Struktur komunitas ekosistem mangrove di kawasan pesisir ...
makalah kawasan pesisir
-
Upload
anita-putriahandayani -
Category
Documents
-
view
132 -
download
3
description
Transcript of makalah kawasan pesisir
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan peradaban dan pertumbuhan penduduk dunia
menyebabkan pengelolaan sumberdaya perikanan pun semakin
kompleks. Apabila dilihat dari konteks negara berkembang seperti
Indonesia di mana faktor sosial, politik, ekonomi dan demografi yang tidak
mendukung menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi tantangan
besar bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Tidaklah mengherankan
apabila kemudian selama enam puluh tahun lebih bangsa ini merdeka,
sektor perikanan belum menunjukkan potensinya sebagai sektor yang
dapat diunggulkan, meski realitas potensi fisik dan geografis sumberdaya
perikanan jauh lebih baik daripada negara-negara di Asia lainnya.
Dibalik peran strategis dan prospek potensi dari ekosistem pesisir
dan lautan berserta sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya bagi
pembangunan nasional, terdapat berbagai kendala dan kecenderungan
yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) kedua
ekosistem ini. Berdasarkan kajian Balai Riset Kelautan dan Perikanan
tahun 2005, mengilustrasikan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya
ikan umumnya sudah menunjukkan gejala lebih tangkap (overfishing)
pada beberapa wilayah pengelolaan perikanan, yang ditandai dengan
menurunnya trend produksi sumberdaya ikan dan perubahan
komposisinya seperti menurunnya rata-rata panjang ikan yang tertangkap
1
disamping makin mendominasinya ikan-ikan yang dahulu umumnya
dikategorikan sebagai ikan tangkapan samping atau by-catch.
Dalam tataran empiriknya, kondisi sumberdaya pesisir dan laut
yang bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang
bersifat quasi open access, lebih diterjemahkan pada pengertian sifat
sumberdaya yang merupakan public domain dan tidak ada pemiliknya.
Konteks ini tidak terdefinisikan dengan baik sehingga menimbulkan gejala
yang disebut dengan dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente
sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan yang optimal.
Dengan adanya sifat sumberdaya yang quasi open access tersebut, maka
tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak lain tidak dapat terkoreksi
oleh pasar (market failure). Hal ini menimbulkan
ketidakefisienan ekonomi karena semua pihak akan berusaha
mengeksploitasi sumberdaya sebesar-besarnya, jika tidak maka pihak lain
yang akan mendapat keuntungan. Kondisi seperti inilah yang terjadi saat
ini. Dengan didukung oleh teknologi, maka pihak-pihak yang lebih kuat
dan mampu akan mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan
sehingga terjadi hukum rimba (siapa yang kuat, dia yang menang) dan
daya produksi alamiah otomatis menjadi terganggu.
Berbagai permasalahan dan isu-isu yang mucul dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut untuk saat ini, yang tidak hanya terjadi di
Indonesia, namun kecenderungan tersebut juga terjadi dibeberapa benua
termasuk negara-negara di Asia Tenggara lainnya selama empat dekade
2
terakhir. Implikasinya, jumlah peraturan yang dibuat dan dikeluarkan oleh
pemerintah semakin bertambah yang banyak melibatkan kreasi organisasi
atau kelembagaan baru untuk pengelolaan sumberdaya alam yang
diyakini akan memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik,
seperti: meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
sumberdaya pesisir dan laut dalam menunjang kehidupan; meningkatkan
kemampuan masyarakat sehingga mampu berperan serta dalam setiap
tahapan pengelolaan secara terpadu, serta dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari
dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.
Namun dalam perkembangannya, program-program yang
dilahirkan oleh pemerintah masih kurang berjalan dengan baik.
Diasumsikan kendala utamanya adalah minimnya partisipasi masyarakat
dalam menjalankan program yang mengakibatkan proses pelaksanaan
program menjadi tersendat. Minimnya partisipasi masyarakat tersebut
diduga penyebabnya adalah “rasa memiliki” yang rendah terhadap
program-program yang diintroduksi oleh pemerintah. Berbeda halnya
dengan sistem pengelolaan berdasarkan kearifan lokal atau berbasis
tradisi (kelembagaan local). Nilai-nilai kearifan yang sudah tumbuh dari
masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun, membuat masyarakat
turut berpartisipasi secara aktif dalam menjaga berbagai peraturan yang
ada di dalamnya.
3
Salah satu wilayah yang menjadikan sektor perikanan dan kelautan
sebagai sektor andalan dalam pertumbuhan ekonominya adalah Sulawesi
Selatan yang terdiri dari empat suku bangsa yaitu : Suku Bugis, Makassar,
Mandar, dan Toraja. Jumlah penduduknya tercatat sampai tahun 2010
sebanyak 8.342.083 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 4.100.687
jiwa (48,7%) dan perempuan 4.241.396 jiwa (51,3%). Dari jumlah
penduduk tersebut, terdapat 354.007 jiwa merupakan nelayan dan
121.895 jiwa adalah petani ikan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi
panjang garis pantai 2.500 km, perikanan laut 600.000 ton/tahun, perairan
umum 40.000 ton/tahun, budidaya tambak 150.000 ha, budidaya air tawar
100.000 ha dan areal budidaya laut 600.000 ha. Disamping itu terdapat
pula pulau-pulau kecil sebanyak 232 buah, terdiri dari pulau-pulau
Sangkarang (Spermonde), Taka Bonerate dan pulau-pulau Sembilan di
Pantai Timur (Dinas Perikanan dan Kelautan SULSEL, 2010). Pengkajian
mengenai masyarakat nelayan secara structural dan kultural
(kelembagaan) di daerah ini, Suku Bugis, Makassar dan Mandar dengan
aglomerasi wilayah daerah pesisir pantai dan pulau-pulau, sangat
representatif untuk dijadikan unit analisis, karena sebagian besar
masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan dan petani.
Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan ikan terbang
(Cypsilurus spp) sebagai focus kajian, mempunyai peranan besar dalam
perekonomian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Telur ikan terbang
adalah salah satu komoditi ekspor, dan ikannya sebagai komoditi lokal
4
yang dapat diantar-pulaukan (Aris, 2004). Usaha penangkapan ikan
terbang dilakukan masyarakat nelayan di perairan Selat Makassar dan
Laut Flores adalah merupakan salah satu sumber mata pencaharian
masyarakat. Keseluruhan komoditi hasil perikanan yang diekspor di
Sulawesi Selatan, baik dari segi volume maupun nilainya, komuditi telur
ikan terbang menempati urutan kedua setelah komoditi udang, Usaha
penangkapan melibatkan kurang lebih 10.000 nelayan yang beroprasi
dengan armada lebih 1.000 buah perahu (Nessa, 1978). Jumlah armada
yang beroprasi juga berkembang terus, hasil penelitian (Rasyid, 1998)
melaporkan bahwa penangkapan ikan terbang yang umumnya oleh
nelayan di Kabupaten Majene adalah jaring insang hanyut yang jumlahnya
mencapai 2.000 unit pada tahun 1996 dan sebahagian kecil nelayan
menggunakan bubu/pakkaja (buro). Penelitian Aris (1997) mengenai ikan
terbang di kabupaten Takalar, malaporkan bahwa umumnya nelayan
menggunakan jaring insang hanyut untuk menangkap ikan terbang, dan
untuk telur ikan terbang nelayan menggunakan unit penangkapan berupa
bubu/pakkaja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nessa (1978); Hutomo,
(1985); dan Ali, (1993) dengan kesimpulan yang sama menyebutkan
bahwa telah terjadi penurunan produksi telur ikan terbang yang diduga
karena armada yang beroperasi melebihi batas kelestarian atau
eksploitasi telah dilakukan secara intensif dan tidak terkontrol dengan
baik. Dengan demikian, kesempatan telur-telur untuk menetas dan
5
kesempatan induk-induk untuk bertelur semakin berkurang. Bila hal ini
dibiarkan terus menerus berlanjut tampah adanya upaya untuk mengelola
secara terintegratif dan terlembagakan, maka dikhawatirkan suatu saat
akan dapat berakibat pada kepunahan spesies tersebut (ikan terbang).
Penelitian selanjutnya yang mendukung asumsi ini telah dilakukan kurang
lebih 10 tahun yang lalu oleh Nessa (1991) bahwa gejala tekanan
eksploitasi telur ikan terbang telah di alami nelayan yang beroperasi di
perairan Selat Makassar dan Laut Flores seperti menurunnya hasil
tangkapan per unit usaha. Selanjutnya, Direktur Bina Sumberdaya Hayati
ikan terbang telah pula meliris bahwa ikan terbang sebagai ikan pelagis
kecil, status keberadaannya dalam keaadaan kritis (Anomim, 1983) dalam
(Ali, 1993).
Terlepas dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya baik mengenai
pengelolaaan dan pemanfaatan perikanan ikan terbang yang di reduksi
hanya pada nilai ekonomi, maupun kekhawatiran akan terjadinya
kepunahan spesies ikan tersebut, yang tak kalah menariknya pula
mengenai ikan terbang adalah aktivitas pattorani yang memiliki nilai
history sebagai dinamika penggerak yang mengkostruksi nelayan-nelayan
torani (pa’torani) di Sulawesi Selatan khususnya di daerah Kabupaten
Takalar dan Kabupaten Polman (Sulawesi Barat) . Untuk daerah Takalar
ditemukan informasi bahwa nelayan torani (ikan terbang) merupakan
salah satu kelompok nelayan yang pada awal keberadaannya sebagai
nelayan tradisional dan tertua di Galesong. Menurut keterangan yang di
6
peroleh melalui cerita-cerita rakyat dan beberapa informan
mengungkapkan bahwa asal usul penangkapan ikan terbang dilakukan
oleh orang-orang pemberani tubarani sisa lasykar Karaeng Galesong (raja
Galesong) yang kalah perang membantu kerajaan Trunojoyo melawan
Belanda. Sesudah berkumpul di pasuruan, Jawa Timur, mereka ingin
kembali ke Makassar. Namun perlengkapan perangnya sudah habis
mereka mondar mandir di Selat Makassar dan menyamar sebagai
nelayan. Fakta itu juga dijadikan sebagai dasar awal keberadaan nelayan
torani, dan bukti-bukti sejarah mencatat pula bahwa keberadaan nelayan
torani diduga pada abad ke 17. Sejak abad ke 17 nelayan torani dikenal
sebagai nelayan tradisional sampai paruh abad ke 20, dan merupakan
usaha penangkapan ikan torani yang bersifat subsistensi. Menjelang
paruh abad ke dua yakni abad ke 20 usaha penangkapan ikan torani
bersifat komersial. Sementara untuk daerah Pambusuang (Kabupaten
Polman) mitos nelayan menyebutkan bahwa ikan terbang merupakan ikan
yang dianggap “to manurung” (yang turun dari langit) dan atau “mara’dia”
(raja ikan). Makanya ketika di laut, cenderung dipamalikan menyebut
nama asli ikan terbang, melainkan diganti “mara’dia”. Teriakan “Oooh
mara’dia” sering terdengar bila pelaut melihat ikan terbang keluar dari
permukaan laut dan “terbang” di udara. Mitos ini juga diasumsikan bahwa
perdagangan ikan terbang khususnya telur ikan terbang tidak terlalu
dikomersialkan sehingga pasar perdagangan ikan terbang maupun telur
ikan terbang hanya dalam skala lokalitas.
