Makalah filsafat ilmu
-
Upload
masriqon-masriqon -
Category
Documents
-
view
6.611 -
download
3
description
Transcript of Makalah filsafat ilmu
Makalah Filsafat Ilmu
Hubungan Etika dan Ilmu
Oleh : Masriqon dan Henny1
*************************************************************
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merupakan kenyata’an yang tidak bisa di pungkiri bahwa peradaban
manusia sangat berhutang pada ilmu yang mana ilmu mengabdi kepada
masyarakat sehingga ia menjadi sarana kemajuan yang memiliki nilai pada pola
penerapanya. Boleh saja orang mengatakan bahwa ilmu itu mengajar kebenaran
dan kebenaran itu merupakan inti etika ilmu, tetapi jangan dilupakan bahwa
kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu.
Dewasa ini, tidak jarang kita melihat orang-orang berilmu tapi tidak punya
etika. Banyak masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda.
Dengan pergulatan masalah diatas, dapat disimpulkan bahwa dua faham yang
disimpulkan itu tidak perlu dilihat sebagai suatu pertentangan, karena
berdasarkan fase empiris rasional, faham pragmatis(kebenaran) maka ilmul dan
etika adalah tidak terlepaskan satu sama lain.
Menurut Martin Heidgheer mengatakan bahwa jika kita mengatakan
manusia itu memiliki Logos itu tak berarti manusia sekedar ditabiati oleh akal,
yang mana, hal ini ditunjukan bahwa logos bertalian dengan kata kerjaLegein
yang artinya macam-macam, berbicara sampai membaca, kemudian diluaskan
1 Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta Prodi PAUC, 2012
menjadi memperhatikan, menyimak, mengumpulkan makna, menyimpan dalam
batin, berhenti untuk menyadari.
Dalam arti yang di sebut teakhir ini, logos bertemu dengan Etos yang
diartikan penghentian, rumah, tempat tinggal, endapan sikap. Kemudian arti logos
sikap hidup yang menyadari sesuatu, sikap yang mengutamakan tutup mulut,
untuk berusaha mendengar dengan mengorbankan berboicara lebih. Sehubungan
ini Karl Jasper menulis bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan
jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Hal inilah yang
menghubungkan ilmu dan etika.
B. Identifikasi Masalah
Kesenjangan antar etika dan ilmu dalam dunia modern ini tidak terelakkan
lagi. Orang-orang yang berilmu atau cerdas tampa memperdulikan etika tidak
jarang di jumpai. Mereka cenderung diam dan sombong akan ilmu yang mereka
miliki, sebaliknya orang-orang yang memiliki etika yang bagus dengan tingkat
kecerdasan yang rata-rata, kadangkala diabaikan atau dianggap tidak
menyesuaikan perkembangan zaman yang canggih ini.
C. Kegunaan
Penulis berharap penuh bahwa makalah ini bisa menopang nilai serta
meberikan manfaat bagi pembaca, yang mana makalah ini bisa di jadikan sebagai
sumber bacaan yang sedikit banyak memiliki kandungan ilmu.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakekat Ilmu Berdasar pada Ontologi Ilmu dan Epistimologi ilmu
Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran dan pengetahuan
manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita
harus mengerti apakah hakekat ilmu sebenarnya. Orang-orang yang mendewa-
dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui
hakekat ilmu yang sebenarnya.Demikian juga sebaliknya, dengan mereka yang
memalingkan muka dengan ilmu, mereka yang tidak mau melihat kenyataan
betapa ilmu telah membentuk peradaban seperti apa yang kita punyai sekarang
ini. Kepicikan seperti ini kemunkinan besar disebabkan karena mereka kurang
mengenal hakekat ilmu yang sebenarnya. Menghadapi dua pendapat yang ekstrim
ini seyogyanya kita harus berdiri di tengah dengan menyadari bahwa meskipun
ilmu memang memberikan kebenaran, namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-
satunya kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat barbagi sumber kebenaran lain
yang memperkaya khazanah kehidupan kita, dan semua kebenaran itu mempunyai
manfaat asal di letakkan di tempat yang layak. Kehidupan terlalu rumit untuk di
analisi hanya oleh satu jalan pemikiran.
