Majalah Artefak Edisi 30

56
artefak MEDIA KOMUNIKASI ARKEOLOGI Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi Edisi 30 | Volume 1 | November 2014 | ISSN 0215-6342 Moko : Produk Lokal untuk Pemenuhan Kebutuhan 10 Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid 12 Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik Indonesia 15 Berita Penelitian Bharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi Guide Wisata di Candi Borobudur 36 Mereproduksi Nilai Candi 20 Dampak Keberadaam Kawasan Karst Maros- Pangkep Terkait Masyarakat Ssekitar 23 Wisata Educotourism: Upaya Pelestarian Situs Gunung Padang, Jawa Barat 28 Sosok Penggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni,M.A. 38 Dialog Ilmiah

description

Tema: Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi. diterbitkan oleh: Himpunan Mahasiswa Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM. ISSN 0215-6342

Transcript of Majalah Artefak Edisi 30

Page 1: Majalah Artefak Edisi 30

1 Media Komunikasi Arkeologi

artefakMEDIA KOMUNIKASI ARKEOLOGI

Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi

Edisi 30 | Volume 1 | November 2014 | ISSN 0215-6342

Moko : Produk Lokal untukPemenuhan Kebutuhan

10Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid

12Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik

Indonesia15

Berita PenelitianBharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi

Guide Wisata di Candi Borobudur36

Mereproduksi Nilai Candi20Dampak Keberadaam Kawasan Karst Maros-Pangkep Terkait Masyarakat Ssekitar23Wisata Educotourism: Upaya Pelestarian Situs Gunung Padang, Jawa Barat28

SosokPenggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni,M.A.38

Dialog Ilmiah

Page 2: Majalah Artefak Edisi 30

2Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Pelindung: Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM | Penasihat Ilmiah: Fahmi Prihantoro, S.S., S.H., M.A. | Penanggung Jawab: Ketua Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya UGM | Pemimpin Umum: Umar Hanif Al Faruqy | Pemimpin Redaksi: Safitri Setyowati | Staf Redaksi: Asror Fikri Hagaspa, Elfani Warasti Dewi, Eugenius Olafianto, Fatikhatus Sholikhah, Fatma Yunita, Hera Indry, Hisar Agustinus Sinambela, Umar Hanif Al Faruqy | Editor: Fatma Yunita | Kepala Produksi dan Artistik: Siswanto | Staf Produksi dan Artistik: Ahmad Noor Aji Kesuma, Arief Muunandar, Christommy Martotama Sasabana,

Mathilda Chandra R | Kepala Distribusi dan Promosi: Sugiarto Hadinata

Majalah Artefak diterbitkan oleh: Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada | Alamat Redaksi: Sekretariat Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia | Email: [email protected]

Edisi 30 | Volume 1 | November 2014 | ISSN 0215-6342

Moko : Produk Lokal untukPemenuhan Kebutuhan

10Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid

12Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik

Indonesia15

LepasCatatan Nusantara

17

Berita PenelitianBharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi

Guide Wisata di Candi Borobudur

36

PuisiCandi Sambisari

49

Resensi BukuArkeologi untuk Publik

50

Mereproduksi Nilai Candi20Dampak Keberadaam Kawasan Karst Maros-Pangkep Terkait Masyarakat Ssekitar23Wisata Educotourism: Upaya Pelestarian Situs Gunung Padang, Jawa Barat28

SosokPenggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni,M.A.38

Dari LapanganEkskavasi di Halaman Candi Mendut, Magelang46Ekskavasi Situs Tegalweru47

Guntingan RinganAbu Vulkanik di Candi Garuda Dibersihkan52Situs Gunung Padang Terbesar di Asia Tenggara52Logam Temuan Bukan Emas53Artefak Abad 7 Ditemukan di Tuntang54

Dialog Ilmiah

DAFTAR ISI

Page 3: Majalah Artefak Edisi 30

3 Media Komunikasi Arkeologi

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Majalah Artefak ini dapat diterbitkan.

Saat ini artefak hadir kembali dengan sajian tema yang lebih luas. Pada edisi kali ini artefak mengambil tema Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi. Pantauan terhadap Indonesia dilakukan khususnya dengan pendekatan arkeologi sebagai ilmu yang membahas benda atau budaya materi pada masa lampau dan hubungannya dengan manusia pendukungnya sehingga dapat membahas Indonesia baik berawal dari masa lampau atau pun dari masa kini ditarik atau dicari ‘tali ikat’ di masa lampau. Tema yang diambil tersebut terasa lebih luas karena terkait dengan munculnya kembali artefak setelah beberapa periode tidak terbit. Kami berharap majalah ini dapat bermanfaat dan menampah pengetahuan dengan bahasan yang sesuai untuk semua kalangan, baik mahasiswa maupun kalangan umum.

Kemudian untuk rekan-rekan arkeologi, kami sangat mengharapkan kehadiran dan partisipasinya untuk ikut berkiprah menjaga kelangsungan hidup artefak dan sekaligus menuangkan kreatifitas serta ide-ide baru. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang memberikan dukungan dan bantuan demi terbitnya artefak. Selanjutnya tak ada gading yang tak retak, kami menyadari masih banyak beberapa sisi yang kurang sesuai sehingga kami mengharapkan berbagai kritik, masukan dan saran yang membangun agar artefak periode selanjutnya dapat terbit dengan lebih baik lagi.

Salam Redaksi

DARI KAMI

Ilustrasi: Muunandar/ARTEFAK

Page 4: Majalah Artefak Edisi 30

4Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Memantau negeri pertiwi bernama Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan berbagai macam peralatan. Salah satunya, adalah dengan menggunakan teropong bernama Arkeologi. Dengan menggunakan Arkeologi, Indonesia dapat dipantau perbandingannya, perkembangannya, dan perubahannya dari dulu hingga sekarang. Melalui tinggalan-tinggalan budaya seperti moko, masjid, dan prasasti, sebagian sisi dari Indonesia dapat dibandingkan antara wajah dulunya dan wajahnya hari ini.

Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi

Page 5: Majalah Artefak Edisi 30

5 Media Komunikasi Arkeologi

Memantau negeri pertiwi bernama Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan berbagai macam peralatan. Salah satunya, adalah dengan menggunakan teropong bernama Arkeologi. Dengan menggunakan Arkeologi, Indonesia dapat dipantau perbandingannya, perkembangannya, dan perubahannya dari dulu hingga sekarang. Melalui tinggalan-tinggalan budaya seperti moko, masjid, dan prasasti, sebagian sisi dari Indonesia dapat dibandingkan antara wajah dulunya dan wajahnya hari ini.

Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi

Foto : Arief/ARTEFAK

Page 6: Majalah Artefak Edisi 30

6Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

arkeologi.

Arkeologi sebagai teropong untuk melihat sesuatu yang sulit dijangkau, sulit terbayangkan, dan bahkan belum pernah terfikirkan sebelumnya. Pantauan arkeologi terhadap Indonesia mengenai masa lampau, bahkan ratusan tahun yang lalu kemudian dikaitkan

FOKUS

Arkeologi Sebagai Teropong Oleh : Safitri Setyowati

satu kali pandangan, membutuhkan berulang kali pandangan secara berkelanjutan untuk benar-benar memahami Indonesia yang pulaunya berjumlah ribuan. Menilik Indonesia dari masa lampau merupakan salah satu hal yang menarik untuk diambil pelajaran lebih lanjut dengan teropong

Foto : Aji/ARTEFAK

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan masing-masing pulau yang terhubung perairan. Setiap

pulau memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing sehingga menarik untuk diketahui lebih lanjut. Memantau Indonesia dari setiap pulau tidak hanya menggunakan

Page 7: Majalah Artefak Edisi 30

7 Media Komunikasi Arkeologi

terhadap kejadian yang ada sekarang ini. Masa lampau Indonesia yang secara umum bermula dari masa prasejarah mempunyai hal-hal yang menarik untuk dikenali dan dipelajari lebih lanjut untuk menjadi bahan ajar kehidupan di masa ini agar kehidupan saat ini menjadi lebih baik dan tidak mengulang berbagai kesalahan di masa lampau. Berbagai kejadian menarik masa lampau tersebut dapat ditarik kesinambungan dengan kehidupan saat ini, dapat pula sebagai perbandingan, serta lebih baik dapat diambil solusi dan manfaat dari kejadian masa lampau untuk kehidupan masa kini.

Di dalam menempuh kehidupan terkadang ada beberapa peristiwa sejenis yang terjadi berulang, ada yang dalam kondisi sama ada pula dalam kondisi yang lebih baik; selalu ada perbaikan disetiap kekurangannya atau bahkan sebaliknya. Kejadian yang terjadi di Indonesia pun juga demikian, peristiwa yang terjadi di masa lampau ada yang terulang lagi di masa kini dengan berbagai persamaan dan banyak perbedaannya karena waktu dan pertumbuhan itu selalu berjalan seiring. Kejadian politik di Indonesia misalnya di masa lampau dengan sistem politik di dalam kerajaan sedangkan sekarang sistem politik demokrasi namun ada kesamaan salah satunya ialah masih adanya perbuatan

korupsi yang melekat pada sistem pemerintahan yang sulit untuk dibersihkan.

Kemudian selain mengenai persamaan dan perbedaannya, kehidupan yang ada di masa sekarang ini juga hadir karena adanya masa lampau. Adanya kesinambungan hidup baik dari segi budaya, teknologi dan segi kehidupan lainnya. Hal itu berlaku terhadap bangunan peribadatan pada masa klasik (Hindu Budha) yang berbentuk meru meniru bentuk gunung. Arsitektur bangunan tersebut mengalami keberlanjutan ciri arsitektur pada masa Islam yang juga pada bangunan peribadatannya. Masjid pada masa-masa awal Islam di Indonesia dijumpai arsitektur masjid dengan bentuk arsitektur atap tumpang yang merupakan kesinambungan budaya dengan masa sebelumnya. Kesinambungan berupa materi budaya juga terjadi terhadap salah satu benda, yaitu moko sebagai benda yang dulu digunakan pada masa lampau saat masa berkembangnya logam dan tetap dipergunakan dibeberapa tempat di Bali dan wilayah Indonesia timur sekarang. Kesinambungan budaya yang berlangsung itu akan lebih bernilai jika di setiap perjalanannya diambil pelajaran yang terjadi.

Berbagai perjalanan hidup terutama yang sudah terjadi di masa lampau dapat diambil pelajaran untuk menentukan

langkah kehidupan di masa yang akan datang sehingga menjadi solusi untuk permasalahan yang terjadi saat ini agar kesalahan yang terjadi di masa lampau tidak terulang lagi dan dapat tertangani dengan lebih baik. Permasalahan salah satunya dalam mengahadapi berbagai bencana alam, dapat melihat kejadian masa lalu yang dapat menangani bencana dengan baik, misalnya terkait arsitektur bangunan masa lampau yang disesuaikan dengan daerah yang rawan mengalami gempa sehingga dengan berbagai inovasi dapat disesuaikan dengan apa yang terjadi saat ini.Akhirnya, ‘Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi’ mempunyai sudut ketertarikan tersendiri dengan memantau negara kita yang mempunyai ciri dan kekhasan yang melekat kemudian diteropong dengan ilmu arkeologi, ilmu yang dapat menceritakan bagaimana masa lalu, rekonstruksi budaya, dan perubahan budaya dari budaya material yang ada. Mengingat hal tersebut, maka tulisan yang tersaji dalam setiap lembaran ini dapat menjadi acuan untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan masa lampau terkait masa kini di Indonesia, kesinambungannya dan solusi bagi permasalahan yang ada sehingga teropong arkeologi dapat melihat segala sesuatunya menjadi semakin bermakna.

FOKUS

Page 8: Majalah Artefak Edisi 30

8Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

merupakan “thermometer” yang

dipengaruhi lingkungan sekitarnya,

melainkan mahasiwa merupakan

“thermostat” yang bisa mengubah

lingkungan sekitarnya. Jika

mahasiswa tidak bisa menjadi

tolak ukur, maka suatu negara

akan menuju kehancuran sebab

tidak ada yang menjadi kontrol

dalam sistem tersebut. Selain

itu mahasiswa juga merupakan

penjaga nilai-nilai, dimana

bertugas dalam menjaga nilai-

nilai dan norma-norma yang ada

di masyarakat. Mahasiswa harus

menjadi penjaga nilai-nilai luhur

bangsa sehingga nilai-nilai tersebut

tidak terkikis seiiring kemajuan

zaman, tetapi tetap dipertahankan

dan diwariskan secara turun

menurun.

Sungguh mahasiswa memiliki

peranan yang begitu berat, satu

dari segi akademis dan satu lagi

dari sisi non akademis. Dua hal

ini harus berjalan seimbang,

sebab jika hanya memikirkan

dari non akademis, maka apa

Masyarakat Sipil TerpelajarOleh : Asror Fikri Hagaspa

harus diimplementasikan. Tanpa

pengimplementasian, potensi-

potensi tersebut menjadi sia-sia,

seperti seorang anak elang yang

mempunyai potensi untuk terbang

tinggi, tetapi ia hanya mau di

tanah saja dan tidak mau terbang.

Mahasiswa sebagai masyarakat

sipil terpelajar seharusnya

bisa menjadi model, yaitu tipe

masyarakat yang selalu dinamis

dan tidak berpaku pada asumsi-

asumsi yang seringkali salah.

Model berarti juga dilihat orang,

berarti model harus mempunyai

suatu keunikan khusus sehingga

dilihat orang, dalam hal ini,

mahasiswa mempunyai keunikan

yaitu dari segi idealis dan kritis,

sehingga masyarakat seharusnya

tidak hanya pasrah terhadap

kebijakan pemerintah tetapi harus

kritis dan juga tanggap. Selain

itu, mahasiswa juga disebut juga

agen perubahan. Oleh karena itu

mahasiswa dengan sifat kritis dan

idealisnya, harus bisa mengubah

suatu sistem yang dianggap

tidak ideal. Mahasiswa bukan

Seperti yang kita ketahui

bahwa mahasiswa itu

juga merupakan bagian

masyarakat sipil terpelajar

yaitu masyarakat sipil yang

mendapatkan pendidikan khusus

yang kemudian diaplikasikan ke

masyarakat umum. Mahasiswa

bisa masuk ke dunia budaya

politik, ekonomi, dan sebagainya.

Inilah keistimewaan mahasiswa.

Mahasiswa bersifat fleksibel artinya

bebas untuk memilih.

Potensi-potensi yang dimiliki

mahasiswa pun sangat beragam.

Potensi independen, kritis,

komunikatif, idealis, semangat

dan enerjik, mempunyai bidang

keilmuan, multidisiplin ilmu,

dan keberagaman wawasan

dst. Potensi-potensi inilah yang

membuat mahasiswa menjadi

salah satu elemen yang penting

dan istimewa untuk mengemban

tugas dan menjadi tolak ukur

kemajuan suatu bangsa.

Potensi-potensi yang dimiliki

mahasiswa tersebut tentunya

Mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang sangat penting peranannya. Mahasiswa menurut Wikipedia merupakan panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan di sebuah perguruan tinggi, tetapi peranan-

nya bukan hanya menuntu ilmu, melainkan menjadi sebuah elemen yang mampu mengubah apa yang salah menjadi benar. Mahasiswa bukan sekedar mengenyam pendidikan tetapi harus menjadi suatu tolak ukur dalam hal kebenaran demi ke-

majuan bangsa.

OPINI

Page 9: Majalah Artefak Edisi 30

9 Media Komunikasi Arkeologi

gunanya disebut mahasiswa

yang masih ada kata “siswa” nya

yang seharusnya menjadi pelajar

di suatu institusi. Jika hanya

memikirkan akademis, maka

suatu negara akan mengalami

kemunduran sebab tidak ada

kontrol sosialnya.

Ada beberapa faktor yang

membedakan mahasiswa zaman

dulu dan zaman sekarang,

Faktor yang pertama

yaitu perbedaan musuh yang

dihadang. Musuh yang dihadapi

mahasiswa pada zaman dahulu

dan zaman sekarang berbeda.

Pada zaman dahulu, musuh

yang dihadapi sangat jelas. Pada

zaman kemerdekaan, musuh

yang dihadapi adalah penjajah

dan penindas. Sedangkan pada

zaman orde baru dimana presiden

memimpin layaknya seorang raja

dengan gaya kepemimpinan turun

temurun, padahal negara Indonesia

adalah negara yang menganut

sistem presidensial. Namun, jika

dibandingkan dengan keadaan

sekarang, musuh yang dihadapi

sekarang , musuh yang tidak

kelihatan adalah kebodohan yang

merajalela di Indonesia, kelaparan,

kemiskinan, korupsi setiap hari

oleh aparat yang hanya mencari

keuntungan sendiri, birokrasi

yang dibuat susah dan harus ada

uang dan uang, cari muka agar

mendapatkan keuntungan, dan

sebagainya.

Faktor yang kedua yaitu

menghilangkan anggapan

mahasiswa ber-IPK rendah.

Memang pada zaman dahulu,

cenderung mahasiswa yang

menjadi aktivis memiliki IPK

yang rendah. Apalagi dahulu,

seorang insiyur harus melewati

dua fase sarjana, yaitu sarjana

muda dan sarjana penuh. Ini

membuat banyak mahasiswa yang

lulusnya lama dan harus bersusah

payah. Oleh karena masalah ini,

mahasiswa pada zaman sekarang

cenderung untuk mengurangi

kegiatan-kegiatan berorganisasi

entah itu berbau politik, sosial,

dan sebagainya. Karena jika

mereka harus ikut hal tersebut,

mereka harus siap terima resiko

mendapat indeks prestasi yang

rendah. Memang pada zaman

sekarang juga, seorang aktivis

mahasiswa tidak hanya pandai

berorasi tetapi juga pandai secara

akademis sebab bagaimana

orasinya itu dapat didengarkan

orang sementara di kampusnya

sendiri pun ia gagal dan tidak bisa

menjadi contoh dalam akademis.

Faktor yang terakhir yaitu

karena tuntutan pekerjaan yang

semakin tinggi. Pada zaman

yang serba canggih ini, tuntutan

sumber daya manusia yang

berkualitas semakin tinggi. Ini

dapat dilihat dari penerimaan

karyawan baru di perusahaan yang

bergitu ketat dengan berbagai

tes baik tertulis maupun lisan.

Persaingan kerja punsangat ketat

dan para sarjana berusaha keras

untuk masuk perusahaan yang

diinginkannya dengan “menyikut”

sana dan sini. Tantangan kerja

pada saat ini memang sulit karena

memang pertumbuhan lapangan

pekerjaan tidak sebanding dengan

pertumbuhan lulusan-lulusan

sarjana, sehingga banyak sarjana

yang menganggur. Seperti yang

disebutkan pada faktor nomor

dua, bahwa mahasiswa sekarang

cenderung untuk berfokus pada

indeks prestasi, karena tuntutan

pekerjaan yang semakin berat dan

juga persaingan yang ketat.

