut, gagal
ginjal atau penyakit sistem multiorgan dengan DIC. Karena diagnosis awal dibuat dengan
diagnosis tes laboratoris konfirmasi, maka diwajibkan kepada pada provider kesehatan untuk
membuat dugaan kelainan ini untuk membuat diagnosis yang tepat waktu dan memberikan
terapi yang optimal. 6
Meskipun sindroma HELLP dianggap sebagai varian atipik dari preeklampsia berat,
tingkat keparahannya ditunjukkan dengan parameter laboratoris dan bukan dengan parameter
klinis yang biasa yaitu tekanan darah dan proteinuria, yang reflektif terhadap tingkat keparahan
preeklampsia. Sejumlah kecil (10%) pasien dengan sindroma HELLP yang dirawat di Mississippi
tidak pernah menunjukkan peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolik sampai 140/90
mmHg. Proteinuria juga tidak secara konsisten menunjukkan tingkat keparahan sindroma
HELLP. Tidak adanya hipertensi, khususnya pada awal perjalanan penyakit, dan tidak adanya
proteinuria untuk mengidentifikasi pasien sindroma HELLP, mengacaukan diagnosis awal dan
terapi dari penyakit yang mengancam jiwa ini. 10
Hitung trombosit maternal pada sebagian besar pasien dengan sindroma HELLP terus
menurun segera postpartum, dengan kecenderungan meningkat yang biasanya tampak pada
hari ke-3 dan mencapai > 100.000/uL pada hari ke-6, bahkan pada kasus yang paling berat
sekalipun tanpa terapi deksametason atau kortikosteroid dosis tinggi yang sebanding.
Kegagalan trombosit meningkat dalam 96 jam setelah persalinan menunjukkan kelainan yang
serius dan tidak terkompensasi dengan kemungkinan disfungsi multiorgan. Pada kasus yang
jarang ini, terapi dengan plasma exchange adalah manjur jika penyakit tidak responsif terhadap
persalinan dan terapi lain. 6
Klasifikasi Sindroma HELLP
Sistem klasifikasi sindroma HELLP yang dikembangkan di Mississippi berdasarkan
observasi hitung trombosit maternal terendah, yang merupakan indikator primer keparahan
penyakit. Sistem tiga kelas dirumuskan karena hitung trombosit maternal dan konsentrasi LDH
serum tampaknya adalah yang paling baik untuk menggambarkan keparahan proses penyakit
dan kecepatan penyembuhan dari sindroma HELLP. Kelas I memiliki trombosit terendah <
50.000/uL dengan anemia hemolitik mikroangiopatik dan perubahan enzim hepar. Kelas II >
50.000 tetapi < 100.000/uL dan kelas III > 100.000 tetapi < 150.000/ul. Pasien dengan sindroma
HELLP kelas I memiliki insidensi morbiditas dan mortalitas perinatal tertinggi dan penyembuhan
postpartum paling panjang. Peneliti dari Memphis mengusulkan sistem klasifikasi berdasarkan
ekspresi komplit dan parsial dari sindroma HELLP. Sindroma HELLP komplit, selain terdapat
anemia hemolitik mikroangiopatik pada pasien dengan preeklampsia berat, juga terdapat
trombosit < 100.000/uL, LDH > 600 IU/L dan SGOT > 70 IU/L. Sindroma HELLP parsial hanya
memiliki satu atau dua kelainan saja dari trombosit, LDH atau SGOT. 10
Spektrum Penyakit Klinis Sndroma HELLP
Sindroma HELLP menunjukkan spektrum penyakit yang luas, tetapi penyakit lain dapat
menyerupai sindroma ini. Sindroma yang melibatkan hepar ini memiliki banyak kesamaan
kelainan laboratoris dengan acute fally liver of pregnancy (AFLP) dan dapat memiliki manifestasi
proses penyakit yang sama. Pada awal penyakit, AFLP secara khas terdapat peningkatan
konsentrasi bilirubin direk dan terkonjugasi, jaundice, hipoglikemia dan PT/PTT yang
memanjang dengan trombositopenia ringan (100.000-150.000/uL). Kelainan koagulasi jauh
lebih parah daripada derajat trombositopenia dan sebanding dengan profil koagulasi pada
solusio plasenta. Sebaliknya, pada sindroma HELLP terdapat trombositopenia berat dengan
peningkatan LDH yang mendahului kelainan koagulasi yang signifikan, peningkatan bilirubin
atau hasil laboratoris lain tentang disfungsi hepar. Preeklampsia dapat terjadi bersamaan
dengan AFLP, dan hipoglikemia berat pernah dilaporkan terjadi bersamaan dengan sindroma
HELLP. 6
Imitator lain dari sindroma HELLP termasuk thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
dan hemolytic uremic syndrome (HUS). Pasien dengan TTP dapat menunjukkan fitur
karakteristik sindroma HELLP yang meliputi anemia hemolitik mikroangiopatik, proteinuria,
peningkatan LDH dan mungkin gangguan ginjal, tetapi biasanya tidak menunjukkan disfungsi
hepar (peningkatan transaminase) dan hipertensi. Eksaserbasi TTP dapat terjadi sebelum,
selama dan sesudah kehamilan dan dapat menetap untuk waktu yang lama. Angka mortalitas
dapat melebihi 50% dan dapat dikurangi dengan terapi plasma exchange. Pada HUS juga
terdapat hemolisis mikroangiopatik, hipertensi, proteinuria dan gagal ginjal. Berbeda dengan
sindroma HELLP, konsentrasi kretainin serum bisanya jauh meningkat dibandingkan dengan
atau tidak adanya bukti disfungsi hepar. HUS juga paling baik diterapi dengan plasma exchange.
