makalah indera penghidu
-
Upload
rizka-icha -
Category
Documents
-
view
1.942 -
download
9
Transcript of makalah indera penghidu
MAKALAH ANATOMI DAN FISIOLOGI MANUSIA II
INDERA PENGHIDU
Disusun oleh :Kelompok : 5 (Lima)Anggota : 1. Rudiansyah (I21111013)
2. Ayun Ria Cahyanti (I21111026) 3. Arief Candra Nurohman (I21111027) 4. Yuli Evi Yanti (I21111038) 5. Rizka Annur Putri (I21111039)
PROGRAM STUDI FARMASIFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURAPONTIANAK
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya penulis mampu
menyelesaikan makalah dengan judul Indera Penghidu. Makalah Indera Penghidu ini
merupakan tugas mata kuliah Anatomi dan Fisiologi Manusia II.
Melalui makalah yang berjudul Indera Penghidu ini yang diharapkan dapat menunjang
nilai penulis di dalam mata kuliah Anatomi dan Fisiologi Manusia II. Selain itu, dengan hadirnya
makalah ini dapat memberikan informasi yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi pembaca.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Delima Fajar
Liana selaku dosen pembimbing serta kepada seluruh pihak yang terlibat di dalam penulisan
makalah Indera Penghidu ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Pontianak, 27 November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I – PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Tujuan 1
3. Rumusan Masalah 1
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA 2
1. Definisi Indera Penghidu 2
2. Anatomi Hidung 2
3. Fisiologi Hidung 7
4. Proses Penciuman 10
5. Kelainan pada Indera Penghidu 10
BAB III – PENUTUP 12
1. Kesimpulan 12
DAFTAR PUSTAKA 13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar 3
Gambar 2. Anatomi Hidung dan Cavum Nasi 4
Gambar 3. Membrane Mukosa Olfaktorius 5
Gambar 4. Sirkuit Saraf Dasar di Bulbus Olfaktorius 6
Gambar 5. Sirkuit Penghidu 7
Gambar 6. Arus Proses Penciuman 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Panca indera pada manusia merupakan sekumpulan reseptor tertentu yang terlokalisasi
dan merupakan paling ujung yang dapat menerima rangsangan-rangsangan (stimulus) dari
lingkungan untuk direspon oleh tubuh (efektor). Salah satu dari panca indera tersebut adalah
indera penghidu.
Indera penghidu merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya dengan
indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja bersama-
sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor organ penghidu terdapat di regio
olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-
lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di dasar fossa kranii
posterior. Anatomi berikut mekanisme (fisiologi) dari indera penghidu patut diketahui supaya
kita dapat mengetahuinya secara lebih rinci.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Menjelaskan definisi indera penghidu manusia
2. Menjelaskan anatomi dan fisiologi indera penghidu manusia
1.3 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan indera penghidu?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari indera penghidu manusia?
3. Bagaimana proses penciuman manusia?
4. Apa saja kelainan pada indera penghidu manusia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Indera Penghidu
Hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya dengan
gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan merupakan kombinasi penciuman dan
pengecapan. Reseptor penciuman merupakan kemoreseptor yang dirangsang oleh molekul
larutan di dalam mukus. Reseptor penciuman juga merupakan reseptor jauh (telereseptor).
Jaras penciuman tidak disalurkan dalm talamus dan tidak di proyeksikan neokorteks bagi
penciuman.
Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan. Pada manusia, bau
mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan atau membangkitkan rasa penolakan dan
keterlibatan memori, selain itu bau juga penting untuk nafsu makan.
2.2 Anatomi Hidung
a. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal hidung
(bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares
anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan
menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal,
prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis
inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Tepi
medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi kranial
melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus frontal os maksila.
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar
Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura
piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os
maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada
penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.
b. Hidung Dalam
Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana
di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Septum nasi
merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua
hidung. Pada dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yaitu meatus
superior, media dan inferior.
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral
dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian
pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk
mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat mengganggu penciuman.