Kesimpulan yang dapat

diambil yaitu meskipun tantangan

zaman berbeda, kita sebagai

mahasiswa seharusnya masih bisa

menumbuhkan sikap kepedulian

terhadap masyarakat sekitar

dengan tidak mengorbankan

akademik. Kepedulian terhadap

masyarakat dan akademik harus

berjalan seimbang sehingga

menciptakan suatu harmonisasi

hidup dimana seorang mahasiswa

menjadi seorang warga masyarakat

sipil terpelajar yang berguna bagi

nusa dan bangsa.

potensi-potensi tersebut menjadi sia-sia, seperti seorang anak elang yang mempunyai potensi untuk terbang tinggi, tetapi ia hanya mau di tanah saja dan tidak mau terbang.

“ “

OPINI

Page 10: Majalah Artefak Edisi 30

10Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Produk lokal sebagai

hasil buatan masyarakat

suatu daerah tertentu;

hasil buatan khususnya

berupa budaya materi yang

merupakan ciri khas dan tidak

ditemukan di daerah lain. Produk

itu dihasilkan umumnya untuk

memenuhi kebutuhan sesuai apa

yang perlu dengan tujuan tertentu.

Salah satu produk lokal yang ada

di Indonesia ialah moko sebagai

produk lokal untuk pemenuhan

kebutuhan. Mengenai hal tersebut

untuk mengetahui bagaimana

secara garis besarnya maka artefak

mewawancarai Dr. Anggraeni, MA

di Kantor Jurusan Arkeologi FIB

UGM untuk mengetahui hal itu

lebih lanjut.

Mengawali pembicaraan, beliau

yang sering disapa Bu Anggra

menjelaskan bahwa moko itu

produk lokal yang merupakan

adaptasi nekara. Beberapa hal

perbedaan antara moko dan nekara

ialah mengenai ukuran, proporsi

timpanium (bidang pukul dan

tubuh); moko berukuran langsing

sedangkan nekara berukuran

pendek dan gemuk. Moko sebagai

produk lokal diindikasikan dengan

adanya alat cetak yang ditemukan

di Bali dan Pantura. Kemudian

mengenai produksinya moko yang

terdapat di Gresik masih dijumpai

sampai awal abad ke duapuluh

sedangkan yang menjadi konsumen

produk moko berada di daerah

Indonesia Timur, salah satunya

ialah Flores. Gresik memproduksi

moko karena sangat dibutuhkan

di Indonesia Timur yang di

tempat tersebut moko dinilai

Moko : Produk Lokal untukPemenuhan Kebutuhan

merupakan barang berharga dan

berguna (prestisius). Produsen

dan konsumen tersebut dapat

diketahui dari etnografi yang ada

di Indonesia karena moko dipakai

dalam beberapa hal misalnya

terdapatnya moko di pura, ada di

situs sejarah, ada pula di wadah

kubur di Jawa Timur dan Bali.

Mengenai moko yang ada

di Bali, diduga moko tersebut

merupakan produk yang diproduksi

oleh masyarakatnya sendiri.

Hal tersebut didasarkan pada

temuan berupa cetakan batu

sebagai cetakan untuk membuat

alat-alat logam termasuk moko.

Cetakan tersebut ditemukan di

Daerah Manuaba, Kecamatan

Tegalallang, Kabupaten Gianyar

sehingga disinyalir sebagai situs

perbengkelan alat-alat logam di

Moko yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia tersebut dapat di-katakan sebagai suatu produk lokal yang merupakan inovasi kreativitas

masyarakat masa lalu untuk membuat suatu benda yang dapat digunakan atau difungsikan sesuai dengan kebutuhan di beberapa daerah tertentu se-lain untuk memenuhi kebutuhan juga merupakan suatu khas produk yang

tidak ditemui di tempat lain

Oleh : Safitri Setyowati

DIALOG

Page 11: Majalah Artefak Edisi 30

11 Media Komunikasi Arkeologi

Bali. Selain adanya cetakan batu,

ada pula pola hias Kedok Muka

sebagai pola hias khas di Bali yang

semakin memperkuat bahwa itu

memang produk khas di Bali dan

tidak didatangkan dari wilayah lain

yang berfungsi sebagai benda yang

disakralkan dan wadah kubur.

Moko yang terdapat di beberapa

daerah di Indonesia tersebut dapat

dikatakan sebagai suatu produk

lokal yang merupakan inovasi

kreativitas masyarakat masa lalu

untuk membuat suatu benda yang

dapat digunakan atau difungsikan

sesuai dengan kebutuhan. Selain

untuk memenuhi kebutuhan, moko

juga merupakan suatu khas produk

yang tidak ditemui di tempat lain.

Hal tersebut dapat dijadikan suatu

refleksi atau pemahaman untuk

masyarakat Indonesia masa kini

yang mempunyai orientasi ekonomi

lebih senang menjadi konsumen

terutama produk impor dengan

anggapan ketika sudah membeli

lebih mudah kenapa harus berat-

berat membuat. Padahal moko

tersebut merupakan produk lokal

dan dalam bahasan masyarakat

masa kini merupakan produk

dalam negeri yang dipergunakan

untuk kepentingan di dalam

negeri sendiri. Kemudian alangkah

lebih baiknya jika negara ini

memanfaatkan kekuatan kekayaan

alam, seni, dan budayanya dengan

berusaha mengembangkan produk

lokal berkualitas baik untuk

memenuhi kebutuhan bangsa

sehingga dapat mandiri, maju dan

tidak tergantung dengan negara

lain.

DIALOG

Foto : Aji/ARTEFAK

Page 12: Majalah Artefak Edisi 30

12Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Masjid Agung Jawa

Tengah Semarang,

Masjid Dian Al-Mahri

Depok, dan Masjid

Al Akbar Surabaya. Ketiga masjid

ini menunjukkan perkembangan

arsitektur masjid di Indonesia

saat ini.Ketiga masjid tersebut

memiliki kubah yang besar, menara

yang tinggi, halaman yang luas,

ornamentasi yang mewah, dan

ruang utama yang megah. Bagi

sebagian masyarakat, masjid

semegah itu bagus untuk dijadikan

objek wisata religi. Masyarakat dari

manapun akan tertarik dan bebas

untuk berwisata ke sana; berfoto,

beribadah, menggelar pertemuan,

dan menyelenggarakan acara

pernikahan. Fungsi sejati masjid

seolah berbelok dari fungsi religi

menuju fungsi sosial, mengikuti

pembelokan arsitektur masjid kuno

menjadi modern.

Ada banyak sekali masjid-

masjid kuno di Indonesia;mulaidari

Masjid jami Indrapuri Aceh, Masjid

Gang Bengkok Medan, Masjid

Nagari Lubuk Bauk Padang, Masjid

Agung Banten, Masjid Agung

Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid

Arsitektur masjid kuno dan modern di Indonesia seolah tidak menunjukkan kes-inambungan sama sekali. Gagasan-gagasan Nangkula Utaberta yang tertulis dalam

buku Arsitektur Islam terbitan Universitas Gadjah Mada menjadi bekal utama untuk dibenturkan dalam dialog bersama Sektiadi, salah seorang dosen Jurusan

Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Alih-alih berbenturan, hasil dialog justru ber-buah penguatan terhadap argumen dan interpretasi yang ditulis oleh Nangkula

Utaberta, seorang Arsitek Malaysia-Indonesia.

Oleh : Umar Hanif Al Faruqy

DIALOG

Foto : Umar/ARTEFAK

Page 13: Majalah Artefak Edisi 30

13 Media Komunikasi Arkeologi

Demak, Masjid Gedhe Kauman

Yogyakarta, Masjid Sunan Ampel

Surabaya, Masjid kuno NTB,

Masjid Air Mata NTT, Masjid

Abdurrahman Pontianak, Masjid

Hatangka Gowa, hingga Masjid

Sultan Ternate di Maluku.

Dari segi pola arsitektur,

seluruh masjid tersebut

memberi gambarantentang

sebuah kesamaan besar. Hal ini

disebabkan oleh adanya “cetak biru

budaya” yang berarti,masyarakat

Indonesia pada masa itu telah

memiliki gagasan-gagasan yang

sama dalam membangun Masjid

dan lingkungan mereka. Kesamaan

gagasan tersebut lahir dari kondisi

iklim dan sosial di Indonesia yang

relatif sama di seluruh wilayah.

Sehingga masyarakat pada saat itu

kemudian mendesain masjidnya

untuk memiliki fitur-fitur unik

dengan penerapan teknologi dan

penerapan arsitektur yang sesuai

dengan lingkungan mereka.

Salah satu fitur itu adalah

atap yang berbentuk tajug dan

tumpang. Penggunaan atap

jenis ini menunjukkan bahwa

masyarakat pada masa itu telah

mengembangkan teknologi sirkulasi

udara yang baik. Udara akan

masuk dari lubang-lubang pintu

dan jendela, kemudian dialirkan

dan keluar melalui celah yang

terletak di antara bagian atap

masjid sehingga orang-orang yang

berada di dalam masjid kuno akan

merasa sejuk.

Masjid-masjid kuno juga

memiliki fitur unik lain seperti

pawestren, serambi, dan kolam.

Pawestren merupakan tempat

ibadah wanita. Bentuknya persegi

panjang dan menggunakan desain

arsitektur gandok atau teras rumah

tradisional masyarakat Jawa.

Sedangkan serambi merupakan

bagian yang menempel pada

bangunan masjid, berbentuk

seperti pendopo, dan digunakan

untuk mewadahi berbagai

kebutuhan masyarakat. Danfitur

kolam yang sudah dikenal baik

sejak masa hindu-buddhaberfungsi

sebagai tempat untuk bersuci

bagi para muslim sebelum

melaksanakan ibadah.

Pemberian fungsi dan

penggunaan arsitektur yang telah

dikembangkan menggambarkan

bahwamasyarakat sudah

menggunakan fitur-fitur hasil

pengembangan teknologi

sejak lama. Artinya, keempat

fitur tersebut menunjukkan

kesinambungan budaya yang

berjalan dengan baik. Dalam

berubahnya agama masyarakat

dari Hindu-Buddha menjadi

Islam, jejak-jejak budaya pada

masa sebelumnya terekam dalam

arsitektur masjid tidak terhapus

dan diganti begitu saja. Sebagian

orang menginterpretasi fenomena

itu sebagai upaya pendekatan

Islam terhadap masyarakat yang

masih memegang kepercayaan

Hindu-Buddha.

Pembangunan, penggunaan,

hingga masalah perawatan

masjid-masjid kuno di Indonesia

dikerjakan secara bersama-sama

oleh masyarakat setempat, sebab

saat itu profesi arsitek belum

dikenal. Namun, tentu ada satu-

dua orang yang lebih ahli, yang

bertugas mengorganisasi dalam

tahap pembangunan. Oleh karena

pengerjaan secara bersama-sama,

seluruh masyarakat menjadi

paham dengan baik arsitektur

masjid yang mereka butuhkan.

Mereka paham bagaimana cara

membangun, merawat, dan bahan

apa saja yang dibutuhkan jika

masjid perlu diperbaiki. Bahan-

bahan yang diperlukan dalam

pembangunan dan perawatan

masjid pun berasal dari apa yang

terdapat di lingkungan sekitar.

Dapat disimpulkan, masjid-masjid

kuno di Indonesia didesain dengan

menjadikan masyarakat sebagai

inti pembangunannya.

Sayangnya, yang demikian itu

tidak ditemukan dalam kebanyakan

masjid modern sekarang. Inti dan

fokus tersebut berbelok kepada

sebuah komunitas atau masyarakat

yang ada entah di mana.Gagasan-

gagasan dan teknologi asing

yang semakin bebas masuk

ke dalam masyarakat modern

berhasil mengubah arsitektur

masjid yang telah diwariskan

dan dikembangkan sekian lama.

Masyarakat pun menerima dengan

tidak menghiraukan apakah

gagasan dan teknologi yang

diadopsi dari komunitas asing

tersebut sesuai atau adaptif dengan

kondisi iklimdan sosial masyarakat

di Indonesia.

Sebagai contoh, pola arsitektur

dan ornamentasi masjid modern

cenderung mengikuti pola Turki dan

Timur Tengah. Sehingga tidak ada

lagi celah pada bagian atap masjid

yang dapat mengalirkan udara.

Ornamentasi yang ditampilkan pun

DIALOG

Page 14: Majalah Artefak Edisi 30

14Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

asing dan tidak mencerminkan

budaya masyarakatnya. Dan oleh

sebab kemegahannya, masjid-

masjid modern harus berupaya

mencari dukungan finansial akibat

biaya perawatannya yang mahal.

Maka datanglah aspek-aspek

komersial di dalam lingkungan

masjid. Sehingga mereka harus

membuat fitur-fitur baru seperti

gedung pertemuan, wisata menara,

dan ruang acara pernikahan yang

bisa disewa siapapun dan mampu

mendatangkan uang. Wujud

arsitektur dan fungsinya bisa

dikatakan telah berbelok dari yang

sejatinya.

Pembelokan-pembelokan ini

diwarnai oleh gaya hidup yang

berkembang di Indonesia saat

ini. Masjid-masjid sekarang lebih

menonjolkan aspek-aspek sosial

dibandingaspek-aspek religi dan

budaya. Maka banyak dijumpai

saat ini masyarakat yang berlomba-

lomba membangun masjid padahal

letaknya hanya berseberangan

jalan. Hal ini bertentangan dengan

konsep pembangunan masjid

zaman dulu yang mengatakan

jika dalam suatu wilayah masih

terdengar adzan, maka tidak boleh

membangun masjid lagi di wilayah

tersebut.

Berbagai masalah yang

dihasilkan akibat pembelokan

arsitektural ini tidak berarti tidak

dapat diembalikan ke fungsi masjid

yang sejatinya. Masih ada harapan

yang dapat dibangun selanjutnya.

Sebaiknya, para arsitek mendesain

masjid dengan lebih menonjolkan

aspek religiusitas dari pada aspek-

aspek kemewahan, ornamental,

dan kemegahan yang tidak banyak

diperlukan. Selain itu, masjid-

masjid di Indonesia juga haruslah

menunjukkan sisi wawasan

kearifan lokal masyarakat.

Masyarakat Indonesia

sebenarnya sudah memiliki dan

mengembangkan warisan-warisan

teknologi dalam arsitektur masjid

yang adaptif dengan kondisi

iklim dan sosial masyarakat.

Akan tetapi saat inihal tersebut

telah ditinggalkan. Banyak

masjiddibangun secara tidak

profesional secara teknis, boros

energi, tidak menggambarkan

budaya masyarakat setempat,

dan bahkan tidak menimbulkan

kehikmatan dalam beribadah.

Fungsi masjid yang telah berubah

ini harus dikembalikan lagi kepada

sebagaimana mestinya.

Sektiadi menjelaskan, “Tugas

arkeolog juga mungkin, untuk

menunjukkan keunggulan-

keunggulan masjid yang telah

dimiliki masyarakat Indonesia

sejak lama, dan kemudian

mensyiarkannya pada masyarakat”.

Sehingga, arsitektur masjid-

masjid modern di Indonesia

selanjutnya akan kembali

berkembang untuk memenuhi

fungsinya dan berkembang untuk

mengembangkan kehidupan

masyarakat.

DIALOG

Foto : Umar/ARTEFAK

Page 15: Majalah Artefak Edisi 30

15 Media Komunikasi Arkeologi

Hukum sebagai salah satu

sistem yang terpenting

atas rangkaian

kelembagaan di dalam

pelaksanaannya merupakan hal

yang harus ada hampir dalam

setiap sisi kehidupan agar dapat

tercipta keadilan dan keharmonisan

hidup. Di dalam hukum ada

beberapa hal yang dibahas

misalnya mengenai hukuman,

cara memutuskan perkara, dan

lain-lain. Selain itu hukum

juga mempunyai landasan dan

pengaruh dari luar sehingga ada

hukum tertentu yang terkadang

berbeda antar masa atau antar

daerah. Sistem tersebut sekarang

menjadi hal yang wajar dan harus

ada di dalam suatu negara salah

satunya di Indonesia.

Di wilayah Indonesia, jauh

sebelum masa kini telah ada

sistem hukum antaranya di masa

klasik misalnya di Kerajaan

Mataram Kuno, . Mengenai

hal tersebut untuk mengetahui

bagaimana secara garis besarnya

maka artefak mewawancarai Fahmi

Prihantoro, S.S., S.H., M.A. untuk

mengetahui mengenai hukum di

Indonesia di masa kini dan masa

klasik Indonesia.

Hukum di Indonesia secara

sistem sudah baik, artinya memiliki

aturan hukum yang cukup baik

secara isi (materi) sebagai acuan

dalam memutuskan perkara hukum

namun secara pelaksanaannya

masih lemah. Hal ini disebabkan

oleh aparat penegak hukum

yang juga lemah. Hakim dapat

disuap untuk memihak pada

salah satu pihak tertentu untuk

memenangkan perkara. Kasus

yang terjadi misalnya mengenai

kejadian Hakim MK Akil Mochtar

yang disuap. Adanya kejadian

seperti itu membuat masyarakat

merasa tidak takut dengan

ancaman hukuman karena pada

akhirnya dapat menyuap untuk

menghindari hukum. Kejadian

suap lain misalnya terjadi pada

Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik Indonesia

Ini situasi yang cukup berbahaya karena hukum merupakan alat pengontrol masyarakat. Kalau hukum menjadi remeh maka masyarakat bisa bertindak semau-

nya dan berakibat pada ketidaktertiban masyarakat dalam kehidupan.

Oleh : Safitri Setyowati

“ “

DIALOG

Foto : Aji/ARTEFAK

Page 16: Majalah Artefak Edisi 30

16Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

polisi yang umumnya dapat

disuap dan masyarakat juga

melakukan suap dalam kasus

tilang. Jadi kesimpulannya yang

perlu diperbaiki adalah mental

manusianya; aparat hukum dan

masyarakat. Selain hal itu, perlu

juga menengok sejenak bagaimana

hukum masa klasik.

Hukum jaman dulu pada

Masa Mataram Kuno relatif

memiliki sistem yang baik, baik

secara aturan, hukum, maupun

pelaksanaan hukumnya. Apa yang

disebutkan dalam data tentang

peradilan masa lalu memang

benar. Sehingga hukum dapat

berjalan dengan baik. Misalny pada

kasus Ratu Sima yang menegakkan

hukum tanpa pandang bulu meski

dari keluarga kerajaan tetap di

hukum apabila salah. Jadi jika

dibandingkan dengan masa kini

relatif lebih baik pada masa lalu

(klasik).

Hukum masa kini relatif kurang

bisa menimbulkan efek jera

karena pelaksanaanya yang tidak

konsisten. Masyarakat menganggap

remeh hukum karena hukum bisa

diatur dan di kompromikan. Ini

situasi yang cukup berbahaya

karena hukum merupakan alat

pengontrol masyarakat. Kalau

hukum menjadi remeh maka

masyarakat bisa bertindak

semaunya dan berakibat pada

ketidaktertiban masyarakat dalam

kehidupan. Solusinya adalah

menguatkan mental masyarakat

dan generasi muda untuk tahu dan

paham hakekat hukum. Penegak

hukum harus di ubah supaya

pelaksanaannya menjadi kuat.

Perlu ada yang mampu merubah

sistem penegakan hukum.

Hal tersebut merupakan tugas

pemerintah. Berkaca pada masa

lalu tentang pelaksanaan hukum

dapat menjadi acuan melalui

cerita sejarah yang disosialisasikan

kepada generasi muda.