Anemia hemolitik mikroangiopatik yang muncul tampaknya secara primer mempengaruhi
hepar pada sindroma HELLP, ginjal pada HUS dan sistem saraf pusat pada TTP. Pada akhir
perjalanan penyakit sindroma HELLP dengan komplikasi, ketiga penyakit ini; HELLP, HUS dan
TTP hampir tidak dapat dibedakan. 6
Manajemen sindroma HELLP
Manajemen yang berhasil pada kehamilan dengan komplikasi sindroma HELLP
membutuhkan pengenalan dini dan pemberian terapi yang tepat. Berdasarkan pengalaman
klinis di University of Mississippi Medical Center, terdapat 12 langkah pendekatan yang
disarankan untuk optimalisasi terapi pasien dengan sindroma HELLP, yaitu 6 :
1. Antisipasi dan membuat diagnosis
Hal ini mungkin paling sulit jika pasien tidak mengesankan preeklampsia, tetapi hanya
penyakit yang tidak spesifik. Sekali diduga sebagai sindroma HELLP, maka tes laboratorium yang
sesuai diindikasikan. Hasil laboratorium yang menunjukkan risiko morbiditas maternal adalah
LDH > 1400 IU/L, SGOT > 150 IU/L, SGPT > 100 IU/L dan asam urat > 7,8 mg/dL. Gejala klinis
yang signifikan terhadap peningkatan morbiditas ibu adalah mual, muntah dan/atau nyeri
epigastrium.
2. Menilai kondisi maternal
Penilaian laboratoris inisial terhadap pasien dengan preeklampsia atau diduga sindroma
HELLP adalah darah perifer lengkap untuk mengevaluasi hitung trombosit. Diferensial dari
trombositopenia dalam kehamilan termasuk nilai rendah palsu akibat penggumpalan pada
sistem penghitungan otomatis, trombositopenia gestasional (SGOT dan SGPT < 40 IU/L dan LDH
< 600 IU/L), ITP, lupus, medikasi, konsumsi kokain akut, defisiensi folat berat, infeksi HIV dan
sepsis. Skrining laboratoris dasar untuk pasien yang diduga sindroma HELLP meliputi darah
perifer lengkap, urinalisis, SGOT/SGPT, kreatinin serum, LDH, asam urat, bilirubin total dan
indirek. Penilaian serial trombosit, LDH dan enzim hepar biasanya setiap 12-24 jam atau lebih
sering jika secara klinis diindikasikan.
3. Menilai kondisi janin
Sindroma HELLP adalah varian atipik preeklampsia berat, sehingga terapi definitif adalah
persalinan dan pelepasan villi chorialis dan faktor sitotoksik yang diproduksinya. Waktu
terminasi tergantung beberapa faktor, termasuk tingkat keparahan kondisi maternal, kondisi
janin, cadangan plasenta dan usia kehamilan. Kehamilan > 34 minggu dan sindroma HELLP kelas
I harus berlangsung dalam 24 jam baik pervaginam maupun perabdominam. Pada kehamilan
antara 24-34 minggu yang berisiko persalinan preterm direkomendasikan pemberian
kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas paru janin, bahkan jika persalinan tidak mungkin
ditunda selama 24-48 jam. Alasan kedua pemberian kortikosteroid adalah adanya perbaikan
yang temporer dan variabel pada proses sindroma HELLP sebagai keuntungan bagi ibu, yaitu
trombosit stabil atau meningkat, sedangakan LDH, SGOT dan SGPT stabil atau menurun.
