Makalah Ikterus Patologis Neonatorum
-
Upload
iga-amanda -
Category
Documents
-
view
227 -
download
5
Transcript of Makalah Ikterus Patologis Neonatorum
BAB I
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang biasanya disertai dengan ikterus. Hiperbilirubinemia (jaundice) pada bayi baru lahir adalah timbunan dari serum bilirubin melebihi batas normal (Normal: 5-7 mg/dl).
Ikterus neonatorum merupakan warna kuning pada kulit dan sklera mata pada beberapa hari setelah lahir yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Penyakit kuning pada bayi biasa terjadi setelah 3-4 hari setelah kelahirandan akan menghilang 1-2 minggu kemudian. Hal ini adalah keadaan yang fisiologis. Walaupun demikian sebagian bayi akan mengalami ikterus yang berat sehingga memerlukan pemeriksaan dan tatalaksana yang benar untuk mencegah kesakitan dan kematian.
Sebagian besar ikterus neonatal tidak berbahaya. Karena usus dan hati pada bayi baru lahir belum dapat bekerja dengan sempurnasehingga banyak bilirubin yang tidak terkonjugasi dan tidak terbuang dari tubuh. Umumnya terjadi pada minggu pertama sampai minggu ketiga setelah kelahiran. Namun sebagian kecil bayi bisa mengalami ikterus yang tidak normal (muncul pada usia < 24 jam). Hal ini bisa dialami oleh bayi dengan infeksi berat (sepsis), bayi yang mengalami hemolisis (penghancuran sel darah merah berlebihan) misalnya akibat ketidakcocokan golongan darah dan rhesus, atau akibat kekurangan enzim G6PD. Di situasi inibila kadar bilirubin sangat tinggi, bisa menimbulkan kerusakan otak jika jaundice terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir.
Apabila kadar bilirubin yang ditemukan sangat tinggi, bayi akan mengalami kerusakan neurologis permanen (kernikterus). Kadar bilirubin (total) pada bayi bayi baru lahir bisa mencapai 12 mg/dl, kadar yang menimbulkan kepanikan adalah > 15 mg/dl. Pada kondisi ini bayi perlu mendapat fototerapi. Yaitu penyinaran dengan sinar biru berpanjang gelombang 420-448 nanometer untuk mengoksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang bayi mengalami ikterus sejak usia 12 jam pasca lahir. Lahir operasi caesar dengan berat 3200 g dan langsung menangis. Pada pemeriksaan fisis di dapatkan sadar, tidak panas, ikterus. Hasil pemeriksaan bilirubin total 10,5 mg/dl.
2
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tidak diketahui
Umur : 12 jam
Jenis kelamin : Tidak diketahui
Alamat : Tidak diketahui
Keluhan utama :
Seorang bayi mengalami ikterus sejak 12 jam pasca lahir
Riwayat persalinan :
Bayi lahir dengan operasi Caesar dengan berat 3200 g dan langsung menangis.
B. MASALAH dan HIPOTESIS
Masalah:
Bayi dengan ikterus 12 jam pasca lahir dapat dikatakan patologis karena waktu
terjadinya ikterus pada 12 jam setelah lahir, dimana pada ikterus fisiologis, ikterus
terjadi setelah 2 hari dari waktu kelahiran si bayi.
Bilirubin total 10,5 mg/dl normal pada ikterus fisiologis, akan tetapi harus terus
dipantau peningkatannya dikarenakan kondisi bayi yang telah mengalami ikterus
pada 12 jam pasca kelahiran.
Hipotesis:
Ikterus(Jaundice) Patologis
1. Pre- Hepatik
3
Defisiensi G6PD : Defisiensi enzim G6PD merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus dan merupakan penyebab tersering ikterus
dan anemia hemolitik akut di Asia Tenggara.
Thalassemia : merupakan salah satu jenis anemia hemolitik dan
merupakan penyakitketurunan yang diturunkan secara autosomal yang paling banyak
dijumpai di Indonesia. Pada talasemia terjadi kelainan pada gen-gen yang mengatur
pembentukan dari rantai globin sehingga produksinya terganggu. Gangguan dari
pembentukan rantai globin ini akan mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah
yang pada akhirnya akan menimbulkan pecahnya sel darah tersebut.