Selanjutnya, selain mengenai

hukuman juga diketahui tentang

ketentuan pengambilan keputusan

hakim. Pada masa klasik dalam

Jayapatra dikatakan bahwa

sebelum mengambil keputusan,

para hakim mempelajari kitab-kitab

sastra, peraturan daerah, hukum

adat, petuah-petuah orang tua, dan

kitab-kitab hukum sebagaimana

yang selalu diungkapkan hakim

sejak dulu kala. Jika melihat hal

itu, maka sebenarnya melihat

kualifikasi hakim di Indonesia

sudah baik, artinya secara ilmu

mereka memiliki pengetahuan

yang cukup. Secara teori dalam

memutuskan perkara perlu

mempelajari lebih jauh kasus dan

melihat aturan aturannya. Hakim

juga akan menghadirkan saksi

untuk mendukung keputusan akhir.

Hal itu sudah berjalan baik hanya

ketika memutuskan seringkali

sudah berbeda dengan yang

seharusnya karena ada kompromi

antara hakim dengan terdakwa.

Jadi sekali lagi lebih kepada mental

hakim dan terdakwanya.

Hukum dengan berbagai hal

didalamnya tersebut mempunyai

landasan atau pengaruh dari

suatu hal tertentu. Masa klasik

di Indonesia memberlakukan

perundang-undangan dari India

disamping hukum adat yang

sudah dimulai sejak kerajaan

kuno di Indonesia serta dengan

landasan ketatanegaraan India

sesuai dengan kitab-kitab

hukum sebagaimana yang selalu

diungkapkan hakim sejak dulu

kala. Hal tersebut berbeda dengan

masa kini, hukum di Indonesia

saat ini dikembangkan dari sistem

hukum Belanda. Meskipun hukum

adat juga diakui di Indonesia,

tetapi dominasinya berasal dari

Belanda karena sistem penjajahan

yang mewariskan sistem hukum.

Hukum yang berlaku merupakan

hukum modern yang diadopsi di

Eropa. Namun dalam hal tertentu

ada perbedaan budaya yang

mengakibatkan cara mengatur

yang juga berbeda terutama

pada hukum pidana dan perdata

sehingga saat ini sudah banyak

aturan hukum yang dibuat oleh

pemerintah RI terutama UU yang

mengatur berbagai hal dalam

penyelenggaraan pemerintahan.

Akhir kata, beliau yang akrab

disapa Pak Fahmi menyampaikan

bahwa hukum di Indonesia

memang belum sempurna dalam

pelaksanaannya tetapi tidak perlu

apatis terhadap hukum, karena

hukum memang harus ada dan

ditegakkan. Perlu ada penanganan

serius berkaitan dengan

hukum oleh pemerintah untuk

menegakkan hukum dan mendidik

masyarakatnya agar sadar hukum.

Beliau tetap optimis suatu saat

hukum akan lebih baik karena

esensinya hukum memang menjadi

bagian dari manusia sampai

kapanpun.

DIALOG

Page 17: Majalah Artefak Edisi 30

17 Media Komunikasi Arkeologi

Nama Nusantara

berasal dari dua kata

bahasa Sanskerta,

yaitu nusa yang berarti

“pulau” dan antara yang berarti

“luar”. Nusantara digunakan

untuk menyebut pulau-pulau di

luar Majapahit (Jawa). Perkataan

Nusantara kita dapatkan dari

Sumpah Palapa Patih Gajah

Mada yang diucapkan dalam

upacara pengangkatannya menjadi

Patih Amangkubhumi Kerajaan

Majapahit (tahun 1258 Saka/1336

M) yang tertulis di dalam Kitab

Pararaton Sekilas dengan melihat

definisi kata “Nusantara” diatas

maka kita dapat menarik sebuah

kesimpulan yaitu sebutan bagi

seluruh wilayah yang berada diluar

wilayah kekuasaan Majapahit

atau kepulauan lain yang ada di

luar Jawa. Namun saya sendiri

menafsirkan sebagai wilayah

dimana beberapa negara yang

kini tergabung dalam perserikatan

yang kini disebut sebagai ASEAN.

Karena dalam beberapa kajian

peneliti yang pernah meneliti

wilayah Indonesia terutama Asia

Tenggara mendapatkan hasil

temuan yang sempat menjadi

bahan perdebatan panjang

dikalangan para peneliti dunia.

Salah satunya adalah tentang

tulisan Prof. Aryo Santos yang

menyebutkan bahwa salah satu

posisi dari peradaban kuno yang

telah menghilang yaitu Atlantis

Catatan NusantaraOleh : Theodorus Aries Brian

Foto : Umar/ARTEFAK

Apa yang pernah terlintas jika mendengar kata “Nusantara”? Apakah itu Indone-sia atau ada definisi lain?

LEPAS

Page 18: Majalah Artefak Edisi 30

18Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

adalah di Indonesia. Dalam

kajiannya menyebutkan bahwa

Indonesia memiliki semua kriteria

yang telah disebutkan oleh Plato

dalam tulisannya. Memang benar

Indonesia merupakan tempat

paling ideal bagi perkembangan

peradaban yang maju, namun

itu semua memerlukan sebuah

penelitian panjang agar

menghasilkan sebuah hasil yang

maksimal dan tidak hanya sebatas

dari interpretasi semata. Mungkin

kita bisa sedikit berbangga dengan

apa yang telah beliau lakukan

selama 33 tahun menelusuri jejak

peradaban Atlantis di Indonesia,

namun kita juga masih perlu

banyak bukti untuk menyatakan

bahwa Indonesia pernah memiliki

peradaban maju.

Berdasarkan penelusuran dari

berbagai cerita rakyat yang ada

di Indonesia, banyak memiliki

kesamaan cerita tentang adanya

sebuah peradaban yang sangat

maju dari nenek moyang mereka

pada jaman dahulu kala. Nah

dari cerita inilah kita dapat

mengembangkan penelusuran

lebih jauh tentang apa yang pernah

dilakukan oleh Prof. Stephen

Oppenheimer dan juga Prof. Aryo

Santos dalam kajiannya tentang

peradaban dunia dan juga surga di

timur. Indonesia merupakan negara

tropis dengan kekayaan alam yang

sangat berlimpah ruah dan tak

terbatas akan keindahan alamnya.

Belakangan dunia arkeologi

sedang heboh dengan adanya

penemuan situs Gunung Padang

di Jawa Barat, yang menimbulkan

adanya interpretasi bahwa itu

adalah bentuk dari Piramida.

Bahkan beberapa peneliti dari luar

Indonesia rela datang hanya untuk

melihat dari dekat seperti apa

bentuk dari Gunung

Padang yang dikabarkan sebagai

Piramida Nusantara. Namun

setelah diteliti lebih lanjut

teryata situs Gunung Padang

adalah sebuah situs peninggalan

masa Megalithik yang berusia

sangat tua sekitar 5200 SM

berdasarkan carbon dating yang

telah dilakukan. Bayangkan jika

Piramida Mesir saja berusia 5000

SM maka bisa dibayangkan kalau

situs Gunung Padang yang berusia

5200 SM berarti lebih tua dari

usia Piramida Mesir. Masih banyak

peninggalan masa prasejarah yang

belum terungkap di Indonesia, dan

masih butuh penelitian lebih lanjut

demi mengungkap adanya sebuah

peradaban maju di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman

mencari adanya dugaan peradaban

masa lampau yang ada di

Indonesia, baik itu dari cerita

rakyat (folklore), mitos, maupun

legenda yang ada dibeberapa

daerah, maka didapatkan

kesimpulan bahwa memang

menurut cerita secara turun

temurun pada jaman dahulu

pernah hadir sebuah kebudayaan

yang dapat kita kategorikan maju

secara spiritual dan memudahkan

segala macam kegiatan sehari-

hari dengan kata lain kebudayaan

itu bisa kita sebut sebagai

“Kearifan Lokal” yang merupakan

hasil cipta, rasa dan karsa dari

masyarakat pada masa itu. Kita

jangan menganggap sebuah mitos

ataupun legenda sebagai suatu

hal yang kosong tanpa melihat

menurut cerita secara turun temurun pada jaman dahulu pernah hadir sebuah kebudayaan yang dapat kita kategorikan

maju secara spiritual dan memudahkan segala macam kegiatan sehari-hari dengan kata lain kebudayaan itu bisa kita

sebut sebagai “Kearifan Lokal” yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari masyarakat pada masa itu.

LEPAS

Page 19: Majalah Artefak Edisi 30

19 Media Komunikasi Arkeologi

makna dari mitos atau legenda

itu sendiri. Karena banyak dari

mitos itu merupakan sebuah fakta

yang sebenarnya dan karena

budaya masyarakat Indonesia

merupakan budaya lisan, maka

terciptalah sebuah cerita yang

berkembang berdasarkan pada

perkembangan jaman. Mungkin

pada masa kini sangat jarang

orang yang memahami sisi lain

dari sebuah mitos yang berkaitan

dengan arkeologi. Namun jika

kita melakukan sebuah penelitian

dengan kajian etnoarkeologi maka

kita akan dapat menjelaskan

bagaimana sebuah mitos dan

legenda itu menjadi sebuah awal

dari perjalanan panjang pencarian

tinggalan arkeologis. Fakta

bahwa arkeologi lebih banyak

mengarah pada peninggalan masa

klasik itu juga yang mungkin

mempengaruhi kurangnya kajian

penelitian terhadap peninggalan

masa prasejarah, dan minimnya

kegiatan ekskavasi pada situs

prasejarah dibeberapa tempat.

Jika peninggalan masa prasejarah

dapat kita ungkap dengan baik,

maka tidak menutup kemungkinan

terbukanya tabir misteri peradaban

yang kini hanya tinggal mitos itu

dapat terungkap ke ranah publik,

sebagai bagian dari perjalanan

panjang kebudayaan manusia

di Indonesia. Semoga semua

ini dapat menjadi pemicu bagi

kita para calon arkeolog untuk

lebih jeli dalam menentukan

sikap demi memberikan sebuah

pengetahuan bagi masyarakat

luas akan pentingnya sebuah

pelajaran berharga yang pernah

ditinggalkan oleh nenek moyang

kita di masa lampau, sekaligus

menjadi tonggak kesadaran

kita akan sebuah masa depan

kebudayaan bangsa. Mungkin

kita perlu mendalami lebih lanjut

dengan kebudayaan kita sendiri,

jika peneliti asing saja berminat

dengan kebudayaan kita mengapa

kita tidak punya keinginan untuk

mengeksplorasi sendiri kebudayaan

kita karena kitalah yang punya

ini semua dan ada disekitar kita

juga. Semoga sedikit tulisan

ini dapat memberikan sebuah

inspirasi bagi teman-teman untuk

lebih mendalami kebudayaan kita

sendiri dengan berbagai macam

pendekatan yang dapat kita

lakukan dan jangan takut untuk

merangkai ulang sejarah kita

sendiri.

Foto : Aji/ARTEFAK

LEPAS

Page 20: Majalah Artefak Edisi 30

20Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Untuk memahami

situasi ini, saya ingin

mengajak Anda un-

tuk bercermin pada

candi yang terserak di sekitar kita,

khususnya di Jawa. Mungkin baru

sedikit orang yang tahu bahwa

candi merupakan bangunan suci

yang dibuat untuk tujuan religius

dan kemanusiaan. Aspek religius

terletak pada fungsinya sebagai

rumah dewa. Candi menjadi poros

yang menghubungkan manusia

dengan sang pencipta dan pemeli-

hara alam semesta. Di sisi yang

lain candi juga menjadi tetengger

yang mengingatkan kita tentang

pentingnya hubungan antar sesa-

ma manusia. Keletakan, bentuk,

arca, dan ornamen candi, termasuk

relief-reliefnya, sarat akan makna

yang bisa menjadi sumber inspirasi

yang tidak pernah habis dalam

menjalani kehidupan. Relief-relief

MEREPRODUKSI NILAI CANDIOleh : Jajang Agus Sonjaya

Pernahkah Anda membayangkan jika seribu tahun lalu leluhur bangsa kita me-miliki pemikiran dan karya yang luar biasa? Jika belum pernah, itu maklum, sebab kita telah menjadi bangsa yang kurang pandai mengapresiasi masa lalu. Kita men-jadi bangsa yang lupa akan sejarah. Hal ini sungguh bahaya karena bangsa yang

lupa sejarah tidak beda dengan manusia yang lupa ingatan. Ia tak hanya lupa akan jatidirinya, melainkan pula tidak memiliki orientasi masa depan.

ILMIAH

Foto : Umar/ARTEFAK

Page 21: Majalah Artefak Edisi 30

21 Media Komunikasi Arkeologi

tentang membajak sawah, kapal,

pedati, pakaian, bentuk istana,

bentuk rumah, menggambarkan

pada kita tentang kebesaran pada

masa lalu.

Jauh sebelum pluralisme ramai

diperbincangkan pada awal abad

ke-21, dahulu, seribu tahun lalu,

leluhur kita sudah menjalankan

kehidupan yang pluralistik. Kita

bisa belajar dari Kompleks Candi

Prambanan yang Hindu dengan

Kompleks Candi Sewu yang Budha.

Dua kompleks candi besar yang

berbeda ideologi ini bisa berdamp-

ingan di lokasi yang sama. Bahkan,

dua kilometer di timurlaut Pramba-

nan terdapat Candi Plaosan yang

berciri Budha dan Hindu.

Candi-candi itu ada dan berdiri

di sana seolah mengingatkan pada

generasi waktu itu dan juga gen-

erasi berikutnya bawa hubungan

kemanusiaan begitu penting, tidak

kalah penting dengan urusan ke-Tu-

han-an. Dari pemikiran merekalah

kemudian muncul istilah Bhineka

Tunggal Ika yang berarti berbeda

tapi satu jua. Meski mereka ber-

beda keyakinan (agama) tapi

mereka tetap satu dalam hubun-

gan-hubungan sosial-kenegaraan.

Ketika bangsa ini berdiri seribu

tahun kemudian semboyan itu

ternyata dipakai oleh para pendiri

bangsa, namun kita belum benar-

benar memahami maknanya. Kita

benar dalam memaknai perbedaan,

namun kita masih keliru dalam

memaknai kesatuan. Satu jua dit-

erjemahkan oleh pemerintah kita

sebagai sesuatu yang selalu harus

sama. Dari Sabang sampai Mer-

auke harus sama seragamnya ke-

tika sekolah, harus sama makanan-

nya (nasi), harus sama bentuk

pemerintahannya (sistem desa),

harus sama jumlah gajinya (PNS),

harus sama cara pernikahannya

(di catatan sipil), dan banyak lagi.

Ujung-ujungnya antara konsep

persamaan dan perbedaan menjadi

sesuatu yang anakronistis, pada-

hal sejatinya Bhineka Tunggal Ika

itu menekankan perbedaan dalam

kesederajatan seperti yang digagas

para leluhur kita, para stapaka

candi-candi itu.

Selain semangat pluralisme,

masih banyak nilai yang bisa kita

pelajari dari candi-candi di sekitar

kita. Masing-masing bangunan

candi meninggalkan pesan tentang

religiusitas, sosial, budaya, dan

seni. Pesan dari masa lalu tersebut

tertera dalam setiap bagian bangu-

nan candi mulai dari arsitektur, or-

namen, relief, hingga seni arcanya.

Satu relief Karmawibhangga di

Candi Borobudur bisa diangkat se-

bagai contoh di sini. Di sudut teng-

gara bagian kaki candi terdapat re-

lief yang menggambarkan tentang

seorang laki-laki dan perempuan

yang berzinah (selingkuh), kemudi-

an dalam panel berikutnya (dalam

kehidupan berikutnya), mereka

dilahirkan buruk rupa. Kisah-kisah

tentang aspek kemanusiaan banyak

sekali digambarkan di Borobudur.

Namun, entah karena alasan teknis

atau karena relief tersebut diang-

gap tidak senonoh, maka reliaf-re-

lief yang sarat makna itu kini telah

ditutup oleh batu-batu.

Ribuan candi yang kini telah

ditemukan menjadi gudang spirit

dari masa lalu. Candi menjadi

saksi hubungan kita dengan India

dan Asia Tenggara Daratan nun

jauh di sana. Candi-candi yang

dibangun selama ratusan tahun

menggambarkan totalitas mereka

pada tanggung jawab. Bayang-

kan semangat seperti apa yang

bisa melahirkan bangnan seperti

Borobudur, Prambanan, Kompleks

Candi Dieng, Kompleks Candi Ge-

dongsongo. Sekarang bandingkan

dengan karya-karya kontraktor kita

yang membangun secepat mungkin

dengan bahan seminim mungkin

tetapi kemudian roboh atau rusak

seperti jembatan di sebelah timur

Polda DIY yang ambalas sebelum

usianya genap 17 tahun. Orang

awam lazim menduga hal itu ter-

jadi karena dananya dipotong oleh

oknum dan partai. Ini adalah salah

satu indikator bahwa para kontrak-

tor dan “penguasa” negeri ini tidak

memiliki orientasi masa depan

yang visioner dan baik seperti para

“kontraktor” candi pada masa lalu.

Kalau mau jujur, candi di Indo-

nesia sebagai pusat kultural oleh

negara secara sepihak telah dijadi-

kan sebagai pusat ekonomi untuk

objek parwisiata. Borobudur, mis-

alnya, telah diperlakukan pemer-

intah sebagai mesin penghasil

uang sampai-sampai kaum Budhis

cukup kesulitan ketika hendak

menjadikan Candi Borobudur untuk

kegiatan mereka. Nilai kultural dan

kesakralan Borobudur pun akhirnya

tenggelam di antara hiruk-pikuk

pedagang asongan, tertimbun

ratusan pedagang kaki lima, dan

samar tertutup hotel mewah yang

dibangun pihak pengelola (Sonjaya,

2010) .

ILMIAH

Page 22: Majalah Artefak Edisi 30

22Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Nasib Kompleks Candi Dieng

tak jauh berbeda. Karena uang

retribusi dari Dieng begitu besar,

maka Dieng pun menjadi barang

rebutan Kabupaten Wonosobo dan

Banjarnegara. Sementara kedu-

anya saling berebut, candi-candi di

Dieng pun terbengkalai. Arca-arca

sering dicuri, batu-batu candi ban-

yak yang hilang, bahkan situsnya

sendiri sudah disulap menjadi

taman dan lahan pertanian (Son-

jaya, 2010). Pemerintah seolah

lupa bahwa Dieng pernah menjadi

pusat para arsitek dan pekerja be-

lajar tentang membangun candi.

Pemerintah juga tidak mengindah-

kan upaya-upaya yang dilakukan

para spiritualis Kejawen dan Hindu

yang berusaha menghidupkan

kembali nilai-nilai spiritualis candi-

candi dan warisan budaya lainnya

di Dieng dengan alasan bahwa

kompleks tersebut masuk kategori

“death monument”. Pemakaian

istilah death monument sepertinya

perlu ditinjau ulang karena proses

belajar atau pewarisan nilai-nilai

kehidupan dan pengetahuan yang

dapat dipetik dari candi menjadi

terpagari. Candi-candi akhirnya

hanya menjadi objek rekreatif be-

laka.

