Makalah Farkoter 2 Kel 1. Evaluasi Fungsi Ginjal

download Makalah Farkoter 2 Kel 1. Evaluasi Fungsi Ginjal

of 68

Transcript of Makalah Farkoter 2 Kel 1. Evaluasi Fungsi Ginjal

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN II

EVALUASI UJI LABORATORIUM GINJAL

Disusun oleh: Kelompok II: Amalia Pramastuty Desy Kusumawatati Eka Yuniarsih Eva Leonie Rahel Rahmiaty Puspita Wildyanti Puspitasari Kardianto

PROGRAM STUDI APOTEKER DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS INDONESIA 2011 BAB I PENDAHULUAN

Ginjal merupakan alat ekskresi yang berfungsi untuk mengeluarkan kelebihan air, garam, dan asam, serta berfungsi untuk mengatur elektrolit dan membuang sisa metabolisme tubuh. Ginjal juga bertugas melakukan sekresi untuk menghasilkan erithropoetin yang berfungsi merangsang pembentukan sel darah merah, aktivasi vitamin D untuk kesehatan tulang, dan mensekresi renin untuk mengatur tekanan darah (Sherwood, 1996). Oleh karena itu, apabila terdapat gangguan terhadap fungsi ginjal dapat menimbulkan beberapa kelainan pada tubuh seperti azotemia, gangguan pada tulang, penurunan atau peningkatan tekanan darah dan anemia (Silbernagl, 2007). Gangguan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya dapat disebabkan oleh penyakit hipertensi, adanya sumbatan pada saluran kemih, kelainan autoimun, infeksi saluran kemih, dan diabetes mellitus (Corwin, 1997). Konsumsi obat-obatan yang memiliki efek nefrotoksik juga dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan fungsi ginjal. Obat-obatan seperti antibiotik golongan aminoglikosida, asiklovir, dan kaptopril dengan konsentrasi besar dapat menyebabkan kerusakan tubulus karena bersifat toksik, pengendapan di tubulus dan menyebabkan kontriksi pembuluh darah di ginjal sehingga laju filtrasi glomerular menurun (Ganiswarna, 2005). Penyakit ginjal kerap kali terjadi tanpa keluhan sama sekali, bahkan tak sedikit penderita mengalami penurunan fungsi ginjal hingga 90 persen tanpa didahului keluhan. Oleh karena itu, pasien sebaiknya waspada jika mengalami gejala-gejala seperti, tekanan darah tinggi, perubahan jumlah urin, ada darah dalam air urin, bengkak (edema) pada kaki dan pergelangan kaki, rasa lemah serta sulit tidur, sakit kepala, sesak, dan merasa mual dan muntah. Ada beberapa jenis pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mengetahui kesehatan ginjal, salah satunya yang paling umum adalah pemeriksaan urin. Jika2

ada kandungan protein atau darah dalam air kencing tersebut, maka menunjukkan kelainan dari ginjal. Selain itu, bisa juga melakukan pemeriksaan darah guna mengukur kadar kreatinin dan urea dalam darah. Jika kadar kedua zat itu meningkat, menunjukan gejala kelainan ginjal. Sementara pemeriksaan tahap lanjut untuk mengenali kelainan ginjal berupa pemeriksaan radiologis dan biopsi ginjal. Biasanya pemeriksaan ini atas indikasi tertentu dan sesuai saran dokter. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan sebagai deteksi dini kelainan fungsi ginjal mengingat gejala yang sering tidak tampak pada penyakit ginjal. Pada usia 30 tahun sebaiknya secara rutin melakukan pemeriksaan kadar kreatinin dan urea darah minimal 1 kali setahun dan pada usia diatas 40 tahun sebaiknya melakukan pemeriksaan tersebut 2 kali dalam satu tahun. Hal tersebut dilakukan agar fungsi ginjal terus terpantau dan tidak terjadi penyakit ginjal kronis yang tidak disadari.

3

BAB II ISI

2.1 Ginjal a. Anatomi Ginjal Ginjal adalah organ manusia yang berbentuk kacang. Manusia memiliki sepasang ginjal yang terlentak di belakang abdomen, terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas ginjal terdapat kelenjar adrenal. Ginjal bersifat retroperitoneal yang berarti terletak di belakang peritoneum yang melapisi rongga abdomen. Setiap ginjal memiliki panjang 11-25 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal 2,5 cm. Ginjal kiri lebih panjang dari ginjal kanan. Berat ginjal pada pria dewasa 150-170 gram dan wanita dewasa 115-155 gram dengan bentuk seperti kacang, sisi dalamnya menghadap ke vertebrae thorakalis, sisi larnya cembung dan di atas setiap ginjal terdapat sebuah kelenjar suprarenal. Unit fungsional dari ginjal disebut dengan nefron dan setiap ginjal mengandung 1 juta unit nefron. Tiap nefron dapat membentuk urina sendiri. Selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah. Ada dua tipe dari nefron yaitu yang terletak di kortex dan yang memanjang ke dalam medulla. Nefron bertugas untuk membuat urin melalui:-

Filtrasi, dimana darah difiltrasi dengan membebaskan molekul kecil dan ion Reabsorbsi, dimana jumlah zat yang berguna akan dikembalikan ke darah melalui kapiler darah yang berada di sekeliling nefron melalui reabsorbsi pasif yang selektif

-

-

Eksresi yaitu suatu proses dimana kelebihan molekul dan ion yang tidak dibutuhkan oleh tubuh akan dibuang melalui urin

Terdapat 5 bagian yang ada pada nefron, yaitu: 1. Glomerulus4

Bagian ini mengandung anyaman kapiler yang terletak di dalam kapsul bowman. Glomerulus berdiameter 200 mm, dibentuk oleh invagiansi suatun anyaman kapiler yang menempati kapsula bowman dimana cairan di filtrasi. Setiap glomerolus mendapat aliran darah dari arteri aferen dan filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalam tubulus ginjal, sementara darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen. Rata-rata 99% dari darah akan dialirkan menuju renal kortex dan 1% menuju medulla. Aliran darah ke renal adalah 600 ml per menit, dan 120 ml/menitnya difiltrasi keluar dari darah menuju nefron. Sekitar 1.2 mL cairan ini juga dieksresi sebagai urin (yaitu jumlahnya sebanyak 1% dari jumlah total yang difiltrasi). Jumlah filtrate glomerulus yang dibentuk setiap menit dalam semua nefron kedua ginjal adalah Glomerulus Filtration Rate (GFR). Faktor yang mempengaruhi GFR adalah tekanan arteri, efek kontriksi arteriol aferen, efek kontriksi arteri aferen, efek aliran darah glomerulus atas laju filtrasi glomerulus. Filtrasi berlangsung melalui dinding semipermeabel dari kapiler glomerulus, yang kebanyakan mereka tidak permeable terhadap protein dan molekul besar. Oleh karena itu, filtrat dalam keadaan normal haruslah bebas dari protein dan sel sel lainnya.

Gambar 1. Struktur Glomerulus

2. Tubulus proksimal

5

Fungsi dari tubulus renal adalah untuk mereabsorbsi selektif 99% dari filtrat yang telah difiltrasi oleh glomerulus. Reabsorbsi memegang peranan lebih penting daripada sekresi pembentukan urin. Tetapi sekresi sangat penting dalam menentukan ion kalium, hydrogen dan beberapa zat lain di dalam urine. Tubulus proksimal mereabsorbsi 60% dari zat terlarut yang meliputi 100% glukosa, 90 % bikarbonat dan 80-90% fosfat inorganik seperti vitamin dan air. Reabsorbsi dapat berlangsung melalui transport aktif atau pasif. Transpor aktif membutuhkan energi untuk memindahkan zat terlarut melawan gradient konsentrasinya, sedangkan transport pasif terjadi sejalan dengan gradient konsentrasinya.3. Lengkung henle (loop of henle)