Eritroblastosis Fetalis / Rhesus incompatibility Ibu terhadap bayi :
suatu kelainan berupa hemolisis (pecahnya sel darah merah) pada janin yang akan
nampak pada bayi yang baru lahir karena perbedaan Rhesus pada golongan darah janin
dengan ibunya.
2. Post- Hepatik
Obstruksi Bilier: suatu kelainan bawaan dimana terjadi penyumbatan pada saluran empedu.
ANAMNESIS TAMBAHAN
Riwayat Keluarga
1. Bagaimana golongan darah ibu dan ayah serta apakah rhesus ibu dan ayah?(untuk mengetahui ada tidaknya inkompatibilitas rhesus)
2. Adakah riwayat keluarga yang pernah berpenyakit seperti ini?
3. Apakah anggota keluarga lainnya ada riwayat penyakit kelainan darah?
(kemungkinan kelainan darah seperti thallasemia, defisiensi G6PD)
Riwayat Kehamilan
1. Apakah ibu mempunyai riwayat diabetes?
4
(Adanya riwayat ibu diabetes, mempunyai resiko tinggi bayi terkena ikterus)
2. Apakah pada saat hamil ibu meminum obat-obat tertentu?
(Obat-obat tertentu mempunyai resiko tinggi bayi terkena ikterus. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan ikatan antara bilirubin dan albumin)
3. Apakah ibu mempunyai riwayat infeksi TORCH?
4. Selama hamil ibu mengkonsumsi makanan apa saja?
(Untuk mengetahui asupan makanan buat bayi)
5. Saat ini kehamilan yang keberapa?
6. Apakah ibu sering mengadakan kunjungan ante-natal?
7. Bagaimana kebiasaan ibu selama hamil?
8. Apakah ibu merokok?
Untuk riwayat penyakit sekarang, riwayat persalinan, riwayat imunisasi, riwayat alergi, riwayat
ASI dan makanan tidak perlu ditanyakan karena ibu yang baru melahirkan bayi ini bisa langsung
di observasi oleh tim dokter, maka bisa langsung di lakukan pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus ini.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
KU : Sadar sepenuhnya; compos mentis
Suhu tidak panas, kemungkinan pasien ini tidak terdapat infeksi
Berat badan bayi 3200 g, normal
Bayi mengalami ikterus sejak 12 jam pasca lahir:
Keadaan bayi kuning (ikterus) terjadi akibat peningkatan kadar bilirubin di dalam darah. Namun pada bayi ini tidak diketahui dimana saja letak ikterus dan warnanya secara spesifik.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5
Pada pemeriksaan didapatkan kadar bilirubin total pada bayi ini dalah 10,5 mg/dl. Kadar
bilirubin total ini normal bila terjadi pada ikterus fisiologis, maka kadar bilirubin ini harus
terus di monitor paada kasus ikterus patologis ini.
Pemeriksaan lanjutan yang direncanakan adalah sebagai berikut1;
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan uji faal hati seperti ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, Bilirubin direk,
Bilirubin indirek , Bilirubin total , Kolesterol, Protein, Ratio albumin/globulin.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidak nya kelainan pada hati
3. Skrining G6PD
Pemeriksaan sejenis enzim yang berada dalam sel darah merah untuk melihat kerentanan
seseorang terhadap anemia hemolitika.
4. Uji morfologi eritrosit
Untuk mengetahui ada tidak nya kelainan morfologi eritrosit seperti pada talasemia
5. Coombs test direct
Pemeriksaan darah terhadap antiglobulin bertujuan untuk mendeteksi antibodi group
ABO yang bersatu dengan sel darah merah.
Coombs Direct + berarti terdapat antibodi pada sel darah merah
Coombs Direct + 1-4 terjadi pada eritroblastosis foetalia, anemia hemolitik, leukemia,
dan SLE.
6. Coombs test indirect
Pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi bebas dalam serum.
Coombs indirect 1- 4 berarti pencocokan silang inkompatibel mungkin ada antibodi anti
RH
7. Hitung retikulosit
Peningkatan jumlah retikulosit disertai kasar HB yang normal mengindikasikan adanya
penghancuran atau penghilangan eritrosit berlebihan yang diimbangi dengan peningkatan
aktivitas sumsum tulang. Penyakit yang disertai peningkatan retikulosit anatara lain :
anemia hemolitik, sel sabit, talasemia mayor, leukemia, eritroblastosis foetalis.
8. Pemeriksaan golongan darah ibu dan RH
6
Darah manusia dapat digolongkan menjadi A, B, AB, dan O serta Rhesus positif atau
negatif. Ketidaksesuaian (inkompabilitas) golongan darah dapat berakibat fatal pada
transfusi. Selain itu, ketidaksesuaian Rhesus dapat terjadi pada ibu dengan Rhesus negatif
yang mengandung anak dengan Rhesus positif hingga menyebabkan erythroblastosis
fetalis (secara alami si ibu akan menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah
janinnya).
E. DIAGNOSIS
Ikterus Patologis Neonatorum. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan kapan waktunya
ikterus ini terjadi, yaitu 12 jam pasca lahir. Dimana pada keadaan ikterus fisiologis, waktu
terlihat ikterus yaitu 2-3 hari pasca lahir.
F. PENATALAKSANAAN
PROSEDUR INFORMED CONSENT
Informed consent istilah yang telah diterjemahkan dan lebih sering disebut dengan
Persetujuan Tindakan Medik. Informed consent ini dapat diberitahukan kepada keluarga
pasien atas, indikasi tindakan, pilihan tindakan, prosedur tindakan, komplikasi yang dapat
terjadi akibat tindakan, komplikasi yang dapat terjadi akibat tidak dilakukannya tindakan,
dan komplikasi yang dapat terjadi pada tindakan terapi yang gagal.
Informed consent dilakukan untuk mendapatkan persetujuan dari keluarga pasien atas
tindakan yang akan dilakukan sehingga hak otonomi pasien dapat dihormati.
FOTOTERAPI
Menurunkan kadar bilirubin indirek untuk mencegah timbulnya neurotoksisitas.
INDIKASI
1. Bilirubin indirek >10 mg%
2. Pre dan post transfuse tukar
3. Ikterus pada hari pertama bayi lahir
PERALATAN
7
1. Special blue florescent tube, 8-10 buah masing-masing 20 watts
2. Selimut Fiber-optic yang diletakkan di bagian punggung si bayi
3. Tutup mata dan tutup kelamin yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah
terjadinya kerusakan pada kornea dan pada alat reproduksi si bayi
TATA CARA/PERAWATAN BAYI DENGAN FOTOTERAPI
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan:
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka
pakaian bayi.
2. Letakkan selimut fiber-optik pada bagian punggung si bayi
3. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
4. Bayi diletakkan 15-20 cm di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
5. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena
cahaya dapat menyeluruh.
6. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
7. Monitoring serum bilirubin bayi setiap 4-8 jam
8. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
9. Perhatikan kecukupan cairan tubuh bayi. Bila perlu konsumsi cairan bayi dinaikkan.
Bila dievaluasi ternyata tidak banyak perubahan pada kadar bilirubin, perlu diperhatikan
kemungkinan lampu yang kurang efektif, atau ada komplikasi pada bayi seperti dehidrasi,
hipoksia (kekurangan oksigen), infeksi, gangguan metabolisme, dan lain-lain.
KOMPLIKASI
Setiap pengobatan selalu akan menimbulkan efek samping. Dalam penelitian yang dilakukan
selama ini, tidak ditemukan pengaruh negatif terapi sinar terhadap tumbuh kembang bayi. Efek
8
samping hanya bersifat sementara, dan dapat dicegah/diperbaiki dengan memperhatikan tata cara
penggunaan terapi sinar.
Kelainan yang mungkin timbul karena terapi sinar antara lain:
1. Peningkatan kehilangan cairan tubuh bayi. Karena itu pemberian cairan harus
diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Bila bayi bisa minum ASI, sesering mungkin
berikan ASI.
2. Frekwensi buang air besar meningkat karena hiperperistaltik (gerakan usus yang
meningkat).