Candi telah dianggap sebagai

sumber daya, seperti halnya sum-

ber daya alam, yang bisa dieksploi-

tasi untuk memenuhi keserakahan

manusia. Padahal, menurut saya,

candi bukanlah sumber daya, ka-

rena yang menjadi daya (tenaga)

adalah nilai-nilai yang direproduksi

oleh kita yang mengapresiasinya,

terutama para arkeolog. Reproduksi

berarti melahirkan kembali. Sesua-

tu yang dilahirkan tidak harus

sama dengan yang melahirkan.

Artinya, nilai-nilai baru yang dila-

hirkan dari candi harus kontekstual

sesuai jamannya dan lebih baik.

Jadi, letak daya bukan pada can-

dinya melainkan pada masyarakat

yang mengapresiasinya. Konsep

sumber daya yang diusung oleh

para ahli studi pembangunan telah

lama dikritik karena ada kecend-

erungan melahirkan pemikiran

dan sikap eksploitatif—pemikiran

dan sikap yang bertolak belakang

dengan para leluhur kita yang

mengedepankan keseimbangan

dan risiliansi.

Demikianlah, candi bukan enti-

tas yang mati yang hanya berfungsi

untuk sawangan thok. Candi jus-

tru bisa menjadi cermin bangsa

Indonesia dalam menata diri

menghadapi masa depan, karena

di dalamnya sarat akan pemikiran

dan nilai yang bijak. Dalam ranah

ini, peran arkeolog tak sebatas

rekonstruksi masa lalu, melainkan

perlu merambah pada upaya-upaya

reproduksi nilai.

Referensi

Aksa, Laode Muhammad.

2004. “Integritas Sumberdaya Bu-

daya Arkeologi dan Pembangunan”.

http://www.arkeologi.com.

Byrne, Denis, Helen Brayshaw

dan Tracy Ireland. t.t. Social Sig-

nificance a Discussion Paper. NSW

National Park and Wildlife Service.

Research Unit Cultural Heritage Di-

vision. Hurstville.

Carman, John. 2001. Archaeol-

ogy and Heritage: An Introduction.

Continuum. London-New York.

Cleere, Henry F. 1990. Ar-

chaeological Heritage Management

in The Modern World. Unwim-

Hyman. London.

Cotter, Maria; Bill Boyd dan

Jane Gardiner. 2001. Heritage

Landscapes: Understanding Place

and Communities. Southern Cross

University Press. Lismore, Austra-

lia.

Darvil, Timothy. 1995. “Value

System in Archaeology”. Dalam

Malcolm A. Cooper dkk. Managing

Archaeology. Routledge. London

and New York.Hlm. 40 – 50.

Fagan. Brian, M. 2003. Recent

Trends In Archaeology. http://www.

arkeologi.com.

Hodder, Ian. 1989. Reading

the Past: Current Approaches ti

Interpretation in Archaeology. Cam-

bridge University Press.

Howard, Peter. t.t. Heritage:

Management, Interpretation, Iden-

tity. Continuum. London-New York.

Mayer-Oakes. 1990. “Science,

Service and Atewardship – a Basis

for the Ideal Arcaheology of the Fu-

ture”. Dalam H. F. Cleere (Ed.). Ar-

chaeological Heritage Management

in the Modern World. Unwim-Hy-

man. London.

Mikkelsen, Britha. 1999.

Metode Penelitian Partisipatoris

dan Upaya-upaya Pemberdayaan.

Terjemahan oleh Matheos Nalle.

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sonjaya, Jajang Agus.2010.

Candi untuk Masa Depan. Ke-

daulatan Rakyat, 12 Januari 2010.

Yogyakarta.

ILMIAH

Page 23: Majalah Artefak Edisi 30

23 Media Komunikasi Arkeologi

ILMIAH

DAMPAK KEBERADAAN KAWASAN KARST MAROS-PANGKEP TERKAIT MASYARAKAT SEKITAR*

Foto : Umar/ARTEFAK

Oleh : Safitri Setyowati dkk.

Abstrak Dampak keberadaan kawasan karst di Maros-Pangkep tentunya mempunyai pengaruh bagi masyarakat sekitar kawasan yang merubah pola hidupnya. Dampak keberadaannya baik positif maupun negatif dapat dilakukan pengkajian dengan metode survey, wawancara, dan focus group discussion sehingga dapat menjaring informasi sebanyak-banyaknya. Informasi yang didapat kemudian dapat dirumus-kan menjadi kumpulan permasalahan dan selanjutnya dihasilkan rekomendasi dari masyarakat untuk diajukan ke pihak yang berwenang untuk ditindak lanjuti.

Kata Kunci: Dampak keberadaan, Kawasan Maros-Pangkep, Masyarakat

*Diseminarkan dalam PIAMI XV di Benteng Rotterdam.

I. Pendahuluan

Pertemuan Ilmiah Arkeologi

Mahasiswa se-Indonesia (PIAMI)

tahun 2014 merupakan PIAMI

ke-15 yang diselenggarakan

oleh Universitas Hasanuddin.

bertemakan Archaeologi for

Society yaitu “Pemanfaatan

dan Pelestarian Kawasan Karst

Maros-Pangkep yang Berbasis

Masyarakat”. Tema ini diangkat

dengan melihat kenyataan di

lingkungan masyarakat, apakah

masyarakat memiliki pengetahuan

mengenai situs yang berada di

kawasan Pangkep-Maros dan turut

serta dalam menjaga kawasan

tersebut. Sebelumnya dalam

PIAMI tahun 1983 dan 1986

sempat menyinggung mengenai

Page 24: Majalah Artefak Edisi 30

24Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

disekitarnya agar dalam menjaga

situs tidak merugikan salah satu

pihak.

II. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan

metode survey, wawancara, dan

focus group discussion (FGD).

Metode survey digunakan untuk

melihat dan mengamati situs

secara langsung agar dapat melihat

kondisi situs saat ini, sehingga

dapat memberikan gambaran

dalam melakukan wawancara

dan FGD dengan masyarakat.

kawasan karst ini , tetapi hanya

menyinggung mengenai lukisan

secara ringkas. Penelitian kali ini

bertujuan mengetahui pandangan

masyarakat mengenai tinggalan

arkeologi yang berada di Maros-

Pangkep, serta mengetahui

sejauh mana situs tersebut

dimanfaatkan oleh masyarakat.

Manfaat dari penelitian ini agar

masyarakat dapat mengeluarkan

pendapat mengenai persepsinya

terhadap situs di Maros-Pangkep

sehingga tercipta keselarasan

antara tinggalan arkeologis

dengan masyarakat yang tinggal

ILMIAH

No Sesi Tujuan Alur/Tahapan Alat Durasi1. Pembukaan Membuka diskusi Salam pembukaan dilanjutkan

apresiasi kepada masyarakat

2 menit

2. Perkenalan Memperkenalkan nama agar

lebih akrab, lebih santai dan

nyaman untuk warga meny-

ampaikan pendapatnya.

Fasilitator memperkenalkan

diri, dilanjutkan dengan perk-

enalan nama masing-masing

warga, dan

Ice breaking

-Kertas

-Papan

-Spidol

-Lakban

-Kamera

15 menit

3. Ground Rules Mencapai kesepakan forum

bisa lebih terarah

Menjelaskan peran masing-

masing

Menjelaskan tugas masing-

masing

Kesepakatan aturan

Penjelasan durasi pertemuan

-Kertas

-Papan

-Spidol

-Lakban

-Kamera

15 menit

4. Parafrase Mencari pandangan awal Bertanya kepada masing-mas-

ing peserta

-Kertas

-Papan

-Spidol

-Lakban

-Kamera

30 menit

5. Pertanyaan

kunci/penelitian

Menggali pemahaman mas-

ing-masing

Mencapai tujuan diskusi

(FGD)

Diskusi

Tanya jawab

Ice breaking

-Kertas

-Papan

-Spidol

-Lakban

-Kamera

55 menit

6. Penutup Menyimpulkan apa yang

dilakukan selama FGD

5 menit

Tabel 1 : Alur FGD

Setelah melakukan survey, tahap

selanjutnya ialah wawancara

dengan beberapa masyarakat

yang tinggal disekitar situs. Selain

itu dilakukan pula FGD dengan

masyarakat yang berada di satu RT

dimana situs tersebut berada.

alur yang digunakan dalam FGD

dapat di lihat pada tabel 1.

III. Deskripsi Situs

a. Kabupaten Pangkep

Keseluruhan leang yang

terdapat di Kabupaten Pangkep

berjumlah 35 leang (Permana,

Page 25: Majalah Artefak Edisi 30

25 Media Komunikasi Arkeologi

ILMIAH

2014: 102). Leang yang dikaji

dalam penelitian ini, yaitu Leang

Cammingkana dan Leang Buloriba.

Leang tersebut ialah leang

kategori B yang dilindungi secara

hukum dan fisik dengan dipagari

namun kurang dikembangkan dan

kurang dimanfaatkan. Permana

(2014) menjelaskan bahwa situs

Cammingkana berbentuk leang

dalam, berada pada ketinggian

25 m dpl. Mulut leang berukuran

12 meter, tinggi 10 meter dan

menghadap kearah utara (340°).

Leang Cammingkana

merupakan leang vertikal, dimana

di bagian dalam teratas terdapat

cap tangan berwarna merah.

Sebagian besar cap tangan

berorientasi keatas, memiliki

lima jari, berukuran dewasa, dan

tangan kanan. Keadaan cap tangan

masih dapat diidentifikasi dan

keseluruhan cap tangan berjumlah

± 20.

Keadaan leang ini kurang

terawat; terdapat banyak kotoran,

sisa-sisa makanan burung,

bangkai burung, dan vandalisme.

Fasilitas yang terdapat di leang

ini yaitu memiliki pagar, papan

pengumuman, dan beberapa anak

tangga untuk mencapai puncak

leang. Akses jalan menuju leang

Cammingkana dengan melewati

sawah penduduk yang berada di

sisi selatan leang.

Sedangkan Leang Buloriba

merupakan ceruk, jalan menuju

mulut ceruk terdapat banyak

sisa moluska yang mengeras dan

menyatu dengan batuan ceruk.

Tinggalan akeologisnya berupa

lukisan menyerupai bentuk

ikan dan di dekat lukisan ikan

terdapat seperti lukisan berwarna

merah namun sudah tidak dapat

diidentifikasi. Di lain hal, akses

menuju leang ini dengan melewati

sawah sedangkan fasilitasnya

berupa pagar dan papan

pengumuman yang sudah patah.

b. Kabupaten Maros

Di Kabupaten Maros terdapat

56 leang (Permana, 2014: 104).

Leang yang diteliti dalam penulisan

ini adalah Leang Uluwae. Leang

Uluwae ialah leang dengan

kategori tipe B yang dilindungi

secara hukum namun tidak

dilindungi secara fisik karena tidak

dipagari dan kurang dikembangkan

atau pun dimanfaatkan. Menurut

Permana (2014:198) dijelaskan

bahwa Situs Uluwae berupa leang

dangkal, terletak di Kampung

Lopi Lopi, Desa Kalabbirang,

Kecamatan Bantimurung. Situs

ini memiliki ketinggian 30 m dpl,

mulut leang berukuran lebar 30 m

dan tinggi 10 m, dan menghadap

kearah barat daya (230°).

Tinggalan arkeologisnya berupa

cap tangan berwarna merah dan

sebagian besar menghadap keatas.

Beberapa cap tangan yang masih

dapat diidentifikasi ada tiga lukisan

cap tangan dan lukisan lainnya

sulit untuk diidentifikasi. Selain

itu ditemukan beberapa pecahan

gerabah sedangkan tinggalan non-

arkeologis berupa sisa kotoran sapi

dan sekam karena dahulu leang

tersebut digunakan sebagai tempat

menyimpan padi dan hewan

ternak.

IV. Pembahasan

Situs yang terdapat di

Kabupaten Maros-Pangkep secara

umum dijumpai temuan berbagai

seni hias di dinding leang yang

biasa disebut rock art. Beberapa

leang dengan tinggalan arkeologis

berupa cap tangan itu mempunyai

beberapa permasalahan dengan

masyarakat. Permasalahan yang

ada kemudian akan dibahas lebih

lanjut sampai rekomendasi dari

masyarakat.

Permasalahan di Kabupaten

Pangkep tepatnya yang berada di

RT 3 RW 4, Kelurahan Biraeng,

Kecamatan Minasa Te`ne ialah

masyarakat kurang memiliki

pengatahuan mengenai situs,

mereka hanya mengetahui nama-

nama leang di sekitarnya dan

mengetahui bahwa didalamnya

terdapat gambar cap tangan dan

ikan. Masyarakat juga merasa

sungkan untuk memasuki

leang karena merasa takut

dengan adanya peraturan yang

menjelaskan bahwa pada leang

tersebut dilarang merusak dan

mengotori leang. Hal tersebut

diperkuat lagi dengan isu yang

beredar bahwa pernah ada salah

satu warga yang dituduh merusak

leang tapi pada kenyataannya isu

tersebut belum dapat dibuktikan.

Hal lain yang mempengaruhi

mengapa masyarakat Pangkep

tidak memperhatikan leang ialah

karena permasalahan kepemilikan

pohon dan air. Masyarakat

mempermasalahkan kepemilikan

pohon yang terdapat di kawasan

karst khusunya yang berdekatan

dengan leang karena sekarang

Page 26: Majalah Artefak Edisi 30

26Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

ILMIAH

tersebut tidak memiliki leang yang

diindungi, sudah pasti perbukitan

tersebut juga akan dijadikan

tambang semen. Kemudian dalam

hal partisipasi dijumpai adanya

keikutsertaan masyarakat dalam

menjaga situs hanya ketika leang

dalam keadaan sangat kotor

sehingga mereka melakukan kerja

bakti dalam membersihkannya,

namun apabila leang hanya sedikit

kotor pembersihan hanya dilakukan

oleh juru pelihara.

Selanjutnya setelah mengetahui

permasalahan, kurangnya manfaat,

dan tingkat partisipasi kemudian

masyarakat menginginkan

adanya sosialisasi mengenai

leang-leang yang berada di

Kelurahan Biraeng agar mereka

memiliki pengetahuan yang lebih

mengenai peninggalan prasejarah

leang tersebut. Masyarakat juga

menginginkan agar juru pelihara

ditegur dan dievaluasi dalam

penjagaannya supaya tidak ada

masalah terkait salah tuduh lagi.

Foto : Umar/ARTEFAK

sudah dijadikan hutan lindung

dan dipasang patok sebagai

penanda dari kawasan hutan yang

dilindungi, sedangkan menurut

pendapat masyarakat pohon-

pohon didaerah tersebut ditanam

sendiri, tetapi mereka tidak dapat

menebangnya karena kawasan

tersebut sudah masuk kedalam

kawasan hutan lindung. Di lain sisi

masyarakat merasa pohon tersebut

hak milik mereka dan tidak terima

dengan kondisi seperti ini. Bahkan

jika ingin menbang memerlukan

surat ijin satu buah untuk satu

pohon dan belum lagi mengenai

tata cara perijinan yang berbelit-

belit.

Selanjutnya permasalahan

terkait air terutama mengenai

irigasi untuk sawah masyarakat

tetapi kini air dari sumber air di

Leang Kassi digunakan untuk

PDAM sehingga debit air ke

persawahan mereka berkurang.

Sebelumnya pernah terjadi diskusi

langsung antara masyarkat dengan

kelurahan untuk masalah PDAM

namun tidak ada tindak lanjut.

Masyarakat dengan pemerintah

sudah membuat MOU mengenai

pembagian air yang merata dengan

perjanjian bahwa masyarakat

meminta dua bulan saat musim

tanam pada jam 10 hiingga

jam 4 pagi air dibuka agar bisa

memenuhi untuk pengairan sawah

dan sisanya bisa ditutup untuk ke

pipa PDAM, tetapi yang terjadi

ialah MoU tersebut belum berjalan

hingga sekarang.

Permasalahan tersebut juga

ditambah hal lain dikarenakan

masyarakat tidak mengetahui

manfaat leang itu, masyarakat

menganggap bahwa leang tersebut

sudah dikelola oleh pemerintah

dan masyarakat tidak dilibatkan

dalam pengelolaan tersebut.

Masyarakat hanya mengetahui

keberadaan leang-leang tersebut

menguntungkan dalam menjaga

dari masuknya perusahaan semen

karena apabila perbukitan karst

Page 27: Majalah Artefak Edisi 30

27 Media Komunikasi Arkeologi

ILMIAH

Selain itu mengenai permasalahan

kepemilikan pohon dan air,

masyarakat menginginkan adanya

pengaturan mengenai perizinan

kepemilikan pohoin dengan

Dinas Kehutanan setempat serta

kesepakantan dan penegasan ulang

mengenai MOU dengan PDAM.

V. Penutup

Berdasarkan hasil survey

dan FGD yang dilakukan selama

kegiatan PIAMI di Maros-Pangkep

dijumpai beberapa permasalahan

terkait sosialisasi dan kurangnya

pemanfaatan yang belum optimal

terutama mengenai peran masing-

masing pihak dan masyarakat

padahal di Kabupaten Pangkep

dan Maros memiliki potensi yang

besar untuk dikembangkan sebagai

pariwisata yang berwawasan

budaya, pendidikan, dan alam

sehingga masyarakat mengajukan

beberapa hal dalam FGD agar

permasalahan itu dapat ditekan

seminimalnya.

Rekomendasi yang diajukan

oleh masyarakat terhadap situs

Pangkep (Leang Cammingkana dan

Buloribba-kategori B):

-Dilakukannya sosialisasi

kepada masyarakat mengenai situs

tersebut.

-Adanya evaluasi untuk juru

pelihara dengan masyarakat sekitar

-Pengenalan sejak dini

mengenai tinggalan arkeologi

mengenai pemanfaatan,

pemeliharaan, pengelolaan

-Pengkajian kembali mengenai

MOU dengan pihak PDAM dan

PEMDA mengenai permasalahan

air

Sedangkan rekomendasi yang

diajukan oleh masyarakat terhadap

situs Maros (Leang Uluwae-

kategori c):

-Dilakukannya sosialisasi

kepada masyarakat mengenai situs

tersebut.

-Dinas terkait dapat membuat

fasilitas yang mendukung untuk

menjaga dan melindungi situs,

seperti membuat pagar, kawat

berduri, papan nama yang

ditujukan untuk wisatawan dan

penduduk lokal.

-Pemberdaan masyarakat

untuk menjaga situs menjadi juru

pelihara jika berkompeten

-Pengenalan sejak dini

mengenai tinggalan arkeologi

mengenai pemanfaatan,

pemeliharaan, pengelolaan.

Foto : Umar/ARTEFAK

Page 28: Majalah Artefak Edisi 30

28Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

WISATA EDUCOTOURISM:UPAYA PELESTARIAN SITUS GUNUNG PADANG, JAWA BARATOleh : Restu Ambar Rahayuningsih

AbstrakWisata educotourism adalah konsep gabungan dari education tourism dan ecotour-ism. Konsep ini mengedepankan pendidikan dan budaya. Konsep ini dapat diterap-kan untuk memecahkan masalah wisata di Situs Gunung Padang. Metode yang di-lakukan adalah memberikan kerangka pikir dan rekomendasi kepada pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk berkoordinasi terkait kelayakan metode educo-tourism dalam upaya pelestarian Situs Gunung Padang saat ini dan masa yang akan datang.

