MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

72
Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER VOL. 16 NO. 2 DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920 DITERBITKAN OLEH: LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA BERITA DIRGANTARA VOL. 16 NO. 2 HLM. 47 - 114 JAKARTA, DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920

Transcript of MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Page 1: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 16 NO. 2 DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 16 NO. 2 HLM. 47 - 114 JAKARTA, DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920

Page 2: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 16 NO. 2 DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920

EFEK RADIKAL HIDROXYL (OH) DAN NITRIC OXIDE (NO) DALAM

REAKSI KIMIA OZON DI ATMOSFER ................................................. Novita Ambarsari

47 – 54

KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN

KALIBRATOR MAGNETOMETER ........................................................... Harry Bangkit, Mamat Ruhimat

55 – 60

POTENSI PEMANFAATAN SATELIT ALOS-3 ......................................... Samsul Arifin

61 – 72

STUDI KASUS KEMUNCULAN PULSA MAGNET PC1 DI STASIUN

WATUKOSEK (7 34’5” LS 112 40’37” BT) ........................................ Visca Wellyanita, Fitri Nureni

73 – 82

KAJIAN POTENSI WISATA KESEHATAN OKSIGEN DI GILI IYANG .... Sumaryati

83 – 90

PEMANFAATAN TRANSPORTABLE RADAR CUACA DOPPLER

X-BAND UNTUK PENGAMATAN AWAN ............................................. Tiin Sinatra dan Noersomadi

91 – 98

PENGINTEGRASIAN DAN PENYAJIAN SPASIAL DINAMIS

INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA DALAM

SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL ....................................... Sarno

99 – 114

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 16 NO. 2 HLM. 47 - 114 JAKARTA, DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920

Page 3: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA

DIRGANTARA

Keputusan Kepala LAPAN

Nomor 46 Tahun 2015

Tanggal 2 Maret 2015

Penyunting:

Ketua

Dra. Sinta Berliana S., M.Sc

Anggota

Ir. Ediwan, MT

Gathot Winarso, ST, M.Sc

Suhata, S.Si, MM

Drs. Mamat Ruhimat, M.Si

Fajar Iman Nugraha, ST, M.Ti

Drs. Agus Harno N., M.Sc

SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI

BERITA DIRGANTARA

Keputusan Kepala Biro

Kerjasama dan Hubungan Masyarakat

Nomor 06 Tahun 2015

Tanggal 23 Maret 2015

Pemimpin Umum:

Ir. Agus Hidayat, M.Sc

Pemimpin Redaksi:

Ir. Jasyanto, MM

Redaksi Pelaksana:

Adhi Pratomo, S.Sos, M.Ikom

Royati, S.Sos

Zubaedi Mukhtar

Tata Letak

M. Luthfi

VOL.16 NO.2 DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920

DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat, Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat

dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 16, No. 2, Desember 2015 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian. Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 7 (tujuh) artikel yaitu, “Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan Nitric Oxide (NO) dalam Reaksi Kimia Ozon di Atmosfer” ditulis oleh Novita Ambarsari. Radikal OH dan NO menjadi senyawa kimia yang berperan penting dalam reaksi kimia ozon di stratosfer dan troposfer. Kedua senyawa radikal ini termasuk radikal bebas yang bersifat reaktif sehingga berperan sebagai agen perusak ozon di stratosfer, selain radikal klorin dan bromin serta reaksi fotolisis ozon oleh sinar UV; “Kalibrasi Magnetometer Tipe 1540 Menggunakan Kalibrator Magnetometer” ditulis oleh Harry Bangkit, Mamat Ruhimat. Keberadaan kalibrator magnetometer di laboratorium Pusat Sains Antariksa merupakan sarana untuk menguji ketelitian magnetometer. Kalibrasi dilakukan terhadap sensor tersebut sebelum ditempatkan di stasiun pengamat geomagnet; “Potensi Pemanfatan Satelit Alos-3” ditulis oleh Samsul Arifin. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji potensi pemanfaatan dari ALOS-3, agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna di Indonesia. ALOS-3 dapat digunakan untuk pembuatan data Digital Surface Model (DSM). Multispektral (MSS) HISUI ALOS-3 berpotensi untuk pemantauan lingkungan, kebencanaan, obsevasi survey permukaan tanah, pesisir dan perairan laut; “Studi Kasus Kemunculan Pulsa Magnet PC1 di Stasiun Watukosek (7 34’5” LS 112 40’37” BT)” ditulis oleh Visca Wellyanita, Fitri Nureni. Penelitian kali ini mengenai kemunculan pulsa magnet Pc1 pada saat terjadi badai di stasiun Watukosek. Pulsa magnet Pc1 terkait dengan peristiwa badai magnet dan dapat teridentifikasi sebelum atau sesudah kejadian badai magnet; Artikel selanjutnya ditulis oleh Sumaryati dengan judul “Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen di Gili Iyang”. Pulau Gili Iyang terkenal karena dipercaya memiliki kadar oksigen yang tinggi. Oksigen merupakan gas yang vital dibutuhkan dalam kehidupan manusia, sehingga kepercayaan akan kadar oksigen yang tinggi dijadikan sebagai dasar untuk pembangunan dan pengembangan di Gili Iyang yaitu sebagai tujuan wisata kesehatan. Artikel dengan judul “Pemanfaatan Transportable Radar Cuaca Doppler X-Band untuk Pengamatan Awan”, ditulis oleh Tiin Sinatra dan Noersomadi. Telah dilakukan pengamatan awan di beberapa tempat secara intensif dengan menggunakan alat Transportable Radar Cuaca Doppler X-Band, diantaranya di Bandung pada 2013 dan di Garut pada 2014. Berbagai skenario dilakukan selama pengamatan. . Artikel terakhir dengan judul “Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis Informasi Tutupan Hutan dan Perubahannya Dalam Sistem Pemantauan Bumi Nasional”, ditulis oleh Sarno. Makalah ini menjelaskan proses dalam kegiatan pengaturan pengintegrasian, penyajian dan visualisai spasial dinamis informasi tutupan hutan dan perubahannya dalam SPBN di Pusfatja LAPAN Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya. Penyunting

Alamat Penerbit/Redaksi :

LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220

Telepon : 4892802, ext. 142, 146 Fax : (021) 47882726

Email : [email protected] [email protected] Milis : [email protected]

Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi populer di bidang kedirgantaraan.

Terbit setiap enam bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.

Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan sumbernya.

Page 4: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)

47

EFEK RADIKAL HIDROXYL (OH) DAN NITRIC OXIDE (NO) DALAM

REAKSI KIMIA OZON DI ATMOSFER

Novita Ambarsari

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

e-mail : [email protected]

RINGKASAN

Reaksi pembentukan dan penguraian ozon di troposfer dan stratosfer dipengaruhi oleh

banyak faktor. Radikal OH dan NO menjadi senyawa kimia yang berperan penting dalam reaksi kimia

ozon. Kedua senyawa radikal ini termasuk radikal bebas yang bersifat reaktif sehingga berperan

sebagai agen perusak ozon di stratosfer, selain radikal klorin dan bromin serta reaksi fotolisis ozon

oleh sinar UV. Radikal OH dan NO juga berperan dalam proses produksi dan penguraian ozon di

troposfer karena dapat menghasilkan kembali NO2 yang meningkatkan proses produksi ozon. Selain

itu, faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam reaksi kimia ozon di stratosfer adalah kelimpahan

molekul oksigen, energi radiasi matahari, dan keberadaan radikal halogen terutama klorin dan

bromin. Sementara ozon di troposfer juga dipengaruhi oleh jumlah prekursor ozon, radiasi matahari,

dan faktor meteorologi.

Kata kunci: Ozon, Radikal OH, Radikal NO

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ozon merupakan komponen

atmosfer yang memiliki peranan sangat

penting. Distribusi ozon di atmosfer tidak

homogen, dengan konsentrasi ozon

terbesar terdapat pada ketinggian 25

sampai 40 km (lapisan stratosfer).

Lapisan stratosfer mengandung 90 %

dari total ozon yang terdapat di atmosfer.

Ozon di stratosfer berperan sebagai

pelindung bumi dari radiasi sinar

ultraviolet dengan panjang gelombang

280-320 nm yang berbahaya bagi

kehidupan [NASA, 2001].

Lapisan ozon di stratosfer ini

tersusun oleh molekul-molekul ozon.

Konsentrasi molekul ozon dinyatakan

dalam satuan Dobson Unit (DU). 1 DU

tersusun oleh sekitar 27x109 molekul

ozon per cm persegi. 100 DU mewakili 1

mm ketebalan total kolom lapisan ozon

pada tekanan 1 atm. Konsentrasi ozon

total normalnya sekitar 300 DU atau

tebal lapisannya sebesar 3 mm. Nilai ini

juga dipengaruhi lintang wilayah seperti

tampak pada Gambar 1-1. Di kutub

selatan konsentrasi ozon total dapat

menurun hingga 117 DU pada akhir

musim semi [NASA, 2001].

Gambar 1-1: Distribusi ozon pada tiga wilayah berdasarkan lintangnya

Page 5: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:47-54

48

Selain di stratosfer, ozon juga

terdapat pada lapisan troposfer dan

disebut ozon troposfer. Berbeda dengan

ozon stratosfer, ozon troposfer bersifat

polutan. O3 troposfer, secara alamiah

konsentrasinya meningkat akibat

aktivitas manusia (antropogenik). Ikatan

ekstra oksigen yang mudah terurai

membuat oksigen bersifat sebagai

oksidator kuat dan korosif pada material

dan berbahaya bagi tumbuhan dan

binatang. Dampak bagi kesehatan yang

ditimbulkan oleh ozon permukaan

diantaranya adalah kerusakan fungsi

paru-paru dan saluran pernapasan serta

menurunkan sistem kekebalan tubuh

[Fehsenfeld, 1993].

Ozon troposfer terbentuk dari

reaksi fotokimia yang melibatkan CH4,

senyawa organik yang mudah menguap

(Volatile Organic Compounds/VOCs) dan

karbonmonoksida dengan kehadiran

NOx dan sinar matahari yang sangat

kompleks [Fehsenfeld. 1993].

Reaksi kimia ozon di stratosfer

dan troposfer melibatkan senyawa-

senyawa kimia lainnya. Ozon stratosfer

dipengaruhi oleh radikal klorin, bromin,

dan radikal lain seperti OH dan NO yang

berperan sebagai katalis dalam proses

perusakan ozon di stratosfer. Begitu juga

dengan reaksi kimia ozon di troposfer

yang selain melibatkan pencemar primer

seperti NOx, VOC, CH4, dipengaruhi

juga oleh radikal OH dan NO. Dalam

paper ini dibahas pengaruh radikal OH

dan NO pada reaksi ozon di atmosfer.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan paper ini untuk

membahas pengaruh radikal OH dan NO

pada reaksi ozon di stratosfer dan

troposfer, serta mengkaji faktor-faktor

yang mempengaruhi reaksi ozon di

troposfer dan stratosfer.

2 DATA DAN METODE

Data-data yang digunakan pada

tulisan ini sebagian besar merupakan

hasil studi literatur. Untuk mengetahui

pengaruh faktor meteorologi terhadap

konsentrasi ozon permukaan digunakan

data ozon permukaan dan temperatur

rata-rata per jam di Bandung pada 1

Januari 2008 yang ada di Bidang

Komposisi Atmosfer PSTA LAPAN.

3 RADIKAL OH DI ATMOSFER

Sumber utama radikal OH di

stratosfer adalah dari reaksi uap air

dengan atom oksigen radikal yang

berasal dari hasil fotolisis molekul ozon.

Radikal OH memiliki waktu hidup yang

sangat singkat, sehingga karakternya

sangat didominasi oleh siklus hariannya,

dengan konsentrasi paling banyak

terjadi pada siang hari dan sangat

sedikit pada malam hari [A. Damiani., M.

Storini., C. Rafenelli., and P. Diego, 2010].

OH berasal dari peristiwa

fotokimia yang memutus molekul H2O

melalui proses fotolisis atau melalui

reaksi dengan atom oksigen metastabil

yang sangat reaktif O(1D):

H2O + h OH + H (3-1)

O(1D) + H2O 2OH (3-2)

Uap air mengalami transport dari

troposfer ke stratosfer melalui lapisan

tropopause tropikal dan juga terbentuk

melalui proses oksidasi metana:

CH4 + OH … 2H2O + CO (3-3)

CH4+O(1D)… 2HOx +H2O+CO (3-4)

Tanda titik pada reaksi di atas

menggambarkan serangkaian reaksi lain

yang menghasilkan produk akhir di

sebelah kanan tanda panah.

4 RADIKAL NO DI ATMOSFER

Radikal NO di stratosfer berasal

dari reaksi antara N2O dengan atom

oksigen radikal seperti tampak pada

reaksi (4-3) Portmann R.W., Daniel J.S.,

dan Ravishankara A.R., 2012.

N2O + h N2 + O(1D) (4-1)

N2O + O(1D) N2 + O2 (4-2)

N2O + O(1D) 2NO. (4-3)

Page 6: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)

49

N2O merupakan sumber utama

radikal NO di stratosfer. Sifat N2O yang

stabil menyebabkan N2O tidak dapat

terurai di troposfer. Ketika mencapai

stratosfer, N2O dapat bereaksi secara

fotolisis (seperti pada Reaksi 4-1) dan

reaksi dengan atom oksigen radikal

sebagai proses penghilangan N2O di

stratosfer. Hampir 10 persen dari N2O

diubah menjadi NOx.

Proses penghilangan NO di

stratosfer terjadi melalui reaksi antara

NO dengan atom N menghasilkan gas

nitrogen (N2).

N + NO N2 + O (4-4)

Walaupun N2O merupakan

sumber utama NOx di stratosfer,

sumber lainnya berasal dari atmosfer

tengah yaitu proses pembentukan NOx

melalui sinar kosmik pada ketinggian

10-15 km. Sinar kosmik merupakan

radiasi dari partikel berenergi tinggi

yang berasal dari luar atmosfer bumi.

Sinar kosmik dapat berupa elektron,

proton, bahkan inti atom seperti besi

atau yang lebih berat lagi. Hampir 90%

sinar kosmik yang tiba di permukaan

Bumi adalah proton, sekitar 9% partikel

alfa dan 1% elektron.

5 REAKSI KIMIA OZON DI ATMOSFER

5.1 Reaksi Pembentukan dan

Penguraian Ozon di Stratosfer

Banyak reaksi kimia di atmosfer

yang memicu terjadinya perusakan ozon.

Namun, di stratosfer reaksi utama

penyebab terbentuknya molekul ozon

adalah akibat reaksi fotolisis oleh sinar

UV dengan panjang gelombang () di

bawah 250 nm yang dapat memutus

ikatan O2 seperti dijelaskan berikut ini

[Mc.Conell, J.C., 2008].

O2 + hv O + O 250 nm (5-1)

dengan hv merepresentasikan energi

foton dengan frekuensi v dan panjang

gelombang . Atom O yang terbentuk

bereaksi sangat cepat dengan molekul

O2 untuk membentuk O3:

O + O2+ M O3 + M, (5-2)

Selain itu, pada panjang

gelombang 200 nm terdapat jendela

transmisi di atmosfer, penyerapan

untuk radiasi ini yang menghasilkan

pembentukan ozon dapat terjadi pada

ketinggian 20 km di daerah tropis.

Sumber utama ozon di daerah stratosfer

tropis dengan kecepatan reaksi

maksimum terjadi pada ketinggian 40

km. Namun, sebagian besar ozon yang

diproduksi di daerah ini terurai dengan

sendirinya. Pada ketinggian di bawah 30

km waktu hidup senyawa-senyawa

kimia cenderung panjang sehingga

sebagian ozon dapat ditransport ke

wilayah lain.

Di lapisan stratosfer, ozon

mengalami proses fotolisis dengan

sangat cepat oleh sinar UV dan sinar

tampak dari radiasi matahari seperti

reaksi berikut:

O3 + h O2 + O (5-3)

Namun, reaksi tersebut tidak

menunjukkan keseluruhan jumlah atom

O yang dilepaskan dan bergabung dengan

molekul oksigen untuk membentuk

kembali ozon. Perubahan yang sangat

cepat dari O menjadi O3 membuat kedua

spesi ini dapat dianggap spesi single

disebut odd oxygen (Ox=O+O3). Ox atau

O3 hilang saat terbentuknya ikatan

oksigen seperti reaksi:

O + O3 2O2 (5-4)

Reaksi tersebut merupakan

reaksi sederhana yang menjadi bagian

dari rangkaian reaksi lainnya yang

diperkenalkan oleh Sydney Chapman

(Chapman, 1930) yang bisa menjelaskan

mengenai lapisan ozon dan masih dapat

digunakan hingga sekarang. Reaksi

lainnya yang melibatkan HOx (=H + OH

+ HO2 + …), NOx (=NO + NO2), ClOx (=Cl

+ ClO + OClO + HOCl + BrCl) dan, BrOx

(= Br + BrO + BrCl + HOBr) radikal juga

mempengaruhi budget ozon. Semua

radikal ini berasal dari senyawa-

senyawa lain yang memiliki waktu hidup

panjang sehingga dapat ditransport dari

troposfer ke stratosfer.

Page 7: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:47-54

50

5.2 Siklus Radikal OH dan NO dalam

Reaksi Ozon Troposfer dan

Stratosfer

Radikal OH berperan penting

dalam keseimbangan ozon di atmosfer.

Hal ini disebabkan radikal OH terlibat

dalam siklus katalitik penguraian ozon

di stratosfer seperti halnya radikal ClO

dan Br, melalui siklus HOx 6:

OH + O3 HO2 + O2 (5-5)

HO2 + O OH + O2 (5-6)

Net : 2Ox 2O2 (5-7)

Sama halnya seperti OH, radikal

NO juga terlibat dalam siklus katalitik

penguraian ozon di stratosfer melalui

siklus NOx:

2(NO + O3) 2(NO2 + O2) (5-8)

NO2 + h NO + O (5-9)

NO2 + O NO + O2 (5-10)

Net : 2O3 3O2 (5-11)

Di troposfer, radikal OH terlibat

dalam reaksi pembentukan dan

penguraian ozon. Dalam reaksi

pembentukan ozon yang melibatkan CO

dan VOC, CO bereaksi dengan radikal

OH membentuk atom H radikal dan CO2.

Atom H radikal kemudian bereaksi

dengan O2 membentuk hirdoperoksi

radikal (HO2) seperti reaksi berikut:

Net : 2O3 3O2 (5-12)

CO + OH H + CO2 (5-13)

Radikal OH juga mengikat

hidrokarbon (RH) dan senyawa VOC

yang lain untuk membentuk alkyl

peroksi radikal (RO2):

RH + OH H2O + R (5-14)

R + O2 (+M) RO2 + M (5-15)

HO2 dan RO2 mengoksidasi NO

untuk membentuk NO2, menghasilkan

kembali radikal OH:

HO2 + NO OH + NO2 (5-16)

RO2 + NO RO + NO2 (5-17)

Pembentukan kembali NO2

mengakibatkan ozon terbentuk lebih

banyak dalam waktu kurang lebih 1

hingga 2 menit. Siklus ini terus berjalan

hingga NO2 atau NO atau rantai

propagasi spesi radikal yang lain (OH

dan HO2) dihilangkan.

Reaksi produksi ozon di troposfer

berhenti dengan:

Penghilangan reaktan atau reaktan

berubah menjadi spesi kimia yang lain

Penurunan fluks actinic yang berkaitan

dengan sinar matahari terutama saat

matahari tenggelam.

Reaksi terminasi yang penting

yaitu:

HO2 + HO2 H2O2 + O2 (5-18)

RO2 + HO2 ROOH + O2 (5-19)

OH + HO2 H2O + O2 (5-20)

6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEM-

PENGARUHI REAKSI OZON DI

ATMOSFER

6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Reaksi Ozon di Troposfer

Hubungan antara kondisi

meteorologi dan polutan di udara seperti

ozon troposfer, telah sejak lama menjadi

bagian penting dari penelitian atmosfer.

Proses presipitasi, karakter aliran

predominan, faktor cuaca seperti

temperatur, kelembaban, dan tekanan

sangat berhubungan dengan

pembentukan, transport, difusi, dan

deposisi dari polutan di udara [Schreiber.

V., 1996]:

Prekursor ozon

Prekursor ozon terutama karbon

monoksida, hidrokarbon, dan oksida

nitrogen yang berasal dari alam maupun

hasil aktivitas manusia mempengaruhi

konsentrasi ozon troposfer di atmosfer.

Semakin tinggi emisi prekursor ozon

tersebut, akan meningkatkan konsentrasi

ozon troposfer yang terbentuk. Namun,

hal ini juga masih dipengaruhi oleh

faktor lain yaitu intensitas sinar

Page 8: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)

51

matahari dan faktor meteorologi

diantaranya temperatur, kelembapan,

tekanan, arah dan kecepatan angin, dan

lain-lain.

Intensitas sinar matahari

Sinar matahari sangat ber-

pengaruh terhadap proses pembentukan

ozon troposfer melalui reaksi fotokimia.

Intensitas sinar matahari yang tinggi

dikombinasikan dengan tingginya

tingkat emisi prekursor ozon akibat

aktivitas manusia akan memicu reaksi

fotokimia pembentukan ozon troposfer

[Kalabokas, 2004].

Hal ini dapat terlihat dari profil

siklus harian (diurnal) ozon troposfer.

Konsentrasi ozon troposfer di siang hari,

di saat intensitas matahari dan aktivitas

manusia tinggi, jauh lebih besar

dibandingkan konsentrasi ozon troposfer

di malam hari.

Selain variasi diurnal, pengaruh

intensitas matahari dan prekursor ozon

terhadap tingginya konsentrasi ozon

tropsofer dapat dilihat juga dari profil

variasi musiman. Musim panas

menjadi saat konsentrasi ozon mencapai

tingkat yang paling tinggi dibandingkan

dengan saat musim dingin. Selain

karena intensitas matahari yang rendah

di musim dingin, aktivitas manusia pun

berkurang. Oleh karenanya, emisi gas-

gas prekursor ozon dari sektor

transportasi, maupun sektor lainnya

ikut berkurang sehingga menurunkan

konsentrasi ozon troposfer yang

terbentuk.

Untuk daerah yang mengalami

musim hujan, konsentrasi ozon troposfer

pada musim hujan lebih rendah

dibandingkan musim kemarau. Hal ini

disebabkan karena pada musim hujan

terjadi proses wash out di atmosfer,

sehingga gas-gas prekursor ozon di

atmosfer larut dan mengalami deposisi

dalam air hujan.

Faktor meteorologi

Faktor meteorologi yang paling

berperan dalam proses pembentukan

ozon troposfer adalah kecepatan dan

arah angin, temperatur, tekanan, dan

kelembapan. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Pulikeshi

(2005) di Chenai, India, faktor meteorologi

tersebut memberikan pengaruh terhadap

proses pembentukan ozon troposfer

(Gambar 6-1). Prekursor-prekursor ozon

terkonsentrasi dalam skala lokal atau

mengalami transport sehingga

menghasilkan ozon troposfer di daerah

lain sangat ditentukan oleh kecepatan

angin. Pembentukan ozon terjadi lebih

kondusif pada kondisi temperatur

atmosfer yang hangat, kering, tidak ada

awan, dan kecepatan angin yang rendah.

Kondisi ini sebagian besar terjadi pada

sistem dengan tekanan tinggi.

Hal yang sama juga tampak

untuk kondisi di Bandung (Gambar 6-2).

Konsentrasi ozon permukaan di

Bandung sangat tinggi mencapai 35

ppbv pada saat temperatur udara

maksimum yaitu 25 C sedangkan

kelembapan relatif rendah sebesar 75 %.

