Makalah Kewarganegaraan

32
BAB I PENDAHULUAN Di era globalisasi yang terbuka ini, banyak masyarakat yang berpergian ke luar negeri karena berbagai motif dan alasan seperti tuntutan pekerjaan, urusan kesehatan, mengejar pendidikan, dll. Tak hanya yang bepergian ke luar negeri, yang berdatangan ke dalam negeri (Indonesia) juga tak kalah banyaknya. Mungkin kedatangan mereka lebih banyak berkaitan dengan unsur kepariwisataan, misalnya para turis mancanegara yang datang untuk berlibur. Tapi selain itu ada juga yang memutuskan untuk menetap di suatu negara, menikah dengan warga negara tersebut dan memiliki anak yang akhirnya terbentur dengan masalah status kewarganegaraan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa saja masalah yang akan dihadapi terkait dengan status kewarganegaraan tadi dan bagaimana undang-undang 1

description

Kewarganegaraan

Transcript of Makalah Kewarganegaraan

Page 1: Makalah Kewarganegaraan

BAB I

PENDAHULUAN

Di era globalisasi yang terbuka ini, banyak masyarakat yang berpergian ke

luar negeri karena berbagai motif dan alasan seperti tuntutan pekerjaan, urusan

kesehatan, mengejar pendidikan, dll. Tak hanya yang bepergian ke luar negeri,

yang berdatangan ke dalam negeri (Indonesia) juga tak kalah banyaknya.

Mungkin kedatangan mereka lebih banyak berkaitan dengan unsur

kepariwisataan, misalnya para turis mancanegara yang datang untuk berlibur. Tapi

selain itu ada juga yang memutuskan untuk menetap di suatu negara, menikah

dengan warga negara tersebut dan memiliki anak yang akhirnya terbentur dengan

masalah status kewarganegaraan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa saja

masalah yang akan dihadapi terkait dengan status kewarganegaraan tadi dan

bagaimana undang-undang kewarganegaraan serta hukum internasional

mengaturnya? Makalah ini akan membahas tentang kewarganegaraan, asas untuk

memperoleh kewarganegaraan, undang-undang kewarganegaraan dan masalah

status kewarganegaraan yang timbul baik di Indonesia maupun di dunia

Internasional.

1

Page 2: Makalah Kewarganegaraan

BAB II

KEWARGANEGARAAN

A. Definisi Kewarganegaraan

Negara sebagai entitas adalah abstrak, yang tampak hanyalah unsur-unsur

negaranya yaitu penduduk, wilayah dan pemerintahan. Penduduk ialah semua

orang yang berdomisili di sebuah negara baik masyarakat asli maupun pendatang

(warga negara asing) yang sedang berlibur atau bekerja dan menetap sementara di

negara tersebut. Warga negara merupakan bagian dari suatu penduduk. Warga

negara memiliki hubungan dengan negaranya, serta mempunyai hak dan

kewajiban yang bersifat timbal balik1.

Kewarganegaraan memiliki sifat yang menunjukkan hubungan atau ikatan

antara negara dan warganya. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan

Republik Indonesia: “Kewarganegaraan adalah segala sesuatu yang berhubungan

dengan negara”2. Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu:

(1) Kewarganegaraan dalam arti yuridis, yaitu kewarganegaraan yang ditandai

dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dan negara.

1Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education: Antara Realitas Politik dan

Implementasi Hukumnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal 89.

22006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. hal 7.