Gambar 2. Anatomi Hidung dan Cavum Nasi
Membrane Mukosa Olfaktorius
Sel reseptor olfaktorius terletak dibagian mukosa hidung yang khusus, yaitu
membrane mukosa olfaktorius yang berpigmen kekuningan. Pada anjing dan hewan
lain dengan indra penghidu yang sangat berkembang (hewan makrosmatik), cakupan
daerah membrane ini luas; pada hewan mikrosmatik membrane ini kecil. Pada
manusia daeraj ini luasnya 5 cm2 berada di atap rongga hidung dekat septum.
Membrane ini mengandung sel-sel penunjang dan sel-sel calon reseptor penghidu.
Diantara sel ini terdapat 10-20 juta sel reseptor. Setia reseptor penghidu adalah
neuron, dan di tubuh, membrane mukosa olfaktorius merupakan system saraf yang
terletak paling dekat dengan dunia luar. Setiap neuron memiliki dendrite pendek tebal
dengan ujung melebar yang disebut batang olfaktorius. Dari batang ini, timbul
tonjolan silia yang merebak kepermukaan mucus. Silia adalah prosesus tidak
bermielin sengan panjang 2µm dan garis tengah 0,1µm. untuk setiap neuron terdapat
10-20 silia. Akson neuron reseptor penghidu menembus lamina kribiformis tulang
etmiod dan masuk ke bulbus olfaktorius.
Gambar 3. (a) lokasi (b) struktur mukosa olfaktorius
Neuron penghidu, seperti reseptor pengecapan, tidak seperti neuron lainnya,
selalu diperbarui dengan waktu paruh beberapa minggu. Perbaruan sel olfaktorius ini
merupakan proses yang diatur, dana ada bukti bahwa pada proses ini, protein
morfogenik tulang (bone morphogenic protein, BMP) member pengaruh inhibisi.
BMP merupakan golongan factor pertumbuhan yang sebelumnya disebutkan sebagai
zat perangsang (promotor) pertumbuhan tulang, tetapi sekarng diketahui bekerja pada
bermacam-macam jaringan tubuh selama pertumbuhan, termasuk berbagai sel saraf.
Membrane mukosa olfaktorius selalu ditutupi oleh mucus, mucus ini dihasilkan
oleh kelenjar Bowman, yang terletak tepat di bawah lamina basal membrane.
Bulbus Olfaktorius
Pada bulbus olfaktorius, akson reseptor bersinap dengan dendrite primer sel mitral
dan tufted cells untuk membentuk sinap globular kompleks yang disebut glomerolus
olfaktorius. Tufted cell (sel berumbai) lebih kecil dari pada sel mitral dan memilki
akson yang tipis, tetapi kedua jenis sel mengirim aksonnya menuju korteks penghidu
serta bagian otak lain, dan tanpaknya merit jika ditinjau dari segi fungsi. Rata-rata
26.000 akson sel reseptor berkonvergensi pada setiap glomerolus. Selain sel mitral
dan sel tufted, bulbus olfaktorius mengandung sel periglomeruler, yaitu neuron
inhibisi yang menghubungkan satu glomerolus dengan glomerolus lainya, dan sel
granula, yang tidak memunyai akson dan membentuk sinaps timbale balik
(resiprokal) dengan dendrite lateral sel mitral dan sel tufted . di sinaps ini, sel mitral
dan sel tufted merangsang sel granula dengan pelepasan glutamate, sedang di sisi sel
granula sinaps akan menghambat sel mitral dan sel tufted dengan mengeluarkan
GABA.
Gambar 4. sirkuit saraf dasar di bulbus olfaktorius
Korteks Olfaktorius
Akson sel mitral dan sel tufted berjalan ke posterior melalui stria olfaktorius
intermedia dan stria olfaktorius lateral ke korteks olfaktorius. Akson sel mitral
berakhir di dendrite apical sel pyramid di korteks olfaktorius. Pada manusia, tindakan
mengendus-endus akan menggiatkan korteks piriformis, tetapi menghidu dengan atau
tanpa mengendus-endus menggiatkan girus orbitofrontal lateral dan anterior dari
lobus frontalis. Penggiatan orbitofrontalis pada umumnya lebih besar pada sisi kanan
dari pada sisi kiri. Dengan demikian , representasi penghidu pada korteks bersifat
asimetris. Serat lain menuju ke amigdala, yang mungkin berperan dalam respon
emosi terhadap rangsang penghidu, dan ke korteks entorinal, yang berperan dalam
ingatan penghidu.