Gambar 6-1: Pengaruh faktor meteorologi terhadap ozon troposfer di Chenai India [Pulikeshi, 2005]

Page 9: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:47-54

52

Gambar 6-2: Grafik konsentrasi ozon permukaan dan temperatur (kiri) dan konsentrasi ozon dan

kelembaban relatif (kanan) di Bandung 1 Januari 2008.

Berdasarkan gambar di atas,

dapat diketahui bahwa ozon troposfer

meningkat pada saat nilai temperatur

tinggi, kecepatan angin rendah,

kelembapan rendah (kering), dan arah

angin nol.

Dari analisis ini dapat diambil

kesimpulan mengenai pengaruh faktor

meteorologi terhadap proses pembentukan

ozon troposfer sebagai berikut:

Temperatur tinggi meningkatkan

pembentukan ozon,

Relatif humidity (RH)/kelembapan

berpengaruh sebaliknya terhadap

pembentukan ozon, kelembapan

rendah ozon troposfer tinggi

Kondisi dengan tekanan tinggi

menyebabkan peningkatan konsentrasi

ozon troposfer [Pulikeshi, 2005].

6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Reaksi Ozon di Stratosfer

Konsentrasi ozon di stratosfer

sangat dipengaruhi oleh tiga faktor

utama yaitu [Rowland S., 2006]:

Jumlah oksigen di stratosfer

Reaksi pembentukan ozon di

stratosfer berasal dari reaksi fotolisis

molekul oksigen oleh sinar UV, sehingga

jumlah ozon di stratosfer sangat

ditentukan oleh kelimpahan molekul

oksigen. Walaupun faktor lain seperti

transport proses juga ikut berpengaruh

terhadap jumlah ozon di stratosfer.

Radiasi sinar ultraviolet

Radiasi sinar ultraviolet memegang

peranan penting dalam reaksi

pembentukan ozon di stratosfer. Reaksi

fotolisis molekul oksigen sangat

ditentukan oleh energi radiasi ultraviolet

dengan panjang gelombang 242 nm.

Sementara reaksi penguraian ozon secara

alami akibat fotolisis juga melibatkan

energi radiasi UV yang terjadi pada

panjang gelombang 310 nm.

Keberadaan radikal halogen, NOx

dan HOx

Selain reaksi alami fotolisis ozon

di stratosfer, serta keberadaan radikal

NO dan OH seperti sudah dijelaskan

sebelumnya, keberadaan radikal

halogen terutama klorin dan bromin

ikut menentukan konsentrasi ozon di

stratosfer. Penguraian ozon di stratosfer

menurut siklus Chapman dan siklus

katalitik yang dapat digambarkan secara

umum dalam bentuk:

XO + O X + O2 (6-1)

X + O3 XO + O2 (6-2)

Net: O + O3 2O2 (6-3)

X dapat berupa NO, OH, H, Cl,

dan Br. Reaksi ini secara keseluruhan

dikendalikan oleh densitas atom oksigen

yang menurun jumlahnya seiring

menurunnya ketinggian. Di stratosfer

bawah, siklus ini tidak terlalu penting

dibandingkan siklus lainnya yang tidak

dibatasi oleh atom oksigen.

7 PENUTUP

Radikal OH dan NO berperan

sebagai agen perusak ozon di stratosfer.

Page 10: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)

53

Radikal NO juga berperan sebagai

intermediate reaksi pembentukan ozon

di troposfer untuk menghasilkan

kembali NO2 juga berperan dalam

produksi OH. Radikal OH di troposfer

berperan sebagai oksidator yang

mengoksidasi CO menjadi CO2 dan

bereaksi dengan HC membentuk alkil

peroksi radikal. Beberapa faktor lain

yang mempengaruhi ozon di stratosfer

adalah sinar matahari, jumlah oksigen,

dan keberadaan agen perusak ozon.

Beberapa faktor lain yang mempengaruhi

ozon di troposfer yaitu prekursor, sinar

matahari, faktor meteorologi, pemben-

tukan petir, dan pengaruh musim.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Ibu Ninong Komala dan Bapak

Mulyono di Bidang Komposisi Atmosfer

PSTA LAPAN yang telah membantu

penulis dalam penyediaan data ozon

permukaan dan temperatur di Bandung

yang digunakan pada tulisan ini.

DAFTAR RUJUKAN

A. Damiani., M. Storini., C. Rafenelli., and P.

Diego, 2010. Variability of the Nighttime

OH Layer and Mesospheric Ozone at

High Latitudes During Northern Winter:

Influence of Meteorology, Atmos. Chem.

Phys., 10, 10291-10303.

Fehsenfeld, 1993. Tropospheric Ozone:

Distribution and Sources, Global

Atmospheric Chemical Change, 169-174.

K. Minschwaner., G. L. Manney., S. H. Wang.,

and R. S.Harwood, 2011. Hydroxyl in

the Stratosphere and Mesosphere – Part

1: Diurnal Variability, Atmos. Chem.

Phys., 11, 955-962.

Kalabokas, 2004. A Climatological Study of

Rural Surface Ozone in Central Greece,

Journal of Atmospheric chemistry and

Physic, Athena, Yunani.

Mc.Conell, J.C., 2008. Stratospheric Ozone

Chemistry, ATMOSPHERE-OCEAN 46

(1) 2008, 69–92.

NASA, 2001. Educational Resources, The Ozone

layer, www. nas.nasa.gov/ About/

Education/Ozone/.

Portmann R.W., Daniel J.S., dan Ravishankara

A.R., 2012. Stratospheric Ozone Depletion

Due to Nitrous Oxide: Influences of Other

Gases, Phil. Trans. R. Soc. B., 367,

1256-1264.

Pulikeshi, 2005. The Effects of Weather on

Surface Ozone Formation, Green Page,

Eco Servic International.

Rowland S., 2006. Stratospheric Ozone

Depletion Review, Phil. Trans. R. Soc. B

(2006) 361, 769–790.

Schreiber, V., 1996. A Synoptic Climatological

Evaluation of Surface Ozone

Concentrations in Lancaster County,

Pennsylvania, Millersville University of

Pennsylvania.

Page 11: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)

47

Page 12: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Kalibrasi Magnetometer ....(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat)

55

KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540

MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER

Harry Bangkit, Mamat Ruhimat

Pusat Sain Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Keberadaan kalibrator magnetometer di laboratorium Pusat Sains Antariksa merupakan

sarana untuk menguji ketelitian magnetometer. Pusat Sains Antariksa telah membangun sebuah

sistem observasi geomagnet landas bumi menggunakan sensor tipe 1540. Kalibrasi dilakukan

terhadap sensor tersebut sebelum ditempatkan di stasiun pengamat geomagnet.

1 PENDAHULUAN

Badai magnet merupakan

gangguan temporal pada magnetosfer

akibat interaksi angin surya dengan

medan magnet bumi. Pada kondisi

tertentu partikel bermuatan dapat

masuk ke lingkungan bumi akibat

gelombang kejut dari angin surya.

Gangguan ini dapat disebabkan oleh

lontaran massa korona matahari.

Gambar 1-1: Kondisi dinamis akibat aktifitas

matahari yang mempengaruhi fisis ruang antar planet sampai lapisan magnetosfer, ionosfer, dan termosfer bumi. Gelombang kejut angin surya dapat menyebabkan badai magnet skala besar sehingga partikel bermuatan masuk ke lingkungan bumi dan mengancam kehidupan manusia. (Sumber: wikipedia)

Badai magnet dapat mempengaruhi

kesehatan mahluk hidup dan

mengganggu perangkat teknologi yang

ada di orbit maupun permukaan bumi,

seperti komunikasi radio, navigasi,

kerusakan satelit, jaringan listrik dan

eksplorasi geologi, sehingga pengamatan

dan peringatan dini adanya badai

magnet penting dilakukan.

LAPAN melakukan pengamatan

dan studi terkait aktifitas badai magnet

sejak tahun 1992. Saat ini 11 lokasi

tersebar di Indonesia mengamati variasi

harian geomagnet secara kontinu

menggunakan magnetometer. Beberapa

magnetometer telah beroperasi lebih

dari 10 tahun, sehingga kalibrasi perlu

dilakukan guna menjamin kualitas data

pengamatan.

Page 13: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:55-60

56

Gambar 1-2: Beberapa magnetometer yang

digunakan untuk mengamati variasi harian geomagnet. Magnetometer MB162C, Magson, dan Magdas merupakan magnetometer tipe fluxgate, Lemi

030 merupakan tipe induction, dan G856 merupakan tipe proton (Sumber: LAPAN)

2 MAGNETOMETER TIPE 1540

Magnetometer adalah instrumen

yang digunakan untuk mengukur

kekuatan dan juga arah medan magnet.

Instrumen ini pertama kali

diperkenalkan oleh Carl Friedrich Gauss

pada tahun 1833 untuk pengukuran

medan magnet bumi. Satuan

internasional medan magnet adalah

Tesla. Untuk pengukuran geomagnet

digunakan satuan nanotesla (nT).

Satuan lain yang digunakan adalah

Gauss, dimana 1 Gauss = 100.000 nT

atau 1 Gauss = 100.000 gamma.

Magnetometer dibagi menjadi dua

tipe. Tipe pertama adalah magnetometer

skalar, yaitu magnetometer yang hanya

mengukur total kekuatan medan

magnet. Tipe kedua adalah magnetometer

vektor, yaitu magnetometer yang

mengukur besar dan arah medan magnet

dalam 3 koordinat, yaitu komponen XYZ

atau HDZ (Buletin Komrad).

Magnetometer dijital tipe 1540

merupakan magnetometer vektor jenis

fluxgate yang mengukur medan magnet

dalam arah XYZ. Magnetometer ini

memiliki resolusi 0.01 nT, rentang

pengukuran ± 65.000 nT, ADC 24 bit,

dan komunikasi data melalui RS232.

Diameter magnetometer hanya 1 inchi,

dengan panjang 4,73 inchi, dan

bentuknya sangat ringkas seperti

terlihat pada Gambar 2-1.

Gambar 2-1: Magnetometer dijital tipe 1540

berbentuk tabung dengan ukuran relatif kecil dan bentuk yang ringkas (Sumber: www. appliedphysics.com)

Untuk dapat digunakan

mengamati variasi harian geomagnet di

stasiun pengamat maka magnetometer

harus ditempatkan pada mounting

sensor yang dilengkapi waterpass untuk

leveling dan knop pengaturan posisi titik

nol komponen Y atau barat – timur

medan geomagnet, seperti terlihat pada

Gambar 2-2.

Gambar 2-2: Magnetometer digital tipe 1540

yang telah dilengkapi mounting sensor terbuat dari bahan non magnetik. Tampak samping (kiri) dan atas (kanan) (Sumber:

LAPAN).

Sensor magnetometer dan

mounting di atas merupakan bagian dari

Sistem Observasi Geomagnet Terpadu

yang dibangun pada tahun 2011.

Dengan adanya kalibrator magnetometer

di Pusat Sains Antariksa pada tahun

2014, kalibrasi secara laboratorium

dapat dilakukan.

3 HELMHOLTZ COIL

Helmholtz coil adalah alat untuk

membangkitkan medan magnet uniform

Page 14: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Kalibrasi Magnetometer ....(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat)

57

dalam ruang tertentu. Alat ini terdiri

dari sepasang kumparan elektromagnet

yang ditempatkan secara simetris pada

sebuah vektor medan. Selain

membangkitkan medan magnet, coil ini

juga digunakan untuk menghilangkan

efek medan magnet luar, seperti medan

magnet bumi.

Gambar 3-1: Skematik kumparan helmholtz

berupa dua solenoida pada satu vektor medan (Sumber: Wikipedia)

Kekuatan medan magnet di titik pusat

antara kedua solenoida sebesar:

(3-1)

Keterangan:

µ0 = konstanta permeabilitas

n = banyaknya lilitan coil tiap solenoida

I = arus yang mengalir pada coil

R = radius coil

4 KALIBRATOR MAGNETOMETER

Kalibrator magnetometer berbasis

kumparan helmholtz melengkapi

fasilitas di Pusat Sains Antariksa mulai

tahun 2014. Pada mode closed loop,

kalibrator ini bertindak sebagai simulator

medan magnet yang besarnya dapat

diatur antara -100.000 nT sampai

dengan +100.000 nT pada tiap vektor

medan (X, Y, Z) dan mampu mereduksi

efek noise lokal sampai dengan 90 dB.

Pada mode open loop, arus pada lilitan

helmholtz ditiadakan sehingga kalibrator

bertindak sebagai perekam variasi

medan magnet bumi.

Gambar 4-1: Sistem kalibrasi magnetometer

berbasis Helmholzt coil telah beroperasi di Pusat Sains Antariksa – LAPAN mulai tahun

2014. Kalibrator ini telah digunakan untuk magnetometer MB162C, Magson, G856 dan 1540. Kalibrator ini juga akan mendukung studi muatan magnetometer pada satelit LAPAN. Selain itu penelitian lain terkait simulasi medan magnet juga dapat dilakukan (Sumber: LAPAN)

Kalibrator magnetometer berbasis

helmholzt coil terdiri atas sepasang

kumparan helmholtz tiga sumbu, yaitu

kumparan ±X, ±Y, dan ±Z, berbentuk

kubus dengan dimensi 2 x 2 x 2 meter.

Unit pengontrol helmholtz coil berfungsi

mengatur besarnya arus yang mengalir

pada tiap kumparan sehingga meng-

hasilkan medan magnet sesuai keinginan

(magnetometer, 2013). Berikut ini adalah

spesifikasi kalibrator magnetometer yang

ada di LAPAN:

Helmholtz coil

Helmholtz coil tiga sumbu (X, Y, Z).

Keselarasan sumbu ortogonal + 0.1 °.

Konstanta magnetik 75,000 nT/

Ampere.

Akurasi pengkalibrasian ± 0.01% di

titik pusat coil.

Keseragaman medan magnet 0.025%

pada jarak 20 cm dari pusat coil, dan

0.005% pada jarak 10 cm dari pusat

coil.

Geometri coil sangkar persegi dengan

tiga pasang coil.

Luas coil bagian dalam 200 cm2.

Berat seluruh coil 114 kg.

Page 15: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:55-60

58

Konstruksi coil terbuat dari material

non magnetik dan terisolasi untuk

mencegah loops arus eddy.

Unit pengontrol helmholtz coil

Dua mode operasi yaitu open loop dan

closed loop.

Resolusi pengaturan medan magnet

20-bit (~.3 nT) dengan cakupan ± 1

Gauss.

Memiliki sensor magnetometer

fluxgate tiga sumbu yang diletakan di

titik pusat coil.

Dilengkapi magnetometer satu kanal

yang presisi sehingga dapat melakukan

kalibrasi sistem secara otomatis.

Memiliki 6 saluran analog dengan ADC

beresolusi 24-bit untuk mendigitasi

output analog dari magnetometer

yang sedang dikalibrasi.

Dilengkapi remote control.

Dilengkapi software untuk mengontrol

medan magnet di dalam coil

(berputar, statik atau meningkat)

secara otomatis melalui komputer.

5 KALIBRASI MAGNETOMETER

Magnetometer tipe 1540 yang

telah dilengkapi mounting diuji

menggunakan kalibrator magnetometer

dengan layout seperti terlihat pada

Gambar 5-1. Medan magnet di dalam

helmholtz coil diubah-ubah untuk

melihat respon magnetometer. Nilai

pembacaan magnetometer tersebut

dibandingkan dengan nilai medan

magnet yang diberikan oleh helmholtz

coil. Plot pembacaan magnetometer

sepanjang kalibrasi terlihat pada

Gambar 5-2. Nilai pembacaanya terlihat

pada Gambar 5-3.

Gambar 5-1 memperlihatkan

fluktuasi grafik pembacaan magnetometer

1540 tiap komponen sebagai akibat

perubahan medan magnet yang

dikontrol oleh helmholtz coil. Fluktuasi

nilai pembacaan magnetometer 1540

sesuai dengan fluktuasi medan magnet

yang diberikan oleh kalibrator. Hal ini

menunjukkan respon magnetometer

dijital tipe 1540 ini masih sangat baik.

Gambar 5-1: Plot pembacaan magnetometer

1450 terdiri atas komponen XYZ (merah), temperatur sensor

(merah) dan temperatur ruangan (biru)

Gambar 5-2: Nilai pembacaan magnetometer

pada berbagai itensitas medan yang dibangkitkan oleh helmholtz

coil

Meskipun respon magnetometer

ini sangat baik, namun terdapat

perbedaan threshold antara hasil

pengukuran magnetometer 1540 dengan

besar medan magnet yang dibangkitkan

oleh kalibrator. Menurut pembacaan

Hybrid Fluxgate Magnetometer, yaitu

sebuah magnetometer dengan ketelitian

yang sangat tinggi untuk aplikasi ruang

angkasa (Magson, 2013), perbedaan

(jitter range) pada komponen X dan Y

sebesar 80 nT, dan pada komponen Z

sebesar 120 nT, seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 5-3 dan 5-4.

Hal ini dapat disebabkan perbedaan

posisi penempatan sensor magnetometer

yang akan diuji dengan sensor fluksgate

kalibrator yang terletak 25 cm di bawah

magnetometer uji.

Page 16: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Kalibrasi Magnetometer ....(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat)

59

Gambar 5-3: Pembacaan sensor fluksgate

magnetometer kalibrator komponen

X,Y,Z terhadap itensitas medan magnet lingkungan (mode open loop)

Gambar 5-4: Pembacaan magnetometer Hybrid

Fluxgate Magnetometer (HFGM)

komponen XYZ terhadap itensitas medan magnet lingkungan

6 PENUTUP

Kalibrasi peralatan magnetometer

saat ini dapat dilakukan di Pusat Sains

Antariksa dengan adanya kalibrator

magnetometer berbasis helmholtz coil.

Mounting sensor magnetometer 1540

dibuat dengan sangat baik sehingga

tidak mempengaruhi pembacaan

magnetometer didalamnya. Perlu

dipertimbangkan teknik penempatan

sensor magnetometer yang akan diuji

dalam helmholtz coil sedekat mungkin

dengan magnetometer fluksgate

kalibrator agar jitter range pembacaan

kedua sensor tidak terlalu besar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan

kepada rekan-rekan di Pusat Sains

Antariksa, khususnya Bidang

Geomagnet dan Magnet Antariksa, atas

perannya dalam merawat peralatan

sehingga kalibrasi ini dapat dilakukan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan

juga kepada rekan-rekan di Pusat

Teknologi Satelit yang telah melakukan

pengujian Hybrid Fluxgate Magnetometer

(HFGM) pada Precision Magnetic Field

Calibration System di Pusat Sains

Antariksa.

DAFTAR RUJUKAN

Apex-CS Helmholtz Coil Controller, Precision

Magnetic Field Calibration System,

Billingsley Aerospace and Defense,

www.magnetometer.com.

Bangkit H., 2011. Sistem Observasi Geomagnet

Landas Bumi Terpadu LAPAN, Prosiding

Seminar Nasional Sains Atmosfer dan

Antariksa LAPAN, 417 – 425.

Bangkit H., 2012. Magnetometer, Buletin

Komrad Vol.4 No. 2, 6 – 8.

Bangkit H., 2015. Sistem Kalibrasi Magnetometer

Menggunakan Helmholtz Coil, Buletin

Cuaca Antariksa, Vol. 4 No.3, 7 – 8.

Digital 3-Axis Fluxgate Magnetometer Model

1540, http:// appliedphysics. com/

products/magnometers/.

Helmholtz Coil Assembly Manual, Precision

Magnetic Field Calibration System,

Billingsley Aerospace and Defense,

www.magnetometer.com.

Helmholtz coil, http://en.wikipedia.org/wiki/

Helmholtz_coil.

Hybrid Fluxgate Magnetometer, Design Description

User Manual, Magson GmbH, http://

www.magson.de/ products/

products4.html.

Page 17: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:55-60

60

Magnetometer, Buletin Komrad Vol. 4/ No. 2/

April – Juni 2012. ISSN: 2086-1958.

Magnetometer, http://en.wikipedia.org/wiki/

Magnetometer.

Space Weather, https://en.wikipedia. Org.

Page 18: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)

61

POTENSI PEMANFAATAN SATELIT ALOS-3

Samsul Arifin

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Kalisari No. 8, Pekayon 13710 Indonesia

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Advanced Land Observing Satellite-3 (ALOS-3) merupakan kelanjutan misi satelit optik JAXA

dari ASTER dan ALOS. ALOS-3 yang akan diluncurkan pada 2015/2016. Tujuan tulisan ini adalah

untuk mengkaji potensi pemanfaatan dari ALOS-3, agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna di

Indonesia. Berdasarkan hasil kajian ALOS-3, bahwa ALOS-3 PRIMS-2 dan HISUI memiliki

peningkatan kemampuan kapasitas dari berbagai aspek dibandingkan PRISM, AVNIR satelit ALOS

dan satelit ASTER.PRISM-2. ALOS-3 dapat digunakan untuk pembuatan data Digital Surface Model

(DSM). Multispektral (MSS) HISUI ALOS-3 berpotensi untuk pemantauan lingkungan, kebencanaan,

obsevasi survey permukaan tanah, pesisir dan perairan laut. Hiperspektral (HSS) HISUI ALOS-3

sangat berpotensi untuk pemantauan lingkungan atau pemetaan dalam skala global. Pemanfaatan

sensor komplemen dari ALOS-3 dapat meningkatkan kemampuan dalam ketersediaan resolusi lebih

tinggi dan cakupan yang luas dengan menghasilkan citra pansharpen, multispectral dan hiperspektral.

Kata Kunci: ALOS-3, HISUI, PRISM-2, Potensi, Aplikasi, Sumberdaya, Kebencanaan

1 PENDAHULUAN

Indonesia dan Jepang telah lama

menjalin kerja sama dalam kegiatan

penelitian teknologi dan pemanfaatan

penginderaan jauh. Kedua negara tersebut

diwakili oleh masing-masing instansi

Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional (LAPAN) dan Japan Aerospace

Exploration Agency (JAXA). Teknologi

dan pemanfaatan penginderaan jauh

yang telah diadakan kegiatan dan

penelitian bersama diantaranya adalah

satelit Japanese Earht Resource Satellite-1

(JERS-1) dan Advanced Land Observing

Satellite (ALOS). LAPAN mendapatkan

hibah pembangunan stasiun bumi

untuk dapat menerima data JERS-1

untuk dapat dimanfaatkan di Indonesia.

Kerjasama masih terus berlanjut dengan

hadirnya ALOS dan ALOS-2 sampai

sekarang.

Setelah JAXA berhasil menluncur-

kan ALOS-2 pada tanggal 24 Mei 2014,

kini JAXA berencana meluncurkan

ALOS-3 pada 2015/2016. ALOS-3

merupakan tindak lanjut misi optik dari

ASTER dan ALOS (optik) yang telah

mengalami masalah sehingga tidak

operasional lagi. Dengan adanya

pengembangan teknologi satelit ini,

dimungkinkan akan diadakannya suatu

kerjasama berkelanjutan antara Jepang

dan Indonesia untuk perolehan data

dan pemanfaatannya dalam bidang

sumberdaya alam dan kebencanaan. Hal

ini disebabkan ALOS-3 memiliki misi

memberikan pelayanan untuk

dukungan operasional dalam bidang

pemantauan, memperbarui data untuk

kelanjutan arsip data yang terkait

dengan informasi sumberdaya alam,

vegetasi, survey tanaman, kondisi

lingkungan pesisir dan pemantauan

lingkungan, termasuk pembuangan

ilegal limbah industri. (Imai, et al, 2009,

2011, 2012). ALOS-3 dan produksi

datanya tersebut sangat menguntungkan

bagi Indonesia, mengingat Indonesia

memiliki sumberdaya alam beraneka

ragam dan memiliki dinamika/fenomena

lingkungan yang komplek serta negara

Indonesia sering mengalami berbagai

bencana.