7
Berkaitan dengan itu, nelayan torani (pa’torani) telah terkonstruksi
dalam suatu kelembagaan sebagai bagian kebudayaan bahari sejak
beberapa abad yang lalu sampai konteks kekinian. Sebagai suatu
komunitas (nelayan), mereka telah mampu menciptakan teknologi
penangkapan (balla-balla, pakkaja) yang sesuai dengan alam lingkungan
kelautan, berbagai nilai dan norma kepattroanian yang mereka ciptakan
dan jalankan sebagai adat kenelayanan. Dengan demikian, terungkap
jelas, bahwa masyarakat nelayan torani telah mengembangkan
kemampuannya menjadi masyarakat nelayan (pattorani) yang tertata pada
suatu sistem sosial kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada
laut sebagai sarana dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun
dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang
tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang mampu
mengembangkan kemampuan dalam bidang pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam konteks ini Sallatang (2001)
menyebutnya sebagai kelembagaan masyarakat nelayan yang diartikan
sebagai ”norma lama” atau aturan-aturan sosial yang telah berkembang
secara tradisional dan terbangun atas budaya lokal sebagai komponen
dan pedoman pada beberapa jenis/tingkatan ”lembaga sosial” yang saling
berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat nelayan
(pattorani) untuk mempertahankan nilai1
1 Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat psikologis dan sosiologis. Secara antropologis Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Secara filosofis, Spranger (1928) dalam Wirawan (2004) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah
8
Sementara dalam konteks kekinian, implementasi pembangunan
termasuk pembangunan perikanan selalu berkolerasi dan diidentikkan
dengan lembaga atau organisasi modern. Pembangunan diberbagai
sector seakan dihadapkan pada keharusan membentuk
lembaga/organisasi baru yang modern, lembaga/organisasi asli yang
tradisional diabaikan dan dianggap tidak memiliki kapasitas untuk
diberdayakan. Pengalaman kemudian menunjukkan bahwa
lembaga/organisasi modern tersebut ternyata tidak selalu berhasil2
Atas dasar asumsi inilah yang memunculkan ide dalam kajian
ini untuk menjadikan kelembagaan sebagai kerangka berpikir dalam
memahami kenyataan sosial tersebut3. Proposisi ini dibangun
berdasarkan konteks faktual bahwa, masyarakat nelayan torani
salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. persprektif sosiologis Sallatang (1984) menuliskan bahwa penetrasi nilai ke dalam sistem sosial mendasari peranan, pelaksanaan peranan (tingkah laku atau tindakan seseorang terhadap atau dalam kaitannya dengan orang lain) dalam rangka interaksi-interaksinya. Berkenaan dengan operasinya di dalam sistem sosial yaitu di dalam kelompok-kelompok dan masyarakat pada umumnya, ia disebut sebagai nilai-nilai sosial (social value). Konteks tersebut tidak hanya menyatakan baik dan buruk atau tinggi dan rendah atau pun tingkatan-tingkatan secara gradual diantara keduanya sehingga melahirkan hierarkhi nilai-nilai sosial, tetapi juga mendasari (memberikan dasar pandangan) dan sekaligus menjadi pedoman atau ukuran terhadap tingkah laku atau tindakan social.
2 Kasus moderenisasi perikanan misalnya, menunjukkan bahwa KUD mina tidak bisa melembaga dalam komunitas nelayan, berbagai peranan yang mestinya diembannya ternyata kemudian tetap di mainkan oleh jaringan patron klien di pedesaaan. Dalam komunitas lokal di pedesaan dikenal telah berkembang banyak lembaga/organisasi asli. Dalam pengelolaan sumberdaya perairan misalnya, , di Maluku telah eksis lembaga sasi, di Bali dan Nusa Tenggara dikenal awig-awig, di Aceh dikenal lembaga panglima laut (Basuki dan Nikijuluw,1996). Dalam kerjasama keuangan telah lama dikenal arisan di Jawa bahkan seluruh Indonesia (Tjonronegoro, 1984), dan dalam pertukaran tenaga kerja telah di kenal kombong di Sulawesi Selatan (Salman, 1995), serta untuk peranan sejenis dengan kombong dikenal lembaga mapalus di Sulawesi Utara (Kasakoy, 1986). Selama moderenisasi di Indonesia, lembaga lokal asli ini tidak di manfaatkan untuk implementasi pembanguan.
3 Kelembagaan dipahami sebagai kesatuan dari komponen organisasi dan aturan serta bidang-bidang kegiatan tertentu yang diwadahi dan diaturnya dalam suatu masyarakat atau segmen-segmen masyarakat (Arief, 2007,). Kelembagaan adalah aturan main, baik bersifat struktural maupun kultural. Kelembagaan lebih luas dari sekedar organisasi. Sebagai aturan dan hak yang tegas memberikan naungan, sanksi, konstrain dan enabling terhadap individu-individu dan kelompok dalam menentukan pilihan kelembagaan dapat diprediksi, stabil, dan dapat diaplikasikan pada situasi berulang. (Suyuti, 2012).
9
Sulawesi Selatan (Suku Bugis-Makassar) dan Sulawesi Barat (Suku
Mandar) adalah masyarakat nelayan yang secara umum dalam
struktur sosialnya telah memiliki ciri tersendiri dalam tata produksi
berdasarkan budaya lokal yang diwarisinya, seperti pengetahuan
lokal (indigeneous knowledge), teknologi tradisional (traditional
technology), dan hubungan-hubungan produksi (relation of
production) melalui relasi kekerabatan dan patronase, sehingga
fungsi kelembagaan yang berlangsung baik dalam pengelolaan
maupun pemanfaatan ikan terbang akan diwarnai oleh tatanan lokal
yang gambarannya terlihat dari ciri dan perkembangan kelembagaan
(fungsi lembaga) dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan terbang
dalam konteks kekinian.
Dari beberapa hasil kajian penelitian yang pernah dilakukan
mengenai ikan tebang dan aktivitas yang berlansung di dalamnya
baik secara eksplisif maupun tidak, pada umumnya masih
mengambil kasus yang sifatnya farsial, sementara untuk kajian yang
integrative dalam konteks kelembagaan secara fungsional 4 atau
bagaimana lembaga menjalankan fungsinya dalam pengelolaan ikan
terbang belum pernah dilakukan. Misalnya; penelitian Ali. S. A. (2005)
tentang Kondisi sediaan dan keragaman populasi iakn terbang di Laut 4 Menurut Parsons (dalam Alvin Y.SO, 1991) bahwa setiap lembaga dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhannya. Parsons merumuskan 4 (empat) fungsi pokok lembaga dalam masyarakat, agar masyarakat dapat mempertahankan hidupnya yang dikenal dengan sebutan AGIL (adaptation to the environment, goal attainment,integration, and latency). Yaitu : (a) lembaga ekonomi bertugas menjalankan fungsi adaptasi lingkungan. (b) lembaga pemerintah bertugas menjalankan fungsi pencapaian tujuan umum. (c) lembaga hukum dan agama bertugas menjalankan fungsi integrasi, dan (d) pranata keluarga dan lembaga pendidikan bertugas menjalankan fungsi usaha pemeliharaan pola (latensi).
10
Flores dan selat Makassar; Aris (1997) tentang Analisis Upaya
Penangkapan Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar; Hutomo (1985)
tentang Sumberdaya Ikan Terbang; Anshar, (1997) tentang Nilai-Nilai
Budaya yang Terkandung Dalam Upacara Patorani di Kecamatan
Galesong Kabupaten Takalar; Arifin (1991) tentang Pattorani Sebuah
Okupasi yang Mulai Terkikis: Agusalim (1991) Sistem Pengetahuan
Dan Perubahan Sosial Patorani di Takalar dan lain sebagainya.
Dengan demikian, hasil studi ini diharapkan membawa suatu
pemahaman terhadap kelembagaan masyarakat nelayan sebagai bahan
formulasi kebijakan pembangunan perikanan. Studi ini juga memiliki
kepentingan akademis untuk mencoba mengembangkan perspektif teori
kelembagaan yang telah dominan dalam wacana sosiologi ekonomi
maritime. Khususnya, dalam menelaah komunitas nelayan yang tengah
berada dalam kompleksitas ruang struktur social antara norma lama dan
organisasi modern dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan.
B. Masalah Penelitian
Secara kontekstual, pembangunan perikanan diperhadapkan pada
tantangan diantaranya, yaitu : rendahnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, proses perencanaan yang masih top-down, pemanfaatan
dan penguatan kearifan lokal dalam pengembangan program yang masih
lemah, laju pengrusakan lingkungan yang masih tinggi, serta kepunahan
akan spesies-spesies tertentu menjadi sebuah ancaman. Sehingga tujuan
11
dari pembangunan perikanan yang salah satu tujuannya memberikan
kemampuan dan tanggung jawab kepada masyarakat untuk mengelola
sumberdayanya yang teintegrasi dalam satu kesatuan sosial, ekonomi,
budaya dan ekologi belum nampak optimal berhasil guna dan berdaya
guna di ruang sosial masyarakat baik secara internal maupun secara
eksternal.
Sebagai suatu tatanan5, pengelolaan dan pemanfaatan ikan
terbang termasuk telur ikan terbang terbangun dari interkoneksitas dari
berbagai unsur. Secara sederhana sedikitnya ada tiga unsur yang
berkolerasi alam konteks ini, yaitu; (1) sumberdaya (resources) yang
terdiri dari alat-alat produksi, nelayan, laut dan ikannya; (2) organisasi
(organitation) yang terdiri dari kelompok kerja (punggawa-sawi) dan
organisasi modern; (3) norma (norm). Interaksi dari unsur-unsur diatas
akan menjadikan suatu perlembagaan social dimana sumberdaya
(resources) sebagai unsur yang dikelolah dalam menjadikan tatanan.
Organisasi merupakan unsur yang mengelola sumberdaya (resources)
dalam mewujudkan identitas tatanan sedang norma (norm) merupakan
unsur yang menjadi acuan organisasi (organitation) dalam mengelola
sumberdaya (resources) untuk mewujudkan identitas tatanan. Dengan
demikian, diasumsikan bahwa interkoneksitas dari unsur pembentuk
tatanan yang terimplementasikan dalam fungsi kelembagaan (adaptasi,
integrasi, pencapaian tujuan dan latensi atau pemeliharaan pola) dapat
menjadi dasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan terbang. 5 Tatanan merupakan perwujudan interkoneksitas antara manusia dan alam lingkungan (Amin, 1995)
12
Dari identifikasi masalah penelitian yang diuraikan sebelumnya,
maka diajukan perumusan masalah dalam sejumlah pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana perilaku nelayan torani dalam aspek social, ekonomi,
budaya dan ekologi terhadap pengelolaan dan pemanfaatan ikan
terbang di Desa Pallalakang Kabupaten Takalar (SULSEL) dan
Desa Pambusuang Kabupaten Polman (SULBAR)
2. Bagaimana fungsi kelembagaan berkonstribusi dalam pengelolaan
dan pemanfaatan ikan terbang di Desa Pallalakang Kabupaten
Takalar (SULSEL) dan Desa Pambusuang Kabupaten Polman
(SULBAR)
3. Bagaimana seharusnya peranan fungsi kelembagaan yang aplikatif
atau akomodatif dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan terbang
di Desa Pallalakang Kabupaten Takalar (SULSEL) dan Desa
Pambusuang Kabupaten Polman (SULBAR)
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh keterangan ilmiah
terhadap kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan
terbang melalui :
1. Perilaku nelayan torani dalam aspek social, ekonomi, budaya dan
ekologi terhadap pengelolaan dan pemanfaatan ikan terbang di
13
Desa Pallalakang Kabupaten Takalar (SULSEL) dan Desa
Pambusuang Kabupaten Polman (SULBAR)
2. Fungsi kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan
terbang di Desa Pallalakang Kabupaten Takalar (SULSEL) dan
Desa Pambusuang Kabupaten Polman (SULBAR)
3. Skenario fungsi kelembagaan yang aplikatif atau akomodatif dalam
pengelolaan dan pemanfaatan ikan terbang di Desa Pallalakang
Kabupaten Takalar (SULSEL) dan Desa Pambusuang Kabupaten
Polman (SULBAR)
2. Kegunaan Penelitian
Dalam kegunaan akademik, keterangan ilmiah yang diperoleh
dimaksudkan untuk menunjang teori-teori kelembagaan sosial (social
institution) khususnya pada teori sosiologi ekonomi.
