Majalah Artefak Edisi 30
-
Upload
hima-fib-ugm -
Category
Documents
-
view
320 -
download
19
description
Transcript of Majalah Artefak Edisi 30
1 Media Komunikasi Arkeologi
artefakMEDIA KOMUNIKASI ARKEOLOGI
Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014 | ISSN 0215-6342
Moko : Produk Lokal untukPemenuhan Kebutuhan
10Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid
12Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik
Indonesia15
Berita PenelitianBharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi
Guide Wisata di Candi Borobudur36
Mereproduksi Nilai Candi20Dampak Keberadaam Kawasan Karst Maros-Pangkep Terkait Masyarakat Ssekitar23Wisata Educotourism: Upaya Pelestarian Situs Gunung Padang, Jawa Barat28
SosokPenggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni,M.A.38
Dialog Ilmiah
2Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Pelindung: Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM | Penasihat Ilmiah: Fahmi Prihantoro, S.S., S.H., M.A. | Penanggung Jawab: Ketua Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya UGM | Pemimpin Umum: Umar Hanif Al Faruqy | Pemimpin Redaksi: Safitri Setyowati | Staf Redaksi: Asror Fikri Hagaspa, Elfani Warasti Dewi, Eugenius Olafianto, Fatikhatus Sholikhah, Fatma Yunita, Hera Indry, Hisar Agustinus Sinambela, Umar Hanif Al Faruqy | Editor: Fatma Yunita | Kepala Produksi dan Artistik: Siswanto | Staf Produksi dan Artistik: Ahmad Noor Aji Kesuma, Arief Muunandar, Christommy Martotama Sasabana,
Mathilda Chandra R | Kepala Distribusi dan Promosi: Sugiarto Hadinata
Majalah Artefak diterbitkan oleh: Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada | Alamat Redaksi: Sekretariat Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia | Email: [email protected]
Edisi 30 | Volume 1 | November 2014 | ISSN 0215-6342
Moko : Produk Lokal untukPemenuhan Kebutuhan
10Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid
12Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik
Indonesia15
LepasCatatan Nusantara
17
Berita PenelitianBharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi
Guide Wisata di Candi Borobudur
36
PuisiCandi Sambisari
49
Resensi BukuArkeologi untuk Publik
50
Mereproduksi Nilai Candi20Dampak Keberadaam Kawasan Karst Maros-Pangkep Terkait Masyarakat Ssekitar23Wisata Educotourism: Upaya Pelestarian Situs Gunung Padang, Jawa Barat28
SosokPenggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni,M.A.38
Dari LapanganEkskavasi di Halaman Candi Mendut, Magelang46Ekskavasi Situs Tegalweru47
Guntingan RinganAbu Vulkanik di Candi Garuda Dibersihkan52Situs Gunung Padang Terbesar di Asia Tenggara52Logam Temuan Bukan Emas53Artefak Abad 7 Ditemukan di Tuntang54
Dialog Ilmiah
DAFTAR ISI
3 Media Komunikasi Arkeologi
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Majalah Artefak ini dapat diterbitkan.
Saat ini artefak hadir kembali dengan sajian tema yang lebih luas. Pada edisi kali ini artefak mengambil tema Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi. Pantauan terhadap Indonesia dilakukan khususnya dengan pendekatan arkeologi sebagai ilmu yang membahas benda atau budaya materi pada masa lampau dan hubungannya dengan manusia pendukungnya sehingga dapat membahas Indonesia baik berawal dari masa lampau atau pun dari masa kini ditarik atau dicari ‘tali ikat’ di masa lampau. Tema yang diambil tersebut terasa lebih luas karena terkait dengan munculnya kembali artefak setelah beberapa periode tidak terbit. Kami berharap majalah ini dapat bermanfaat dan menampah pengetahuan dengan bahasan yang sesuai untuk semua kalangan, baik mahasiswa maupun kalangan umum.
Kemudian untuk rekan-rekan arkeologi, kami sangat mengharapkan kehadiran dan partisipasinya untuk ikut berkiprah menjaga kelangsungan hidup artefak dan sekaligus menuangkan kreatifitas serta ide-ide baru. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang memberikan dukungan dan bantuan demi terbitnya artefak. Selanjutnya tak ada gading yang tak retak, kami menyadari masih banyak beberapa sisi yang kurang sesuai sehingga kami mengharapkan berbagai kritik, masukan dan saran yang membangun agar artefak periode selanjutnya dapat terbit dengan lebih baik lagi.
Salam Redaksi
DARI KAMI
Ilustrasi: Muunandar/ARTEFAK
4Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Memantau negeri pertiwi bernama Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan berbagai macam peralatan. Salah satunya, adalah dengan menggunakan teropong bernama Arkeologi. Dengan menggunakan Arkeologi, Indonesia dapat dipantau perbandingannya, perkembangannya, dan perubahannya dari dulu hingga sekarang. Melalui tinggalan-tinggalan budaya seperti moko, masjid, dan prasasti, sebagian sisi dari Indonesia dapat dibandingkan antara wajah dulunya dan wajahnya hari ini.
Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi
5 Media Komunikasi Arkeologi
Memantau negeri pertiwi bernama Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan berbagai macam peralatan. Salah satunya, adalah dengan menggunakan teropong bernama Arkeologi. Dengan menggunakan Arkeologi, Indonesia dapat dipantau perbandingannya, perkembangannya, dan perubahannya dari dulu hingga sekarang. Melalui tinggalan-tinggalan budaya seperti moko, masjid, dan prasasti, sebagian sisi dari Indonesia dapat dibandingkan antara wajah dulunya dan wajahnya hari ini.
Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi
Foto : Arief/ARTEFAK
6Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
arkeologi.
Arkeologi sebagai teropong untuk melihat sesuatu yang sulit dijangkau, sulit terbayangkan, dan bahkan belum pernah terfikirkan sebelumnya. Pantauan arkeologi terhadap Indonesia mengenai masa lampau, bahkan ratusan tahun yang lalu kemudian dikaitkan
FOKUS
Arkeologi Sebagai Teropong Oleh : Safitri Setyowati
satu kali pandangan, membutuhkan berulang kali pandangan secara berkelanjutan untuk benar-benar memahami Indonesia yang pulaunya berjumlah ribuan. Menilik Indonesia dari masa lampau merupakan salah satu hal yang menarik untuk diambil pelajaran lebih lanjut dengan teropong
Foto : Aji/ARTEFAK
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan masing-masing pulau yang terhubung perairan. Setiap
pulau memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing sehingga menarik untuk diketahui lebih lanjut. Memantau Indonesia dari setiap pulau tidak hanya menggunakan
7 Media Komunikasi Arkeologi
terhadap kejadian yang ada sekarang ini. Masa lampau Indonesia yang secara umum bermula dari masa prasejarah mempunyai hal-hal yang menarik untuk dikenali dan dipelajari lebih lanjut untuk menjadi bahan ajar kehidupan di masa ini agar kehidupan saat ini menjadi lebih baik dan tidak mengulang berbagai kesalahan di masa lampau. Berbagai kejadian menarik masa lampau tersebut dapat ditarik kesinambungan dengan kehidupan saat ini, dapat pula sebagai perbandingan, serta lebih baik dapat diambil solusi dan manfaat dari kejadian masa lampau untuk kehidupan masa kini.
Di dalam menempuh kehidupan terkadang ada beberapa peristiwa sejenis yang terjadi berulang, ada yang dalam kondisi sama ada pula dalam kondisi yang lebih baik; selalu ada perbaikan disetiap kekurangannya atau bahkan sebaliknya. Kejadian yang terjadi di Indonesia pun juga demikian, peristiwa yang terjadi di masa lampau ada yang terulang lagi di masa kini dengan berbagai persamaan dan banyak perbedaannya karena waktu dan pertumbuhan itu selalu berjalan seiring. Kejadian politik di Indonesia misalnya di masa lampau dengan sistem politik di dalam kerajaan sedangkan sekarang sistem politik demokrasi namun ada kesamaan salah satunya ialah masih adanya perbuatan
korupsi yang melekat pada sistem pemerintahan yang sulit untuk dibersihkan.
Kemudian selain mengenai persamaan dan perbedaannya, kehidupan yang ada di masa sekarang ini juga hadir karena adanya masa lampau. Adanya kesinambungan hidup baik dari segi budaya, teknologi dan segi kehidupan lainnya. Hal itu berlaku terhadap bangunan peribadatan pada masa klasik (Hindu Budha) yang berbentuk meru meniru bentuk gunung. Arsitektur bangunan tersebut mengalami keberlanjutan ciri arsitektur pada masa Islam yang juga pada bangunan peribadatannya. Masjid pada masa-masa awal Islam di Indonesia dijumpai arsitektur masjid dengan bentuk arsitektur atap tumpang yang merupakan kesinambungan budaya dengan masa sebelumnya. Kesinambungan berupa materi budaya juga terjadi terhadap salah satu benda, yaitu moko sebagai benda yang dulu digunakan pada masa lampau saat masa berkembangnya logam dan tetap dipergunakan dibeberapa tempat di Bali dan wilayah Indonesia timur sekarang. Kesinambungan budaya yang berlangsung itu akan lebih bernilai jika di setiap perjalanannya diambil pelajaran yang terjadi.
Berbagai perjalanan hidup terutama yang sudah terjadi di masa lampau dapat diambil pelajaran untuk menentukan
langkah kehidupan di masa yang akan datang sehingga menjadi solusi untuk permasalahan yang terjadi saat ini agar kesalahan yang terjadi di masa lampau tidak terulang lagi dan dapat tertangani dengan lebih baik. Permasalahan salah satunya dalam mengahadapi berbagai bencana alam, dapat melihat kejadian masa lalu yang dapat menangani bencana dengan baik, misalnya terkait arsitektur bangunan masa lampau yang disesuaikan dengan daerah yang rawan mengalami gempa sehingga dengan berbagai inovasi dapat disesuaikan dengan apa yang terjadi saat ini.Akhirnya, ‘Memantau Indonesia dari Teropong Arkeologi’ mempunyai sudut ketertarikan tersendiri dengan memantau negara kita yang mempunyai ciri dan kekhasan yang melekat kemudian diteropong dengan ilmu arkeologi, ilmu yang dapat menceritakan bagaimana masa lalu, rekonstruksi budaya, dan perubahan budaya dari budaya material yang ada. Mengingat hal tersebut, maka tulisan yang tersaji dalam setiap lembaran ini dapat menjadi acuan untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan masa lampau terkait masa kini di Indonesia, kesinambungannya dan solusi bagi permasalahan yang ada sehingga teropong arkeologi dapat melihat segala sesuatunya menjadi semakin bermakna.
FOKUS
8Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
merupakan “thermometer” yang
dipengaruhi lingkungan sekitarnya,
melainkan mahasiwa merupakan
“thermostat” yang bisa mengubah
lingkungan sekitarnya. Jika
mahasiswa tidak bisa menjadi
tolak ukur, maka suatu negara
akan menuju kehancuran sebab
tidak ada yang menjadi kontrol
dalam sistem tersebut. Selain
itu mahasiswa juga merupakan
penjaga nilai-nilai, dimana
bertugas dalam menjaga nilai-
nilai dan norma-norma yang ada
di masyarakat. Mahasiswa harus
menjadi penjaga nilai-nilai luhur
bangsa sehingga nilai-nilai tersebut
tidak terkikis seiiring kemajuan
zaman, tetapi tetap dipertahankan
dan diwariskan secara turun
menurun.
