MAKALAH BAWASLU
-
Upload
fahri-handika -
Category
Documents
-
view
163 -
download
5
description
Transcript of MAKALAH BAWASLU
TUGAS HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
BAWASLU SEBAGAI STATE AUXILIARY ORGAN
S1 Reguler
Catur Alfath Satriya (1106071984)
Fahri Handika (1106056245)
Muhammad Fitrah Noor (1106017074)
DEPOK, 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
State Auxiliary Body atau lembaga-lembaga negara penunjang
merupakan fenomena yang bisa dikatakan baru terjadi di dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya persepsi bahwa
selama ini birokrasi tidak berjalan secara efektif dan efisien dalam
penyelenggaraan negara pada tahun 1960. Menurut seorang sarjana psikologi
sosial, Warren G. Benis menjelaskan di dalam tulisannya The Coming Death
of Bureaucracy pada tahun 1966 dunia menghadapi yang namanya kematian
birokrasi. Hal ini disebabkan karena selama ini pemerintah terlalu luas dalam
keterlibatannya mengurusi pelbagai urusan masyarakat. Keterlibatan
pemerintah di dalam pelbagai urusan masyarakat dipengaruhi oleh doktrin
negara kesejahteraan (welfare state) yang membenarkan negara untuk
mengintervensi segala urusan-urusan masyarakat1. Pada akhir abad ke-20
akhirnya pandangan negara kesejahteraan (welfare state) mulai ditinggalkan
karena dianggap tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat dan cenderung
mendorong yang namanya inefisiensi birokrasi, pandangan ini akhirnya
diganti dengan pandangan bahwa perlu adanya pengurangan peran negara di
dalam menyelenggarakan urusan-urusan publik yang berkaitan dengan
masyarakat banyak. Pandangan ini akhirnya mereproduksi lagi istilah the best
government is the least government yang sebelumnya pernah berkembang
sebelum digantikan dengan ajaran sosialisme yang akhirnya melahirkan
kembali pandangan liberalisme2. Liberalisme ini akhirnya berimplikasi
terhadap kebijakan ekonomi dan politik yang berhaluan liberal. Gelombang
liberalisasi politik membawa akibat munculnya gelombang demokratisasi dan
desentralisasi, sedangkan liberalisasi ekonomi melahirkan kebijakan-kebijakan
efisiensi, deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi. Hal ini juga akhirnya
1 Evy Trisulo, Konfigurasi State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia (Tesis Magister, Universitas Indonesia, 2012), hal. 132 Ibid
menyebabkan restrukturisasi bangunan organisasi negara dan pemerintahan
secara besar-besaran. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 2 pertimbangan dalam
penerapan prinsip sharing of power yaitu: (1) untuk kepentingan efisiensi
muncul kebutuhan untuk melembagakan kebutuhan untuk mengintegrasikan
pelbagai fungsi menjadi satu kesatuan ke dalam fungsi yang bersifat
campuran; (2) munculnya kebutuhan untuk mencegah agar fungsi-fungsi
kekuasaan tertentu terbebas dari intervensi politik dan konflik kepentingan.
Karena kedua alasan inilah, maka sejak akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21
banyak bermunculan lembaga-lembaga baru diluar struktur organisasi
pemerintahan yang lazim. Lembaga-lembaga inilah yang disebut sebagai State
Auxiliary bodies yang bertujuan untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan
kerja pemerintah dalam mengurusi kepentingan-kepentingan publik3.
Salah satu State Auxiliary body yang terdapat di Indonesia adalah
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu diatur berdasarkan UU No. 15
tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Tugas dari Bawaslu sendiri
adalah memastikan kelancaran pemilu terbebas dari praktik kecurangan
maupun pelanggaran dalam bentuk apapun di dalam penyelanggaraan suatu
pemilu. Bawaslu dipimpin oleh lima orang Anggota Bawaslu dari
kalangan profesional yang netral tidak berafiliasi dengan
partai apapaun dan memiliki kemampuan dalam pengawasan
terhadap pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Dalam
melaksanakan tugasnya, Bawaslu didukung oleh
Kesekretariatan Jenderal yang dipimpin oleh seorang
Sekretaris Jenderal. Kedudukan Sekretaris Jenderal didukung
oleh 4 (empat) kepala biro yang terdiri dari Biro Administrasi,
Biro Teknis Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu, dan Biro
Hukum, Humas dan Pengawasan Internal, serta 1 (satu) Biro
Administrasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP). Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu, Bawaslu juga memiliki jajaran
yang bersifat permanen hingga tingkat Provinsi yang dikenal
3 Ibid, hal. 14
dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi.
Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota hingga desa, masih
bersifat ad hoc (sementara).
1.2 Pokok permasalahan
1. Apakah Pejabat bawaslu termasuk pejabat tata usaha
negara?
2. Apakah putusan bawaslu dapat dijadikan objek sengketa
tata usaha negara?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apakah pejabat bawaslu termasuk
pejabat tata usaha negara?
2. Untuk mengetahui apakah putusan bawaslu dapat
dijadikan objek sengketa tata usaha negara?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Di dalam konteks Hukum Administrasi Negara, Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara merupakan penyelenggara tindak administrasi negara yang
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan untuk kepentingan umun. Tugas
penyelenggaraan kepentingan umum dijalankan oleh alat pemerintahan yang dapat
berwujud4:
a. Seorang petugas (fungsionaris) atau badan pemerintahan yang berdasarkan
peraturan-peraturan perundang-undangan diberikan kewenangan untuk
menyatakan kehendak pemerintah/penguasa
b. Badan pemerintahan yaitu kesatuan hukum yang dilengkapi dengan
alat/kewenangan memaksa (coersive).
Selanjutnya menurut pendapat Utrecht menyebutkan ada sembilan macam
penyelenggara kepentingan kolektif oleh administrasi negara adalah:
a. Administrasi negara sendiri
b. Subjek badan hukum lain yang tidak termasuk Administrasi negara dan
mempunyai hubungan istimewa/biasa dengan pemerintah yang diatur oleh
hukum privat atau publik
c. Subjek hukum lain yang tidak termasuk Administrasi negara yang
menjalankan pekerjaannya berdasarkan suatu konsesi atau izin dari pemerintah
d. Subjek hukum yang tidak termasuk Administrasi negara yang diberikan
subsidi oleh pemerintah
e. Pemerintah bersama subjek hukum lain dan keduanya tergabung dalam suatu
perseroan terbatas
f. Yayasan yang didirikan atau diawasi pemerintah
g. Koperasi yang dipimpin atau diawasi pemerintah
h. Perusahaan negara
i. Subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara yang diberikan
kekuasaan memerintah (didelegasi oleh peraturan perundang-undangan)
4 Safri Nugraha, et al., Hukum Administrasi Negara (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 84-85
Menurut Indroharto, untuk menangkap definisi apa yang dimaksud dengan Badan
atau Jabatan Tata Usaha Negara sebagai organ dari suatu lembaga hukum publik,
dapat kita dekati menurut dua cara5:
a. Pertama sebagai organ-organ dari suatu lembaga hukum publik yang menjadi
induknya
b. Kedua sebagai jabatan-jabatan Tata Usaha Negara yang memiliki wewenang-
wewenang pemerintahan
Dalam banyak hal antara keduanya adalah identik satu dengan yang lain tetapi tidak
selalu demikian. Untuk hukum Tata Usaha Negara cara pendekatan yang kedualah
yang mempunyai arti penting. Karena menurut pendekatan kedua tersebut, Badan atau
Jabatan Tata Usaha Negara itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku memiliki wewenang pemerintahan. Yang dimaksud di sini adalah
“kewenangan untuk membentuk hukum positif serta mempertahankannya”.