Dalam kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan
memberikan informasi dalam perumusan kebijakan pembangunan
perikanan melalui pendekatan yang mengakomodasi karakteristik
lokal masyarakat nelayan pulau-pulau kecil, pembenahan
kelembagaan, adopsi teknologi dan penyaluran modal dalam
kerangka yang konseptual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
14
A. Masyarakat Pesisir
Pengertian masyarakat adalah kelompok-kelompok individu yang
teratur, dimana setiap kelompok manusia saling bergaul dan berinteraksi
dan bekerjasama dalam jangka waktu yang cukup lama (Linton 1973
dalam Sunarto, 1993). Menurut Mattulada (1997), masyarakat pesisir
adalah sekelompok manusia yang hidup bekerjasama di suatu daerah
tertentu yang disebut pantai. Sementara itu orang yang bertempat tinggal
di pesisir pantai dan mempunyai mata pencaharian pokok sebagai
penangkap ikan dan hasil laut lainnya disebut nelayan. Sebagai
masyarakat nelayan dalam melakukan penangkapan ikan di laut
bergantung pada kemudahan bersama karena tempat usahanya tergolong
liar, berpindah-pindah, dan ikan yang ditangkap berkembang biak secara
alamiah.
Arti nelayan dalam buku statistik perikanan Indonesia disebutkan
nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang
hanya melakukan pekerjaan, seperti membuat jaring, mengangkut alat-
alat/perlengkapan kedalam perahu/kapal, mengangkut ikan dari
perahu/kapal tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin, juru
masak yang bekerja diatas kapal penangkap ikan dimasukkan sebagai
nelayan. Dari pengertian itu tersirat jelas, nelayan dipandang tidak lebih
sebagai kelompok kerja yang tempat bekerjanya di air; yaitu sungai,
danau atau laut. Karena mereka dipandang sebagai pekerja, maka
15
kegiatan-kegiatannya hanya refleksi dari kerja itu sendiri dan terlepas dari
filosofi kehidupan nelayan, bahwa sumber penghidupannya terletak dan
berada dilautan. Sumber kehidupan yang berada di laut mempunyai
makna bahwa manusia yang akan memanfaatkan sumber hidup yang
tersedia dilaut tidak mempertentangkan dirinya dengan hukum-hukum
alam kelautan yang telah terbentuk dan terpola seperti yang mereka lihat
dan rasakan. Tindakan yang harus dilakukan dan perlu dilaksanakan
adalah mempelajari melalui penglihatan, pengalaman sendiri atau orang
lain guna melakukan penyesuaian alat-alat pembantu penghidupan
sehingga sumber penghidupan itu dapat berguna dan berdaya guna bagi
kehidupan selanjutnya (Raharjo, 2002).
Menurut Arief (2002) laut sebagai bagian dari alam semesta
mempunyai kecirian tersendiri dibandingkan dengan bagian alam semesta
lainnya seperti tanah, udara dan panas matahari. Kecirian yang berbeda
nyata dan sangat besar antara laut dengan tanah telah memberikan
kesempatan pada manusia untuk mengenalinya lebih dalam, terutama
setelah dikaitkan dengan udara dan panas matahari diantara keduanya,
agar dapat bermanfaat bagi sumber penghidupan. Ternyata dari
pengalaman yang berlangsung berabad-abad lamanya telah memberikan
pengetahuan pada mereka bahwa perlakukan terhadap laut dan tanah
harus berbeda, karena keduanya itu mempunyai sifat-sifat alam yang
berbeda. Pengenalan sifat-sifat alam tersebut telah mendorong manusia
untuk bersikap dan berbuat terha-dapnya selaras dengan sifat-sifat alam
16
itu. Dari hasil pengenalan sifat alam tadi, peleburan manusia terhadap laut
dan tanah telah pula menciptakan sikap hidup yang berbeda diantara
keduanya. Dapat dilihat dari hasil hidup itu dari peralatan hidup yang
mereka ciptakan. Manusia yang bergelut dengan laut; peralatan hidup
utamanya seperti perahu dengan segala atributnya. Sedangkan, manusia
yang bergelut dengan tanah; peralatan hidup utamanya seperti bajak
tanah, dengan segala atributnya pula.
Selanjutnya dikatakan bahwa dengan terciptanya peralatan untuk
hidup yang berbeda itu, maka secara perlahan tapi pasti, tatanan
kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok, kemudian membentuk
sebuah masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat
peralatan untuk hidup tersebut. Peralatan hidup ini dapat pula disebut
sebagai hasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum, hasil
ciptaan yang berupa peralatan fisik disebut teknologi dan proses
penciptaannya dikatakan ilmu pengetahuan dibidang teknik. Bagi nelayan
hasil ciptaan berupa alat-alat teknik kelautan sangatlah serasi dengan
kebutuhan mereka sehari-hari, karena peralatan tersebut berguna secara
langsung dalam menopang mewujudkan kehidupan mereka yang
bersumber dari laut. Adapun hasil ciptaan yang berupa bukan fisik, adalah
yang disebut sendi-sendi yang mengatur kehidupan mereka, baik secara
perorangan atau berkelompok terhadap alam atau kekuatan supra natural
yang berada diluar jangkauan pikir mereka. Hasil kedua ciptaan itu, dalam
praktek kehidupan nelayan tidak boleh saling dipertentangkan, tetapi
17
harus difungsikan setara dan serasi dalam keharmonisan, sehingga
tercipta kondisi yang seimbang antara kedudukan nelayan sebagai
manusia dengan kedudukan alam sekitarnya yang menghidupi mereka.
Perwujudan dari sendi-sendi dasar pengaturan kehidupan nelayan tampak
pada dinamika kehidupannya. Dinamika itu dapat berupa kelembagaan
dan sistem yang mereka anut, dan ada juga pandangan kehidupan. Hal-
hal itu dapat dilihat dari sumber kehidupan dan fenomena kehidupan yang
berkenaan dengan kelautan, pengetahuan, tempat tinggal, norma-norma
kemasyarakatan dan sanksi-sanksinya, peranan kepemimpinan dan juga
pola interaksi kehidupan diantara sesama nelayan atau diluar mereka,
juga proses asimilasi terhadap orang yang masuk kedalam kelompok
mereka. Kesemuanya itu didasarkan pada sistem nilai-nilai yang telah
mereka miliki dan jaga bersama.
Dari pendapat Fernando, dkk, (1985) menyatakan bahwa ada
bentuk-bentuk kebiasaan pengaturan penangkapan (fishing rights) di
“Masyarakat Perikanan” (Fishing Communities), bahwa orang diluar
masyarakat perikanan tersebut tidak dibolehkan menangkap ikan di
daerah-daerah penangkapan masyarakat nelayan (Community fishing
ground) dan tenaga kerja penangkapannya juga tidak diambil dari
masyarakat diluar mereka. Pada mulanya, seperti daerah-daerah
penangkapan yang tertutup bagi anggota masyarakat lainnya mulai
terbuka, karena sebab-sebab kelangkaan tenaga kerja untuk menangkap
ikan di tempat-tempat tertentu yang selama ini sifatnya tertutup.
18
Kecenderungan tersebut makin tampak jelas, setelah alat penang-kapan
nelayan secara tekhnik makin meningkat kemampuannya. Dan pemakaian
istilah ‘Masyarakat Perikanan’ tidak hanya digunakan oleh Fernando,
tetapi didalam buku yang sama itu, telah dipakai juga oleh Frederichs and
Nair (1985) pada penelitian nelayan pantai di Peninsular Malaysia, maka
istilah nelayan, secara fungsional tidak dapat lagi hanya dipandang
sebagai kelompok kerja statis, tetapi mereka ada-lah bagian dari
masyarakat tersendiri yang dinamis yang mampu mengatur dirinya sendiri
dan beradaptasi atau saling tergantung dan mempengaruhi masyarakat
lain yang berada diluar sistem kemasyarakatan mereka.
Aspek budaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas atau erat
kaitannya dengan kondisi pekerjaan/matapencaharian masyarakatnya.
Soemardjan (1974) dalam Sunarto (1993), mengemukakan bahwa
masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan
kebudayaan, sehingga setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat
satu dengan lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa ikatan yang membuat
satu kesatuan manusia menjadi satu masyarakat adalah pola tingkah laku
yang khas mengenai semua faktor kehidupan dalam batas-batas
kesatuannya termasuk matapencahariannya.
Dalam masyarakat mempunyai struktur dan seringkali memiliki
perbedaan masyarakat etnik tertentu dengan masyarakat etnik lainnya.
Sehubungan dengan itu Mubyarto (1984), mengemukakan bahwa
masyarakat nelayan ditinjau dari aspek ekonomi memiliki stratifikasi
19
sebagai berikut : (1) nelayan kaya yang mempunyai kapal yang
mempekerjakan nelayan lain sebagai pendega tanpa dia sendiri ikut
bekerja, (2) nelayan kaya yang mempunyai kapal tetapi dia sendiri masih
ikut bekerja sebagai awak kapal; (3) nelayan sedang yang kebutuhan
hidupnya dapat ditutupi dengan pendapatan pokoknya dari bekerja
sebagai nelayan, dan mempunyai perahu tanpa mempekerjakan tenaga
dari luar keluarga; (4) nelayan miskin yang pendapatan dari perahunya
tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga harus ditambah dengan
bekerja lain untuk kebutuhannya beserta istri dan anaknya; (5) nelayan
pendega atau Nelayan Sawi yang tidak mempunyai perahu, sehingga
kebutuhan hidupnya dipenuhi dengan bekerja sebagai awak kapal.
Secara sosiologis, Sallatang (1982), berpandangan bahwa dalam
komunitas masyarakat pesisir khususnya di Sulawesi Selatan terdapat
kelompok nelayan yang terdiri atas Punggawa dan Sawi. Kelembagaan ini
sangat kuat ikatannya karena selain dimensi ekonomi, dimensi sosialpun
sangat kuat beroperasi didalamnya. Ciri patron - klien disegala aspek
kehidupan (ekonomi, sosial dan politik) masyarakat nelayan menjadi ciri
tersediri didalam komunitasnya. Secara struktural punggawa terdiri atas
dua kelompok yaitu : (1) Punggawa Besar berkewajiban mengorganisir
anggotanya, menyediakan modal, memasarkan produksi ikan, dan
melakukan pembagian bagi hasil; (2) Punggawa kecil, berkewajiban
membantu Punggawa Besar terutama dalam mewujudkan pelaksanaan
operasi penangkapan ikan yang dipimpinnya secara langsung; (3) para
20
Sawi, berkewajiban mentaati Punggawa terutama dalam mendukung dan
melaksanakan operasi penangkapan ikan. Untuk keperluan itu menjadi
kewajiban Punggawa membimbing, menuntun, dan mengarahkan para
Sawi dalam upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilannya.