Kata kunci: Wisata Educotourism, Pelestarian, Situs Gunung Padang

Abstract

Educotourism Travelisa combined concept of tourism education and ecotourism. This concept emphasizes education and culture. This conceptcan be applied to solve problems in Sitetourof Mount Padang. The method does is provide a framework and recommendations to the government, academia, and the community to coordinate related to the feasibility of the method educotourism in conservation sites of Mount Padang current and future.

Keywords: EducotourismTravel, Wildlife, World Mount Padang

Pendahuluan

Wisata erat kaitannya dengan

wisatawan dan pariwisata.

Menurut The International

Dictionary of Tourism (1953),

wisatawan adalah orang yang

melakukan perjalanan keluar untuk

kesenangan dengan rasa ingin tahu

karena mereka tidak mempunyai

aktivitas yanglebih baik untuk

dilakukan. Sedangkan menurut

The World Tourism Organization

(WHO), pariwisata adalah jumlah

fenomenayang berhubungandengan

timbulnyaperjalanan dan kepergian

orang untuk meninggalkan

rumahnya sementara waktu. Jadi

wisata adalah aktivitas perjalanan

untuk bersenang-senang,

memperluas pengetahuan, dan

sebagainya.

Menurut Singh (2010), di

dalam wisata, ada dua elemen

utama, yaitu “tujuan dan tinggal”.

Kedua elemen tersebut akan

terpenuhi apabila sudah ada

konsep yang jelas tentang prosedur

kepariwisataan. Namun sejauh ini,

banyak kegiatan wisata yang justru

menimbulkan beberapa konflik

kepentingan. Fenomena semacam

itu, tidak hanya berefek buruk bagi

orang yang berkaitan, tetapi juga

bagi tempat wisatanya.

Situs Gunung Padang

merupakan salah satu tempat

ILMIAH

Page 29: Majalah Artefak Edisi 30

29 Media Komunikasi Arkeologi

wisata di Desa Karyamukti,

Kecamatan Campaka, Kabupaten

Cianjur, Jawa Barat. Situs ini

diduga telah mengalami deformasi

akibat beberapa permasalahan.

Permasalahan pertama

berhubungan dengan konservasi.

Sejauh ini, kajian konservasi Situs

Gunung Padang belum banyak

dilakukan. Menurut Djavid (1977),

Situs Gunung Padang merupakan

bangunan megalitik (punden

berundak)yang telah ditinggalkan

masyarakat pendukungnya dalam

kurun waktu yang cukup lama.

Bangunan tersebut dibangun

dengan batuan vulkanis berupa

batu andesit berwarna hitam

yang sangat riskan terhadap

kerusakan (Lutfi Yondridalam

Punden Berundak Gunung Padang

Maha Karya Nenek Moyang dan

Kandungannya akan Nilai-nilai

Kearifan Lingkungan di Masa Lalu

di Tatar Sunda diakses pada 2 Juni

2014). Jenis batu megalitik di

Situs Gunung Padang adalahbatu

tegak berbentuk kolumnar, batu

berbentuk prismatik, monolit, dan

sebagainya. Batu-batu tersebut

mengalami kerusakan karena

faktor alam maupun faktor buatan.

Faktor alam yang dimaksud

diantaranya adalah keretakan

atau kerenggangan batuan

dan pertumbuhan lumut pada

bangunan megalitik. Sedangkan

faktor buatan diduga akibat

aktivitas wisata, dan vandalisme

yang sudah populer mengancam

warisan budaya Indonesia.

Menurut Soejono (2002),

memang Situs Gunung Padang

berada pada titik seisme dan

terletak di perbukitan yang

rawan dengan bencana.Ada 3

jenis bahaya yang mengancam

Situs Gunung Padang, yaitu

runtuhan, gelinciran, dan aliran.

Runtuhan ditandai dengan

robohnya bangunan megalitik

karena rusak, gempa, dan tanah

longsor. Gelinciran ditandai dengan

tergelincirnya batu-batu megalitik

menuruni lereng dan berubahdari

posisi aslinya. Sedangkan, aliran

ditandai dengan terbawanya

material bangunan megalitik akibat

aliran air (diduga adalah air hujan).

Permasalahan kedua,

berhubungan dengan sejarah. Situs

Gunung Padang diduga pernah

beralih fungsi dari bangunan

megalitik menjadi tempat

persinggahan Raja Putra (Raja

Galuh) (Naskah Jawa Barat dari

Keraton Kasepuhan Cirebon Abad

19: 428). Selain itu, keberadaan

Situs Gunung Padang yang

menghadap ke arah Gunung Gede

semakin memperkuat kesakralan

Situs Gunung Padang. Tempat

tersebut kerap dikaitkan dengan

Prabu Siliwangi (Raja Sunda) yang

membangun istana dalam semalam

pada sekitar 2.000 SM. Menurut,

Naskah Bujangga Manik (abad ke

16) dalam http://id/wikipedia.org/

wiki/SitusGunungPadang diakses

pada 15 Juni 2012, terdapat

tempat kabuyutan (tempat leluhur

yang dihormati oleh orang Sunda),

tempat tersebut terletak di hulu

Sungai Ci Sokan (di sekitar Gunung

Padang).

Adanya alih fungsi Situs Gunung

Padang di atas menyebabkan

situs tersebut menjadi wisata

religi hingga saat ini. Setiap bulan

Maulud dan Jum’at Kliwon, banyak

peziarah yang datangke Situs

Gunung Padang. Mereka meziarahi

11 leluhurnyayang diduga

bersemayam di Situs Gunung

Padang. Menurut Lutfi Yondri

dalam Punden Berundak Gunung

Padang Maha Karya Nenek

Moyang dan Kandungannya akan

Nilai-nilai Kearifan Lingkungan

di Masa Lalu di Tatar Sunda

(diakses pada 2 Juni 2014),

tokoh utama yang bersemayam

di bagian puncak adalah Prabu

Siliwangi, Eyang Rama, dan Eyang

Ibu. Sementara lokasi yang lain

yang mereka ziarahi dipercaya

sebagai tempat bersemayamnya

Syekh Marjuli (tokoh diduga yang

memberikankepandaian mengaji),

Sunan Bonang (tokoh yangdiduga

memberikankepandaianmenabuh

gendang), Eyang Kuta (tokoh yang

diduga memberikantambahan

harta), dan Eyang Tajimalela

(tokoh yang diduga memberikan

pertolongan agar naik jabatan).

Wacana Terkini tentang Gunung Padang

Sejak rentan waktu tahun

2010 – 2011 di Indonesia sangat

gempar dengan pemberitaan

tentang keberadaan piramida

dalam Gunung Padang. Piramida

tersebut diduga lebih tua daripada

Piramida Giza di Mesir. Selain

pemberitaan tentang piramida, ada

beberapa pemberitaan lain yang

menyertainya, yaitu Adam turun ke

Bumi pertama kali di Cibinong, dan

tentang status Indonesia sebagai

Atlantis. Kabar tersebut berlanjut

ILMIAH

Page 30: Majalah Artefak Edisi 30

30Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

sebagai persepsi yang disebut

pseudoarkeologi.

Pseudoarkeologi berasal

dari kata pseudo yang artinya

semu dan arkeologi yang artinya

disiplin ilmu yang mempelajari

tinggalan-tinggalan masa

lampau untuk mengetahui

dan merekonstruksi kehidupan

masa lampau. Jadi dapat

dikatakan jika pseudoarkeologi

(arkeologisemu) adalah sebuah

pemahaman yang mengacu pada

deskripsi dari masa lalu yang

didasarkan pada fakta tetapi

sebenarnya bergesekan dengan

pemahaman arkeologi mengenai

masa lalu (semu). Biasanya,

pseudoarkeologi membantah

suatu teori maupun interpretasi

yang dianggap berpikiran sempit

dengan menggunakan data-data

yang dipilih secara selektif agar

lebihmenguatkan “fakta” yang

ada, namunpadakenyataannya,

pseudoarkeologi-lah yang

berpikiran sempit dan merugikan

(Share dan Ashmore, 1993).

Sudut pandang psedoarkeologi

nampaknya muncul dari

bagaimana orang menafsirkan

arkeologi dengan pemikiran mereka

seolah-olah sebagai arkeolog.

Sama halnya dengan wacana

tentang keberadaan piramida

di Gunung Padang, penulis

mendasarkan fakta tersebut

berdasarkan konsep pemikirannya

sendiri. Sebagai contohnya,

menurut Natawidjaja (2011:138-

139), Piramida Gunung Padang

dapat menjadi bukti besar

dari peradaban super yang

belum pernah ada sebelumnya.

Merekonstruki peradaban Gunung

Padang ada hubungannya dengan

Peradaban Atlantis karena dapat

menggambarkan isu tersebut lebih

baik (Natawidjaja 2011:139).

Menurut Ali Akbar (2011,

2013), penelitian di Situs Gunung

Padang adalah penelitian di bidang

ilmiah dengan menggabungkan

metode geologi-geofisika dan

arkeologi untuk menghindari

persepsi yang sesat. Pertanggalan

di Situs Gunung Padang dilakukan

dengan carbon dating (C-14)

terhadap arang yang merupakan

hasil pengeboran tanah. Hasil

pertanggalan menunjukkan bahwa

Situs Gunung Padang dibuat

sebelum 11.000 tahun yang

lalu (Natawidjaja 2011:139).

Fenomena Gunung Padang tersebut

memperkuat dugaan bahwa

Atlantis yang musnah 11.600

tahun yang lalu adalah Indonesia

dan Adam atau manusia pertama

yang turun di dunia tepatnya di

Cibinong, Indonesia (Natawidjaja

2011:139).

Tuntutan Wisata

Beberapa wacana tentang

Situs Gunung Padang seolah-

olah menjadi topik hangat yang

menggugah daya tarik segenap

lapisan masyarakat. Menurut Amri

dan Permadi dalam Vivanews

(diakses pada 19 Juni 2012),

kondisi Situs Gunung Padang

terancam ambles karena ulah

wisatawan. Ketika musim liburan

panjang, kunjungan ke situs yang

belum tereksplorasi ini menanjak

tajam mencapai 2.000 orang

setiap minggunya (Amri dan

Permadi dalam Vivanews diakses

pada 19 Juni 2012). Kondisi

tersebut tidak sepadan dengan

kondisi kontruksi bangunan

megalitik Gunung Padang yang

sudah mulai rapuh dan tidak kuat

menahan beban terlalu berat.

Hal yang lebih parah, kadang-

kadang wisatawan seenaknya

menggoyangkan bebatuan yang

ada dan mencabut rumput Jepang

yang sengaja ditanam (Amri dan Figur 1. Landscape Gunung PadangDokumentasi DNH 2011

ILMIAH

Page 31: Majalah Artefak Edisi 30

31 Media Komunikasi Arkeologi

Permadi dalam Vivanews diakses

pada 19 Juni 2012).

Sejauh ini belum ada peraturan

yang mengatur frekuensi

pengunjung ke Situs Gunung

Padang. Hal tersebut semakin

membahayakan keselamatan

situs. Sebagai pembanding saja,

Borobudur yang merupakan salah

satu world heritage dan telah

memiliki peraturan pengunjung

tetap mengalami keamblesan

hingga lima milimeter pertahun,

bagaimana dengan Situs Gunung

Padang?

Permasalahan di atas

nampaknya diakibatkan oleh

ketidakstabilankepentingan

dalam hal konservasi, pariwisata,

peneliti, dan masyarakat lokal.

Sebagai contohnya proyek peneliti

bentukan Pemerintah Kabupaten

Cianjur dan tim independen yang

melakukan kegiatan di Situs

Gunung Padang dianggap illegal.

Pasalnya, hal tersebut terjadi

karena tim katastropik yang

dibentuk Staf Khusus Presiden

telah resmi dihentikan sebelumnya

tetapi masih bermunculan tim-tim

peneliti lainnya. Sementara ini

belum ada alasan yang jelas untuk

memastikan duduk masalahnya,

muncul permasalahan baru, yaitu

pembangunan menara pantau

yang justru dianggap merusak

peninggalan-peninggalan sejarah

yang belum ditemukan. Arief

dalam Antara News (diakses pada

5 Juni 2012) meminta Pemerintah

Kabupaten Cianjur membongkar

menara pantau karena belum ada

zonasi yang jelas dan kelongsoran

pasca pengeboran tanah.

Konsep Pelestarian

Permasalahan di Situs Gunung

Padang merupakan masalah

ganda. Maksudnya, masalah

satu belum selesai tetapi sudah

ada masalah yang baru. Untuk

itu diperlukan pemecahan

masalah yang bertahap agar

permasalahan tersebut dapat

diurai satu persatu benang

merahnya. Tidak hanya dengan

penelitian dan pembangunan-

pembangunan sarana tambahan

saja yang perlu dilakukan tetapi

perlu pemikiran yang bijak untuk

menyelamatkannya.

Menurut Tanudirjo dalam

Warisan Budaya Untuk Semua:

Arah Kebijakan Pengelola Warisan

Budaya Indonesia di Masa

Mendatang (diakses pada 12 Juni

2014), cara-cara pengelolaan

warisan budaya saat ini diduga

tidak akan dapat diterapkan

lagi di masa mendatang. Jika

pun dipaksakan hanya akan

menimbulkan lebih banyak

konflik daripada keberhasilan

dalam pelestariaannya (Tanudirjo

dalam Warisan Budaya Untuk

Semua: Arah Kebijakan Pengelola

Warisan Budaya Indonesia

di Masa Mendatang diakses

pada 12 Juni 2014).Cara-cara

pengelolaan warisan budaya

saat ini lebih mengedepankan

“pengelolaan warisan budaya

untuk negara” (dari archeology

in the service of the state). Hal

tersebut menunjukkan bahwa di

era globalisasi ini diperlukan upaya

pelestarian warisan budaya yang

sesuai dengan tuntutan zaman.

Menurut Tanudirjo (2000:

11-26), masa globalisasi saat ini

menimbulkan perubahan yang

sangat cepat dan kontradiksi.

Fenomena tersebut tidak hanya

berimbas terhadap anggapan

orang tentang warisan budaya

milik seluruh umat manusia tetapi

juga menimbulkan tuntutan agar

setiap orang atau pihak boleh

memaknai warisan menurut

gagasannya (Tanudirjo (2000:

11-26). Untuk itu, diperlukan

suatu arah kebijakan baru dalam

pengelolaan warisan budaya,

diperlukan adanya penataan

kembali peran pemerintah dalam

pengelolaansumber daya budaya

ini.

Menurut Schiffer (1976),

ada dua elemen yang perlu

diperhatikan untuk menjelaskan

keberadaan sumberdaya budaya,

yaitu konteks sistem dan konteks

arkeologis. Konteks sistem

berhubungan dengan peran

aktif (masih dipergunakannya)

sumberdaya budaya oleh

masyarakat, sedangkan konteks

arkeologis berhubungan dengan

lingkungan tempat sumberdaya

budaya (baik yang tangible

maupun yang intangible) sudah

tidak digunakan lagi. Menurut

Tanudirjo dalam Warisan Budaya

Untuk Semua: Arah Kebijakan

Pengelola Warisan Budaya

Indonesia di Masa Mendatang

(diakses pada 12 Juni 2014),

pelestarian pada hakekatnya

adalah upaya mempertahankan

agar suatu sumberdaya budaya

tetap berada pada konteks

sistem agar dapat berfungsi

ILMIAH

Page 32: Majalah Artefak Edisi 30

32Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

aktif atau dimanfaatkan oleh

masyarakat. Namun, nampaknya

upayapelestarian untuk pelestarian

itu sendiri. Untuk itu, pelestarian

saat inidiharapkan mampu

memberi makna baru dalam

keragaman masyarakat, pelestarian

warisanbudaya harus dapat

dibicarakan, dinegosiasikan,

dan perlu disepakatibersama

pula melalui suatu dialog

yang terbuka serta seimbang.

Perbedaanpemberian makna suatu

warisan budaya harus sedapatnya

dihargai dan diwadahi dalam

proses pengambilan keputusan

yang demokratis (Tanudirjo 2000).

Menurut Tanudirjo dalam

Warisan Budaya Untuk Semua:

Arah Kebijakan Pengelola Warisan

Budaya Indonesia di Masa

Mendatang (diakses pada 12 Juni

2014), visi pengelolaan warisan

budaya di Indonesia diubah dari

“pengelolaan warisan budaya untuk

negara” menjadi “pengelolaan

warisan budaya untuk masyarakat”

(publik archeology). Sebagai

konsekuensinya, dalam kebijakan

yang baru, para aparatus negera

atau pemerintah yang terlibat

dalam pengelolaan warisan budaya

tidak lagi menjadi “abdi negara”

tetapi menjadi “abdi masyarakat”.

Selain itu, harus selalu disadari

bahwa warisan budaya adalah

sumberdaya dimasa mendatang

tentunya harus dilandasi prinsip

menajemen konflik. Jadi,

semestinya pemerintah pada

masa mendatang lebih dapat

diposisikan sebagai fasilitator

sekaligus mediator dan masyarakat

dapat dilibatkan sebagai public

domain(Tanudirjo dalam Warisan

Budaya Untuk Semua: Arah

Kebijakan Pengelola Warisan

Budaya Indonesia di Masa

Mendatang diakses pada 12 Juni

2014).

Pengembangan Konsep Wisata Educotourism

Saat ini dunia mengalami

perubahan yang seismikakibat

globalisasi. Perubahan ini

menyebabkan masyarakat dan

pariwisata mengalami degradasi.

Untuk mengurangi dampak

internal ataupun eksternal dari

efek global tersebut diperlukan

keterampilan yang berbeda, bakat,

dan pengetahuan yangmenyiratkan

bahwa wisata memiliki nilai

pendidikan atau education tourism.

Menurut Sheldon, Fesenmaier,

Woeber, Cooper, dan Antonioli

(2007: 62-68), dalam upaya

mengatasi permasalahan

global dalam hal pariwisata

diperlukan kerangka kerja bidang

pariwisata yang memahami

perubahan lingkungan, nilai-

nilai, pengetahuan dan memiliki

kemampuan positif. Bidang

tersebut tidak hanya dilakukan

oleh stakeholder di bidang

pariwisata tetapi pihak lain yang

bersangkutan bahkan masyarakat

pada umumnya (Sheldon,

Fesenmaier, Woeber, Cooper, dan

Antonioli2007: 62-68). Beberapa

prosedur dalam education tourism

menurut Sheldon, Fesenmaier,

Woeber, Cooper, dan Antonioli

(2007: 62-68), adalah sebagai

berikut:

1. Kemampuan mengelola/

merayakan keragaman budaya

berdasarkan aspek pluralisme dan

etika

2. Experiential learningatau

pembelajaran berbasis eksperimen.

3. Kepemimpinan multifaset

rakyat (kreativitas, inovasi,

memiliki kecerdasan emosional,

aktualisasi diri, inklusi,

menghormati pendidikan,

berpikir kritis, fleksibel, memiliki

keterbukaan, optimisme, dan

kewarganegaraan baik)

Konsep education tourism

yang mengedepankan pendidikan

sebagai tonggak wisata.