Pemberian kortikosteroid adalah 10 mg setiap 12 jam hingga persalinan, dan dilanjutkan
postpartum untuk mencegah fenomena rebound.
4. Mengontrol tekanan darah
Tujuan manajemen tekanan darah adalah mengurangi tekanan darah untuk mencegah
komplikasi maternal dan risiko solusio plasenta, sementara masih mempertahankan perfusi
plasenta yang adekuat. Pada keadaan hipertensi akut, obat yang disarankan adalah hidralazin,
labetalol dan natrium nitroprussid. Antihipertensi postpartum yang ideal adalah nifedipin,
dengan keuntungan ganda : kontrol tekanan darah yang baik, peningkatan diuresis, normalisasi
yang cepat trombosit postpartum dan tidak ada efek samping yang mengkhawatirkan.
5. Mencegah kejang dengan magnesium sulfat
Kejang eklamptik sering mendahului atau mengikuti sindroma HELLP. Oleh karena itu
direkomendasikan pemberian magnesium sulfat 4-6 g iv bolus diikuti infus konstan 1,5-4 g/jam.
Infus dilanjutkan sampai 48 jam atau lebih postpartum hingga perbaikan dari sindroma HELLP
tampak. Keuntungan sekunder magnesium sulfat adalah kemampuannya merelaksasi
pembuluh darah sentral dan perifer, dengan konsekuensi berkurangnya penggumpalan
trombosit.
6. Manajemen cairan dan elektrolit
Kombinasi vasospasme dan cedera endotelial pada pasien dengan sindroma HELLP
mempersempit batas kelebihan dan defisiensi intravaskuler yang diperbolehkan. Regimen
cairan yang direkomendasikan adalah bergantian dekstrosa 5%, setengah normal salin dan
ringer laktat 5% dengan kecepatan 100 cc/jam untuk mempertahankan urine output paling
sedikit 20 cc/jam (lebih disukai 30-40 cc/jam). Intake cairan total harus dibatasi 150 cc/jam.
Elektrolit dievaluasi dan penyesuaian dibuat harian jika perlu. Terlalu sedikit cairan dapat
menurunkan volume intravaskuler yang sudah mengalami vasokonstriksi dan menyebabkan
cedera ginjal, sedangkan terlalu banyak cairan dapat melampaui kompensasi vaskuler dan
menimbulkan cedera paru dengan edema pulmoner kardiogenik dan kelebihan cairan lain yang
mungkin seperti ascites, dengan akibat sampingan yang multipel.
Pada pasien tanpa preeklampsia, status cairan dapat dipandu dengan central venous
pressure (CVP). Karena CVP tidak selalu reflektif akan fungsi ventrikel kiri, metode ini tidak
dapat digunakan untuk manajemen cairan pada pasien dengan sindroma HELLP. Monitoring
status darah/cairan yang dapat dipercaya dapat dipenuhi dengan menggunakan pulmonary
capillary wedge pressure (PCWP). Kehamilan lain dengan komplikasi preeklampsia yang
membutuhkan alat ini adalah pasien dengan edema pulmoner resisten dan pasien dengan gagal
multiorgan.
7. Penggunaan hemoterapi yang bijaksana
Perdarahan spontan dapat terjadi pada tempat infus dan insisi bedah pada pasien
dengan sindroma HELLP ketika trombosit kurang dari 50.000/uL. Transfusi trombosit
direkomendasikan jika pasien dengan preeklampsia berat menjalani persalinan perabdominam
dengan trombosit < 50.000/uL. Pasien dengan sindroma HELLP ditransfusi jika menjalani
persalinan perabdominam dengan trombosit < 40.000/uL dan jika menjalani persalinan
pervaginam dengan trombosit < 20.000/uL. Setelah persalinan, transfusi trombosit
dipertimbangkan untuk 24 jam postpartum, untuk mempertahankan di atas 50.000/uL
(perabdominam) dan di atas 20.000/uL (pervaginam) untuk mencegah formasi hematoma.