B. Konsep Perilaku Manusia
Perilaku manusia pada umumnya terbagi atas dua macam,yaitu
perilaku yang telah direncanakan dalam gen-nya dan merupakan milik
dirinya tanpa belajar, Seperti refleksi, kelakuan nurani, dan kelakuan
membabi buta. Yang keduanya adalah prilaku yang manusia yang
prosesnya tidak terencana dalam gen-nya tetapi yang harus dijadikan
milik dirinya dengan belajar (koentjaraningrat,1990).
Dengan demikian, maka perilaku menurut gillin dalam munandar
(1992) muncul karena adanya saling bergaul dan intraksi yang
mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur merupakan
kebutuhan bersama.oleh karena itu, perilaku manusia yang tergolong
dalam kategori kedua di atas terlahir dan hanya dapat diwujudkan dalam
suatu kehidupan social kemasyarakatan.
Parson dalam soekanto (1996). Mengemukakan bahwa perilaku
manusia dalam kehidupan sosial kemasyarakat di tentukan oleh paling
kurangnya empat faktor, yaitu norma, motivasi,tujuan, dan situasi/kondisi.
Norma adalah aturan yang di gunakan dalam hubungan antar manusia
didalam suatu masyarakat yang terdiri atas 4 tingkat dan masing-masing
mempunyai kekuatan menginkat yang berbeda, yakni : cara (usage).
21
Kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (costum)
kemudian motivasi kadang-kadang di pakai dalam arti kebutuhan (need),
keinginan (want), dan dorongan (drive). Sedangkan tujuan dan
situasi/kondisi menurut mattulada (1997), biasanya ditentukan oleh
adanya kesamaan geografis atau hasil intraksi dangan lingkungan fisik
sekitarnya. Dengan demikian, maka lahirlah pola perilaku yang tercermin
dari platform budaya dan merupakan kekhasan dari masyarakat tersebut,
yang dalam penenlitian ini adalah masyarakat nelayan.
Adanya pengaruh dari luar sebagai hasil intraksi masyarakat yang
terwujud dalam peralatan-peralatan kehidupan sebagai hasil
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ikut mendorong terjadinya
perubahan perilaku yang di anut oleh masyarakat tersebut. Dalam hal
masyarakat nelayan, hal itu dapat dilihat dari kemampuan mereka
mengadopsi dan mengembangkan berbagai jenis alat tangkap.
Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme dalam hal
ini manusia terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada
sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut
rangsangan yang menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
(Notoatmojdo,1997) Perilaku atau aktfitas individu dalam pengertian yang
lebih luas mencakup perilaku yang nampak (over behavior) dan perilaku
yang tidak nampak (inert behavior).
Perilaku manusia tidak muncul dengan sendirinya tanpa pengaruh
stimulus yang diterima baik stimulus yang bersifat eksternal maupun
22
internal. Namun demikian, sebagian besar perilaku manusia adalah
akibat respon terhadap stimulus eksternal yang diterima (Bimo, 1999).
Jenis Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu perilaku alami (innate behavior) dan perilaku operan (operant
behavior). Perilaku alami yang berupa reflek dan insting adalah perilaku
yang dibawa manusia sejak manusia dilahirkan. Sedangkan perilaku
operan adalah perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, yang
selanjutnya disebut sebagai perilaku psikologis (Skinner,1976).
Pada manusia perilaku operan atau perilaku psikologis lebih
dominan berpengaruh akibat dari bentuk kemampuan untuk mempelajari
dan dapat dikendalikan atau di ubah melalui proses pembelajaran.
Sebaliknya reflek merupakan perilaku yang pada dasarnya tidak dapat
untuk di kendalikan.
Perilaku individu dan lingkungan saling berinteraksi yang artinya
bahwa perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, juga
berpengaruh terhadap lingkungan. Adapun secara spesifik faktor
lingkungan dan individu yang mempengaruhi perilaku adalah sebagai
berikut :
1) Faktor Lingkungan Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar
dalam menentukan perilaku, bahkan sering kekuatannya lebih
besar dari faktor individu (Azwar, 1998). Dalam hubungan
antara perilaku dengan lingkungan dibagi dalam tiga kelompok,
yaitu lingkungan alam/fisik (kepadatan, kebersihan), lingkungan
23
sosial (organisme social, tingkat pendidikan, mata pencaharian,
tingkat pendapatan) dan lingkungan budaya (adat istiadat,
peraturan, hukum) (Sumaatmaja,1998).
2) Faktor Individu Faktor individu yang menentukan perilaku
manusia antara lain adalah tingkat intelegensia, pengalaman
pribadi, sifat kepribadian dan motif (Azwar, 1998).
C. Budaya Lokal
Budaya atau kebudayaan mempunyai banyak unsur, paling sedikit
ada 6 (enam) unsur, yaitu : (1) nilai (value), (2) norma (norm), (3)
kepercayaan (belieft), (4) simbolisasi (symbolization), (5) pengetahuan
(knowledge), dan (6) teknologi (technology). Sebagaimana diketahui,
unsur yang paling fundamental ialah nilai dan norma sedang paling
dinamis ialah pengetahuan dan teknologi moderen yang di lahirkannya
(Soekanto, 1996).
Interaksi dari unsur-unsur diatas akan menjadikan suatu
perlembagaan sosial, yang merupakan seCrangkaian fakta yang
sedikitnya mempunyai dua aspek yaitu, aspek yang pertama ialah gejala
bertahan atau meluruhnya norma-norma lama di satu pihak dan aspek
yang kedua adalah munculnya norma-norma baru yang merupakan
pengganti atau pelengkap dilain pihak. Dari dua aspek tersebut, biasanya
yang lebih dahulu nampak ialah yang disebutkan pertama. Setelah
beberapa waktu kemudian, barulah yang disebutkan kedua. Adapun
mulainya nampak kedua aspek, baik yang disebutkan pertama maupun ke
24
dua, berkaitan dengan kebutuhan yang berubah dalam jenis, jumlah
(kuantitas) dan mutu (kualitas) (Soekanto, 1983).
Berkaitan dengan itu adalah lebih tepat jika penelaahannya didekati
mulai dari perubahan yang berwujud fisik-materil atau pun perilaku sosial
sebagai perubahan yang relatif paling konkrit, kemudian beranjak secara
berangsur-angsur ke dalam perubahan yang berwujud nilai dan norma
sosial serta sikap pandangan dan cara berpikir (way of thinking), sebagai
perubahan yang relatif paling abstrak. Pendekatan ini diarahkan kepada
dua aspek (segi) yang telah dikemukakan sebagai sasaran utama, yaitu
aspek-aspek : (1) gejala bertahan atau meluruhnya norma-norma sosial
yang lama dan (2) munculnya norma-norma sosial yang baru atau norma
sosial moderen.
Dalam garis besarnya, ada dua cara berpikir (way of thinking) yang
melahirkan suatu tindakan dalam adaptasi manusia (nelayan) terhadap
sumberdaya alam. Pertama, ialah “cara berpikir obyektifatif (objectivating
way of thinking) dan kedua adalah “cara berpikir partisipatif” (participating
way of thinking). Cara berpikir yang disebutkan pertama, memandang
manusia terpisah dari alam fisik, dan hubungan yang terjadi di dalamnya
adalah hubungan eksternal yang bersifat eksploratif dan eksploitatif
dengan asumsi bahwa manusia sebagai suatu sistem dan alam fisik
sebagai lingkungan, sehingga alam fisik yang mengadung sumberdaya
harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk keperluan atau kepentingan
manusia. Untuk itu, dilakukan eksplorasi guna eksploitasi, pada kondisi ini
25
banyak melibatkan partisipasi masyarakat dibanding prakarsanya, karena
sifat hubungannya merupakan penyebab utama terjadinya perkembangan
ilmu pengetahuan (sience) dan teknologi moderen (modern technology)
dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan. Pada cara berpikir yang
kedua, hubungan antara manusia dengan alam fisik adalah hubungan
internal dan bersifat persuasif yang menganggap dirinya bagian dari alam
(konservasi) dan menjadikan alam metafisik menjadi lingkungannya, untuk
keperluan komunikasi antara manusia dengan alam fisik dikenal adanya
“simbol-simbol alam” dan “simbol-simbol tingkah laku”. Karena alam
metafisik sebagai lingkungan yang hendak dimanfaatkan tidak empirik,
maka ilmu pengetahuan modern (science) sangat sukar beroperasi
mencari dan menemukan keterangan didalamnya. Dan pada itu, yang
banyak dijumpai adalah tindakan yang berkaitan dengan kepercayaan,
khususnya mitos, kultus dan ritus serta fetis dan magis (Sallatang, 1994).
Pada tataran ini tindakan prakarsa dari masyarakat lebih mendominasi
dibanding tindakan partisipasinya.
Kedua cara berpikir ini telah melahirkan suatu tindakan baik yang
bersifat partisipasi yang berupa pengambilan bahagian oleh
seseorang/kelompok atau pengambilan peranan dan pelaksanaan peran
itu oleh seseorang/kelompok dengan bantuan dan campur tangan dari
pihak luar, dan tindakan yang bersifat prakarsa lokal yang berupa tindakan
atau pengambilan peranan oleh seseorang/kelompok yang berdasarkan
inisiatif sendiri tanpa campur tangan dan bantuan dari pihak luar guna
26
menjalankan tatanan yang telah ada atau membuat suatu perubahan
berdasarkan sistem budaya lokal yang dianut oleh masyarakat itu sendiri
(Salman, 2002).
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembatasan masalah,
kaidah-kaidah sosial yang lama (budaya lokal), khususnya ketentuan-
ketentuan adat di bidang perikanan (adat di lapangan perikanan). Dalam
hal ini utamanya kaidah-kaidah sosial yang beroperasi mengatur
konservasi dan eksploitasi sumberdaya hayati perairan khususnya
penangkapan ikan di laut, termasuk kaidah-kaidah yang mengatur
bagaimana sumberdaya alam kelautan dimanfaatkan oleh para nelayan
berkenaan dengan interaksi sosialnya di dalam masyarakat yang banyak
melibatkan prakarsa dari masyarakat itu sendiri. Sementara itu, kaidah-
kaidah sosial baru atau kaidah-kaidah sosial moderen, seperti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, program-program untuk
peningkatan kesejahteraan serta berbagai peraturan-peraturan
pemerintah dalam mengatur aktifitas-aktifitas dalam pengelolaan
sumberdaya hayati perairan ke taraf maksimal dan lestari yang sedapat
mungkin melibatkan partisipasi dari masyarakat.
Luruh dan munculnya suatu kaidah, banyak ditunjukkan oleh “daya
ikat”-nya. Menurunnya daya ikat suatu kaidah, menjadi petunjuk bahwa
kaidah yang bersangkutan sedang dalam proses meluruh dan sebaliknya,
menguat atau semakin menguatnya daya ikat suatu kaidah merupakan
indikator bahwa kaidah yang bersangkutan sedang dalam proses
27
perlembagaan (institutionalization process). Berdasarkan daya ikatnya,
kaidah-kaidah dapat dibedakan tingkatannya satu sama lain. Mulai dari
tingkat tertinggi dalam arti kaidah yang paling kuat daya ikatnya, sampai
dengan tingkat terendah dalam arti kaidah yang paling lemah ikatannya,
ada empat tingkatan. Keempat tingkatan termaksud, berturut-turut ialah :
(1) adat (custom), (2) tata kelakuan (mores), (3) kebiasaan (usage), dan
(4) tata cara (folkways) (Soedjito, 1987).