2

Page 3: Makalah Kewarganegaraan

(2) Kewarganegaraan dalam artis sosiologis, yaitu kewarganegaraan yang

bukan ditandai dengan ikatan hukum, melainkan ikatan emosional, seperti

ikatan perasaan, ikatan nasib, ikatan keturunan, ikatan sejarah, dan ikatan

tanah air. Kata ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara

bersangkutan.3

Dalam wacana apapun, negara harus diposisikan sejajar dengan warga

negaranya. Selama negara masih berada di atas warga negara atau masyarakatnya,

hubungan atara keduanya tidak akan bisa berjalan harmonis. Secara normatif

hubungan antara warga negara dan negara harus selalu berpegang pada hak dan

kewajiban yang melekat pada keduanya, sehingga terciptalah komunikasi yang

demokratis dan adil sesuai dengan yang disyaratkan oleh konstitusi.4

Ketika salah satu di antaranya bertindak tanpa berpedoman pada konstitusi

sebagai dasar dan standar normatif, hubungan itu mulai koyak, dan biasanya yang

dirugikan dalam hal ini adalah warga negara. Dengan kekuasaannya, negara

(pemerintahan) bisa melakukan cara-cara represif dan hegemonik untuk

mengendalikan warga negara agar legitimasi warga negara selalu mengalir pada

negara.5 Padahal sebetulnya negara tidak dibenarkan untuk mendominasi warga

negara, begitu juga sebaliknya warga negara tidak dibenarkan secara anarkis

menjatuhkan negara.

3Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi, loc. cit.

4Srijanti, A. Rahman H.I. dan Purwanto S.K. 2007. Etika Berwarga Negara: Pendidikan

Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. hal 74. 5Ibid.

3

Page 4: Makalah Kewarganegaraan

B. Asas Kewarganegaraan

Asas kewarganegaraan diperlukan untuk menentukan status

kewarganegaraan seseorang. Hal ini penting agar seseorang mendapatkan

perlindungan hukum dari negara, serta menerima hak dan kewajibannya.

Ketentuan tentang status kewarganegaraan diatur dalam peraturan

perundangan suatu negara. Setiap negara bebas menentukan asas

kewarganegaraan yang akan dicantumkan dalam peraturan perundangan yang

berlaku di negaranya, karena setiap negara memiliki nilai budaya, sejarah, dan

tradisi yang berbeda satu sama lain. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, dikenal

dua pedoman, yaitu (1) asas kewarganegaraan umum dan (2) asas

kewarganegaraan khusus.

1. Asas Kewarganegaraan Umum

a. Asas Kelahiran (Ius Soli)

Asas Ius Soli (Law of the soil) secara terbatas adalah asas yang

menentukan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran.

Asas ini lebih sesuai dengan kondisi global saat ini ketika

kebangsaan dan kewarganegaraan seseorang tidak ditentukan oleh

dasar etnis, ras dan agama. Asas ini memungkinkan terciptanya

UU kewarganegaraan yang bersifat terbuka dan multikultural.

Beberapa negara yang menggunakan asas ius soli antara lain

adalah Amerika Serikat, Argentina, Brazil, Peru, dan Meksiko.

4

Page 5: Makalah Kewarganegaraan

Australia sebetulnya juga menggunakan asas kewarganegaraan

ini, hanya saja dengan beberapa persyaratan. Seorang anak yang

lahir di Australia, tidak serta merta memperoleh kewarganegaraan

Australia, kecuali jika salah satu dari kedua orang tuanya adalah

warga negara Australia. Namun, jika anak tersebut menetap di

Australia sampai ia berumur 10 tahun, maka anak itu secara

otomatis akan memperoleh kewarganegaraan Australia, terlepas

dari status kewarganegaraan kedua orang tuanya.6

b. Asas Keturunan (Ius Sanguinis)

Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang

menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan

(darah), bukan berdasar tempat kelahiran. Negara yang menganut

asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak sebagai

warga negaranya apabila salah satu atau kedua orang tua dari

anak tersebut memiliki status kewarganegaraan negara tersebut.

Asas ini dianut oleh sebagian besar negara di Eropa dan Asia.7

c. Asas Kewarganegaraan Tunggal

Asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.

Menurut asas ini, seseorang tidak diperkenankan memiliki

kewarganegaraan lebih dari satu.8

6 Srijanti, A. Rahman H.I. dan Purwanto S.K, op. cit. hal 76.7 Ibid.8 Ibid.

5

Page 6: Makalah Kewarganegaraan

d. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas

Asas yang menentukan status kewarganegaraan ganda bagi anak-

anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

Pada saat anak tersebut mencapai umur 18 tahun, maka ia harus

menentukan salah satu kewarganegaraannya.9

2. Asas Kewarganegaraan Khusus

Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar

penyusunan Undang-undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Asas-asas tersebut menurut Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi antara lain

ialah:

(1) Asas kepentingan nasional, yaitu asas yang menentukan bahwa

peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional

Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai

negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.