Page 19: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72

62

Selain itu, Indonesia dan Jepang

telah menjalin kerjasama dalam bidang

perkembangan teknologi dan pemanfaatan

datanya baik dalam bentuk penelitian

bersama dan pelatihan untuk berbagai

aplikasi, antara lain bidang pertanian,

pembuatan DEM, Interferometri dan

lain-lain. Oleh karena itu dipandang

perlu Indonesia (LAPAN) untuk mengkaji

dan menelaah teknologi dan pemanfaatan

satelit yang dibuat Jepang khususnya

satelit ALOS yang berkelanjutan. Tujuan

tulisan ini untuk mengkaji karakteristik

dan potensi aplikasi dari ALOS-3 agar

dapat dimanfaatkan pengguna di

Indonesia.

2 STUDI PUSTAKA

2.1 ALOS

Advanced Land Observing Satellite

(ALOS) atau juga bernama Daichi

diluncurkan pada tanggal 24 Januari

2006 mempunyai 5 misi utama yaitu

pengamatan kartografi, pengamatan

regional, pemantauan bencana alam,

penelitian sumber daya alam dan

pengembangan teknologi satelit JERS-1

dan ADEOS. ALOS dilengkapi dengan

tiga sensor inderaja, yaitu sensor

Panchromatic Remote Sensing Instrument

for Stereo Mapping (PRISM) dan sensor

Advanced Visible and Near Infrared

Radiometer type-2 (AVNIR-2), serta sebuah

sensor gelombang mikro atau radar yaitu

Phased Array type L-Band Synthetic

Aperture Radar (PALSAR). (Shimada, 2009,

Fukuda, 2011)

PRISM adalah radiometer

pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 m

di titik nadir. Data yang dihasilkan

bermanfaat untuk membuat Digital

Surface Model (DSM) yang sangat

akurat. PRISM tidak bisa mengamati

kawasan di luar 82 derajat selatan dan

lintang utara, karena area tersebut

merupakan area kutub atau es yang

memiliki ketinggian sama, sehingga

PRISM saat melintasi dinonaktifkan

atau dikonsisikan tidak mengakuisisi

untuk efisiensi energi dan penyimpanan

data. AVNIR-2 adalah radiometer sinar

tampak dan inframerah dekat untuk

mengamati tanah dan wilayah pesisir.

AVNIR-2 adalah penerus AVNIR yang

berada pada Advanced Earth Observing

Satellite (ADEOS). Sensor ini menyedia-

kan informasi spasial tanah yang lebih

baik dan peta klasifikasi penggunaan

lahan untuk memantau lingkungan

regional. PALSAR merupakan sensor

gelombang mikro aktif menggunakan

frekuensi L-band yang bebas awan dan

observasi lahan siang dan malam.

Sensor ini memiliki kapasitas lebih baik

dari JERS-1 Synthetic Aperture Radar

(SAR). Pengembangan PALSAR merupakan

proyek kerjasama antara JAXA dan

Japan Resources Observation System

Organization (JAROS). Kekurangan

PALSAR tidak bisa mengamati kawasan

di luar 87,8 derajat lintang utara dan

75,9 derajat Lintang Selatan ketika

sudut off-nadir adalah 41,5 derajat.

ALOS berakhir pada tanggal 12

Mei 2011. Satelit ini telah merekam 6,5

juta informasi dalam lima tahun sejak

mulai operasi dan telah banyak

berkontribusi dalam mengakusisi data

dalam keadaan darurat untuk keperluan

bencana dengan pengamatan sekitar

100 wilayah yang dilanda bencana

dalam skala besar pertahun. Sejak

ALOS berakhir, kurang lebih 3 tahun

Jepang (JAXA) tidak mengakusisi data

dan memberikan informasi. Pada tanggal

24 Mei 2014.

Gambar 2-1: Satelit ALOS (sumber: http://

global.jaxa.jp)

2.2 ALOS-2

Advanced Land Observing Satellite-

2 (ALOS-2) atau "Daichi-2” merupakan

Page 20: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)

63

salah satu jenis satelit Radar untuk

pemetaan yang berhasil diluncurkan

oleh Jepang pada tanggal 24 Mei 2014.

Satelit ini diluncurkan dengan

menggunakan roket H-IIA No. 24 (H-IIA

F24) dari Tanegashima Space Center,

JAXA (Arifin, 2014, Graham, 2014). ALOS-

2 merupakan satelit radar observasi

bumi yang dioperasikan oleh Japan

Aerospace Exploration Agency (JAXA)

untuk mendapatkan citra radar resolusi

tinggi dari permukaan bumi dan

dimanfaatkan bagi pemetaan/kartografi,

observasi wilayah, pengelolaan sumber

daya, manajemen bencana dan tujuan

penelitian (Sitanggang, 2010). ALOS-2

diproduksi oleh Mitsubishi Electric

Corporation di bawah kontrak dengan

JAXA (Kamimura, et al, 2008, Anonim,

2012, Clark, 2014). JAXA telah

meluncurkan kembali satelitnya sebagai

penerus ALOS yaitu ALOS-2. Tidak

seperti ALOS yang membawa muatan

sensor PRISM, AVNIR-2 dan PALSAR-1,

pada ALOS-2 hanya membawa muatan

sensor PALSAR-2 saja.

ALOS-2 memiliki kelebihan dari

pada ALOS sebelumnya. ALOS-2

diluncurkan hanya membawa muatan

utama Phased Array type L-Band

Synthetic Aperture Radar-2 (PALSAR-2).

ALOS-2 memiliki muatan (payload) SAR

dengan resolusi spasial lebih baik,

resolusi temporal lebih cepat, dan

pengamatan sudut insiden tinggi dari

pada ALOS yang diluncurkan sebelumnya.

ALOS-2 dirancang untuk memfasilitasi

instrumen utama yaitu PALSAR-2 dan

muatan sekunder sebagai misi ujicoba

(demontrasi) teknologi yang terdiri dari

Compact Infrared Camera (CIRC) dan

Space-based Automatic Identification

System Experiment 2 (SPAISE-2) (Oki,

2012)

Satelit ini memiliki berat 2.120

kilogram dan ukuran 9,9 x 16,5 x3,7

meter ketika sepenuhnya diluncurkan

ke orbit. Satelit ini dilengkapi dengan

tiga panel yaitu dua unit disusun untuk

tenaga matahari (surya) dengan

menggunakan triple-junction gallium

arsenide sel surya untuk kapasitas daya

output total 5.200 Watt pada akhir

operasi dan sebuah unit avionik khusus

untuk pendingin listrik badan utama

satelit dan memenuhi peraturan negara

yang harus bertanggung jawab atas

baterai satelit.

Gambar 2-2: Satelit ALOS-2 (sumber: http://

www.spaceflight101.com)

2.3 ALOS-3

Proyek lanjutan setelah sukses

meluncurkan ALOS-2, JAXA merencana-

kan meluncurkan ALOS-3. Gambar 2-3,

merupakan jadwal program proyek

ALOS JAXA mulai 2006 sampai tahun

2018. Untuk proyek ALOS-3 rencananya

selesai dan diluncurkan tahun di atas

tahun 2016. (Imai, et al, 2010).

Page 21: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72

64

Gambar 2-3: Gambaran rencana jangka panjang ALOS (http://global.jaxa.jp)

Gambar 2-4: Ilustrasi satelit ALOS-3 (sumber: http://global.jaxa.jp)

ALOS-3 merupakan tindak lanjut

misi satelit optik JAXA dari ALOS/

Daichi dan untuk melengkapi layanan

misi SAR dari ALOS-2. ALOS-3

dilengkapi muatan sensor optik dengan

kemampuan lebih baik dari pada

instrumen PRISM dan AVNIR-2 pada

satelit ALOS. Perancangan ALOS-3

memiliki tujuan untuk memberikan

dukungan operasional dalam peman-

tauan kebencanaan, memperbarui data,

monitoring tanaman, pemantauan

pesisir dan pemantauan lingkungan.

Salah satu persyaratan yang paling

utama atau penting dari program pasca

ALOS adalah resolusi spasial tinggi,

pengamatan dan pengiriman informasi

yang cepat setelah bencana. Untuk

memenuhi kebutuhan tersebut, JAXA

telah melakukan desain konseptual dari

sistem satelit pasca ALOS (Imai, et al.,

2009), termasuk konstelasi satelit optik

dan satelit radar. Desain satelit ALOS-3

akan mengadopsi desain satelit ALOS-2

hampir pada semua aspek. Ada beberapa

perbedaan antara satelit ALOS-2 dan

ALOS-3; misalnya, kemampuan meng-

arahkan sensordan jumlah penyimpanan

data.

Secara umum ALOS-3 memiliki

tujuan untuk penyediaan citra resolusi

tinggi dengan resolusi spasial <1 m pada

liputan 50 km, memperoleh citra pan-

sharpen dengan akuisisi simultan band

pankromatik dan gambar empat band

multispektral (MS), memperoleh citra

stereo dari berbagai sudut pandang dan

memiliki kemampuan dapat diaktifkan

langsung untuk mengakusisi citra pada

titik wilayah yang cukup luas untuk

mencapai pemantauan yang tepat waktu

jika terjadi bencana. ALOS-3 direncanakan

luncur pada ≥ 2016 dengan pesawat

roket H-2A dari Tanegashima Space

Page 22: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)

65

Center, Japang. Orbit Sun-sinkron pada

ketinggian 618 km, kemiringan = 97.9º

dan waktu Local Time on Descending

Node (LTDN) pada jam 10:30 ± 15 menit

serta periode waktu adalah 60 hari.

ALOS-3 direncanakan beropersi selama

5 tahun.

ALOS-3 dilengkapi muatan

komunikasi frekwensi radio dengan

ukuran volume besar sebagai sumber

data membutuhkan onboard dengan

kapasitas tinggi, sistem penyimpanan

serta teknik ireversibel (lossy) kompresi

berkualitas tinggi. ALOS-3 menggunakan

downlink X-band dan sistem Intersatellite

Link (ISL) untuk menangani beberapa

Gb/s misi sumber data. Data rate 800

Mb/s dengan skema modulasi 16

Quadrature Amplitude Modulation (QAM).

Pada ALOS-3 dikembangkan pemanfaatan

Multi mode High Speed Modulator

(XMOD) baru seperti dalam ALOS-2

dengan kapasitas penyimpanan onboard

> 200 Gbdan volume data maksimum

adalah 1.440 Gb/hari.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

ALOS-3 dilengkapi sensor optik

Panchromatic Remote Sensing Instrument

for Stereo Mapping-2 (PRISM-2) dan

Hyperspectral Imager Suite (HISUI) yang

memiliki kemampuan pencitraan

panchromatic, multispectral dan

hiperspektral (Iwasaki, et al., 2010).

Orbit diatur sedemikian rupa sehingga

PRISM-2 dapat mengamati seluruh

permukaan bumi dengan liputan 50 km

tanpa satelit memutar arah ke objek

observasi. Untuk kelangsungan misi,

ALOS-3 beredar pada waktu lokal

matahari pada jam 10:30 sama dengan

ALOS. HISUI merupakan kelanjutan dari

satelit Advanced Spaceborne Thermal

Emission and Reflection Radiometer

(ASTER) dari JAXA yang diluncurkan

bersama misi Terra NASA pada 18

Desember 1999 dengan misi operasi

lebih dari 10 tahun dan ASTER beroperasi

sampai tahun 2010. Pengembangan

instrumen HISUI dimulai pada 2007

yang dikerjakan dengan kerjasama

antara Ministry of Economy, Trade, and

Industry (METI) Japan, Japan Resources

Observation System Organization (JAROS)

dan NEC Corporation. (Nagamitsu,et al,

2010)

3.1 Karakteristik PRISM-2

PRISM-2 merupakan suatu sensor

optik pankromatik yang beroperasi pada

kisaran spekral 0,52-0,77 µm. PRISM-2

terdiridua baris instrumen pushbroom

yaitu jenis stereo resolusi tinggi nadir

and backward-looking (tampak tegakdan

tampak mundur) merupakan tindak

lanjut PRISM ALOS. PRISM-2 memiliki

detektor teleskop Field of View (FOV)

dan Focal Plane Assembly (FPA) dengan

kapasitas besar untuk mewujudkan

lebar liputan 50 km pada permukaan

bumi yaitu 0,8 m pada liputan 50 km.

Desain teleskop yang digunakan adalah

Off-axis Three Mirror Anastigmat (TMA)

(Rodolfo et al, 2012).

Tabel 3-1: KARAKTERISTIK PRISM-2 ALOS-3 (Sumber: eoPortal Directory)

Parameter PRISM-2 ALOS-3

Skema pencitraan Pushbroom

Resolusi Spasial Nadir-looking(Tampak Nadir): 0,8 m

Backward-looking(Tampak Mundur): 1,25 m (di titik

nadir footprint)

Lebar Liputan / citra 50 km

Rentang spektral 0,52-0,77 µm

Detektor untuk pengamatan nadir-looking

Detektor untuk pengamatan backward-looking

Si array 65.000 piksel (8 array CCD dari ~ masing-masing 8000 piksel)

Si array 40.000 piksel (6 array CCD dari ~ masing-

masing 8000 piksel)

Data kuantisasi 11 bit / pixel

Data compression technique JPEG2000 (atau JPEG200 metode setara)

Page 23: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72

66

Gambar 3-1: Konsep skema dari PRISM-2 (Sumber: eoPortal Directory)

Tabel 3-2: PENINGKATAN KEMAMPUAN SENSOR PRISM-2, ALOS-3 (Imai et al, 2013, Tadono et al, 2013)

Parameter ALOS / PRISM ALOS-3 / PRISM-2

Resolusi Spasial 2,5 m 0,8 m

Lebar Liputan / citra 35 km / 70 km 50 km

S/N (signal-to-noise) > 70 > 200

Kuantisasi Data 8 bit 11 bit

Sudut pengarahan

titik (pointing)

± 1.5º (dalam lintas-track) ± 60 º (kerucut, max)

Aliran Data 277,52 Mbit / s (Ka-band)

138,76 Mbit / s (X-band)

800 Mbit / s (X dan Ka-

band)

Geolocation accuracy 6,1 m (rms) Lebih baik dari PRISM

Gambar 3-1 menunjukkan konsep

pengamatan stereo untuk pencitraan

dua baris pushbroom stripmap. Citra

menggambarkan kemampuan gerakan

satelit untuk menunjuk ke arah ± 60

derajat. PRISM-2 memungkinkan akses

dengan cepat ke setiap titik permukaan

bumi dalam satu hari dengan badan

satelit. Untuk memenuhi persyaratan

misi satelit ini, beberapa alat observasi

ditingkatkan kemampuannya dari badan

sensor (onboard) PRISM ALOS (Hiroko et

al., 2013). Sebagai tinjauan ulang

tentang karakteristik PRISM ALOS dan

kemampuan PRSM-2ALOS-3 ditunjukkan

pada Tabel 3-2.

Berdasarkan perbandingan antara

karakteristik PRISM dengan PRISM-2

ALOS-3, maka PRISM-2 memiliki beberapa

peningkatan kemampuan instrumen

lebih baik, karena PRISM-2 menyediakan

data stereo resolusi yang lebih tinggi

yaitu 0,8 meter, liputan citra lebih luas

dengan liputan 50 km2 dan akurasi

geolocation yang lebih baik, kuantisasi

data dan pengarahan pada titik observasi

cepat serta memiliki transfer data

(downlink) lebih besar. Dengan meman-

faatkan citra stereo yang diakuisisi dua

teleskop PRISM-2 ALOS-3 berpotensi

untuk membangun data citra Digital

Surface Models (DSMs) yang lebih

akurat dengan resolusi lebih tinggi.

Dengan kemampuan sensor PRISM-2

dapat mengamati seluruh permukaan

bumi dengan liputan 50 km tanpa

memutar arah ke obyek observasi

bencana, maka sensor ini memiliki

potensi memberikan informasi secara

efektif dan efisien dalam penanganan

kebencanaan, hal ini merujuk pada

kajian kemampuan PRISM ALOS

(Sitanggang, 2010). Sensor PRISM-2

merupakan sensor yang menghasilkan

citra resolusi melebihi kemampuan

sensor PRISM ALOS. Selain itu dengan

resolusi yang tinggi dan sapuan yang

cukup luas, DSMs, dan komplemen

dengan sensor lainya (AVNIR, SAR)

maka dimungkinkan PRISM-2 dapat

Page 24: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)

67

mengidentifikasi adanya potensi longsong,

banjir, aliran lahan gunung berapi dan

lain-lain.

3.2 Karakteristik dan Potensi

Hyperspectral Imager Suite

(HISUI)

HISUI terdiri dari dua elemen

yaitu Multispectral Sensor (MSS) dengan

resolusi spasial dan lebar liputan yang

sangat baik yaitu 5 meter dan lebar

liputan 90 km, sedangkan Hyperspectral

Sensor (HSS) memiliki resolusi spasial

30 meter dengan lebar liputan 30 km

dan resolusi spektral tinggi yaitu 185

band, serta memiliki kemampuan

identifikasi yang tinggi. Untuk memenuhi

Rasio Signal to Noise (SNR) tinggi,

diameter teleskop dirancang dengan

ukuran lubang 30 cm untuk observasi

permukaan bumi dengan resolusi

spasial 30 m. Cahaya yang diterima dua

spektrometer yaitu radiometer Visible

dan Near Infrared (VNIR) dengan 57

band dan radiometer Short-Wavelength

Infrared (SWIR) dengan 128 band.

HISUI diorbitkan pada ketinggian

(IFOV) ± 618 km, dan dirancang

menghasilkan resolusi spasial pada

hiperspektral 30 m dan resolusi spasial

multispektral 5 m, sedangkan liputan

(FOV) diharapkan 30 km pada

hiperspektral dan 90 km pada

multispektral. HISUI bekerja pada panjang

gelombang hiperspektral 400 – 970 nm

sebanyak 57 band untuk VNIR dan

panjang gelombang 900 – 2500 nm

sebanyak 128 band untuk SWIR dan

panjang gelombang multispektral VNIR

bekerja pada kisaran 485 sampai 835 nm.

Resolusi spektral VNIR dan SWIR pada

sensor hiperspektral masing-masing

berkisar 10 nm dan 12,5 nm, sedangkan

resolusi spektral VNIR pada sensor

multispektral berkisar antara 70 nm

sampai 110 nm (Tanii, et al., 2012,

Matsunaga, et al, 2009,2010,2011).

Secara rinci spesifikasi instrument

HISUI dapat dilihat pada Tabel 3-3.

Gambar 3-2: Skema HISUI ALOS-3 (Tsuneo

Matsunaga et al., 2012)

Tabel 3-3: SPESIFIKASI INSTRUMEN HISUI (Tanii , et al, 2012)

Parameter Hyperspectral pushbroom

radiometer Multispectral

pushbroom radiometer

Daerah spektral VNIR SWIR VNIR

IFOV (@ 618 km ketinggian)

48,5 μrad (30m) 8,1 μrad (5 m)

FOV (lebar petak) 48,5 mrad (~ 30 km) 144,7 mrad (~ 90 km)

Frekuensi observasi ≤4.36 ms ≤0.73 ms

Daerah panjang gelombang

400-970 nm (57 band)

900-2500 nm (128

band)

B1: 485 nm, B2: 560 nm

B3: 660 nm, B4: 835 nm

Resolusi spektral (sampling, lebar band)

10 nm 12,5 nm B1: 70 nm, B2: 80 nm B3: 60 nm, B4: 110 nm

ILS (Instrumen Jalur Shape) resolusi spektral, FWHM

≤11 nm ≤16 nm -

Dynamic range Jenuh pada ≥70% Albedo

Jenuh pada ≥70% Albedo

Jenuh pada ≥70% Albedo

Page 25: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72

68

S/N ≥450 @ 620 nm

≥300 @ 2.100 nm

≥200 (untuk masing-masing band)

MTF ≥0.2 ≥0.2 ≥0.3

Smile and keystone ≤1 gambar pixel

≤1 gambar pixel

-

Akurasi kalibrasi (radiometrik)

Absolute: ± 5%, antara band: ± 2%

Absolute: ± 5%, antara band: ± 2%

Akurasi kalibrasi (spektral)

0,2 nm 0,625 nm -

Data Kuantisasi 12 bit 12 bit

Kehidupan Misi (Operasi) 5 tahun 5 tahun

Seperti disebutkan di atas bahwa

proyek sensor optik HISUI pada ALOS-3

dikembangkan untuk melanjutkan

ASTER yang telah tidak beroperasi pada

tahun 2010. Pada kajian ini dipandang

penting untuk diulas atau dibahas

mengenai spesifikasi utama HISUI

ALOS-3 dan ASTER, sehingga kedua

sensor dapat dilihat kelebihan dan

kekurangannya.

HISUI memiliki peningkatan

instrumen yaitu adanya sensor

multispektral (MSS) dan hyperspektral

(HSS) sedangkan pada ASTER hanya

membawa sensor multispektral. Resolusi

spasial HISUI memiliki peningkatan

resolusi spasial VNIR 5 meter pada MSS

dari pada ASTER yang memilki resolusi

spasial 15 meter, sedangkan pada SWIR

resolusi spasialnya sama. Resolusi

spectral HISUI memiliki 4 band VNIR

MSS dan dirancang memiliki 57 band

HSS sedangkan VNIR ASTER hanya

memiliki 3 band. Pada spektral SWIR

ASTER memiliki 9 band, sedangkan

SWIR HSS HISUI dirancang memiliki

128 band. Kekurangan sensor HISUI

tidak menyediakan Thermal Infra Red (TIR).

Sementara kelebihan sensor TIR

Aster yang menyediakan infra merah

thermal dapat digunakan untuk

mengetahui distribusi awan panas yang

dikeluarkan oleh gunung, distribusi

suhu permukaan laut dimana aplikasi

dari citra ini dapat digunakan untuk

mengetahui distribusi panas air laut,

dimana informasi ini dapat diterapkan

untuk mengetahui fenomena kelautan

(Subardjo et al, 2006, Sukoyo et al., 2009).

Dalam memonitor area kebakaran hutan,

TIR menunjukkan lahan bakar ber-

dasarkan intensitas suhu permukaan

lahan bakar. Suhu permukaan bumi

dapat digunakan untuk mengetahui

fenomena pemanasan yang terjadi di

daerah perkotaan. Sensor ini juga

memiliki kelebihan dapat dioperasikan

untuk siang dan malam hari.

Selain itu HISUI memiliki

kemampuan mengarahkan sensor secara

cepat pada daerah bencana yang akan

dipantau. Perbandingan antara HISUI

dan ASTER dilihat pada Tabel 3-4.

Multispektral pada HISUI ALOS-3

meliputi VNIR daerah spektral dengan

reolusi spasial 5 m dapat berpotensi

untuk memenuhi kebutuhan pengguna

akan citra resolusi spasial tinggi.