Loop henle adalah bagian dari tubulus yang terendam dari kortex ke dalam medula (descending limbs) dan kembali ke kortex (ascending limbs). Bagian dari tubulus ini adalah bagian dimana urin dipekatkan. Loop henle bekerja dengan susunan sebagai berikut:a. Descending loop relatif impermeable terhadap zat terlarut tetapi

permeable terhadap air sehingga air dapat berpindah secara osmosis, dan mengakibatkan cairan di tubulus akan menjadi lebih pekat.b. Bagian dari ascending loop sedikit impermeable terhadap air tetapi

tidak permeable terhadap zat terlarut terutama ion natrium dan klorida. Oleh karena itu ion natrium dan klorida bergerak searah dengan gradient konsentrasi dan cairan di dalam tubulus menjadi lebih isotonis daripada hipertonis karena ion yang meninggalkan tubulus. Urea yang terabsorbsi ke dalam CIS medium dari tubulus pengumpul juga dapat berdifusi ke dalam ascending.c. Bagian yang tebal dari ascending loop dan tubulus distal juga

sedikit impermeable terhadap air. Akan tetap ion natrium dan klorida secara aktif dapat ditransport keluar dari tubulus sehingga membuat cairan tubulus menjadi hipotonis. Pompa natrium-kalium secara aktif mengeluarkan cairan tubulus dari dalam ascending limb yang tebal. 4. Tubulus distal6

Konsentrasi akhir dari urin bergantung pada jumlah hormon antidiuretik (ADH) yang disekresi oleh kelenjar pituitary. Apabila ada ADH, tubulus distal dan tubulus pengumpul menjadi permeable terhadap air, sehingga urin yang dihasilkan menjadi lebih pekat. Terdapat hubungan antara hipotalamus di otak dengan kelenjar posterior pituari yaitu sel di dalam hipotalmaus yang diketahui sebagai osmoreseptor yang sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik di dalam darah. Jika terjadi penurunan asupan cairan, maka terjadi peningkatan tekanan osmotik di dalam darah yang selanjutnya saraf akan merangsang hipotalamus untuk memproduksi ADH yang mereabsorbsi air dari tubulus ginjal kembali ke dalam darah 5. Tubulus pengumpul Berfungsi untuk mengumpulkan urin untuk dieksresi

7

Gambar 2. Struktur Ginjal dan Skematik Ginjal

b. Fungsi Ginjal Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting yaitu menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat pada keceatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya, ginjal membuang zat yang tidak diinginkan dari darah dengan mengeksresikannya dalam urin, sementara zat yang dibutuhkan dikembalikan ke dalam darah. Berikut ini adalah penjelasan fungsi-fungsi ginjal: 1. Eksresi hasil buangan metabolik dan bahan kimia asing Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi bagi tubuh. Produk-produk ini meliputi urea (dari metabolism asam amino), kreatinin (dari kreatinin otot), asam urat (dari asam nukleat), produk akhir pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin) dan metabolit dari berbagai hormon. Ginjal juga membuang banyak toksin dan zat asing dari tubuh seperti obat-obatan. 2. Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit Untuk mempertahankan homeostasis, ekskresi air dan elektrolit seharusnya sesuai dengan asupan. Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran ion. Akibatnya urin yang dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada pH 8. Kadar ion natrium dikendalikan melalui sebuah sebuah proses homeostasis yang melibatkan aldosteron untuk meningkatkan penyerapan ion natrium pada tubulus. 3. Pengaturan tekanan arteri Ginjal berperan penting dalam mengatur tekanan arteri jangka panjang dengan mengekskresikan sejumlah air dan natrium. Selain itu, ginjal juga ikut mengatur tekanan arteri jangka pendek dengan menyekresi faktor atau zat vasoaktif, seperti rennin yang menyebabkan pembentukan produk vasoaktif seperti angiotensin II. 4. Pengatur keseimbangan asam basa

8

Ginjal mengatur asam basa bersama dengan system dapar paru dan cairan tubuh, dengan mengekskresikan asam dan mengatur penyimpanan dapar cairan tubuh. Ginjal merupakan satu-satunya organ yang membuang tipetipe asam tertentu dari tubuh yang dihasilkan oleh metabolisme protein seperti asam sulfat atau fosfat. 5. Fungsi hormonal Ginjal mengekskresikan eritropoietin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah. Pada orang dengan penyakit ginjal berat atau yang ginjalnya telah diangkat dan dilakukan hemodialisis, timbul anemia berat akibat dari penurunan eritropoietin. Fungsi hormonal ginjal yang kedua yaitu ginjal menghasilkan bentuk aktif vitamin D yaitu 1,25-dihidroksi vitamin D3. Vitamin D berperan penting dalam pengaturan kalsium dan fosfat. Evaluasi Fungsi Ginjal Dalam menangani penderita penyakit untuk ginjal diperlukan bantuan diagnosis pemeriksaan laboratorium. ginjal. Disamping menetapkan

penyakitnya, pemeriksaan laboratorium juga berperan untuk memantau fungsi Pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal mempunyai arti penting agar dokter tidak hanya mampu mengatasi penyakitnya, tetapi juga untuk mengevaluasi fungsi ginjal penderita tidak bertambah parah. Fungsi ginjal dapat dievaluasi dengan berbagai uji laboratorium secara mudah. Langkah awal dimulai dengan pemeriksaan urinalisis lengkap, termasuk pemeriksaan sedimen kemih. Berbagai informasi penting mengenai status fungsi ginjal dapat diperoleh dari urinalisis. Pengukuran kadar nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum berguna untuk evaluasi gambaran fungsi ginjal secara umum. Dalam keterbatasannya kedua uji tersebut mampu membuat estimasi laju filtrasi glomerulus (LFG) yang akurat. Untuk menetapkan LFG yang lebih tepat dapat dilakukan pengukuran dengan klirens kreatinin atau klirens inulin atau penetapan LFG secara kedokteran nuklir. Evaluasi fungsi tubulus diukur melalui pengukuran metabolisme air dan mineral serta keseimbangan asam basa.

9

Analisis urine Proteinuria Glukosuria Ketonuria Hematuria Nitriuria Leukosit esterase Sedimen urin Osmolalitas urin Keasaman urin Pembiakan urin

Prosedur imaging Foto polos abdomen Urografi intravena Sistogram Urografi retrograde Angiografi CT scan USG Venografi MRI Scan

Sel dan jaringan Biopsi Sitologi urin

2.2 Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan ginjal 1. Sindrom Nefrotik

Gambar 3. Sindrom Nefrotik

10

Gambar 4. Skala Umur Penderita Sindrom Nefrotik Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit atau sindrom yang mengenai glumerulus yang ditandai dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Pada etiologi sindrom nefrotik hampir 75-80% belum diketahui atau idiopatik, yang akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi: 1. Sindroma nefrotik bawaan Diturunkan sebagai resesif autosomal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tetapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. Salah satu jenis penyakitnya, yaitu congenital nephrotic syndrome (CNF) Finnish type. Terjadinya mutasi gen NPHS 1 dan 2 pada janin. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian fetal pada umur janin 15-16 minggu. Gejalanya adalah proteinuria fetal ditandai dengan peningkatan 10fold pada konsentrasi alfa fetoprotein (AFP). Diagnosis antenatal ini dilakukan pada ibu hamil dalam keluarga yang beresiko tinggi. Adanya 90% alel NPHS 1 dapat menunjukkan adanya mutasi dari gen ini. 2. Sindroma nefrotik sekunder Disebabkan oleh : a. b. Malaria kuartana atau parasit lain. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.11

c. d.

Glumerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis. Toksin spesifik, logam berat: emas, bismuth, merkuri, obat-obatan dan bahan kimia: seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun otak, air raksa.

e.

Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranaproliferatif hipokomplementemik.

3.

Sindroma nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya) Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk, membagi dalam 4 golongan yaitu: 1. Kelainan minimal Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau imunoglobulin beta-1C pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain. 2. Nefropati membranosa Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik. 3. Glomerulonefritis proliferatif a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi endotel sel yang polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma

menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama.

12

b.

Glomerulonefritis proliferatif dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening) Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobuler.

c.

Glomerulonefritis proliferatif dengan bulan sabit (Crescent) Didapatkan proleferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan viseral. Prognosis buruk.

d.

Glomerulonefritis membranoproliferatif Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah. Prognosis tidak baik.

e.

Lain-lain Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.

4.

Glomerulosklerosis fokal segmental Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.

Patogenesis dan Patofisiologi Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien dengan sindrom nefrotik, yang diikuti dengan gambaran klinis sebagai berikut: 1. Proteinuria Proteinuria masif merupakan kelainan dasar dari sindrom nefrotik. Proteinuria ini sebagian besar berasal dari kebocoran glumerulus (proteinuria glumerulus) dan hanya sebagian kecil yang berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubulus). Pada dasarnya proteinuria masif ini mengakibatkan dua hal : a. Jumlah serum protein yang difiltrasi glumerulus meningkat sehingga serum protein tersebut masuk ke dalam lumen tubulus. b. Kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi serum protein yang telah difiltrasi glumerulus.