2.2 Pengertian Tindakan Administrasi Negara
Tindakan Administrasi Negara dibagi menjadi 2 yang terdiri dari tindakan
material dan tindakan hukum. Dalam hukum administrasi yang penting untuk
diperhatikan adalah tindakan hukum karena akan menimbulkan akibat hukum
terhadap warga masyarakat yang terkena tindakan tersebut. Beberapa pendapat dari
para sarjana mendefinisikan Tindakan Administasi Negara sebagai berikut6:
1. Van Vollenhoven mendefinisikan Tindakan Administrasi Negara sebagai
pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri
oleh penguasa tinggi dan rendah (prinsip hierarki)
2. Romeyn mendefinisikan sebagai setiap tindakan dari satu alat perlengkapan
pemerintahan, juga di luar lapangan Hukum Tata Pemerintahan. Misalnya
keamanan dan peradilan yang bermaksud menimbulkan akibat hukum di
bidang hukum administrasi
5 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 666 Op.cit, hal. 86
3. Van Poelje berpendapat tindak pemerintah merupakan manifestasi atau
perwujudan bestuur
2.2.1 Tindakan Hukum Administrasi Negara
Secara garis besar, Tindakan Hukum Administrasi Negara dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu: (1) Tindakan Hukun Administrasi Negara dalam
Bidang Hukum Publik; (2) Tindakan Hukum Administrasi Negara dalam
Bidang Hukum Privat. Di dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas
Tindakan Hukum Administrasi Negara dalam Bidang Hukum Publik.
Tindakan Hukum Administrasi Negara dalam bidang hukum publik
merupakan tindakan hukum sepihak yang dilakukan pemerintah dan khusus
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan berdasarkan wewenang yang luar
biasa. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur yang
terdapat dalam Tindakan Hukum Administrasi Negara dalam bidang hukum
publik yaitu sebagai berikut7:
1. Tindakan Hukum
Sebagai tindakan hukum, maka tindakan tersebut melahirkan hak dan
kewajiban
2. Sepihak
Tindakan itu harus mengatur dan memaksa, tindakan hukum tersebut
dilaksanakan sepihak oleh pemerintah dalam bentuk yang diterapkan
penanganannya oleh kekuatan hukum yang mengikatnya
3. Di bidang pemerintahan
Tidak dapat merambah ke dalam bidang lain (legislatif dan atau yudikatif)
walaupun dalam praktik ketiga kekuasaan tersebut sulit untuk dipisahkan
secara tegas
4. Berdasarkan wewenang luar biasa
7 Ibid, hal. 88
Menurut Prins, kekuasaan diperoleh dari Undang-Undang yang diberikan
khusus/istimewa pada pemerintah tidak diberikan pada badan swasta
Tindakan Hukum Administrasi Negara dalam bidang hukum publik dapat terdiri dari
2 bagian, yaitu8:
1. Tindakan Hukum Administrasi Negara bersegi 2
Dalam tindakan hukum yang bersegi 2 (perjanjian) ada persesuaian kehendak
antara dua pihak yang diatur oleh hukum istimewa yaitu peraturan hukum
publik bukan diatur dengan hukum biasa (KUHPer). Contohnya seperti
kontrak karya antara pemerintah dengan perusahaan asing berdasarkan UU
No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
2. Tindakan Hukum Administrasi Negara bersegi 1
Di dalam tindakan hukum yang bersegi 1 akan dihasilkan berbagai keputusan
dalam arti luas, antara lain:
a. Pengaturan
Yaitu keputusan pelaksanaan, sifat keputusan ini adalah umum,
abstrak, dan berlaku terus menerus (disebut juga delegated legislation)
b. Rencana (plan)
Menurut Prajudi Atmosudirjo rencana merupakan seperangkat
tindakan terpadu dengan tujuan agar tercipta suatu keadaan yang tertib
bilamana tindakan tersebut selesai direalisasikan. Suatu rencana
menunjukkan kebijakan yang akan dijalankan oleh Administrasi Negara
pada suatu lapangan tertentu. Belinfante mengungkapkan rencana adalah
keseluruhan peraturan yang mengusahakan terwujudnya suatu keadaan
tertentu yang teratur. Hanya perencanaan yang berdasarkan undang-
undang yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi rakyat. Rencana
ekonomi tidak mempunyai akibat hukum secara langsung bagi warga
negara. Akan tetapi, bagi pemerintah dan pembuat undang-undang hal itu
dapat merupakan suatu sebab pengambilan langkah-langkah yang
berakibat hukum. Rencana Tata Ruang Tahunan mempunyai ikatan hukum
langsung dengan masyarakat.