Dengan mengkombinasikan band yang

dihasilkan sensor VNIR dengan panjang

gelombang antara 0,52 samapi 0.9 pm,

dimana kisaran panjang gelombang

0,52- 0,6 berfungsi untuk pantulan

vegetasi, 0,61 – 0,69 berfungsi untuk

membedakan absorbsi klorofil dan tipe

vegetasi dan 0,76 – 0,89 berfungsi

untuk kandungan biomas, tipe vegetasi

dan pemetaan garis pantai (Swargana,

2014), Pada citra ALOS-3 berpotensi

dapat pemanfaatan dalam skala besar

baik untuk data analisis penutup lahan,

tata ruang, perkebunan, pertanian dan

lain-lain. Band biru yang ditambahkan

pada VNIR HISUI ALOS-3 dengan

panjang gelombang 0,45 sampai 0,5

dapat dimanfaatkan untuk meneliti atau

menganalisis wilayah pesisir dan

perairan laut seperti budidaya tambak,

kekeruhan dan lingkungan terumbu

karang.

Page 26: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)

69

Tabel 3-4: PERBANDINGAN PARAMETER HISUI DENGAN ASTER (http://www.eoPortal Directory)

Parameter ASTER

HISUI

MSS

(Multispektral

Sensor)

HSS

(Hiperspektral

Sensor)

Resolusi

Spasial

VNIR 15 m 5 m 30 m

SWIR 30 m - 30 m

TIR 90 m - -

Liputan Citra 60 km 90 km 30 km

Resolusi

spektral

VNIR Band1: 0,52-0,60 pM

Band2: 0,63-0,69 pM

Band3N, B: 0,76-0,86 pM

0,45-0,52 pM

0,52-0,60 pM

0,63-0,69 pM

0,76-0,90 pM

0,4-0,97 pM

Panjang

gelombang sampel

Interval; Rata-rata

10 nm

57 band

SWIR Band4: 1,6-1,7 pM

Band5: 2,145-2,185 m

Band6: 2,185-2,225 m

Band7: 2,235-2,285 m

Band8: 2,295-2,365 m

Band9: 2,36-2,43 pM

-

0,9-2,5 pM

Panjang

gelombang sampel

Interval;

Rata-rata 12,5 nm

128 band

TIR Band10: 8,125-8,475 m

Band11: 8,475-8,825 m

Band12: 8,925-9,275 m

Band13: 10,25-10,95 m

Band14: 10,95-11,65 m

-

-

S/N

VNIR Band1,2,3N, 3B:> 200 ≥ 200 ≥ 450 @ 0.62 pm

SWIR Band4> 200

Band8> 100

Band 5,6,7,9> 75

-

≥ 300 @ 2,1 m

TIR

(NEDT)

Band 10,11,12,13,14: <0,3 K - -

Data

kuantisasi

12 bit 12 bit

Data rate (70%

kompresi)

1 Gbit / s 0,4 Gb / s

Menunjuk

kemampuan

Tidak Satupun ± 3º (± 30 km)

Hiperspektral pada HISUI ALOS-3

pencitraannya dibatasi liputan yang

sempit 30 km dan jumlah data yang

sangat besar. Hasil simulasi yang telah

dilakukan oleh tim perancang untuk

berbagai pemangatan per hari

menunjukkan prestasi yang baik dalam

pemetaan global. Jika citra hiperspektral

HISUI dapat di downlink data 300

GByte per hari sekitar 20% dari

kapasitas downling ALOS-3, maka lebih

40% dari data permukaan bumi global

dapat diamati setidaknya sekali dalam 4

bulan dan 97% dalam 10 bulan. Hal ini

sangat berpotensi dalam pemantauan

atau pemetaan dalam skala global. HSS

HISUI memiliki 57 band dengan interval

10nm pada panjang gelombang 0,4

sampai 0,97 pM untuk VNIR dan memiliki

128 band dengan interval 12,5 nm pada

Page 27: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72

70

panjang gelombang 0,9 – 2,5 pM untuk

SWIR. Secara teori fungsi dari pada

VNIR yang ada pada HSS memiliki

manfaat sama seperti seperti MSS

HISUI, sedangkan fungsi SWIR memiliki

manfaat sama seperti pada SWIR Aster

dengan resolusi spasial lebih tinggi.

Pada dasarnya hiperspektral merupakan

kelanjutan dari multi spektral. Sensor

hiperspektral memanfaatkan jumlah

kanal yang jauh lebih banyak dari pada

sensor multispektral dengan resolusi

bandwidth yang lebih sempit. Umumnya

sensor hiperspektral terdiri dari 100-200

kanal dengan resolusi bandwidth 5-10 nm.

Akan jauh berbeda jika dibandingkan

dengan multispektral yang rata rata

hanya terdiri dari 5 - 10 kanal, dengan

resolusi bandwidth yang lebih besar

antara 70-400 nm. Dengan band-band

yang lebih sempit dengan jumlah yang

jauh lebih banyak, sensor hiperspektral

dapat digunakan untuk melakukakan

pemisahan, klasifikasi dan identifikasi

obyek/material di muka bumi, sebagai-

mana obyek aslinya. Kemampuan

lainnya adalah untuk mendeteksi target

subpixel, yang akan sangat membantu

dalam mendeteksi obyek dengan

resolusi piksel yang lebih kecil.

4 PENUTUP

Berdasarkan kajian dan analisis

dapat disimpulkan bahwa ALOS-3

terdiri dari 2 instrumen optik PRISM-2

dan HISUI memiliki peningkatan

kemampuan (kapasitas) yang lebih baik

dari pada ALOS dan ASTER, sehingga

ALOS-3 memberikan harapan keter-

sediaan dan pembaharuan secara

berkelanjutan. PRISM-2 memiliki

kemampuan stereo yang dapat

digunakan citra Digital Surface Model

(DSM) dan memiliki potensi untuk

memberikan informasi secara cepat,

akurat, efektif dan efisien dalam

cakupan yang luas. Multispektral (MSS)

HISUI ALOS-3 berpotensi untuk

pemantauan lingkungan, kebencanaan,

observasi dan survey permukaan tanah

serta berpotensi untuk lingkungan

pesisir dan perairan laut. Pemanfaatan

sensor komplemen dari ALOS-3 dapat

meningkatkan kemampuan dalam

ketersediaan resolusi lebih tinggi 0.8

dengan cakupan 50 km yang dapat

menghasilkan citra pansharpen,

multispektral dan hiperspektral. Sensor

hiperspektral (HSS) HISUI ALOS-3

sangat berpotensi dalam pemantauan

lingkungan atau pemetaan dalam skala

global. Sensor hiperspektral dapat

digunakan untuk melakukakan

pemisahan, klasifikasi dan identifikasi

obyek/material di muka bumi,

sebagaimana obyek aslinya. Sementara

kelemahan ALOS-3 tidak memiliki sensor

TIR seperti pada satelit Aster yang dapat

digunakan untuk mendeteksi suhu atau

temperatur obyek di permukaan bumi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Sebagai penutup saya

mengucapkan terimakasih atas segala

bantuan dan dukungan serta saran dari

berbagai pihak, khususnya para pejabat

struktrual dan fungsional di lingkungan

Pusfaja - LAPAN, sehingga karya tulis ini

dapat diterbitkan.

DAFTAR RUJUKAN

Anonim, 2012. PALSAR User’s Guide, 2nd

Edition, Japan Space Systems.

Arifin, S., 2014. ALOS-2 Akan Tatap Ekspresi

Muka Bumi, Media Dirgantara, Lapan,

Jakarta.

Clark S., 2014. Japanese Craft Launched with

Night-Vision Mapping Radar, http://

www.Spaceflight now. com.

Fukuda, Toru, 2011. JAXA’s Satellite Program

to Contribute Sustainable Development

in Asia, Second International

Conference On Sustainability Science

In Asia (Icss-Asia), Hanoi.

Goetz, A. F. H., Vane, G., Solomon, J. E. and

Rock, B. N., 1985. Imaging

Spectrometry for Earth Remote Sensing,

Science, 228, 1147–1153.

Graham, William, 2014. Japanese HII-A

Successfully Launches ALOS-2 mission,

http:// www. nasaspaceflight.com.

http://global.jaxa.jp/projects/sat/alos.

Page 28: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)

71

http://www.eoPortal Directory.

http://www.spaceflight101.com/alos-2.html.

Imai, H., Haruyoshi Katayama, Shinichi

Suzuki, Yasushi Hatooka, Yuji Osawa,

2011. The Latest Status of Advanced

Land Observing Satellite-3, Proceedings

of the 28th ISTS (International

Symposium on Space Technology and

Science), Okinawa, Japan.

Imai, H., Haruyoshi Katayama, Tadashi Imai,

Shinichi Suzuki, Yasushi Hatooka, Yuji

Osawa, 2009. A Conceptual Design of

the Optical Satellite for the Post-ALOS

Program, Proceedings of the 27th ISTS

(International Symposium on Space

Technology and Science), Tsukuba,

Japan.

Imai, T., Haruyoshi Katayama, Hiroko Imai,

Yasushi Hatooka, Shinichi Suzuki, Yuji

Osawa, 2010. Current Status of

Advanced Land Observing Satellite-3

(ALOS-3), Proceedings of SPIE,

'Sensors, Systems, and Next-

Generation Satellites XIV,' edited by

Roland Meynart, Steven P. Neeck,

Haruhisa Shimoda, Vol. 7826,

Toulouse, France.

Imai, H., Fumi Ohgushi, Haruyoshi Katayama,

Masakazu Sagisaka, Shinichi Suzuki,

Yuji Osawa, Takeo Tadono, 2013. Wide

Swath and High Resolution Stereo

Mapping by PRISM-2 Onboard ALOS-3,

Proceedings of IGARSS (IEEE

International Geoscience and Remote

Sensing Symposium), Melbourne,

Australia.

Imai, H., Haruyoshi Katayama, Masakazu

Sagisaka, Yasushi Hatooka, Shinichi

Suzuki, Yuji Osawa, Masuo Takahashi,

Takeo Tadono, 2012. A Conceptual

Design of PRISM-2 for Advanced Land

Observing Satellite-3 (ALOS-3),

Proceedings of SPIE Remote Sensing

2012, 'Sensors, Systems, and Next-

Generation Satellites, Edinburgh,

Scotland.

Iwasaki A., Nagamitsu Ohgi, Jun Tanii,

Takahiro Kawashima, Hitomi Inada,

2011. Hyperspectral Imager Suite

(HISUI) - Japanese hyper-multispectral

radiometer, Proceedings of IGARSS

(International Geoscience and Remote

Sensing Symposium), Vancouver,

Canada.

Kamimura, Haruchika, et al., 2008. Promotion

Activities Of Alos Data Utilization in

Jaxa, The International Archives of the

Photogrammetry, Remote Sensing and

Spatial Information Sciences. Vol.

XXXVII. Part B6a. Beijing.

Kruse, F. A, Boardman, J. W. and Huntington,

J. F., 2003. Comparison of Airborne

Hyperspectral Data And EO-1 Hyperion

for Mineral Mapping, IEEE Trans.

Geosci. Remote Sensing, 41(6), 1388–

1400.

Matsunaga, T., N. Ohgi, 2009. Japanese

Hyperspectral and Multispectral Sensor

System Develoµment Status,

Proceedings of the 2nd HyspIRI Science

Workshop, Pasadena, CA, USA.

Matsunaga, T., Akira Iwasaki, Osamu

Kahimura, Kenta Ogawa, Nagamitsu

Ohgi, Satoshi Tsuchida, 2010. HISUI - A

Japanese Spaceborne Hyperspectral

and Multispectral Remote Sensing

Mission, HyspIRI Science Workshop,

Pasadena, USA.

Matsunaga, T., S. Yamamoto, O. Kashimura, T.

Tachikawa, K. Ogawa, A. Iwasaki, S.

Tsuchida , N. Ohgi, 2011. Operation

Plan Study for Japanese Future

Hyperspectral Mission: HISUI, 34th

ISRSE (International Symposium on

Remote Sensing of Environment),

Sydney, Australia.

Ohgi, N., Akira Iwasaki, Takahiro Kawashima,

Hitomi Inada, 2010. Japanese Hyper-

multispectral mission, Proceedings of

IGARSS (IEEE International Geoscience

and Remote Sensing Symposium) 2010,

Honolulu, HI, USA.

Oki, Riko, 2012. JAXA’s Current and Future

Remote Sensing, Japan Aerospace

Exploration Agency (JAXA).

Ramakrishnan* and Rishikesh Bharti,

Hyperspectral Remote Sensing and

Geological Applications, Special Section:

Hyperspectral Remote Sensing

Currentscience, Vol.108, No. 5,

Department of Earth Sciences, Indian

Page 29: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72

72

Institute of Technology Bombay, Powai,

Mumbai400076, India, 10 March 2015.

Rodolfo, J., R. Geyl, H. Leplan, E. Ruch, 2012.

TMA Optics for HISUI HSS and MSS

Imagers, Proceedings of the ICSO

(International Conference on Space

Optics), Ajaccio, Corse, France.

Shimada, Masanobu, 2009. Advance Land-

Observation Satellite (Alos) And Its

Follow-On Satellite, Alos-2, Japan

Aerospace Exploration Agency, Earth

Observation Research Center, Japan.

Sitanggang, G., 2010. Sistem Penginderaan

Jauh Satelit ALOS dan Analisis

Pemanfaatan Data, Jurnal Lapan,

Jakarta.

Subardjo, P., et al., 2006. Pemanfaatan Citra

Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya

Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa

dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa,

IJMS, Undip, Semarang.

Sukojo, et al., 2009. Studi Perubahan Suhu

Permukaan Laut Dalam Rangka

Pembuatan Sistem Informasi Kelautan

(Studi Kasus: Pembuangan Lumpur

Lapindo Di Selat Madura, Jurnal Geoid

Vol.4, No.2, Februari 2009, 105-200,

Issn: 1858-2281 189.

Suwargana, N., 2014. Analisis Citra Alos Avnir-

2 untuk Pemetaan Terumbu Karang

(Studi kasus: Banyuputih, Kabupaten

Situbondo), Sinas Inderaja, Jakarta.

Tadono, T, Hiroko Imai, Fumi Ohgushi,

Junichi Takaku, Tomohiro Watanabe,

Feasibility Study of PRISM-2 Onboard

ALOS-3 — Simulated Image Generation,

Proceedings of IGARSS (IEEE

International Geoscience and Remote

Sensing Symposium), Melbourne,

Australia, July 21-26, 2013.

Tanii, J., Akira Iwasaki, Takahiro Kawashima,

Hitomi Inada, 2012. Results of

Evaluation Model of Hyperspectral

Imager Suite (HISUI), Proceedings of

IGARSS (International Geoscience and

Remote Sensing Symposium), Munich,

Germany.

Zhang, X. and Pazner, M., Comparison

of Lithologic Mapping with ASTER, Hyperion,

and ETM data in the Southeastern Chocolate

Mountains, USA, Photogramm. Eng. Remote

Sensing, 2007, 73(5), 555–561.

Page 30: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)

73

STUDI KASUS KEMUNCULAN PULSA MAGNET PC1

DI STASIUN WATUKOSEK (7 34’5” LS 112 40’37” BT)

PADA SAAT BADAI

Visca Wellyanita, Fitri Nureni

Pusat Sains Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung 40173 Indonesia

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Gelombang ULF diklasifikasikan menjadi dua oleh International Association of Geomagnetism

and Aeronomy (IAGA) yaitu continuous pulsations (Pc) dan irregular pulsations (Pi). Penelitian kali ini

mengenai kemunculan pulsa magnet Pc1 pada saat terjadi badai di stasiun Watukosek. Pulsa magnet

Pc1 terkait dengan peristiwa badai magnet dan dapat teridentifikasi sebelum atau sesudah kejadian

badai magnet. Pc1 berada pada rentang periode 0,2 – 10 detik dan diamati di ruang angkasa dan di

landas bumi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah membaca data geomagnet

komponen H stasiun Watukosek yang telah dihilangkan noise dan kemudian difilter bandpass pada

rentang periode kemunculan pulsa magnet Pc1 yaitu 0,2 - 10 detik. Pulsa Pc1 yang didapatkan

kemudian dibuat spektrum dinamik per 1 menit menggunakan metode wavelet dengan sampling

frekuensi 10 Hz. Kemudian diidentifikasi kehadiran pulsa magnet Pc1 dengan mencari aktivitas sinyal

yang puncaknya di bawah 5 detik. Hasil yang diperoleh dari studi kasus kemunculan pulsa magnet

Pc1 di Stasiun Watukosek 2013 terdeteksi bahwa pulsa magnet Pc1 paling sering terjadi setelah

kejadian badai magnet. Kemunculan pulsa magnet Pc1 ini akan meningkat sekitar 2-5 hari setelah

kejadian badai magnet.

1 PENDAHULUAN

Gelombang Ultra Low Frequency

(ULF) diklasifikasikan menjadi dua oleh

International Association of Geomagnetism

and Aeronomy (IAGA) yaitu continuous

pulsations (Pc) dan irregular pulsations

(Pi). Pulsa magnet Pc dan Pi ini dibagi

kembali menjadi tujuh sub-tipe

berdasarkan rentang periodenya seperti

yang terlihat pada Gambar 1-1.

Gambar 1-1: Klasifikasi gelombang ULF (Jacobs dkk., 1964)

Page 31: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82

74

Penelitian kali ini mengenai

kemunculan pulsa magnet Pc1 pada

saat terjadi badai di stasiun Watukosek.

Pulsa magnet Pc1 terkait dengan

peristiwa badai magnet dan dapat

teridentifikasi sebelum atau sesudah

kejadian badai magnet. Pc1 berada pada

rentang periode 0,2 – 10 detik dan

diamati di ruang angkasa dan di landas

bumi. Menurut Anderson dkk (1996),

kemunculan pulsa magnet Pc1 ini

berkaitan dengan gelombang

Electromagnetic Ion Cyclotron (EMIC)

yang dibangkitkan karena ada perbedaan

temperatur. Teori ini didasarkan atas

kehadiran gelombang EMIC di daerah

plasmapause yang diduga merupakan

daerah pembangkitan pulsa magnet Pc1.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pulsa magnet Pc1 ini terkait

dengan peristiwa badai magnet. Dapat

teridentifikasi sebelum atau sesudah

kejadian badai magnet. A. Guglielmi

dkk. (2005), menyatakan bahwa nilai

maksimum pulsa magnet Pc1 ini terjadi

pada 4-7 hari setelah awal badai magnet.

McPherron dan Ward (1967) adalah

yang pertama kali melakukan penelitian

mengenai hubungan antara kehadiran

pulsa magnet Pc1 dengan bidang batas

Interplanetary Magnetic Field (IMF).

Heacock dan Hessler (1965),

Kokubun dan Oguti (1968), Olson dan Lee

(1983), Kangas dkk. (1986) menyatakan

bahwa pulsa magnet Pc1 akan

dibangkitkan sesaat setelah kompresi

yang terjadi secara tiba-tiba pada

magnetosfer yang diakibatkan oleh

gelombang kejut yang besar di ruang

antarplanet.

Menurut Laporan Olson dan Lee

(1983) dari stasiun pengamatan landas

bumi menyatakan bahwa kehadiran

pulsa magnet Pc1 berhubungan dengan

kompresi tiba-tiba di daerah magnetosfer.

Kompresi ini tidak merubah rasio

tekanan plasma parallel tetapi

meningkatkan partikel panas anisotropi.

Erlandson dkk (1996) menyatakan

bahwa kompresi yang terkait dengan

kejadian pulsa magnet Pc1 berkaitan

dengan substorm pada magnetosferik,

dimana pulsa magnet Pc1 ini hadir tepat

pada saat terjadinya kompresi. Teori ini

didukung pula oleh pernyataan

Anderson dan Hamilton pada tahun

1993 yang menyebutkan bahwa

kehadiran pulsa magnet Pc1 di ruang

angkasa secara signifikan meningkat

ketika terjadi kompresi di magnetosferik.

Hasil pengamatan dari

Engebretson dkk (2002) bahwa pulsa

magnet Pc1 terjadi bersamaan pada saat

terjadinya kompresi di daerah

magnetosferik meskipun setengah dari

peristiwa ini dihubungkan dengan

fungsi distribusi lokasi spasial selain

akibat dari gelombang EMIC. Sebagian

dari kejadian lokal secara spasial ini

tidak ada hubungannya dengan

kompresi dari magnetosferik. Mereka

menjelaskan bahwa fungsi distribusi ini

mungkin berkaitan dengan peristiwa

injeksi pada malam hari atau arus

bersifat tetap di daerah drift. Menurut

Erlandson dan Ukhorskiy (2001),

sebagian kecil dari peristiwa Pc1 ini

mungkin memang berkaitan dengan

interaksi antar partikel yang

membangkitkan substorm.

Pada awalnya peristiwa Pc1 yang

berada pada selang frekuensi kejadian

0.2- 5 Hz diidentifikasi manual oleh

Campbell dan Stiltner pada 1965. Dan

kemudian dikembangkan oleh peneliti

lainnya Fraser pada 1968, Anderson dkk

pada 1992, Fraser dan Nguyen pada

2001 dan Meredith dkk pada 2003.

Anderson dkk pada 1992 menggunakan

spektrogram dari data dan dikelompok-

kan masing-masing kolom dengan rata-

rata lima puncak yang melebihi ambang

batas power. Kemudian bersama-sama

dengan Erlandson, Anderson pada 1996

mencoba untuk menjadikan masing-

masing kolom spektrogram (per 30

detik) sebagai peristiwa gelombang

individual dan mencari puncak spektral

yang memenuhi ambang batas. Loto’aniu

dkk pada 2005 menggunakan ambang

batas pada masing-masing durasi dan

Page 32: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)

75

intensitas pada komponen magnet dan

elektrik dari gelombang individual untuk

mengidentifikasi kehadiran kejadian

gelombang. Helliwell (1965) mengklasi-

fikasikan peristiwa Pc1 dianalogikan

dengan emisi quasi-periodic VLF.

Bortnik dkk (2008) mencoba teknik

yang lebih sederhana untuk pencarian

otomatis dan mengkarakterisasikan

gelombang event dalam data time series.

Dalam mendeteksi pulsa magnet Pc1

mereka menggunakan 3 komponen data

magnetometer. Data tersebut dapat

diaplikasikan secara menyeluruh pada

setiap variasi gelombang dan frekuensi,

baik gelombang yang dihasilkan dari

instrumen landas bumi ataupun dari

data satelit. Metode yang digunakan

adalah Fast Fourier Transform (FFT) untuk

membuat spektrogram. Penggunaan

metode ini didasari karena spektrogram

dinamik merupakan metode untuk

menganalisa fenomena gelombang.

3 DATA

Data yang digunakan adalah data

geomagnet komponen H dari Balai

Pengamatan Dirgantara (BPD) Watukosek

pada tahun 2013 serta indeks Dst yang

diambil dari http://wdc.kugi.kyoto-u.

ac.jp/index.html.

4 METODE PENGOLAHAN DATA

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah membaca data

geomagnet komponen H stasiun

Watukosek yang telah dihilangkan noise

dan kemudian difilter bandpass pada

rentang periode kemunculan pulsa

magnet Pc1 yaitu 0,2 - 10 detik. Pulsa

Pc1 yang didapatkan kemudian dibuat

spektrum dinamik per 1 menit

menggunakan metode wavelet dengan

sampling frekuensi 10 Hz. Kemudian

diidentifikasi kehadiran pulsa magnet

Pc1 dengan mencari aktivitas sinyal

yang puncaknya di bawah 5 detik.

Pulsa Pc1 yang didapatkan dari

hasil pengolahan tersebut kemudian

dibandingkan dengan indeks Dst

dengan melihat kehadirannya pada saat

sebelum dan sesudah terjadinya badai

untuk dianalisis keterkaitannya.