(2) Asas perlindungan maksimum, yaitu asas yang menentukan

bahwa pemeritah wajib memberikan perlindungan penuh kepada

setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di

dalam maupun di luar negeri.

(3) Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintah, yaitu asas yang

menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan

perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

9 Ibid.

6

Page 7: Makalah Kewarganegaraan

(4) Asas kebenaran substantif yaitu asas yang menerangkan bahwa

prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat

administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat

permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

(5) Asas nondiskriminatif yaitu asas yang tidak membedakan

perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan

Warga Negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis

kelamin dan gender.

(6) Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

yaitu asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan

dengan Warga Negara harus menjamin, melindungi, dan

memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga

negara pada khususnya.

(7) Asas keterbukaan yaitu asas yang menentukan bahwa dalam

segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus

dilakukan secara terbuka.

(8) Asas publisitas yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang

yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik

Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.10

10Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi, op. cit. hal. 91.

7

Page 8: Makalah Kewarganegaraan

BAB III

STUDI KASUS TENTANG PERMASALAHAN

KEWARGANEGARAAN

A. Undang-Undang Kewarganegaraan

1. UU Kewarganegaraan Lama

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006,

masalah kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1946 dan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia, sebagai penjabaran dari Undang-Undang Dasar

Sementara Tahun 1950. Alasan mengapa undang-undang yang lama

digantikan dengan yang baru ialah karena UU kewarganegaraan yang lama

baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis tidak memenuhi syarat,

sebagaimana tercantum pada bagian penjelasan UU No.12 tahun 2006.

Secara filosofis, misalnya, undang-undang ini masih mengandung

ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara

lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi

dan persamaan antara warga negara, serta kurang memberikan perlindungan

terhadap perempuan dan anak-anak.11

11Jehani, Libertus dan Atanasius Harpen. 2006. Tanya Jawab UU Kewarganegaraan

Indonesia. Jakarta: Visimedia. hal 2.

8

Page 9: Makalah Kewarganegaraan

Secara yuridis landasan konstitusional pembentukan Undang-undang

kewarganegaraan yang lama ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara

tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden Tahun 1959,

yaitu dengan kembali berlakunya UUD 1945. UUD 1945 ini pun sudah

diamandemen sehingga lebih menjamin perlindungan HAM dan hak warga

negara.12

Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian

dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki

adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan

hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.13

Harus diakui bahwa UU Kewarganegaraan yang lama memiliki

banyak sekali dampak yang buruk. Misalnya, persyaratan menyertakan

Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) bagi WNI etnis

Tionghoa yang ingin mengurus paspor atau dokumen sipil lainnya.

Legalisasi SKBRI tersebut jelas melanggar hak seseorang untuk

mendapatkan pengakuan yang sama sebagai warga negara.14

Meskipun masalah SKBRI ini sebetulnya sudah dihapus melalui

Kepres No. 56 Tahun 1996, namun masih banyak aparat di lapangan yang

meminta SKBRI kepada warga keturunan yang ingin mengurus berbagai

dokumen.15

12Ibid.

13Ibid.

14Ibid.15Ibid.