Konsep tersebut sangat cocok

dipadukandengan konsep

ecotourism. Menurut Wood

(2002: 9), ekowisata (ecotourism)

telah didefinisikan sebagai

dari pariwisata berbasis alam,

tetapi juga telah dirumuskan

dan dipelajari sebagai alat

pembangunan berkelanjutan oleh

LSM, ahli pembangunan dan

akademik sejak tahun 1990.

Ekowisata juga merupakan

perjalanan bertanggung jawab ke

daerah alami yang melestarikan

lingkungan dan menopang

kesejahteraan masyarakat lokal

(Wood 2002: 9).

Berdasarkan definisi di atas,

maka ekowisata memiliki sub

komponen bidang pariwisata

berkelanjutan, dengan kata lain

ekowisata bercita-citadalam

semua kasus untuk mencapai

hasil pembangunan berkelanjutan.

Beberapa prosedur ekowisata

menurut Wood (2002: 10) adalah

ILMIAH

Page 33: Majalah Artefak Edisi 30

33 Media Komunikasi Arkeologi

sebagai berikut:

1. Memberikan kontribusi untuk

konservasi keanekaragaman hayati

2. Mempertahankan

kesejahteraan masyarakat

setempat

3. Termasuk dalam penafsiran

atau pengalaman belajar

4. Melibatkan tindakan yang

bertanggung jawab pada masa lalu

wisata dan industri pariwisata

5. Disampaikan utama untuk

kelompok kecil oleh usaha kecil

6. Membutuhkan konsumsi

serendah mungkin sumber daya

tak terbarukan

7. Menekankan partisipasi,

kepemilikan dan peluang bisnis

lokal, khususnya untuk masyarakat

pedesaan.

Apabila konsep education

tourism dan ecotourism dipadukan

menjadi satu konsep akan

dihasilkan sebuah konsep yang

dapat memanajemen lingkungan

dan sumber daya budayanya.

Konsep tersebut dapat diistilahkan

sebagai konsep “Wisata

Educotourism”. Konsep tersebut

merupakan konsep wisata yang

dalam programnya tidak harus

menghentikan arus wisatawan

yang berkunjung.

Inti konsep educotourism adalah

education (pendidikan), ecology

(ekologi), dan tourism (pariwisata).

Jadi konsep educotourism

adalah pariwisataberkelanjutan

secara ekologis dengan fokus

primer padawilayah alamyang

menumbuhkan pemahaman

lingkungan, budaya, apresiasidan

konservasi agar orang paham

tentang makna tempat wisata

tersebut untuk pendidikan.Konsep

tersebut mampu menjembatani

beberapa kasus yang saat ini

mengancam warisan budaya

yang telah menjadi sumber daya

pariwisata.

Upaya Penerapan Konsep Wisata Educotourism

Konsep educotourism dinilai

mampu memecahkan masalah

kepentingan pada warisan budaya.

Sebagai contohnya, Situs Gunung

Padang. Konflik kepentingan di

situs tersebut tidak patut untuk

didiamkan begitu saja. Kebijakan

yang terarah dan pemikiran yang

kritis perlu segera ditampung untuk

memecahkan masalah pelestarian

Situs Gunung Padang ini.

Konsep educotourism

merupakan konsep yang

menjembatani konflik kepentingan

di Situs Gunung Padang. Konsep

ini dapat dilakukan dengan

beberapa program bertahap dan

berkelanjutan sebagai berikut:

a. Tahap 1: Persiapan program

wisata educotourism

Tahap persiapan dilakukan

dengan koordinasi pemerintah,

akademisi, dan masyarakat terkait

dengan studi kelayakan (penelitian

terpadu), cara pembebasan lahan

untuk pembangunan tangga

alternatif, jadwal koordinasi

stakeholder, upaya penyelamatan,

pembiayaan, dan rehabilitasi.

b. Tahap 2: Pelaksanaan wisata

educotourism

Tahap pelaksanaan ini

merupakan tahap pokok dalam

konsepwisata educotourism.

Tahap ini dapat dilakukan dengan

upaya pembuatan jalur alternatif

pendakian, pembangunan

ekomuseum, dan konservasi

alam serta bangunan megalitik.

Secara lebih rinci gambaran tahap

pelaksanaan adalah sebagai

berikut:

1. Pelaksanaan konsep

educotourism pada tahap

awal, dapat dilakukan dengan

pembangunan jalur alternatif.

Pada proses ini, pengunjung masih

diperbolehkan melewati jalur asli

menuju puncak punden berundak

tetapi ada pengaturan jumlah

pengunjung.

2. Setelah pembangunan jalur

alternatif selesai, pengunjung

diarahkan ke arah jalur tersebut.

Sementara itu, fokus konservasi

dapat dilakukan pada bangunan

megalitik.

3. Setelah keduanya terlaksana,

dapat dilakukan penataan lokasi

dan pembangunan ekowisata pada

wisata Situs Gunung Padang sesuai

dengan kaidah pariwisata berbasis

pendidikan dan lingkungan

(educotourim).

c. Tahap 3: Penetapan

hukum dan aturan terkait wisata

educotourism di Situs Gunung

Padang. Penetapan ini tidak hanya

sebatas hitam di atas putih tetapi

juga terkait upaya zonasi yang

kerap kali menjadi permasalahan

pada warisan budaya.

Masterplan konsep wisata

educotourism di Situs Gunung

Padang adalah sebagai berikut:

ILMIAH

Page 34: Majalah Artefak Edisi 30

34Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Adanya masterplan di atas

maka pengunjung akan lebih

mudah menikmati keindahan

Situs Gunung Padang dan

terseleksi secara alamiah dengan

kemampuan mereka menaiki

tangga. Selain itu, bangunan

megalitik yang menjadi objek

utama juga akan lebih mudah

dikonservasi. Sebagai alternatif

lain, alangkah baiknya keberadaan

warisan budaya seperti Stasiun

lempengan, terowongan, dan

rumah dinasnya; perkebunan

teh rosa; dan wisata air terjun

Cikondang juga dikembangkan

sebagai objek wisata pelengkap

Situs Gunung Padang.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Situs Gunung Padang

sangat riskan terhadap bencana

alam maupun buatan. Bencana

alam datang secara alamiah,

sedangkan bencana buatan

diakibatkan oleh ulah manusia.

2. Konsep wisata

educotourism dapat dijadikan

alternatif upaya pengelolaan Situs

Gunung Padang pada saat ini.

3. Upaya penerapan konsep

wisata educotaurism dapat

dilakukan dengan upaya zoning

kawasan, ekomuseum, dan

Saran penelitian ini adalah

menghimbau masyarakat dan

segenap stakeholder di Situs

Gunung Padang untuk bersama-

sama berkoordinasi dalam upaya

melestarikan dan menyelamatkan

Situs Gunung Padang saat ini dan

untuk masa yang akan datang.

Referensi

Ali Akbar, Taqyuddin. 2013.

Situs Gunung Padang: Misteri dan

Arkeologi. Change Publication.

................. 2011. Artikel :

Adam, Atlantis dan Piramida di

Indonesia : Antara Fakta Arkelogi

dan Gegar Jati Diri, Jakarta :

Departemen Arkeologi Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Figur 2. Konsep Wisata Educotourism untuk Situs Gunung Padang Dok. Penulis 2012

Amri, Arfi Bambang dan

Permadi. Gunung Padang

Terancam Ulah Wisatawan, diakses

pada Selasa, 19 Juni 2012.

VIVAnews.

Arief, Andi. Menara Pantau

Situs Gunung Padang Diminta

Dibongkar, diakses pada Selasa, 5

Juni 2012. ANTARA News.

Djavid. 1977. Air Manis di

Gunung Padang. Balai Pustaka

Lutfi Yondri. Peneliti Utama

pada Balai Arkeologi Bandung.

Punden Berundak Gunung Padang

Maha Karya Nenek Moyang dan

Kandungannya akan Nilai-nilai

Kearifan Lingkungan di Masa Lalu

di Tatar Sunda, diakses pada 2

Juni 2014

Martabat alam tujuh

(patarekan). Abad 19. Keraton

Kasepuhan Cirebon. Katalog

Naskah Jawa Barat:428.

Sam. Menguak fakta-fakta

misterius paling fenomenal di

dunia. Enigma 2. 2013. 428.

Jakarta: Tangga Pustaka.

ILMIAH

Page 35: Majalah Artefak Edisi 30

35 Media Komunikasi Arkeologi

Schiffer, M.B. 1976, Behavioral

Archaeology. New York Academic

Press

Sharer & Ashmore. 1993.

Archaelogy: Discovering Our

Past (second edition). California

Mayfiled Publishing Company.

Singh, Jagbir. 2010.

Ecotourism. New Delhi:

International Publishing House Pvt.

Ltd.

SheldonPauline, Dan

Fesenmaier, Karl Woeber, Chris

Cooper, dan Magda Antonioli.

Tourism Education Futures, 2010–

2030: Building theCapacity to

Lead, diakses pada 23 Juni 2014.

Journal of Teaching in Travel &

Tourism: Routledge

Soejono, R.P. 2002. “Potensi

Arkeologis dan Masalah

Penanganan Situs Gunung

Padang”.

Makalah pada Workshop

Pelestarian dan Pengembangan

Kawasan Situs Gunung Padang,

Kabupaten Cianjur. Cipas, Cianjur,

Agustus 2002 (tidak diterbitkan)

Tanudirjo, D.A. 2000. Reposisi

arkeologi dalam era global. Buletin

cagar budaya,vol.1 no,2,

Juli 2000 (suplemen). Hlm.11-

26

Tanudirjo. D.A. Konggres

Kebudayaan. Warisan

Budaya Untuk Semua: Arah

Kebijakan Pengelola Warisan

Budaya Indonesia di Masa

Mendatangdiakses pada 12 Juni

2014.

ILMIAH

Natawidjaja, Danny Hilman.

2011. Plato Never Lied: Atlantis

is in Indonesia: 139. Jakarta:

BOOKNESIA

The International Dictionary of

Tourism 1953. Monte Carlo: The

International Academy of Tourism.

Wood, Megan Epler. 2002.

Ecotourism: Principles,Practices,

Poicies for Sustainability.Edisi

2002. USA: United Nations

Punlication.

http://id/wikipedia.org/wiki/

SitusGunungPadang

Ilustrasi: Christommy/ARTEFAK

Page 36: Majalah Artefak Edisi 30

36Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

BERITA PENELITIAN

Bharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi Guide Wisata di Candi Borobudur

Peninggalan situs cagar budaya adalah suatu yang dapat memberikan berba-gai manfaat sedikit diantaranya bermanfaat secara ilmu pengetahuan, sosial dan ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa peninggalan situs cagar budaya mempu-nyai nilai eksternalitas yang positif bagi Bangsa dan Negara.Indonesia memiliki

berbagai jenis dan corak cagar budaya serta menyebar di berbagai daerah, potensi untuk dikembangkan dari berbagai aspek masih sangat potensial.Salah satu aspek

yang dapat di kembangkan yaitu aspek pariwisata dan edukasi.

Oleh : M. Hasbiansyah Zulfahri

Bangunan-bangunan

purbakala yang

berasal dari “jaman

purba” terkenal dalam

mulut rakyat dengan nama

“candi” terutama di Jawa.

(Soekmono,2005: 1) Candi adalah

peninggalan arsitektural yang

berasal dari masa klasik Indonesia,

yaitu masa berkembangnya Hindu-

Budha abad ke-5 sampai 15 M.

Tidak terlepas Candi Borobudur,

Candi Borobudur dilihat dari

peradaban dan budaya manusia

dikenal sebagai monument suci

yang terbesar dari umat Budha di

dunia, sehingga candi ini tercatat

sebagi keajaiban dunia dan

mempunyai data-data terlengkap

dibandingkan dengan candi-candi

lain di Indonesia. (Renville, 2002:

39)

Candi Borobudur merupakan

aset situs cagar budaya yang

sangat potensial untuk di

kembangkan. Semenjak candi ini

dijadikan sebagai warisan budaya

dunia (World Cultural Heritage)

Nomor 592 Tahun 1992 oleh

UNESCO. Kunjungan wisatawan

dari tahun ke tahun mengalami

kenaikan. Setiap tahun kunjungan

wisatawan ke Candi Borobudur

sudah mencapai 3.000.000

pengunjung. Sebagai tempat

kunjungan wisata, tentunya

memerlukan sarana dan prasarana

informasi yang memadai untuk

pengunjung. Salah satu bentuk

informasi yang perlu diberikan

kepada pengunjung adalah

informasi tentang makna relief yang

dipahatkan pada dinding candi.

Prasarana dan sarana informasi

tentang relief belum dapat

ditemukan di Candi Borobudur,

Jika pengunjung dipandu oleh

pemandu wisata tentunya akan

mendapatkan informasi tentang

relief. Namun pengunjung yang

datang tanpa pemandu wisata

tentunya tidak akan memperoleh

informasi tentang makna relief

Foto : Hasbi/ARTEFAK

Page 37: Majalah Artefak Edisi 30

37 Media Komunikasi Arkeologi

yang dipahat di dinding candi.

Dengan melihat kenyataan tersebut

maka perlu upaya inovasi untuk

mengembangkan informasi yang

praktis yang dapat diakses dan

dinikmati oleh pengunjung dengan

mudah.

Menurut Kepala Balai

Konservasi Borobudur, Drs Marsis

Sutopo, beliau menyampaikan

bahwa hampir 80% pengunjung

Candi Borobudur membawa

ponsel tak terlepas dengan

ponsel pintar, hal ini belum dapat

dimaksimal oleh pengelolah karena

keterbatasan SDM. Padahal potensi

ponsel pintar sangat besar, terlebih

untuk mengakses pengetahuan

tentang candi.

Dalam Ilmu Teknologi Informasi

terdapat aplikasi yang dinamakan

dengan aplikasi 3D Unity, aplikasi

ini pada dasarnya adalah sebuah

game engine multi fungsi yang

dapat menghasilkan output

diberbagai platform diantaranya

adalah Windows, iOS, Android,

Blackberry 10, Linux, dan

sebagainya. Selanjutnya untuk

menambah nilai manfaat dari

aplikasi ini, kami modifikasi

dengan aplikasi Vuforia platform

yang memungkinkan pengembang

untuk membuat aplikasi berbasis

Augmemted Reality (AR).

Metode yang digunakan dalam

penelitian penerapan teknologi kali

ini yaitu menerapkan Augmented

Reality (AR) sederhana berbasis

android dengan menggunakan

Vuforia Software Development

Kit dan Unity3D sebagai aplikasi

pengolahnya. Hasil dari penerapan

dan modifikasi aplikasi 3D unity,

kami namakan dengan aplikasi

Bharabudhara Smart Temple,

dengan hasil luaran dari penelitian

penerapan teknologi Augmented

Reality (AR) adalah menerapkan

aplikasi 3D unity sebagai tools

yang dapat bermanfaat bagi

pengunjung Candi Borobudur agar

dapat dengan mudah memahami

relief candi dengan output Android.

Aplikasi yang terapkan

pada relief candi Borobudur

selain membantu memudahkan

pengunjung dalam memahami

makna dibalik setiap relief candi

Borobudur dengan menggunakan

smartphone berbasis Android,

juga membantu Balai Konservasi

Borobudur selaku pengelola dalam

hal penyajian system informasi

relief candi. Sehingga sesuai

catatan amanat (World Cultural

Heritage) Nomor 592 Tahun 1992

oleh UNESCO yang mengatakan

bahwasannya pengunjung berhak

mendapatkan nilai lebih dari situs

warisan dunia. Dengan demikian

tentunya aplikasi Bharabudhara

Smart Temple akan sangat

membantu dalam mencapai

amanat UNESCO tersebut.

Luaran lainnya yaitu

mendigitalisasi Candi Borobudur

sebagai upaya dalam kajian

arkeologi publik merupakan impact

penerapan aplikasi Bharabudhara

Smart Temple. Dengan demikian

istilah candi tempat kuno akan

terbantahkan karena pada

kenyatannya benda/situs kuno

dapat berhubungan dengan

teknologi.

Foto : Hasbi/ARTEFAK

BERITA PENELITIAN

Page 38: Majalah Artefak Edisi 30

38Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Bu Anggra, begitu beliau

akrab disapa. Salah satu

dosen terbaik Fakul-

tas Ilmu Budaya UGM

yang dimiliki jurusan Arkeologi

ini mulai tertarik denganArkeologi

sejak kecil.Saat SD, guru Seja-

rah beliau berhasil menceritakan

Sejarah Kuna dengan sangat

menarik. Namun minat itu terhenti

di jenjang pendidikan selanjutnya.

Guru Sejarah beliau tidak sukses

bercerita dengan baik.“Apalagi

pada masa SMA,” jelasnya.Guru

Sejarah beliau menjelaskan ma-

nusia purba dengan singkatan-

singkatan.Bagi beliau, itu tidak

masuk akal. “Tidak make sense,”

katanya.“Mengenalkan manusia

purba dengan namaHomo erectus

misalnya, dan menjelaskan dari

Penggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni, M.A.

“Ngecharge hape!” “Tok!”Bu Anggra memukul meja pelan.“Anak muda sekali”.Be-liau seperti menyayangkan para anak muda yang ditemuinya di Karama. Tidak ada

listrik di sana. Hanya ada sebuah generator. Begitu menyala, seketika anak-anak berebut dengan Bu Anggra yang ingin mencharge laptop dan ponsel demi peker-

jaannya.

Oleh : Umar Hanif Al Faruqy

Foto : Aji/ARTEFAK

SOSOK

Page 39: Majalah Artefak Edisi 30

39 Media Komunikasi Arkeologi

SOSOK

mana asal-usul namanya, bisa

lebih membantu para siswa untuk

membayangkan seperti apa manu-

sia purba dan bagaimana kehidu-

pannya dahulu kala. Guru menjadi

kunci,” tegas beliau.

Kendati demikian, istilah Arke-

ologi tidak beliau dapatkan dari

guru-guru sejarah yang beliau

temui semasa jenjang pendidikan.

Ayahnya lah yang memperkenalkan

istilah tersebut ketika beliau masih

kecil.

Guru, lagi-lagi menjadi alasan

beliau memiliki minat di bidang

Epigrafi saat bangku kuliah.Na-

mun, beliau terkendala bahasa

sumber yang kebanyakan bahasa

Belanda.“Bahasa Belanda saya

nol,” jelasnya.“Sehingga, kalau

saya mendalami epigrafi, saya

harus belajar bahasa Belanda dulu

dan otomatis, menambah lama

studi.Akhirnya, Bu Anggra memilih

untuk mendalami prasejarah.Ala-

sannya, bahasa sumber prasejarah,

adalah bahasa Inggris, dan beliau

mengaku sedikit menguasainya.

Alasan lain, masa prasejarah

adalah masa yang dialami seluruh

masyarakat di dunia. Jadi, mau

ambil studi di negara manapun,

prasejarah akan tetap ada. Berbe-

da dengan klasik dan Islam, selain

tidak semua masyarakat di dunia

mengalami, Bu Anggra juga tidak

mengungkapkan ketertarikannya

pada bidang-bidang itu.

Sampai saat ini, beliau berkec-

impung di dunia Arkeologi, beliau

merasa cukup dan tidak ingin

pindah ke bidang yang lain. Beliau

pun memberikan pandangan-

nya tentang prospek arkeologi di

Indonesia. Menurut beliau, Arke-

ologi bisa menjadi sumber kreativi-

tas bangsa.Masyarakat bisa saja

mengembangkan motif batik,

misalnya, dari artefak-artefak masa

lalu, atau juga bagi para desainer

dan arsitek, juga bisa membantu

mengembalikan identitas-identitas

bangsa Indonesia melalui karya-

karya kreatifnya.