Gambar 4-1: Diagram Alir Identifikasi Pulsa

Magnet Pc1

5 HASIL Pada pengolahan data stasiun

Watukosek bulan Juni 2013 didapatkan banyak sekali kejadian pulsa magnet Pc1. Pada tanggal 2 Juni 2013 terdapat 21 kejadian pulsa magnet Pc1 dalam 1 hari. Salah satu contoh kehadiran pulsa magnet Pc1 ini terlihat pada Gambar 5-1. kejadian pulsa magnet Pc1 akan mencapai nilai maksimum beberapa hari setelah kejadian badai magnet. Menurut A. Guglielmi dkk., menyatakan bahwa nilai maksimum pulsa magnet Pc1 ini terjadi pada 4-7 hari setelah awal badai magnet.

Pembacaan data

Raw geomagnet

Reduksi noise

Bandpass filter periode

0,2 – 10 detik

Spektrum dinamik per 1 menit

menggunakan metode wavelet

Identifikasi aktivitas sinyal dengan

puncak di bawah 5 detik

Data Pc1 teridentifikasi

Page 33: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82

76

Gambar 5-1: Pulsa Magnet Pc1 dengan sumbu x menunjukkan waktu, sumbu y menunjukkan

periode, dan warna menunjukkan intensitas pada tanggal 2 Juni 2013 yang berlangsung selama 5 menit

Gambar 5-2: Indeks Dst dengan sumbu x adalah waktu dalam sebulan dan sumbu y adalah

amplitudo pada bulan Juni 2013. (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_realtime)

Pada Gambar 5-3 menunjukkan

hasil pengolahan data geomagnet pada

rentang pulsa magnet Pc1 pada tanggal

10 Oktober 2013 pukul 23:33 UT

sampai 23:51 UT yang berlangsung

selama 13 menit. Pulsa magnet Pc1 ini

berkaitan dengan fasa pemulihan akibat

badai geomagnet skala menengah yang

terjadi pada Oktober 2013. Dimana

puncak badai terjadi pada tanggal 9

Oktober 2013 sebesar -62 nT pada

pukul 01.00 dan fasa pemulihan badai

tersebut berlangsung sampai tanggal 12

Oktober 2013.

Page 34: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)

77

Gambar 5-3: Pulsa Magnet Pc1 dengan sumbu x menunjukkan waktu, sumbu y menunjukkan periode, dan warna menunjukkan intensitas pada tanggal 10 Oktober 2013 pukul 23:33 UT sampai 23:51 UT yang berlangsung selama 13 menit

Gambar 5-4: Indeks Dst dengan sumbu x adalah waktu dalam sebulan dan sumbu y adalah

amplitudo pada bulan Oktober 2013. (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_realtime)

Page 35: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82

78

Pada Gambar 5-5 menunjukkan

hasil pengolahan data geomagnet pada

rentang pulsa magnet Pc1 pada tanggal

13 November 2013 pukul 00:38 UT

sampai 00:47 UT yang berlangsung

selama 10 menit. Pulsa magnet Pc1 ini

berkaitan dengan fasa pemulihan akibat

badai geomagnet skala menengah yang

terjadi di bulan November 2013. Dimana

puncak badai terjadi pada tanggal 9

November 2013 sebesar -81 nT pada

pukul 09.00 dan pada tanggal 11

November 2013 sebesar -70 nT pada

pukul 08.00 dan fasa pemulihan badai

tersebut berlangsung sampai tanggal 12

November 2013.

Gambar 5-5: Pulsa Magnet Pc1 dengan sumbu x menunjukkan waktu, sumbu y menunjukkan perioda, dan warna menunjukkan intensitas pada tanggal 13 November 2013 pukul 00:38 UT sampai 00:47 UT yang berlangsung selama 10 menit

Gambar 5-6: Indeks Dst dengan sumbu x adalah waktu dalam sebulan dan sumbu y adalah

amplitudo pada bulan November 2013. (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_realtime)

Page 36: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)

79

Tabel 5-1: PERSENTASE KEJADIAN PULSA MAGNET Pc1 PADA SAAT TERJADI BADAI MAGNET DENGAN INDEKS Dst < - 50 nT.

No. Tanggal Badai

Persentase Kejadian Pc1 Rata-rata

Amplitudo

Pc1(nT)

Sebelum

Onset (%)

Fase Utama

(%)

Fase

Pemulihan (%)

1 17 Januari 2013 11 36 53 ~ 0.1

2 26 Januari 2013 23 32 45 ~ 0.1

3 17 Maret 2013 10 42 48 ~ 0.1

4 29 Maret 2013 26 27 47 ~ 0.1

5 24 April 2013 15 33 52 ~ 0.1

6 1 Mei 2013 34 21 45 ~ 0.1

7 18 Mei 2013 21 40 39 ~ 0.1

8 25 Mei 2013 21 40 39 ~ 0.1

9 1 Juni 2013 27 36 37 ~ 0.1

10 7 Juni 2013 37 15 48 ~ 0.1

11 29 Juni 2013 20 41 39 ~ 0.1

12 6 Juli 2013 19 41 40 ~ 0.1

13 14 Juli 2013 22 26 52 ~ 0.1

14 27 Agustus 2013 11 23 66 ~ 0.1

15 2 Oktober 2013 19 33 48 ~ 0.1

16 9 Oktober 2013 29 31 40 ~ 0.1

17 30 Oktober 2013 15 26 59 ~ 0.1

18 7 November 2013 31 18 49 ~ 0.1

19 9 November 2013 31 18 49 ~ 0.1

20 8 Desember 2013 28 22 50 ~ 0.1

Persentase Kejadian

Pc1 Per Tahun 23 30 47

Pada studi kasus kemunculan

pulsa magnet Pc1 di Stasiun Watukosek

pada 2013 terdeteksi bahwa pulsa

magnet Pc1 paling sering terjadi setelah

kejadian badai magnet. Kemunculan

pulsa magnet Pc1 ini akan meningkat

sekitar 2-5 hari setelah kejadian badai

magnet.

Parameter amplitudo dihitung

dari hasil bandpass filter data

geomagnet komponen H pada rentang

periode dan rentang waktu 1 pulsa Pc1

yang teridentifikasi. Didapatkan bahwa

amplitudo rata rata pulsa magnet Pc1

ini berkisar antara 0.1 nT.

6 PENUTUP

Pada studi kasus kemunculan

pulsa magnet Pc1 di Stasiun Watukosek

2013 terdeteksi bahwa pulsa magnet

Pc1 paling sering terjadi setelah

kejadian badai magnet. Kemunculan

pulsa magnet Pc1 ini akan meningkat

sekitar 2-5 hari setelah kejadian badai

magnet.

Dengan menganalisa hasil

bandpass filter data geomagnet

komponen H didapatkan bahwa

Amplitudo rata-rata pulsa magnet Pc1

sebesar 0.1 nT.

Page 37: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82

80

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

Kepala LAPAN Bapak Thomas

Djamaluddin, M.Sc., Kepala Pusat

Sains Antariksa Ibu Clara Y. Yatini,

M.Sc., atas dukungannya dalam

program penelitian mengenai pulsa

magnet Pc1,

Kepala Balai Pengamatan Dirgantara

(BPD) Watukosek Bapak Drs.

Bambang Suhandi untuk dukungan

data geomagnet yang digunakan dalam

penelitian ini,

Prof. Kiyohumi Yumoto, Space

Environment Reseach Center,

Universitas Kyushu – Jepang dan

seluruh staf MAGDAS,

Bapak Laode M. Musafar M.Sc., atas

arahan, diskusi dan waktu yang telah

diluangkan sehingga penelitian ini

dapat diselesaikan,

Rekan-rekan kerja di bidang Geomagnet

dan Magnet Antariksa untuk diskusi-

diskusinya.

DAFTAR RUJUKAN

A. Guglielmi, A. Potapov, E. Matveyeva, T.

Polyushkina, J. Kangas, 2005.

Temporal and Spatial Characteristics of

Pc1 Geomagnetic Pulsations, Advances

in Research, COSPAR publication.

Anderson, B. J. and Hamilton, D. C., 1993.

Electromagnet Ion Cyclotron Waves

Stimulated by Modest Magnetospheric

Compression, J. Geophys. Res. 98, 11369.

Anderson, B. J., 1996. Recent Observations of

Electromagnet Ion Cyclotron Waves in

Space, Adv. Space. Res. 17, 1041.

Anderson, B. J., Erlandson, R. E., and Zanetti,

L. J., 1992. A Statistical Study of Pc 1-2

Magnetic Pulsations in the Equatorial

Magnetosphere, 1, Equatorial Occurrence

Distributions, J. Geophys. Res., 97,

3075–3088.

Bortnik, J., J. W. Cutler, C. Dunson, and T. E.

Bleier, 2007. An Automatic Wave

Detection Algorithm Applied to Pc1

Pulsation, Journal of Geophysical

Research, Vol. 112, A04204.

Bortnik, J., J. W. Cutler, C. Dunson, T. E.

Bleier, and R. L. Mcpherron, 2008.

Characteristics of Low-Latitude Pc1

Pulsations During Geomagnetic Storms,

Journal of Geophysical Research, Vol.

113, A04201.

Campbell, W. H. and Stiltner, E. C., 1965.

Some Characteristics of Geomagnetic

Pulsations at Frequencies Near 1 c/s,

Radio Sci. 69, 1117.

Engebretson, M. J., 2002. Observations of Two

Types of Pc 1-2 Pulsations in the Outer

Dayside Magnetosphere, J. geophys. Res.

Vol. 107 (A12), 1451.

Erlandson, R.E., and A. J., Ukhorskiy, 2001.

Observations of Electromagnetic Ion

Cyclotron Waves During Geomagnetic

Storms: Wave Occurrence and Pitch

Angle Scattering, J. Geophys. Res., 106(

A3), 3883–3895.

Erlandson, R. E., Mursula, K., and Bosinger,

T., 1996. Simultaneous Ground-Satellite

Observations of Structured Pc1 Pulsations,

J. Geophys. Res. 101, 27149.

Fraser, B. J., 1968. Temporal Variations in Pc1

Geomagnetic Micropulsations, Planetary

Space Sci. 16, 111.

Fraser, B. J., and T. S. Nguyen, 2001. Is the

Plasmaspause a Preferred Source Region

of Electromagnetic Ion Cyclotron Waves

in the Magnetosphere?, J. Atmos. Terr.

Phys., 63, 1225–1247.

Heacock, R. R. and Hessler, V. P., 1965. Pearl-

Type Micropulsations Associated with

Magnetic Storm Sudden Commencements,

J. Geophys. Res. 70, 1103.

Helliwell, R. A., 1965. Whistlers and Related

Ionospheric Phenomena, 349 pp,

Stanford Univ. Press, Palo Alto, Calif.

http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_realtime /20

1306/index.html.

Jacobs, J. A., Kato, Y., Mashushita, S.,

Troitskaya, V. A., 1964. Classification of

Geomagnetic Micropulsations, J. Geophys.

Res. 69, 180 – 181.

Kangas, J., Aikio, A., and Olson, J. V., 1986.

Multistation Correlation Spectra Associated

with Sudden Impulses, Planetary Space

Sci. 34, 543.

Kokubun, S. and Oguti, T.n 1968. Hydromagnetic

Emissions Associated with Storm Sudden

Page 38: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)

81

Commencements, Rep. Ionospheric Space

Res. Japan 22, 45.

Loto'aniu, T. M., B. J. Fraser, and C. L.

Waters, 2005. Propagation of Electro-

magnetic Ion Cyclotron Wave Energy in

the Magnetosphere, J. Geophys. Res., 110,

A07214.

McPherron, R.L., Ward, S.N., 1967. Correlation

between Occurrence of Pearl Pulsations

and Interplanetary Magnetic Field Sector

Boundaries. J. Geophys. Res. 72, 393–

398.

Meredith, N. P., R. M. Thorne, R. B. Horne, D.

Summers, B. J. Fraser, and R. R.

Anderson, 2003. Statistical Analysis of

Relativistic Electron Energies for

Cyclotron Resonance with EMIC Waves

Observed on CRRES, J. Geophys. Res.,

108(A6), 1250.

Olson, J. V. and Lee, L. C., 1983. Pc1 Wave

Generation by Sudden Impulses,

Planetary Space Sci. 31, 295.

Page 39: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82

74

Page 40: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen ... (Sumaryati)

83

KAJIAN POTENSI WISATA KESEHATAN OKSIGEN DI GILI IYANG

Sumaryati

Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Pulau Gili Iyang terkenal karena dipercaya memiliki kadar oksigen yang tinggi. Oksigen

merupakan gas yang vital dibutuhkan dalam kehidupan manusia, sehingga kepercayaan akan kadar

oksigen yang tinggi dijadikan sebagai dasar untuk pembangunan dan pengembangan di Gili Iyang

yaitu sebagai tujuan wisata kesehatan. Pengecekan kadar oksigen di Gili Iyang dilakukan oleh

beberapa instansi. Hasil pengukuran di lapangan oleh LAPAN (2006) dan analisisnya menunjukkan

bahwa kadar oksigen di Gili Iyang dalam kondisi normal yaitu sebesar 20,9 %. Segarnya udara di Gili

Iyang bukan karena kadar oksigen yang tinggi, tetapi karena udaranya bersih dari zat pencemar. Jika

ada pengukuran dari instansi lain yang menunjukkan adanya titik spot dengan kadar oksigen yang

tinggi di atas 22 %, sebetulnya kadar oksigen yang tinggipun perlu diwaspadai karena kadar oksigen

yang tinggi bisa menyebabkan keracunan oksigen yang disebut hiperoksia dan berpotensi

menyebabkan kebakaran yang dahsyat. Oleh karena itu menjadikan Gili Iyang sebagai tujuan wisata

kesehatan dengan alasan memiliki kadar oksigen tinggi masih memerlukan kajian yang lebih

mendalam lagi.

1 PENDAHULUAN

Gili Iyang ada pula yang menyebut

Giliyang ataupun Gili Elang merupakan

pulau kecil yang terletak di ujung timur

pulau Madura. Secara administratif Gili

Iyang masuk dalam wilayah Kabupaten

Sumenep, Kecamatan Dungkek. Pulau

dengan luas sekitar 9 km2 itu terdiri dari

dua desa yaitu desa Banraas dan

Bancamara.

Pulau kecil ini menjadi menarik

karena diyakini oleh masyarakat sebagai

kawasan dengan kadar oksigen (O2)

tinggi, bahkan tertinggi kedua setelah

Laut Mati. Keyakinan ini didukung oleh

fakta bahwa penduduk Gili Iyang

banyak yang mencapai usia tinggi

dengan kondisi yang sehat dan kuat,

sehingga muncullah kepercayaan Gili

Iyang ini menjadikan awet muda dan

tak ayal Gili Iyang ini mendapat pula

julukan pulau awet muda. Media masa

pun banyak yang mewartakan tentang

kondisi Gili Iyang tersebut (Tempo,

2012; Tribunnews, 2013; Kompas, 2013;

Koran Suara Rakyat, 2014; Detik, 2013).

Pembangunan dan pengembangan

Gili Iyang pun berbasis pada keyakinan

akan kadar oksigen yang tinggi. Isu

kadar oksigen yang tinggi telah mendorong

Pemda setempat berkeinginan

menjadikan Gili Iyang sebagai kawasan

wisata kesehatan. Berbagai upaya pun

telah dilakukan. Bahkan untuk mendesain

Gili Iyang sebagai wisata kesehatan

telah disayembarakan dan dikaji secara

teknis oleh Kementerian Pekerjaan

Umum. Ditjen Ciptakarya (2014)

bekerjasama dengan Ikatan Arsitek

Indonesia telah mengadakan sayembara

desain kawasan pulau Gili Iyang yang

berbasis pada kondisi kadar oksigen

tinggi (http://ciptakarya.pu.go.id/v3/

ban/file/poster-giliIyang_LR.pdf). Hasil

sayembara ini akan dipakai dasar untuk

pembangunan pulau Gili Iyang.

Secara ilmiah, kondisi masyarakat

Gili Iyang belum bisa dijadikan

pembenaran akan kadar oksigen tinggi.

Pengukuran yang akurat di lapangan

dan analisis yang ilimiah baru bisa

dijadikan dasar untuk menyatakan

Page 41: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:83-90

84

kebenaran akan kondisi oksigen di Gili

Iyang yang diyakini tinggi. Tulisan ini

akan mengupas kebenaran akan klaim

bahwa kadar oksigen di Gili Iyang lebih

dari kondisi normal dari hasil

pengukuran yang dilakukan oleh LAPAN

dan instansi lain serta pengelolaan

sebagai kawasan wisata kesehatan jika

kadar oksigen di Gili Iyang tinggi.

2 KADAR OKSIGEN DI ATMOSFER

BEBAS

Unsur utama atmosfer kering

terdiri dari tiga unsur yaitu nitrogen (N2)

sebesar 78,1 %, oksigen (O2) sebesar

20,9 %, dan argon (Ar) sebesar 0,9 %.

Masih ada sisa sekitar 0,1 % terdiri dari

ribuan jenis gas yang disebut sebagai

trace gases. Perubahan komposisi gas

atmosfer yang menjadi perhatian para

peneliti dan ekspert dalam bidang

atmosfer adalah perubahan pada

kelompok trace gases. Trace gases yang

banyak menjadi perbincangan termasuk

dalam kelompok gas pencemar (polutan)

seperti hidrokarbon, CO, NO, NO2, SO2,

O3, dan PAN; gas rumah kaca meliputi

CO2, N2O, dan CH4; serta gas perusak

lapisan ozon terutama yang masuk

dalam kelompok gas chlorofluorocarbon

(CFC). Jadi dalam kondisi normal

atmosfer kering mengandung oksigen

20,9 %, dan menurut Occupational

Safety & Health Administration (OSHA),

United States Departement of Labor ada

batasan toleransi 0,1 % (https://www.

osha.gov/SLTC/etools/shipyard/shiprep

air/confinedspace/oxygendeficient.html,

sehingga bisa dituliskan (20,9 0,1)%.

Kadar oksigen di atmosfer bebas

sebesar 20,9 %, hal itu berarti bahwa

dalam volule 1 liter udara bebas

terkandung 0,209 liter oksigen. Berapa

jumlah molekul oksigen untuk yang

menempati volume 0,209 liter

tergantung tekanan dan temperaturnya

sebagimana dirumuskan dalam

persamaan gas ideal. Makin tinggi

tekanan atau makin rendah temperatur

udara makin termampatkan, sehingga

makin banyak mengandung molekul

udara dalam hal ini oksigen. Sebaliknya

jika temperatur semakin tinggi atau

tekanan makin rendah jumlah oksigen

semakin sedikit.

Laut mati merupakan lokasi

alami yang paling rendah di muka bumi,

yaitu sekitar sekitar 427 m di bawah

permukaan laut. Menurut hukum

hidrostatika, jika posisi semakin rendah

tekanan udara semakin besar. Jika

pada permukaan laut tekanan udara

760 mm Hg atau sering disebut 1

atmosfer, pada posisi 427 m di bawah

permukaan laut, tekanan udara

mencapai 799 mmHg atau sekitar 105 %

dari tekanan udara di permukaan laut.

Oleh karena itu untuk volume yang

sama, jumlah oksigen di Laut Mati

sangat tinggi meskipun kadarnya tetap

sama dengan kadar oksigen di tempat

lain di permukaan bumi yaitu sebesar

20,9 %. Tingginya tekanan oksigen di

Laut Mati bukan karena kadarnya yang

tinggi tetapi karena faktor ketinggian

saja yang menyebabkan tekanannya

besar (Kramer dan Godfrey, 1996; Falk

etal., 2006). Daerah permukaan laut

dekat kutub, terutama ketika musim

dingin juga memiliki kandungan oksigen

yang sangat tinggi. Hal itu dikarenakan

temperaturnya yang sangat rendah

bukan karena kadarnya yang tinggi,

kadar oksigen tetap 20,9 %.

Jika Gili Iyang dikatakan memiliki

oksigen tinggi setelah Laut Mati,

mungkin hal ini merujuk pada lokasi

wilayah Gili Iyang yang berupa pulau

kecil sehingga dapat dikatakan pantai

semua. Tetapi jika merujuk pada lokasi

Gili Iyang yang berupa pantai, maka

tentu saja bukan hanya Gili Iyang yang

memiliki oksigen yang nomer dua

setelah Laut Mati. Semua lokasi di bumi

yang memiliki ketinggian nol atau setara

permukaan laut memiliki kandungan

oksigen tertinggi kedua setelah Laut

Mati. Lokasi dengan tinggi permukaan

laut pada daerah dekat kutub, terutama

musim dingin pasti memiliki jumlah

oksigen yang lebih banyak, meskipun

kadar oksigen tetap 20,9%.

Page 42: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen ... (Sumaryati)

85

Gambar 2-1: Posisi Gili Iyang (Google Maps)

Jadi klaim oksigen tinggi di Gili

Iyang seharusnya bukan karena

masalah posisinya yang rendah

mendekati garis pantai (Gambar 2-1).

Jika hanya mengacu pada lokasi yang

berada di garis pantai, tentu saja

kandungan oksigen di Gili Iyang sama

saja dengan oksigen di pantai Ancol

Jakarta. Apakah benar kadar oksigen di

Gili Iyang tinggi, lebih dari 20,9 %?

Pada tahun 2006, Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional

(LAPAN) melakukan pengukuran kadar

oksigen di Gili Iyang. Pengukuran

dilakukan pada 17 titik yang terdistribusi

di seluruh Gili Iyang (Gambar 2-2). Hasil

pengkuran di semua titik pengukuran

menunjukkan hasil yang normal, kadar

oksigen 20,9% (LAPAN, 2006).

Berdasarkan referensi lain, Kementerian

PU dan Perumahan Rakyat menyatakan

bahwa kadar oksigen di Gili Iyang

terendah pada kisaran (20-23) %, dan

tertinggi mencapai 27 % (Ciptakarya,

2014).

Perbedaan hasil pengukuran itu

terjadi karena keakuratan alat ukur

yang dipakai, human error, atau

perbedaan waktu dan titik sampling

pengukuran. Alat ukur yang terkalibrasi

secara akurat, itulah yang hasilnya bisa

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Berikut ini akan dikaji, kemungkinan

dari dua hasil pengukuran tersebut.

Gambar 2-2: Kadar oksigen di Gili Iyang

(sumber: LAPAN, 2006)

Jika kadar oksigen di Gili Iyang

20,9% benar sebagaimana hasil

pengukuran LAPAN, berarti kadar

oksigen di Gili Iyang normal. Tidak bisa

dikatakan tertinggi kedua setelah Laut

Mati, daerah pantai di daerah kutub

masih lebih tinggi dari Gili Iyang karena

temperaturnya yang dingin sehingga

memampatkan semua gas penyusun

atmosfer termasuk oksigennya. Kadar

oksigen di Gili Iyang ini sama saja

dengan kadar oksigen di pantai Jakarta.

Page 43: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:83-90

86

Anggapan masyarakat umum

sering menyatakan bahwa udara bersih

mengandung banyak oksigen, dan

sebaliknya udara yang tercemar jika

kadar oksigennya berkurang. Anggapan

itu tidak benar. Di atmosfer bumi udara

bebas mengandung 20,9% oksigen.

Udara dikatakan bersih jika kadar

udara pencemar didalamnya tidak

melebihi baku mutu kualitas udara

ambien, sebaliknya udara dikatakan

kotor jika kadar zat pencemar melebihi

baku mutu udara ambien. Udara

pencemar tersebut meliputi antara lain

seperti CO, NO, NO2, SO2, O3,

hidrokarbon, dan PAN. Baku mutu

udara ambien ini diatur dalam Lampiran

Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara.

Jika kadar oksigen normal,

hanya 20,9%, apa keistimewaan udara

di Gili Iyang sehingga dijuluki pulau

awet muda. Gili Iyang adalah pulau

kecil, dikelilingi laut. Daratan yang

terdekat adalah pulau Madura. Baik di

Gili Iyang maupun Madura tidak banyak

aktivitas yang menghasilkan zat

pencemar udara, seperti CO, NO, NO2,

SO2, O3, serta berbagai parikulat. Hasil

pengukuran zat pencemar CO, NO, NO2,

dan SO2 di Gili Iyang menunjukkan nilai

yang sangat rendah di bawah baku

mutu, sehingga bisa dikatakan udara di

Gili Iyang sangat bersih (LAPAN, 2006).

Udara di Gili Iyang mengandung kadar

oksigen yang sama dengan di pantai

Ancol, hanya di Gili Iyang tidak ada zat

pencemar, sedangkan di pantai Ancol

banyak zat pencemar yang berasal dari

Jakarta sehingga udara di pantai Ancol

lebih kotor dari ada di Gili Iyang.

Selain itu udara di Gili Iyang

merupakan udara yang berasal dari laut

yang kemungkinan banyak mengandung

aerosol garam, terutama magnesium

sulfat atau dikenal dengan nama garam

epsom. Banyak manfaat dari penggunaan

garam epsom di luar tubuh untuk

kesehatan dan kesegaran kulit (Asha,

2015), juga pengobatan seperti pre-

eklampsia dan eklampsia yang dialami

ibu hamil (Smith et al., 2013), dan bisa

menjadi tindakan medis awal untuk

pasien yang terkena serangan stroke

(Saver et al., 2015).

Bagaimana jika hasil pengkuran

oksigen di atas 21 % benar? Atmosfer

dengan kadar oksigen 22% adalah

kondisi anomali. Kadar oksigen mencapai

22 % atau bahkan 27 % dapat terjadi

jika ada kebocoran gas oksigen dari

tabung gas oksigen. Kejadian bisa

dijumpai di rumah sakit ataupun di

industri yang memproduksi atau

menggunakan gas oksigen, bukan di

ruang terbuka.

Oksigen yang terikat dalam

senyawa gas penyusun atmosfer seperti

CO, NO,NO2,SO2,O3 ordenya hanya

permilyar dan paling besar ada pada

senyawa CO2 dalam kadar sekitar 400

persejuta atau 0,04 %. Reaksi terbesar

yang menghasilkan oksigen di atmosfer

adalah reaksi fotosintesa. Fotosintesa

menggunakan bahan dasar CO2 dan air

dengan energi matahari menghasilkan

oksigen dan karbohidrat. Karbohidrat

akan tersimpan dalam bentuk pertum-

buhan pada pohon. Mengingat kadar

CO2 yang hanya sekitar 0,04 % di

atmosfer maka tak akan mampu

menghasilkan oksigen yang merubah

konsentrasinya di atmosfer menjadi naik

satu persen. Selain itu, di Gili Iyang juga

tidak terlihat adanya tumbuhan kayu

yang besar-besar sebagai bukti adanya

reaksi fotosintesa yang tinggi.

Kenaikan lebih dari satu persen

oksigen tidak bisa disuplai dari reaksi

gas-gas di atmsofer yang mengandung

oksigen, termasuk reaksi fotosintesa.

Kebocoran pipanisasi gas oksigen juga

tidak terjadi di Gili Iyang. Hal yang

paling memungkinkan jika kondisi

anomali oksigen di GIli Iyang benar

adalah adanya proses geologi. Proses

geologi yang mampu menyemburkan gas

oksigen ke atmosfer, sehingga kadar

oksigen di Gii Iyang sampai berada di

atas normal. Tentu saja kebenaran teori

ini perlu dibuktikan dengan penelitian

Page 44: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen ... (Sumaryati)

87

yang mendalam lagi, terutama pada

lokasi-lokasi yang diklaim sebagai titik

dengan kadar oksigen tinggi.

3 WISATA KESEHATAN DI INDONESIA

Menurut kamus besar bahasa

Indonesia yang dimaksud dengan wisata

kesehatan adalah gerak atau kegiatan

wisata yang dirangsang oleh adanya

obyek atau fasilitas yang diperlukan

untuk mengembalikan kesehatan di

daerah tujuan wisata, misalnya tempat

sejuk yang lengkap dengan tempat

peristirahatan dan terdapat sumber air

panas. Sedangkan menurut dictionary.

com wisata kesehatan (health tourism)

didefinisikan sebagai perjalanan wisata

dengan tujuan untuk mendapatkan

perawatan medis atau untuk meningkat-

kan kesehatan atau kebugaran.

Kepercayaan akan kadar oksigen tinggi

ini yang ditawarkan sebagai daya tarik

wisata kesehatan di Gili Iyang karena

oksigen sangat vital diperlukan oleh

tubuh.

Wisata serupa yang dipercaya

sebagai wisata kesehatan juga terdapat

di Taman Narmada, Pulau Lombok. Di

kawasan wisata Taman Narmada ada

mata air yang diyakini dapat membuat

awet muda jika diminum atau dipakai

untuk mencuci muka termasuk anggota

tubuh lain. Kebenaran akan air di

Taman Narmada yang dapat membuat

awet muda belum terbukti secara

ilmiah. Belum ada industri kosmetik

atau obat-obat yang memakai air ini

sebagai salah satu bahan penyusun

produknya. Kalau ada air kemasan

dengan nama Narmada, itu hanya

menumpang nama saja, bukan

mengambil air di taman Narmada yang

diyakini berkasiat. Kasiat air di taman

Narmada masih berupa mitos, sugesti,

ataupun terkait dengan kepercayaan

dalam agama Hindu.

Wisata kesehatan yang pernah

dicanangkan oleh Menteri Pariwisata

dan Ekonomi Kreatif bersama dengan

Menteri Kesehatan pada tahun 2012

adalah fasilitas spa (Kemenkraf, 2012).

Wisata kesehatan spa ini berbasis pada

keanekaragaman bahan spa yang

berasal dari bahan tradisional berbasis

jamu dan rempah-rempah yang

bercirikan Indonesia. Fasilitas spa khas

Indonesia ini diharapkan mampu

menjadikan destinasi wisata kesehatan

yang menarik bagi bagi wisatawan,

terutama wisatawan asing.

Wisata kesehatan yang berbasis

jamu tersebut sudah terwujud di

Indonesia. Taman Jamu Indonesia yang

dikelola Museum Jamu Nyonya Meneer

telah menyediakan kawasan wisata

kesehatan untuk keluarga (Seputar

Semarang.com, 2015). Wisata Kesehatan

Jamu Kalibakung di Tegal juga

merupakan kawasan wisata kesehatan

yang menawarkan produk unggulannya

berbahan dasar jamu (Dinkes Kabupaten

Tegal, 2015).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Jika kadar oksigen di Gili Iyang

benar tinggi, bisakah keunikan ini

dicanangkan sebagai wisata kesehatan?

Oksigen memang gas yang sangat vital

dibutuhkan tubuh. Asupan oksigen ini

melalui sitem pernafasan, bukan sistem

pencernaaan. Oksigen dibutuhkan

untuk membakar zat makanan atau

cadangan makanan untuk memperoleh

energi bagi kehidupan semua sel tubuh.

Kebutuhan akan oksigen ini dalam

kadar yang tepat, tidak boleh kurang

juga tidak boleh berlebih.

Kadar oksigen normal yang

ditolerir untuk mecukupi kebutuhan

pernafasan adalah dalam batas antara

(19,5–22,0)% (OSHA, 2015). Kadar

oksigen yang kurang dari 19,5 % akan

menyebabkan kekurangan oksigen yang

disebut hipoksia. Hipoksia selain kadar

yang rendah dalam udara bebas juga

bisa disebabkan karena tekanan udara

yang rendah seperti di daerah

pegunungan yang tinggi, udara banyak

mengandung racun terutama karbon

monoksida, dan penderita sesak nafas.

Dampak kekurangan oksigen dari yang

ringan seperti lemah dan pusing,

Page 45: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:83-90

88

sampai yang berat yang dapat

menyebabkan koma bahkan kematian.

Oksigen dengan kadar yang tinggi

dibutuhkan dalam beberapa pasien

tertentu, seperti sesak nafas akibat

asma dan gagal jantung. Terapi gas

oksigen bisa untuk pengobatan awal

penderita hipoksia (Bransondan

Johannigman, 2013; Harahap, 2004)

dan juga orang yang terkena paparan

radiasi (Irgens, 2013). Terapi oksigen

tersebut harus dalam pengawasan

tenaga medis yang ketat, sebab jika

overdosis dapat menjadikan hiperoksia

atau keracunan oksigen.

Hiperoksia dapat terjadi karena

dua hal, yaitu menghisap kadar oksigen

yang tinggi meskipun dalam waktu yang

singkat dan juga dapat terjadi karena

menghisap udara dengan kadar oksigen

yang sedikit di atas batas kadar oksigen

yang ditolerir tetapi dalam durasi yang

lama. Dampak dari hiperoksia tersebut

bisa berupa kejang-kejang yang dikenal

dengan nama Bert effect, sesak nafas

yang disebut Smith effect, dan juga bisa

menyebabkan kebutaan (Patel et al.,

2003; Mach, 2011). Kusno (2013)

menyebutkan keracunan oksigen banyak

menimpa dalam kasus perawatan bayi

dalam inkubator, juga bisa menimpa

penyelam yang dengan alat bantu

oksigen dan pasien yang sedang terapi

oksigen.

Jadi meskipun oksigen sangat

vital dibutuhkan tubuh, kadar yang

tinggi juga perlu diwaspadai karena bisa

memicu keracunan oksigen atau

hiperoksia. Penggunaan kadar oksigen

yang tinggi hanya boleh dilakukan

dengan pengawasan dari tenaga medis.

Jika kadar oksigen di beberapa titik Gili

Iyang ada yang lebih dari 22 %, bahkan

mencapai 27 %, justru perlu diwaspadai.

Menghirup udara dengan kadar oksigen

di atas batas kadar oksigen normal (22 %)

dalam waktu yang lama bisa menyebab-

kan hiperoksia.

Oksigen dibutuhkan dalam reaksi

pembakaran. Pembakaran hanya dapat

terjadi jika terpenuhi tiga syarat berikut,

yaitu tersedia bahan bakar, oksigen,

dan titik awal pengapian. Ketersediaan

oksigen yang melimpah di lingkungan

yang lebih dari 21 % akan mempercepat

proses pembakaran. Laju kebakaran

menjadi lebih cepat, sehingga muncul

seperti ledakan kecil. Percikan api yang

kecil pada bahan bakar yang sulit

terbakarpun akan timbul kebakaran

pada jika kondisi oksigen melimpah.

Oleh karena itu dengan kondisi oksigen

yang tinggi yang harus diperhatikan

adalah bahan bakar dan titik api.

Jangan merokok sembarangan, atau

melakukan pembakaran biomasa tanpa

pengawasan yang ketat karena bisa

memicu kebakaran yang besar.

Gambar 3-1: Label peringatan tabung oksigen

Untuk mewujudkan Gili Iyang

menjadi kawasan wisata kesehatan

dengan dukungan oksigen yang tinggi

perlu diperhatikan dua hal. Pertama

adalah masih diperlukannya kepastian

akan kebenaran secara ilmiah mengenai

kadar oksigen di Gili Iyang. Jika benar

kadar oksigen di Gili Iyang tinggi,

langkah kedua adalah mendesain wisata

kesehatan dengan memperhatikan

manfaat dan resiko dari kadar oksigen

yang tinggi.

5 PENUTUP

Sesuai dengan pengukuran yang

dilakukan oleh Pusat Sains Atmosfer

dan Iklim tahun 2006 dan analisanya,

kadar oksigen di Gili Iyang adalah

normal dan tidak bisa dikatakan sebagai

pulau dengan kadar oksigen tertinggi

kedua di dunia. Adanya hasil

Page 46: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen ... (Sumaryati)

89

pengukuran lain yang menunjukkan

kadar oksigen yang tinggi perlu

dilakukan pengecekan lagi yang lebih

mendalam memastikan keakuratan alat,

tidak adanya human error atau memang

benar ada titik spot dengan kadar

oksigen melebihi kondisi normal.

Jika benar ada titik spot dengan

kadar oksigen di Gili Iyang tinggi, yang

menarik adalah mencari penyebab

mengapa kadar oksigen tersebut bisa

tinggi karena ini kondisi anomali. Kadar

oksigen yang tinggi jika digunakan tidak

tepat dapat menyebabkan bahaya

keracunan oksigen dan bagi lingkungan

dapat menyebabkan laju kebakaran yang

cepat sehingga dapat menyebabkan

kebakaran yang besar. Jika titik spot

oksigen tinggi di Gili Iyang ada, untuk

untuk menjadikan Gili Iyang menjadi

wisata kesehatan perlu dilakukan kajian

kesehatan lingkungan yang memper-

hitungkan manfaat dan resiko dari

kadar oksigen yang tinggi baik bagi

kesehatan maupun lingkungan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan

kepada Bapak Afif Budiyono dan Tim

yang telah membuat laporan tentang

kondisi oksigen di Gili Iyang, juga

kepada Bapak Saipul Hamdi yang telah

berulang kali mengajak penulis dalam

diskusi dengan Puslitbang Permukiman,

Kementrian Pekerjaan Umum dalam

membahas potensi Pulau Gili Iyang.

DAFTAR RUJUKAN

Asha, Boldsky, 2015. Health Benefits of Epsom

Salt Bath 5 April, http://www. boldsky.

com/health/wellness/2015/health-

benefits-of-epsom-salt-bath-067431.

html.

Branson R. D., dan J. A. Johannigman, 2013.

Pre-Hospital Oxygen Therapy Respiratory

Care, Januari, VOL 58 NO. 1, DOI:

10.4187/respcare.02251, akses Mei

2015.

Detik, 2013. Balai Kesehatan Jatim Teliti

kandungan Oksigen di Pulau Gili Iyang

Sumenep, http:// news. detik. com/

surabaya/read/2013/05/02/170417/

2236592/475/balai-kesehatan-jatim-

teliti-kandungan-oksigen-di-pulau-gili-

iyang-sumenep.

Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, 2015.

Wisata Kesehatan Jamu (WKJ), http://

dinkes.tegalserver.net/reading-article.

html?8a80787692234bade8e59dda883

63026d35dbf4dcd5b1f8a9ae4b8ccd8b9

53211437c79716cd41efb38464b76dc8

bc9a.

Falk B., A. Nini, L. Zigel, Y. Yahav, M. Aviram,

J. Rivlin, L. Bentur, A. Avital, R. Dotan

dan H. Blau, 2006. Effect of Low

Altitude at the Dead Sea on Exercise

Capacity and Cardiopulmonary,

response to exercise in cystic fibrosis

patients with moderate to severe lung

disease Pediatric Pulmonology, Volume

41, Issue 3, 234–241, March.

Harahap I.A., 2004. Terapi Oksigen Dalam

Asuhan Leperawatan, USU digital library.

Irgens A., G. Vaagbø, dan L. Aanderud, 2013.

Quality of Life – the Effect of Hyperbaric

Oxygen Treatment on Radiation Injury,

UHM Vol.40, No.6.

Kemenkes dan Kemenparekraf akan Kerjasama

untuk Mendorong Kesehatan dan

Kebugaran, http://parekraf.go.id/asp/

detil.asp?c=16&id=2021.

Kompas, 2013. Giliyang, Pulau Terbaik di

Dunia, http://www. kompasiana.com/

www.kompasiana.com-dardiri/giliyang-

pulau-terbaik-di-dunia_ 5528103af17e

617a0b8b4638.

Koran Suara Rakyat, 2014. DPRD Minta

Pemerintah Serius Garap Wisata Gili

Iyang, http:// koransuararakyat. org/

ksr/2014/10/dprd-minta-pemerintah-

serius-garap-wisata-gili-iyang/.

Kramer M.R. dan S. Godfrey, 1996. Dead Sea:

Natural Oxygen Enrichment at Low

Altitude, Isr J Med Sci. Jul.

Kusno G., 2011. Mungkinkah Kita Keracunan

Oksigen, Kompas, 10 Juni, http://

kesehatan.kompasiana.com/medis/20

11/06/10/mungkinkah-kita-keracunan-

oksigen-371800.html.

LAPAN, 2006. Laporan Akhir Kegiatan:

Penelitian Kondisi Lingkungan Pulau

Page 47: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:83-90

90

Gili Iyang sebagai Potensi Kawasan

Wisata Kesehatan, Bandung.

Mach W.J., A.R .Thimmesch, J.T. Pierce, dan

J.D. Pierce, 2011. Consequences of

Hyperoxia and the Toxicity of Oxygen in

the Lung, Nursing Research and

Practice Volume 2011, Article ID

260482, 7 http://dx.doi.org/10. 1155/

2011/260482.

Oxygen-Deficient or Oxygen-Enriched Atmospheres,

United States Department of Labor,

https:// www.osha.gov/SLTC/ etools/

shipyard/shiprepair/confinedspace/ox

ygendeficient.html.

Patel D. N., A. Goel, S.B., Agarwal, P. Garg, K.

K. Lakhani, 2003. Oxygen Toxicity,

Journal, Indian Academy of Clinical

Medicine Vol. 4, No. 3 July-September.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No

41 Tahun 1999 tentang Pengendalian

Pencemaran Udara.

Saver J.F., S. Starkman, M. Eckstein, S. J.

Stratton, F. D. Pratt, S. Hamilton, R.

Conwit, D.S. Liebeskind, G. Sung, I,

Kramer, G. Moreau, R. Goldweber, dan

N. Sanossian, 2015. Prehospital Use of

Magnesium Sulfate as Neuroprotection

in Acute Stroke, TheNew England

Journal of Medicine, 372:528-36. DOI:

10.1056/NEJMoa1408827.

Sayembara: Desain Kawasan Pulau Gili Iyang,

download 2014 http:// ciptakarya. pu.

go.id/v3/ban/file/poster-giliIyang_ L R.

pdf.

Seputar Semarang.com, 2015. Taman Djamoe

Indonesia, http://seputarsemarang.com/

taman-djamoe-indonesia/.

Smith J. M., R. F. Lowe, J. Fullerton, S. M.

Currie, L. Harrisdan E. F.Kantor, 2013.

An Integrative Review of the Side Effects

Related to the use of Magnesium Sulfate

For Pre-Eclampsia And Eclampsia

Management, BMC Pregnancy and

Childbirth, 13:34 doi:10.1186/1471-

2393-13-34.

Tempo, 2012. Ingin Awet Muda? Melanconglah

ke Pulau Giliyang, http:// travel. tempo.

co/read/news/2012/04/01/20439391

9/ingin-awet-muda-melanconglah-ke-

pulau-giliyang.

Tribun news, 2013. Punya Kadar Oksigen

Bagus, Pulau Giliyang Jadi Objek

Wisata Kesehatan, http://www.

tribunnews.com/regional/2013/05/03/

punya-kadar-oksigen-bagus-pulau-

giliyang-jadi-objek-wisata-kesehatan.

Page 48: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pemanfaatan Transportable ... (Tiin Sinatra dan Noersomadi)

91

PEMANFAATAN TRANSPORTABLE RADAR CUACA DOPPLER

X-BAND UNTUK PENGAMATAN AWAN

Tiin Sinatra dan Noersomadi

Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Telah dilakukan pengamatan awan di beberapa tempat secara intensif dengan

menggunakan alat Transportable Radar Cuaca Doppler X-Band, diantaranya di

Bandung pada 2013 dan di Garut pada 2014. Berbagai skenario dilakukan selama

pengamatan. Pemindaian volume dilakukan pada kedua pengamatan tersebut, namun

pada saat pengamatan di Bandung juga dilakukan pemindaian RHI. Makalah ini ditulis

untuk melihat evolusi awan hujan yang ditinjau dari beberapa hasil luaran radar.

Untuk mendapatkan nilai reflektivitas dan kecepatan radial perlu dilakukan

pengkonversian nilai piksel pada gambar. Pengkonversian koordinat polar menjadi

kartesian juga perlu dilakukan tatkala akan melakukan plot data. Hasil menunjukkan

bahwa radar dengan frekuensi x-band ini dapat memperlihatkan evolusi awan dalam

wilayah terbatas dengan resolusi spasial maupun temporal yang cukup baik.

1 PENDAHULUAN

Radar merupakan alat yang

penggunaannya masih terbatas untuk

mengobservasi hujan secara terus-

menerus di Indonesia. LAPAN sendiri

baru mengoperasikan penggunaan radar

untuk pengamatan awan pada 2012.

Adapun radar yang dimiliki LAPAN

bekerja pada frekuensi X-band dengan

polarisasi tunggal (single polarization).

Untuk jenis radar cuaca,

tentunya radar tipe ini digunakan untuk

mengamati obyek meteorologi, seperti

hujan, hail, salju, drizzle, ataupun jenis

hidrometeor lainnya. Jenis obyek yang

akan diamati akan menentukan pita

gelombang radio yang digunakan.

Gelombang L-Band (1-2 GHZ, panjang

gelombang 15-30 cm) banyak digunakan

untuk mempelajari clear-air turbulence,

S-Band (2-4 GHz, panjang gelombang 8-

15 cm) digunakan untuk pengamatan

pengawasan cuaca jangka pendek

maupun jangka panjang. Radar jenis

ini tidak mudah teratenuasi, tetapi

membutuhkan tenaga maupun perangkat

yang besar. Selanjutnya, radar C-Band

(4-8 GHz, panjang gelombang 4-8 cm)

digunakan untuk pengawasan cuaca

jangka pendek (seperti, penggunaan di

dekat bandara). Radar ini dapat

digunakan untuk penelitian lapangan

karena bersifat portabel. Sedangkan,

radar X-Band (8-12 GHz, panjang

gelombang 2,5-4 cm) dapat digunakan

untuk penelitian jangka pendek, sensitif

untuk partikel yang lebih kecil sehingga

radar jenis ini berguna untuk pengamatan

awan, terutama awan hujan (Document

Gamic, 2001; Gematronik, 2010).

Secara umum, radar beroperasi dengan

pemindaian plan position indicator (PPI

scan) yang menggambarkan awan hujan

dalam sebuah peta hujan berbentuk

lingkaran. Pemindaian volume (volume-

scanning radar) merupakan skenario

yang dapat digunakan untuk mengamati

awan hujan secara 3 dimensi dan hal ini

cukup efektif dilakukan (Kinosita dan

Irisawa, 2003). Pemindaian volume

Page 49: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:91-98

92

menggunakan PPI pada beberapa

elevasi. Sedangkan pemindaian range

height indicator (RHI scan) digunakan

untuk observasi profil vertikal awan

hujan. Makalah ini ingin memper-

lihatkan performa radar dari hasil

beberapa pengamatan intensif pada

2013 di Gede Bage, Bandung dan 2014

di Pameungpeuk, Garut.

2 METODE

Metode yang digunakan dalam

pengamatan awan ini adalah mengubah

data yang diperoleh dari hasil beberapa

ekspedisi dengan transportable radar,

dimana datanya merupakan format

HDF-5 dengan ekstensi *.mvol. data ini

selanjutnya diubah menjadi besaran

reflektivitas dan besaran kecepatan

dengan menggunakan persamaan (2-1)

dan (2-2), yaitu:

reflektivitas (dBZ) = −32 + (95,5 − (−32)

255) ∗ nilai piksel (2-1)

kecepatan (m

s) = −14,346 + (

14,346 − (−14,346)

255) ∗ nilai piksel (2-2)

Adapun saat melakukan plot

data, dilakukan konversi koordinat polar

menjadi koordinat Cartesian. Koordinat

yang tersimpan pada *.mvol adalah

azimut dan elevasi. Konversi dilakukan

dengan menggunakan persamaan:

x = r ∗ cos 𝛼 (2-3)

y = r ∗ sin 𝛼 (2-4)

dengan 𝛼 adalah sudut elevasi.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Deteksi Evolusi Awan Dilihat dari

Data Reflektivitas

Berikut adalah hasil pengamatan

pada saat observasi intensif di

Pameungpeuk, Garut Jawa Barat.

Sinatra, dkk (2014) melihat distribusi

awan selama kurang lebih 1 bulan. Pada

kasus ini hanya mengambil studi kasus

pada hari tertentu saja. Gambar 3-1

memperlihatkan evolusi awan pada

tanggal 16 Maret 2014 pada ketinggian

3 km. Ketinggian ini dipilih guna

mengurangi efek dari ground clutter.

Sebelah utara radar terdiri atas wilayah

dataran tinggi dan pegunungan. Lokasi

radar ditunjukkan oleh lambang bintang

merah.

Awan mulai tumbuh di atas

wilayah pegunungan diawal dengan

awan-awan kecil yang terpisah. Semakin

malam, awan semakin bertambah

banyak dan luas dan mencapai

puncaknya pada pukul 17:40. Hal ini

terlihat dari luasan liputan awan dan

semakin kuat nilai reflektivitasnya.

Lewat pukul 17:40, awan mulai

berkurang. Meskipun liputan awan

masih tergolong luas, namun pada

pukul 19:27 nilai reflektivitasnya

menjadi rendah. Nilai reflektivitas dapat

menunjukkan tebal/tipisnya awan.

Malam hari pertumbuhan awan di atas

pegunungan semakin lemah, tetapi

mulai tampak ada pertumbuhan awan

di atas lautan.

3.2 Bright Band

Dalam hasil pengamatan radar

terkadang kita akan menjumpai adanya

bright band. Bright band terlihat sebagai

wilayah dengan nilai reflektivitas paling

tinggi. Dalam gambar pemindaian PPI,

bright band akan terlihat seperti donat

yang ditunjukkan oleh Gambar 3-2,

sedangkan pada pemindaian RHI, bright

band akan nampak seperti garis yang

mengidentifikasikan adanya lapisan

yang terlihat pada Gambar 3-3

(Matrosov, 2007; Zhang, 2010, The

Warning Decision Training Division,

diakses pada September 2015). Berikut

beberapa contoh hasil pengamatan

terdeteksinya bright band di Bandung

pada tanggal 17 Maret 2013.

Page 50: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pemanfaatan Transportable ... (Tiin Sinatra dan Noersomadi)

93

Gambar 3-1: Pertumbuhan awan dari hasil obervasi di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat pada 16

Maret 2014 pada ketinggian 3 km

17-03-2013 Pukul 18:36

Elevasi 8°

17-03-2013 Pukul 19:34 Elevasi 10°

Gambar 3-2: Pemindaian PPI di Gede Bage, Bandung pada tanggal 17 Maret 2013. Lapisan peleburan

ditandai dengan nilai reflektivitas yang tinggi yang memutar membentuk busur (garis warna hitam)

a) b)

c) d)

e) f)

a) b)

Page 51: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:91-98

94

Gambar 3-3: Pemindaian RHI di Gede Bage, Bandung pada tanggal 17 Maret 2013 sekitar pukul

19:05 waktu setempat pada azimut 120° dan 300°. Lapisan peleburan ditandai dengan nilai reflektivitas yang tinggi yang memanjang membentuk garis (lapisan)

Gambar 3-2 merupakan hasil plot

dari produk PPI. Lingkaran yang

berwarna abu-abu merupakan wilayah

efektif jangkauan radar. Titik merah

menunjukkan lokasi radar. Berbeda

dengan Gambar 3-1 yang merupakan

hasil Constant Altitude Plan Position

Indicator (CAPPI), awan yang tedeteksi

tidak pada ketinggian yang sama.

Daerah pada radius yang sama dari

radar memiliki ketinggian yang sama.

Semakin jauh dari radar, maka posisi

obyek semakin tinggi. Gambar 3-2a)

adalah hasil pemindaian pada elevasi 8°.

Terdeteksi adanya reflektivitas yang

tinggi yang membentuk busur pada

arah barat laut dari lokasi radar.

Gambar 3-2b) menunjukkan wilayah

bright band yang lebih panjang.

Keduanya menunjukkan bright band

pada ketinggian 3-4 km.

Gambar 3-3 memperlihatkan

hasil pemindaian radar pada azimut

120° dan 300° pada tanggal 17 Maret

2013 sekitar pukul 19-an. Hasil RHI

dari dua azimut tersebut terdapat jeda

waktu sekitar 8 menit 34 detik.

Bersesuaian dengan Gambar 3-2,

terlihat bahwa adanya bright band di

sekitar ketinggian 3-4 km dari

permukaan tanah. Bright band ini

terlihat memanjang, membentuk garis.

Keberadaan bright band ini perlu

diperhatikan, terutama dalam per-

hitungan curah hujan. Dengan mem-

perhitungan keberadaan bright band,

maka estimasi kuantitatif presipitasi

Quantitative Precipitation Estimations

(QPE) dapat meningkatkan akurasi hasil

estimasi curah hujan dari radar (Zhang,

2010; Pfaff, 2014). Estimasi curah hujan

dengan menggunakan data radar ini

telah dilakukan oleh Sipayung dan

Noersomadi (2013) di Bandung dengan

melihat hubungan antara Z-R.

3.2 Profil Vertikal

Selain dapat mengamati secara

spasial, luaran radar juga dapat

mengamati obyek secara vertikal melalui

pemindaian RHI. Gambar 3-4 menun-

jukkan beberapa hasil dari produk RHI

pada tanggal 18 Maret 2013 di

Bandung. Terlihat bahwa kita dapat

melihat evolusi awan secara vertikal.

Pada tanggal 18 terlihat bahwa

pada azimut 60° dan 240° pada sore

hari awan semakin meningkat. Terlihat

adanya pertumbuhan awan yang

membentuk awan stratiform. Distribusi

awan meningkat pesat pada pukul

17:04 menuju pukul 17:57 di azimuth

60°. Kemudian awan mulai menjalar

lebih lebar lagi pada pukul 18:50.

Sedangkan pada azimuth 240°,

reflektivitas awan meningkat yang dapat

mengindikasikan bahwa awan semakin

tebal (kelembapannya semakin

meningkat).

Page 52: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pemanfaatan Transportable ... (Tiin Sinatra dan Noersomadi)

95

a)

b)

c)

Gambar 3-4: Pertumbuhan awan dari hasil obervasi di Gede Bage,Bandung pada 18 Maret 2013 hasil

pemindaian RHI

3.3 Kecepatan Radial

Selain reflektivitas, kelebihan dari

radar Doppler adalah adanya keluaran

berupa kecepatan radial. Besaran ini

diturunkan dari perhitungan perbedaan

fase antara gelombang yang

ditransmisikan dan yang dipantulkan.

Berikut contoh hasil luaran kecepatan

radial (Gambar 3-5).

Gambar 3-5 merupakan hasil

pengamatan di wilayah Pameungpeuk,

Garut, Jawa Barat pada tanggal 16

Februari 2014. Gambar tersebut

merupakan produk dari PPI sehingga

obyek pada gambar tersebut tidak

menunjukkan berada pada ketinggian

yang sama. Terdapat 2 nilai kecepatan,

yaitu positif dan negatif. Nilai positif

menunjukkan bahwa obyek mendekati

radar, dan bernilai negatif jika obyek

menjauhi radar. Secara umum dari

keempat gambar pada Gambar 3-5

menunjukkan bahwa obyek bergerak ke

barat-tenggara. Untuk lebih detil

mengenai interpretasi dari plot kecepatan

radial dapat dilihat pada situs https://

www.nssl.noaa.gov/publications/dopple

rguide/chapter2.php.

Page 53: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:91-98

96

a)

b)

c)

d)

Gambar 3-5: Kecepatan radial pada 16 Februari 2014 hasil pemindaian PPI pada elevasi 5°

4 PENUTUP

Pemanfaatan radar untuk kajian

meteorologi, dalam kasus di atas terkait

dengan observasi awan hujan,

merupakan hal penting dilakukan

untuk menunjang penelitian yang

berkenaan dengannya. Uraian di atas

hanyalah beberapa hal yang dapat

diperoleh dari pengamatan radar x-band

dengan polarisasi tunggal. Pengaturan

skenario pemindaian radar dapat

disesuaikan dengan keperluan penelitian

yang diinginkan. Pemindaian RHI dapat

dilakukan untuk pengamatan profil

vertikal awan, deteksi bright band,

sedangkan pemindaian PPI dapat

digunakan untuk pengamatan awan

secara spasial. Luaran berupa

reflektivitas dapat dimanfaatkan untuk

melihat evolusi awan. sedangkan luaran

berupa kecepatan radial dapat

dimanfaatkan untuk penelitian lebih

lanjut lagi mengenai meteorologi,

terutama terkait dengan mikrofisika

awan. Kemampuan radar yang dapat

berpindah memberikan kemudahan bagi

peneliti untuk dapat melakukan

observasi di tempat yang berbeda,

tentunya dengan syarat dan kondisi

wilayah yang memenuhi standar untuk

pengoperasian radar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima

kasih kepada para staf bidang Teknologi

Atmosfer PSTA LAPAN Bandung atas kerja

samanya dalam setiap pelaksanaan

observasi intensif yang diselenggarakan.

Penulis juga ucapkan terima kasih kepada

para staf Pusat Uji Terbang Roket

LAPAN Pameungpeuk atas bantuannya

selama observasi berlangsung di sana.

Page 54: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pemanfaatan Transportable ... (Tiin Sinatra dan Noersomadi)

97

DAFTAR RUJUKAN

Document GAMIC., 2001. Radar Meteorology

Training Introduction for Radar Users.

Gematronik, 2010. Rainbow Product Presentation,

Selex System Integration Gmbh.

Interpretation of Doppler Velocity Patterns in

Clear Air and Widespread Precipitation,

diakses pada September 2015. https://

www.nssl.noaa.gov/ publications/

dopplerguide/chapter2.php.

Kinosita, T. dan Irisawa, M., 2003. Radar

Raingauge with Volume-Scanning

Function, Proceedings of Symposium

HS03, IAHS Publ, 282, 2003.

Matrosov, S. Y.; Clark, K.; Kingsmill, D., 2007.

A Polarimetric Radar Approach to

Identify Rain, Melting-Layer, and Snow

Regions for Applying Corrections to

Vertical Profiles of Reflectivity, J. App.

Meteor, 46, 154-166.

Pfaff, T., Engelbrecht, A., dan Seidel, J., 2014.

Detection Of The Bright Band with a

Vertically Pointing K-Band Radar,

Meteorologische Zeitschrift, 23 (5), 527-

534.

Sinatra, T., Noersomadi, Nugroho, G.A., dan

Trilaksono, 2014. Characterizing the

Diurnal Cycle of Convective Activity over

the South of West Java Using Doppler X-

Band Radar Observation, The 4th

international symposium for

sustainable humanosphere (ISSH)

2014 ,proceedingsh ISSN 2088-9127.

Sipayung, S.B. dan Noersomadi, 2013. Analisa

Reflektivitas Transportable Radar (TR)

di saat Campaign Bulan Maret 2013 di

Kawasan Gedebage, Bandung (Jawa

Barat). Seminar Nasional Fisika. ISSN

2088-4176.

The Warning Decision Training Division,

diakses pada September 2015.

http://www.wdtb.noaa.gov/courses/M

RMS/ProductGuide/index.php.

Zhang, J. dan Qi, Y., 2010. A Real-Time

Algorithm for the Correction of

Brightband Effects in Radar-Derived

QPE, J. Hydrometeorology, 11 (5),

1157-1171.

Page 55: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:91-98

98

Page 56: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)

99

PENGINTEGRASIAN DAN PENYAJIAN SPASIAL DINAMIS

INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA

DALAM SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL

Sarno

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Kalisari No.08, Pekayon-Pasar Rebo, Jakarta 13710

e-mail: [email protected] atau [email protected]

RINGKASAN

Program kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh Indonesia National Carbon Accounting

System (INCAS) telah menghasilkan informasi tutupan hutan dan perubahannya di Indonesia.

Informasi tersebut perlu diintegrasikan ke dalam Sistem Pemantauan Bumi Nasional melalui aplikasi

pemetaan web. Tujuan dari pengintegrasian adalah agar dapat diterapkan penyajian spasial dinamis

dan pengguna secara mudah dapat memvisualisasikannya dan berinteraksi melalui web browser.

Pengintegrasian menerapkan ’Prototyping Development Methodology with Open Source Software’.

Sistem yang dihasilkan mempunyai antarmuka pengguna berupa tombol pilihan atau navigasi pada

Toolsbar untuk menjalankan operasi fungsi-fungsi pengelolaan penyajian dan visualisasi spasial

dinamis informasi tutupan hutan dan perubahannya periode tahun 2001–2009.

Sistem operasional diharapkan dapat memberikan kemudahan akses secara on line dan

berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan para pengguna di berbagai sektor pembangunan

dan dapat diakses melalui situs web resmi Pusat Pemanfatan Penginderaan Jauh (http://

pusfatja.lapan.go.id).

1 PENDAHULUAN

Program Pemanfaatan Peng-

inderaan Jauh Indonesia National

Carbon Accounting System (INCAS) telah

menghasilkan sistem yang akuntabel

dan berkelanjutan guna menghitung

emisi karbon dari sektor kehutanan di

Indonesia. Hutan memiliki peran dalam

hal penyimpanan karbon dan nilai-nilai

lainnya. Rangkaian kegiatan dilaksanakan

dengan fokus pada tutupan hutan dan

perubahannya [LAPAN, 2014]. Program

tersebut telah menghasilkan informasi

tutupan hutan dan perubahannya di

Indonesia untuk periode 2000 - 2012.

Produk informasi spasial tutupan

hutan dan perubahannya (penyusutan

dan penambahan hutan) di Indonesia

memiliki peran penting bagi pengguna

dari berbagai institusi pemerintah,

swasta, dunia usaha dan masyarakat.

Untuk mendukung kebutuhan

pelayanan tersebut, Pusat Pemanfaatan

Penginderaan Jauh (Pusfatja), Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional

(LAPAN) melalui Program Pengembangan

Pemanfaatan Penginderaan Jauh

menyelenggarakan Kegiatan Pengem-

bangan Sistem Pemantauan Bumi

Nasional (SPBN). Program SPBN tersebut

telah mengintegrasikan informasi

tutupan hutan dan perubahannya di

Indonesia periode tahun 2001 – 2009

melalui sistem penyajian dan visualisasi

spasial dinamis. Informasi tersebut

tercermin dalam layer-layer, disimpan

dan terintegrasi di dalam server yang

terhubung ke jaringan informasi

elektronik berupa media web atau

internet.

Ketersediaan produk informasi

spasial tutupan hutan dan

perubahannya yang benar, tepat dan

akurat dapat meningkatkan

pemanfaatan penginderaan jauh untuk

mendukung pengelolaan sumber daya

Page 57: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114

100

kehutanan dan membangun sistem

pemantauan yang akuntabel dan

berkelanjutan guna menghitung emisi

karbon [LAPAN, 2014] dari sektor

kehutanan sekaligus ikut serta dalam

pengelolaan, menjaga keselamatan serta

kelestarian sumber daya alam Indonesia

yang berkelanjutan.

Makalah ini menjelaskan proses

dalam kegiatan pengaturan peng-

integrasian, penyajian dan visualisai

spasial dinamis informasi tutupan

hutan dan perubahannya dalam SPBN

di Pusfatja LAPAN. Sistem operasional

mampu memberikan kemudahan akses

secara on line dan berkelanjutan dalam

upaya memenuhi kebutuhan para

pengguna di berbagai sektor pem-

bangunan. Sistem dapat diakses melalui

situs web resmi Pusfatja - LAPAN yaitu

http://pusfatja.lapan.go.id.

Integrasi, publikasi, produksi dan

diseminasi berbasis web produk

informasi spasial tutupan hutan dan

perubahannya memerlukan sejumlah

tahapan kegiatan, diantaranya adalah

persiapan, pengaturan pengintegrasian,

penyajian dan visualisai serta pengaturan

antarmuka pengguna dengan sistem.

Manfaat kegiatan pengintegrasian

dan penyajian spasial dinamis informasi

tutupan hutan dan perubahannya di

Indonesia adalah mendukung kesinam-

bungan integrasi, publikasi, produksi

dan diseminasi hasil kegiatan

Penginderaan Jauh INCAS ke dalam

SPBN.

2 LATAR BELAKANG

Kemajuan teknologi penginderaan

jauh (remote sensing) dan teknologi

informasi dan komunikasi spasial (TIK-

Spasial) berkembang sangat pesat.

Teknologi penginderaan jauh telah

membuat perekaman data spasial dijital

relatif lebih mudah, cepat dan akurat.

Potensi pemanfaatan TIK-Spasial secara

luas, membuka peluang bagi pengaksesan,

pengelolaan, dan pendayagunaan infor-

masi spasial pemanfaatan penginderaan

jauh dalam volume yang besar.

Kemampuan penyimpanan dalam

volume yang semakin besar, kecepatan

pengolahan yang semakin cepat dan

kapasitas transfer yang semakin

meningkat menjadikan informasi spasial

pemanfaatan penginderaan jauh

merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari perkembangan teknologi informasi

spasial untuk mendukung berbagai

kepentingan sektor pembangunan

nasional.

Teknologi penginderaan jauh dan

TIK-Spasial menumbuhkan kesadaran

akan pentingnya pemecahan suatu

masalah dengan memanfaatkan data

dan informasi spasial pemanfaatan

penginderaan jauh. Teknologi yang

dipilih untuk pengembangan adalah

sistem pemetaan web (web mapping).

Teknologi tersebut berbasis pada TIK-

Spasial, difokuskan pada paket

perangkat lunak sumber terbuka yang

dirilis di bawah lisensi seperti General

Public Licence (GPL), diadopsi oleh

komunitas on line yang aktif, mendukung

format standar, stabil dan handal.

2.1 Sistem Pemetaan Web

Sistem Pemetaan web adalah

prosedur atau proses merancang,

menerapkan, menghasilkan dan

mengirimkan peta dalam bentuk dijital

melalui media world wide web (www),

atau dapat juga diartikan, pemetaan

web adalah istilah umum untuk melihat

dan mengambil informasi spasial (peta

dijital) melalui media web atau internet.

Komponen utama sistem pemetaan web

adalah web map server dan web map

client [Hazzard, 2011].

Pemetaan web telah merevolusi

cara mendistribusikan dan berinteraksi

dengan informasi spasial. Sejumlah

perangkat lunak Sistem Informasi

Geografi (SIG) digantikan hanya oleh

satu pusat server pemetaan web yang

dapat diakses oleh semua orang yang

terhubung dengan akses ke internet

melalui web browser. Peta dapat diakses

melalui perangkat yang terhubung ke

internet dan membuat permintaan ke

Page 58: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)

101

server untuk sebuah peta digital secara

online.

Informasi tutupan hutan dan

perubahannya di Indonesia yang

tercermin pada peta dijital berupa map

layers, disimpan di dalam suatu server

yang terhubung ke jaringan internet.

Melalui tombol pilihan atau navigasi

pada layar browser memungkinkan

untuk menjalankan beberapa operasi

pada informasi dijital tutupan hutan

dan perubahannya, seperti zoom-in dan

zoom-out, atau memperoleh informasi

mengenai informasi tertentu pada

informasi dijital. Dengan personal

komputer dan perangkat lunak minimal,

pengguna dapat secara dinamis

berinteraksi dengan menampilkan peta

dan menemukan hubungan data dalam

peta yang sebelumnya diperlukan

keahlian dan perangkat lunak yang

mahal.

2.2 Arsitektur Sistem

Pengintegrasian dan penyajian

spasial dinamis informasi tutupan

hutan dan perubahannya di Indonesia

menerapkan 3-Tiers Architecture,

ditunjukkan seperti pada Gambar 2-1,

dengan legenda seperti pada Gambar 2-2

[Ticheler, 2007].

Ada banyak pilihan yang cukup

menarik dan beragam kategori

komponen perangkat lunak yang dapat

disusun, disesuaikan dan diintegrasikan

ke dalam pengembangan sistem

Pengintegrasian dan penyajian spasial

dinamis informasi tutupan hutan dan

perubahannya di Indonesia.

Pada lapisan paling bawah: dapat

disusun, disesuaikan dan diintegrasikan

tempat penyimpanan (storage) berupa

server basis data informasi dan sistem

file dalam rangka mencapai manajemen

data yang lebih efisien.

Perangkat lunak PostgreSql/PostGis

[Obe, 2011; PostGis, 2013] digunakan

sebagai geospatial Database

Management System (DBMS) Server

disusun dan disesuaikan untuk

manajemen basis data informasi

Geofatja.

Sistem tata kelola file atau berkas

raster citra satelit penginderaan jauh

dalam format GeoTiff.

Gambar 2-1: Arsitektur Sistem Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis Informasi Tutupan

Hutan dan Perubahannya [Ticheler, 2007]

Page 59: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114

102

Gambar 2-2: Legenda Arsitektur Sistem Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis Informasi

Tutupan Hutan dan Perubahannya [Ticheler, 2007]

Pada lapisan tengah (middleware):

dapat disusun, disesuaikan dan diinte-

grasikan semua layanan yang membantu

aksesibilitas ke repositori data/

informasi. Ada 3 (tiga) perangkat lunak

server utama, yaitu Map Server, Web

Service Server dan Catalog Server.

Server tersebut menyebarluaskan

(melayani) muatan informasi ke web,

berdasarkan pada antarmuka standar

(misalnya, WMS, WFS, WCS, ISO

19115/139) untuk memfasilitasi akses

dan penggunaan informasi online.

Lapisan tengah juga menyediakan

Layanan Akses langsung ke Basis Data

informasi untuk query tingkat lanjut

dan analisis muatan informasi.

Perangkat lunak University of Minnesota

(UMN) MapServer [Kropla, B., 2005;

MapServer, 2013] digunakan sebagai

web map server, dapat disusun

(configuration) dan disesuaikan

(customization) untuk mempublikasikan

informasi dan sebagai server pemetaan

yang menyediakan fungsi-fungsi operasi

sistem pemetaan web.

Perangkat lunak GeoServer [Geoserver,

2013] untuk Geospatial Web Services

OGC Server.

Perangkat lunak GeoNetwork [Ticheler,

2007] untuk Metadata Catalog Server.

Pada lapisan atas (client) berada

pengguna dan aplikasi. Akses ke

muatan informasi dimungkinkan baik

melalui Desktop maupun Web client.

Desktop client dapat berupa paket

perangkat lunak dengan kemampuan

geovisualisasi dan fungsi Desktop GIS,

Page 60: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)

103

seperti paket perangkat lunak GIS

(ArcGIS dan Quantum GIS) atau Map

Viewer (Google Earth).

Perangkat lunak Google Earth (http://

earth.google.com/) untuk aplikasi

Geospatial Web Services Viewer/Client.

Framework perangkat lunak PMapper

(PMapper, 2013) digunakan sebagai

aplikasi Internet web map client/

viewer, disusun dan disesuaikan

untuk antarmuka penyajian dan

visualisasi spasial dinamis.