Sungguh mahasiswa memiliki
peranan yang begitu berat, satu
dari segi akademis dan satu lagi
dari sisi non akademis. Dua hal
ini harus berjalan seimbang,
sebab jika hanya memikirkan
dari non akademis, maka apa
Masyarakat Sipil TerpelajarOleh : Asror Fikri Hagaspa
harus diimplementasikan. Tanpa
pengimplementasian, potensi-
potensi tersebut menjadi sia-sia,
seperti seorang anak elang yang
mempunyai potensi untuk terbang
tinggi, tetapi ia hanya mau di
tanah saja dan tidak mau terbang.
Mahasiswa sebagai masyarakat
sipil terpelajar seharusnya
bisa menjadi model, yaitu tipe
masyarakat yang selalu dinamis
dan tidak berpaku pada asumsi-
asumsi yang seringkali salah.
Model berarti juga dilihat orang,
berarti model harus mempunyai
suatu keunikan khusus sehingga
dilihat orang, dalam hal ini,
mahasiswa mempunyai keunikan
yaitu dari segi idealis dan kritis,
sehingga masyarakat seharusnya
tidak hanya pasrah terhadap
kebijakan pemerintah tetapi harus
kritis dan juga tanggap. Selain
itu, mahasiswa juga disebut juga
agen perubahan. Oleh karena itu
mahasiswa dengan sifat kritis dan
idealisnya, harus bisa mengubah
suatu sistem yang dianggap
tidak ideal. Mahasiswa bukan
Seperti yang kita ketahui
bahwa mahasiswa itu
juga merupakan bagian
masyarakat sipil terpelajar
yaitu masyarakat sipil yang
mendapatkan pendidikan khusus
yang kemudian diaplikasikan ke
masyarakat umum. Mahasiswa
bisa masuk ke dunia budaya
politik, ekonomi, dan sebagainya.
Inilah keistimewaan mahasiswa.
Mahasiswa bersifat fleksibel artinya
bebas untuk memilih.
Potensi-potensi yang dimiliki
mahasiswa pun sangat beragam.
Potensi independen, kritis,
komunikatif, idealis, semangat
dan enerjik, mempunyai bidang
keilmuan, multidisiplin ilmu,
dan keberagaman wawasan
dst. Potensi-potensi inilah yang
membuat mahasiswa menjadi
salah satu elemen yang penting
dan istimewa untuk mengemban
tugas dan menjadi tolak ukur
kemajuan suatu bangsa.
Potensi-potensi yang dimiliki
mahasiswa tersebut tentunya
Mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang sangat penting peranannya. Mahasiswa menurut Wikipedia merupakan panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan di sebuah perguruan tinggi, tetapi peranan-
nya bukan hanya menuntu ilmu, melainkan menjadi sebuah elemen yang mampu mengubah apa yang salah menjadi benar. Mahasiswa bukan sekedar mengenyam pendidikan tetapi harus menjadi suatu tolak ukur dalam hal kebenaran demi ke-
majuan bangsa.
OPINI
9 Media Komunikasi Arkeologi
gunanya disebut mahasiswa
yang masih ada kata “siswa” nya
yang seharusnya menjadi pelajar
di suatu institusi. Jika hanya
memikirkan akademis, maka
suatu negara akan mengalami
kemunduran sebab tidak ada
kontrol sosialnya.
Ada beberapa faktor yang
membedakan mahasiswa zaman
dulu dan zaman sekarang,
Faktor yang pertama
yaitu perbedaan musuh yang
dihadang. Musuh yang dihadapi
mahasiswa pada zaman dahulu
dan zaman sekarang berbeda.
Pada zaman dahulu, musuh
yang dihadapi sangat jelas. Pada
zaman kemerdekaan, musuh
yang dihadapi adalah penjajah
dan penindas. Sedangkan pada
zaman orde baru dimana presiden
memimpin layaknya seorang raja
dengan gaya kepemimpinan turun
temurun, padahal negara Indonesia
adalah negara yang menganut
sistem presidensial. Namun, jika
dibandingkan dengan keadaan
sekarang, musuh yang dihadapi
sekarang , musuh yang tidak
kelihatan adalah kebodohan yang
merajalela di Indonesia, kelaparan,
kemiskinan, korupsi setiap hari
oleh aparat yang hanya mencari
keuntungan sendiri, birokrasi
yang dibuat susah dan harus ada
uang dan uang, cari muka agar
mendapatkan keuntungan, dan
sebagainya.
Faktor yang kedua yaitu
menghilangkan anggapan
mahasiswa ber-IPK rendah.
Memang pada zaman dahulu,
cenderung mahasiswa yang
menjadi aktivis memiliki IPK
yang rendah. Apalagi dahulu,
seorang insiyur harus melewati
dua fase sarjana, yaitu sarjana
muda dan sarjana penuh. Ini
membuat banyak mahasiswa yang
lulusnya lama dan harus bersusah
payah. Oleh karena masalah ini,
mahasiswa pada zaman sekarang
cenderung untuk mengurangi
kegiatan-kegiatan berorganisasi
entah itu berbau politik, sosial,
dan sebagainya. Karena jika
mereka harus ikut hal tersebut,
mereka harus siap terima resiko
mendapat indeks prestasi yang
rendah. Memang pada zaman
sekarang juga, seorang aktivis
mahasiswa tidak hanya pandai
berorasi tetapi juga pandai secara
akademis sebab bagaimana
orasinya itu dapat didengarkan
orang sementara di kampusnya
sendiri pun ia gagal dan tidak bisa
menjadi contoh dalam akademis.
Faktor yang terakhir yaitu
karena tuntutan pekerjaan yang
semakin tinggi. Pada zaman
yang serba canggih ini, tuntutan
sumber daya manusia yang
berkualitas semakin tinggi. Ini
dapat dilihat dari penerimaan
karyawan baru di perusahaan yang
bergitu ketat dengan berbagai
tes baik tertulis maupun lisan.
Persaingan kerja punsangat ketat
dan para sarjana berusaha keras
untuk masuk perusahaan yang
diinginkannya dengan “menyikut”
sana dan sini. Tantangan kerja
pada saat ini memang sulit karena
memang pertumbuhan lapangan
pekerjaan tidak sebanding dengan
pertumbuhan lulusan-lulusan
sarjana, sehingga banyak sarjana
yang menganggur. Seperti yang
disebutkan pada faktor nomor
dua, bahwa mahasiswa sekarang
cenderung untuk berfokus pada
indeks prestasi, karena tuntutan
pekerjaan yang semakin berat dan
juga persaingan yang ketat.
Kesimpulan yang dapat
diambil yaitu meskipun tantangan
zaman berbeda, kita sebagai
mahasiswa seharusnya masih bisa
menumbuhkan sikap kepedulian
terhadap masyarakat sekitar
dengan tidak mengorbankan
akademik. Kepedulian terhadap
masyarakat dan akademik harus
berjalan seimbang sehingga
menciptakan suatu harmonisasi
hidup dimana seorang mahasiswa
menjadi seorang warga masyarakat
sipil terpelajar yang berguna bagi
nusa dan bangsa.
potensi-potensi tersebut menjadi sia-sia, seperti seorang anak elang yang mempunyai potensi untuk terbang tinggi, tetapi ia hanya mau di tanah saja dan tidak mau terbang.
“ “
OPINI
10Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Produk lokal sebagai
hasil buatan masyarakat
suatu daerah tertentu;
hasil buatan khususnya
berupa budaya materi yang
merupakan ciri khas dan tidak
ditemukan di daerah lain. Produk
itu dihasilkan umumnya untuk
memenuhi kebutuhan sesuai apa
yang perlu dengan tujuan tertentu.
Salah satu produk lokal yang ada
di Indonesia ialah moko sebagai
produk lokal untuk pemenuhan
kebutuhan. Mengenai hal tersebut
untuk mengetahui bagaimana
secara garis besarnya maka artefak
mewawancarai Dr. Anggraeni, MA
di Kantor Jurusan Arkeologi FIB
UGM untuk mengetahui hal itu
lebih lanjut.
Mengawali pembicaraan, beliau
yang sering disapa Bu Anggra
menjelaskan bahwa moko itu
produk lokal yang merupakan
adaptasi nekara. Beberapa hal
perbedaan antara moko dan nekara
ialah mengenai ukuran, proporsi
timpanium (bidang pukul dan
tubuh); moko berukuran langsing
sedangkan nekara berukuran
pendek dan gemuk. Moko sebagai
produk lokal diindikasikan dengan
adanya alat cetak yang ditemukan
di Bali dan Pantura. Kemudian
mengenai produksinya moko yang
terdapat di Gresik masih dijumpai
sampai awal abad ke duapuluh
sedangkan yang menjadi konsumen
produk moko berada di daerah
Indonesia Timur, salah satunya
ialah Flores. Gresik memproduksi
moko karena sangat dibutuhkan
di Indonesia Timur yang di
tempat tersebut moko dinilai
Moko : Produk Lokal untukPemenuhan Kebutuhan
merupakan barang berharga dan
berguna (prestisius). Produsen
dan konsumen tersebut dapat
diketahui dari etnografi yang ada
di Indonesia karena moko dipakai
dalam beberapa hal misalnya
terdapatnya moko di pura, ada di
situs sejarah, ada pula di wadah
kubur di Jawa Timur dan Bali.
Mengenai moko yang ada
di Bali, diduga moko tersebut
merupakan produk yang diproduksi
oleh masyarakatnya sendiri.
Hal tersebut didasarkan pada
temuan berupa cetakan batu
sebagai cetakan untuk membuat
alat-alat logam termasuk moko.
Cetakan tersebut ditemukan di
Daerah Manuaba, Kecamatan
Tegalallang, Kabupaten Gianyar
sehingga disinyalir sebagai situs
perbengkelan alat-alat logam di
Moko yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia tersebut dapat di-katakan sebagai suatu produk lokal yang merupakan inovasi kreativitas
masyarakat masa lalu untuk membuat suatu benda yang dapat digunakan atau difungsikan sesuai dengan kebutuhan di beberapa daerah tertentu se-lain untuk memenuhi kebutuhan juga merupakan suatu khas produk yang
tidak ditemui di tempat lain
“
“
Oleh : Safitri Setyowati
DIALOG
11 Media Komunikasi Arkeologi
Bali. Selain adanya cetakan batu,
ada pula pola hias Kedok Muka
sebagai pola hias khas di Bali yang
semakin memperkuat bahwa itu
memang produk khas di Bali dan
tidak didatangkan dari wilayah lain
yang berfungsi sebagai benda yang
disakralkan dan wadah kubur.
Moko yang terdapat di beberapa
daerah di Indonesia tersebut dapat
dikatakan sebagai suatu produk
lokal yang merupakan inovasi
kreativitas masyarakat masa lalu
untuk membuat suatu benda yang
dapat digunakan atau difungsikan
sesuai dengan kebutuhan. Selain
untuk memenuhi kebutuhan, moko
juga merupakan suatu khas produk
yang tidak ditemui di tempat lain.