13

Pada keadaan normal membran basalis dan sel epitel bermuatan negatif maka dari itu dapat menghambat perjalanan molekul yang bermuatan positif. Pada semua bentuk sindrom nefrotik selalu ditemukan obliteransi atau fusi foot processes (pedikel) sehingga terjadi kerusakan polianion yang bermuatan negatif yang dalam keadaan normal merupakan filter atau barier terhadap serum albumin yang bermuatan negatif, dan perubahan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding kapiler glumerulus terhadap serum protein. 2. Hipoproteinemia Plasma mengandung banyak macam protein dan sebagian besar akan mengisi ruang ekstra vaskuler (EV). Plasma atau serum protein terutama terdiri dari IgG, transferin dan albumin yang mempunyai BM kecil (69.000), sehingga mudah diekskresikan melalui urin. Oleh karena itu istilah hipoproteinemia identik dengan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat terjadi bila proteinuria lebih dari 3-5 gram/hari, katabolisme albumin meningkat, intake protein berkurang karena penderita mengalami anoreksia atau bertambahnya utilisasi (pemakaian) asam amino, kehilangan protein melalui usus atau protein loosing enteropathy. 3. Hipoalbuminemia Hati memegang peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, renal maupun ekstra renal. Mekanisme kompensasi untuk meningkatkan sintesis protein (albumin) terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskuler (EV) dan intra vaskuler (IV). Pada sindrom nefrotik sintesis protein oleh hati biasanya meningkat tetapi mungkin normal atau menurun. Sintesis protein oleh hati bisa meningkat dua kali normal tetapi tidak adekuat untuk mengimbangi kehilangan protein sehingga secara keseluruhan terjadi pengurangan total protein tubuh termasuk otot-otot, bila mekanisme kompensasi sintesis albumin dalam hati tidak cukup adekuat sering disertai penurunan albumin (Hipoalbuminemia). 4. Hiperlipidemia Pada sebagian besar pasien sindrom nefrotik ditemukan kenaikan kadar kolesterol, trigliserid dan fosfolipid. Kolesterol ini terikat pada plasma dan14

merupakan konstituen lipoprotein yang terdiri dari LDL, VLDL, HDL, dan pada pasien sindron nefrotik LDL dan VLDL selalu meninggi sedangkan HDL normal atau turun. Pada pasien sindrom nefrotik terjadi hubungan terbalik antara kadar kolesterol dan albumin, sehingga manipulasi ini mendukung hipotesa bahwa penurunan albumin serum dan tekanan onkotik merangsang sel hati untuk membentuk lipoprotein lipid atau lipogenesis (de Mendosa SG dkk. 1976). Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Sedangkan penelitian terakhir in vivo pada pasien-pasien sindrom nefrotik menemukan bahwa, sintesis lipoprotein lipid semata-mata akibat perangsangan penurunan albumin serum penurunan tekanan onkotik, dan bukan akibat perubahan viskositas plasma. Penurunan kadar kolesterol HDL diduga akibat pengeluaran melalui urin atau mungkin terjadi hipertrigliseridemia sehingga ada efek perubahan kolesterol ester menjadi trigliserid. Banyaknya protein-protein dalam darah yang hilang termasuk albumin yang berfungsi untuk membawa asam lemak ke dalam hati menjadi berkurang sehingga lemak banyak beredar dalam darah sehingga saat pemeriksaan dilakukan, terdeteksi peningkatan kadar kolesterol, trigliserid, dan fosfolipid. 5. Edema Klinis sembab atau edema menunjukkan adanya penimbunan cairan dalam ruang interstisial di seluruh tubuh, dapat diketahui dengan cara inspeksi dan palpasi. Mekanisme terjadinya edema dipengaruhi beberapa faktor : Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glumerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia, sehingga menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma intravaskuler dan keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema. Mekanisme renal, penurunan tekanan onkotik plasma protein dalam kapiler glumerulus menyebabkan penurunan volume darah efektif dan diikuti15

aktivitas sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, rangsangan ini menyebabkan kenaikan plasma renin dan angiotensin untuk sekresi hormon aldosteron. Kenaikan hormon aldosteron ini akan mempengaruhi sel-sel tubulus proksimal untuk mereabsorbsi ion Na+ sehingga ekskresi natrium atau natriuresis menurun. Kemudian dapat juga terjadi aktifitas saraf simpatetik dan kenaikan konsentrasi circulating catecholamine, sehingga menyebabkan kenaikan tahanan atau resistensi vaskuler renal.yang dapat juga menyebabkan penurunan dan berkurangnya filtrasi garam Na+ dan air. Dari kedua hal diatas akan menyebabkan kenaikan volume cairan seluler (VCES) dan edema. Komplikasi 1. 2. 3. 4. Infeksi Malnutrisi Trombosis Gagal ginjal akut.

Gejala Klinis Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai 40% daripada berat badan dan didapatkan anasarka. Terdapat pada wajah terutama di sekitar mata, lengan dan kaki, terutama pada kaki dan pergelangan kaki, juga pada daerah pinggang (sekitar perut). Efusi plural juga sering terjadi pada penderita ini. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia dan hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85 95%) sebanyak 10 15 gr/hari sehingga urin terlihat berbusa. Selama edema masih banyak, biasanya produksi urin berkurang, berat jenis urin meninggi. Pasien juga mengeluh sesak nafas (hidrotoraks, asites) dan dapat disertai keluhan diare, nyeri perut, anoreksia. Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, hipoproteinemia, hiperlipidemia, hiperkolesteronemia. Anak-anak dapat pula menderita anemia defisiensi besi karena transferin banyak keluar dengan urin.

16

Diagnosis Diagnosis didasarkan atas gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut: 1. Urinalisis Ditujukan untuk mengetahui jumlah protein dalam urin. Sampel yang digunakan adalah urin dengan metode: Pengumpulan urin 24 jam Urin pagi hari Alat yang digunakan adalah warna dari kuning menjadi biru. Kemudian pemeriksaan protein dalam urin ditemukan konsentrasi protein lebih dari 3,5 g/24 jam. Selain itu, pemeriksaan yang ditujukan untuk mengetahui adanya hematuria dengan pemeriksaan darah samar dalam urin. Tes benzidin dilakukan untuk mendeteksi keberadaan Hb dan derivatnya. Parameternya adalah: - : tidak ada perubahan warna (tetap samar-samar kehijauan) + : hijau ++ : biru hijau +++ : biru ++++ : biru tua Lalu dilakukan tes klirens kreatinin, urea dan BUN dengan hasil adanya penurunan dari level normal. 2. Analisa kimia darah a. Penentuan Konsentrasi albumin: < 2,5 g/dl b. Tes Kreatinin menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari normal. c. Kadar kolesterol dan trigliserida dideteksi tinggi dari normal. Albustix (stik/kertas) atau Albutes Terjadi reaksi perubahan (tablet) berisi Bromphenol blue dan salisilat.

17

3. Pemeriksaan mikroskopik Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan 2 sel darah merah per LPB untuk penderita mikrohematuria (nefropati). 4. Biopsi ginjal

2. Glomerulonefritis Suatu jenis penyakit ginjal dimana fungsi filtrasi dan aliran darah ginjal mengalami kerusakan. Terjadi inflamasi pada glomerulus. Gejala umum yang dialami pasien antara lain darah dalam urin (urin berwarna coklat atau gelap), urin berbusa, bengkak (edema) pada wajah, kaki, pergelangan kaki, mata dan perut, sakit pada bagian perut. a. Glomerulonefritis Akut Peradangan glomerulus secara akibat pengendapan kompleks antigen antibodi di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh strepkokus (glomerulonefritis pascastreptokokus). Glomerulonefritis akut biasanya membaik dengan terapi antibiotik spesifik, terutama pada anak. Sebagian orang dewasa mungkin tidak dapat pulih dan mengalami glomerulonefritis progresif atau glomerulonefritis kronik dengan prosentasi 10-15%. Mekanisme terjadinya glomerulonefritis adalah terjadi pengendepan kompleks antigen antibodi di glomerulus. Pengendapan tersebut merangsang reaksi peradangan dan pengaktifan komplemen. Kemudian terjadi peningkatan pada aliran darah, permeabilitas kapiler glomerulus dan filtrasi. Selain itu pengaktifan komplemen seperti trombosit dan makrofag juga berperan dalam penyempitan pembuluh darah yang terdapat diginjal. Protein dan sel darah merah bocor melalui glomerulus. Lama-kelamaan membran glomerulus akan rusak dan terjadi pembengkakan (edema) di ruang interstisium Bowman. Pembengkakan ini menyebabkan peningkatan tekanan cairan interstisium. Dan pada akhirnya Glomerulus mengalami kolaps.