9

Page 10: Makalah Kewarganegaraan

Dulu SKBRI dan SMKK RRT diterapkan bagi warga keturunan

Tionghoa karena Indonesia dan RRT (China) menganut asas

kewarganegaraan yang berbeda. Indonesia menganut asas ius soli,

sementara RRT menganut asas ius sanguinis. Perbedaan itu menyebabkan

warga keturunan Tionghoa memiliki dwi kewarganegaraan. Atas dasar itu

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah RRT melakukan perjanjian bilateral

sehingga di pihak Indonesia keluarlah UU No. 62 Tahun 1958.16

2. UU Kewarganegaraan Baru

UU Kewarganegaraan yang baru atau UU No. 12 Tahun 2006 telah

menghapuskan semua aturan kewarganegaraan yang diskriminatif. Selain

memperlakukan warga keturunan sama seperti Warga Negara Indonesia asli

lainnya, undang-undang ini juga melakukan terobosan penting yakni dengan

memberi kewarganegaraan ganda bagi anak dari hasil perkawinan campur

antara WNI dengan WNA sebelum anak itu berusia 18 tahun. Ketentuan ini

bertujuan untuk melindungi hak-hak anak.17

Sebelum UU ini disahkan, seorang anak yang lahir di Indonesia dari

perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA, statusnya adalah WNA.

Akibatnya, jika orang tua lupa memperpanjang visa anaknya atau kedua

orang tuanya cerai, anak tersebut akan dideportasi ke negara asal ayahnya.

Lebih kompleks lagi masalah yang dihadapi sang anak apabila

negara asal ayahnya ternyata menolak memberikan kewarganegaraan

16Ibid.17Ibid.

10

Page 11: Makalah Kewarganegaraan

kepada anak tersebut. Dengan demikian, anak itu akhirnya menjadi

kehilangan kewarganegaraan (stateless). Ibunya mau tidak mau harus

mengajukan permohonan ke pengadilan agar anaknya mendapatkan

kewarganegaraan Indonesia. Dengan disahkannya UU ini, maka masalah

semacam itu tidak perlu terjadi lagi.

B. Status Kewarganegaraan

Status/identitas kewarganegaraan adalah posisi keanggotaan seseorang

sebagai warga negara untuk tinggal dan berpartisipasi dalam suatu negara, yang

diakui oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku di negara tersebut. Status

kewarganegaraan sangat penting karena status tersebut menandakan sebuah

hubungan hukum antara seorang individu dengan sebuah negara. Status tersebut

menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan penyelenggaraan hak dan kewajiban sipil

sebagai warga negara. Identitas kewarganegaraan akan berimplikasi pada hak dan

kewajiban sebagai warga negara yang diatur dalam hukum kewarganegaraan.18

Permasalahan dalam menentukan status kewarganegaraan seseorang bisa

terjadi karena beberapa kemungkinan. Hal ini disebabkan karena beberapa negara

menganut asas ius soli sedangkan beberapa negara lainnya menganut asas ius

sanguinis. Beberapa status kewarganegaraan yang bisa terjadi karena

permasalahan-permasalahan ini antara lain ialah: (1) apatride, (2) bipatride, dan

(3) multipatride.19

18Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi, op. cit. hal. 9419Ibid.

11

Page 12: Makalah Kewarganegaraan

1. Apatride

Apatride adalah seseorang yang sama sekali tidak memiliki status

kewarganegaraan. Secara de jure, orang yang tidak berkewarganegaraan

adalah orang yang secara hukum tidak dianggap sebagai warga negara oleh

negara manapun yang seharusnya melindunginya.20

Sementara orang yang tidak berkewarganegaraan secara de facto

adalah seseorang yang berada di luar negara asalnya dan tidak dapat atau,

karena alasan yang sah, tidak bersedia untuk memanfaatkan perlindungan

yang ditawarkan oleh negaranya. Ini bisa terjadi sebagai akibat dari

penganiayaan (yang biasanya terjadi pada pengungsi), atau karena buruknya

hubungan diplomatis antara negara asal dengan negara tempat tinggal orang

tersebut.21

Penyebab dari ketiadaan status kewarganegaraan di berbagai belahan

dunia bermacam-macam. Kebanyakan kasus yang biasanya muncul ialah

kasus diskriminasi, biasanya karena permasalahan ras, etnis, agama, dan

gender. Kasus ini biasanya terjadi pada kelompok minoritas yang secara

turun-temurun memang sudah mengalami perlakuan diskriminatif di

negaranya.