Gambar 5. sirkuit penghidu
2.3 Fisiologi Hidung
Fungsi hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses bicara
dan reflek nasal.
a. Sebagai jalan nafas
Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk lengkungan atau
arkus. Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang
sama seperti saat inspirasi, di bagian depan aliran udara memecah sebagian melalui nares
anterior dan sebagian lagi ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
udara nasofaring.
b. Pengatur kondisi udara
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
c. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir dan enzim
yang dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut lisozim.
d. Indera penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.
Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri dari
tiga macam sel-sel saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Lamina propia
di daerah olfaktorius mengandung kelenjar olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan
kelenjar Bowman (Graziadei) yang menghasilkan mukus cair.
Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian
puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan diri ke
permukaan epitel, kemudian membentuk bulatan disebut vesikel olfaktorius. Menurut
teori stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar,
indera penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat
elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor yang
bentuk dan dimensinya tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan
partikel reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial, kamper,
“musky”, wangi bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau
amandel, merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul
dengan dua atau lebih reseptor primer.
Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau adalah
interaksi antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar, permulaan perjalanan
impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau silia,
mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam lendir. Pada perangsangan sel reseptor,
akan timbul perubahan potensial listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus
olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas listrik
yang menetap dan terus-menerus.
Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1
mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul membentuk gabungan
20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina kribrosa dan
memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin.
Di dalam bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan dengan
sel-sel mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius
yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk ke korteks
piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius dan limbus
anterior kapsula interna dengan hubungan sekunder.
e. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia).
f. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan
palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
g. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
2.4 Proses Penciuman
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel pembau. Pada
sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf kranial (nervus alfaktorius),
yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin
dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius). Zat-zat kimia tertentu
berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai reseptor pembau.
Gambar 6. Arus Proses Penciuman
Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein
membran pada dendrit. Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu
akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori). Saraf otak ke I
ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian bersinaps
dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke daerah pembau primer
pada korteks otak untuk diinterpretasikan.
2.5 Kelainan pada Indera Penghidu
Kelainan penghidu disebut dengan “osmia”, diantaranya adalah:
a. Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau
b. Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
c. Disosmia : distorsi identifikasi bau
d. Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau
tidak enak
e. Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
f. Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau
spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). Pada manusia telah telah ditemukan beberapa
lusin jenis anosmia yang berbeda; kelainan-kelaina ini diperkirakan desebabkan oleh tidak
adanya atau gangguan fungsi salah satu dari banyak kelompok reseptor bau. Ambang
penghidu meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan lebih dari 75% orang berusia di
atas 80 tahun mengalami gangguan mengidentifikasi bau.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya dengan
gastrointestinalis. Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan.
2. Anatomi hidung manusia terbagi menjadi dua, yaitu hidung luar dan hidung dalam.
3. Fisiologi hidung manusia antara lain refleks nasal, proses bicara, resonansi suara, indera
penghidu, sebagai penyaring dan pelindung, pengatur kondisi udara, dan sebagai jalan
nafas.
4. Kelainan pada indera penghidu antara lain anosmia, hiposmia, disosmia, parosmia,
phantosmia, agnosia.
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger, JJ. 1994. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara.
Dhingra, PL. 2007. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Elsevier.
Despopoulos, Agamemnon et al. 2003. Color Atlas of Physiology 5th Ed. New York: Thieme.
Encarta. Anatomy of The Nose. http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The Nose.html.
[diakses tanggal 24 November 2012].
Greenstein, Ben. 2000. Color Atlas of Neurosciences, Neuroanatomy and Neurophysiology. New
York: Thieme.
Hilger, PA. 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit
THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.
Mangunkusumo, E. 2001. Gangguan Penghidu dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E. 2001. Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Vander. 2001. Human Physiology - The Mechanism of Body Function, 8th ed. New York:
McGraw-Hill.