MAKALAH 3 PMDA

27

Click here to load reader

description

tugas kuliah

Transcript of MAKALAH 3 PMDA

Page 1: MAKALAH 3 PMDA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia saat ini sedang menjalankan upaya desentralisasi yang paling cepat dan

meluas yang pernah ada dalam sejarah, dimotori oleh kekuatan-kekuatan politik regional

yang muncul sejak jatuhnya pemerintahan Suharto yang sentralistik dan otoriter.

Walaupun besar dan beragam, Indonesia pada waktu itu memiliki sistem administrasi

dan fiskal yang sangat terpusat. Dalam fiskal 1999, misalnya, pemerintah pusat

mengumpulkan 94 persen dari pendapatan pemerintah secara umum dan sekitar 60

persen dari pengeluaran daerah dibiayai oleh transfer dari pusat. Sistem ini

memperlemah hubungan antara permintaan lokal dan pengambilan keputusan dalam hal

pelayanan publik lokal, mengurangi akuntabilitas lokal, dan membuat alokasi yang

bersifat ad hoc dari sumberdaya fiskal di seluruh daerah.

Desentralisasi mencakup beberapa makna yang mencakup hal-hal berikut yaitu

distribusi kewenangan dari pusat ke daerah, yang berarti distribusi kewenangan

pemerintah pusat dalam bentuk kewenangan dekonsentrasi dan delegasi kewenangan.

Yang pertama adalah pemberian kewenangan ke organ pemerintah pusat di daerah dan

yang kedua adalah delegasi kewenangan dari pemerintah pusat ke organ lokal.

Sebaliknya, devolusi kewenangan berarti perpindahan kewenangan dari pemerintah pusat

ke daerah yang disertai dengan realokasi sumber penerimaan dan pembiayaan.

Demokratisasi adalah suatu proses dalam sistem suatu negara menuju bentuk

demokrasi,dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa,

pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat dan untuk rakyat.

Keterkaitan antara desentralisasi dan demokrasi kemudian melahirkan konsep

desentralisasi-demokratis atau mode l otonomi daerah berbasis masyarakat (ODBM).

Secara prinsipil, ODBM adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi, dan

demokrasi yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Semuanya berawal dari

masyarakat dan dikembalikan untuk masyarakat. Yaitu otonomi daerah yang dibangun

“dari” partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab

“oleh” masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif “untuk” masyarakat. Dilihat dari

1

Page 2: MAKALAH 3 PMDA

bawah, otonomi daerah berarti ruang dan kapasitas daerah melakukan akses terhadap

proses kebijakan di tingkat pusat, supaya kebijakan pusat mempunyai basis yang

legitimate di hadapan masyarakat lokal. Dari segi proses, pembuatan kebijakan regional

dan nasional harus berlangsung melalui partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat

tidak semata dijadikan sebagai obyek kebijakan. ODBM juga identik dengan konsep

desentralisasi demokratis (democratic decentra lisa tion) , yakni sebagai bentuk

pengembangan hubungan sinergis antara pemerintah pusat dengan pemerintah lokal dan

antara peme rintah lokal dengan warga masyarakat.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui wacana desentralisasi dan demokrasi yang ada di indonesia

Untuk mengetahui masalah desentralisasi dan demokrasi yang ada di indonesia

2

Page 3: MAKALAH 3 PMDA

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Distorsi Wacana

Praktik otonomi daerah di era refomasi yang dibingkai oleh UU No. 22/1999

mempunyai sejumlah kemajuan ketimbang otonomi daerah masa lalu, tetapi secara

empirik juga meni mbulkan sejumlah paradoks dan masalah yang kompleks.

Paradigma otonomi daerah di atas kertas (formalistik) sudah banyak yang berubah

tetapi tidak diikuti dengan perubahan pola pikir (pemahaman) secara substantif terhadap

otonomi daerah. Banyak orang mempunyai pemahaman secara keliru terhadap otonomi

daerah, yang akan saya beberkan di bawah.

Pertama, otonomi daerah dalam negara kesatuan berbeda dengan otonomi daerah

dalam negara serikat (federal). Wacana ini umumnya dikemukakan oleh para pendukung

status quo sentralisme, terutama pemerintahan Megawati dan pendukungnya. Dengan

terus-menerus mereproduksi wacana negara kesatuan, rezim Megawati ingin

menunjukkan kontrol yang terpusat kepada daerah, dan kelihatannya ia mengidap

“malaise psikologis” terhadap gagasan otonomi daerah yang seluas-luasnya.

Kedua, kewenangan selalu menjadi perhatian utama otonomi daerah, sehingga perlu

diatur secara tegas. Pandangan ini lebih bersifat instrumentalis ketimbang pandangan

3

Page 4: MAKALAH 3 PMDA

yang substantif. Kalau bicara tentang regulasi maka substansinya adalah kewenangan,

kalau bicara tentang kewenangan maka pemilik otonomi hanya pemerintah.

Ketiga, otonomi daerah dipahami sebagai otonomi dalam hal uang. Sudah sangat lama

berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi daerah,

yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama

dalam bidang keuangan: autonomy means automoney.

Keempat, dalam wacana publik selalu terdengar bahwa daerah belum siap dan belum

mampu. Wacana ini tidak hanya diungkap oleh elite Jakarta, tetapi juga masyarakat luas.

Indikator yang digunakan untuk mengukur kesiapan dan kemampuan adalah uang dan

juga kapasitas SDM.

Kelima, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya

untuk memfasilitasi daerah. Wacana ini direproduksi terus-menerus oleh berbagai pihak.

Banyak orang khawatir, jangan-jangan dengan otonomi ini pusat akan melepaskan

sepenuhnya kepada Daerah, terutama dalam bidang keuangan. Orang lebih takut pada

hilangnya subsidi dari pusat, tetapi tidak begitu khawatir terhadap campur tangan pusat.

Sebagai konsekuensi negara kesatuan, pusat tetap berkewajiban memberikan subsidi

pada daerah, bertanggungjawab terhadap supervisi pelaksanaan pelaksanaan otonomi

daerah tidak beres, maka kambing hitamnya bukan hanya daerah tetapi juga pusat yang

harus dijadikan sebagai terdakwa karena pusat tidak memberikan uluran tangan melalui

subsidi, supervisi dan capacity building. Toh UU No. 22/1999 telah menganut falsafah

”no mandate without funding”, yang berarti setiap pemberian kewenangan dari

pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup.

Keenam, dengan otonomi daerah daerah bisa melakukan apa saja. Keleluasaan

memang merupakan inti otonomi daerah, tetapi bukan keleluasaan yang liar. Para

penganjur desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah, bagaimanapun tetap mendorong

keleluasaan yang didasarkan pada prinsip local accountability. Kalau meminjam bahasa

klasik adalah “kebebasan yang bertanggungjawab”. Setiap kebijakan dan tindakan

pemerintah daerah harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, tidak bertentangan

dengan kepentingan umum, serta harus berbasis pada aspirasi masyarakat. Sebagai

contoh, pemda tidak bisa membabibuta membuat Perda untuk mengeruk pajak dan

retribusi, tetapi ternyata perda itu bertentangan dengan UU (tidak ada akuntabilitas legal)

dan merugikan masyarakat (tidak ada akuntabilitas politik). Kalau pemda tidak sensitif

4

Page 5: MAKALAH 3 PMDA

terhadap persoalan akuntabilitas legal dan akuntabilitas politik itu, maka ia akan

menghadapi krisis legitimasi dan kepercayaan masyarakat, yang bakal mendorong

masyarakat melakukan perlawanan terus-menerus terhadap pemda.

Ketujuh, otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan

memindahkan korupsi ke daerah. Wacana ini berkembang sangat kuat karena memang

bersandar pada sejumlah bukti-bukti empirik di daerah, misalnya arogansi daerah dan

meluasnya korupsi yang dilakukan oleh pemda dan DPRD. Problem ini muncul karena

lemahnya akuntabilitas dan kontrol masyarakat. Korupsi terjadi karena tidak ada

demokrasi di daerah. Secara formal UU sebenarnya telah menghapus “penguasa tunggal”

yang dulu direkayasa oleh Orde Baru. Namun, secara empirik, untuk membangun

akuntabilitas dan pemerintahan yang bersih sangat membutuhkan hadirnya kontrol

elemen-elemen masyarakat sipil seperti ormas, LSM, pers, organisasi petani,

ombudsman, dan lain-lain. Elemen-elemen ini harus membangun jaringan untuk

melakukan daily control terhadap sepak terjang pemda dan DPRD.

Kedelapan, otonomi daerah merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan

kesempatan pada “putera daerah”. Wacana keasilan (nativisme) ini sudah lama muncul

sejak Orde Baru, yang dimaksudkan untuk melawan campur tangan atau titipan dari

Jakarta ketika terjadi pemilihan kepala daerah. Sekarang di era otonomi daerah, wacana

sangat kuat berkembang. Wacana putera daerah sekarang tidak lagi dimaksudkan untuk

melawan intervensi pusat, tetapi lebih bernuansa politik yang eksklusif dan nativis.

Dalam era otonomi daerah dan demokrasi, wacana putera daerah sebenarnya tidak terlalu

relevan, karena tidak sesuai dengan prinsip pluralisme dan inklusivitas. Daerah lebih

baik dipimpin oleh orang luar yang sudah lama “mengabdi” dan mempunyai komitmen

yang serius, daripada dipimpin oleh putera daerah yang sudah lama tercerabut dari

lokalitas karena mengembara di tempat lain. Oleh karena itu, otonomi daerah bukan

sebagai arena untuk membangkitkan nativisme tetapi untuk memupuk pluralisme.

Kesembilan, otonomi daerah merupakan kesempatan bagi daerah untuk melakukan

kapling-kapling wilayah dan kekayaannya. Wacana ini berkembang luas dan bahkan

dipraktikkan secara empirik di daerah, bahkan di tingkat desa. Banyak daerah yang

rebutan lahan, banyak desa yang saling berebut sumber air maupun tanah bengkok.

Bagaimanapun masalah eksternalitas tidak bisa dihindari. Banyak sumberdaya suatu

daerah berada di daerah lain, banyak masalah di sebuah daerah yang mempunyai akibat

5

Page 6: MAKALAH 3 PMDA

pada daerah lain, misalnya limbah pabrik yang mengalir dari satu daerah ke daerah lain.

Dalam otonomi daerah, problem klaim dan kapling itu sebenarnya bisa diselesaikan

melalui kontrak kerjasama antar daerah yang menguntungkan satu sama lain.

Daftar Masalah

Paradigma baru otonomi daerah yang hanya bersifat formalistik, pemahaman yang

keliru, komitmen elite yang sangat lemah, kepemimpinan nasional yang lemah tetapi tetap

ingin dominan, dan seterusnya menyebabkan praktik otonomi daerah mengandung

sejumlah masalah krusial. Ada sejumlah problem krusial populer yang hendak saya

tampilkan di bawah ini.

1. Perebutan kewenangan, lempar tanggungjawab

Konflik kewenangan antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan juga desa merupakan

masalah klasik yang hampir setiap hari bisa dibaca di media massa. Ujung konflik adalah

perebutan sumberdaya. Kalau sudah bicara soal kewenangan antar tingkatan pemerintahan

akan melakukan klaim, tetapi kalau sudah sampai pada tanggungjawab atau kewajiban

mereka saling cuci tangan atau lempar tanggungjawab. Antara pusat dan daerah kini terus

berebut soal pertanahan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, otorita, kehutanan, PTP,

pertambangan, TKI, dan lain-lain. Dulu dari pengadaan sampai perawatan terhadap aset-

aset itu ditanggung oleh pusat, dan semua hasilnya disedot ke Jakarta. Sekarang di era

otonomi daerah, berhubung aset-aset gemuk itu berada di wilayah daerah, maka daerah

berusaha merebut kewenangan dari pusat. Tetapi kalau sudah berurusan dengan jalan

rusak, banjir, bencana, pengungsian, dll, maka antara pusat dan daerah saling lempar

tanggungjawab. Orang pusat akan mengatakan bahwa jalan rusak merupakan

tanggungjawab daerah karena sudah diserahkan pada daerah. Sebaliknya orang daerah

mengatakan, biarkan jalan rusak itu urusan pusat karena sejak dulu menjadi proyeknya

orang pusat.

2. Masalah rekrutmen lokal

Rekrutmen lokal secara formal dijamin lebih terbuka dan kompetitif. Akan tetapi

rekrutmen kepala daerah yang terbuka dan demokratis itu juga diikuti dengan keterbukaan

praktik money politics. Sudah menjadi rahasia umum di berbagai daerah, bahwa para calon

6

Page 7: MAKALAH 3 PMDA

kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli secara langsung suara para anggota

DPRD maupun membayar kelompok-kelompok sosial (pers, LSM, ormas, preman) untuk

membuat opini publik.

3. Masalah DPRD

DPRD di era otonomi daerah sangat kuat. Akan tetapi, secara empirik, DPRD

sekarang mengidap banyak penyakit yang membuat muak banyak orang. Penyakit DPRD

sekarang jauh lebih kompleks ketimbang penyakit dulu: datang, duduk, dengar, dan duit

(D4). DPRD telah melampaui batas-batas kewenangannya dari sekadar fungsi pengawasan

menjadi fungsi peradilan, jauh lebih arogan, campur tangan terlalu dalam dalam urusan

birokrasi sipil, korup, tidak peka terhadap aspirasi rakyat, dan seterusnya. Di berbagai

daerah, praktik perampasan terhadap keuangan daerah baik secara terang-terangan maupun

korupsi, dilakukan oleh DPRD, sehingga muncul suara publik bahwa kantor DPRD adalah

“sarang koruptor”.

4. Masalah Keuangan Daerah

Keuangan daerah merupakan problem yang sangat krusial dalam implementasi

otonomi daerah. Masalah pertama yang paling kontroversial adalah pemda yang sangat

bernafsu mengeruk PAD. Tampaknya jargon autonomy is automoney merupakan

ortodoksi (ideologi) yang dipegang kuat oleh pemda. Ada sentimen kuat bahwa otonomi

akan benar-benar "nyata" apabila daerah bisa meningkatkan peran PAD terhadap anggaran

daerah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) yang selama ini kurang dari

20%. Nafsu membara itu tercermin dari berbagai pungutan pemerintah daerah secara legal

(dilegalkan dengan Perda) yang merebak di beberapa tempat. Pemda mengeruk pajak dan

retribusi yang merugikan masyarakat. Ada yang merupakan pungutan lama yang pernah

dihapus dengan berlakunya UU No 18 Tahun 1997, dan tidak sedikit pula pungutan-

pungutan baru.

5. Inovasi yang Lambat

Desentralisasi dan demokrasi lokal tentu menuntut reformasi birokrasi dan inovasi

penyelenggaraan pemerintahan. Banyak pemerintah daerah, terutama sosok bupati, secara

sadar memprakarsai inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Banyak daerah telah

mengadopsi gagasan good governance dan reinventing government sebagai bingkai

7

Page 8: MAKALAH 3 PMDA

inovasi pemerintahan daerah. Setiap pemerintah daerah sekarang sibuk membuat rencana

strategis sebagai pijakan untuk mengarahkan agenda pembangunan, pemerintahan dan

perumusan anggaran daerah. Pemda Kebumen telah menggariskan visi ke depan dan

melakukan kampanye media besar-besaran untuk mempromosikan local good governance.

Kota Surakarta telah melangkah lebih maju menerapkan model perencanaan pembangunan

secara partisipatif. Pemda Solok adalah “pelari terdepan” dalam desentralisasi yang maju

terdepan dalam mendorong desentralisasi kewenangan dan keuangan kepada nagari.

Demikian juga dengan kabupaten Selayar yang maju dalam melakukan devolusi keuangan

kepada desa secara lebih pasti. Dan lain-lain.

Tentu saja berbagai inovasi itu tidak cukup merata di semua daerah. Banyak

kabupaten yang tidak sempat berpikir tentang inovasi pemerintahan karena bupatinya

sibuk mengumpulkan harta haram melalui korupsi, seperti yang terjadi di Klaten dan

Kepulauan Riau. Bahkan inovasi yang terjadi di sebuah kabupaten pun masih terbatas

pada penampilan sosok bupati.

6. Masalah Ketidakpercayaan (Distrust)

desentralisasi dan demokrasi lokal telah mendorong tumbuhnya kemitaraan dan

kerjasama yang terbuka antara pemerintah daerah dengan unsur-unsur nonpemerintah.

Banyak bupati sangat sadar bahwa kemajuan daerah harus dibangun dengan kemitraan

strategis antara pemerintah daerah, sektor swasta dan elemen-elemen masyarakat sipil

(seperti NGO dan perguruan tinggi). Mereka mulai membuka diri membangun kemitraan

dengan NGO lokal maupun internasional untuk keperluan partisipasi dalam perencanaan

pembangunan, penelitian, pelatihan maupun asistensi teknis lainnya. Sejauh yang bisa

dilihat, ada perubahan model kemitraan dari era sebelumnya ke era sekarang. Model

kemitraan di masa lalu sangat bersifat subordinatif, yang menempatkan lembaga mitra

(konsultan, perguruan tinggi, LSM) sebagai “tukang” bayaran untuk membantu (baca:

menjustifikasi) kerja-kerja proyek pemerintah daerah tanpa proses pembelajaran dan

menyentuh problem-problem krusial dalam dalam masyarakat. Meskipun paradigma itu

belum hilang secara sempurna, tetapi model kemitraan sekarang mulai mengarah pada

semangat keseteraan dan pembelajaran.

Di sisi lain kemitraan akan menumbuhkan trust serta membuat lembaga-lembaga

mitra sebagai struktur mediasi yang menjembatani respons pemerintah daerah dengan

8

Page 9: MAKALAH 3 PMDA

partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat. Perpaduan antara respons dan partisipasi

akan membuka ruang-ruang publik di daerah serta mendorong akuntabilitas pemerintah

daerah dan membuat kebijakan lokal lebih legitimate di mata masyarakat. Tetapi,

desentralisasi dan demokrasi lokal juga menyajikan problem rendahnya kepercayaan,

bahkan distrust, antar elemen. Partai dan parlemen lokal adalah dua elemen utama yang

menunai badai distrust paling serius di mata masyarakat karena keduanya tidak

mempertanggungjawabkan mandat yang telah diberikan oleh rakyat.

7. Masalah Desentralisasi dan Otonomi Desa

Desa sejak lama berada dalam konteks formasi negara (state formation) yang

hirarkhis-sentralistik. Pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud konkret self-

governing community yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan desa punya

“otonomi asli” karena usianya jauh lebih tua ketimbang negara atau kabupaten. Tetapi

kehidupan desa tidaklah tunggal dan homogen, karena masuknya negara dan modal ke

desa. Ketika desa sudah diintegrasikan ke negara, self-governing community tidak ada lagi.

Tangan-tangan negara ikut bermain di desa. Negara juga menjadikan desa sebagai

“keranjang sampah”, yang membawa semua urusan politik, pembangunan, dan

administratif ke desa. Negara juga bertindak menjadi pengawal masuknya modal ke desa

sehingga terjadilah kapitalisasi yang sudah dimulai sejak Revolusi Hijau.

Praktik desentralisasi desa mulai dari kebijakan sampai praktik empirik pengelolaan

kekuasaan, mengandung sejumlah kelemahan :

pertama bisa dilihat dari sisi paradigmatik atau pemahaman terhadap

desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah

kerapkali dipahami secara sempit hanya sebagai bentuk penyerahan urusan

secara administratif, otonomi dalam keuangan, maupun pengelolaan

kewenangan pemerintah.

kedua bisa dibidik dari sisi kebijakan maupun regulasi pemerintah. UU No.

22/1999 justru lebih menekankan otonomi daerah berbasis pada

kabupaten/kota, sehingga tidak memberikan jaminan formal bagi otonomi

desa.

ketiga, dari sisi praktik empirik, desa hanya mempunyai kewenangan yang

sangat terbatas karena semuanya telah dikuasai kabupaten/kota. Setiap urusan

9

Page 10: MAKALAH 3 PMDA

pemerintahan dan keuangan desa dikendalikan dengan regulasi kabupaten.

“Pembagian tanah bengkok dan pengarem-arem saja, kabupaten campur

tangan ke desa.

8. Masalah Demokratisasi Desa

Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi

antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para

perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas

kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program

pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan

kontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desa adalah sebagai

kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-

menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap

sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan

masyarakat.

Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi

pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades.

Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung

mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu

mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini

sering menjadi problem yang serius. Lemahnya transparansi adalah problem lain yang

melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan,

keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam kotak

hitam oleh elite desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai.

Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui

informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara

transparan ketika melakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di mata

birokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada warga masyarakat. Tetapi

sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya

berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan

hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga.

10

Page 11: MAKALAH 3 PMDA

Lemahnya partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat merupakan sisi lain dari

lemahnya praktik demokrasi di tingkat desa. Di zaman Orde Baru, dua institusi yang

seharusnya menjadi basis partisipasi (LMD dan LKMD) ternyata tidak memainkan peran

penting mewadahi partisipasi masyarakat, karena keduanya adalah institusi korporatis

untuk pengendalian masyarakat dan wadah oligarki elite desa. Sampai sekarang, elite desa

tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang partisipasi. Bagi kepala desa,

partisipasi adalah bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan

pemerintah desa. Karena mengikuti instruksi dari atas, pemerintah desa memobilisasi

gotong-royong dan swadaya masyarakat (yang keduanya dimasukkan sebagai sumber

penerimaan APBDes) untuk mendukung pembangunan desa yang didesain secara

sentralistik.

Alasan mengapa praktik desentralisasi dan demokrasi lokal masih menghadapi

sejumlah masalah.

Alasan mengapa praktik desentralisasi dan demokrasi lokal masih menghadapi

sejumlah kerentanan dan bermasalah adalah karena pada sejumlah daerah di Indonesia

pada umumnya mewarisi tradisi politik feodal, otoritarian, birokratis dan sentralistik.

Para gubernur misalnya, sangat marah karena kekuasaannya atas bupati-bupati dipreteli

oleh UU No. 22/1999. Gubernur sekarang tidak bisa lagi memerintah bupati,

memanipulasi DAU, atau mengutip pajak-pajak daerah seperti dulu. Oleh karena itu para

gubernur menuntut agar otonomi daerah diletakkan di provinsi atau meminta agar

kekuasaan dan kewenangan mereka dipulihkan seperti sedia kala. Sementara, bupati

sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. DPRD

Kabupaten/kota sekarang memiliki kekuasaan dan kewenangan luar biasa, yang mereka

gunakan untuk menekan bupati/walikota dengan senjata “Laporan Pertanggungjawaban”.

Tetapi ulah DPRD yang tidak bertanggungjawab itu dengan mudah bisa dipadamkan

oleh bupati/walikota setelah memperoleh kucuran duit, proyek dan fasilitas.

Paradigma patron-klien (yang menekankan hubungan vertikal secara hirarkhis-

sentralistis) memang eksploitatif dan menciptakan ketergantungan. Tetapi penguasa

bawahan sanggup untuk loyal, bertanggungjawab dan memelihara prinsip “Asal Bapak

Senang (ABS)” pada penguasa atasan. Asalkan keuntungan dan kekayaan mereka tidak

11

Page 12: MAKALAH 3 PMDA

diganggu oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat yang dikuasainya. Karena itu, para

penguasa menganggap bahwa desentralisasi dan demokrasi sebagai gangguan jika tidak

mendatangkan keuntungan dan kekayaan bagi mereka. Problem akut dalam praktik

desentralisasi dan demokrasi lokal di Indonesia juga dapat dilihat dari sisi masyarakat.

Kerentanan otonomi daerah di satu sisi dan masih kuatnya dominasi elite di sisi lain

disebabkan karena lemahnya kekuatan masyarakat sipil (civil society).

Ruang publik civil society memang menghadirkan wacana dan gerakan demokratisasi

yang semarak, tetapi polarisasi ideologis dan kepentingan adalah sajian yang jauh lebih

menonjol. Gerakan demokratisasi yang didorong oleh aktor-aktor civil society harus

berhadapan dengan praktik-praktik kekerasan yang dimainkan oleh elemen masyarakat

lainnya. Di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah partai politik bukanlah pendukung

otentik demokratisasi melainkan sebagai bagian dari pemeliharaan status quo yang harus

direformasi. Semua ini memang tidak mengehentikan gerakan demokratisasi meski harus

dibayar dengan risiko kekerasan, tetapi gerakan civil society terseok-seok, tunggang-

langgang dan menghadapi anomalie yang serius.

Agenda Perubahan

Bagaimana membuat desentralisasi dan demokrasi lokal bisa bekerja dengan baik?

Bagaimana mendorong dan mendesakan perubahan? Siapa yang memulai? Dari mana

memulainya? Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut adalah dengan melakukan

sejumlah pendekatan strategis yang biasa digunakan untuk mendorong desentralisasi dan

demokrasi lokal bisa bekerja.

Seperti tabel tipologi pendekatan strategis desentralisasi dan demokrasi yang disajikan

seperti yang ada di bawah ini.

12

Page 13: MAKALAH 3 PMDA

Tipologi pendekatan strategis desentralisasi dan demokrasi lokal

Agen Struktur

Negara

Crafting elite

Konvergensi elite

Kepemimpinan yang kuat

Kerangka kebijakan dan legal.

Capacity building

Reorganisasi dan reformasi

birokrasi

Masyarakat

Pendidikan politik

masyarakat

Penguatan voice aktor-

aktor masyarakat sipil.

Penguatan institusi lokal

Penguatan partisipasi masyarakat

Jaringan sosial

Aksi kolektif organisasi

masyarakat sipil

Bagaimanapun perubahan tidak mungkin berhasil dengan cepat meski dengan

“revolusi sosial”, dan tidak ada satu pun pendekatan yang berjalan dengan baik dan tanpa

kendala adalah karena adanya lingkaran setan yang betul-betul rumit. Masing-masing

pendekatan dapat dianalisis baik secara teoretik dan empirik, yang kemudian penting

untuk membangun pendekatan paling kuat untuk mendesakkan perubahan.

Sebuah pendekatan mengatakan bahwa kondisi transisional masyarakat Indonesia

sekarang ini membutuhkan hadirnya kepemimpinan transformatif, yakni pemimpin

visioner, bersih, berbasis massa, “bertangan besi” dan berani mengambil risiko termasuk

berani menjadi “korban reformasi”. Di Indonesia, solusi kepemimpinan ini hanya masuk

akal secara teoretik, tetapi tidak masuk akal secara empirik. Solusi kepemimpinan

mungkin bersifat voluntaristik, karena tidak ada tanda-tanda cerah yang melahirkan

pemimpin yang bersih, bertangan bersih, dan berbasis massa. Pendekatan lain yang

bersifat voluntaristik adalah konvergensi elite, yang menekankan perlunya konsensus

13

Page 14: MAKALAH 3 PMDA

bersama di kalangan elite untuk membawa Indonesia keluar dari kritis, dan sekaligus

menjadi titik awal untuk membangun Indonesia yang demokratis dan desentralistik. Dalam

hal ini yang menjadi masalah dasarnya bukan terletak pada lemahnya kapasitas, tetapi

pada struktur birokrasi negara yang terlalu besar, dominatif, feodal, korup, dan lain-lain.

Ketika struktur birokrasi ini masih mencengkeram, maka capacity building hanya mampu

membuahkan peningkatan kapasitas personal tetapi tetap tidak mampu membuahkan

perubahan secara institusional.

Birokrasi yang lemah kapasitasnya tetapi tetap dominan selalu menjadi sorotan

publik. Karena itu agenda reformasi birokrasi hanya masuk akal secara teoretis, tetapi

tidak masuk akal secara empirik. Tanpa menafikkan pendekatan yang berpusat pada

negara, pendekatan di sektor masyarakat, terutama pada kuadran keempat (struktur dan

masyarakat), merupakan pendekatan paling kuat untuk mendesakkan perubahan. Sejarah

menunjukkan bahwa transisi demokrasi di belahan dunia dimulai dari kebangkitkan civil

society, bukan karena pemimpin yang bermurah hati. Ada sejumlah agenda dan tantangan

berkelanjutan di arena civil society untuk membuat desentralisasi dan demokrasi lokal

bekerja. Pertama, membuka ruang publik seluas-luasnya secara bebas dan otonom melalui

forum-forum di level komunitas, organisasi masyarakay sipil, organisasi rakyat, kampus

dan seterusnya. Kedua, memprakarsai resolusi konflik dan membina perdamaian,

sekaligus menumbuhkan pluralisme di tengah-tengah konteks multikultural masyarakat.

Ketiga, menggelar pendidikan politik masyarakat di berbagai ranah untuk

mendekonstruksi pendidikan hegemonik massa lalu dan sekaligus mendorong tumbuhnya

kesadaran kritis dan civic culture masyarakat. Keempat, memperkuat institusi lokal,

prakarsa lokal, dan partisipasi masyarakat (voice, akses dan kontrol) masyarakat dalam

proses pemerintahan dan pembangunan. Kelima, mentransformasikan gerakan civil society

yang berbasis pada kelas menengah kota menjadi jaringan dan gerakan sosial secara

massif yang berbasis pada berbagai komunitas dan organisasi rakyat di tingkat lokal.

Meskipun demokratisasi dan desentralisasi dapat menyebabkan banyak masalah baru,

meskipun gerakan civil society untuk perubahan terseok-seok, tetapi semua itu tidak boleh

berhenti. Kita tidak boleh mundur ke belakang. Semuanya harus digerakkan maju untuk

mencapai kemenangan di masa depan. Bagaimanapun juga desentralisasi dan

14

Page 15: MAKALAH 3 PMDA

demokratisasi yang berbasis pada gerakan civil society merupakan kekuatan pendorong

perubahan mencapai masyarakat Indonesia yang makmur, sejahtera dan berkeadilan.

15

Page 16: MAKALAH 3 PMDA

BAB III

KESIMPULAN

Praktik otonomi daerah di era refomasi yang dibingkai oleh UU No. 22/1999

mempunyai sejumlah kemajuan ketimbang otonomi daerah masa lalu, tetapi secara

empirik juga meni mbulkan sejumlah paradoks dan masalah yang kompleks. Perubahan

paradigma otonomi daerah di atas kertas (formalistik) tetapi tidak diikuti dengan

perubahan pola pikir (pemahaman) secara substantif terhadap otonomi daerah. Sehingga

banyak orang mempunyai pemahaman secara keliru terhadap otonomi daerah, yaitu :

Otonomi daerah dalam negara kesatuan berbeda dengan otonomi daerah dalam

negara serikat (federal).

Kewenangan selalu menjadi perhatian utama otonomi daerah. Otonomi daerah

secara sempit dipahami hanya sebagai milik pemerintah daerah, serta tidak lebih

sebagai domain hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, atau

autonomy within bureaucracy.

Otonomi daerah dipahami sebagai otonomi dalam hal uang. yaitu untuk

berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam

bidang keuangan: autonomy means automoney.

Dalam wacana publik selalu terdengar bahwa daerah belum siap dan belum

mampu.

Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk

memfasilitasi daerah.

Dengan otonomi daerah daerah bisa melakukan apa saja.

Otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan

korupsi ke daerah.

Otonomi daerah merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan kesempatan

pada “putera daerah”.

Otonomi daerah merupakan kesempatan bagi daerah untuk melakukan kapling-

kapling wilayah dan kekayaannya

16

Page 17: MAKALAH 3 PMDA

Akibat adanya kekeliruan dalam pemahaman tersebut, serta komitmen elite yang

sangat lemah, kepemimpinan nasional yang lemah tetapi tetap ingin dominan dan

semacamnya, menyebabkan timbulnya masalah – masalah krusial, seperti :

1. Perebutan kewenangan, lempar tanggungjawab

2. Masalah rekrutmen lokal

3. Masalah DPRD

4. Masalah Keuangan Daerah

5. Inovasi yang Lambat

6. Masalah Ketidakpercayaan (Distrust)

7. Masalah Desentralisasi dan Otonomi Desa

Meskipun demokratisasi dan desentralisasi dapat menyebabkan banyak masalah baru,

meskipun gerakan civil society untuk perubahan terseok-seok, tetapi semua itu tidak boleh

berhenti. Kita tidak boleh mundur ke belakang. Semuanya harus digerakkan maju untuk

mencapai kemenangan di masa depan. Bagaimanapun juga desentralisasi dan

demokratisasi yang berbasis pada gerakan civil society merupakan kekuatan pendorong

perubahan mencapai masyarakat Indonesia yang makmur, sejahtera dan berkeadilan.

17