Di beberapa kasus yang sangat langka terjadi, seseorang bisa

berstatus apatride ketika mereka menanggalkan/melepaskan

kewarganegaraan mereka. Beberapa orang yang menganut paham

20Ibid.21Ibid.

12

Page 13: Makalah Kewarganegaraan

voluntarism atau agorism kebanyakan memilih untuk tidak memiliki

kewarganegaraan.

Sebab lain munculnya status apartride adalah ketiadaan negara atau

negara yang belum diakui kedaulatannya. Akibatnya, orang-orang yang

hidup di negara terjajah dan atau negara yang tidak memiliki kedaulatan

sama sekali sulit sekali mendapatkan status kewarganegaraan. Wilayah

Palestina, Sahara Barat, dan Cyprus Utara, dianggap masuk ke kategori

negara tidak berdaulat oleh beberapa masyarakat internasional.

Ketiadaan status kewarganegaraan ini menyebabkan seseorang juga

kehilangan hak dan kewajibannya terhadap negara. Anak yang lahir dan

tumbuh dewasa tanpa kewarganegaraan secara otomatis tidak mendapatkan

hak yang sama seperti yang tercantum pada undang-undang. Bahkan di

beberapa negara di Eropa, anak-anak dengan status apatride tidak

memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan

pendidikan gratis, beasiswa, bahkan perlindungan atas hukum.22

Meskipun status apatride dikecam dalam hukum internasional, dan

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) juga memproklamirkan

hak atas kewarganegaraan, United Nations High Commisioner of Refugees

(UNHCR) mencatat masih ada lebih dari setengah juta orang berstatus

apatride di benua Eropa, dan mungkin lebih dari 12 juta orang berstatus

apatride di seluruh dunia.23

22Sawyer, Caroline dan Brad K. Blitz. 2011. Statelessness in the European Union:

Displaced, Undocumented, Unwanted. New York: Cambridge University Press. hal 6.23Ibid.

13

Page 14: Makalah Kewarganegaraan

2. Bipatride

Bipatride adalah seseorang yang memiliki status kewarganegaraan

ganda.24 Hukum internasional menyatakan bahwa, sebagai bentuk

kedaulatan masing-masing negara, tiap-tiap negara berhak menentukan

warga negaranya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di negaranya.

Kewarganegaraan ganda awalnya tidak dianggap suatu masalah

besar di dunia internasional. Namun, sejak beberapa dekade yang lalu,

terutama sejak perang dunia berkecamuk, dibuatlah kesepakatan

internasional bahwa kewarganegaraan ganda haruslah dihindari sebisa

mungkin, sebagaimana tercermin baik dalam undang-undang

kewarganegaraan maupun dalam konvensi serta perjanjian bilateral dan

internasional. Sebuah pernyataan singkat oleh Liga Bangsa-Bangsa pada

tahun 1930 merangkum perspektif internasional yang dominan hampir di

sepanjang abad ke-20: “Setiap orang berhak untuk memperoleh satu

kewarganegaraan, tapi hanya satu kewarganegaraan saja.”

Pada saat itu, kebanyakan negara beranggapan bahwa

kewarganegaraan ganda merupakan ancaman potensial terhadap munculnya

pengkhianatan, spionase, dan aktivitas subversif lainnya. Terutama ketika

Perang Dunia II meletus, seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan

24Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia, op. cit. hal 38.