8 Ibid, hal 89-91
De Haan dan Fernhout membedakan tiga jenis rencana yaitu:
1. Rencana informatif yaitu kumpulan prognosa yang akan terjadi pada
tahun mendatang. Jenis rencana ini tidak membawa akibat hukum
apapun bagi warga
2. Rencana indikatif yaitu kumpulan niat rencana kebijaksanaan seperti
nota perencanaan pendidikan tinggi. Jenis rencana ini tidak membawa
akibat hukum secara langsung tetapi merupakan kerangka
kebijaksanaan untuk tindakan hukum atau materiil oleh pemerintah
3. Rencana normatif yaitu rencana yang mengandung norma hukum yang
mengikat bagi warga dan pemerintah. Contohnya yaitu Rencana Tata
Kota, Rencana pemberian subsidi, Rencana pembebasan tanah
c. Norma jabaran
Belinfante menyebut norma jabaran sebagai norma konkret, yaitu suatu
tindakan hukum Administrasi Negara yang dapat memberikan isi yang
konkret serta pelaksanaan praktis menurut waktu dan tempat pada
ketentuan umum yang mengikat. Norma konkret terjadi karena
keterbatasan kemampuan pembuat undang-undang. Hal ini dikarenakan,
pertama pembuat undang-undang tidak mungkin mengatur secara rinci
karena prosedur pembuatan undang-undang berat, lamban, dan formal.
Oleh karena itu, menyerahkan rinciannya kepada Administrasi Negara.
Delegasi peraturan perundang-undangan terjadi karena alasan yang
bersifat pragmatis. Kedua, pembuat undang-undang hanya memberikan
peraturan yang umum, untuk konkretisasi secara khusus diserahkan pada
Administrasi Negara.
d. Legislasi Semu
Penciptaan peraturan hukum oleh Administrasi Negara yang
dimaksudkan sebagai garis-garis pedoman pelaksanaan kebijakan untuk
menjalankan suatu ketentuan undang-undang dan dipublikasikan secara
luas. Dengan demikian, timbul hukum bayangan yang membayangi
undang-undang atau hukum yang bersangkutan. Legislasi semu berasal
dari kewenangan diskresi yang pada umumnya dipakai untuk menetapkan
kebijakan pelaksanaan ketentuan undang-undang. Dengan kata lain,
hukum asli berasal dari legislator sedangkan hukum bayangan berasal dari
Administrasi Negara. Contoh dari legislasi semu adalah garis-garis
pedoman kerja yang dimiliki oleh setiap kementrian dalam menjalankan
fungsi pemerintahan.
e. Penetapan (Beschikking)
Penetapan adalah tindakan hukum sepihak oleh Administrasi Negara
dalam rangka realisasi suatu kehendak atau ketentuan peraturan perundang
– undangan yang bersifat konkrit, kasuistis, final, dan individual. Semua
penetapan yang diambil oleh Administrasi Negara dimuat dalam suatu
keputusan dan pada umumnya keputusan dibuat secara tertulis dalam
bentuk SK (Surat Keputusan), surat biasa, surat edaran, ataupun berupa
disposisi di bagian samping surat permohonan yang bersangkutan.
Terdapat 3 jenis keputusan yaitu: (1) Keputusan negatif; (2) Keputusan
yang hanya berlaku sekali; (3) Keputusan positif. Kepututsan positif terdiri
dari 5 jenis yaitu: (1) Keputusan yang menciptakan keadaan hukum baru
pada umumnya; (2) Keputusan yang menciptakan keadaan hukum baru
hanya pada objek tertentu saja; (3) Keputusan yang
membentuk/membubarkan badan hukum; (4) Keputusan yang memberikan
beban/kewajiban; (5) Keputusan yang memberikan keuntungan kepada
instansi, badan usaha, atau perorangan. Contohnya seperti izin, dispensasi,
lisensi, dan konsesi.