Menguat atau semakin menguatnya daya ikat suatu aturan, dapat
dilihat melalui “pengawasan atau pengendalian sosial” (social control)
dalam masyarakat yang bersangkutan. Perlembagaan suatu aturan ke
dalam suatu masyarakat, bukan saja dapat dilihat dari banyak sedikitnya
orang yang telah menerima, menyepakati dan memperlakukan aturan-
aturan yang bersangkutan, melainkan juga bahkan terutama ialah banyak
sedikitnya orang mempertahankan aturan itu melalui pengendalian sosial
(social control) (Mangunwijaya, 1987).
D. Kelembagaan Masyarakat Pesisir
Kelembagaan (institusi) adalah sistem organisasi dari hubungan
sosial yang terwujud dari beberapa nilai umum dan mempertemukan
beberapa kebutuhan dasar masyarakat. Kelembagaan berasal dari kata
lembaga yang mempunyai arti pola aktivitas yang sudah tersusun baik
yang biasanya diikuti adanya asosiasi yang merupakan kelompok-
kelompok untuk melaksanakan pola aktivitas tersebut (Widayati,2003).
28
Leopold van Wiese dan Haward Becker dalam Wulansari (2009),
melihat lembaga sosial (social institution) dari sudut fungsinya yang
menyebutkan bahwa lembaga sosial adalah suatu jaringan proses-proses
hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi
untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya sesuai
dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya. Sedangkan,
Soerjono Soekanto dalam Wulansari, menyatakan bahwa lembaga sosial
adalah merupakan himpunan daripada norma-norma dari segala tingkatan
yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan
masyarakat.
Ciri-ciri lembaga sosial menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi dalam Wulansari (2009), menyebutkan sebagai berikut :
1) Setiap lembaga sosial merupakan organisasi dan pola-pola pemikiran
dan pola-pola perikelakuan yang terwujud dalam bentuk aktivitas-
aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga sosial ini terdiri
dari tata kelakuan, adat istiadat, kebiasaan, dan unsur-unsur
kebudayaan lainnya yang secara langsung atau tidak langsung
tergabung dalam satu unit fungsi lembaga sosial.
2) Pada setiap lembaga sosial, sistem-sistem kepercayaan dan aneka
macam tindakan, baru akan menjadi lembaga sosial setelah melewati
waktu yang relatif lama.
3) Setiap lembaga sosial itu memiliki tujuan dan memiliki alat-alat
perlengkapan yang digunakan untuk keperluan mencapai tujuan dari
29
lembaga sosial itu. Bentuk peralatan yang digunakan antara satu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya kadang
berbeda, misalnya penggunaan alat tangkap pada masyarakat
nelayan.
4) Setiap lembaga sosial itu memiliki tradisi yang tertulis dan tidak tertulis
yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku, dan lain-lain.
Tradisi yang demikian merupakan dasar bagi lembaga dalam
mencapai tujuannya.
Uphoff (1986), mengemukakan bahwa kelembagaan dapat
dijelaskan dalam tiga perspektif, yaitu; sosiologi, ekonomi, dan
pembangunan. Perspektif sosiologi dan ekonomi menjelaskan
kelembagaan dalam realitas alamiahnya. Sedangkan perspektif
pembangunan menjelaskan bahwa kelembagaan bukan dalam realitas
alamiahnya tetapi dalam realitas pembangunan.
Lebih lanjut, Uphoff (1986), mengemukakan bahwa kelembagaan
mencakup; (1) role of the game (aturan main) yang komponen utamanya
adalah norma-norma. Dalam studi pembangunan dipahami sebagai
sebuah rekayasa sosial oleh pihak yang berkepentingan terhadap
pembangunan yang bersangkutan, (2) struktur dan tanpa struktur
(pranata), dimana pranata adalah fungsional terhadap struktur. Struktur
cenderung analog dengan organisasi. Aturan main ditopang oleh sebuah
struktur, sebaliknya aturan mainberfungsi mengarahkan orang-orang
dalam struktur, dan (3) memiliki sifat melembaga (intitutionalized) yang
30
tertanam dalam batang tubuh masyarakat atau “mengakar“. Jadi
kelembagaan pembangunan adalah sebuah rekayasa sosial oleh pihak
yang berkepentingan terhadap pembangunan yang bersangkutan.
Sedangkan kelembagaan lokal (local institutional) secara konsepsional
diartikan sebagai aturan main (rule of the game) yang disepakati,
dijunjung tinggi, dan ditaati bersama oleh sebuah komunitas sosial
(komunitas lokal) dalam proses pemenuhan kebutuhan hidupnya (Uphoff,
1986). Opsi-opsi yang mendasari pengorganisasian kelembagaan lokal
dalam pengelolaan sumberdaya alam meliputi; (1) administrasi lokal,
agen-agen pemerintah yang berhubungan dengan pengaturan kebijakan.
Pemerintah lokal bertanggung jawab pada masyarakat, (2) keanggotaan
organisasi, yang sering disebut kelompok masyarakat (kelompok
pemakai) yang berhubungan dengan kegiatan sumberdaya alam, dan (3)
usaha swasta yang mempertimbangkan penggunaan sumberdaya alam
melalui perhitungan waktu dan keuntungan.
Pada kelembagaan tradisional masyarakat pesisir, dinamika
manusia dan sumberdaya tidak dapat dihindari. Dinamika itu sendiri
berarti terjadi pergeseran kepentingan, jumlah pengguna, dan daya
resistensi kelembagaan terhadap sistem sosial, politik, ekonomi, termasuk
kebijakan pembangunan sektor perikanan dan lautan. Dinamika
kelembagaan tradisional berfokus pengelolaan sumberdaya berkisar pada
perdebatan pentingnya tujuan sosial dan tujuan ekonomi, asupan
teknologi, daya adaptasinya terhadap kebijakan pemerintah atau faktor
31
eksternal lainnya, dan besaran kepatuhan, loyalitas yang masih dimiliki
oleh masyarakat pesisir dalam menjalankan tatanan kelembagaan
mereka. Sedangkan dinamika kelembagaan tradisional bertumpuh pada
orientasi ekonomi berhadapan dengan asupan teknologi, institusi ekonomi
mikro, misalnya koperasi dan lembaga perbankan lainnya (Nur Indar,
2005).
Menurut Sallatang (2000), kelembagaan masyarakat terdiri atas
kelembagaan masyarakat desa yang dapat diartikan sebagai norma lama
atau aturan-aturan sosial yang merupakan bagian dari lembaga sosial
yang saling berintraksi memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan
mempertakankan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Selanjutnya,
Sallatang (2000) mengemukakan bahwa, kehidupan manusia yang satu
berintegrasi secara melembaga dengan manusia lainnya. Itulah sebabnya
lembaga masyarakat sebagai pranata sosial amat penting karena di
dalamnya terdapat sekumpulan peraturan/norma, adat-istiadat yang
mengatur hubungan antara sesama anggota masyarakat guna memenuhi
kebutuhan dan meningkatkan kesejateraan rakyat sendiri.
E. Deskripsi Ikan Terbang
Secara umum ikan terbang ikan torani (Hirundicticthys
oxycephalus) bentuk badannya bulat memanjang seperti cerutu. Sirip
dada sangat panjang, biasanya mencapai belakang sirip punggung sedikit
lebih panjang dari sirip dubur, berwarna gelap atau suram, dan terdapat
bintik hitam pada bagian posterior. Sirip ekor bercabang bagaian atas.
32
Sirip panjang, mencapai pertengahan sirip dubur, bahkan kadang-kadang
sampai jauh kebelakang. Pangkal sirip perut lebih dekat kepangkal sirip
ekor daripada keujung posterior. Pada garis sisi terdapat 32 – 35 sisik.
Pada bagian punggung berwarna kebiruan, sedangkan pada bagian perut
berwarna keperakan (Ali, 1994). Sementara telur ikan terbang berbentuk
lonjong atau bulat dan tidak memiliki gelembung minyak (Parin, 1960). Hal
ini berbeda dengan telur-telur ikan pelagic lainnya yang memiliki
gelembung minyak (Balon, 1975). Pada bagian membran telur terdapat
benang-benang panjang yang saling berhubungan antara yang satu
dengan yang lainnya. Benang-benang ini berfungsi untuk melilitkan telur
pada benda-benda terapung dipermukaan laut (Lagler et al. 1962, Balon,
1975 dalam Baso, 2004). (lihat gambar 1 dan 2).
Secara umum ada dua jenis teknologi menurut sumbernya yang
telah dikembangkan oleh masyarakat nelayan Sulawesi Selatan sampai
dewasa ini. Pertama adalah yang dilahirkan oleh pengetahuan asli (local
knowledge) yang seringkali berkaitan erat dengan kepercayaan lama yang
bersifat tradisi dan bersumber dari dalam. Kedua, yang dilahirkan oleh
ilmu pengetahuan atau dengan penggunaan keterangan-keterangan
33
Gambar 1. Ikan Terbang (Torani)
Gambar 2. Telur Ikan Terbang
ilmiah yang kebanyakan bersumber dari luar masuk kedalam masyarakat
melalui kontak dengan dunia luar (teknologi modern),.
Adapun penggunaan alat tangkap pattorani, merupakan alat
penangkapan yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder
dengan panjang 100 cm – 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm – 60
cm. Gambaran unit penangkapan bubu/pakkaja oleh pattorani, secara
umum menggunakan perahu yang berukuran 6 – 11 GT, luas layar 35 –
70 m, dua buah mesin dengan kekuatan 31 – 60 PK, alat penangkapan
bubu/pakkaja sebanyak 30 – 54 buah, tali nilon 20 – 45 kg, bambu yang
berfungsi sebagai pelampung dan tempat mengikat alat penangkap/daun
kelapa sebanyak 10 – 22 batang, daun kelapa 200 – 470 pelepah
sedangkan tenaga kerja yang digunakan 4 – 6 orang. Alat ini dipasang
dengan cara meletakkan di permukaan laut dan dibiarkan terapung-apung
(ammanyu-manyu). Jumlah pakkaja yang dipergunakan oleh kelompok
pattorani sekitar 10-20 buah. Dan setiap pakkaja diletakkan sepotong
bambu yang panjangnya kurang lebih 50 cm yang diikat bersama ”gosse”
(sejenis rumput laut yang baunya disenangi ikan terbang). Pada bagian
dalam pakkaja diikatkan sebuah balla-balla, yaitu tempat bertelurnya ikan
terbang, dengan ukuran 2x1 meter. Selanjutnya, pada bagian luar
pakkaja diikatkan daun kelapa bersama tandanya. (lihat gambar 3)
34
Gambar 3. Alat Tangkap Pakkaja dan Balebale
F. Pengelolaan Sumber Daya Ikan
Pengelolaan sumberdaya ikan merupakan suatu aspek yang
sangat menonjol disektor perikanan dan ketidak mampuan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan / sumberdaya perikanan dapat berakibat
menurunnya pendapatan sektor perikanan yang berasal dari sumber
yang ada. Mengingat pengelolan sumberdaya ikan mempunyai cakupan
yang luas dan pengalaman kita dalam bidang pengelolaan juga masih
terbatas, maka diperlukan suatu kesamaan dalam mengartikan istilah
pengeloaan perikanan / sumberdaya ikan itu sendiri. Kata “ pengelolaan”
yang kita pakai adalah terjemahan dari kata “Management” yang dalam
ilmu administrasi dijelaskan bahwa unsur pokok dari management adalah
meliputi P.O.A.C (Pleaning, Organizing, Actuating, Controling). Unsur
inipun dalam bahasa “fisheries management” diterjemahkan lebih luas dan
prosesnya sendiri panajang. Dalam Guideline no.4 CCRF pengeloaan
perikanan didefinisikan sebagai berikut : Pengelolaan Perikanan adalah
suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan
35
implementasinya (dengan enforcement bila diperlukan), dalam upaya
menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan
pengelolaan. Dalam pengelolaan SDI diperlukan adanya beberapa
batasan yang perlu mendapatkan perhatian antara lain : (1) besaran
daerah pengelolaan (2) siapa pengelolanya dan (3) bagaimana cara
pengelolaannya.