18

b. Glomerulonefritis Progresif Cepat Peradangan glomerulus yang terjadi sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah awitan penyakit. Glomerulonefritis progresif cepat dapat terjadi akibat perburukan glomerulonefritis akut, suatu penyakit atoimun, atau tanpa diketehui sebabya (idiopatik). Glomerulonefritis progresif cepat berkaitan dengan proliferasi difus sel-sel glomerulus di dalam ruang Bowman. Hai ini menimbulkan struktur yang berbentuk mirip bulan sabit yang merusak ruang Bowman. Kecepatan filtrasi glomerulus menurun sehingga terjadi gagal ginjal. Contohnya adalah Sindrom Goodpasture. c. Glomerulonefritis Kronik Peradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus subklinis yang disertai oleh hematuria dan proteinuria ringan. Penyebab tersering adalah diabetes mellitus dan hipertensi. d. Diagnosis Diagnosis glomerulonefritis secara umum adalah: Urinalisa Terdapat 4 sel darah merah per lapangan pandang besar ataupun kecil dan terjadi peningkatan kadar protein dari kadar normal dalam urin, tetapi biasanya masih dibawah 2 g/hari. Kimia Darah Terjadi peningkatan kadar BUN, kreatinin, asam urat dan lipid serum dari normal. Penurunan kadar albumin serum kurang dari 3.4 - 5.4 g/dL. Obatobatan yang dapat meningkatkan kadar albumin dalam darah adalah anabolik steroid, insulin, androgen, dan growth hormone. Selain itu pada pengukuran komplemen C3 dan C4 diperoleh hasil kurang dari 75-135 mg/dl. Tes darah ini digunakan untuk mengukur aktivitas suatu protein

19

tertentu yang merupakan bagian dari sistem komplemen. Sistem komplemen adalah sekelompok protein yang bergerak bebas melalui aliran darah. Pengecekan terhadap antibodi Anti-glomerular basement membrane

menunjukkan hasil yang positif. Pada keadaan normal antibodi ini tidak terdapat didalam darah. Pada glomerulonefritis antibodi ini ada di dalam darah dan akan merusak membrane glomerulus lebih lanjut dan pada akhirnya menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus. Antibodi ini terdapat pada darah pasien dengan sindrom nefritis akut, sindrom Goodpasture dan glomerulonefritis progresif cepat. Antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) juga dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya glomerulonefritis, terutama glomerulonefritis progresif cepat. Ada 2 tipe dari ANCA yaitu pola sitoplasmik (cANCA) dan pola perinuklear (pANCA).

Gambar 5. Dua tipe dari ANCA Biopsi Paling spesifik untuk melihat seberapa parah kerusakan yang terjadi pada ginjal.

20

Glomerulonefritis Akut

Glomerulonefritis Progresif Cepat

Glomerulonefritis Kronik

21

3. Nefritis Interstisial Inflamasi ginjal selain pada bagian Glomerulus (Medula). Kebanyakan disebabkan bakteri (Pyelonephritis). Gejala yang timbul diantaranya penumpukan konkremen seperti garam kalsium dan asam urat, rusak karna racun: fenasetin, reaksi alergi: penisilin, reaksi penolakan setelah dan akibat transplantasi. Pada nefritis interstisial ini terjadi kerusakan pada fungsi tubulus, maka diagnosis yang dilakukan adalah menilai fungsi tubulus tersebut. Pada nefritis interstisial terjadi peningkatan PSP dan penurunan PAH diurin, berat jenis urin pagi lebih dari 1,025 dengan pH lebih dari 5,3. Selain itu terjadi ketidakseimbangan elektrolit yaitu penurunan kadar natrium, klorida, kalium dan fosfor pada urin. Sedangakan kadar kalsium akan meningkat 4. Gagal Ginjal Gagal ginjal merupakan kehilangan fungsi dari kedua ginjal. Karena ginjal memiliki peran vital dalam menjaga homeostatis, gagal ginjal diasosiasikan dengan berbagai efek sistemik. Tahapan dari gagal ginjal ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya gejala dan penurunan GFR. GFR untuk orang normal dewasa sehat berkisar antara 120-130 ml/menit. Tahapan-tahapan tersebut: Tahap 1:

tanda-randa kerusakan ginjal dengan GRF normal atau

mendekati normal (90 ml/menit atau 75%) Tahap 2: GFR 60-89 ml/menit (50%) dan bukti kerusakan ginjal. Nefron yang tersisa rentan untuk semakin memburuk dengan sendirinya karena beban kerja yang semakin berat Tahap 3: GFR 30-59 ml/menit (25-50%), kerusakan nefron terus

berlanjut Tahap 4: GFR 15-29 ml/menit (12-24%), nefron yang tersisa semakin sedikit Tahap 5: gagal ginjal tahap akhir, GFR 300mg/24 jam biasanya didefinisikan sebagai keadaan patologis, tetapi pasien dengan nefropati diabetik awal mempunyai ekskresi total protein dibawah limit ini. Proteinuria dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:45

Proteinuria fungsionil, misalnya pada kerja berat, kedinginan, kehamilan, orthostatik, demam, dan stress. Proteinuria patologis ; dapat disebabkan, prarenal (hipertensi, dekompensasi cordis, sirosis hepatis, keracunan oabt dan logam berat), renal (nefritis kronik, ca ginjal, nefritik sindrom), post renal (pyelitis, cystitis, uretritis, infeksi saluran kencing bagian bawah). Sedangkan proteinuria berdasarkan keparahan dapat dibedakan, yaitu: Proteinuria ringan: Ekskresi protein dalam urin < 0.5 g/24 jam. Terjadi pada glomerulo nefritis akut (GNA), fungsional dan post renal proteinuria. Proteinuria sedang: Ekskresi protein 0.5 4 g/24 jam. Terjadi pada glomerulo nefritis kronik (GNK), pyelonefritis. Proteinuria berat; Ekskresi protein > 4 g/24 jam.

Terjadi pada sindroma nefrotik, glomerulo nefrotik kronik (GNK), sistemik lupus erithematosus (SLE) Pemeriksaan yang dapat dilakukan terhadap pasien proteinuria: Protein dalam urin dapat dinyatakan dengan : semikuantitatif, kuantitatif dalam urin 24 jam. 1. Semikuantitatif a. Berdasarkan presipitasi: protein dipresipitasikan pada titik isoelektriknya, dapat dengan : asam sulfosalisilat, asam asetat encer dengan pemanasan. b. Dengan dasar kolorimetri, contoh: albustix 2. Kuantitatif a) Berdasarkan presipitasi protein: Cara Esbach : kurang kritis karena kadar protein yang dapat dibaca dengan tepat yaitu 0.5 g/L, sehingga bila protein < 0.5 g/L tidak dapat dibaca dengan tepat.

46

Cara biuret : protein diendapkan dengan asam trikloroasetat (TCA)

sentrifugasi cairan dibuang, endapat dilarutkan dengan reagen biuret dibaca dengan kolorimeter. Dengan asam sulfosalisilat 3% : protein diendapkan dengan asam

sulfosalisilat 3% , timbul kekeruhan baca dengan kolorimeter.b) Cara elektrofresi : dengan cara ini dapat dipisahkan fraksi fraksi protein

seperti albumin : , , globulin; serta fibrinogen. Dasarnya adalah kecepatan gerak dari masing masing fraksi di dalam medan listrik. Pengukuran kuantitas proteinuria Standar pengukuran kuantitas protein uria adalah pengumpulan urin 24 jam untuk pengukuran total protein atau albumin. Pengukuran protein biayanya murah, tetapi tidak ada perbedaan antara berbagai macam protein yang ada di urin. Proteinuria >300mg/24 jam biasanya didefinisikan sebagai keadaan patologis, tetapi pasien dengan nefropati diabetik awal mempunyai ekskresi total protein di bawah limit ini. Pengukuran albumin lebih mahal tetapi dibutuhkan pada saat deteksi mikroalbuminemia. Ekskresi protein meningkat dengan adanya aktivitas dan pada posisi tegak lurus. Pada beberapa individu, peningkatan terjadi secara berlebihan sehingga menghasilkan positif palsu pada tes dipstick untuk proteinuria dan bahkan terjadi peningkatan ekskresi protein urin 24 jam. Ekskresi protein yang normal pada malam hari dan peningkatan selama sepanjang hari mengindikasikan terjadinya proteinuria postural. Adanya proteinuria postural ini bisa dijadikan indikasi adanya tumor. Penilaian selektivitas proteinuria Pada keadaan kerusakan permeabilitas glomerulus yang parah, sejumlah besar molekul protein dapat melewati glomerulus. Pengukuran rasio bersihan transferin atau albumin (molekul yang kecil) dengan immunoglobulin G (molekul yang besar) dapat digunakan untuk mengukur selektivitas. Perhitungannya adalah sebagai berikut : Albumin/IgG clearance = urin (IgG) serum (albumin) 100% serum (IgG) urin (albumin)

47

Transferrin/IgG clearance dihitung dengan cara yang sama. Rasio 2 ml/menit berarti reabsorbsi ureum sedikit, dengan menggunakan rumus diatas diperoleh nilai yang disebut dengan nilai clearance maksimal, besarnya 75 ml/menit (dianggap 100%). Untuk mendapatkan nilai dalam %, maka nilai yang didapat dibandingkan dengan 75 ml/menit, nilai normal berkisar diantara 70 110%.

50

Bila diuresis < 2 ml/menit berarti reabsorpsi yang terjadi banyak, maka dipakai rumus : Cl = U/B x V Nilai ini disebut dengan nilai clearance standard, besarnya yaitu 54ml/menit. Untuk mendapatkan nilai dalam %, maka nilai yang didapat dibandingkan dengan 54 ml/menit, nilai normal berkisar diantara 70 110%. Bila diuresis kecil sekali yaitu < 0,5 ml/menit, maka hasil percobaan tidak dapat dipercaya lagi. c. Fraksi Filtrasi Nilai fraksi filtrasi didapatkan dengan cara membandingkan clearance inulin dengan nilai clearance PAH. Nilai ini menggambarkan perbandingan GFR (melalui clearance inulin) dengan RPF (melalui clearance PAH). Nilai normal dari fraksi filtrasi adalah 0,16 0,21. Pada penyakit ginjal seperti glomerulonefritis, fraksi filtrasi akan menurun karena menurunnya GFR. d. Kreatinin Serum Kreatinin adalah hasil peruraian non-enzimatik dari creatine and phosphocreatine (metabolisme otot). Produksi kreatinin setiap hari konstan pada tiap individu, yang dieksresikan terutama melalui filtrasi di glomerulus, tetapi juga disekresikan (lebih dari 15%) oleh tubulus terutama pada kadar kreatinin serum tinggi. Karena merupakan komponen yang dikeluarkan, kreatinin serum memperbesar perkiraan nilai GFR. Adanya hubungan timbal balik antara kreatinin serum dan klirens, maka kreatinin serum tidak meningkat diluar nilai normal sampai terjadinya penurunan nilai GFR, terutama pada pasien dengan massa otot yang rendah. Namun, pada pasien yang mengalami peningkatan progresif kadar kreatinin serum berkali-kali, walaupun nilainya masih dalam range normal, ini menyatakan penurunan GFR. Variasi nilai yang luas diantara tiap individu berdasarkan massa otot, jenis kelamin dan umur membuat kreatinin serum menjadi tes skrining yang tidak sempurna untuk gagal ginjal. Obat-obatan seperti cimetidine, trimethoprim and pyrimethamine, dapat menghambat kreatinin sekresi kreatinin ditubulus.

51

Konsumsi daging dan olahraga berat menyebabkan peningkatan sementara yang cepat dari kreatinin serum. Rumus yang paling popular untuk menentukan nilai GFR adalah rumus Cockroft - Gault GFR = [140umur (thn)] berat badan (kg) 0,85 (wanita) kreatinin serum (mol/L) x 72 e. Clearance Creatinin Pasien diinstruksikan untuk benar-benar mengosongkan kandung kemih segera setelah bangun dipagi hari, pengeluaran urin dimulai pada 24 jam sebelumnya. Selama periode waktu ini semua urin ditampung pada wadah yang disediakan, kemudian urin disimpan. Perhitungan klirens kreatinin: Urine flow rate (mL/min)= Urine volume (mL)/time of collection (min) Creatinin clearance = Urine creatinine (mmol/L) urine flow rate (mL/min) plasma creatinine (mmol/L) Karena kreatinin diekskresikan terutama melalui filtrasi di glomerulus, dan sebagian kecil disekresikan oleh tubulus, rumus tersebut memperbesar perkiraan nilai GFR. Bagian yang disekresikan dapat dihambat oleh cimetidine (400 mg pada malam hari sebelum pengambilan sampel urin dan dilanjutkan sampai pengambilan selesai) agar diperoleh nilai yang mendekati nilai GFR yang sebenarnya. Masalah utama terjadinya kesalahan adalah pengambilan urin yang tidak lengkap atau pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna. Kelebihan test ini yaitu biaya yang dibutuhkan lebih murah, lebih mudah diulang, dan tersedia secara luas dan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. f. Clearance Inulin Inulin merupakan zat yang paling baik digunakan sebagai zat uji penilaian GFR karena tidak dimetabolisme oleh oleh ginjal atau jaringan lain, zat difiltrasi bebas dan tidak direabsorpsi ataupun disekresikan. Namun, zat ini merupakan zat

52

asing bagi tubuh tidak seperti kreatinin sehingga inulin perlu dimasukkan secara infus. Oleh karena itu, tes ini tidak praktis digunakan secara rutin (Suryaatmadja). 2.3.3 Tes Fungsi Tubulusa. Tes PSP

Fenolsulfonftalein merupakan zat warna yang tidak beracun, yang terutama dibuang melalui proses sekresi ke tubulus proksimal. Daya ikat PSP pada protein plasma demikian tinggi sehingga hanya sekitar 4 % saja yang dieksresikan melalui filtrasi glomerulus. Dengan dosis umum intravena sebesar 6 mg, maka kadar plasma dari zat ini hanya sekitar 1/5 dari kapasitas ekskresi PSP tubulus. Oleh karena itu, kecepatan ekskresi PSP biasanya dibatasi oleh kecepatan pengiriman ke tubulus melalui aliran plasma ginjal, dan oleh fungsi tubulus proksimal pada gangguan ginjal yang berat. Tes PSP selama 15 menit merupakan tes yang paling sering dilakukan. Saat 30 menit sebelum diberi zat warna PSP, penderita minum 2 atau 3 gelas air agar kandung kemih terisi cukup untuk berkemih. Tepat 1 ml (6 mg) PSP disuntikkan intravena dengan menggunakan jarum tuberkulin agar akurat. Tepat 15 menit sesudah pemberian zat warna, pasien diminta untuk berkemih. Semua urin ditampung dalam gelas 1 liter, kemudian ditambahkan 5 ml NaOH 10% dan air hingga volume tepat 1 liter (urin akan berwarna merah muda). Warna dari urin ini kemudian dibandingkan dengan standar yang sesuai atau diukur dengan kolorimeter. Jumlah PSP dinyatakan dalam % (6 mg % PSP = 100%). 60 menit dan 120 menit setelah penyuntikan intravena, penderita berkemih lagi dan PSP di ukur lagi. Fungsi ginjal yang normal harus mengekskresikan paling sedikit 25% PSP dalam jangka waktu 15 menit. Nilai normal pada pengukuran : I. 15 menit setelah penyuntikan IV, nilai normal= 25 30% II. 60 menit setelah penyuntikan IV, nilai normal= 45 60% (I + II) III. 120 menit setelah penyuntikan IV, nilai normal = 60 75% (I + II + III)b. Tes PAH

Para-aminohipurat adalah suatu zat yang difiltrasi oleh glomerulus dan disekresi oleh tubulus proksimal. Bila diberi dalam konsentrasi rendah pada53

manusia, maka sekitar 92% akan dibersihkan dalam 1 sirkulasi melalui ginjal. Karena itu, tes ini merupakan cara yang sangat cermat untuk pengukuran aliran plasma ginjal (RPF = renal plasma flow). RPF pada orang dewasa normal adalah 600 ml/menit. Kalau konsentrasi plasma terus ditingkatkan hingga melebihi kapasitas sekresi, maka kapasitas sekresi tubulus proksimal dapat dihitung dari beban yang difiltrasi dan eksresi kemih. Tes ini paling sering dipakai pada penelitian. c. Tes Pemekatan Dan Pengenceran Tes pemekatan urin dilakukan dengan cara membatasi asupan air dan tes ini merupakan cara yang sensitif untuk mengetahui kemampuan tubulus ginjal dalam mereabsorpsi air dan menghasilkan urin yang pekat. Caranya: pada jam 7 pagi penderita mengosongkan kandung kemihnya, lalu setelah itu hanya boleh minum 150 200 ml air dan pada waktu antara makan tidak dibolehkan minum. Selain itu, penderita tidak boleh makan makanan yang banyak mengandung air, asupan makanan normal (asupan garam dan protein normal), tidak minum kopi, dan tidak mengkonsumsi diuretik. Kemudian urin dikumpulkan pada : I. Jam 7 11 : diukur volume dan BJnya II. Jam 11 15 : diukur volume dan BJnya III. Jam 15 19 : diukur volume dan BJnya IV. Jam 19 7 : diukur volume dan BJnya Jumlah urin siang (12 jam) = I + II + III Jumlah urin malam (12 jam) = IV Nilai Normal : Jumlah urin siang = 2- 4 x jumlah urin malam BJ makin besar , ada yang mencapai 1018 dan 1025 untuk urin malam

Tes pengenceran kemih dilakukan dengan cara penderita minum 1 liter air dalam jangka waktu 30 menit. Kemudian urin dikumpulkan selama 3 jam. Paling tidak salah satu diantara sampel urin tersebut harus mempunyai BJ 1,003 (80 mOsmol) atau kurang. Tes pengenceran ini lebih sedikit manfaatnya dibandingkan dengan tes pemekatan, karena banyak faktor yang bisa mempengaruhi, misalnya54

mual atau emosi dapat mengganggu diuresis air pada orang normal sekalipun. Kemampuan pengenceran mungkin terganggu pada penderita insufisiensi adrenal, penyakit hati dan gagal jantung. Baik tes pemekatan maupun test pengenceran jangan dilakukan pada penderita azotemia karena dapat mengakibatkan dehidrasi dan intoksikasi air. d. Tes Osmolalitas Pengukuran osmolalitas urin merupakan pengukuran jumlah partikel terlarut yang ada di dalam urin. Pemeriksaan ini lebih spesifik dibandingkan dengan pengukurna berat jenis terhadap penilaian kemampuan ginjal dalam memekatkan dan mengencerkan urin. Cara melakukan tes ini mirip dengan tes emekatan pengenceran, namun yang dihiutng adalah osmolalitasnya. Pada pemekatan, osmolalitas urin harus melebihi 800 mOSm/kg. Sedangkan pada pengenceran, osmolalitas urin minimal harus ada 1 yang di bawah 100 mOSm/kg. Pada urin 24 jam, osmolalitas rata-rata harus mencapai 300-900 mOSm/kg, sedangkan osmolalitas yang diperiksa secara acak harus mencapai 500-800 mOSm/kg. e. Tes Vasopressin Tes ini lebih nyaman dilakukan daripada tes pengenceran atau pemekatan. Tes ini juga hanya bergantung pada kemampuan tubulus ginjal sehingga dapat memberikan gambaran yang baik tentang fungsi tubulus ginjal. Tes ini biasanya dapat mendeteksi adanya penyakit walaupun nilai tes Clarence kreatinin masih normal, seperti pada hipertensi atai kekurangan kalium. Pada tes ini, pasien diminta untuk berhenti minum mulai dari jam 6 pagi, lalu pada jam 8 pagi pasien diberikan 5 unit vasopressin tannat secara subkutan. Setelah itu, urin ditampung secara terpisah setiap kali berkemih sampai jam 9 pagi keesokan harinya. Dari sampel urin tersebut, salah satu diantaranya harus memiliki osmolalitas di atas 800 mOSm/kg atau perbandingan osmolalitas urin dan plasma harus mencapai 3.

55

f. Tes Elektrolit Salah satu fungsi utama ginjal adalah pengaturan keseimbangan elektrolit. Elektrolit yang biasa diperiksa di urin adalah natrium, klorida, kalium, kalsium, fosfor. Untuk tes elektrolit ini digunakan urin 24 jam. Natrium Gagal ginjal dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan natrium. Sedangkan pada penyakit ginjal akut dapat terjadi peningkatan natrium di urin akibat tubulus tidak sanggup mereabsorbsi natrium. Klorida Pada beberapa penyakit ginjal, ekskresi klorida dapat menurun. Kalium Pada penyakit ginjal kronis, terjadi penurunan kadar kalium di urin karena sekresi tubular terganggu. Kalsium Pemeriksaan kalsium umumnya dilakukan untuk mengetahui adanya batu ginjal. Selain itu, penurunan kadar kalsium biasanya terjadi pada nephrosis, nefritis akut, dan gagal ginjal kronik. Fosfor Pada nefritis dan gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan kadar fosfor urin.

56

Pemeriksaan ion elektrolit Permintaan pemeriksaan ion elektrolit di laboratorium yang paling sering dilakukan adalah Natrium, Kalium, Klorida dan Bikarbonat. Spesimen yang digunakan adalah darah dan metode yang digunakan dapat berupa metode elektroda selektif ion (ISE) serta pengukuran secara spektrofotometri. Metode electrode selektif ion bekerja dengan prinsip bahwa ion yang kontak dengan elektroda akan menyebabkan aktivitas perubahan yang voltase dimaksud. yang hasilnya dapat menggambarkan ionik Perlu diperhatikan

kemungkinannya terjadi kadar elektrolit rendah palsu atau tinggi palsu (pseudohipo/hiper) yang dapat terjadi akibat kesalahan teknis, penyimpanan, dan faktor eksternal lainnya. Parameter kelainan elektrolit dapat ditinjau dengan melihat anion gap nya. Semakin besar terjadi anion gap maka menunjukkan terjadinya ketidak seimbangan di dalam tubuh. Metode dan jenis pemeriksaan elektrolit dapat dirinci sebagai berikut: Ion-Specific Electrode (ISE) ISE untuk natrium sering dibuat menggunakan litium alumunium silikat atau senyawa gabungan silikon dioksida gelas yang menseleksi Na+ lebih sensitif dibandingkan K+ atau H+. ISE untuk kalium umumnya terdiri dari suatu membran selektif yang mengandung valinomisin. Valinomisin berikatan baik dengan ion-ion kalium. Total karbondioksida plasma (tCO2) sel/elektroda mengandung suatu asam yang akan mengkonversi HCO3 menjadi gas, yang berdifusi melalui membran silikon dan bereaksi dengan bikarbonat/asam karbonat buffer untuk memproduski H+ dengan proporsi yang sama dengan tCO2 di plasma. Ion H+ terdeteksi oleh ISE yang terbuat dari silikon diksida/litium dan gelas kalsium oksida. Klorida juga dapat diukur dengan ISE yang menggunakan bahan yang unik. Suatu membran solid dari perak klorida dapat mengukur aktivitas Cl- dengan sangat akurat. Prinsip Reaksi Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa prinsip reaksi adalah saat ion berkontak dengan elektroda. Ketika itu akan terjadi perubahan potensial yang dapat diketahui jika dibandingkan dengan elektrode referensi. Hasil yang terukur57

diintepretasi sebagai perubahan voltase akibat aktivitas ionik yang terdapat di dalam sampel. Spesimen Serum vena atau darah/plasma yang diheparinisasi oleh litium, atau darah arteri yang telah diheparinisasi harus diambil oleh suatu metode untuk mengindari terjadinya hemolisis. Heparinized plasma adalah spesimen terpilih dan mengandung kalium lebih sedikit 0,3 sampai 0,7 mmol/L dibandingkan dengan serum sebagai akibat pengeluaran platelet selama koagulasi. Elektrolit juga dapat dianalisis dalam cairan tubuh seperti urin, keringat dan cairan serebrospinal, dan cairan lambung. Spesimen ini stabil jika disimpan dalam wadah tertutup dan segera dianalisis . Sistem ISE yang melarutkan sampel dengan pelarut sebelum analisis dengan elektroda disebut metode indirect. Metode ini dipengaruhi oleh hiperlipidemia atau hiperproteinemia karena molekul lipid atau protein dalam jumlah banyak tersebut menggeser volume plasma pada saat pelarutan. Contoh, jika kadar trigliserida 350 mg/dL dan/atau protein 10 g/dL, gangguan pada saat pengukuran dapat mulai terjadi. Efeknya adalah penurunan palsu dari konsentrasi natrium akibat pelarutan tersebut. Anion Gap Anion gap adalah perhitungan untuk melihat perbedaan antara anion dan kation dalam darah. Anion gap merepresentasikan adanya anion lain selain yang ada dalam rumus (Na,K,Cl dan HCO3) yang mungkin terdapat dalam darah. Gap tersebut digunakan untuk memperhitungkan gangguan asam-basa dan elektrolit. Anion gap juga dapat digunakan untuk klasifikasi status asam-basa, untuk mengetahui ketidaksetimbangan elektrolit akibat kondisi patologis dan sebagai quality assurance statistik pada hasil pemeriksaan. Rumus yang umum digunakan: (Na+ + K+) (Cl- + HCO3-) Nilai K+ kadang tidak terlalu diperhitungkan karena nilainya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai Na+.58

Kation serum total = Na+ + UC (unmeasured cation) Anion serum total = Cl- + HCO3- + UA (unmeasured anion) Kation serum total = Anion serum total Na+ + UC = Cl- + HCO3- + UA Na+ - (Cl- + HCO3-) = UA UC Kenaikan anion gap terjadi akibat: Kenaikan UA atau penurunan UC. Kesalahan lab yang menyebabkan kenaikan Na serum palsu atau penurunan Cl dan HCO3 palsu. Penurunan anion gap terjadi akibat: Penurunan UA atau kenaikan UC. Kesalahan lab yang menyebabkan penurunan Na serum palsu atau penurunan Cl dan HCO3 palsu. Tinjauan klinis/ Ketidakseimbangan elektrolit Termasuk di dalamnya adalah hipernatremia, hiponatremia, hiperkalemia, hipokalemia. Hipernatremia Hipernatremia dapat disebabkan oleh kelainan renal maupun non-renal. Penyebab non-renal yang umum adalahdehidrasi parah, luka bakar atau keringat berlebih tanpa penggantian cairan yang cukup. Hilangnya air dari ginjal, seperti pada diabetes insipidus nefrogenik dapat pula menyebabkan hipernatremia. Osmolaritas serum dan konsentrasi natrium urin dapat membedakan hipernatremia yang disebabkan oleh kelainan renal atau non-renal. Hiponatremia Hiponatremia dapat diartikan sebagai penurunan konsentrasi natrium plasma sampai di bawah 135 mEq/L. Umumnya, penurunan konsentrasi dianggap bermakna secara klinis apabila konsentrasi telah turun sampai di bawah 130 mEq/L. Penyebab paling umum adalah nefritis ginjal, asidosis tubulus ginjal atau syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH). Penyebab non-renal hiponatremia meliputi kelebihan cairan, edema sekunder akibat sirosis atau gagal jantung kongestif.

59

Pseudohiponatremia adalah penurunan palsu konsentrasi natrium darah akibat kesalahan sistemik pada saat pengukuran. Penyebab yang paling umum adalah in vitro hemolisis. Sedangkan penyebab lainnya adalah hiperlipidemia, hiperproteinemia dan peningkatan viskositas plasma. Kesalahan pengukuran ini terjadi hanya pada saat sampel diencerkan sebelum dilakukan pengukuran. Metode pengukuran natrium darah yang dapat menyebabkan kesalahan ini adalah: Flame photometer: karena sampel selalu dilarutkan terlebih dahulu Ion-specific electrode with indirect method Pada pseudohiponatremia, osmolaritas plasma yang diukur tanpa pengenceran akan menunjukkan angka yang normal. Namun osmolaritas plsma normal yang diikuti dengan penurunan konsentrasi natrium plasma tidak selalu mengindikasikan pseudohiponatremia. Hiponatremia yang benar juga dapat diikuti oleh osmolaritas plasma yang normal sebagai akibat dari hiperglikemia, azotemia atau adanya alkohol. Untuk mencegah kesalahan pengukuran konsentrasi natrium plasma yang akan menghasilkan hasil pseudohiponatremia, dapat digunakan Ion-Specific Electrode (ISE) dengan direct method (tanpa pengenceran). Hiperkalemia Penyebab hiperkalemia dapat dibagi dua yaitu yang sebenarnya dan yang palsu/pseudo. 1. Perpindahan K dari sel ke cairan ekstraselular: - Asidosis akut (terutama asidosis inorganik)- Kondisi katabolik, periodik paralisis, suksinilkolin

- Asam amino kationik - Berlatih ketika menggunakan -bloker - Intoksikasi digitalis 2. 3. Peningkatan asupan K: jarang bila ekskresi K normal Penurunan ekskresi K ginjal60

- Hipoaldosteron: Addisons disease; selektif hipoaldosteron- Tidak beresponnya tubulus terhadap aldosteron: salt-losing nephropathy,

congenital - Diuretik hemat K - Dehidrasi hebat - Antirejection medication: siklosporin, tacrolimus

Penyebab Pseudohiperkalemia - Trombositosis - Leukositosis parah - Hemolisis in vitro - Hemolisis mempengaruhi elektrolit dan fungsi ginjal . Pecahnya membran selular akan melepaskan komponen intraselular ke plasma sehingga jumlahnya meningkat . Pengocokan spesimen darah atau sampel yg belum dipisahkan dgn kuat bbrp jam lebih lama juga mengganggu membran elektrolit dan menyebabkan peningkatan kadar serum atau plasma K.- Penggunaan tourniquet dengan fist exercise

- Penggunaan turkinet (alat penghenti pendarahan) sembari mengepalkan tangan dan melepasnya berulang kali akan meningkatkan kadar plasma atau serum K. Hipokalemia Penyebab hipokalemia adalah: 1. Perpindahan intraselular

Alkalosis, periodik paralisis, agonis--2, keracunan barium, insulin, keadaan pemulihan nutrisional. 2. Asupan yang rendah61

Kehilangan gastrointestinal: muntah, diarrhea, penyalahgunaan laksatif, intestinal drainage 3. Excessive renal loss

Aldosteronisme Hipertensi malignant, renal artery stenosis, reninoma

Diuretik Bartters syndrome, Gitelmans syndrome Kronik metabolik asidosis Kelebihan mineralokortikoid, di samping aldosteron: Cushings syndrome, licorice, ACTH-producing tumor Penyaluran dari reabsorbsi anion yang buruk pada tubulus distal: bikarbonat, keton anion, carbenicillin Lain-lain: defisiensi Mg, leukimia akut, Liddles syndrome

g. Test Konservasi Natrium Orang sehat dapat memproduksi urin yang sepenuhnya bebas natrium asalkan dietnya bebas natrium.Pada penyakit ginjal, kemampuan konservasi natrium mungkin hilang, dan beberapa penderita kehilangan natrium lebih banyak dari jumlah yang dimakannya, sehingga terjadi pengurangan volume plasma, pengurangan GFR dan mempercepat timbulnya gagal ginjal.Nefritis dengan kehilangan garam lebih sering terdapat pada penderita pielonefritis kronik atau penyakit polikistik.Kedua penyakit ini terutama menyerang tubulus ginjal. Test konservasi natrium juga digunakan untuk menentukan berapa banyak natrium yang diperlukan dalam diet penderita nefritis dengen kehilangan garam. Penderita ini makan diet rendah garam (10 mEq atau 500 mg).Ekskresi natrium dalam urin biasanya turun sesuai dengan jumlah natrium yang dimakan dalam jangka waktu 1 minggu.Contoh, penderita yang mengeksresi natrium dalam urin

62

sebanyak 50 mEq dengan diet natrium sebanyak 10 mEq diperkenankan menambah natrium dalam dietnya sebanyak 40 mEq. h. Tes Ekskresi Asam Tes pengasaman urin dilakukan untuk mengukur kapasitas maksimal ginjal dalam mengekskresi asam. Tes ini khusus ditujukan untuk diagnosis penyakit asidosis tubulus ginjal. Tes ini berlangsung selama 5 hari. Pertama-tama, urin kontrol dikumpulkan selama 2 hari, kemudian penderita diberi NH4Cl sebanyak 12 g/hari pada orang dewasa selama 3 hari berikutnya. NH4Cl akan diekskresi dalam bentuk NH4+ dan asam lain yang bisa dititrasi. pH urin diukur setiap hari dan pada hari kelima kadar NH4+ dan asam-asam yang dapat dititrasi juga diukur. Dalam keadaan normal, ginjal mengekskresikan beban asam yang diterimanya dan pH urin berkisar 4,5 5,3. pH urin pada penderita gagal ginjal kronik dapat mencapai 5,3 tetapi ekskresi NH4+ dan asam yang dapat dititrasi terganggu.