2.3 Pejabat Tata Usaha Negara dalam perspektif UU No. 5 tahun 1986
Di dalam Pasal 1 ayat 2 UU No. 5 tahun 1986 yang dimaksud dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Di dalam pasal tersebut terdapat 3 unsur penting yang harus
didefinisikan terlebih dahulu yaitu: (1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
(2) Melaksanakan urusan pemerintahan; (3) Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah keseluruhan aparat
pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada suatu saat melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan. Undang-
Undang ini membakukan namanya dengan sebutan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Jadi, apapun dan siapapun yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada suatu saat melaksanakan suatu urusan
pemerintahan, maka menurut Undang-Undang ini dapat dianggap sebagai
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Di dalam Undang-Undang ini yang
menjadi acuan bukanlah kedudukan struktural organ atau pejabat yang
bersangkutan dalam jajaran pemerintah atau nama resminya melainkan fungsi
pemerintahan yang dilaksanakan pada suatu saat. Apabila fungsi yang
dilaksanakan itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang merupakan
suatu urusan pemerintahan (public services), maka Badan atau Pejabat tersebut
dapat dianggap sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal ini,
apabila suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku memerintahkan
kepada suatu lembaga atau badan hukum untuk menyelenggarakan suatu
fungsi pemerintahan maka lembaga atau badan hukum tersebut merupakan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara walaupun berada di luar jajaran
kekuasaan eksekutif. Hal ini juga membuka kemungkinan kepada pihak
swasta menjadi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara apabila berdasarkan
peraturan perundang-undangan tertentu diberi tugas untuk melaksanakan
urusan pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti
pendidikan, kesejahteraan rakyat, dan kesehatan.
2.4 Tindakan Hukum Administrasi Negara dalam perspektif UU No. 5 tahun
1986
Dalam konteks ini yang akan dibahas adalah pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Di dalam pasal ini yang dimaksud dengan
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Di dalam rumusan
pasal ini terdapat 4 unsur yang perlu dielaborasikan: (1) Penetapan tertulis; (2)
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; (3) Berisi Tindakan
Hukum Tata Usaha Negara; (4) Bersifat konkret, individual, dan final
1. Penetapan tertulis
Berdasarkan penjelasan pasal 1 ayat (3) UU No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, maka yang dimaksud dengan “penetapan
tertulis” menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan
tersebut memang harus tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah
bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian.
Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis
tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara menurut Undang-Undang ini apabila sudah jelas.
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di
dalamnya
Sementara itu, kata “penetapan” dalam penetapan tertulis yang dimaksud
menunjuk kepada isi hubungan hukum yang ditetapkan dalam Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan yang dapat berupa:
- Kewajiban-kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau
untuk membiarkan sesuatu
- Pemberian suatu subsidi atau bantuan
- Pemberian izin
- Pemberian suatu status
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Di dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) UU No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yang
melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Sehingga dalam hal ini yang
dimaksud dengan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat eksekutif atau pemerintahan
3. Berisikan Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Di dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) UU No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dengan Tindakan Hukum
Tata Usaha Negara adalah Perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara \yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha
Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain
4. Bersifat konkrit, individual, dan final
Di dalam penjelasan Pasal 1 ayat (3) UU No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dengan konkret artinya objek
yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak
tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan. Contohnya keputusan
mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai
pegawai negeri. Selain bersifat konkret, Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut juga harus bersifat individual yang artinya Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat
maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap
nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Contohnya, keputusan
tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang
menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Selain
itu, Keputusan Tata Usaha Negara tersebut juga harus bersifat final yang
artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau
instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan
suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Contohnya
Keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan
dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
\
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan:
1. Pejabat Bawaslu merupakan Pejabat Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan
Pejabat Bawaslu berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu diamanatkan
sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu yang menurut kelompok kami
masih termasuk ke dalam urusan pemerintahan. Oleh sebab itu berdasarkan
UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud
dengan Pejabat Tata Usaha Negara adalah Pejabat yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan, maka Pejabat Bawaslu merupakan Pejabat Tata Usaha
Negara
2. Walaupun Bawaslu merupakan Pejabat Tata Usaha Negara namun keputusan
penyelesaian sengketa yang dibuat oleh Bawaslu terkait dengan sengketa
verifikasi calon anggota DPR bukan merupakan Keputusan Tata
Usaha Negara karena keputusan penyelesaian sengketa yang dibuat oleh
Bawaslu bukan merupakan keputusan yang dikeluarkan untuk melakukan
kegiatan yang bersifat eksekutif melainkan keputusan yang dikeluarkan dalam
rangka fungsi yudikatif.
Daftar Pustaka
Atmosudirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Nugraha, Safri., et.al. Hukum Administrasi Negara. Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Trisulo, Evy. Konfigurasi State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Pemerintahan
Indonesia. Depok: Universitas Indonesia, 2012.
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara