Makala Pembuktian Di Pengadilan
Click here to load reader
-
Upload
daniel-samosir -
Category
Documents
-
view
46 -
download
0
Transcript of Makala Pembuktian Di Pengadilan
KATA PENGANTAR
Suatu makalah yang saya susun ini berdasarkan dari apa yang telah saya pelajari dari
Hukum Acara Perdata, yang mana dalam sistem hukum Acara perdata di indonesia
mempunyai tahapan-tahapan yang harus dilewati oleh mereka yang mempunyai perkara atau
sengketa dalam hal PERDATA. Makala yang saya tulis pada kesempatan ini yang berjudul “
PEMBUKTIAN di PENGADILAN”. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca guna kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya. Penulis berharap
makalah ini dapat bermanfaat serta memberi pengetahuan baik penulis maupun pembacanya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN ALAT-ALAT BUKTI
2.1 Pengertian alat bukti
2.2Pengertian bukti langsung dan tidak langsung ?
2.3 Saja jenis-jenis alat bukti
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum acara perdata adalah Peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum acara perdata materil dengan perantaraan hakim. Dengan kata
lain hukum acara perdata merupakan rangkaian-rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-
peraturan hukum perdata materil. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwah hukum acara
perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutuskan dan serta pelaksanaan dari pada putusannya.
Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau
tindakan menghakimi sendiri. Dalam hal ini hakim dalam pengadilan akan mengambil
keputusan terhadap perkara-perkara yang melawan hukum maupun yang melanggar hukum.
Arti dari putusan pengadilan sesuai dengan ketentuan pasal 178 HIR , Pasal 189 RBG,
apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena jabatannya melakukan
musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.
Proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempu tahap jawaban dari
tergugat sesuai Pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat
berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap
pembuktian dan konklusi. Jika semua tahap ini telah tuntas diselesaikan, majelis menyatakan
pemeriksaan ditutup dan prosesselanjutnya adalah menjatuhkan atau pemgucapan putusan.
Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi majelis untuk
menentukan putusan apa yang hendak dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.Perlu
dijelaskan bahwah yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini adalah putusan pengadilan
tingkat pertama. Dan memang tujuan akhir proses pemeriksaan perkara di PN, diambilnya
suatu putusan oleh hakim yang berisi menyelesaikan perkara yang disengketakan.
Berdasarkan putusan itu, ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum para pihak
denagan objek yang disengketakan.
Dalam proses-proses pemeriksaan berperkara di pengadilan ada yang dinamakan
pembuktian seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Majelis hakim mengambil putusan
dalam berperkara akan memeriksa perkara tersebut terlebih dahulu baru akan mengambil
suatu putusan. Pembuktian adalah dalam upaya untuk mengetahui apakah benar ada
hubungan hukum antara dalil dengan alat bukti yang menjadi dasar suatu yang diperkarakan
di pengadilan dan untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau
hubungan hukum antara para pihak yang bersengketa.
Dalam suatu pembuktian ada yang disebut dengan beban pembuktian dimana
sesorang yang mendalilkan sesuatu maka beban pembuktian tersebut ada pada dirinya, seperti
yang telah diatur dalam Pasal 163 HIR yaitu Barang siapa mengaku mempunyai hak, atau
memajukan sesuatu peristiwa untuk menguatkan pengakuannya atau bagi pihak yang
menyangkal hak orang lain tersebut, maka kebenaran adanya peristiwa tersebut haruslah
dibuktikan.
Maka dalam hal ini penulis akan menjelas proses pemeriksaan persidangan dalam hal
pembuktian khususnya pada alat-alat bukti yang akan diajukan oleh para pihak yang
bersengketa di Pengadilan.
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty yogyakarta pebuari 2006. M
Yahyah Harahap, S.H. Hukum acara perdata, sinar grafika januari 2010. Wibisono oedoyo. Modul Hukum Acara
Perdata.2011.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian alat bukti ?
2. Apakah pengertian bukti langsung dan tidak langsung ?
3. Apa saja jenis-jenis alat bukti ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui arti alat bukti.
2. Untuk mengetahui pengertian bukti langsung dan tidak langsung.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis dari alat bukti.
1.4 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, memperkaya
khasanah perpustakaan serta menambah wawasan bagi pembaca maupun penulisnya, dimana
ketika saat proses pembuktian dalam berperkara di pengadilan masyarakat mengetahui apa itu
pembuktian khususnya pada alat-alat bukti.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN ALAT BUKTI
Dalam hal pembukitian di pengadilan alat bukti (bewejsmiddel) mampu memberikan
keterangan dalam permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang bersangkutan dan akan
menjadi suatu pertimbangan bagi Majelis hakim dalam meberikan putusan terhadap suatu
perkara. Aapabila penggugat tidak berhasil membuktikan apa yang yang menjadi dalil-
dalilnya yang menjadi dasar gugatannya maka gugatan tersebut akan di tolak oleh majelis
hakim, namun sebaliknya apaila berhasil maka gugatan tersebut kan dikabulkan.
Tidak semua apa yang menjadi dalil-dalil harus dibuktikan apa lagi dalil-dalil tersebut
tidak disangkal dan diakui sepenuhnya oleh pihak lawan atau tergugat. Jadi para pihak yang
berperkara hanya membuktikan kebenaran dalil gugatan dan dalil bantahan. Hukum
pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada alat bukti
tertentu saja, diluar itu tidak dibenarkan diajukan alat bukti lain alat bukti yang diajukan di
luar yang ditentukan oleh undang-undang:
- Tidak sah sebagai alat bukti,
- Oleh karena itu, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk
menguatkan kebenaran dalil atau bantuan yang dikemukakan.
Sistem hukum pembuktian yang dianut sampai saat ini adalah sebagai berikut
a. Sistem tertutup dan Terbatas
Dimana para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau bentuk alat bukti dalam proses
penyelesai perkara. Undang-undang telah menetukan secara enumeratif apa saja yang sah dan
bernilai sebagai alat bukti.
Pembatasan kebebasan tersebut berlaku juga kepada hakim. Hakim tidak bebas dan
tidak leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti. Apabila pihak
yang berperkara mengajukan alat bukti di luar yang ditentukan secara enumeratif dalam
undang-undang, hakim mesti menolah dan mengesampingkannya dalam penyelesaian
perkara.
b. Perkembangan ke arah Alat Bukti Terbuka
Dalam hal ini pembuktian tidak lagi ditentukan oleh jenis dan bentuk alat bukti secara
enumeratif, karena kebenaran tidak hanya diperoleh dari alat bukti tertentu tetapi dari alat
bukti mana saja pun harus diterima kebenaran sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
kepentingan umum. Diman perkembangan teknologi yang semakin pesat maka dalam proses
pembuktian tidak lah lagi ditentukan oleh jenis dan bentuk alat bukti secara enumeratif
melainkan majelis hakim yang akan menentuka kelayakan suatu alat bukti yang akan
diajukan oleh pihak yang berperkara sepanjang alat bukti tersebut tidak bertentangan dengan
kepentingan umum. Bahkan dalam dunia bisnis sekarang sudah menggunakan surat
elektronik atau electronic mail (e-mail) yaitu suatu sistem surat elektronik yang dengan cara
pengiriman pesan atau penjelasan pada sesuatu komputer atau terminal, selanjutnya pesan
tersebut disimpan oleh penerimanya. Tidak hanya data elektronik saja yang berkembang pada
saat ini, tetapi bentuk yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti
foto, film, pita suara, dan DNA.
Berdasarkan kenyataan perkembangan yang dimaksud layak dan beralasan
meninggalkan sistem pembatasaan alat bukti, ke arah perkembangan peradaban karena dari
bentuk atau jenis alat bukti baru tersebut, kemungkinan besar akan di peroleh kebenaran yang
lkebih jelas dan utu. Oleh karena itu, dianggap beralasan memberi kebebasan kepada hakim
menerima segala bentuk dan jenis alat bukti yang diajukan para pihak sepanjang hal itu tidak
kepentingan dan ketertiban umum. Semakin banyak alat bukti yang di ajukan, bahan
penilaian pembuktian, semakin luas landasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam
mengambil keputusan yang akurat. Di beberapa negara seperti belanda telah terjadi
perkembangan hukum pembuktian ke arah sistem terbuka ini. Namun sampai sekarang
hukum pembuktian di indonesia belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di
beberapa negara dalam hal alat bukti.
Baca Yahyah Harahap, S.H. Hukum acara perdata, Hal 555,
Jenis-jenis Alat Bukti
Dalam hal pembuktian atau bentuk alat bukti anatara proses hukum acara pidana dan
perdata berbeda dan titik berat alat buktinya juga berbeda. Dalam acara pidana sesuai dengan
ketentuan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang diakui secara enumeratif terdiri dari:
a. Keterangan ahli,
b. Keterangan saksi,
c. Surat,
d. Petunjuk, dan
e. Keterangan terdakwa.
Berbeda dengan apa yang menjadi pembuktian atau alat bukti proses hukum acara
perdata,mengenai alat bukti yang diakui dalam hukum acara perdata diatur secara enumeratif
(Pasal 164 HIR,284 Rbg. 1866 BW)
1. Bukti tulisan,
2. Bukti dengan saksi
3. Persangkaan,
4. Pengakuan, dan
5. Sumpah.
Alat bukti tulisan di tempatkan dalam urutan pertama, karena sesuai dengan
kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata penting. Semua kegiatan yang
menyangkut bidang perdata, sengaja dicatat atau dituliskan dalam surat atau akta. Setiap
perjanjian transaksi, sewa-menyewa, penghibaan, pengangkutan, asuransi, perkawinan,
kelahiran dan kematian, sengaja dibuat dalam bentuk tertulis dengan maksud sebagai alat
bukti atas transaksi atau peristiwa hubungan hukum yang terjadi.
Menurut sistem HIR, Dalam acara perdata hakim terikat pada alat bukti yang sah,
yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang saja dalam (hakim pasif). Jadi alat bukti akan menjadi
suatu acuan atau patokan seorang hakim untuk mengambil suatu keputusan dalam proses
persidangan.
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, 1998. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal 141
1. ALAT BUKTI TULISAN
Alat bukti tulis diatur dalam pasal 138, 165, HIR, 164, 285-305 Rbg. S 1867 no. 29
dan pasal 1867-1894 BW (baca juga Pasal 138-147 Rv).
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu
yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan
tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidak lah termasuk dalam pengertian alat bukti tulisan
atau surat.
Pengertian tulisan dari segi yuridis dalam kaitannya sebagai alat bukti memerlukan
penjelasan ditinjau dari berbagai aspek.
a. Tanda Baca Berupa Aksara
Inilah syarat pertama, tulisan atau surat terdiri dari tanda bacaan dalam bentuk aksara.
Tidak dipersoalkan aksaranya, boleh aksara Latin, Arab, China, dan sebagainya. Boleh juga
aksara lokal sperti Bugis, Jawa, dan batak. Bahkan dibenarkan bentuk aksara stenografi.
Semuannya diakui dan sah sebagai aksara yang berfungsi sebagai tanda bacaan untuk
mewujud bentuk tulisan atau surat sebagai alat bukti.
b. Disusun Berupa Kalimat sebagai Pernyataan
Agar aksara tersebut berbentuk dapat berbentuk menjadi tulisan atau surat maupun
akta, harus disusun berbentuk kalimat. :
- Sebagai ekspresi atau pernyataan cetusan pikiran atau kehendak orang yang
menginginkan pembuatannya.
- Rangkaian kalimat itu sedemikian rupa susunan dan isinya, dapat dimengerti
dengan jelas oleh yang membacanya sesuai dengan apa yang dikehendaki
dalam surat itu.
c. Ditulis Pada Bahan Tulisan
Pada umumnya ditulis pada kertas, dapat juga pada bahan lain seperti masa dulu
ditulis pada kulit kayu, bambu, atau kain, dan lain-lain. Bagi hukum, bukun hanya tulisan
dituangkan dalam kertas saja yang dapat dijadikan alat bukti dalam berperkara, tetapi
meliputi tulisan yang tercantum pada bahan yang diluar kertas, tetapi hal itu tidak
mengurangi kemungkinan tulisan yang terdapat pada bahan lain.
d. Ditanda Tangani oleh Pihak yang Mmebuat
Syarat lain yang dianggap penting tulisan itu ditandatangani oleh para pihak yang
membuatnya. Kalau surat itu merupakan pernyataan sepihak, harus ditanda tangani orang
yang membuat pernyataan, dan apabila merupakan kesepakatan kedua bela pihak, mesti
ditanda tangani oleh dua pihak tersebut. Syarat penandatanganan, ditegaskan dalam Pasal
1689 dan Pasal 1874 KUHPerdata atau Pasal 1 Ordonasi 1867 No. 29. Menurut ketentuan
pasal diatas, kekuatan tulisan sebagai akta dibawatangan harus ditanda tangani para pihak.
Pasal 1869 KUHPerdata mengatakan, sekiranya pembuatan AO dilakukan oleh pejabat yang
tidak berwenang, namun akta tersebut ditanda tangani oleh para pihak, akta tersebut
mempunyai kekuatan ABT.
e. Foto dan Peta Bukuan Tulisan
Foto dan peta tidak termasuk surat atau akta, karena keduanya bukan aksara yang
berfungsi sebagai tanda bacaan, karena itu tidak sah diajukan sebagai alat bukti tulisna.
Nmaun di beberapa negara yang sudah mengapukan penyebutan alat bukti secara enumeratif
satu persatu, foto dan peta dapat diterima sebagai alat bukti sepanjang mempunyai koneksitas
yang erat dengan perkara yang disengketakan.
f. Mencantummkan Tanggal
Surat yang disebut sempurna adalah surat yang selain mencantumkan tandatangan
juga mencantumkan tanggal dibutnya surat atau akta tersebut. Apabilah tidak
dicantumkannya tanggal di dalam surat atau akta tersebut bakan lah surat atau akta itu akan
menjadi tidak sah, namun eksistensi dari surat tersebut akan akan cacat dan melemahkan
surat atau akta tersebut sebagai alat bukti.
Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa
yang menjadi dasar suatu hak atau pemikiran yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian.
Dalam surat ada juga yang disebut sebagai Akata otentik yang mana akta otentik ini
merupakan suatu akta yang dibuat atau dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Mengenai
akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi: Suatu akta otentik ialah
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. Dan kekuatan pembuktian akta otentik
ini adalah sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta otentik.
Baca Yahyah Harahap, S.H. Hukum acara perdata, hal 559
2. BUKTI dengan SAKSI
Alat bukti kesaksian diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR (ps 165-179 Rbg),
1895 dan 1902- 1912 BW.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang
peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang
dialaminya sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah
merupakan kesaksian. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 171 ayat 2 HIR (ps. 308 ayat 2
Rbg, 1907 BW). Di sinilah letak bedanya antara keterangan yang diberikan oleh saksi dan
ahli: Seorang saksi dipanggil dimuka sidang untuk memberi tambahan keterangan untuk
menjelaskan peristiwanya, sadangkan seorang ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam
menilai peristiwanya.
a. Hal yang dapat diizinkannya alat bukti saksi
Pada asasnya pembuktian dengann saksi dibolehkan dalam segala hal (ps. 1895 BW,
baca juga ps. 139 HIR, 165 Rbg), kecuali kalau undang-undang menentukan lain seperti
dalam hal adanya firma (ps. 22 KUHD).
b. Pernilaian alat bukti saksi
Dapat tidaknya seorang saksi dipercaya tergantung pada banyak hal, yang harus
diperhatikan oleh hakim, Pasal 172 HIR (ps. 309 Rbg, 1908 BW) menetukan, bahwah dalam
pertimbangan nilai kesaksian atau kecocokan antara keterangan para saksi, kesesuaian
kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan,
pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan kesaksiannya, cara hidup, adat
istiadat serta martabat para saksi dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang
dapat tidaknya dipercaya seorang saksi.
Dalam setiap kesaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi(ps.171 ayat 1
HIR, 308 ayat 1 Rbg, 1907 BW). Tidaklah cukup kalau saksi hanya menerangkan bahwah dia
mengetahui peristiwanya.
c. Siapakah yang dapat didengar sebagai saksi
Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi
dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib memberi kesaksian. Kewajiban untuk
memberi kesaksian ini ternyata dari pasal 139 HIR (ps 165 Rbg, 1909 BW) serta adanya
sanksi-sanksi yang diancamkan apabila mereka tidak memenuhinya.
Terhadap asas bahwah setiap orang dapat bertidak sebagai saksi serat wajib memberi
kesaksian ada pembatasannya antara lain:
- Golongan orang yang dianggap tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi.
Dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Mereka yang tidak mampu secara mutlak (absolut) yaitu keluarga sedarah
dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak
(ps. 154 ayat 1 sub 1 HIR, 172 yat 1 sub 1 Rbg, 1910 alinea 1 BW) dan
kemudian suami atau istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai
(ps. 145 ayat 1 sub 1 HIR, 172 ayat 1 sub 3 Rbg, 1910 BW)
2. Mereka yang boleh didengar , akan tetapi tidak sebagai saksi, adalah anak-
anak yang belum mencapai umum 15 tahun(ps. 145 ayat 1 sub 3 Jo. Ayat 4
HIR, 1972 ayat 1 sub 4 jo. 173 Rbg, 1912 BW).
3. Orang gila, atau mereka yang berada dalam pengampuan (ps. 145 ayat 1
sub 4 HIR, 172 ayat 1 sub 5 Rbg, 1912 BW).
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty yogyakarta pebuari 2006,hal 159-166
3.PERSANGKAAN
Pembuktian dengan pengakuan (bekentenis, confession) diatur dalam pasal 174 -176
HIR, 311-313 Rbg. Dalam pasal 1926 KUHPerdata dibolehkan menarik kembali pengakuan
yang telah diberikan di persidangan karena kekhilafan, ketentuan mana tidak terdapat dalam
HIR dan Rbg.
Pengertian alat bukti persangkaan lebih jelaskan dirumuskan dalam pasal 1915
KUHperdata, dibanding dengan pasal 173 HIR atau pasal 310 Rbg, yang berbunyi;
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang di ketahui umum kearah suatu peristiwa yang tidak diketahui oleh umum.
Dalam kamus hukum alat bukti ini disebut vermoedem yang berarti dugaan
presumptie, berupa kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau oleh hakim dari suatu
hal atau tidakan yang diketahui, kepda hal atau tidakan yang lainnya yang belum diketahui.
Baca Yahyah Harahap, S.H. Hukum acara perdata, hal 686.
4.PENGAKUAN
Pengertian pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut Pasal 1923
KUHPerdata, Pasal 174 HIR, adalah;
- Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak
lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara;
- Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang
pengadilan;
- Keterangan itu merupakan pengakuan (bekentenis, confession), bahwa apa
yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan
atau sebagian.
Apabila pengakuan yang dikemukakan hanya untuk sebagian, dalam teori dan praktik
disebut “pernyataan campuran” atau mix statment, yang berarti mengakui satu atau beberapa
elemen tertentu dalam suatu sengketa (gugatan), tetapi menyangkal (deny) elemen sengketa
(gugatan) selebihnya. Pengakuan ditinjau dari segi hukum pembuktian, merupakan lawan dari
penyangkalan atau bantahan.
5.SUMPAH
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama TUHAN dengan tujuan:
- Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu,
takut atas muraka Tuahan, apa bila dia bohong dalam memberikan
keteranagan.
- Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, daianggap sebagai daya pendorong
bagi yang besumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Syarat formil sumpah agar sumpah sebagai alat bukti sah harus di penuhinya syarat-
syarat sebagai berikut;
- Ikrar di ucapkan dengan lisan;
- Diucapkan di muka hakim dalam persidangan;
- Dilaksanakan dihadapan pihak lawan;
- Tidak ada alat bukti lain;
BAB III PENUTUP
2.4.Kesimpulan
Dalam hal pembukitian di pengadilan alat bukti (bewejsmiddel) mampu memberikan
keterangan dalam permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang bersangkutan dan akan
menjadi suatu pertimbangan bagi Majelis hakim dalam meberikan putusan terhadap suatu
perkara. Aapabila penggugat tidak berhasil membuktikan apa yang yang menjadi dalil-
dalilnya yang menjadi dasar gugatannya maka gugatan tersebut akan di tolak oleh majelis
hakim, namun sebaliknya apaila berhasil maka gugatan tersebut kan dikabulkan.
Jadi alat bukti adalah suatu alat yang merupakan petunjuk Bagi hakim apakah
seseorang tersebut benar dalam mendalilkan sesuatu di dalam proses pengadilan dan dalil
yang sesuai dengan alat bukti akan menjadi suatu acuan untuk hakim dalam mengambil suatu
keputusan, karena dalam proses hukum acara perdata, hakim akan bertindak pasif,berbeda
dengan proses acara hukum pidana yang mana hakim bertidak secara aktif untuk mencari
kebenarannya. Dalam proses hukum acara perdata dipengadilan bukan lah hakim yang aktif
melainkan para pihak yang berperkara,hakim hanya akan melihat kebenaran-kebenaran suatu
dalil yang akan dibarengin dengan alat-alat bukti.
Jenis-jenis yang bisa menjadi alat bukti dalam proses berperkara di pengadilan adalah
sebagai berikut menurut undang-undang ((Pasal 164 HIR,284 Rbg. 1866 BW)
1. Bukti tulisan
2. Bukti dengan saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan, dan
5. Sumpah
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 2004. Jakarta: PT. Rineka Cipta
M. Yahya Harahap,S.H. Hukum Acara Perdata, 2010. Jakarta: Sinar Grafita
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, 1998. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Ny. Retnowulan Sutantio, S.H. Iskandar Oeripkartawinata, S.H. Hukum Acara Perdata, 1997. Bandung: Cv Mandar Maju.
Wibisono oedoyo. Modul Hukum Acara Perdata.2011.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2010. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Herzien Indonesia Reglement (HIR).
Drs. Sudarsono, S.H., M.Si. Kamus Hukum, PT Asdi Mahasatya, Cetakan ke kelima febuari 2007 jakarta.