3. Timbul kelainan kulit yang bersifat sementara pada muka, badan, dan alat gerak (Macular
atau purpura (flea bite rash))
4. Kenaikan suhu tubuh.
5. Kadang pada beberapa bayi ditemukan gangguan minum, rewel, yang hanya bersifat
sementara.
Komplikasi biasanya bersifat ringan dan tidak sebanding dengan manfaat
penggunaannya. Karena itu terapi sinar masih merupaka pilihan dalam mengatasi
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi ikterus patologis
Jika kadar bilirubin terus meningkat dapat menyebabkan ensefalopati bilirubin akibat efek toksis bilirubin indirek terhadap susunan saraf pusat
H. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad fungsionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
9
Jaundice yang cepat diketahui dan diterapi dengan fototerapi akan memberikan prognosis yang baik. Komplikasi dari jaundice dapat dicegah dengan terapi yang adekuat dan sesegera mungkin untuk meurunkan kadar bilirubin serum. Tingkat awareness yang tinggi dan terwapi yang adekuat memberikan prognosis yang bonamm pada bayi tersebut.
10
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikterus3,4,5 dan Fototerapi2
Ikterus neonatorum (bayi baru lahir berwarna kuning) adalah kondisi munculnya warna
kuning di kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir karena adanya bilirubin (pigmen empedu)
pada kulit dan selaput mata sebagai akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah
(hiperbilirubinemia). Keadaan kuning pada bayi lahir ini dalam istilah umum sering disebut
jaundice. Kata jaundice berasal dari bahasa Perancis, dari kata jaune yang berarti kuning. Sakit
kuning (jaundice) yang juga dikenal dengan ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata
atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin
yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah.
Bayi kuning atau jaundice adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
tinggi dan terjadi pada minggu pertama kehidupan sang bayi. Kadar bilirubin dalam darah
bersifat toksik bagi perkembangan system saraf pusat bayi, hal tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan saraf yang tidak bisa diperbaiki lagi. Oleh karena itu, butuh penanganan dokter
dengan segera dan tepat. Hampir 60%-70% bayi yang baru lahir akan terlihat kuning pada
minggu pertama setelah mereka lahir. Sekitar 5-10% dari mereka membutuhkan penanganan
khusus karena kadar bilirubinnya yang secara signifikan tinggi, sehingga dibutuhkan fototerapi.
Pada kebanyakan kasus kondisi tersebut tidak berbahaya sehingga tidak dibutuhkan penanganan
khusus.
Kuning pada bayi adalah sesuatu masalah yang sering terjadi pada bayi baru
lahir. Kuning pada bayi baru lahir bayi terkadang sulit untuk mendeteksi atau menilai secara
benar. Secara umum penilaian kunging bisa dilihat pada warna putih mata dan kulit yang
bewarna kuning-kekuningan. Warna kuning-kekuningan ini dapat dilihat dengan lebih jelas
apabila kulit bayi ditekan lembut, biasnya tampak kelihatan kekuningan.
Warna kekuningan pada bayi baru lahir adakalanya merupakan kejadian alamiah
(fisologis), adakalanya menggambarkan suatu penyakit (patologis). Bayi berwarna kekuningan
yang alamiah (fisiologis) atau bukan karena penyakit tertentu dapat terjadi pada 25% hingga
11
50% bayi baru lahir cukup bulan (masa kehamilan yang cukup), dan persentasenya lebih tinggi
pada bayi prematur. Referensi lain menyebutkan angka kejadian bayi kuning alamiah (fisiologis)
mencapai 80%.
Disebut alamiah (fisiologis) jika warna kekuningan muncul pada hari kedua atau keempat
setelah kelahiran, dan berangsur menghilang (paling lama) setelah 10 hingga 14 hari. Ini terjadi
karena fungsi hati belum sempurna (matang) dalam memproses sel darah merah.
Selain itu, pada pemeriksaan laboratorium kadar bilirubin (pigmen empedu) dalam darah tidak
melebihi batas yang membahayakan (ditetapkan). Ada beberapa batasan warna kekuningan pada
bayi baru lahir untuk menilai proses alamiah (fisiologis), maupun warna kekuningan yang
berhubungan dengan penyakit (patologis), agar kita lebih mudah mengenalinya.