Dan akhirnya, kini Bu Anggra

telah berhasil menjadi seorang

“The real archaeologist”, yang tak

hanya bertugas menggali tanah

dan mengungkap data, tetapi juga

menggali kehidupan dan mengung-

kap kearifan.

Drama di Kalumpang

“Sampai saat ini, apa sih

yang telah Ibu lakukan untuk

arkeologi?”Menjawab pertanyaan

ini, Bu Anggra tertawa sebentar,

kemudian menjelaskan.Selama ini,

beliau lebih fokus di dunia pendidi-

kan.Turun langsung di masyarakat

masih menjadi hal baru untuknya.

Itu pun masih belum intensif sep-

erti arkeolog-arkeolog lain.Sebagai

pendidik atau dosen, beliau turut

melakukan sosialisasi di daerah

penelitiannya,Kalumpang, Sulawesi

Barat.Sebab, melakukan sosialisasi

sudah menjadi kewajiban, salah

satu tri dharma perguruan tinggi,

“pengabdian pada masyarakat”.

Baru saja menginjakkan kaki

di Australia selama tiga minggu

untuk melanjutkan studinya di

The Australian University, beliau

langsung mendapat tawaran untuk

melakukan penelitian bersama

di Kalumpang. Adalah Pak Tru-

man, yang memberi tawaran

tersebut. Dosen beliau di Australia

pun sontak terkejut,sampai harus

melakukan konfirmasi via email,

seolah Ia tak percaya. Sementara

itu, Bu Anggra sedang kebanjiran

ide yang ingin digarap saat peneli-

tian.Beliau benar-benar memahami

latar belakang dan pentingnya

wilayah Kalumpang. Terlebih, saat

itu belum banyak penelitian yang

dilakukan di sana.Proposal peneli-

tian yang hanya dua lembar dan

sekian banyak dokumen keamanan

untuk keluar dari Australia pun

beres dalam tempo yang singkat.

Di Kalumpang, Bu Anggra ber-

sama Pak Truman meneliti hanya

selama dua minggu. Begitu selesai,

beliau langsung kembali ke Aus-

tralia dengan bekal yang sangat

banyak. Sekian besar biaya yang

digelontorkan Fakultasnya untuk

mendanai penelitian itu berbuah

hasil yang sangat manis. Di sana,

beliau tidak hanya sekedar mel-

akukan penelitian dan sosialisasi.

Beliau juga melihat sebuah drama

terjadi.

Drama tersebut dimainkan

oleh masyarakat dan birokrat

pada tahun 2008.Drama tersebut

bercerita, bahwa masyarakat di

Kalumpang terancam direlokasi

oleh pemerintah tingkat provinsi

dengan alasan pembangunan DAM

untuk pembangkit listrik.Rencana

relokasi itu ternyata juga didukung

oleh beberapa investor.Bagi para

arkeolog, ini menjadi satu ancaman

besar.Kalumpang adalah situs yang

sekupnya mencapai internasional.

Benar saja, ketika Bu Anggra me-

lemparkan isu ini di Australia pada

Page 40: Majalah Artefak Edisi 30

40Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

saat beliau mengambil S3, para

arkeolog di sana melihat ini sebagi

ancaman yang sangat besar dan

serius.

Beruntung, masyarakat di sana

juga menolak relokasi tersebut.

Mereka merasa memiliki keterika-

tan yang kuat dengan tanah kela-

hiran mereka.Informasi mengenai

keadaan di sana, selanjutnya Bu

Anggra dapatkan melalui peman-

tauan rekan-rekannya di Makassar.

Drama ini berlanjut hingga ta-

hun 2013. Saat Bu Anggra kem-

bali melakukan penelitian di sana,

suasana sedang ricuh. Masyarakat

sampai mendemo gubernur, meno-

lak pembangunan DAM.

Sebelum melakukan penelitian,

Bu Anggra melakukan sosialisasi

kepada masyarakat Kalumpang.

Beliau menceritakan nilai penting

Kalumpang untuk arkeologi dan

sejarah bangsa Indonesia.Barulah

mereka tersadar, di mana posisi

mereka, nenek moyang mereka,

serta tanah leluhur mereka ini

memiliki sejarah yang luar biasa

panjangnya.

Sebenarnya, ada satu kepala

adat di sana, yang bacaannya luas

dan sudah banyak tahu tentang

penelitian-penelitian arkeologi yang

dilakukan di Kalumpang. Tetapi

selama itu pula, sosialisasi yang

dilakukan rupanya masih sangat

minim.Sehingga, Bu Anggra mera-

sa sosialisasi yang dilakukan pada

saat itu adalah momentum yang

sangat tepat, sehingga masyarakat

dapat tahu persis.Dan mereka

dapat menjadikan arkeologi ini

sebagai tameng tambahan untuk

menolak pembangunan DAM yang

berujung pada ancaman relokasi

tersebut.

Selesai melakukan sosialisasi,

keterlibatan Bu Anggra di tengah

masyarakat Kalumpang belum se-

lesai.Beliau berusaha untuk men-

jembatani berbagai permasalahan

yang ada.Di antaranya, masyarakat

meminta agar para peneliti yang

sembarang masuk mengambil

temuan untuk mengembalikan lagi

temuan-temuannya.Mereka juga

meminta dibangunnya museum

atau pusat informasi di wilayah

Kalumpang. Di antara banyak

masalah itulah, Bu Anggra merasa

punya kewajiban untuk mengawal

dan membantu merealisasikan

harapan-harapan masyarakat, agar

masyarakat Kalumpang memiliki

bukti nyata dan tegas akan be-

sarnya nilai arkeologi di sana. Dari

berbagai permasalahan itulah, Bu

Anggra menjalin keterikatan batin

dengan masyarakat dan daerah

yang beliau pijakkan kakinya, dan

kemudian memperkuat ikatan itu.

Pengetahuan yang Ter-putus

Selain Kalumpang, Bu Anggra

juga melakukan penelitian di dekat

muara sungai Karama, Sulawesi

Selatan. Beliau merasa heran

dengan adanya sebaran temuan

yang mengindikasikan pemukiman

di sepanjang sungai, yang menun-

jukkan masa neolitik hingga logam

awal.Di Karama itulah, beliau

memutuskan untuk tinggal meneliti

selama dua bulan.Waktu dua bulan

jelas bukanlah waktu yang singkat.

Waktu selama itu, membuat Bu

Anggra faham mengenai kondisi

sosial masyarakat di sana. Selama

itu beliau melakukan penelitian,

selama itu pula beliau kembali

membangun keterikatan batin. Se-

lama dua bulan itu beliau menggali

tanahKarama untuk mengungkap

data.Dan selama itu pula beliau

menggali kehidupan masyarakat

untuk mengungkap kearifan.

Wilayah yang Bu Anggra teliti

di Karama, berada di dekat ke-

camatan.Tepatnya berada di Dusun

Pantaraan.Meskipun berada di

dekat kecamatan, tingkat pen-

didikan rata-rata masih lulusan

SD. Sanitasi di sana pun terbilang

buruk. Air sangat tercemar karena

para petani di sanamenggunakan

pestisida dengan ukuran yang

sangat berlebihan. Maklum, para

petani itu rata-rata masih lulusan

SD. Mungkin mereka tidak menger-

ti kadar pestisida yang wajar

seberapa banyak. Gara-gara itu,

Bu Anggra harus terkena serangan

diare sampai dua kali! Penggunaan

pestisida yang terlewat batas itu

juga berdampak pada pohon-pohon

cokelat mereka yang tumbang

keracunan.“Padahal karena tana-

man cokelat itulah dahulu mereka

pernah jadi orang kaya,” jelas Bu

Anggra.

Di muara sungai Karama inilah,

Bu Anggra lagi-lagi menemukan

masalah yang sama dengan apa

yang beliau temukan di Gunung

Kidul.Masalah kearifan lokal mulai

tergusur modernisasi. Kearifan-

kearifan lokal yang dahulu dimiliki

masyarakat di sana mulai terpu-

tus. Kearifan yang selalu diwarisi

SOSOK

Page 41: Majalah Artefak Edisi 30

41 Media Komunikasi Arkeologi

melalui transfer knowledge secara

turun-temurun sejak dulu, kini seo-

lah telah mencapai titk jenuhnya.

Gelombang modernisasi datang

sampai ke desa-desa, merusak

hubungan manusia dengan alam.

Manusia yang dulu mampu be-

radaptasi dengan alam, mulai

berubah menjadi manusia yang

mengeksploitasi alam.

Di sinilah Bu Anggra mene-

kankan agar kita bisa belajar dari

kearifan-kearifan yang masih ada

di tengah masyarakat desa atau

tradisional.Kearifan tersebut, dapat

kita lihat dari bangunan rumah

tradisional misalnya.Rumah-rumah

tradisional lebih banyak mengguna-

kan kayu.Tentunya, bukan semba-

rang kayu. Yang menarik, adalah

bagaimana masyarakat tradisional

itu mendapat pengetahuan ten-

tang kayu seperti apa dan dari

mana kayu yang paling tepat untuk

membangun rumah itu didapat.

“itu kana ada ilmunya,” tegas Bu

Anggra. “Nah itu, kita belajar dari

situ”.Itulah yang membuat Bu Ang-

gramemilih untuk memiliki rumah

yang terbuat dari kayu.Beliau juga

tidak suka dengan rumah yang

terkesan modern.Beliau lebih suka

yang memiliki kesan etnik.

Akan tetapi, ada satu masalah

yang biasanya harus dihadapi para

pemilik rumah kayu, yakni rayap.

Bu Anggra yang membeli kayu dari

para tukang jelas harus berhada-

pan dengan masalah ini. Sebab,

tukang kayu tidak peduli kayu sep-

erti apa yang harus ia jual. “Kalau

kayu muda saja bisa, kenapa harus

yang tua.”Berbeda dengan kayu

yang masyarakat tradisional pilih

SOSOK

Foto : Andi/ARTEFAK

Page 42: Majalah Artefak Edisi 30

42Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

untuk membangun rumah-rumah

mereka.Itu sebabnya, mengapa

rumah mereka bisa bertahan mini-

mal sampai seratus tahun.Ketika

melakukan penelitian itulah, Bu

Anggra berpikir bagaimana beliau

memperoleh kayu seperti itu. “Tapi

ya… apa boleh buat.”

Lain rayap, lain tikus. Bagi Bu

Anggra, tikus benar-benar menjadi

musuh utama. “Karena kucing saya

suka makan tikus tanpa dihabis-

kan, jadi saya fobia terhadap tikus.

Tikusphobia”.Di situ lagi-lagi beliau

melihat masyarakat tradisional

begitu arif.Mereka membangun

pagar atau batas berupa papan

yang melingkar jauh lebih lebar

daripada tiang. Sehingga begitu

tikus memanjat tiang itu untuk

mencapai lumbung padi mereka,

tikus itu akan tertahan oleh papan

itu dan membuat tikus harus mer-

ayap dengan cara terbalik. “Nah itu

kan tidak mungkin.Ini satu kearifan

lokal yang membuat si tikus tidak

bisa memangsa padi.Dan masih

ada banyak kearifan lokal lainnya

yang saya pelajari dari masyarakat

dan arkeologi”.

Akan tetapi, kearifan-kearifan

lokal itu, sekali lagi, terancam ter-

henti. Bu Anggra di Gunung Kidul

melihat orang-orang tua di san-

asudah kehilangan generasi mu-

danya yang memilih pergi ke kota.

Sayangnya, kondisi ini diperparah

dengan orang-orang tua itu yang

juga melihat bahwa pengetahuan

lokal mereka seolah sudah tidak

pas untuk diturunkan lagi kepada

anak-anak mudanya.

Entah apakah karena mereka

hidup sebagai petani, sedang

anak muda di sana sangat sedikit

sekali yang menjadi petani. Ke-

banyakan dari anak muda di sana

memang pergi ke kota, mencari

dan membawa uang yang bisa

dipakai untuk membangun desa

mereka. Padahal, bagaimanapun

juga Gunung Kidul masih mem-

butuhkan anak-anak muda yang

meneruskan menjadi petani, untuk

menerima kearifan-kearifan lokal

yang dimiliki orang-orang tua di

sana.Mereka butuh itu.Gunung

Kidul kini sudah sangat terancam

dengan penambangan besar-besa-

ran.Entah untuk urusan kosmetik

atau bahan bangunan.Entah untuk

infrastruktur atau lainnya.Jika ini

terus dibiarkan, kantong air mereka

bisa menghilang.“Kearifan-kearifan

seperti itu, yang lama-lama meng-

hilang”.

Hal itu berdampak besar.Trans-

fer of knowledge yang terputus me-

nyebabkan anak-anak muda baik

di Gunung Kidul terlebih Karama,

mungkin juga desa-desa lainnya,

kini beralih orientasi kepada duit.

Semuanya adalah tentang duit.

Duit, duit, dan duit! Bu Anggra

melihat itu.Meskipun untuk me-

mastikannya, perlu ada penelitian

lebih lanjut.

Di Karama, misalnya. Meskipun

berada di dekat kecamatan, namun

daerah itu masih tidak ada listrik.

Energi listrik mereka bergantung

pada sebuah generator yang ada

di sana. Generator ini dihidupkan

dengan bahan bakar, yang tentunya

mahal.Sedangkan kualitas ekonomi

mereka sudah menurun akibat

tanaman cokelat mereka yang

mati.Sehingga, Bu Anggra merasa

harus membelikan bahan bakar

generator itu, agar dapat bekerja

dengan baik.

DRRRMM! DRR DRR DRR

TAK TAK TAK… begitu genera-

tor menyala dan terdengar di satu

dusun itu, anak-anak muda di sana

seketika berdatangan “Apa yang

mereka lakukan?” Tanya Bu Anggra

pada kami ketika berbincang den-

gan beliau.Kami bingung.Entahlah,

kami belum pernah melihat hal

seperti itu.“Ngecharge hape!”Bu

Anggra diam sejenak, “Tok!”Bu

Anggra memukul meja pelan.“Anak

muda sekali!”Beliau seperti men-

yayangkan para anak muda yang

ditemuinya di Karama.Tak hanya

duit dan hape, mereka juga mem-

bawa kendaraan, televisi, bahkan

kulkas!Semuanya berlomba-lomba

mendatangkan lambing-lambang

kemajuan. Maju, maju! Semua itu,

mereka persembahkan untuk diri

mereka, orang tua mereka, mung-

kin juga untuk desa mereka.

Dengan listrik yang hanya

ditanggung sebuah generator itu,

nyatanya kulkas yang mereka bawa

tidak berfungsi sama sekali. Tel-

evisi mungkin masih bisa menyala.

Bu Anggra melihat bagaimana

televisi di sana berubah menjadi

primadona di desa. Sejak tel-

evisi masuk ke sana. Tak ada lagi

tradisi bercerita di waktu senggang,

menyambung kearifan yang telah

lama diwariskan.Semuanya lebih

memilih datang menonton televisi.

Yang menampilkan gambar-gambar

hidup bernama sinetron. Mereka

melihat adegan si kaya dan si

miskin di kota. Televisi, berhasil

menjadi guru mereka.

SOSOK

Page 43: Majalah Artefak Edisi 30

43 Media Komunikasi Arkeologi

Keadaan seperti itu akan

sangat berisiko terutama bagi

kehidupan anak-anak kecil di

sana. Bu Anggra merasa harus ada

pemantik untuk kembali menyala-

kan api kearifan lokal. Transfer

of knowledge harus dibangun

kembali. Beliau berharap agar

orang-orang luar bisa membantu

mengembalikan itu semua dengan

meningkatkan kualitas pendidikan

di sanadan mengajarkan kepada

anak-anak agar senang membaca.

Bahkan, beliau pun tertarik untuk

mengajak calon sarjana, mel-

akukan pengabdian berupa KKN

(Kuliah Kerja Nyata) di sana. “Ya…

siap-siap bawa obat yang banyak”.

Beliau mengatakan itu sambil

tersenyum.Kami pun ikut terseny-

um. Dalam hati, kami bergumam,

Aduh! Harus-harus siap diare

berkali-kali ini.Anda berminat?

SOSOK

Foto : Andi/ARTEFAK

Page 44: Majalah Artefak Edisi 30

44Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

RESENSI BUKU

Ekskavasi di halaman Candi Mendut berlangsung selama sepekan. ada sepuluh kelompok penggali dan lebih dari dua belas kotak diekskavasi. dengan jumlah sebanyak itu, halaman Candi Mendut terlihat ramai dan padat.

Traffic Jam in Excavation

Page 45: Majalah Artefak Edisi 30

45 Media Komunikasi Arkeologi

Ekskavasi di halaman Candi Mendut berlangsung selama sepekan. ada sepuluh kelompok penggali dan lebih dari dua belas kotak diekskavasi. dengan jumlah sebanyak itu, halaman Candi Mendut terlihat ramai dan padat.

Traffic Jam in Excavation

Foto : Andi/ARTEFAK

Page 46: Majalah Artefak Edisi 30

46Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Ekskavasi yang dilakukan

berlangsung selama lima hari

pada tanggal 21-25 April 2014

dengan melibatkan 9 orang dari

Balai Konservasi Borobudur,

1 orang dari Balai Arkeologi

Yogyakarta, 3 orang dari Jurusan

Arkeologi UGM, dan 8 tenaga

lokal. Penggalian dilakukan di

sisi Utara, Barat, dan Tenggara

Candi Mendut. Di dalam ekskavasi

ekskavasi ini bertujuan untuk

menambah data arkeologis

Candi Mendut yang hingga

saat ini masih minim data-data

arkeologi. Dari beberapa literatur

menyebutkan bahwa Candi

Mendut dulunya berbahan batu

bata yang kemudian ditutupi

dengan batu andesit seperti yang

terlihat saat ini.

Berawal dari laporan juru

pelihara Candi Mendut yang

menemukan temuan bata di

halaman utara candi ketika

melakukan penggalian kolam,

maka Balai Konservasi Borobudur

melakukan ekskavasi di beberapa

titik zona 1 Candi Mendut.

Selain menanggapi laporan

dari juru pelihara Candi Mendut,

Ekskavasi di Halaman Candi Mendut, Magelang

Foto : Umar/ARTEFAK

Oleh : Fatma Yunita

DARI LAPANGAN

Page 47: Majalah Artefak Edisi 30

47 Media Komunikasi Arkeologi

DARI LAPANGAN

terdiri atas 5 orang tenaga lokal,

10 orang mahasiswa, dan 2 orang

dosen pebimbing dari jurusan

Arkeologi UGM.

Selama proses penggalian,

tim belum menemukan adanya

struktur candi yang menandakan

bahwa di situs tersebut telah

berdiri suatu candi. Tim hanya

menemukan reruntuhan batuan

candi dan beberapa antefik.

Menurut Kepala Kelompok

Kerja (Kapokja) Pengamanan,

rumah mantan lurah desa itu.