Hal tersebut dapat dijadikan suatu
refleksi atau pemahaman untuk
masyarakat Indonesia masa kini
yang mempunyai orientasi ekonomi
lebih senang menjadi konsumen
terutama produk impor dengan
anggapan ketika sudah membeli
lebih mudah kenapa harus berat-
berat membuat. Padahal moko
tersebut merupakan produk lokal
dan dalam bahasan masyarakat
masa kini merupakan produk
dalam negeri yang dipergunakan
untuk kepentingan di dalam
negeri sendiri. Kemudian alangkah
lebih baiknya jika negara ini
memanfaatkan kekuatan kekayaan
alam, seni, dan budayanya dengan
berusaha mengembangkan produk
lokal berkualitas baik untuk
memenuhi kebutuhan bangsa
sehingga dapat mandiri, maju dan
tidak tergantung dengan negara
lain.
DIALOG
Foto : Aji/ARTEFAK
12Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Masjid Agung Jawa
Tengah Semarang,
Masjid Dian Al-Mahri
Depok, dan Masjid
Al Akbar Surabaya. Ketiga masjid
ini menunjukkan perkembangan
arsitektur masjid di Indonesia
saat ini.Ketiga masjid tersebut
memiliki kubah yang besar, menara
yang tinggi, halaman yang luas,
ornamentasi yang mewah, dan
ruang utama yang megah. Bagi
sebagian masyarakat, masjid
semegah itu bagus untuk dijadikan
objek wisata religi. Masyarakat dari
manapun akan tertarik dan bebas
untuk berwisata ke sana; berfoto,
beribadah, menggelar pertemuan,
dan menyelenggarakan acara
pernikahan. Fungsi sejati masjid
seolah berbelok dari fungsi religi
menuju fungsi sosial, mengikuti
pembelokan arsitektur masjid kuno
menjadi modern.
Ada banyak sekali masjid-
masjid kuno di Indonesia;mulaidari
Masjid jami Indrapuri Aceh, Masjid
Gang Bengkok Medan, Masjid
Nagari Lubuk Bauk Padang, Masjid
Agung Banten, Masjid Agung
Berbeloknya Fungsi dan Arsitektur Masjid
Arsitektur masjid kuno dan modern di Indonesia seolah tidak menunjukkan kes-inambungan sama sekali. Gagasan-gagasan Nangkula Utaberta yang tertulis dalam
buku Arsitektur Islam terbitan Universitas Gadjah Mada menjadi bekal utama untuk dibenturkan dalam dialog bersama Sektiadi, salah seorang dosen Jurusan
Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Alih-alih berbenturan, hasil dialog justru ber-buah penguatan terhadap argumen dan interpretasi yang ditulis oleh Nangkula
Utaberta, seorang Arsitek Malaysia-Indonesia.
Oleh : Umar Hanif Al Faruqy
DIALOG
Foto : Umar/ARTEFAK
13 Media Komunikasi Arkeologi
Demak, Masjid Gedhe Kauman
Yogyakarta, Masjid Sunan Ampel
Surabaya, Masjid kuno NTB,
Masjid Air Mata NTT, Masjid
Abdurrahman Pontianak, Masjid
Hatangka Gowa, hingga Masjid
Sultan Ternate di Maluku.
Dari segi pola arsitektur,
seluruh masjid tersebut
memberi gambarantentang
sebuah kesamaan besar. Hal ini
disebabkan oleh adanya “cetak biru
budaya” yang berarti,masyarakat
Indonesia pada masa itu telah
memiliki gagasan-gagasan yang
sama dalam membangun Masjid
dan lingkungan mereka. Kesamaan
gagasan tersebut lahir dari kondisi
iklim dan sosial di Indonesia yang
relatif sama di seluruh wilayah.
Sehingga masyarakat pada saat itu
kemudian mendesain masjidnya
untuk memiliki fitur-fitur unik
dengan penerapan teknologi dan
penerapan arsitektur yang sesuai
dengan lingkungan mereka.
Salah satu fitur itu adalah
atap yang berbentuk tajug dan
tumpang. Penggunaan atap
jenis ini menunjukkan bahwa
masyarakat pada masa itu telah
mengembangkan teknologi sirkulasi
udara yang baik. Udara akan
masuk dari lubang-lubang pintu
dan jendela, kemudian dialirkan
dan keluar melalui celah yang
terletak di antara bagian atap
masjid sehingga orang-orang yang
berada di dalam masjid kuno akan
merasa sejuk.
Masjid-masjid kuno juga
memiliki fitur unik lain seperti
pawestren, serambi, dan kolam.
Pawestren merupakan tempat
ibadah wanita. Bentuknya persegi
panjang dan menggunakan desain
arsitektur gandok atau teras rumah
tradisional masyarakat Jawa.
Sedangkan serambi merupakan
bagian yang menempel pada
bangunan masjid, berbentuk
seperti pendopo, dan digunakan
untuk mewadahi berbagai
kebutuhan masyarakat. Danfitur
kolam yang sudah dikenal baik
sejak masa hindu-buddhaberfungsi
sebagai tempat untuk bersuci
bagi para muslim sebelum
melaksanakan ibadah.
Pemberian fungsi dan
penggunaan arsitektur yang telah
dikembangkan menggambarkan
bahwamasyarakat sudah
menggunakan fitur-fitur hasil
pengembangan teknologi
sejak lama. Artinya, keempat
fitur tersebut menunjukkan
kesinambungan budaya yang
berjalan dengan baik. Dalam
berubahnya agama masyarakat
dari Hindu-Buddha menjadi
Islam, jejak-jejak budaya pada
masa sebelumnya terekam dalam
arsitektur masjid tidak terhapus
dan diganti begitu saja. Sebagian
orang menginterpretasi fenomena
itu sebagai upaya pendekatan
Islam terhadap masyarakat yang
masih memegang kepercayaan
Hindu-Buddha.
Pembangunan, penggunaan,
hingga masalah perawatan
masjid-masjid kuno di Indonesia
dikerjakan secara bersama-sama
oleh masyarakat setempat, sebab
saat itu profesi arsitek belum
dikenal. Namun, tentu ada satu-
dua orang yang lebih ahli, yang
bertugas mengorganisasi dalam
tahap pembangunan. Oleh karena
pengerjaan secara bersama-sama,
seluruh masyarakat menjadi
paham dengan baik arsitektur
masjid yang mereka butuhkan.
Mereka paham bagaimana cara
membangun, merawat, dan bahan
apa saja yang dibutuhkan jika
masjid perlu diperbaiki. Bahan-
bahan yang diperlukan dalam
pembangunan dan perawatan
masjid pun berasal dari apa yang
terdapat di lingkungan sekitar.
Dapat disimpulkan, masjid-masjid
kuno di Indonesia didesain dengan
menjadikan masyarakat sebagai
inti pembangunannya.
Sayangnya, yang demikian itu
tidak ditemukan dalam kebanyakan
masjid modern sekarang. Inti dan
fokus tersebut berbelok kepada
sebuah komunitas atau masyarakat
yang ada entah di mana.Gagasan-
gagasan dan teknologi asing
yang semakin bebas masuk
ke dalam masyarakat modern
berhasil mengubah arsitektur
masjid yang telah diwariskan
dan dikembangkan sekian lama.
Masyarakat pun menerima dengan
tidak menghiraukan apakah
gagasan dan teknologi yang
diadopsi dari komunitas asing
tersebut sesuai atau adaptif dengan
kondisi iklimdan sosial masyarakat
di Indonesia.
Sebagai contoh, pola arsitektur
dan ornamentasi masjid modern
cenderung mengikuti pola Turki dan
Timur Tengah. Sehingga tidak ada
lagi celah pada bagian atap masjid
yang dapat mengalirkan udara.
Ornamentasi yang ditampilkan pun
DIALOG
14Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
asing dan tidak mencerminkan
budaya masyarakatnya. Dan oleh
sebab kemegahannya, masjid-
masjid modern harus berupaya
mencari dukungan finansial akibat
biaya perawatannya yang mahal.
Maka datanglah aspek-aspek
komersial di dalam lingkungan
masjid. Sehingga mereka harus
membuat fitur-fitur baru seperti
gedung pertemuan, wisata menara,
dan ruang acara pernikahan yang
bisa disewa siapapun dan mampu
mendatangkan uang. Wujud
arsitektur dan fungsinya bisa
dikatakan telah berbelok dari yang
sejatinya.
Pembelokan-pembelokan ini
diwarnai oleh gaya hidup yang
berkembang di Indonesia saat
ini. Masjid-masjid sekarang lebih
menonjolkan aspek-aspek sosial
dibandingaspek-aspek religi dan
budaya. Maka banyak dijumpai
saat ini masyarakat yang berlomba-
lomba membangun masjid padahal
letaknya hanya berseberangan
jalan. Hal ini bertentangan dengan
konsep pembangunan masjid
zaman dulu yang mengatakan
jika dalam suatu wilayah masih
terdengar adzan, maka tidak boleh
membangun masjid lagi di wilayah
tersebut.
Berbagai masalah yang
dihasilkan akibat pembelokan
arsitektural ini tidak berarti tidak
dapat diembalikan ke fungsi masjid
yang sejatinya. Masih ada harapan
yang dapat dibangun selanjutnya.
Sebaiknya, para arsitek mendesain
masjid dengan lebih menonjolkan
aspek religiusitas dari pada aspek-
aspek kemewahan, ornamental,
dan kemegahan yang tidak banyak
diperlukan. Selain itu, masjid-
masjid di Indonesia juga haruslah
menunjukkan sisi wawasan
kearifan lokal masyarakat.
Masyarakat Indonesia
sebenarnya sudah memiliki dan
mengembangkan warisan-warisan
teknologi dalam arsitektur masjid
yang adaptif dengan kondisi
iklim dan sosial masyarakat.
Akan tetapi saat inihal tersebut
telah ditinggalkan. Banyak
masjiddibangun secara tidak
profesional secara teknis, boros
energi, tidak menggambarkan
budaya masyarakat setempat,
dan bahkan tidak menimbulkan
kehikmatan dalam beribadah.
Fungsi masjid yang telah berubah
ini harus dikembalikan lagi kepada
sebagaimana mestinya.
Sektiadi menjelaskan, “Tugas
arkeolog juga mungkin, untuk
menunjukkan keunggulan-
keunggulan masjid yang telah
dimiliki masyarakat Indonesia
sejak lama, dan kemudian
mensyiarkannya pada masyarakat”.
Sehingga, arsitektur masjid-
masjid modern di Indonesia
selanjutnya akan kembali
berkembang untuk memenuhi
fungsinya dan berkembang untuk
mengembangkan kehidupan
masyarakat.
DIALOG
Foto : Umar/ARTEFAK
15 Media Komunikasi Arkeologi
Hukum sebagai salah satu
sistem yang terpenting
atas rangkaian
kelembagaan di dalam
pelaksanaannya merupakan hal
yang harus ada hampir dalam
setiap sisi kehidupan agar dapat
tercipta keadilan dan keharmonisan
hidup. Di dalam hukum ada
beberapa hal yang dibahas
misalnya mengenai hukuman,
cara memutuskan perkara, dan
lain-lain. Selain itu hukum
juga mempunyai landasan dan
pengaruh dari luar sehingga ada
hukum tertentu yang terkadang
berbeda antar masa atau antar
daerah. Sistem tersebut sekarang
menjadi hal yang wajar dan harus
ada di dalam suatu negara salah
satunya di Indonesia.