2.3.4 Lain-lain a. Radiologi Sejumlah tindakan radiologi dapat dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Pemeriksaan pielogram intravena merupakan pemeriksaan radiologi ginjal yang paling penting dan paling sering dilakukan, biasanya dilakukan pertama kali. Pemeriksaan lainnya: ultrasonografi, pencitraan radionuklida, CT scan, MRI (magnetic resonance imaging), sistouretrografi, angiografi. Pielogram Intravena (PIV) Prosedur yang lazim pada PIV antara lain : foto polos abdomen yang kemudian dilanjutkan dengan penyuntikan medium kontras intravena. Medium kontras bersirkulasi melalui aliran darah dan jantung menuju ginjal dimana medium di ekskresi. Sesudah disuntikkan, setiap menit selama 5 menit pertama dilakukan pengambilan foto untuk memperoleh gambaran korteks ginjal. Pada glomerulonefritis akan terlihat adanya penipisan korteks, sedangkan pada pielonefritis dan iskemia akan terlihat korteks yang seperti termakan oleh ngengat.

63

Foto selanjutnya diambil pada menit ke 15 untuk melihat kaliks, pelvis, dan ureter. Bagian ini akan mengalami distorsi bentuk apabila terdapat kista, lesi, dan obstruksi. Foto terakhir diambil pada menit ke 45 yang memperlihatkan kandung kemih. Jika penderita menderita azotemia berat biasanya tidak dilakukan PIV karena GFR yang rendah. Pada keadaan tersebut zat warna tidak dapat diekskresi sehingga pielogram sulit dilihat. PIV mempunyai banyak kegunaan, yaitu dapat memastikan keberadaan dan posisi ginjal serta menilai ukuran dan bentuk ginjal.

Ultrasonografi Gelombang suara frekuensi tinggi yang diarahkan ke abdomen dipantulkan oleh permukaan jaringan yang densitasnya berbeda-beda. Gelombang pantul digunakan untuk membentuk bayangan (sonogram) yang menyatakan bagianbagian ginjal. Ultrasonografi khususnya bermanfaat untuk membedakan tumor padat dari kista yang mengandung cairan. Pencitraan radionuklid Pencitraan radionuklid memerlukan penyuntikkan radioaktif yang kemudian dideteksi dari luar menggunakan kamera skintilasi yang dapat menerima pancaran radioaktif. Informasi yang dihasilkan digunakan untuk evaluasi baik struktur maupun fungsi ginjal. Kegunaan utamanya adalah untuk evaluasi transplantasi ginjal. Sistouretrografi Tindakan ini mencakup pengisian kandung kemih dengan zat kontras melalui kateter lalu dilakukan pengambilan foto saluran kemih bagian bawah sebelum, selama, dan sesudah mengosongkan kandung kemih. Tindakan ini berguna untuk mencari kelainan pada uretra (misalnya stenosis) dan untuk menentukan apakah terdapat refluks vesikoureteral. CT-scan (Computed Tomography) Hasil radiogram menampilkan potongan anatomi tubuh dengan ketebalan 10 mm, sehingga patologinya dapat diidentifikasi. Metode ini lebih mahal daripada64

teknik radiografi konvensional, akan tetapi mempunyai kemampuan mendeteksi massa retroperitoneal (misalnya terjadi penyebaran tumor). MRI MRI adalah suatu teknik pengambilan gambar yang memberikan informasi sepadan dengan CT scan ginjal. Keuntungan metode ini adalah tidak diperlukannya pemaparan ion radiasi atau media kontras. Suatu atom, misalnya ion hidrogen yang terdapat dalam molekul dan jaringan tubuh, bertindak sebagai magnet kecil. Jika penderita ditempatkan dalam suatu medan magnet yang kuat, maka ada beberapa inti atom yang saling tarik dengan arah yang sama dengan arah medan magnet tersebut. Jika diberi denyutan radiofrekuensi, sebagian inti akan menyerap energi menyebabkan inti-inti tersebut beresonansi. Sewaktu vektor magnet berbalik menuju titik keseimbangannya, akan terpancar sinyal-sinyal yang dapat dianalisis sehingga terlihat struktur bayangan yang detail. Kelemahan dari MRI adalah biaya yang mahal dan hanya tersedia di rumah sakit besar.

Arteriografi Tindakan yang biasa dilakukan adalah memasukkan kateter melalui arteri femoralis dan aorta abdominalis sampai ke arteri renalis. Zat kontras disuntikkan pada tempat ini dan akan mengalir ke dalam arteri renalis dan cabang-cabangnya. Tindakan ini dilakukan untuk melihat : Stenosis arteri renalis yang dapat menyebabkan terjadinya hipetensi Pembuluh darah pada neoplasma Suplai darah dari korteks Struktur suplai darah ginjal dari donor sebelum melakukan transplantasi ginjal Komplikasi yang sering terjadi selama menjalani arteriografi yaitu : rasa terbakar selama beberapa detik pada waktu larutan dimasukkan (oleh sebab itu sebelumnya penderita menjalani tes sensitivitas terhadap Iodium untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaksis), pembentukan trombus atau embolus, peradangan lokal atau hematoma pada tempat suntikan. b. Biopsi Ginjal65

Indikasi utama biopsi ginjal adalah untuk diagnosis penyakit ginjal difus dan untuk melihat perkembangannya lebih lanjut. Biopsi ginjal yang paling umum adalah perkutan. Penderita diinsruksikan untuk berbaring terlungkup dengan kantong pasir dibawah abdomen untuk memfiksasi ginjal pada punggung. Untuk ini dilakukan anestesi lokal. Tempat yang biasa digunakan untuk melakukan biopsi adalah diatas sudut ginjal kanan, tepat dibawah tulang rusuk ke-12. Penentuan tempat ini sebelumnya dilakukan dengan pemeriksaan radiografi. Sesudah disiapkan secukupnya, maka jaringan itu diperiksa dengan menggunakan mikroskop cahaya, elektron, imunofluoresein. Biopsi hanya dilakukan oleh ahli nefrologi. Segera sesudah biopsi, maka bagian yang dibiopsi ditekan selama 10 menit dengan busa ukuran 4 x 4 inci, dan penderita berada dalam posisi tengkurap selama 30 menit. Lalu bagian yang dibiopsi diberi pembalut tekan. Pembalut tekan itu dipasang dari atas dan kantung pasir dari bawah, keduanya menekan ginjal dan membantu mencegah perdarahan ekstrarenal. Penderita harus tetap di tempat tidur dan setenang mungkin selama 24 jam sesudahnya dan diinstruksikan jangan sampai batuk atau bersin. Tindakan ini berbahaya pada penderita yang tidak mau bekerjasama, yang menderita gangguan proses pembekuan darah, dan yang hanya memiliki sebuah ginjal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu perdarahan intrarenal dan perirenal.

Gambar 11. Biopsi Ginjal

66

DAFTAR PUSTAKA

Clinical Study Of Nephrotic Syndrome, Nishtar Medical College Hospital June 2004 Cohen, E. P. 2010 emedicine.medscape.com Corwin, E. J. 2001. Patofisiologi. Jakarta: EGC Elaine, M. W., dan Fredric, L. C. 2010. Calcium Kidney Stones. The New England Journal of Medicine Niaudet, P. 2004. Congenital nephrotic syndrome. Orphanet Patel, P. 2009. MedlinePlus: Nephrotic syndrome. US NIH. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta. Provan, Drew, Krentz, Andrew . Oxford Hanbook of Clinical and Laboratory Investigation. Oxford University Press : London. 202. Hal 423 458. Purnomo, BB ( 2000), Dasar-dasar Urologi, Sagung Seto, Jakarta. Setiadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Silbernagl, S. Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Terjemahan dari Color Atlas of Pathophysiology. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, BP FKUI, Jakarta. Sukandar Enday, Sulaeman Rachmat., Sindrom Nefrotik Dalam: Soeparman, Waspadji S (ED). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta, 1990, 282 305.

67

Suryaatmadja, Marzuki dan Sosro, Rustadi. Tes Faal Ginjal dan Manfaatnya di Klinik. Cermin Dunia Kesehatan No.30. Sutedjo, AY. 2008. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: Amara Book.

68