2.3. File Konfigurasi Web Map Server

Konfigurasi web map server

merupakan proses pengaturan

menggambar dan berinteraksi dengan

map. File konfigurasi web map server

atau lebih dikenal dengan istilah file

map merupakan komponen utama dan

jantung dari Minesota MapServer. File

map digunakan oleh Map Server untuk

pengaturan dan akses data. Pengaturan

mencakup data layer yang akan

digambarkan, memfokuskan letak

geografis dalam map, sistem proyeksi

dan format keluaran image yang akan

digunakan, serta mengatur legenda dan

skala.

File map merupakan file teks

sederhana yang menggunakan struktur

hirarkis obyek, terdiri dari obyek-obyek.

Setiap obyek memiliki kata kunci untuk

memulai dan kata END untuk

mengakhiri. Obyek dapat memiliki sub

obyek lain di dalam obyek tersebut

[Tyler M., 2005]. Representasi grafis

struktur hirarkis model obyek file map,

ditunjukkan seperti pada Gambar 2-3,

model obyek map seperti pada Gambar

2-4 dan model obyek layer seperti pada

Gambar 2-5 [Yewondwossen, A., 2004].

Gambar 2-3: Representasi Model Obyek File Map [Yewondwossen, A., 2004]

Gambar 2-4: Representasi Model Obyek Map [Yewondwossen, A., 2004]

Page 61: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114

104

Gambar 2-5: Representasi Model Obyek Layer [Yewondwossen, A., 2004]

3 DATA DAN METODOLOGI

3.1 Cakupan Wilayah

Cakupan wilayah pada pengem-

bangan sistem penyajian dan visualisasi

spasial dinamis informasi tutupan

hutan dan perubahannya meliputi

seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana

ditunjukkan seperti pada Gambar 3-1.

3.2 Data

Data yang digunakan adalah

hasil analisis data citra penginderaan

jauh untuk tutupan hutan dan non

hutan, penyusutan dan penambahan

hutan yang telah dilakukan tiap tahun

dalam periode tahun 2000-2012.

Pengintegrasian dan penyajian spasial

dinamis pada sistem ini mencakup

antara lain: Tutupan hutan dan non

hutan, periode tahun 2001 – 2009;

Penyusutan hutan, periode tahun 2001 –

2009; dan Penambahan hutan, periode

tahun 2001 - 2009.

3.3 Metodologi

Pengembangan sistem ini

dilakukan dengan perangkat lunak open

source dan merupakan implementasi

tahapan operasi dan dukungan

’prototyping development metodology

with open source software’ [Brian, 2013].

Implementasi dititikberatkan pada

keterpaduan dan kepraktisan bagi

kebutuhan pengguna berupa multi

aplikasi Geospasial Free and Open

Source Software (GeoFOSS) melalui

proses pembenahan berbagai komponen

pembentuk agar diperoleh sistem yang

sederhana dan mudah dipahami.

Metode tersebut biasa dikenal dengan

istilah re-engineering, yaitu proses

analisis teknologi untuk mengidentifikasi

komponen-komponen dan hubungannya

serta mengembangkan sistem dalam

bentuk baru.

Page 62: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)

105

Gambar 3-1: Cakupan Wilayah Pengembangan Sistem Penyajian Informasi [Google Earth; LAPAN, 2014]

Tahapan dalam ’Prototyping

Development Methodology with Open

Source Software’ yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

Mendefinisikan sistem - kegiatan yang

akan dilakukan berupa pengintegrasian

dan penyajian spasial dinamis informasi

tutupan hutan dan perubahannya

dalam SPBN,

Menentukan komponen perangkat

lunak - kegiatan ini hanya memper-

timbangkan GeoFOSS,

Membangun prototipe - kegiatan ini

dimaksudkan untuk mengembangkan

prototipe yang telah didefinisikan

dengan melakukan installed, configured

dan customize,

Menentukan dan mempopulasi

informasi - set informasi yang

digunakan berupa informasi tutupan

hutan dan perubahannya di Indonesia

serta pengintegrasiannya ke dalam

sistem pemantauan bumi nasional,

Uji dan evaluasi - kegiatan ini dilakukan

untuk memastikan semua fungsionalitas

sistem tersedia dan berjalan dengan

benar,

Operasi dan dukungan sistem -

pengintegrasian dan penyajian spasial

dinamis informasi tutupan hutan dan

perubahannya dalam SPBN akan

memasuki tahap operasi dan

dukungan. Selama beroperasi sistem

perlu dukungan berupa servis,

pemeliharaan atau peningkatan

fungsionalitas.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan pengembangan ini telah

mengintegrasikan informasi tutupan

hutan dan perubahannya hasil kegiatan

penginderaan jauh INCAS ke dalam

SPBN. Berikut ini hasil identifikasi kelas

dan warna, langkah-langkah peng-

integrasian dan penyajian spasial

dinamis informasi tutupan hutan dan

perubahannya di Indonesia berbasis

pada sistem pemetaan web, ditunjukkan

melalui operasi fungsi-fungsi sistem

pemetaan web atau fungsi-fungsi

operasi peta dalam bentuk script dan

hasil.

4.1 Kelas dan Warna Tutupan Hutan

dan Perubahannya

Sebagaimana disebutkan di atas

bahwa pengembangan sistem ini

menggunakan produk informasi hasil

kegiatan Penginderaan Jauh INCAS.

Produk tersebut yakni berupa informasi

citra tutupan hutan dan non hutan,

penyusutan hutan dan penambahan

hutan periode tahun 2001 - 2009. Daftar

Kelas (Tutupan Hutan dan Non Hutan,

Penyusutan Hutan dan Penambahan

Hutan) dan Warna (Red, Green, Blue

atau Hexa Decimal), ditunjukkan seperti

pada Tabel 4-1, Tabel 4-2 dan Tabel 4-3.

Page 63: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114

106

Tabel 4-1: DAFTAR NAMA KELAS DAN NILAI WARNA INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA TAHUN 2000 – 2003

KELAS VALUE

NILAI WARNA NAMA FILE

R G B Hexa Warna

Tahun 2000-2001

Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2001.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan

Hutan 1 38 176 44 26B02C

penambahan_hutan_2000-

2001.tif

Penyusutan Hutan

1 255 126 144 FF7E90

penyusutan_hutan_2000-

2001.tif

No Value 99

Tahun 2001-2002

Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2002.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan

Hutan 1 168 214 176 A8D6B0

penambahan_hutan_2001-

2002.tif

Penyusutan Hutan 1 238 88 99 EE5863

penyusutan_hutan_2001-

2002.tif

No Value 99

Tahun 2002-2003

Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2003.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan

Hutan 1 41 209 51 29D133

penambahan_hutan_2002-

2003.tif

Penyusutan Hutan 1 254 125 186 FE7DBA

penyusutan_hutan_2002-

2003.tif

No Value 99

Informasi tutupan hutan tahunan

disimpan dalam satu kesatuan file.

Kelas Penyusutan Hutan dan Kelas

Penambahan Hutan dalam skala

Nasional masing-masing disimpan

dalam satu file terpisah. Jadi dalam tiap

tahun ada tiga file untuk menyimpan

produk informasi tutupan hutan (Kelas

Tutupan Hutan dan Non Hutan) dan

perubahannya (Kelas Penyusutan Hutan

dan Penambahan Hutan).

Page 64: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)

107

Tabel 4-2: DAFTAR NAMA KELAS DAN NILAI WARNA INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA TAHUN 2003 – 2006

KELAS VALUE NILAI WARNA

NAMA FILE R G B Hexa Warna

Tahun 2003-2004

Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2004.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan Hutan

1 23 14 137 170E89 penambahan_hutan_2003-

2004.tif Penyusutan Hutan

1 255 138 42 FF8A2A penyusutan_hutan_2003-

2004.tif No Value 99

Tahun 2004-2005

Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2005.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan Hutan

1 53 145 255 3591FF penambahan_hutan_2004-

2005.tif Penyusutan Hutan

1 241 176 110 F1B06E penyusutan_hutan_2004-

2005.tif No Value 99

Tahun 2005-2006

Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2006.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan Hutan

1 103 130 222 6782DE penambahan_hutan_2005-

2006.tif Penyusutan Hutan

1 250 18 255 FA12FF penyusutan_hutan_2005-

2006.tif No Value 99

Tabel 4-3: DAFTAR NAMA KELAS DAN NILAI WARNA INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN

PERUBAHANNYA TAHUN 2006 – 2009

KELAS VALUE NILAI WARNA

NAMA FILE R G B Hexa Warna

Tahun 2006-2007

Tutupan Hutan 1 38 115 1

267301

tutupan_hutan_2007.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan Hutan

1 129 15 225 810FE

1 penambahan_hutan_2006-

2007.tif Penyusutan Hutan

1 233 03 126 E9037

E penyusutan_hutan_2006-

2007.tif No Value 99

Tahun 2007-2008

Tutupan Hutan 1 38 115 1

267301

tutupan_hutan_2008.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan Hutan

1 88 65 160 5841A

0 penambahan_hutan_2007-

2008.tif Penyusutan Hutan

1 134 00 118 86007

6 penyusutan_hutan_2007-

2008.tif No Value 99

Tahun 2008-2009

Tutupan Hutan 1 38 115 1

267301

tutupan_hutan_2009.tif

Non Hutan 140 137 66 8c8942

Penambahan Hutan

1 53 09 209 3509D

1 penambahan_hutan_2008-

2009.tif Penyusutan Hutan

1 255 255 03 FFFF0

3 penyusutan_hutan_2008-

2009.tif No Value 99

Page 65: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114

108

4.2 Integrasi dan Konfigurasi Layer

Informasi

Integrasi dan konfigurasi Layer

Informasi Tutupan Hutan dan

Perubahannya ke dalam sistem

penyajian dan visualisai spasial dinamis

dilakukan konfigurasi pada Obyek MAP

yang merupakan bagian dari file

incas.map, ditunjukkan seperti pada

Gambar 4-1.

Konfigurasi obyek MAP tersebut

mendefinisikan parameter-parameter

yang berlaku umum untuk keseluruhan

informasi tutupan hutan dan

perubahannya. Penggunaan parameter

konfigurasi di atas dan fungsinya adalah

sebagai berikut: EXTENT mendefinisikan

batas koordinat peta, yaitu 94.0, -12.0,

141.0 dan 7.0; UNITS mendefinisikan

satuan koordinat peta, yaitu Decimal

Degree (DD); SIZE mendefinisikan

ukuran peta dalam satuan piksel (600

lebar, 500 tinggi peta); SHAPEPATH

mendefinisikan direktori data peta

berada; RESOLUTION mendefinisikan

resolusi keluaran, 90 piksel per inch;

SYMBOLSET dan FONTSET mendefinisi-

kan file simbol dan file font; PROJECTION

mendefinisikan sistem proyeksi

("init=epsg:4326"); dan REFERENCE,

mendefinisikan karakteristik indeks

peta.

4.2.1 Integrasi dan konfigurasi layer

tutupan hutan

Hasil integrasi Layer Informasi

Tutupan Hutan tahun 2007 ditunjukkan

pada Gambar 4-2, dilakukan dengan file

tutupan_hutan_2007.map, ditunjukkan

pada Gambar 4-3. Konfigurasi

pengaturan Kelas, Nama dan Nilai

Warna Layer Informasi Tutupan Hutan

dilakukan pada Objek LAYER dengan file

tutupan_hutan_xxxx.map, dimana xxxx

adalah tahun. Pada Layer Tutupan

Hutan tahun 2007 kelas “Hutan”, warna

(COLOR 38 115 1) dan “Non Hutan”,

warna (COLOR 140 137 66) mengacu

pada Tabel 4-3.

Gambar 4-1: Konfigurasi Integrasi Informasi Tutupan Hutan

Page 66: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)

109

Gambar 4-2: Layer Informasi Tutupan Hutan Tahun 2007 [LAPAN – pusfatja.lapan.go.id]

Gambar 4-3: Konfigurasi Layer Informasi Tutupan Hutan Tahun 2007

4.2.2 Integrasi dan konfigurasi layer

penyusutan dan penambahan

hutan

Konfigurasi Pengaturan Kelas,

Nama dan Warna Layer Penyusutan dan

Penambahan Hutan dilakukan pada

Obyek LAYER dengan file perubahan_

hutan_xxxx_yyyy.map periode tahun

xxxx - yyyy.

Integrasi Layer Informasi

Penyusutan dan Penambahan Hutan

antara tahun 2007 sampai dengan

tahun 2008 dilakukan dengan file

perubahan _ hutan _ 2007 _ 2008.map

ditunjukkan seperti pada Gambar 4-4,

dan hasil ditunjukkan seperti pada

Gambar 4-5.

Page 67: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114

110

Pada Layer Penyusutan Hutan

terdapat Kelas “Tahun 2007_2008”,

warna (COLOR 25018255) dan Layer

Penambahan Hutan terdapat Kelas

“Tahun 2007_2008”, warna (COLOR 103

130 255) mengacu pada Tabel 4-3.

4.3 Informasi Tutupan Hutan dan

Perubahannya Dalam Portal SPBN

Bagian ini menjelaskan proses

pengoperasian penyajian dan visualisasi

spasial dinamis informasi tutupan

hutan dan perubahannya dalam SPBN.

Sistem operasional mampu memberikan

kemudahan akses secara on line dan

berkelanjutan dalam upaya memenuhi

kebutuhan para pengguna di berbagai

sektor pembangunan.

Berikut ini langkah-langkah

pengoperasian sistem ditunjukkan melalui

operasi fungsi-fungsi sistem pemetaan

web atau fungsi-fungsi operasi peta

dengan akses ke internet melalui web

browser.

4.3.1 Halaman utama

Sistem dapat diakses secara on

line melalui situs web resmi Pusfatja -

LAPAN yaitu http://pusfatja.lapan.go.id.

Dalam halaman utama tersebut

terdapat pilihan menu utama untuk

mengakses muatan informasi situs web

lebih lanjut.

Pengguna dapat menggunakan

menu SISDAL – Kehutanan - Informasi

Tutupan Hutan dan Perubahannya

untuk menjalankan sistem penyajian

dan visualisasi spasial. Tampilan

halaman utama sistem penyajian dan

visualisasi spasial dinamis informasi

tutupan hutan dan perubahannya

ditunjukkan seperti pada Gambar 4-5.

Gambar 4-4: Konfigurasi Layer Penyusutan Hutan Tahun 2007 – 2008

Page 68: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)

111

Gambar 4-5: Halaman Utama Sistem Penyajian dan Visualisasi Spasial Dinamis Informasi Tutupan

Hutan dan Perubahannya (LAPAN – pusfatja.lapan.go.id)

Halaman utama merupakan

antarmuka (interface) pengguna sistem

penyajian dan visualisasi spasial

dinamis, terdiri atas lima bagian, yaitu:

Header Frame, di bagian paling atas,

berisi informasi tentang logo dan judul

yaitu logo ”LAPAN” dan “Tutupan

Hutan dan Perubahannya di

Indonesia”,

Toolsbar, di bagian atas tengah, berisi

informasi tentang tools perintah untuk

melaksanakan operasi fungsi-fungsi

penyajian dan visualisasi spasial

dinamis,

Window Data Frame, di bagian kanan,

menunjukkan penyajian dan

visualisasi spasial dinamis informasi

tutupan hutan dan perubahannya,

Window Table of Contents (TOC) atau

Layer Manajer, di bagian kiri atas,

berisi informasi tentang layer tutupan

hutan dan perubahannya periode

tahun 2001-2009,

Windows Map Reference, di bagian kiri

bawah, berisi informasi tentang Insert

Map.

4.3.2 Pengelolaan penyajian informasi

Informasi tutupan hutan dan

perubahannya tercermin pada peta

tematik dijital berupa layers. Layer

Manajer digunakan untuk mengaktifkan

(check) atau menonaktifkan (uncheck).

Pengaturan transparansi layer melalui

Transparancy Control Slider dengan

menggeser ke arah kiri menuju 100 atau

kanan menuju 0. Gambar 4-6

menunjukkan hasil operasi meng-

aktifkan semua layer dari Group layers

Tutupan Hutan dan Perubahan Hutan

periode tahun 2001– 2009.

Page 69: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114

112

Gambar 4-6: Penyajian Semua Informasi Tutupan dan Perubahan Hutan Periode Tahun 2001 – 2009

(LAPAN – pusfatja.lapan.go.id)

Gambar 4-7: Toolsbar sistem Penyajian dan Visualisasi Spasial Dinamis Informasi Tutupan Hutan

dan Perubahannya

4.3.3 Pengelolaan visualisasi spasial

dinamis

Operasi visualisasi spasial

dinamis informasi ini menggunakan

antarmuka pengguna, berupa tombol

pilihan atau navigasi pada Toolbar.

Antarmuka tersebut memungkinkan

pengguna dapat secara mudah

berinteraksi menjalankan operasi

fungsi-fungsi sistem pemetaan web atau

penyajian dan visualisasi spasial

dinamis informasi tutupan hutan dan

perubahannya.

Tampilan antarmuka Toolbar

penyajian dan visualisasi spasial

dinamis seperti ditunjukkan pada

Gambar 4-7, terdiri atas:

Tombol (Home), membuka seluruh

wilayah cakupan tampilan peta pada

layar,

Tombol (Back), kembali kepada

tampilan peta satu langkah

sebelumnya,

Tombol (Forward), kembali kepada

tampilan peta satu langkah setelahnya,

Tombol (Zoom In), memperbesar

pada suatu lokasi yang diinginkan

pada peta,

Tombol (Zoom Out), memperkecil

pada suatu lokasi yang diinginkan

pada peta,

Tombol (Pan), menggeser tampilan

kearah yang diinginkan.

Untuk memperbesar atau

memperkecil tampilan informasi

digunakan tombol Zoom-in atau Zoom-

out atau dapat menggunakan ”Zoom

Control Slider” yang terletak di bagian

kiri tengah halaman utama, dengan

menggeser Control Slider ke atas atau ke

bawah. Gambar 4-8 dan Gambar 4-9

menunjukkan proses dan hasil operasi

memperbesar tampilan informasi

menggunakan tombol Zoom In.

Page 70: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)

113

Gambar 4-8: Proses Zoom-in bagian Informasi Tutupan Hutan dan Perubahannya

Gambar 4-9: Hasil Proses Zoom-in Informasi Tutupan Hutan dan Perubahannya [LAPAN –

pusfatja.lapan.go.id]

5 PENUTUP

Pengintegrasian dan penyajian

spasial dinamis informasi tutupan

hutan dan perubahannya di Indonesia

hasil kegiatan penginderaan jauh INCAS

dalam SPBN telah berhasil dilaksanakan.

Sistem penyajian dan visualisasi spasial

dinamis mempunyai antarmuka

pengguna, berupa tombol pilihan atau

navigasi pada toolbar untuk menjalankan

operasi fungsi-fungsi sistem pemetaan

web atau penyajian dan visualisasi

spasial dinamis. Antarmuka tersebut

memungkinkan pengguna dapat secara

mudah melakukan pengelolaan penyajian

dan visualisasi spasial dinamis informasi

tutupan hutan dan perubahannya.

Sistem operasional memberikan

kemudahan akses secara online dan

dapat diakses melalui situs web Pusfatja

LAPAN http://pusfatja.lapan.go.id.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih sebesar-besarnya

disampaikan kepada: Bpk Winanto atas

dukungan administrasi; Mba Esti dan

Page 71: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114

114

Mas Chul atas dukungan teknis dan

kerja sama team; dan para kolega

lainnya atas kebersamaan dalam

pelaksanaan kegitan ini.

DAFTAR RUJUKAN

Brian, N.H., Open Source Software, Web

Services, and Internet-Based

Geographic Information System

Development, School of Information

Science, Claremont Graduate

University, 130 East Ninth Street,

Claremont, CA 91711, http://

www.cartogis.org/docs/proceedin

gs/2005/hilton.pdf., (Agustus

2013).

Geoserver, Geoserver Documentation,

http:// docs.geoserver.org/,

(Agustus 2013).

Hazzard, E., 2011. Openlayers 2.10

Beginner’s Guide, UK., Packt

Publishing.

Kropla, B., 2005. Beginning Mapserver :

Open Source GIS Development,

USA., Appres.

LAPAN, Program Penginderaan Jauh

INCAS: Metodologi dan Hasil,

Versi 1., LAPAN-IAFCP., Jakarta,

2014.

LAPAN-pusfatja.lapan.go.id., [SISDAL].,

http://pusfatja.lapan.go.id.,

(November 2014).

Map Server., [MapServer Documentation].,

http://www.mapserver.org/MapS

erver.pdf., (Agustus 2013).

Obe, Regina O., et. al.,. 2011. PostGIS

in Action, USA., Manning.

PMapper., [User Manual v. 4.x.].,http://

svn.pmapper.net/trac/wiki/DocM

anual/., (Agustus 2013).

Post GIS, PostGIS 1.5 Manual. http:

//postgis.net/docs/manual-1.5/,

(Agustus 2013).

Ticheler, J., [SDI-Architecture]., http://

geonetwork-opensource.org/

download/SDI-Architecture.ppt,

2007.

Tyler M., 2005. Web Mapping

Illustrated., USA., O’Reilly Media.

Yewondwossen, A., Daniel, M., 2004.

PHP Mapscript., DM Solutions

Group Inc., http:// dl.maptools.

org/ dl/ omsug/ osgis2004/,

(Agustus 2007).

Page 72: MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

PEDOMAN BAGI PENULIS

BERITA DIRGANTARA

Berita Dirgantara adalah majalah ilmiah semi populer bersifat nasional untuk pemasyarakatan hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains, teknologi, dan pemanfaatan dirgantara serta kebijakan kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sifat semi populer berarti istilah teknis dijelaskan secara lebih populer dan tidak menggunakan rumus-rumus, kecuali rumus sederhana yang mudah dipahami awam. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi karya tulis ilmiah sangat diharapkan.

Berita Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat tiga eksemplar dari nomor yang diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan dua eksemplar untuk masing-masing penulis. Ketentuan bagi penulis pada Berita Dirgantara ini adalah sebagai berikut.

a. Pengiriman naskah

Naskah dikirim melalui e-mail ([email protected]) atau file digital, dan ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Berita Dirgantara dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Jakarta Timur 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan Bookman Old Styles font 11 pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16 pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, file dikirim melalui e-mail ke Sekretariat Dewan Penyunting ([email protected]; [email protected]).

b. Sistematika penulisan

Naskah terdiri dari halaman judul dan isi karya tulis ilmiah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman isi karya tulis ilmiah terdiri dari (a) judul, (b) ringkasan dalam bahasa Indonesia tidak lebih dari 200 kata dan tersusun dalam satu alinea, (c) batang tubuh naskah yang terdiri dari 1. Pendahuluan, 2. Bab-bab bahasan, 3. Penutup, dan (d) daftar rujukan.

c. Gambar dan Tabel

Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang bersangkutan.

d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik

Persamaan sederhana diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaan Bahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.

e. Rujukan PP No. 74, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang: Pengelolaan

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Haryani, N. S., Hidayat, Sulma, S., dan Pasaribu, J. M., 2014. Deteksi Limbah Acid Sludge Menggunakan

Metode Red Edge Berbasis Data Penginderaan Jauh, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan data Citra Digital, Vol 11 No.2 Desember 2014.

Center for International Forestry Research [CIFOR], 2012. Forests and Climate Change Mitigation : What Policymakers Should Know, Fact Sheet. No. 5, November 2012, MITIGATION, Key of Research Findings. CGIAR Research Programme.

The National Geophysical Data Center (NOAA)-NASA. Sumber data VNF, 2014. Sumber: http:// ngdc. noaa. gov/ eog/ viirs/download_2014_indonesia.html) atau (Sumber LAPAN: http://modis-catalog.lapan. go.id/ monitoring/ katalognpp#).

http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/data_prod/prog_sect11_3.html