Dasar antologi ilmu membatasi diri hanya menelaah seluruh aspek
kehidupan yang dapat di uji oleh panca indra manusia. Berdasarkan objek yang
ditelaanya ilkmu dapat disesbut sebagai pengetahuan empiris dimana objek-objek
yang berbeda diluar jangkauan manusia tidak termsuk kedalam bidang
penelaahan keilmulan tersebut. Pengetahuan keilmulanmengenai objek empiris ini
pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan.Hal ini perlu dilakukan,
sebab kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks dengan sampel dari
berbagai faktor yang terlibat didalamnya.
Namun lain halnya dengan dasar epistimologi, ilmu merupakan teori
pengetahuan yang membahas secara mendalam segala proses yang terlihat dalam
usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang
didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah
yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainya. Atau dengan kata
lain, ilmua adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode
keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni
pengatahuan yangmemiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut
pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara
pengertian “ilmu” dan “pengetahuan” maka kita mempergunakan istila “ilmu”dan
“ilmu pengetahuan”.
Ditinjau dari pengetahuan ini, ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan
daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan. Kegiatan ilmu juga dinamis
dan tidak statis. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama hal
ini terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan
mempergunakan metode keilmuan adalah syah disebut keilmuan. Hakekat ilmu
tidak berhubungan dengan titel, profesi atau kedudukan, tetapi hakekat keilmuan
ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan
keilmuan.Semoga hal ini bisa menggugah kesadaran kita untuk tidak
menempatkan ilmu pada suatu struktur feodalisme yang terselubung. Ilmu bersifat
terbuka, demokratis dan menjunjung kebenaran diatas segala-galanya.
B. Pengertian Etika
Etika adalah pembahasan baik buruk, semestinya, benar dan salah. Yang
paling menonjol adalah tentang baik dan teori tentang kewajiban. Keduanya
bertalian dengan hati nurani. Bernaung dalam filsafat moral (Herman Soewardi
1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan
argumen bahwa kalau sesuatu tidak di jalankan berarti akan mendatangkan
bencana atau keburukan bagi manusia.
Selain itu, etika merupakan ilmu yang menyelidiki segala perbuatan
manusia kemudian menetapkan hukum baik dan buruknya.Etika mempersoalkan
norma-norma yang dianggap berlaku, etika juga mengantar individu kepada
kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa yang dapat
dipertanggungjawabkan.Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat
kewajiban-kewajiban tentang kebaikan yang pelaksanaanya tidak di tunjuk.
Pelaksanaanya menjadi jelas ketika sang subjek memghadapi opsi baik atau buruk
yang baik itulah materi kewajiban pelaksana dalam situasi ini.
Sifat dasar etika adalah kritis, yaitu membuat individu dapat mengambil
sifat yang rasional terhadap semua norma. Etika dapat menjadi alat pemikiran
rasional dan bertanggung jawab bagi masyarkat, artinya masing- masing
bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri. Etika tidak membahas
kebiasaan masyarakat yang didasarkan pada adat istiadat yang terikat pada
pengertian baik dan buruk tingkah laku manusia, karena adat istiadat terikat pada
suatu kondisi daerah, tempat dan geografis kedaerahan.