Pengertian Pengelolaan SDI berkelanjutan adalah pengelolaan
yang mengarah kepada bagaimana SDI yang ada saat mampu memenuhi
kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang, dimana
aspek keberlanjutan harus memiliki aspek ekologi, sosial-ekonomi,
masyarakat dan institusi. Pengelolaan SDI berkelanjutan tidak melarang
aktifitas penangkapan yang bersifat ekonomi/komersial, tetapi
menganjurkan dengan persyaratan bahea tingkat pemanfaatan tidak
melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkunga perairan atau
kemampuan pulih SDI (MSY), sehinggan generasi mendatang tetap
memiliki asset sumberdaya alam (SDI) yang sama atau lebih banyak dari
generasi saat ini. Bengen (2005) menjelaskan bahwa sesuatu
pengelolaan dinyatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat
mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutan
secara ekologi, sosial dan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi
mengandung arti, bahwa kegiatan pengeloalan SDI dimaksud harus dapat
mempertahankan intergritas ekosistem, memiliki daya dukung lingkungan,
dan konservasi daya ikan termasuk keaneka ragaman hayati
36
(biodiversity). Sehingga pemanfaatan SDI dapat berkesinambungan.
Berkelanjutan secara sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan
masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Sedang
berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa kegiatan pengelolaan SDI
harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital,
dan penggunaan SDI serta investasi secara efisien.
Keterlibatan penggunaan (users) dalam pengelolaan sumberdaya
ikan adalah hal yang sangat penting dimana dari pengalaman dibeberapa
tempat bahwa tidak ada program pengelolaan yang sukses tanpa
melibatkan pengguna. Pengguna harus mengambil bagian pada semua
fase pengembangan rencana pengelolaan dan implementasi program
pengelolaan. Keterlibatan pemakai (users) dan orang-orang berpotensi
memakainya (potential users) dan lainnya yang mempenyai pengaruh
besar dalam implementasi rencana pengelolaan harus secara
konfrehensif, tidak hanya dengan pemasukan ide melalui pertemuan
terbatas dengan kontak yang intensif simana berbagai tingktan prose
perencanaan dan kebijakan yang diambil tergantung kepada keterlibatan
stakeholders yang meliputi : Penentuan tujuan (setting of goals), survei
sumberdaya (surveying resources), pendugaan pemakai sumberdaya
(assessing resource use), review pra rencana alternatif (reviewing pre-
plan alternatives), review draf rencana (reviewing of the draft plan),
inplementasi rencana (plan inplementation), revisi rencana yang akan
ditetapkan (revision of an enacted plan).
37
Nikijuluw (1994) menjelaskan bahwa pengelolaan berbasis
masyarakat (Community Bassed Management, CBM) merupakan salah
satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam seperti ekosistem
terumbu karang, sumberdaya perikanan, yang meletakkan pengetahuaan
dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaannya, sementara Carter (1996) mendefinisikan Community-
Based Resource Management sebagai : “ A strategy for achieving a
people-centered developmen where the focus of decision making regard
to the sustainable of that area” (suatu strategi untuk mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pengambilan
keputusan tentang berkelanjutan sumberdaya dalam pemanfaatannya
didaerah tersebut berada ditangan masyarakat). Model pengelolaan
berbasis yang berbasis masyarakat memberikan beberapa keuntungan
namun juga memiliki beberapa kelemahan (Bengen, 2005).
G. Kerangka Pemikiran
Masyarakat di kawasan pantai, atau masyarakat yang mendiami
atau mengelola kawasan pantai, merupakan suatu sistem, yaitu : ‘sistem
sosial’. Dalam perjalanannya, sistem sosial kawasan pantai menghadapi
berbagai ‘masalah fungsional’. Agar sistem sosial kawasan pantai dapat
bertahan hidup (survive), tumbuh dan berkembang (develop), ia harus
mampu mengatasi masalah-masalah ini.
Salah satu masalah fungsional yang penting dan justeru harus
diatasi, ialah “adaptasi”. Masalah adaptasi ialah masalah bagaimana
38
seharusnya atau searifnya alam fisik dimanfaatkan oleh manusia,
masyarakat kawasan pantai. Pada dewasa ini, hal serupa biasanya
diungkapkan sebagai masalah bagaimana sumberdaya manusia
mengadaptasi, atau mengelola sumberdaya alam dengan cara yang
searif-arifnya dengan manfaat yang sebesar-besarnya.
Sebagai salah satu sistem kehidupan manusia, sistem budaya
terdiri atas unsur-unsur norma, nilai, kepercayaan, perlambangan atau
simbol, pengetahuan/teknologi, Sistem budaya saling berinteraksi dengan
sistem sosial (individu,kelompok dan masyarakat) dimana sistem budaya
memberikan arus informasi dan sebaliknya sistem sosial memberikan arus
energi (penguatan). Dari interaksi ini, melahirkan suatu persepsi yang
mengarah kepada tindakan baik yang dilakukan secara individu maupun
secara bersama-sama berdasarkan cara pandang mereka dan seberapa
besar kepentingan atau keterpenuhan hidupnya dapat terakomodasi.
Dari cara pandang (persepsi) yang melahirkan aksi atau tindakan
didalam sistem sosial masyarakat pantai, menunjukkan adanya realitas
pemanfaatan (eksploitasi) dan realitas pelestarian (konservasi) yang
disengaja ataupun tidak terhadap sumberdaya alam yang dimilikinya.
Tindakan eksploitasi dan konservasi ini dapat dilakukan dalam bentuk
prakarsa (inisiatif lokal) maupun dalam bentuk partisipasi.
Dalam konteks ini, pembangunan masyarakat yang merupakan
sebuah proses, dimana semua usaha prakarsa (inisiatif lokal) masyarakat
digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna
39
meningkatkan kondisi masyarakat di berbagai bidang seperti ekonomi,
sosial, kultural, lingkungan dan ketersedian sumberdaya alam yang
diintegrasikan kedalam kehidupan mereka, serta pemberian kesempatan
yang memungkinkan masyarakat untuk terlibat secara penuh pada
ketersediaan dan kelestarian sumberdaya alam yang berdampak pada
tingkat kesejahteraan mereka.
Proses ini terfasilitasi dalam kelembagaan sebagai kesatuan
(entity) nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan-peraturan/kesepakatan-
kesepakatan kolektif yang berlaku pada masyarakat (nelayan), berikut
organisasi/institusi (formal, non-formal) sebagai wadahnya yang eksis
secara sosial, ekonomi, administratif, secara fungsional dan secara
struktural, baik yang dibentuk secara sepihak, maupun dibangun secara
partisipatif (Gambar. 4)
40
Gambar 4. Kerangka Pikir Penelitian
41
Sumberdaya Perikanan (Ikan Terbang/ Telur Ikan Terbang
Sistem Sosial Masyarakat Pesisir
Nelayan Pambusuang
(Polman)
Nelayan Pa’lalakang (Takalar)
Hubungan Masyarakat dengan Sang Pencipta
Hubungan antara masyarakat Hubungan Masyarakat dengan
Sumberdaya Alam
Fungsi Pokok Lembaga Fungsi adaptasi/ekonomi Fungsi pencapaian
tujuan Fungsi integrasi Fungsi pemeliharaan
pola
Pattuing-tuing (Nelayan Ikan Terbang) : Kelompok kerja
(ponggawa-sawi) Alat tangkap pakkaja
dan bale-bale Fishing ground hanya
di perairan Polman Target tangkapan
didominasi pada ikan terbang
diperdagangkan skala lokalitas
Masih terpraktekkan upacara/ritual sebagai adat kenelayanan
Pa’torani (Nelayan Ikan Terbang) : Kelompok kerja
(ponggawa-sawi) Alat tangkap balla-balla Fishing ground lintas
provinsi (fak-fak) Target tangkapan
didominasi pada telur ikan terbang
diperdagangkan skala regional
Masih terpraktekkan upacara/ritual sebagai adat kenelayanan
Skenario Pengelolaan dan Pemanfaatan Ikan Terbang yang
Aplikatif/Akomodatif
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian
kualitatif (qualitaif research) yang berusaha mengkonstruksi realitas dan
memahami maknanya, sehingga sangat memperhatikan proses, peristiwa
dan otentisitas. Penekanan penelitian kualitatif dimaksudkan untuk
meneliti kondisi subjek, dengan mencari dan menemukan informasi
melalui pengkajian kasus yang terbatas namun mendalam dengan
penggambaran secara holistik. Pendekatan kualitatif mencirikan makna
kaulitas yang menunjuk pada segi alamiah dan tidak menggambarkan
perhitungan (Maleong, 2000; Bungin, 2003 )
Strategi jenis penelitian adalah studi kasus. Strategi ini
merupakan metode yang dianggap tepat untuk sebuah studi yang
mempelajari mendalam tentang dinamika atau keadaan kehidupan
sekarang dengan latar belakangnya dalam interaksi dengan
lingkungan dari suatu unit sosial seperti individu, kelembagaan,
komunitas dan masyarakat (Yin, 1997). Studi ini mementingkan
kedalaman dengan tujuan ”Deskripsi kental” untuk memahami suatu
konteks atau situasi yang ada (Geertz, 1973).
42
B. Pengelolaan Peran sebagai Peneliti
Rancangan dan pelaksanaan penelitian bersifat responsif dan
kreatif sesuai dengan bentuk ritme dan kemungkinan yang ada di
lapangan. Dalam kajian ini, peneliti melakukan pengamatan terlibat
aktif dengan berusaha memperlama keberadaan dalam komunitas,
mengintensifkan observasi dan wawancara yang dilakukan sedalam
mungkin (in-depth). Untuk menghindari subyektifitas jawaban
informan karena interaksi langsung dengan peneliti, materi
pertanyaan yang diberikan sifatnya tidak menilai atau
mengintervensi, tetapi lebih kepada materi pertanyaan yang
mengarahkan informan untuk mengungkapkan pengalaman yang
dialami atau pernah dialaminnya yang diantaranya melalui life-history
(Koentjaraningrat, 1994)6.
C. Lokasi Penelitian
Menentukan lokasi penelitian dilakukan secara segaja
(purpossive) pada unit desa yang memungkinkan untuk melakukan
studi mendalam tentang komunitas masyarakat nelayan secara
menyeluruh. Desa yang dipilih adalah Desa Pa’lalakkang Kecamatan
Galesong Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan) dan Desa
6 Koenjaraningrat (1994) menegaskan bahwa, untuk memperoleh gambaran yang sangat mendalam tentang detil dari hal yang tidak mudah diceritakan orang dengan metode interview berdasarkan pertanyaan langsung mengenai fenomena yang terjadi dalam masyarakat, maka teknik yang dapat dipergunakan dalam memperoleh gambaran permasalahan tersebut adalah melalui metode life-history dengan menampilkan uraian kasus dari pengalaman-pengalaman yang diceritakan kembali oleh key informan.
43
Pambusuang Kecamatan Balanipa Kabupaten Polman (Sulawesi
Barat) sebagai wilayah kasus dengan dasar pertimbangan
metodologis berdasarkan survey awal yang dilakukan, yakni : (1) Di
dua desa ini mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya
dalam bidang perikanan (nelayan), khususnya sebagai nelayan yang
menangkap dan mengumpulkan telur ikan terbang ; (2) dalam
perkembangannya, sebagian besar nelayan masih mempertahankan
pengetahuan tradisional dalam kegiatan kenelayanan sebagai
warisan dari leluhurnya serta eksistensi kelembagaan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan dan Kecamatan Balanipa Kabupaten Polman Provinsi Sulawesi Barat.