Laporan tersebut baru

ditanggapi oleh pihak BPCB

pada bulan April 2014 karena

mereka terlebih dahulu melakukan

peninjauan lokasi dan membuat

pemetaan untuk ekskavasi

penyelamatan. BPCB bekerjasama

dengan jurusan Arkeologi UGM

melakukan ekskavasi yang dimulai

dari tanggal 28 April hingga 09

Mei 2014. Proses penggalian

sendiri menggunakan 17 tenaga,

Ekskavasi situs Tegalweru

berada di area persawahan milik

seorang warga Dusun Tegalweru,

Desa Sariharjo, Kecamatan

Ngaglik, Kabupaten Sleman.

Kegiatan ekskavasi itu dilakukan

karena pada bulan Januari lalu

pemilik tanah melapor ke kantor

Balai Pelestarian Cagar Budaya

(BPCB) Yogyakarta bahwa ia

mengaku menemukan arca di

tanahnya pada tahun 1964 dan

kini arca tersebut disimpan di

Ekskavasi Situs Tegalweru

keramik.

Temuan-temuan tadi

memunculkan berbagai

interpretasi dan pertanyaan-

pertanyaan besar. Bahkan hingga

artikel ini ditulis, Balai Konservasi

Borobudur dan Tim Arkeolog pun

belum dapat mengasosiasikan

temuan. Maka dari itu diperlukan

pengkajian secara mendalam dan

penelitian lebih lanjut.

Setelah masa pelatihan

berakhir, kotak galian ditutup

sementara dikarenakan halaman

candi akan digunakan sebagai

tempat perayaan hari raya Waisak,

Kamis, 15 Mei 2014. Selanjutnya

ekskavasi akan dilanjutkan

kembali oleh Balai Konservasi

Borobudur setelah hari raya

Waisak.

bagian dari candi perwara

Mendut. Struktur tersebut

berada di halaman dengan jarak

sekitar 20 meter dari sisi Utara

bangunan utama Candi Mendut.

Menurut Kepala Balai Konservasi

Borobudur, Marsis Sutopo,

mengatakan bahwa sisa-sisa

batu candi yang bukan bagian

dari Candi Mendut dan selama

ini tersimpan di halaman candi

diindikasikan merupakan bagian

dari candi perwara Mendut.

Selain struktur lantai,

ditemukan pula susunan batu-batu

bolder dan lapisan pengerasan

tanah yang bercampur dengan

hancuran bata merah. Temuan ini

termasuk fitur artifisial yakni fitur

yang dibuat oleh manusia dengan

sengaja. Pada penggalian kali ini

ditemukan temuan artefaktual

seperti fragmen gerabah dan

tersebut ditemukan struktur bata

yang memanjang sejajar dengan

Candi Mendut.

Ekskavasi yang sudah

dilakukan itu dilanjutkan oleh

mahasiswa Jurusan Arkeologi

UGM yang sedang melakukan

pelatihan ekskavasi. Pelatihan

diikuti oleh 53 mahasiswa dan 4

orang dosen pendamping selama

satu minggu dimulai dari tanggal

24 April 2014 hingga 30 April

2014. Para mahasiswa dibagi

menjadi 10 kelompok yang

masing-masing kelompok terdiri

dari 5-6 orang.

Dari hasil pelatihan ekskavasi,

mereka menemukan struktur

lantai yang terbuat dari batuan

desit diduga merupakan bagian

dari bangunan pendukung Candi

Mendut. Ada kemungkinan

temuan baru itu merupakan

Oleh : Fatma Yunita

Page 48: Majalah Artefak Edisi 30

48Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

tahun lalu.

Di dalam melakukan kegiatan

tersebut, tim mengalami kendala

karena banyaknya air pada

lubang galian sehingga sulit

mengangkat batuan candi ke

permukaan. Hal tersebut terjadi

Penyelamatan, dan Zonasi BPCB

DIY, M. Taufik, temuan situs ini

diduga pernah berdiri sebuah

candi. Namun beliau juga tidak

menampik kemungkinan batuan

candi terbawa oleh arus lahar

dingin erupsi Merapi ratusan

Foto : Fatma/ARTEFAK

Foto : Fatma/ARTEFAK

DARI LAPANGAN

karena lokasi situs berada di area

persawahan. Meskipun begitu

kegiatan ini dapat dilalui sampai

akhir kemudian ketika proses

penggalian berakhir, hasil temuan

didokumentasikan dan setelahnya

lubang galian ditutup kembali.

Page 49: Majalah Artefak Edisi 30

49 Media Komunikasi Arkeologi

terbangun dari tidur pulasmu

mungkin engkau ingin menikmati udara

serta hiruk pikuk abad ini

kami singkapkan selimut hangatmu

selimut lahar yang menjagamu

rupamu pun mulai terlihat

cermin kejayaan Mataram

ditemani tiga perwara setia

bersama gelang pagarmu

kau tunjukkan kemegahanmu

untuk sebentar,

untuk dikagumi

untuk bahan intepretasi

untuk sebentar,

untuk diteliti

untuk sebentar, ya untuk sebentar

usiamu yang semakin renta

mungkin tulangmu mulai rapuh

tak kuat menahan terjangan hujan

tak tahu berapa lama

bertahan dari sinar surya

yang menjadi tenda di waktu siang

Candi SambisariOleh : M. Wahyu Sholihudin

PUISI

Foto : Aji/ARTEFAK

Page 50: Majalah Artefak Edisi 30

50Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Peristiwa yang terjadi

pada masa lalu yang

ingin dimaknai ke dalam

penguatan jati diri

bangsa sekarang memang tidaklah

mudah. Hal ini disebabkan oleh

perbedaan waktu yang menjadi

penghambatnya. Sehingga perlu

adanya pemaknaan lebih untuk

persitiwa masa lalu agar menjadi

pelajaran baik untuk masa kini

atau pun masa mendatang.

Judul buku : Arkeologi Untuk Publik “Peranan Arkeologi dalam Pembangunan Jati Diri dan Karakter Bangsa”

Penulis : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia

Penerbit : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia

Cetakan : 2012

Tebal : 824 halaman 39-74

Arkeologi untuk PublikOleh : Hera Indry

Foto : Aji/ARTEFAK

RESENSI BUKU

Page 51: Majalah Artefak Edisi 30

51 Media Komunikasi Arkeologi

memahami akan arti pentingnya

pelestarian tinggalan arkeologi yang

semuanya itu akan bermanfaat

bagi kehidupan manusia.

Selain itu dalam buku ini

juga dijelaskan tentang Ida Bang

Hyang yang terampil, bijak dan

suka berkorban. Pribadi tersebut

penting untuk menguatkan jati diri

bangsa dengan sikap personalnya

itu

Belajar dari tulisan tersebut

kita dapat melihat bahwa ilmu

arkeologi dapat mengungkap

beberapa makna yang terdapat

pada tinggalan, makna dari

tinggalan yang memiliki arti

tentang pentingnya penguat jati diri

dan karakter bangsa. Penjelasan

yang singkat namun detail bagi

kalangan umum.

Pemaknaan dalam konteks

penguatan jati diri bangsa salah

satunya ialah tiga arca naga yang

tersimpan di Goa Raja Besakih.

Naga atau ular adalah simbol

bumi yang dimaknai sebagai

simbol kesuburan kemudian

dikaitkan dengan Raja Naga

Tiga: Hyang Anantaboga, Hyang

Basuki dan Hyang Taksaka atau

dewa-dewa kesuburan. Para dewa

menciptakan baik buruk jagat raya

dari Gunung Mahameru. Gunung

ini dililit oleh Sang Hyang Naga

Tiga yang merupakan dewa-dewa

Trimurti yang pada hakikatnya

merupakan Siwa sebagai sumber

kesejahteraan. Sumber-sumber

kesejahteraan yang melimpah ruah

itu juga perlu adanya kepribadian

khusus untuk mengolahnya. Hal

tersebut menerangkan bahwa

sumber daya yang ada juga harus

dioleh demi adanya kesejahteraan.

Kontribusi arkeologi dalam

pembangunan karakter dan jati diri

bangsa, ditunjukan pada penelitian

yang dilakukan di Jawa Timur

tentang permukiman di kawasan

danau-danau sebagai salah satu

sumber daya yang ada. Terdapat

tiga pengelompokan di danau,

pengelompokan ini dikaitkan

dengan pola perilaku masyarakat

sekarang dalam mengelola

lingkungan alamnya. Dari

penelitian ini dapat bermanfaat

bagi kehidupan manusia, karena

dapat mengetahui tentang

pentingnya menjaga dan merawat

lingkungan alam. Pengelolaan

sumberdaya arkeologi ini akan

melibatkan peran masyarakat

sekaligus masyarakat akan cepat

Foto : Aji/ARTEFAK

RESENSI BUKU

Page 52: Majalah Artefak Edisi 30

52Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

Pembersihan dilaksanakan di

Candi Garuda depan Candi Siwa,

di bagian tubuh candi sampai

pagar dan keliling candi.

Dikatakan ketua kegiatan

Aris Setyawan dari PT Kawan

Lama DIY, pembersihan candi

menggunakan alat semprot

bertekanan cukup tinggi. Untuk

penyedotan debu digunakan

vacum S3 cfm yang didatangkan

dari Jakarta.

Pembersihan Candi

Garuda, Sabtu (22/2)

dilaksanakan secara berhati-

hati, dengan metode yang benar

sehingga abu yang ada dicelah-

celah batu bisa tersapu bersih.

Seperti dikatakan petugas dari

BPCB DIY, abu yang masuk

dicelah-celah batu candi akan

berakibat fatal bagi kekuatan

susunan batu candi.

(Isw)-f

namun juga pihak swasta seperti

PT Kawan Lama Sejahtera

Peduli Bencana. Dengan

mengerahkan sejumlah petugas,

PT Kawan Lama ikut membantu

membersihkan abu vulkanik yang

menempel di Candi Prambanan,

Sabtu-Senin (22-24).

Sedangkan petugas dari

Balai Pelestarian Cagar Budaya

(BPCB) DIY juga ikut membantu.

PRAMBANAN (KR) - Untuk

menggairahkan kembali

kunjungan wisata di Candi

Prambanan, setelah sempat

ditutup untuk umum karena abu

vulkanik Gunung Kelud, hingga

Sabtu (22/2) kompleks wisata

candi tersebut masih dilakukan

pembersihan.

Pembersihan candi tak

hanya dilakukan pengelola,

itu setelah kita punya cetak biru

dan rencana aksi,” kata Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

saat meninjau Situs Gunung

Padang di Desa Karyamukti

Kecamatan Cempaka Kabupaten

Cianjur Jawa Barat, Selasa (25/2).

Eropa, Tiongkok, dan lain-lain.

“Ini tentu sesuatu yang

luar biasa di mata mereka. Saya

berprinsip dan berpendapat kita

buat dulu cetak biru. Kemudian,

kalau mereka ingindatang,

menyaksikan atau apapun, semua

CIANJUR (KR) – Melihat

usianya, Situs Megalithikum

Gunung Padang akan banyak

menarik perhatian peneliti asing.

Apalagi situs ini dikaitkan dengan

situs serupa di banyak Negara

di Amerika Latin, Timur Tengah,

Abu Vulkanik di Candi Garuda Dibersihkan

Situs Gunung Padang Terbesar di Asia Tenggara

GUNTINGAN RINGAN

Page 53: Majalah Artefak Edisi 30

53 Media Komunikasi Arkeologi

Situs Gunung Padang akan

menjadi ikon sejarah warisan dan

wisata, sekaligus menghormati

leluhur. Penelitian akan bisa

memugar kembali menjadi original

site dan temuan-temuan yang

mungkin bisa lebih melengkapi

lagi, seperti kisah pemugaran

Candi Borobudur.

Dari hasil penelitian Tim

TPRM, Situs Gunung Padang

berusia lebih dari 10.000 tahun

sebelum Masehi. Luas kompleks

bangunan kurang lebih 900 m2

dan berada di areal seluas 3

hektare. Hal ini menjadikan Situs

Gunung Padang merupakan situs

punden berundak terbesar di Asia

Tenggara.

(Sim)-d

Kemudian, kita lakukan penelitian

lanjutan dan nanti pemugaran,”

tuturnya.

Tim Terpadu Riset Mandiri

(TPRM) Situs Megalith Gunung

Padang telah bekerja sejak 2011.

Dimulai dengan membentuk tim

peneliti katastrofi purba untuk

melakukan penelitian lebih

lanjut tentang situs megalith ini.

Presiden akan mengeluarkan

Keputusan Presiden (Keppres)

dan Peraturan Presiden (Perpres)

untuk memperjelas organisasi

pemugaran situs megalitik

tersebut. Keppres dan Perpres

tersebut juga mengatur penetapan

area penelitian, pembagian tugas

dan tanggung jawab anggaran,

serta logistik yang diperlukan.

Ditambahkan, penggalian

Keterlibatan pihak

asing dalam penelitian, sejauh

membawa manfaat, sah-sah saja.

Namun, Presiden mengingatkan,

hendaknya prioritas untuk putra-

putri bangsa. Mengingat situs

ini sudah lama diketahui publik,

menjadi tanggung jawab peneliti

untuk melakukan pemugaran

sampai tuntas. “Jangan hanya

business as usual, melainkan

harus ada percepatan-percepatan

dan tentunya dengan tidak

menghilangkan kehati-hatian,”

ujarnya.

Presiden berharap

dukungan semua pihak, termasuk

masyarakat local, sehingga tim

bisa bekerja optimal. “Mudah-

mudahan dalam satu-dua

bulan ini maksimal, sudah bisa

kita tetapkan (kebijakannya).

pemeriksaan di laboratorium BKB

di batangan logam tersebut tidak

mengandung unsur emas atau Au

(aurum). Tetapi, untuk hasil resmi

masih menunggu surat dari BKB,”

kata Joko.

Seperti diketahui

sebelumnya pada pertengahan

Januari 2014 ada penemuan peti

berisi 28 batang logam batangan

mirip emas di Pantai Glagah.

Pada setiap logam tertulis tahun

1945, gambar dunia dan gambar

Presiden RI pertama, Ir Soekarno.

Kepurbakalaan (Sepur), Singgih

Hapsoro yang ditemui di ruang

kerjanya, Rabu (26/2).

Dikatakan, 3 dari 28

logam batangan untuk dilakukan

penelitian di BKB Magelang.

Disbudparpora masih menunggu

surat resmi dari BKB. Dari

hasil deteksi peralatan yang

digunakan di laboratorium pada

logam batangan tersebut tidak

mengandung unsur emas.

“Beberapa pegawai Bidang

Kebudayaan dapat melihat hasil

WATES (KR) – Balai

Konservasi Borobudur (BKB)

Direktorat Jenderal Kebudayaan,

Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan yang melakukan

penelitian di laboratorium

terhadap penemuan logam

batangan di Pantai Glagah

memastikan bukan emas.

Hal tersebut disampaikan

Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas

Kebudayaan Pariwisata Pemuda

dan Olahraga (Disbudparpora)

Kulonprogo, Joko Mursito dan

Kepala Seksi Sejarah dan

Penelitian Balai Konservasi BorobudurLogam Temuan Bukan Emas

GUNTINGAN RINGAN

Page 54: Majalah Artefak Edisi 30

54Edisi 30 | Volume 1 | November 2014

batangan bertuliskan tahun 1945

apakah dapat dikategorikan benda

cagar budaya atau tidak. “Untuk

menentukan membutuhkan

penelitian lebih lanjut,”

tambahnya.

(Ras)-b

karun tidak terbukti. Menurutnya,

dalam logam batangan tersebut

mengandung unsur besi (Fe),

tembaga (Cu), seng (Zn), timah

(Sn), atau Cu 55, Nikel (Ni),

antimon (Sb) dan sejumlah

kandungan lain.

Dijelaskan, Disbudparpora

masih akan mendalami logam

Singgih Hapsoro

mengatakan untuk mengetahui

kepastian kandungan dalam

logam batangan tersebut,

Disbudparpora meminjam tiga

batang logam untuk diteliti di BKB

Magelang. Dari hasil penelitian di

laboratorium menunjukkan dugaan

logam batangan tersebut harta

pertitaan, yakni sumber ait atau

tempat pemandian. “Tim akan

berada di lapangan untuk meeliti

dan mengambil data hingga 8

April nanti,” ujarnya.

Agustijanto menambahkan,

jika prasasti tersebut berasal

dari daerah periode 760 Masehi

dan ada struktur bangunan di

dekatnya, maka bisa digolongkan

bangunan tua. Berdasarkan data,

prasasti tertua adalah Prasasti

Canggal di Magelang, ada tanda

penanggalan 732 Masehi. “Di

bandingkan dengan prasasti

Canggal yang hanya berjarak

sekitar 20 hingga 40 tahun,

maka bisa dikatakan cukup tua di

periodisasi Syailendra,” ujarnya

Pamong Budaya Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupaten Semarang Tri Subekso

mengaku telah memberikan

pengertian kepada warga dan

tokoh masyarakat sekitar lokasi

ekskavasi. (agus joko)

khususnya di wilayah pantai utara

Jawa. Penelitian dimulai dari

kabupaten Tegal, Pekalongan,

Batang hingga Kabupaten

Semarang. “Di Kabupaten Batang,

tepatnya di wilayah Gringsing,

selama dua minggu di sana

sempat menemukan petirtaan dan

jalan tembus ke dieng,” ucapnya.

Benda-benda di Tuntang

tersebut bermula dari temuan

sebuah prasasti tak jauh dari

lokasi ekskavasi saat ini. Tmuan

prasasti bertuliskan angka 685

Saka atau sekitar 760 Massehi

tersebut memberikan petunjuk

adan adanya peradaban lampau

di Ngreco. Tim arkeolog tengah

melakukan penelitian lebih lanjut

untuk memastikan benda-benda

di Ngreco merupakan peninggalan

abad ke-7.

Termasuk meneliti jejak

jaladwara. Pasalnya, batu panjang

yang merupakan gugusan saluran

air dengan hiasan fragmen

tertentu ini mengindikasikan ada

UNGARAN-Tim gabungan

arkeologi menemukan sejumlah

benda kuno dan artefak yang

diduga peninggalan peradaban

masyarakat dari abad ke-7 Masehi

di wilayah Dusun Ngreco, Desa

Kesongo, Kecamatan Tuntang.

Benda purbakala berupa

batu bata, pecahan gerabah, dan

jaladwara ditemukan tim ahli

gabungan dari Pusat Arkeologi

Nasional, Jakarta bersama Balai

Arkeologi UGM Yogyakarta,

Geomorfologi ITB Bandung,

serta Pusat Kebudayaan Prancis

di Jakarta. “Melihat temuan

ini, berarti di sini sebelumnya

ada peradaban. Ada batuan

candi (batu bata), pecahan

dan jaladwara,” ujar ketua tim

dati Pusat Arkeologi Nasional

Agustijanto Indradjaja kemarin.

Menurut Agustijanto,

temuan di Tuntang tersebut

merupakan rangkaian penelusuran

ahli arkeologi atas jejak

kebudayaan era dinasti Syailendra,

Artefak Abad ke 7 Ditemukan di Tuntang

GUNTINGAN RINGAN

Page 55: Majalah Artefak Edisi 30

55 Media Komunikasi Arkeologi

Foto : Aji/ARTEFAK

Page 56: Majalah Artefak Edisi 30

56Edisi 30 | Volume 1 | November 2014