Pada tingkat akseologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang
mutlak. Nilai ini menyankut etika,moral dan tanggung jawab manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu
pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai
dan norma untuk mengendalikan nafsu manusia ketika hendak bergelut dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan. Disinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang
akan menjadi pendukung yang baik bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi untuk meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia. Hakekat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
C. Hubungan Antara Etika Dan Ilmu
Etika dan ilmu sesungguhnya hal yang tidak boleh terpisahkan satu sama
lain, dimana etika lengket (inhaerent) dengan ilmu. Jujun S, Suriasumantri dalam
bukunya ilmu dalam perspektif mengatakan bahwa dua faham yang berbeda itu
tak perlu dilihat sebagai sumber pertentangn. N.Daldjoeni menjelaskan hubungan
etika dan ilmu dalam fase empiris rasional,faham pragmatis, logos dan ethos serta
kebenaran keilmuan.
Fase empiris rasional
Di zaman Yunani dulu, Aristoteles mengatakan bahw ilmu itu tak
mengabdi kepada pihak lain. Ilmu digulati oleh manusia demi ilmu itu sendiri.
Sebagai latar belakangnya dikenal ucapan: Primum vivere, deinde philosophari
yang artinya kira-kira: berjuang dulu untuk hidup, barulah boleh berfilsafah.
Memang, kegiatan berilmu barulah dimungkinkan setelah yang bersangkutan tak
banyak lagi disibukkan oleh perjuangan sehari-hari mencari nafkah.
Pendapat orang, kegiatan berilmu merupakan kegiatan mewah yang
menyegarkan jiwa. Dengan demikian orang dapat memperoleh banyak pengertian
tentang dirinya sendiri dan dunia di sekelilingnya. Menurut faham Yunani, bentuk
tertinggi dari ilmu adalah kebijaksanaan. Bersama itu terlihat suatu sikap etika.Di
zaman Yunani itu etika dan politik saling berjalan erat. Kebijaksanaan politik
mengajarkan bagaimana manusia harus mengarahkan negara. Sebaliknya ilmu tak
dapat mengubah apa-apa, baik yang ada maupun yang akan datang. Pada masa itu,
ilmu adalah sekedar apa yang dicapai; ilmu tak dirasakan sebagai suatu tantangan.
Tugas suatu generasi terbatas pada mencapai ilmu tersebut, untuk
kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya. Belum ada tuntutan supaya
sebelum ilmu diteruskan harus terlebih dulu dikembangkan. Baru sejak abad ke-
17 ilmu giat dikembangkan di Eropa; orang juga mencari apa tujuan sebenarnya
dari ilmu. Dengan itu fase yang sifatnya empiris rasional mulai bergeser ke fase
eksperimental rasional. Sifat progresif ini menunjukkan bahwa ilmu bukan
sekedar tujuan bagi dirinya sendiri melainkan suatu sarana untuk mencapai
sesuatu.
Faham pragmatis
Jika sekarang ditanyakan kepada kita: apakah sebenarnya tujuan dari ilmu
itu; jawaban dapat beraneka. Misalnya, untuk kemajuan, perkembangan ekonomi
dan teknik, kemewahan hidup, kekayaan, kebahagiaan manusia. Mungkin ada
yang mau menambahkan yang lebih mulia lagi seperti: untuk menemukan harta-
harta ciptaan Tuhan.Demikian, tadi cara manusia merenungkan tujuan ilmu.
Bukan ilmu sebagai sesuatu yang abstrak, melainkan yang kongkret kita hayati.
Ilmu yang memunculkan diri berdampingan dengan gejala kerumitan spesialisasi,
rutin kerja, krisis ekonomis, teknik perang modern, aneka gangguan rohani dan
dehumanisasi.Dalam menggerayangi hakekat ilmu, sewaktu kita mulai menyentuh
nilainya yang dalam, di situ kita terdorong untuk bersikap hormat kepada ilmu.
Hormat ini pertama-tama tak diajukan kepada ilmu murni tetapi ilmu sebagaimana
telah diterapkan dalam kehidupan.
Sebenarnya nilai dari ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengabdi
masyarakat sehingga ia menjadi sarana kemajuan. Boleh saja orang mengatakan
bahwa ilmu itu mengejar kebenaran dan kebenaran itu inti etika ilmu, tetapi
jangan dilupakan bahwa kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis
dari ilmu. Pandangan yang demikian itu termasuk faham pragmatis tentang
kebenaran. Di situ kebenaran merupakan suatu ide yang berlandaskan efek-
efeknya yang praktis.