8. Manajemen persalinan
Terapi rumah sakit terkini di Amerika Serikat terhadap pasien dengan sindroma HELLP
meliputi penilaian yang cermat mengenai status maternal dan fetal, dengan persalinan yang
dilangsungkan segera setelah itu. Karena perjalanan penyakit ini dengan cepat memburuk pada
fase akselerasi, waktu adalah penting, termasuk kemungkinan apakah persalinan pervaginam
dapat dicapai pada waktu yang tepat demi manfaat ibu dan janin. Penggunaan deksametason
kekuatan ganda (10 mg iv setiap 12 jam) segera setelah diagnosis sindroma HELLP dibuat pada
kehamilan yang sangat preterm mempunyai 2 fungsi, yaitu meningkatkan maturitas paru janin
meskipun persalinan terjadi kurang dari 24-48 jam dan perbaikan proses penyakit maternal
untuk tindakan pematangan serviks yang lebih agresif dan lebih lama serta induksi persalinan
pada pasien-pasien yang diindikasikan.
Jika persalinan perabdominam yang dilakukan, insisi kulit vertikal lebih dipilih daripada
insisi Pfannenstiel karena berhubungan dengan disrupsi kulit yang lebih sedikit, termasuk
pemisahan luka dan infeksi. Insisi vertikal uterus segmen bawah digunakan untuk segmen
bawah yang belum terbentuk (biasanya < 32 minggu) dan malpresentasi. Plasenta spontan lebih
baik daripada ekstraksi manual pada SC, dihubungkan dengan minimalisasi kehilangan darah. In
situ lebih baik daripada eksteriorisasi saat repair uterus, dihubungkan dengan minimalisasi
trauma uterus dan adnexa. Peritoneum vesikouterina tidak perlu ditutup. Antibiotika diberikan
selama 24-48 jam jika dilakukan trasfusi karena morbiditas infeksi yang tinggi.
9. Optimalisai perawatan perinatal
Risiko primer janin pada kehamilan dengan sindroma HELLP adalah prematuritas.
Outcome perinatal pada bayi preterm yang lahir dari ibu dengan sindroma HELLP sama dengan
outcome pada pasien preeklampsia-eklampsia tanpa sindroma tersebut dengan usia kehamilan
yang sama. Karena adanya hubungan antara trombositopenia ibu dan risiko perdarahan
intraventrikuler pada bayi, penilaian rutin awal terhadap trombosit neonatus direkomendasikan
pada bayi baru lahir dari ibu penderita sindroma HELLP.
10. Perawatan intensif postpartum
Sindroma HELLP dapat bermanifestasi pertama kali pada masa postpartum.
Direkomendasikan untuk merawat pasien preeklampsia berat dengan sindroma HELLP di ruang
pemulihan obstetri yang berfungsi sebagai unit perawatan intensif intermediate hingga (1)
trombosit menunjukkan kecenderungan meningkat dan penurunan konsisten LDH, (2) diuresis >
100 cc/jam selama 2 jam berturut-turut tanpa bolus cairan atau penggunaan diuretika, (3)
tekanan darah terkontrol, dengan kisaran sistolik 150 mmHg dan diastolik < 100 mmHg, dan (4)
tampak perbaikan klinis dan tidak ada komplikasi yang signifikan.
Kortikosteroid postpartum diberikan sebagai deksametason 10 mg iv setiap 12 jam
untuk 2 dosis, kemudian 5 mg iv setiap 12 jam untuk 2 dosis, yang menghasilkan resolusi cepat
sindroma HELLP, yang diukur dengan peningkatan urin output dan trombosit dan penurunan
mean arterial pressure, LDH dan SGOT.
11. Tetap waspada terhadap terjadinya gagal sistem multiorgan
Pasien dengan volume darah yang berkurang yang kehilangan sejumlah darah secara
signifikan, meningkatkan risiko gagal ginjal akut, cedera paru akut, dan sindroma distres
pernafasan. Pengembalian volume intravaskuler yang cepat dan tepat waktu dengan darah dan
produk darah adalah penting untuk mencegah kerusakan glomerular dan alveolar. Pada pasien
dengan penyakit sistem multiorgan, plasma exchange menjadi pertimbangan untuk
memfasilitasi resolusi proses penyakit ini.
12. Konseling mengenai kehamilan yang akan datang
Pertanyaan pasien tentang risiko rekurensi sindroma HELLP pada kehamilan yang akan
datang dapat menggunakan data penelitian di Mississippi, dimana 75% adalah ras kulit hitam,
dengan rekurensi preeklampsia-eklampsia dari berbagai tipe sebesar 42-43%, dan risiko
rekurensi sindroma HELLP berkisar antara 19-27%.