Secara garis besar, batasan kekuningan bayi baru kahir karena proses alamiah (fisiologis) adalah
sebagai berikut:
Warna kekuningan nampak pada hari kedua sampai hari keempat.
Secara kasat mata, bayi nampak sehat
Warna kuning berangsur hilang setelah 10-14 hari.
Kadar bilirubin (pigmen empedu) dalam darah kurang dari 12 mg%.
Adapun warna kekuningan pada bayi baru lahir yang menggambarkan suatu penyakit (patologis),
antara lain:
Warna kekuningan nampak pada bayi sebelum umur 36 jam.
Warna kekuningan cepat menyebar kesekujur tubuh bayi.
Warna kekuningan lebih lama menghilang, biasanya lebih dari 2 minggu.
Adakalanya disertai dengan kulit memucat (anemia).
Kadar bilirubin (pigmen empedu) dalam darah lebih dari 12 mg% pada bayi cukup bulan
dan lebih dari 10 mg% pada bayi prematur.
12
Jika ada tanda-tanda seperti di atas (patologis), bayi kurang aktif, misalnya kurang
menyusu, maka sebaiknya segera periksa ke dokter terdekat untuk mendapatkan pemeriksaan
dan perawatan.
MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT
Bagaimana terjadi kuning pada bayi , baik pada proses alamiah (fisiologis) maupun warna
kekuningan yang berhubungan dengan penyakit. Pada dasarnya warna kekuningan pada bayi
baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain:
Proses pemecahan sel darah merah (eritrosit) yang berlebihan.
Gangguan proses transportasi pigmen empedu (bilirubin).
Gangguan proses penggabungan (konjugasi) pigmen empedu (bilirubin) dengan protein.
Gangguan proses pengeluaran pigmen empedu (bilirubin) bersama air.
Hal lain yang berpengaruh adalah pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak
dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin
(bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin.
Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari
empedu. Gangguan dalam pembuangan mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah
yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna
pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk
kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan
antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin secara berlebihan
ke dalam aliran darah atau akibatproses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar,
metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini. Gangguan pada proses di atas (dan proses lain yang
lebih rumit) menyebabkan kadar pigmen empedu (bilirubin) dalam darah meningkat, akibatnya
kulit bayi nampak kekuningan.
Jaundice Fisiologi. Keadaan ini disebabkan oleh ketidakmampuan bayi dalam
menangani terjadinya peningkatan produksi bilirubin, karena fungsi-fungsi organnya
yang belum sempurna. Bayi akan terlihat kuning pada kurun waktu 24-72 jam setelah
13
lahir. Normalnya kadar bilirubin dalam darah pada bayi yang lahir cukup waktu akan
mencapai puncaknya di level 6-8 mg/dL pada hari ketiga lalu akan turun di hari
berikutnya. Sedangkan bayi dikatakan mengalami jaundice fisiologi jika peningkatan
kadar bilirubin mencapai 12 mg /dL, dan tidak lebih dari 15 mg/dL. Setelah hari ke-14
bayi sudah tidak tampak kuning lagi.Dalam keadaan jaundice fisiologi sebenarnya
tidak dibutuhkan perawatan, hanya saja peran sang ibu sangat dibutuhkan. Dalam hal
ini, ibu harus senantiasa menyusui bayinya. Bayi yang kuning harus disusui secara
eksklusif, tanpa tambahan asupan yang lain, baik itu air atupun dextrose. Pada dasarnya
jaundice fisiologi tidak berbahaya, pemberian ASI akan sangat membantu bayi dalam
menangani tingginya kadar bilirubin dalam tubuhnya. Tetapi perlu diingat, jika
kuningnya sudah menyebar sampai bagian kaki, maka bayi harus segera dibawa lagi ke
rumah sakit, karena hal itu pertanda bahwa kadar bilirubin sudah semakin tinggi dan
segera butuh penanganan tim medis. Saya mengalami hal tersebut, bayi saya harus
mendapat fototerapi selama 2 hari karena kadar bilirubinnya yang meningkat lagi
menjadi 15 mg/dL setelah 2 hari di rumah.
Jaundice Patologi. Pada keadaan ini kadar bilirubin sudah melebihi 17 mg/dL,
sehingga harus segera diobservasi penyebabnya dan juga dibutuhkan penanganan
khusus, seperti fototerapi. Jika bayi terlihat kuning dalam kurun waktu 24 jam,
peningkatan kadar bilirubin melebihi batas normal (5 mg/dL/hari), dan bayi masih
terlihat kuning bahkan setelah 3 minggu usia kelahirannya, maka hal tersebut sudah
dikategorikan sebagai jaundice patologi. Tidak hanya itu, feses bayi yang seperti tanah
liat dan urine-nya yang berwarna gelap sehingga pakaian bayi menjadi kuning adalah
tanda lain dari jaundice patologi. Pada jaundice patologi juga akan didapati kadar
bilirubin yang lebih dari 2 mg/dL ketika sampel darah diambil kapan saja / direct
bilirubin (tidak ada interval waktu).Semua bayi yang mendapat perawatan fototerapi
harus melalui serangkaian pengujian, seperti tes golongan darah dan Coombs’ test;
perhitungan darah komplit dan smear for hemolysis serta morfologi sel darah merah;
perhitungan retikulosit dan estimasi enzim G6PD. Hal tersebut dilakukan guna
mengetahui penyebab jaundice pada si kecil. Pengulangan pengukuran kadar bilirubin
dalam darah, biasanya pada interval 24 jam, harus dilakukan selama bayi difototerapi.
14
Hemolytic Jaundice. Ada beberapa tanda dari hemolitik jaundice, yaitu jaundice
muncul dalam waktu 24 jam, bayi tampak pucat, terjadinya hepato-splenomegali,
meningkatnya jumlah retikulosit (>8%), peningkatan bilirubin yang cepat (>5 mg/dL
dalam waktu 24 jam atau > 0,5 mg/dL/jam), serta adanya riwayat jaundice pada
keluarganya. Hemolytic jaundice disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya seperti
penyakit hemolitik rhesus (Rh), ABO inkompatibiliti, serta defisiensi enzim
G6PD.Bayi yang lahir dari ibu dengan Rh-negatif dan ayah Rh-positif harus dilakukan
identifikasi Rh dan uji Direct Coombs’. Begitu juga dengan bayi yang lahir dari ibu
dengan golongan darah O dan Rh-positif harus terus dimonitor dan dilakukan
serangkaian pengujian, seperti test golongan darah dan uji direct antibody. Hemolitik
jaundice akibat ABO inkompatibiliti biasanya muncul dalam waktu 24 jam pertama
(cirri yang sama dengan jaundice patologi). Penanganan hemolitik jaundice akibat
defisiensi G6PD serupa dengan hemolitik jaundice akibat ABO inkompatibiliti.
Pemeriksaan defisiensi G6PD harus ditegakkan pada bayi yang diberikan terapi cahaya
(fototerapi), baik itu pada bayi yang lahirnya cukup waktu (full-term) ataupun yang
hampir cukup waktu (near-term).
Menyusui dan jaundice. Jaundice pun juga bisa terjadi pada bayi yang disusui oleh
ibunya. Jaundice ini biasanya muncul antara 24-72 jam dengan puncaknya pada hari
ke-5 sampai hari ke-15 dan akan hilang pada minggu ketiga. Studi yang dilakukan
Schneider menunjukkan bahwa 13% bayi yang menyusui memiliki kadar bilirubin
puncak sebesar 12 mg/dL atau lebih tinggi 4% jika dibandingkan dengan bayi yang
mendapat susu formula. Hal tersebut dapat terjadi bukan karena kandungan zat di
dalam ASI, tetapi lebih karena pola menyusui yang belum optimal. Frekuensi menyusui
yang kurang dapat menyebabkan munculnya jaundice fisiologi. Oleh karena itu, ibu
harus selalu senantiasa berusaha untuk menyusui bayinya, meskipun terkadang pada
awal-awal kelahiran ASI ibu belum keluar. Itulah sebabnya dukungan suami mutlak
diperlukan mengingat perannya yang tidak sedikit.
Breast Milk jaundice. Sekitar 2-4% bayi yang secara eksklusif disusui oleh sang ibu
memiliki jaundice dengan kadar bilirubin lebih dari 10 mg/dL pada minggu ketiga.
Jaundice yang tetap ada setelah 3 minggu pertama kehidupan seorang bayi disebut
15
prolonged jaundice (jaundice diperpanjang). Seiring dengan waktu kadar bilirubin
akan berkurang. Tetapi jika si kecil semakin kuning (sudah sampai ke kaki) atau kadar
bilirubin sudah melebihi 20 mg/dL segera hubungi dokter.
PENANGANAN2,6
Pada bayi baru lahir dengan warna kekuningan karena proses alami (fisiologis), tidak berbahaya
dan tidak diperlukan pengobatan khusus, kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya. Prinsip
pengobatan warna kekuningan pada bayi baru lahir adalah menghilangkan penyebabnya.
Terapi Sinar (fototerapi). Fototerapi dilakukan dengan cara meletakkan bayi yang
hanya mengenakan popok (untuk menutupi daerah genital) dan matanya ditutup di
bawah lampu yang memancarkan spektrum cahaya hijau-biru dengan panjang
gelombang 450-460 nm. Selama fototerapi bayi harus disusui dan posisi tidurnya
diganti setiap 2 jam. Pada terapi cahaya ini bilirubin dikonversi menjadi senyawa yang
larut air untuk kemudian diekskresi, oleh karena itu harus senantiasa disusui (baik itu
langsung ataupun tidak langsung). Keuntungan dari fototerapi ini adalah non-invasiv
(tidak merusak), efektif, relative tidak mahal, dan mudah dilaksanakan. Terapi sinar
dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali
ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat
dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati.
Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga
menimbulkan risiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari
sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar
12 buah dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang
disebut flexy glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya
lebih efektif. Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh
bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan
menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari
lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna
sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya,
agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan. Pada
saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup
16
agar penyinaran berlangsung merata. Dokter akan terus mengontrol apakah kadar
bilirubinnya sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun dan berada di bawah
ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua
hari si bayi sudah boleh dibawa pulang. Meski relatif efektif, tetaplah waspada
terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi
sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses pemecahan
bilirubin justru akan meningkatkan pengeluarkan cairan empedu ke organ usus.
Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak
semua bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk
menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI
pada si kecil.
Terapi Transfusi. Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar
bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan
terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan
kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak
bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental,
cerebral palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan
pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar
dengan darah lain. Proses tukar darah akan dilakukan bertahap. Bila dengan sekali
tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan angka yang menggembirakan, maka
terapi transfusi bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi maka perlu dilakukan proses
tranfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah masuknya kuman penyakit
yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Meski begitu, terapi
ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
Terapi Obat-obatan. Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat
phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati
sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan
yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan
bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini dilakukan
bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan maka
17
terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya adalah
mengantuk. . Akibatnya, bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga
dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu
peningkatan bilirubin. Disamping itu manfaat atau efek dari pemberian obat biasanya
terjadi setelah 3 hari pemberian obat. Sehingga, terapi obat-obatan bukan menjadi
pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si
kecil sudah bisa ditangani.
Menyusui Bayi dengan ASI. Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak
mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti
diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air
besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan
dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi
(breast milk jaundice). Di dalam ASI terdapat hormon pregnandiol yang dapat
mempengaruhi kadar bilirubinnya.
Meski demikian dalam keadaan bilirubin yang tidak terlalu tinggi penghentian ASI
tidak direkomendasikan.
Terapi Sinar Matahari Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi
tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya,
bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam
dalam keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan
antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar
bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas
jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit. Bila pagi
hari dalam keadaan mendung sinar matahari sore atau akhir matahari mungkin masih
dianggap aman, sekitar jam 16.00 s/d 17.00. Hindari posisi yang membuat bayi melihat
langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di
sekeliling, keadaan udara harus bersih.