Logos dan Ethos
Apa yang sebenarnya merupakan daya tarik dari ilmu bagi ilmuwan? Van Peursen
sehubungan dengan ini menunjukkan pada sifat ilmu yang tak akan selesai.
Dijelaskan bahwa ilmu itu beroperasi dalam ruang yang tak terbatas. Kegiatannya
berisi aneka ketegangan dan gerak yang penuh dengan keresahan. Keresahan ilmu
itu memang cocok dengan hasrat manusia yang tanpa henti ingin tahu
segalanya.Muncul pertanyaan ini: apakah keresahan itu sama dengan kebenaran?
Apakah keresahan itu yang menciptakan kebenaran? Tulis Van Peursen:
keresahan itu keinginan yang tak dapat dipenuhi atau jarak yang prinsipiil ke
kebenaran.
Apakah hubungan antara keresahan ilmu sebagai daya tarik bagi hasrat
ingin tahu manusia yang tanpa henti dan kebenaran? Apakah karena kebenaran itu
lalu ilmu bukan tujuan bagi dirinya sendiri, sehingga perlu diperhatikan etika
sebagai efek tambahan dari ilmu setelah diterapkan dalam masyarakat?. Untuk
menjawabnya perlu diketahui hubungan antara logos dan ethos sebagai berikut.
Martin Heidegger mengatakan bahwa jika kita sebutkan manusia itu memiliki
logos, itu tak berarti bahwa manusia sekedar ditabiati oleh akal. Ditunjukkannya
bahwa logos bertalian dengan kata kerja legein yang artinya macam-macam, dari
berbicara sampai membaca; kemudian diluaskan menjadi memperhatikan,
menyimak, mengumpulkan makna, penyimpan dalam batin, berhenti untuk
menyadari.
Dalam arti yang disebut terakhir itu, logos bertemu dengan ethos dan ethos
ini dapat berarti penghentian, rumah, tempat tinggal, endapan sikap. Kemudian
arti logos selanjutnya: sikap hidup yang menyadari sesuatu, sikap yang
mengutamakan tutup mulut untuk berusaha mendengar, dengan mengorbankan
berbicara lebih. Sehubungan ini Karl Jasper menulis bahwa ilmu adalah usaha
manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang
dihuninya. Di sinilah lengketnya etika dengan ilmu!
Kebenaran Keilmuan
Apa hubungan antara tak akan selesainya ilmu dan usaha mendengarkan
jawaban? Batas dari ilmu sesungguhnya bukanlah suatu garis yang dicoretkan
dengan tergesa-gesa di belakang gambaran tentang dunia yang terbatas ini,
sebagai petunjuk tentang selesainya sesutu. Batasnya justru berupa suatu pespektif
baru yang membukakan diri, sebagai petunjuk bahwa manusia siap untuk
mendengarkan. Dengan demikian, tak akan ada pertentangan antara masalah dan
rahasia, antara pengertian dan keajaiban, antara ilmu dan agama.
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari
keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran memang
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak berwarna, dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga
ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah
semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Seperti disebutkan di depan, ilmu bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan
kebenaran itu berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan
tanggung jawab secara agama. Sebenarnya ilmuwan dalam gerak kerjanya tak
usah memperhitungkan adanya dua faktor: ilmu dan tanggung jawab, karena yang
kedua itu sudah lengket dengan yang pertama.Ilmu pun lengket dengan
keberadaan manusia yang transenden dengan kata-kata lain, keresahan ilmu
bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Di situ terdapat
petunjuk mengenai kebenaran yang transenden. Dengan ini berarti pula bahwa
titik henti dari kebenaran itu terdapat di luar jangkauan manusia!