Di wilayah Indonesia, jauh
sebelum masa kini telah ada
sistem hukum antaranya di masa
klasik misalnya di Kerajaan
Mataram Kuno, . Mengenai
hal tersebut untuk mengetahui
bagaimana secara garis besarnya
maka artefak mewawancarai Fahmi
Prihantoro, S.S., S.H., M.A. untuk
mengetahui mengenai hukum di
Indonesia di masa kini dan masa
klasik Indonesia.
Hukum di Indonesia secara
sistem sudah baik, artinya memiliki
aturan hukum yang cukup baik
secara isi (materi) sebagai acuan
dalam memutuskan perkara hukum
namun secara pelaksanaannya
masih lemah. Hal ini disebabkan
oleh aparat penegak hukum
yang juga lemah. Hakim dapat
disuap untuk memihak pada
salah satu pihak tertentu untuk
memenangkan perkara. Kasus
yang terjadi misalnya mengenai
kejadian Hakim MK Akil Mochtar
yang disuap. Adanya kejadian
seperti itu membuat masyarakat
merasa tidak takut dengan
ancaman hukuman karena pada
akhirnya dapat menyuap untuk
menghindari hukum. Kejadian
suap lain misalnya terjadi pada
Tentang Hukum: Masa Kini dan Masa Klasik Indonesia
Ini situasi yang cukup berbahaya karena hukum merupakan alat pengontrol masyarakat. Kalau hukum menjadi remeh maka masyarakat bisa bertindak semau-
nya dan berakibat pada ketidaktertiban masyarakat dalam kehidupan.
Oleh : Safitri Setyowati
“ “
DIALOG
Foto : Aji/ARTEFAK
16Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
polisi yang umumnya dapat
disuap dan masyarakat juga
melakukan suap dalam kasus
tilang. Jadi kesimpulannya yang
perlu diperbaiki adalah mental
manusianya; aparat hukum dan
masyarakat. Selain hal itu, perlu
juga menengok sejenak bagaimana
hukum masa klasik.
Hukum jaman dulu pada
Masa Mataram Kuno relatif
memiliki sistem yang baik, baik
secara aturan, hukum, maupun
pelaksanaan hukumnya. Apa yang
disebutkan dalam data tentang
peradilan masa lalu memang
benar. Sehingga hukum dapat
berjalan dengan baik. Misalny pada
kasus Ratu Sima yang menegakkan
hukum tanpa pandang bulu meski
dari keluarga kerajaan tetap di
hukum apabila salah. Jadi jika
dibandingkan dengan masa kini
relatif lebih baik pada masa lalu
(klasik).
Hukum masa kini relatif kurang
bisa menimbulkan efek jera
karena pelaksanaanya yang tidak
konsisten. Masyarakat menganggap
remeh hukum karena hukum bisa
diatur dan di kompromikan. Ini
situasi yang cukup berbahaya
karena hukum merupakan alat
pengontrol masyarakat. Kalau
hukum menjadi remeh maka
masyarakat bisa bertindak
semaunya dan berakibat pada
ketidaktertiban masyarakat dalam
kehidupan. Solusinya adalah
menguatkan mental masyarakat
dan generasi muda untuk tahu dan
paham hakekat hukum. Penegak
hukum harus di ubah supaya
pelaksanaannya menjadi kuat.
Perlu ada yang mampu merubah
sistem penegakan hukum.
Hal tersebut merupakan tugas
pemerintah. Berkaca pada masa
lalu tentang pelaksanaan hukum
dapat menjadi acuan melalui
cerita sejarah yang disosialisasikan
kepada generasi muda.
Selanjutnya, selain mengenai
hukuman juga diketahui tentang
ketentuan pengambilan keputusan
hakim. Pada masa klasik dalam
Jayapatra dikatakan bahwa
sebelum mengambil keputusan,
para hakim mempelajari kitab-kitab
sastra, peraturan daerah, hukum
adat, petuah-petuah orang tua, dan
kitab-kitab hukum sebagaimana
yang selalu diungkapkan hakim
sejak dulu kala. Jika melihat hal
itu, maka sebenarnya melihat
kualifikasi hakim di Indonesia
sudah baik, artinya secara ilmu
mereka memiliki pengetahuan
yang cukup. Secara teori dalam
memutuskan perkara perlu
mempelajari lebih jauh kasus dan
melihat aturan aturannya. Hakim
juga akan menghadirkan saksi
untuk mendukung keputusan akhir.
Hal itu sudah berjalan baik hanya
ketika memutuskan seringkali
sudah berbeda dengan yang
seharusnya karena ada kompromi
antara hakim dengan terdakwa.
Jadi sekali lagi lebih kepada mental
hakim dan terdakwanya.
Hukum dengan berbagai hal
didalamnya tersebut mempunyai
landasan atau pengaruh dari
suatu hal tertentu. Masa klasik
di Indonesia memberlakukan
perundang-undangan dari India
disamping hukum adat yang
sudah dimulai sejak kerajaan
kuno di Indonesia serta dengan
landasan ketatanegaraan India
sesuai dengan kitab-kitab
hukum sebagaimana yang selalu
diungkapkan hakim sejak dulu
kala. Hal tersebut berbeda dengan
masa kini, hukum di Indonesia
saat ini dikembangkan dari sistem
hukum Belanda. Meskipun hukum
adat juga diakui di Indonesia,
tetapi dominasinya berasal dari
Belanda karena sistem penjajahan
yang mewariskan sistem hukum.
Hukum yang berlaku merupakan
hukum modern yang diadopsi di
Eropa. Namun dalam hal tertentu
ada perbedaan budaya yang
mengakibatkan cara mengatur
yang juga berbeda terutama
pada hukum pidana dan perdata
sehingga saat ini sudah banyak
aturan hukum yang dibuat oleh
pemerintah RI terutama UU yang
mengatur berbagai hal dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Akhir kata, beliau yang akrab
disapa Pak Fahmi menyampaikan
bahwa hukum di Indonesia
memang belum sempurna dalam
pelaksanaannya tetapi tidak perlu
apatis terhadap hukum, karena
hukum memang harus ada dan
ditegakkan. Perlu ada penanganan
serius berkaitan dengan
hukum oleh pemerintah untuk
menegakkan hukum dan mendidik
masyarakatnya agar sadar hukum.
Beliau tetap optimis suatu saat
hukum akan lebih baik karena
esensinya hukum memang menjadi
bagian dari manusia sampai
kapanpun.
DIALOG
17 Media Komunikasi Arkeologi
Nama Nusantara
berasal dari dua kata
bahasa Sanskerta,
yaitu nusa yang berarti
“pulau” dan antara yang berarti
“luar”. Nusantara digunakan
untuk menyebut pulau-pulau di
luar Majapahit (Jawa). Perkataan
Nusantara kita dapatkan dari
Sumpah Palapa Patih Gajah
Mada yang diucapkan dalam
upacara pengangkatannya menjadi
Patih Amangkubhumi Kerajaan
Majapahit (tahun 1258 Saka/1336
M) yang tertulis di dalam Kitab
Pararaton Sekilas dengan melihat
definisi kata “Nusantara” diatas
maka kita dapat menarik sebuah
kesimpulan yaitu sebutan bagi
seluruh wilayah yang berada diluar
wilayah kekuasaan Majapahit
atau kepulauan lain yang ada di
luar Jawa. Namun saya sendiri
menafsirkan sebagai wilayah
dimana beberapa negara yang
kini tergabung dalam perserikatan
yang kini disebut sebagai ASEAN.
Karena dalam beberapa kajian
peneliti yang pernah meneliti
wilayah Indonesia terutama Asia
Tenggara mendapatkan hasil
temuan yang sempat menjadi
bahan perdebatan panjang
dikalangan para peneliti dunia.
Salah satunya adalah tentang
tulisan Prof. Aryo Santos yang
menyebutkan bahwa salah satu
posisi dari peradaban kuno yang
telah menghilang yaitu Atlantis
Catatan NusantaraOleh : Theodorus Aries Brian
Foto : Umar/ARTEFAK
Apa yang pernah terlintas jika mendengar kata “Nusantara”? Apakah itu Indone-sia atau ada definisi lain?
LEPAS
18Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
adalah di Indonesia. Dalam
kajiannya menyebutkan bahwa
Indonesia memiliki semua kriteria
yang telah disebutkan oleh Plato
dalam tulisannya. Memang benar
Indonesia merupakan tempat
paling ideal bagi perkembangan
peradaban yang maju, namun
itu semua memerlukan sebuah
penelitian panjang agar
menghasilkan sebuah hasil yang
maksimal dan tidak hanya sebatas
dari interpretasi semata. Mungkin
kita bisa sedikit berbangga dengan
apa yang telah beliau lakukan
selama 33 tahun menelusuri jejak
peradaban Atlantis di Indonesia,
namun kita juga masih perlu
banyak bukti untuk menyatakan
bahwa Indonesia pernah memiliki
peradaban maju.
Berdasarkan penelusuran dari
berbagai cerita rakyat yang ada
di Indonesia, banyak memiliki
kesamaan cerita tentang adanya
sebuah peradaban yang sangat
maju dari nenek moyang mereka
pada jaman dahulu kala. Nah
dari cerita inilah kita dapat
mengembangkan penelusuran
lebih jauh tentang apa yang pernah
dilakukan oleh Prof. Stephen
Oppenheimer dan juga Prof. Aryo
Santos dalam kajiannya tentang
peradaban dunia dan juga surga di
timur. Indonesia merupakan negara
tropis dengan kekayaan alam yang
sangat berlimpah ruah dan tak
terbatas akan keindahan alamnya.
Belakangan dunia arkeologi
sedang heboh dengan adanya
penemuan situs Gunung Padang
di Jawa Barat, yang menimbulkan
adanya interpretasi bahwa itu
adalah bentuk dari Piramida.
Bahkan beberapa peneliti dari luar
Indonesia rela datang hanya untuk
melihat dari dekat seperti apa
bentuk dari Gunung
Padang yang dikabarkan sebagai
Piramida Nusantara. Namun
setelah diteliti lebih lanjut
teryata situs Gunung Padang
adalah sebuah situs peninggalan
masa Megalithik yang berusia
sangat tua sekitar 5200 SM
berdasarkan carbon dating yang
telah dilakukan. Bayangkan jika
Piramida Mesir saja berusia 5000
SM maka bisa dibayangkan kalau
situs Gunung Padang yang berusia
5200 SM berarti lebih tua dari
usia Piramida Mesir. Masih banyak
peninggalan masa prasejarah yang
belum terungkap di Indonesia, dan
masih butuh penelitian lebih lanjut
demi mengungkap adanya sebuah
peradaban maju di Indonesia.
Berdasarkan pengalaman
mencari adanya dugaan peradaban
masa lampau yang ada di
Indonesia, baik itu dari cerita
rakyat (folklore), mitos, maupun
legenda yang ada dibeberapa
daerah, maka didapatkan
kesimpulan bahwa memang
menurut cerita secara turun
temurun pada jaman dahulu
pernah hadir sebuah kebudayaan
yang dapat kita kategorikan maju
secara spiritual dan memudahkan
segala macam kegiatan sehari-
hari dengan kata lain kebudayaan
itu bisa kita sebut sebagai
“Kearifan Lokal” yang merupakan
hasil cipta, rasa dan karsa dari
masyarakat pada masa itu. Kita
jangan menganggap sebuah mitos
ataupun legenda sebagai suatu
hal yang kosong tanpa melihat
menurut cerita secara turun temurun pada jaman dahulu pernah hadir sebuah kebudayaan yang dapat kita kategorikan
maju secara spiritual dan memudahkan segala macam kegiatan sehari-hari dengan kata lain kebudayaan itu bisa kita
sebut sebagai “Kearifan Lokal” yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari masyarakat pada masa itu.