44
Kabupaten Takalar
Kabupaten Polman
D. Sumber Data
Sumber data terdiri dari data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara dan observasi, sedang data
sekunder bersumber dari instansi-instansi terkait serta hasil-hasil
laporan, penelitian sebelumnya yang dapat mendukung kajian
penelitian.
Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui penentuan
informan didasarkan pada informasi awal tentang warga komunitas
yang terlibat dalam usaha perikanan tangkap (penangkapan dan
pengumpulan telur ikan terbang), baik yang berposisi sebagai
punggawa darat (pemberi modal), punggawa atau juragan (pemilik
usaha), sawi (pekerja) dan nelayan mandiri. Kepada informan
sebagai tineliti yang telah diwawancarai ditanyakan tentang warga
komunitas yang dapat dijadikan informan berikutnya (teknik bola
salju; efek snowball). Disamping itu ada juga informan yang
ditentukan sendiri oleh peneliti, seperti tokoh masyarakat, pemuka
agama, tokoh pemuda dan sebagainya. Demikian proses ini
berlangsung sehingga data yang terkumpul mencapai tingkat
kecukupan. Perulangan wawancara untuk informan tertentu dapat
dilakukan, apabila informan tersebut dianggap potensil mengungkap
banyak hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Prinsip triangulasi
pengumpulan data juga dipraktekkan, dalam arti suatu tema
pertanyaan tidak hanya diandalkan pada satu sumber informasi saja,
45
melainkan kebenaran informasi disandarkan pada beberapa
informan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari subyektifitas
jawaban yang diberikan oleh informan.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam studi kasus, sejumlah data eklektif tertentu
dikumpulkan dan dipadukan dalam proses analisis, serta disajikan
sedemikian rupa untuk mendukung tema utama yang menjadi fokus
penelitian, sehingga merupakan suatu konstruksi tersendiri sebagai
suatu produk interaksi antara responden atau informan, lapangan
penelitian dan peneliti. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan meliputi :
1. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan melalui
sejumlah pertemuan dengan informan yang didalamnya berlangsung
tanya jawab dan pembicaraan terlibat mengenai berbagai aspek
permasalahan yang akan dicari dalam penelitian. Dalam prosesnya,
selain informan menjelaskan informasi mengenai dirinya, seperti
riwayat usaha, aktivitas usaha, kehidupan keluarga, atau pandangan
hidupnya; juga dituntun untuk menjelaskan hal di luar dirinya seperti
kondisi komunitas, hubungan produksi dalam kelompok kerja maupun
hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat terutama pada
penekanan pada fungsi kelembagaan sebagai aspek perilaku dan
aturan main yang sehari-hari hidup di masyarakat setempat.
46
Penggunaan life-history dipraktekkan untuk beberapa informan
kunci. Pencatatannya dilakukan pada saat wawancara
berlangsung.
Fokus wawancara mendalam terbagi tiga bagian, dengan
strategi pertanyaan yang gampang dimengerti dan diingat oleh
informan tanpa mengurangi makna dan tujuan yang dicari dari
permasalahan penelitian. Tahapan-tahapan itu adalah sebagai
berikut : Pertama, penggambaran umum mengenai aktifitas
kenelayanan masyarakat (nelayan ikan terbang; patorani) yang
kemudian dilanjutkan dengan penggambaran umum fenomena
proses sosial antar nelayan yang terjadi; Kedua, penggambaran
tentang hal-hal yang masih dipertahankan sebagai tradisi dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap ; Ketiga penggambaran
mendalam fungsi dan peranan kelembagaan lokal sebagai kesatuan
(entity) nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan-peraturan/kesepakatan-
kesepakatan kolektif yang berlaku pada masyarakat, berikut
organisasi/institusi (formal, non-formal) sebagai wadahnya yang eksis
secara sosial, ekonomi, administratif, secara fungsional dan secara
struktural, baik yang dibentuk secara sepihak, maupun dibangun secara
partisipatif.
2. Pengamatan (observation)
Pengamatan dilakukan dengan dua cara yaitu, pengamatan
biasa dan berpartisipasi. Data yang dikumpulkan melalui
47
pengamatan biasa adalah data yang dapat diamati oleh peneliti tanpa
menuntut keterlibatan secara langsung. Jenis data yang diperoleh
dengan cara ini adalah antara lain, keadaan pemukiman penduduk,
jenis peralatan dalam aktifitas usahanya, pola aktivitas dan kegiatan
sehari-hari penduduk. Sedangkan pengamatan berpartisipasi ( full
observation participation) dilakukan untuk memperoleh data yang
menuntut keterlibatan peneliti dalam setting yang diteliti, seperti
perilaku dan aktivitas nelayan, pola operasi penangkapan, hubungan
produksi dalam kelompok usaha serta hal-hal yang menyangkut
substansi permasalahan dalam penelitian.
3. Group Discussion (Diskusi Kelompok)
Diskusi kelompok dilakukan dengan melibatkan sejumlah
anggota masyarakat yang dianggap punya kapasitas memberikan
informasi sesuai dengan tema permasalahan penelitian. Diskusi
kelompok ini juga dimaksudkan untuk pengecekan ulang terhadap
sejumlah informasi yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Pendekatan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih
utuh dari persoalan yang sedang dibahas.
4. Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan untuk menelaah sejumlah sumber
tertulis, dalam rangka memperoleh data, baik primer maupun
sekunder yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang dimaksud.
48
F. Validasi Data
Penilaian kualitas hasil penelitian kualitatif dilakukan dengan
penetapan kriteria-kriteria yang sesuai standar penelitian kualitatif
(Wonacott dan Kerka, 2002 dalam Salam, 2005). Dalam konteks ini
terdapat empat kriteria penilaian data dalam penelitian kualitatif yang
harus dilakukan, yaitu; kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas
dan konfirmabilitas. Keempat kriterai penilaian tersebut teruraikan
sebagai berikut :
Kredibiltas data (credibility). Dalam penelitian ini dilakukan
validasi internal (truth value) melalui pencocokan antara temuan-temuan
penelitian dengan hasil wawancara dengan informan dalam tiga tahapan
aktivitas penelitian, sebagai berikut : (1) investasi waktu kebersamaan
yang lama di desa; melakukan observasi berkelanjutan (persistent
observation) terhadap fakta-fakta krusial; penggunaan triangulation, dan
elaborasi teori untuk interpretasi fenomena yang terjadi selama penelitian,
(2) melakukan fasilitasi konsultasi teman sejawat (peer debriefeing)
terhadap tokoh masyarakat ataupun ilmuwan yang tahu dan mengenal
langsung daerah penelitian; dengan tujuan untuk membantu peneliti tetap
“objektif” serta mendiskusikan asumsi-asumsi “otentik” yang muncul
selama penelitian, (3) melakukan konfirmasi partisipan (member checks)
terhadap data, kategori, interpretasi dan simpulan yang diuji bersama
dengan informan (partisipan) yang terlibat sejak dari awal penelitian ini
dilaksanakan.
49
Transferabilitas data (transferability), mendeskripsikan secara
detail dan mendalam (detailed and thick description) latar belakang sosial
budaya kehidupan komunitas, melalui analisis dan penyediaan informasi
yang cukup untuk merefleksikan karakteristik masyarakat yang diteliti.
Dependabilitas data (dependability), melibatkan “auditor”
(promotor dan co-promotor;) dalam melakukan pemeriksaan atas materi
data dan informasi (audit trial) yang dikumpulkan oleh peneliti untuk
menjaga konsistensi hasil penelitian dengan simpulan yang dirumuskan.
Konfirmabilitas data (confirmability), dilakukan melalui refleksi
pemikiran kritis peneliti (self-reflection) dengan mengelaborasikan asumsi-
asumsi dasar sosiologi ekonomi dalam perspektif jaringan sosial selama
penelitian berlangsung terhadap fenomena kemitraan usaha yang terjadi,
dengan tujuan untuk mencapai keterpercayaan, “kelayakan dipercaya”
(trustworthiness) terhadap hasil penelitian yang dilakukan.
G. Teknik Analisis Data
Metode analisis utama yang digunakan adalah analisis data
kualitatif yang analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman
(interpretative understanding) atau verstehen. Pengertian kualitatif di sini
bermakna bahwa data yang disajikan berwujud kata-kata ke dalam bentuk
teks yang diperluas bukan angka-angka (Miles dan Huberman, 1992).
Data hasil wawancara dan pengamatan ditulis dalam suatu catatan
lapangan yang terinci kemudian dianalisis secara kualitatif. Untuk
memperoleh data yang akurat, maka dibuat catatan lapangan yang
50
selanjutnya disederhanakan/ disempurnakan dan diberi kode data dan
masalah. Pengkodean data berdasarkan hasil kritik yang dilakukan, data
yang sesuai dipisahkan dengan kode tertentu dari data yang tidak sesuai
dengan masalah penelitian atau data yang diragukan kebenarannya.
Data yang diperoleh dianalisis secara komponensial (componetial
analysis) dengan melalui tiga tahap :
Tahap pertama, analisis data kualitatif yang dilakukan adalah
proses reduksi data kasar dari catatan lapangan. Dalam prosesnya,
dipilih data yang relevan dengan fokus penelitian dan data yang tidak
memenuhi kriteria eksklusif-inklusif. Proses reduksi data dilakukan
bertahap selama dan sesudah pengumpulan data sampel tersusun.
Reduksi data dilakukan dengan cara membuat ringkasan data,
menelusuri tema tersebar, dan membuat kerangka dasar penyajian
data.
Tahap kedua, penyajian data, yaitu penyusunan sekumpulan
informasi menjadi pernyataan yang memungkinkan penarikan
kesimpulan. Data disajikan dalam bentuk teks naratif, mulanya
terpencar dan terpisah pada berbagai sumber informasi, kemudian
diklasifikasikan menurut tema dan kebutuhan analisis. Pada tahap
inilah data disajikan dalam kesatuan tema keadaan umum wilayah
komunitas masyarakat nelayan, gambaran mengenai aktifitas
kenelayanan (patorani), gambaran tentang hal-hal yang masih
dipertahankan sebagai tradisi dalam pengelolaan sumberdaya
51
perikanan tangkap, serta gambaran mendalam mengenai peranan
kelembagaan lokal sebagai kesatuan (entity) nilai-nilai, norma-norma,
dan peraturan-peraturan/kesepakatan-kesepakatan kolektif yang berlaku
pada masyarakat, berikut organisasi/institusi (formal, non-formal) sebagai
wadahnya yang eksis secara sosial, ekonomi, administratif, secara
fungsional dan secara struktural, baik yang dibentuk secara sepihak,
maupun dibangun secara partisipatif..
Tahap ketiga, penarikan kesimpulan berdasarkan reduksi dan
penyajian data. Penarikan kesimpulan berlangsung bertahap dari
kesimpulan umum pada tahap reduksi data, kemudian menjadi lebih
spesifik pada tahap penyajian data, dan lebih spesifik lagi pada tahap
penarikan kesimpulan yang sebenarnya. Rangkaian proses ini
menunjukkan bahwa analisis data kualitatif dalam penelitian ini
bersifat menggabungkan tahap reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan secara berulang dan bersiklus.
Analisis data kualitatif menggunakan metode induktif.