Apapun penyebab kuning, sebaiknya jangan diremehkan . Bila keadaan semakin tidak
membaik sebaiknya konsultasi kepada dokter atau dokter spesialis anak.
Meski disebutkan bahwa bayi kuning sebagian besar diantaranya karena proses alami
18
(fisiologis) dan tidak perlu pengobatan, seyogyanya para orang tua tetap waspada,
mengingat bayi masih dalam proses tumbuh kembang. Karenanya, konsultasi kepada
dokter atau dokter spesialis anak adalah langkah penting yang jangan ditunda.
B. Transfusi Tukar6
A. Pengertian
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin
dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi,
transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal
dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.
B. Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan
dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan
tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah
kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai
titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O
dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang
muncul.
19
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
C. Teknik Transfusi Tukar
1. SIMPLE DOUBLE VOLUME. Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui
kateter vena umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan
bergantian.
2. ISOVOLUMETRIC. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri
umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
3. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya
pada bayi dengan polisitemia.
Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O rhesus
positif.
D. Pelaksanaan tranfusi tukar:
1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan
pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga
sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap
20
b.Lampu pemanas dan alat monitor
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
d.Masker, tutup kepala dan gaun steril
e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah
f. Set tranfusi 2 buah
g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath
h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
i. Selang pembuangan
j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis
k.Meja tindakan
E. Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi
tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO
tercantum dalam tabel 2.
Tabel 2. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum
UsiUsia Bayi
BaBayi Cukup
Bulan
Sehat
DeDengan
Faktor
Risiko
Hari mg/dL mg/dL
Hari ke-1 15 1 13
Hari ke-2 25 15 15
21
Hari ke-3 30 20 20
Hari ke-4
dan
seterusnya
30 20 20
Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa
dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai
kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Tabel 3. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
BeBerat Badan (gram) Ka Kadar
Bilirubin
(mg/dL)
<> 10 10– 12
1000 1000 – 1500 12 12– 15
1500 1500 – 2000 15 15– 18
2000 2000 – 2500 18 18– 20
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.
22
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
Perforasi pembuluh darah
Komplikasi tranfusi tukar
Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia
Perawatan pasca tranfusi tukar
Lanjutkan dengan terapi sinar
Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
E. Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:
1. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis
dari orang tua penderita
2. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera
dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
3. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres
dengan NaCl fisiologis
4. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar
albumin </>
23
5. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik,
Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan
darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya
serta kultur darah
6. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
7. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label
darah)
BAB V
KESIMPULAN
24
Pada neonatus yang mengalami ikterus perlu dilihat dari waktu mulai terjadinya ikterus
tersebut dan lamanya terjadi ikterus tersebut, ini penting untuk mengetahui apakah ikterus ini
terjadi secara patologis atau fisilogis sebagai awal dari pemeriksaan dari bayi yang baru
dilahirkan. Pada ikerus neonatorum memerlukan tindakan segera untuk mengatasi
hiperbilirubinemia dengan cara fototerapi. Perlu terus di monitoring kadar bilirubin total untuk
mengetahui perkembangan pada bayi dan terapi. Sebaiknya dilakukan rujukan apabila tidak
terdapat perbaikan setelah dilakukan tatalaksana yang adekuat.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutedjo, AY. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Amara
Books.Yogyakarta. 2007.
2. Subcommitte on Hyperbilirubinemia. Clinical practice 1. guidelines: management of
hyperbilirubinemia in the newborn or more weeks gestation. Pediatrics. 2004;114:297-
316.
3. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the term newborn. Am Fam
Physic. 2002; 65:599-606.
4. Indrasanto E, Darmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban KR.
Hiperbilirubinemia pada neonatus. Dalam: Paket Pelatihan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK). Jakarta: JNPK-KR, IDAI,
POGI,USAID; 2008. h.109-27.
5. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR .Manual of Neonatal Care. Edisi ke-6. New York:
McGraw Hill; 2008. h.181-212.
6. Gilmore MM, Uy CC. Hyperbilirubinemia. Dalam: Gomella TL, Cunningham
MD , Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call
problems, diseases and drugs. Edisi ke-5. New York: McGraw Hill; 2004.
h.487-508.
26