“
“
LEPAS
19 Media Komunikasi Arkeologi
makna dari mitos atau legenda
itu sendiri. Karena banyak dari
mitos itu merupakan sebuah fakta
yang sebenarnya dan karena
budaya masyarakat Indonesia
merupakan budaya lisan, maka
terciptalah sebuah cerita yang
berkembang berdasarkan pada
perkembangan jaman. Mungkin
pada masa kini sangat jarang
orang yang memahami sisi lain
dari sebuah mitos yang berkaitan
dengan arkeologi. Namun jika
kita melakukan sebuah penelitian
dengan kajian etnoarkeologi maka
kita akan dapat menjelaskan
bagaimana sebuah mitos dan
legenda itu menjadi sebuah awal
dari perjalanan panjang pencarian
tinggalan arkeologis. Fakta
bahwa arkeologi lebih banyak
mengarah pada peninggalan masa
klasik itu juga yang mungkin
mempengaruhi kurangnya kajian
penelitian terhadap peninggalan
masa prasejarah, dan minimnya
kegiatan ekskavasi pada situs
prasejarah dibeberapa tempat.
Jika peninggalan masa prasejarah
dapat kita ungkap dengan baik,
maka tidak menutup kemungkinan
terbukanya tabir misteri peradaban
yang kini hanya tinggal mitos itu
dapat terungkap ke ranah publik,
sebagai bagian dari perjalanan
panjang kebudayaan manusia
di Indonesia. Semoga semua
ini dapat menjadi pemicu bagi
kita para calon arkeolog untuk
lebih jeli dalam menentukan
sikap demi memberikan sebuah
pengetahuan bagi masyarakat
luas akan pentingnya sebuah
pelajaran berharga yang pernah
ditinggalkan oleh nenek moyang
kita di masa lampau, sekaligus
menjadi tonggak kesadaran
kita akan sebuah masa depan
kebudayaan bangsa. Mungkin
kita perlu mendalami lebih lanjut
dengan kebudayaan kita sendiri,
jika peneliti asing saja berminat
dengan kebudayaan kita mengapa
kita tidak punya keinginan untuk
mengeksplorasi sendiri kebudayaan
kita karena kitalah yang punya
ini semua dan ada disekitar kita
juga. Semoga sedikit tulisan
ini dapat memberikan sebuah
inspirasi bagi teman-teman untuk
lebih mendalami kebudayaan kita
sendiri dengan berbagai macam
pendekatan yang dapat kita
lakukan dan jangan takut untuk
merangkai ulang sejarah kita
sendiri.
Foto : Aji/ARTEFAK
LEPAS
20Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Untuk memahami
situasi ini, saya ingin
mengajak Anda un-
tuk bercermin pada
candi yang terserak di sekitar kita,
khususnya di Jawa. Mungkin baru
sedikit orang yang tahu bahwa
candi merupakan bangunan suci
yang dibuat untuk tujuan religius
dan kemanusiaan. Aspek religius
terletak pada fungsinya sebagai
rumah dewa. Candi menjadi poros
yang menghubungkan manusia
dengan sang pencipta dan pemeli-
hara alam semesta. Di sisi yang
lain candi juga menjadi tetengger
yang mengingatkan kita tentang
pentingnya hubungan antar sesa-
ma manusia. Keletakan, bentuk,
arca, dan ornamen candi, termasuk
relief-reliefnya, sarat akan makna
yang bisa menjadi sumber inspirasi
yang tidak pernah habis dalam
menjalani kehidupan. Relief-relief
MEREPRODUKSI NILAI CANDIOleh : Jajang Agus Sonjaya
Pernahkah Anda membayangkan jika seribu tahun lalu leluhur bangsa kita me-miliki pemikiran dan karya yang luar biasa? Jika belum pernah, itu maklum, sebab kita telah menjadi bangsa yang kurang pandai mengapresiasi masa lalu. Kita men-jadi bangsa yang lupa akan sejarah. Hal ini sungguh bahaya karena bangsa yang
lupa sejarah tidak beda dengan manusia yang lupa ingatan. Ia tak hanya lupa akan jatidirinya, melainkan pula tidak memiliki orientasi masa depan.
ILMIAH
Foto : Umar/ARTEFAK
21 Media Komunikasi Arkeologi
tentang membajak sawah, kapal,
pedati, pakaian, bentuk istana,
bentuk rumah, menggambarkan
pada kita tentang kebesaran pada
masa lalu.
Jauh sebelum pluralisme ramai
diperbincangkan pada awal abad
ke-21, dahulu, seribu tahun lalu,
leluhur kita sudah menjalankan
kehidupan yang pluralistik. Kita
bisa belajar dari Kompleks Candi
Prambanan yang Hindu dengan
Kompleks Candi Sewu yang Budha.
Dua kompleks candi besar yang
berbeda ideologi ini bisa berdamp-
ingan di lokasi yang sama. Bahkan,
dua kilometer di timurlaut Pramba-
nan terdapat Candi Plaosan yang
berciri Budha dan Hindu.
Candi-candi itu ada dan berdiri
di sana seolah mengingatkan pada
generasi waktu itu dan juga gen-
erasi berikutnya bawa hubungan
kemanusiaan begitu penting, tidak
kalah penting dengan urusan ke-Tu-
han-an. Dari pemikiran merekalah
kemudian muncul istilah Bhineka
Tunggal Ika yang berarti berbeda
tapi satu jua. Meski mereka ber-
beda keyakinan (agama) tapi
mereka tetap satu dalam hubun-
gan-hubungan sosial-kenegaraan.
Ketika bangsa ini berdiri seribu
tahun kemudian semboyan itu
ternyata dipakai oleh para pendiri
bangsa, namun kita belum benar-
benar memahami maknanya. Kita
benar dalam memaknai perbedaan,
namun kita masih keliru dalam
memaknai kesatuan. Satu jua dit-
erjemahkan oleh pemerintah kita
sebagai sesuatu yang selalu harus
sama. Dari Sabang sampai Mer-
auke harus sama seragamnya ke-
tika sekolah, harus sama makanan-
nya (nasi), harus sama bentuk
pemerintahannya (sistem desa),
harus sama jumlah gajinya (PNS),
harus sama cara pernikahannya
(di catatan sipil), dan banyak lagi.
Ujung-ujungnya antara konsep
persamaan dan perbedaan menjadi
sesuatu yang anakronistis, pada-
hal sejatinya Bhineka Tunggal Ika
itu menekankan perbedaan dalam
kesederajatan seperti yang digagas
para leluhur kita, para stapaka
candi-candi itu.
Selain semangat pluralisme,
masih banyak nilai yang bisa kita
pelajari dari candi-candi di sekitar
kita. Masing-masing bangunan
candi meninggalkan pesan tentang
religiusitas, sosial, budaya, dan
seni. Pesan dari masa lalu tersebut
tertera dalam setiap bagian bangu-
nan candi mulai dari arsitektur, or-
namen, relief, hingga seni arcanya.
Satu relief Karmawibhangga di
Candi Borobudur bisa diangkat se-
bagai contoh di sini. Di sudut teng-
gara bagian kaki candi terdapat re-
lief yang menggambarkan tentang
seorang laki-laki dan perempuan
yang berzinah (selingkuh), kemudi-
an dalam panel berikutnya (dalam
kehidupan berikutnya), mereka
dilahirkan buruk rupa. Kisah-kisah
tentang aspek kemanusiaan banyak
sekali digambarkan di Borobudur.
Namun, entah karena alasan teknis
atau karena relief tersebut diang-
gap tidak senonoh, maka reliaf-re-
lief yang sarat makna itu kini telah
ditutup oleh batu-batu.
Ribuan candi yang kini telah
ditemukan menjadi gudang spirit
dari masa lalu. Candi menjadi
saksi hubungan kita dengan India
dan Asia Tenggara Daratan nun
jauh di sana. Candi-candi yang
dibangun selama ratusan tahun
menggambarkan totalitas mereka
pada tanggung jawab. Bayang-
kan semangat seperti apa yang
bisa melahirkan bangnan seperti
Borobudur, Prambanan, Kompleks
Candi Dieng, Kompleks Candi Ge-
dongsongo. Sekarang bandingkan
dengan karya-karya kontraktor kita
yang membangun secepat mungkin
dengan bahan seminim mungkin
tetapi kemudian roboh atau rusak
seperti jembatan di sebelah timur
Polda DIY yang ambalas sebelum
usianya genap 17 tahun. Orang
awam lazim menduga hal itu ter-
jadi karena dananya dipotong oleh
oknum dan partai. Ini adalah salah
satu indikator bahwa para kontrak-
tor dan “penguasa” negeri ini tidak
memiliki orientasi masa depan
yang visioner dan baik seperti para
“kontraktor” candi pada masa lalu.
Kalau mau jujur, candi di Indo-
nesia sebagai pusat kultural oleh
negara secara sepihak telah dijadi-
kan sebagai pusat ekonomi untuk
objek parwisiata. Borobudur, mis-
alnya, telah diperlakukan pemer-
intah sebagai mesin penghasil
uang sampai-sampai kaum Budhis
cukup kesulitan ketika hendak
menjadikan Candi Borobudur untuk
kegiatan mereka. Nilai kultural dan
kesakralan Borobudur pun akhirnya
tenggelam di antara hiruk-pikuk
pedagang asongan, tertimbun
ratusan pedagang kaki lima, dan
samar tertutup hotel mewah yang
dibangun pihak pengelola (Sonjaya,
2010) .
ILMIAH
22Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Nasib Kompleks Candi Dieng
tak jauh berbeda. Karena uang
retribusi dari Dieng begitu besar,
maka Dieng pun menjadi barang
rebutan Kabupaten Wonosobo dan
Banjarnegara. Sementara kedu-
anya saling berebut, candi-candi di
Dieng pun terbengkalai. Arca-arca
sering dicuri, batu-batu candi ban-
yak yang hilang, bahkan situsnya
sendiri sudah disulap menjadi
taman dan lahan pertanian (Son-
jaya, 2010). Pemerintah seolah
lupa bahwa Dieng pernah menjadi
pusat para arsitek dan pekerja be-
lajar tentang membangun candi.
Pemerintah juga tidak mengindah-
kan upaya-upaya yang dilakukan
para spiritualis Kejawen dan Hindu
yang berusaha menghidupkan
kembali nilai-nilai spiritualis candi-
candi dan warisan budaya lainnya
di Dieng dengan alasan bahwa
kompleks tersebut masuk kategori
“death monument”. Pemakaian
istilah death monument sepertinya
perlu ditinjau ulang karena proses
belajar atau pewarisan nilai-nilai
kehidupan dan pengetahuan yang
dapat dipetik dari candi menjadi
terpagari. Candi-candi akhirnya
hanya menjadi objek rekreatif be-
laka.