Penelitian ini tidak menguji hipotesis, tetapi lebih merupakan
penyusunan abstraksi berdasarkan bagian yang telah dikumpulkan
dan dikelompokkan. Seluruh data yang tersedia ditelaah, direduksi
kemudian diabstraksikan sehingga terbentuk satuan informasi.
Satuan informasi di ditafsirkan dan diolah menjadi kesimpulan.
Penarikan teori substantif dilakukan dengan membuat analisis
52
komprehensif dan holistik terhadap unsur-unsur yang menjadi sentral
permasalahan dalam penelitian.
H. Jadwal Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan selam kurang lebih delapan
bulan, antara bulan September 2012 sampai dengan bulan April
2013. Satu bulan pertama kegiatan dilapangan adalah observasi dan
wawancara yang sifatnya untuk mengakrabkan diri dengan penduduk
setempat yang kemudian dilanjutkan dengan mendekati sumber-
sumber informasi, mengindetifikasi dan membina hubungan dengan
calon informan.
Bulan-bulan selanjutnya digunakan untuk wawancara intensif
dan obeservasi berperan serta terhadap aktifitas-aktifas yang
dilakukan oleh nelayan. Wawancara mendalam dilakukan dengan
informan tertentu untuk dijadikan sebagai uraian kasus, dengan
berusaha meyakinkan informan untuk dapat menceritakan kembali
pengalaman usaha yang pernah digelutinya atau peristiwa lalu yang
masih terekam diingatannya sehubungan dengan permasalahan atau
pertanyaan yang diajukan.
Sebelum pengumpulan data dilakukan, persiapan penelitian
telah berlangsung kurang lebih satu tahun, mencakup kegiatan kajian
pustaka, penyusunan usulan penelitian, studi pendahuluan, rapat
komisi, seminar usulan penelitian, perbaikan usulan penelitan dan
penyelesaian perizinan.
53
I. Konsep Operasional
1. Nelayan : orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, juru mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai mata pencaharian.
2. Patorani : nelayan secara aktif melakukan kegiatan yang khusus menangkap ikan terbang dan mengumpulkan telur ikan terbang.
3. Interaksi Sosial : merupakan pola hubungan-hubungan sosial yang dinamis antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan atau kelompok dengan kelompok dalam suatu komunitas masyarakat.
4. Proses social : adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan dalam bentuk akomodasi, kerjasama, kompetisi maupun koflik sebagai dinamika dalam kehidupan masyarakat.
5. Perilaku Masyarakat : suatu aksi-reaksi manusia terhadap lingkungannya yang muncul karena adanya saling bergaul dan intraksi yang mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur dalam pencapaian kebutuhan bersama
6. Kelembagaan lokal : berbagai norma-norma atau aturan-aturan sosial terstrukur atau tidak terstruktur yang telah berkembang secara tradisional dan terbangun atas budaya lokal sebagai komponen dan pedoman pada beberap jenis atau tingkatan lembaga sosial yang saling berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat nelayan.
7. Punggawa-Sawi : bentuk kelembagaan lokal masyarakat nelayan yang terdapat di Sulawesi Selatan yang berbasis yang dalam sistem kerjanya dibangun atas dasar kepentingan bersama antara individu yang disebut ”punggawa” dengan seorang atau beberapa individu yang disebut ”sawi”.
8. Punggawa darat : pemilik usaha produksi (modal, perahu/kapal dan alat tangkap) yang mempekerjakan sekelompok orang sebagai tenaga kerja dalam kegiatan produksi atau memberikan pinjaman produksi.
54
9. Punggawa kecil atau Juragan lopi : salah seorang anggota kelompok kerja yang diberi kepercayaan oleh punggawa darat untuk memimpin kegiatan produksi karena kepadanya memiliki kelebihan atau kedekatan khusus dengan punggawa darat dibanding anggota kelompok yang lain.
10. Nelayan sawi : orang-orang yang tidak memiliki sarana produksi dan hanya mengandalkan tenaga fisik untuk terlibat sebagai tenaga kerja dalam satu kelompok kerja (working group)
11. Nilai budaya lokal : diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan menjadi referensi sekaligus menjadi pedoman atau ukuran terhadap tingkah laku atau tindakan sosial. Dalam konteks ini mengambil setting kebudayaan Bugis-Makassar, dengan enam pilar utama sebagai nilai-nilai sosial dalam masyarakat yaitu; kejujuran (alempureng), kecendikian (amaccang), kepatuhan (asitinajang), keteguhan (agettengeng), keusahaan (reso) dan siri’ (malu dan harga diri) yang menjadi pedoman atau ukuran tingkah laku (tindakan sosial) dalam melakukan usaha (pekerjaan) maupun dalam interaksi kesehariannya.
55
DAFTAR PUSTAKA
Ali S. A dan Natsir Nessa, 1993. Penetasan Dan Perawatan Larva Ikan Terbang Ditempat Pembenihan (Hatchery). Torani Bulletin Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Hasanuddin. Makassar
Ali. S. A. 2005. Kondisi sediaan dan keragaman populasi iakn terbang di Laut Flores dan selat Makassar. Disertasi Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makasssar.
Ali. S. A., dan M. N. Nessa, 2005. Status ilmu pengetahuan ikan terbang di Indonesia, Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang. Universitass Hasanuddin. Makassar
Amien, M; Ahmad, D; Parenta, T; Benyamin, M; Lampe, M, 1999. Pembangunan Kelautan Indonesia Dari Perspektif Kemandirian Lokal. Tim Unhas. Makassar.
Arief, A. Adri. 2007. Artikulasi Modernisasi dan Dinamika Formasi Sosial Pada Nelayan Kepulauan di Sulawesi Selatan (Studi Kasus Nelayan Pulau Kambuno). (Disertasi) Program Pascasarjana-UNHAS. Makassar.
Arief, A. Adri. 2002. Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat Nelayan di Kabupaten Maros (Studi Kasus Desa Pajukukang, Kec. Maros Utara). (Tesis) PPS-UNHAS. Makassar.
ArIs. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Ikan Terbang (Cypsilurus ssp) Berkelanjutan Diperairan Selat Makassar dan Laut Flores. Makassar: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
Aris. 1997. Analisis Upaya Penangkapan Ikan Terbang Di Kabupaten Takalar. Thesis Tidak Diterbitkan. Ujung Pandang: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
Azwar Saifuddin, 1998. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi II, Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Basuki dan Nikijuluw. Victor P.H. 1996. Ko-Manajemen dalam Perikanan Pantai Masyarakat Adat dan Pemerintah Indonesia, dalam BPPT-Wanhankamnas, Konvensi Benua Maritim Indonesia. Jakarta : BPPT-Wanhankamnas.
Bengen, D.G., 2005. Merajut Keterpaduaan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Kawasan Timur Indonesia Bagi Pembangunan
56
Kelautan Berkelanjutan. Disajikan pada Seminar Makassar Maritime Meeting, Makassar.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke arah Penguasan Model Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Carter, J. A. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta.
Carter, R.W., 1988. Coastal Environment : An Introduction to the Physicsl, Ecological and Cultural System of Coastlines. Acad. Press Inc. San Diego, USA.
Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel. 2010. Laporan Tahunan Dinas Perikanan TK I Sulawesi Selatan. Makassar.
Geertz, Clifford 1978. The Interpretation of Culture: Selected Essays. Basic Books Inc. Publishers. New York.
Hutomo M. Burhanuddin, Sularto Martosejowo, 1985. Seri Sumberdaya Alam. Sumberdaya Ikan Terbang. Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. Lembaga Oseanografi Nisional, LIPI. Jakarta
Kluckhohn, C. 1962. Values and Value Orientations in The Theory of Action. Harpen & Row Publisher. New York.
Koentjaraningrat, 1994. Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Koentjaraningrat. 1990 (ed). Rintangan-Rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia. Sajogyo & Sajogyo, Pudjiwati. Sosiologi Pedesaan. Jilid. 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kosokay, A.E.W. 1986. Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Kaitannya dengan Lembaga Mapalus : Studi Kasus Desa Rasi, Kec. Ratahan, Minahasa. Bogor : IPB (Tesis).
Maleong, Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Mangunwijaya, Y.B. 1987. Teknologi dan Dampak Kebudayaan. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
57
Mattulada. 1997. Sketsa Pemikiran Tentang Kebudayaan, Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin University Press. Ujung Pandang.
Mubiyarto. 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi dan Antropologi di Dua Desa Pantai. CV. Rajawali. Jakarta.
Nessa M.N., 1978. Perikanan Ikan Terbang Di Sulawesi Selatan Ditinjau Dari Aspek Penangkapan Dan Social Ekonomi. Symposium Modernisai Perikanan Rakyat. Jakarta
Nikijuluw, V.P.H., 2002. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. P3R, jakarta.
Nur Indar, M.Y. 2005. Model Pengembangan Kelembagaan Perikanan Ikan Terbang. Makalah disajikan pada “Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang”. Kerjasama Universitas Hasanuddin dengan Departemen Kelautan dan Perikanan-P2O LIPI, 20-21 September 2005 di Makassar.
Parson, Talcott. 1951. The Social System. Ameriand Publishing. New Delhi.
Rasyid Abdul Jalil, Sukur Taufiq, Najamuddin, Dan Palo Mahfud, 1998. Studi Kasus Jaring Ikan Terbang Di Kecamatan Banggai Kabupaten Majene, Torani Jurnal Ilmu Kelautan.
Sallatang, Arifin, 1982. Pinggawa-Sawi: Suatu Studi Sosiologi Kelompok Kecil. Jakarta, Depdikbud.
Sallatang, Arifin. 2000. Strategi Pengembangan Masyarakat Pesisir. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Sallatang, M. A. 1994. Ekologi Manusia. Disajikan dalam Kursus Dasar-dasar Analisa Dampak Lingkungan Tipe A. Pusat Studi Lingkungan Universitas Halueleo. Kendari.
Sallatang. M. A. 1984. Inventarisasi Nilai, Norma, Kepercayaan, Sistim Pengetahuan, Teknologi dan Simbolisasi . Proyek Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Sallatang. M. A.. 2001. Rona Sosio Budaya dalam Pokok-Pokok Pikiran Pembangunan Kelautan Indonesia. Makalah. Makassar.
Salman, D. 2002. Pendekatan Partisipatoris dalam Perencanaan Pembangunan Daerah. Makalah Dipresentasikan dalam “Diklat
58
Program Kepemimpinan Bappeda dalam Era Otonomi Daerah”, Depdagri. Jakarta.
Skinner, 1976. The Experimental an Analysis of Behavior. New York Viking Press.
Soedjito. 1987. Aspek Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. Penerbit PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekanto. Soerjono, 1996. Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Perkasa
Soewarsono dan Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES. Jakarta.
Sumaatmadja Nursid, 1998. Manusia Dalam Kontes Sosial Budaya dan Lingkungan . Bandung : CV. alfabet
Sunarto, K. 1993. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Tjondronegoro, 1984. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial. Prisma, Nomor 2 tahun 1984. Jakarta.
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. West Hartford, Conn, Kumarian Press
Widayati. 2003. Kajian Kelembagaan. Materi Semiloka. Studi/Kajian Perda Sektor Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan.LP3MPK. Makassar.
Wirawan, Gandi. 2004. Perbedaan Orientasi Nilai dan Perilaku Prososial antara Suku Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa. (http://www.depsos.go.id / Balatbang / Puslitbang /2004).
Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi (Konsep dan Teori). Refika Aditama. Bandung.
Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi (Konsep dan Teori). Refika Aditama. Bandung.
Yin, Rober K, 1997, Studi Kasus: Desain dan Metode, Rajawali Press, Jakarta.
59