14

Page 15: Makalah Kewarganegaraan

sering dianggap sebagai mata-mata atau agen perang ganda bagi negara

lawan.25

Namun belakangan ini, kebijakan yang mentoleransi dwi-

kewarganegaraan rupanya telah meningkat. Beberapa negara Eropa seperti

Perancis (1973), Portugal (1981), Italia (1992), Swedia (2001), dan

Finlandia (2003) tidak lagi meminta warga negaranya yang telah

dinaturalisasi negara lain untuk melepaskan status kewarganegaraannya

yang lama. Perubahan kebijakan dan sikap terhadap status kewarganegaraan

ganda ini dilandasi pada hukum Internasional. Sebetulnya European

Convention on the Reduction of Cases of Dual Nationality and Military

Obligations in Cases of Dual Nationality pada tahun 1963 memiliki tujuan

pembatasan terhadap masalah dwi-kewarganegaraan. Tetapi, European

Convention on Nationality, yang ditandatangani oleh sebagian besar negara-

negara Eropa, tidak memuat pembatasan terhadap status dwi-

kewarganegaraan sebagai keganjilan yang harus dihapuskan.26

Singkatnya, ada 2 faktor yang paling penting yang menyebabkan

kebijakan dan toleransi terhadap status dwikewarganegaraan semakin

meningkat. Pertama, perubahan hubungan antar negara. Kedua, perubahan

hubungan antara negara dan warga negaranya. Dulu hubungan kerja sama

internasional (bilateral & multilateral) memiliki ketentuan sebisa mungkin

menghindari adanya status bipatride dan multipatride bagi warga negaranya.

25Faist, Thomas dan Jürgen Gerdes. 2008. Dual Citizenship in an Age of Mobility. Paper on

Inaugural Meeting about Identity and Citizenship in the 21st Century. Bellagio.

26Ibid.

15

Page 16: Makalah Kewarganegaraan

Namun saat ini semakin banyak negara yang mencabut ketentuan itu.

Ketentuan itu awalnya bermula pada abad ke-19 ketika kebanyakan negara

mewajibkan warga negaranya untuk mengikuti wajib militer. Namun,

ketentuan itu saat ini kebanyakan sudah tidak berlaku lagi. Bagi negara yang

masih menggunakan ketentuan itu, asas yang diterapkan adalah orang yang

memiliki dwikewarganegaraan diwajibkan mengikuti wajib militer di negara

tempat ia tinggal dan bebas wajib militer di negara yang lainnya.27

3. Multipatride

Multipatride adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki status

kewarganegaraan lebih dari dua. Hal ini bisa terjadi jika seorang pria yang

berkewarganegaraan A menikah dengan wanita berkewarganegaraan B, lalu

tinggal dan melahirkan anak di negara C, bila negara A & B menganut asas

ius sanguinis sementara negara C menganut asas ius soli.28

Dalam beberapa dekade terakhir status multipatride telah diterima

secara luas oleh negara-negara demokratis. Penolakan terhadap status

multipatride kini telah menghilang, dan belakangan ini makin banyak

negara-negara berdaulat yang menoleransi status ini. Peningkatan

keberadaan status multipatride saat ini disebabkan karena beberapa hal,

misalnya karena banyaknya migrasi (perpindahan suatu individu dari negara

asal ke negara lain), adanya pelarangan pajak ganda (pajak di negara asal &

27Ibid.28Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia, op. cit. hal 41.

16

Page 17: Makalah Kewarganegaraan

negara tempat tinggal), hilangnya wajib militer, kesetaraan gender dalam

penentuan kewarganegaraan, dan selesainya konflik-konflik internasional

(Perang Dunia dan Perang Dingin).

C. Pewarganegaraan (Naturalisasi)

Naturalisasi adalah pemberian atau akuisisi kewarganegaraan dan

kebangsaan pada seseorang yang bukan warga negara negara tersebut pada saat

kelahiran.29 Secara umum, persyaratan dasar untuk naturalisasi adalah bahwa

pemohon memegang status hukum sebagai penduduk untuk jangka waktu

minimum tertentu (sesuai dengan yang disyaratkan undang-undang

kewarganegaraan yang berlaku), berjanji untuk mematuhi dan menegakkan

hukum negara itu, yang terkadang diperlukan adanya sumpah atau janji setia.

Beberapa negara juga mengharuskan seorang warga negara naturalisasi

meninggalkan setiap kewarganegaraan lain yang mereka pegang sebelumnya

(melarang kewarganegaraan ganda). Tapi apakah penolakan ini benar-benar

menyebabkan hilangnya kewarganegaraan asli individu tersebut akan tergantung

pada undang-undang kewarganegaraan negara yang terlibat.

Naturalisasi secara tradisional didasarkan pada ius soli atau ius sanguinis,

meskipun sekarang biasanya campuran keduanya. Naturalisasi awalnya

“diciptakan” untuk menolong korban/pengungsi perang pada saat terjadinya

Perang Dunia I hingga II, yang akibat perang itu mereka kehilangan

kewarganegaraannya. Namun belakangan ini naturalisasi berkembang menjadi

29Ibid.

17

Page 18: Makalah Kewarganegaraan

sebuah upaya untuk memperoleh bibit-bibit unggul yang dianggap akan

memberikan kontribusi pada suatu negara baik dalam bidang IPTEK, olahraga,

seni, dll.

D. Hilangnya Kewarganegaraan (Denaturalisasi)

Denaturalisasi adalah kebalikan dari naturalisasi, yaitu ketika negara

mencabut salah satu warganya-nya atau kewarganegaraannya. Dari sudut pandang

individu, denaturalisasi berarti "pembatalan" atau "hilangnya" kewarganegaraan.

Denaturalisasi dapat dibenarkan berdasar berbagai kasus hukum. Bentuk yang

paling parah adalah "pencabutan kewarganegaraan" yang terjadi saat

denaturalisasi dijadikan sebagai hukuman untuk tindakan yang dianggap

kejahatan oleh negara. Bisa juga didasarkan pada tindakan yang dianggap

mengkhianati bangsa, contohnya karena telah mengabdi pada militer asing. Di

negara-negara yang mengenal asas kewarganegaraan tunggal, naturalisasi sukarela

di negara lain akan menyebabkan hilangnya kewarganegaraan asli. Atau dalam

bahasa hukumnya disebut “penolakan kewarganegaraan” (menolak

kewarganegaraan asli yang sebelumnya melekat pada individu tersebut).

Menurut Srijanti, Rahman dan Purwanto: Denaturalisasi adalah hilangnya

kewarganegaraan karena pembatalan naturalisasi, juga dikenal sebagai

"denaturalisasi administrasi".30 Hal ini terjadi ketika individu itu ternyata

30Srijanti, A. Rahman H.I. dan Purwanto S.K. 2007, op. cit. hal 79.

18

Page 19: Makalah Kewarganegaraan

memperoleh naturalisasi dengan cara tidak sah, misalnya karena adanya kesalahan

administrasi atau penipuan (suap).

BAB IV

PENUTUP

Dari pembahasan makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat

pandangan yang berbeda-beda mengenai munculnya permasalahan status

kewarganegaraan, baik apatride, bipatride, maupun multipatride. Dalam dunia

Internasional memiliki kewarganegaraan lebih dari satu nampaknya bukan lagi hal

yang patut dipermasalahkan, namun ketiadaan status kewarganegaraan masih

19

Page 20: Makalah Kewarganegaraan

menjadi permasalahan yang terus diperbincangkan. Naturalisasi mungkin adalah

salah satu jalan keluar untuk mengatasi permasalahan apatride. Namun

nampaknya tidak semua negara bisa mempermudah seseorang yang berstatus

apatride memperoleh kewarganegaraan di negara tempat ia tinggal dan

mengajukan permohonan naturalisasi. Oleh karena itu perlu diadakan pertemuan

dan konvensi antar negara untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut untuk

mencari solusi bersama demi kepentingan penghargaan terhadap hak-hak asasi

manusia di dunia internasional.

DAFTAR PUSTAKA

2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Faist, Thomas dan Jürgen Gerdes. 2008. Dual Citizenship in an Age of Mobility. Paper on Inaugural Meeting about Identity and Citizenship in the 21st

Century. Bellagio.

Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education: Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Jehani, Libertus dan Atanasius Harpen. 2006. Tanya Jawab UU Kewarganegaraan Indonesia. Jakarta: Visimedia.

20

Page 21: Makalah Kewarganegaraan

Sawyer, Caroline dan Brad K. Blitz. 2011. Statelessness in the European Union: Displaced, Undocumented, Unwanted. New York: Cambridge University Press.

Srijanti, A. Rahman H.I. dan Purwanto S.K. 2007. Etika Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

21