Candi telah dianggap sebagai
sumber daya, seperti halnya sum-
ber daya alam, yang bisa dieksploi-
tasi untuk memenuhi keserakahan
manusia. Padahal, menurut saya,
candi bukanlah sumber daya, ka-
rena yang menjadi daya (tenaga)
adalah nilai-nilai yang direproduksi
oleh kita yang mengapresiasinya,
terutama para arkeolog. Reproduksi
berarti melahirkan kembali. Sesua-
tu yang dilahirkan tidak harus
sama dengan yang melahirkan.
Artinya, nilai-nilai baru yang dila-
hirkan dari candi harus kontekstual
sesuai jamannya dan lebih baik.
Jadi, letak daya bukan pada can-
dinya melainkan pada masyarakat
yang mengapresiasinya. Konsep
sumber daya yang diusung oleh
para ahli studi pembangunan telah
lama dikritik karena ada kecend-
erungan melahirkan pemikiran
dan sikap eksploitatif—pemikiran
dan sikap yang bertolak belakang
dengan para leluhur kita yang
mengedepankan keseimbangan
dan risiliansi.
Demikianlah, candi bukan enti-
tas yang mati yang hanya berfungsi
untuk sawangan thok. Candi jus-
tru bisa menjadi cermin bangsa
Indonesia dalam menata diri
menghadapi masa depan, karena
di dalamnya sarat akan pemikiran
dan nilai yang bijak. Dalam ranah
ini, peran arkeolog tak sebatas
rekonstruksi masa lalu, melainkan
perlu merambah pada upaya-upaya
reproduksi nilai.
Referensi
Aksa, Laode Muhammad.
2004. “Integritas Sumberdaya Bu-
daya Arkeologi dan Pembangunan”.
http://www.arkeologi.com.
Byrne, Denis, Helen Brayshaw
dan Tracy Ireland. t.t. Social Sig-
nificance a Discussion Paper. NSW
National Park and Wildlife Service.
Research Unit Cultural Heritage Di-
vision. Hurstville.
Carman, John. 2001. Archaeol-
ogy and Heritage: An Introduction.
Continuum. London-New York.
Cleere, Henry F. 1990. Ar-
chaeological Heritage Management
in The Modern World. Unwim-
Hyman. London.
Cotter, Maria; Bill Boyd dan
Jane Gardiner. 2001. Heritage
Landscapes: Understanding Place
and Communities. Southern Cross
University Press. Lismore, Austra-
lia.
Darvil, Timothy. 1995. “Value
System in Archaeology”. Dalam
Malcolm A. Cooper dkk. Managing
Archaeology. Routledge. London
and New York.Hlm. 40 – 50.
Fagan. Brian, M. 2003. Recent
Trends In Archaeology. http://www.
arkeologi.com.
Hodder, Ian. 1989. Reading
the Past: Current Approaches ti
Interpretation in Archaeology. Cam-
bridge University Press.
Howard, Peter. t.t. Heritage:
Management, Interpretation, Iden-
tity. Continuum. London-New York.
Mayer-Oakes. 1990. “Science,
Service and Atewardship – a Basis
for the Ideal Arcaheology of the Fu-
ture”. Dalam H. F. Cleere (Ed.). Ar-
chaeological Heritage Management
in the Modern World. Unwim-Hy-
man. London.
Mikkelsen, Britha. 1999.
Metode Penelitian Partisipatoris
dan Upaya-upaya Pemberdayaan.
Terjemahan oleh Matheos Nalle.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Sonjaya, Jajang Agus.2010.
Candi untuk Masa Depan. Ke-
daulatan Rakyat, 12 Januari 2010.
Yogyakarta.
ILMIAH
23 Media Komunikasi Arkeologi
ILMIAH
DAMPAK KEBERADAAN KAWASAN KARST MAROS-PANGKEP TERKAIT MASYARAKAT SEKITAR*
Foto : Umar/ARTEFAK
Oleh : Safitri Setyowati dkk.
Abstrak Dampak keberadaan kawasan karst di Maros-Pangkep tentunya mempunyai pengaruh bagi masyarakat sekitar kawasan yang merubah pola hidupnya. Dampak keberadaannya baik positif maupun negatif dapat dilakukan pengkajian dengan metode survey, wawancara, dan focus group discussion sehingga dapat menjaring informasi sebanyak-banyaknya. Informasi yang didapat kemudian dapat dirumus-kan menjadi kumpulan permasalahan dan selanjutnya dihasilkan rekomendasi dari masyarakat untuk diajukan ke pihak yang berwenang untuk ditindak lanjuti.
Kata Kunci: Dampak keberadaan, Kawasan Maros-Pangkep, Masyarakat
*Diseminarkan dalam PIAMI XV di Benteng Rotterdam.
I. Pendahuluan
Pertemuan Ilmiah Arkeologi
Mahasiswa se-Indonesia (PIAMI)
tahun 2014 merupakan PIAMI
ke-15 yang diselenggarakan
oleh Universitas Hasanuddin.
bertemakan Archaeologi for
Society yaitu “Pemanfaatan
dan Pelestarian Kawasan Karst
Maros-Pangkep yang Berbasis
Masyarakat”. Tema ini diangkat
dengan melihat kenyataan di
lingkungan masyarakat, apakah
masyarakat memiliki pengetahuan
mengenai situs yang berada di
kawasan Pangkep-Maros dan turut
serta dalam menjaga kawasan
tersebut. Sebelumnya dalam
PIAMI tahun 1983 dan 1986
sempat menyinggung mengenai
24Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
disekitarnya agar dalam menjaga
situs tidak merugikan salah satu
pihak.
II. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode survey, wawancara, dan
focus group discussion (FGD).
Metode survey digunakan untuk
melihat dan mengamati situs
secara langsung agar dapat melihat
kondisi situs saat ini, sehingga
dapat memberikan gambaran
dalam melakukan wawancara
dan FGD dengan masyarakat.
kawasan karst ini , tetapi hanya
menyinggung mengenai lukisan
secara ringkas. Penelitian kali ini
bertujuan mengetahui pandangan
masyarakat mengenai tinggalan
arkeologi yang berada di Maros-
Pangkep, serta mengetahui
sejauh mana situs tersebut
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Manfaat dari penelitian ini agar
masyarakat dapat mengeluarkan
pendapat mengenai persepsinya
terhadap situs di Maros-Pangkep
sehingga tercipta keselarasan
antara tinggalan arkeologis
dengan masyarakat yang tinggal
ILMIAH
No Sesi Tujuan Alur/Tahapan Alat Durasi1. Pembukaan Membuka diskusi Salam pembukaan dilanjutkan
apresiasi kepada masyarakat
2 menit
2. Perkenalan Memperkenalkan nama agar
lebih akrab, lebih santai dan
nyaman untuk warga meny-
ampaikan pendapatnya.
Fasilitator memperkenalkan
diri, dilanjutkan dengan perk-
enalan nama masing-masing
warga, dan
Ice breaking
-Kertas
-Papan
-Spidol
-Lakban
-Kamera
15 menit
3. Ground Rules Mencapai kesepakan forum
bisa lebih terarah
Menjelaskan peran masing-
masing
Menjelaskan tugas masing-
masing
Kesepakatan aturan
Penjelasan durasi pertemuan
-Kertas
-Papan
-Spidol
-Lakban
-Kamera
15 menit
4. Parafrase Mencari pandangan awal Bertanya kepada masing-mas-
ing peserta
-Kertas
-Papan
-Spidol
-Lakban
-Kamera
30 menit
5. Pertanyaan
kunci/penelitian
Menggali pemahaman mas-
ing-masing
Mencapai tujuan diskusi
(FGD)
Diskusi
Tanya jawab
Ice breaking
-Kertas
-Papan
-Spidol
-Lakban
-Kamera
55 menit
6. Penutup Menyimpulkan apa yang
dilakukan selama FGD
5 menit
Tabel 1 : Alur FGD
Setelah melakukan survey, tahap
selanjutnya ialah wawancara
dengan beberapa masyarakat
yang tinggal disekitar situs. Selain
itu dilakukan pula FGD dengan
masyarakat yang berada di satu RT
dimana situs tersebut berada.
alur yang digunakan dalam FGD
dapat di lihat pada tabel 1.
III. Deskripsi Situs
a. Kabupaten Pangkep
Keseluruhan leang yang
terdapat di Kabupaten Pangkep
berjumlah 35 leang (Permana,
25 Media Komunikasi Arkeologi
ILMIAH
2014: 102). Leang yang dikaji
dalam penelitian ini, yaitu Leang
Cammingkana dan Leang Buloriba.
Leang tersebut ialah leang
kategori B yang dilindungi secara
hukum dan fisik dengan dipagari
namun kurang dikembangkan dan
kurang dimanfaatkan. Permana
(2014) menjelaskan bahwa situs
Cammingkana berbentuk leang
dalam, berada pada ketinggian
25 m dpl. Mulut leang berukuran
12 meter, tinggi 10 meter dan
menghadap kearah utara (340°).
Leang Cammingkana
merupakan leang vertikal, dimana
di bagian dalam teratas terdapat
cap tangan berwarna merah.
Sebagian besar cap tangan
berorientasi keatas, memiliki
lima jari, berukuran dewasa, dan
tangan kanan. Keadaan cap tangan
masih dapat diidentifikasi dan
keseluruhan cap tangan berjumlah
± 20.
Keadaan leang ini kurang
terawat; terdapat banyak kotoran,
sisa-sisa makanan burung,
bangkai burung, dan vandalisme.
Fasilitas yang terdapat di leang
ini yaitu memiliki pagar, papan
pengumuman, dan beberapa anak
tangga untuk mencapai puncak
leang. Akses jalan menuju leang
Cammingkana dengan melewati
sawah penduduk yang berada di
sisi selatan leang.
Sedangkan Leang Buloriba
merupakan ceruk, jalan menuju
mulut ceruk terdapat banyak
sisa moluska yang mengeras dan
menyatu dengan batuan ceruk.
Tinggalan akeologisnya berupa
lukisan menyerupai bentuk
ikan dan di dekat lukisan ikan
terdapat seperti lukisan berwarna
merah namun sudah tidak dapat
diidentifikasi. Di lain hal, akses
menuju leang ini dengan melewati
sawah sedangkan fasilitasnya
berupa pagar dan papan
pengumuman yang sudah patah.
b. Kabupaten Maros
Di Kabupaten Maros terdapat
56 leang (Permana, 2014: 104).
Leang yang diteliti dalam penulisan
ini adalah Leang Uluwae. Leang
Uluwae ialah leang dengan
kategori tipe B yang dilindungi
secara hukum namun tidak
dilindungi secara fisik karena tidak
dipagari dan kurang dikembangkan
atau pun dimanfaatkan. Menurut
Permana (2014:198) dijelaskan
bahwa Situs Uluwae berupa leang
dangkal, terletak di Kampung
Lopi Lopi, Desa Kalabbirang,
Kecamatan Bantimurung. Situs
ini memiliki ketinggian 30 m dpl,
mulut leang berukuran lebar 30 m
dan tinggi 10 m, dan menghadap
kearah barat daya (230°).
Tinggalan arkeologisnya berupa
cap tangan berwarna merah dan
sebagian besar menghadap keatas.
Beberapa cap tangan yang masih
dapat diidentifikasi ada tiga lukisan
cap tangan dan lukisan lainnya
sulit untuk diidentifikasi. Selain
itu ditemukan beberapa pecahan
gerabah sedangkan tinggalan non-
arkeologis berupa sisa kotoran sapi
dan sekam karena dahulu leang
tersebut digunakan sebagai tempat
menyimpan padi dan hewan
ternak.
IV. Pembahasan
Situs yang terdapat di
Kabupaten Maros-Pangkep secara
umum dijumpai temuan berbagai
seni hias di dinding leang yang
biasa disebut rock art. Beberapa
leang dengan tinggalan arkeologis
berupa cap tangan itu mempunyai
beberapa permasalahan dengan
masyarakat. Permasalahan yang
ada kemudian akan dibahas lebih
lanjut sampai rekomendasi dari
masyarakat.
Permasalahan di Kabupaten
Pangkep tepatnya yang berada di
RT 3 RW 4, Kelurahan Biraeng,
Kecamatan Minasa Te`ne ialah
masyarakat kurang memiliki
pengatahuan mengenai situs,
mereka hanya mengetahui nama-
nama leang di sekitarnya dan
mengetahui bahwa didalamnya
terdapat gambar cap tangan dan
ikan. Masyarakat juga merasa
sungkan untuk memasuki
leang karena merasa takut
dengan adanya peraturan yang
menjelaskan bahwa pada leang
tersebut dilarang merusak dan
mengotori leang. Hal tersebut
diperkuat lagi dengan isu yang
beredar bahwa pernah ada salah
satu warga yang dituduh merusak
leang tapi pada kenyataannya isu
tersebut belum dapat dibuktikan.
Hal lain yang mempengaruhi
mengapa masyarakat Pangkep
tidak memperhatikan leang ialah
karena permasalahan kepemilikan
pohon dan air. Masyarakat
mempermasalahkan kepemilikan
pohon yang terdapat di kawasan
karst khusunya yang berdekatan
dengan leang karena sekarang
26Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
ILMIAH
tersebut tidak memiliki leang yang
diindungi, sudah pasti perbukitan
tersebut juga akan dijadikan
tambang semen. Kemudian dalam
hal partisipasi dijumpai adanya
keikutsertaan masyarakat dalam
menjaga situs hanya ketika leang
dalam keadaan sangat kotor
sehingga mereka melakukan kerja
bakti dalam membersihkannya,
namun apabila leang hanya sedikit
kotor pembersihan hanya dilakukan
oleh juru pelihara.
Selanjutnya setelah mengetahui
permasalahan, kurangnya manfaat,
dan tingkat partisipasi kemudian
masyarakat menginginkan
adanya sosialisasi mengenai
leang-leang yang berada di
Kelurahan Biraeng agar mereka
memiliki pengetahuan yang lebih
mengenai peninggalan prasejarah
leang tersebut. Masyarakat juga
menginginkan agar juru pelihara
ditegur dan dievaluasi dalam
penjagaannya supaya tidak ada
masalah terkait salah tuduh lagi.
Foto : Umar/ARTEFAK
sudah dijadikan hutan lindung
dan dipasang patok sebagai
penanda dari kawasan hutan yang
dilindungi, sedangkan menurut
pendapat masyarakat pohon-
pohon didaerah tersebut ditanam
sendiri, tetapi mereka tidak dapat
menebangnya karena kawasan
tersebut sudah masuk kedalam
kawasan hutan lindung. Di lain sisi
masyarakat merasa pohon tersebut
hak milik mereka dan tidak terima
dengan kondisi seperti ini. Bahkan
jika ingin menbang memerlukan
surat ijin satu buah untuk satu
pohon dan belum lagi mengenai
tata cara perijinan yang berbelit-
belit.
Selanjutnya permasalahan
terkait air terutama mengenai
irigasi untuk sawah masyarakat
tetapi kini air dari sumber air di
Leang Kassi digunakan untuk
PDAM sehingga debit air ke
persawahan mereka berkurang.
Sebelumnya pernah terjadi diskusi
langsung antara masyarkat dengan
kelurahan untuk masalah PDAM
namun tidak ada tindak lanjut.
Masyarakat dengan pemerintah
sudah membuat MOU mengenai
pembagian air yang merata dengan
perjanjian bahwa masyarakat
meminta dua bulan saat musim
tanam pada jam 10 hiingga
jam 4 pagi air dibuka agar bisa
memenuhi untuk pengairan sawah
dan sisanya bisa ditutup untuk ke
pipa PDAM, tetapi yang terjadi
ialah MoU tersebut belum berjalan
hingga sekarang.
Permasalahan tersebut juga
ditambah hal lain dikarenakan
masyarakat tidak mengetahui
manfaat leang itu, masyarakat
menganggap bahwa leang tersebut
sudah dikelola oleh pemerintah
dan masyarakat tidak dilibatkan
dalam pengelolaan tersebut.
Masyarakat hanya mengetahui
keberadaan leang-leang tersebut
menguntungkan dalam menjaga
dari masuknya perusahaan semen
karena apabila perbukitan karst
27 Media Komunikasi Arkeologi
ILMIAH
Selain itu mengenai permasalahan
kepemilikan pohon dan air,
masyarakat menginginkan adanya
pengaturan mengenai perizinan
kepemilikan pohoin dengan
Dinas Kehutanan setempat serta
kesepakantan dan penegasan ulang
mengenai MOU dengan PDAM.
V. Penutup
Berdasarkan hasil survey
dan FGD yang dilakukan selama
kegiatan PIAMI di Maros-Pangkep
dijumpai beberapa permasalahan
terkait sosialisasi dan kurangnya
pemanfaatan yang belum optimal
terutama mengenai peran masing-
masing pihak dan masyarakat
padahal di Kabupaten Pangkep
dan Maros memiliki potensi yang
besar untuk dikembangkan sebagai
pariwisata yang berwawasan
budaya, pendidikan, dan alam
sehingga masyarakat mengajukan
beberapa hal dalam FGD agar
permasalahan itu dapat ditekan
seminimalnya.
Rekomendasi yang diajukan
oleh masyarakat terhadap situs
Pangkep (Leang Cammingkana dan
Buloribba-kategori B):
-Dilakukannya sosialisasi
kepada masyarakat mengenai situs
tersebut.
-Adanya evaluasi untuk juru
pelihara dengan masyarakat sekitar
-Pengenalan sejak dini
mengenai tinggalan arkeologi
mengenai pemanfaatan,
pemeliharaan, pengelolaan
-Pengkajian kembali mengenai
MOU dengan pihak PDAM dan
PEMDA mengenai permasalahan
air
Sedangkan rekomendasi yang
diajukan oleh masyarakat terhadap
situs Maros (Leang Uluwae-
kategori c):
-Dilakukannya sosialisasi
kepada masyarakat mengenai situs
tersebut.
-Dinas terkait dapat membuat
fasilitas yang mendukung untuk
menjaga dan melindungi situs,
seperti membuat pagar, kawat
berduri, papan nama yang
ditujukan untuk wisatawan dan
penduduk lokal.
-Pemberdaan masyarakat
untuk menjaga situs menjadi juru
pelihara jika berkompeten
-Pengenalan sejak dini
mengenai tinggalan arkeologi
mengenai pemanfaatan,
pemeliharaan, pengelolaan.
Foto : Umar/ARTEFAK
28Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
WISATA EDUCOTOURISM:UPAYA PELESTARIAN SITUS GUNUNG PADANG, JAWA BARATOleh : Restu Ambar Rahayuningsih
AbstrakWisata educotourism adalah konsep gabungan dari education tourism dan ecotour-ism. Konsep ini mengedepankan pendidikan dan budaya. Konsep ini dapat diterap-kan untuk memecahkan masalah wisata di Situs Gunung Padang. Metode yang di-lakukan adalah memberikan kerangka pikir dan rekomendasi kepada pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk berkoordinasi terkait kelayakan metode educo-tourism dalam upaya pelestarian Situs Gunung Padang saat ini dan masa yang akan datang.
Kata kunci: Wisata Educotourism, Pelestarian, Situs Gunung Padang
Abstract
Educotourism Travelisa combined concept of tourism education and ecotourism. This concept emphasizes education and culture. This conceptcan be applied to solve problems in Sitetourof Mount Padang. The method does is provide a framework and recommendations to the government, academia, and the community to coordinate related to the feasibility of the method educotourism in conservation sites of Mount Padang current and future.
Keywords: EducotourismTravel, Wildlife, World Mount Padang
Pendahuluan
Wisata erat kaitannya dengan
wisatawan dan pariwisata.
Menurut The International
Dictionary of Tourism (1953),
wisatawan adalah orang yang
melakukan perjalanan keluar untuk
kesenangan dengan rasa ingin tahu
karena mereka tidak mempunyai
aktivitas yanglebih baik untuk
dilakukan. Sedangkan menurut
The World Tourism Organization
(WHO), pariwisata adalah jumlah
fenomenayang berhubungandengan
timbulnyaperjalanan dan kepergian
orang untuk meninggalkan
rumahnya sementara waktu. Jadi
wisata adalah aktivitas perjalanan
untuk bersenang-senang,
memperluas pengetahuan, dan
sebagainya.
Menurut Singh (2010), di
dalam wisata, ada dua elemen
utama, yaitu “tujuan dan tinggal”.
Kedua elemen tersebut akan
terpenuhi apabila sudah ada
konsep yang jelas tentang prosedur
kepariwisataan. Namun sejauh ini,
banyak kegiatan wisata yang justru
menimbulkan beberapa konflik
kepentingan. Fenomena semacam
itu, tidak hanya berefek buruk bagi
orang yang berkaitan, tetapi juga
bagi tempat wisatanya.
Situs Gunung Padang
merupakan salah satu tempat
ILMIAH
29 Media Komunikasi Arkeologi
wisata di Desa Karyamukti,
Kecamatan Campaka, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat. Situs ini
diduga telah mengalami deformasi
akibat beberapa permasalahan.
Permasalahan pertama
berhubungan dengan konservasi.
Sejauh ini, kajian konservasi Situs
Gunung Padang belum banyak
dilakukan. Menurut Djavid (1977),
Situs Gunung Padang merupakan
bangunan megalitik (punden
berundak)yang telah ditinggalkan
masyarakat pendukungnya dalam
kurun waktu yang cukup lama.
Bangunan tersebut dibangun
dengan batuan vulkanis berupa
batu andesit berwarna hitam
yang sangat riskan terhadap
kerusakan (Lutfi Yondridalam
Punden Berundak Gunung Padang
Maha Karya Nenek Moyang dan
Kandungannya akan Nilai-nilai
Kearifan Lingkungan di Masa Lalu
di Tatar Sunda diakses pada 2 Juni
2014). Jenis batu megalitik di
Situs Gunung Padang adalahbatu
tegak berbentuk kolumnar, batu
berbentuk prismatik, monolit, dan
sebagainya. Batu-batu tersebut
mengalami kerusakan karena
faktor alam maupun faktor buatan.
Faktor alam yang dimaksud
diantaranya adalah keretakan
atau kerenggangan batuan
dan pertumbuhan lumut pada
bangunan megalitik. Sedangkan
faktor buatan diduga akibat
aktivitas wisata, dan vandalisme
yang sudah populer mengancam
warisan budaya Indonesia.
Menurut Soejono (2002),
memang Situs Gunung Padang
berada pada titik seisme dan
terletak di perbukitan yang
rawan dengan bencana.Ada 3
jenis bahaya yang mengancam
Situs Gunung Padang, yaitu
runtuhan, gelinciran, dan aliran.
Runtuhan ditandai dengan
robohnya bangunan megalitik
karena rusak, gempa, dan tanah
longsor. Gelinciran ditandai dengan
tergelincirnya batu-batu megalitik
menuruni lereng dan berubahdari
posisi aslinya. Sedangkan, aliran
ditandai dengan terbawanya
material bangunan megalitik akibat
aliran air (diduga adalah air hujan).
Permasalahan kedua,
berhubungan dengan sejarah. Situs
Gunung Padang diduga pernah
beralih fungsi dari bangunan
megalitik menjadi tempat
persinggahan Raja Putra (Raja
Galuh) (Naskah Jawa Barat dari
Keraton Kasepuhan Cirebon Abad
19: 428). Selain itu, keberadaan
Situs Gunung Padang yang
menghadap ke arah Gunung Gede
semakin memperkuat kesakralan
Situs Gunung Padang. Tempat
tersebut kerap dikaitkan dengan
Prabu Siliwangi (Raja Sunda) yang
membangun istana dalam semalam
pada sekitar 2.000 SM. Menurut,
Naskah Bujangga Manik (abad ke
16) dalam http://id/wikipedia.org/
wiki/SitusGunungPadang diakses
pada 15 Juni 2012, terdapat
tempat kabuyutan (tempat leluhur
yang dihormati oleh orang Sunda),
tempat tersebut terletak di hulu
Sungai Ci Sokan (di sekitar Gunung
Padang).
Adanya alih fungsi Situs Gunung
Padang di atas menyebabkan
situs tersebut menjadi wisata
religi hingga saat ini. Setiap bulan
Maulud dan Jum’at Kliwon, banyak
peziarah yang datangke Situs
Gunung Padang. Mereka meziarahi
11 leluhurnyayang diduga
bersemayam di Situs Gunung
Padang. Menurut Lutfi Yondri
dalam Punden Berundak Gunung
Padang Maha Karya Nenek
Moyang dan Kandungannya akan
Nilai-nilai Kearifan Lingkungan
di Masa Lalu di Tatar Sunda
(diakses pada 2 Juni 2014),
tokoh utama yang bersemayam
di bagian puncak adalah Prabu
Siliwangi, Eyang Rama, dan Eyang
Ibu. Sementara lokasi yang lain
yang mereka ziarahi dipercaya
sebagai tempat bersemayamnya
Syekh Marjuli (tokoh diduga yang
memberikankepandaian mengaji),
Sunan Bonang (tokoh yangdiduga
memberikankepandaianmenabuh
gendang), Eyang Kuta (tokoh yang
diduga memberikantambahan
harta), dan Eyang Tajimalela
(tokoh yang diduga memberikan
pertolongan agar naik jabatan).
Wacana Terkini tentang Gunung Padang
Sejak rentan waktu tahun
2010 – 2011 di Indonesia sangat
gempar dengan pemberitaan
tentang keberadaan piramida
dalam Gunung Padang. Piramida
tersebut diduga lebih tua daripada
Piramida Giza di Mesir. Selain
pemberitaan tentang piramida, ada
beberapa pemberitaan lain yang
menyertainya, yaitu Adam turun ke
Bumi pertama kali di Cibinong, dan
tentang status Indonesia sebagai
Atlantis. Kabar tersebut berlanjut
ILMIAH
30Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
sebagai persepsi yang disebut
pseudoarkeologi.
Pseudoarkeologi berasal
dari kata pseudo yang artinya
semu dan arkeologi yang artinya
disiplin ilmu yang mempelajari
tinggalan-tinggalan masa
lampau untuk mengetahui
dan merekonstruksi kehidupan
masa lampau. Jadi dapat
dikatakan jika pseudoarkeologi
(arkeologisemu) adalah sebuah
pemahaman yang mengacu pada
deskripsi dari masa lalu yang
didasarkan pada fakta tetapi
sebenarnya bergesekan dengan
pemahaman arkeologi mengenai
masa lalu (semu). Biasanya,
pseudoarkeologi membantah
suatu teori maupun interpretasi
yang dianggap berpikiran sempit
dengan menggunakan data-data
yang dipilih secara selektif agar
lebihmenguatkan “fakta” yang
ada, namunpadakenyataannya,
pseudoarkeologi-lah yang
berpikiran sempit dan merugikan
(Share dan Ashmore, 1993).
Sudut pandang psedoarkeologi
nampaknya muncul dari
bagaimana orang menafsirkan
arkeologi dengan pemikiran mereka
seolah-olah sebagai arkeolog.
Sama halnya dengan wacana
tentang keberadaan piramida
di Gunung Padang, penulis
mendasarkan fakta tersebut
berdasarkan konsep pemikirannya
sendiri. Sebagai contohnya,
menurut Natawidjaja (2011:138-
139), Piramida Gunung Padang
dapat menjadi bukti besar
dari peradaban super yang
belum pernah ada sebelumnya.
Merekonstruki peradaban Gunung
Padang ada hubungannya dengan
Peradaban Atlantis karena dapat
menggambarkan isu tersebut lebih
baik (Natawidjaja 2011:139).
Menurut Ali Akbar (2011,
2013), penelitian di Situs Gunung
Padang adalah penelitian di bidang
ilmiah dengan menggabungkan
metode geologi-geofisika dan
arkeologi untuk menghindari
persepsi yang sesat. Pertanggalan
di Situs Gunung Padang dilakukan
dengan carbon dating (C-14)
terhadap arang yang merupakan
hasil pengeboran tanah. Hasil
pertanggalan menunjukkan bahwa
Situs Gunung Padang dibuat
sebelum 11.000 tahun yang
lalu (Natawidjaja 2011:139).
Fenomena Gunung Padang tersebut
memperkuat dugaan bahwa
Atlantis yang musnah 11.600
tahun yang lalu adalah Indonesia
dan Adam atau manusia pertama
yang turun di dunia tepatnya di
Cibinong, Indonesia (Natawidjaja
2011:139).
Tuntutan Wisata
Beberapa wacana tentang
Situs Gunung Padang seolah-
olah menjadi topik hangat yang
menggugah daya tarik segenap
lapisan masyarakat. Menurut Amri
dan Permadi dalam Vivanews
(diakses pada 19 Juni 2012),
kondisi Situs Gunung Padang
terancam ambles karena ulah
wisatawan. Ketika musim liburan
panjang, kunjungan ke situs yang
belum tereksplorasi ini menanjak
tajam mencapai 2.000 orang
setiap minggunya (Amri dan
Permadi dalam Vivanews diakses
pada 19 Juni 2012). Kondisi
tersebut tidak sepadan dengan
kondisi kontruksi bangunan
megalitik Gunung Padang yang
sudah mulai rapuh dan tidak kuat
menahan beban terlalu berat.
Hal yang lebih parah, kadang-
kadang wisatawan seenaknya
menggoyangkan bebatuan yang
ada dan mencabut rumput Jepang
yang sengaja ditanam (Amri dan Figur 1. Landscape Gunung PadangDokumentasi DNH 2011
ILMIAH
31 Media Komunikasi Arkeologi
Permadi dalam Vivanews diakses
pada 19 Juni 2012).
Sejauh ini belum ada peraturan
yang mengatur frekuensi
pengunjung ke Situs Gunung
Padang. Hal tersebut semakin
membahayakan keselamatan
situs. Sebagai pembanding saja,
Borobudur yang merupakan salah
satu world heritage dan telah
memiliki peraturan pengunjung
tetap mengalami keamblesan
hingga lima milimeter pertahun,
bagaimana dengan Situs Gunung
Padang?
Permasalahan di atas
nampaknya diakibatkan oleh
ketidakstabilankepentingan
dalam hal konservasi, pariwisata,
peneliti, dan masyarakat lokal.
Sebagai contohnya proyek peneliti
bentukan Pemerintah Kabupaten
Cianjur dan tim independen yang
melakukan kegiatan di Situs
Gunung Padang dianggap illegal.
Pasalnya, hal tersebut terjadi
karena tim katastropik yang
dibentuk Staf Khusus Presiden
telah resmi dihentikan sebelumnya
tetapi masih bermunculan tim-tim
peneliti lainnya. Sementara ini
belum ada alasan yang jelas untuk
memastikan duduk masalahnya,
muncul permasalahan baru, yaitu
pembangunan menara pantau
yang justru dianggap merusak
peninggalan-peninggalan sejarah
yang belum ditemukan. Arief
dalam Antara News (diakses pada
5 Juni 2012) meminta Pemerintah
Kabupaten Cianjur membongkar
menara pantau karena belum ada
zonasi yang jelas dan kelongsoran
pasca pengeboran tanah.
Konsep Pelestarian
Permasalahan di Situs Gunung
Padang merupakan masalah
ganda. Maksudnya, masalah
satu belum selesai tetapi sudah
ada masalah yang baru. Untuk
itu diperlukan pemecahan
masalah yang bertahap agar
permasalahan tersebut dapat
diurai satu persatu benang
merahnya. Tidak hanya dengan
penelitian dan pembangunan-
pembangunan sarana tambahan
saja yang perlu dilakukan tetapi
perlu pemikiran yang bijak untuk
menyelamatkannya.
Menurut Tanudirjo dalam
Warisan Budaya Untuk Semua:
Arah Kebijakan Pengelola Warisan
Budaya Indonesia di Masa
Mendatang (diakses pada 12 Juni
2014), cara-cara pengelolaan
warisan budaya saat ini diduga
tidak akan dapat diterapkan
lagi di masa mendatang. Jika
pun dipaksakan hanya akan
menimbulkan lebih banyak
konflik daripada keberhasilan
dalam pelestariaannya (Tanudirjo
dalam Warisan Budaya Untuk
Semua: Arah Kebijakan Pengelola
Warisan Budaya Indonesia
di Masa Mendatang diakses
pada 12 Juni 2014).Cara-cara
pengelolaan warisan budaya
saat ini lebih mengedepankan
“pengelolaan warisan budaya
untuk negara” (dari archeology
in the service of the state). Hal
tersebut menunjukkan bahwa di
era globalisasi ini diperlukan upaya
pelestarian warisan budaya yang
sesuai dengan tuntutan zaman.
Menurut Tanudirjo (2000:
11-26), masa globalisasi saat ini
menimbulkan perubahan yang
sangat cepat dan kontradiksi.
Fenomena tersebut tidak hanya
berimbas terhadap anggapan
orang tentang warisan budaya
milik seluruh umat manusia tetapi
juga menimbulkan tuntutan agar
setiap orang atau pihak boleh
memaknai warisan menurut
gagasannya (Tanudirjo (2000:
11-26). Untuk itu, diperlukan
suatu arah kebijakan baru dalam
pengelolaan warisan budaya,
diperlukan adanya penataan
kembali peran pemerintah dalam
pengelolaansumber daya budaya
ini.
Menurut Schiffer (1976),
ada dua elemen yang perlu
diperhatikan untuk menjelaskan
keberadaan sumberdaya budaya,
yaitu konteks sistem dan konteks
arkeologis. Konteks sistem
berhubungan dengan peran
aktif (masih dipergunakannya)
sumberdaya budaya oleh
masyarakat, sedangkan konteks
arkeologis berhubungan dengan
lingkungan tempat sumberdaya
budaya (baik yang tangible
maupun yang intangible) sudah
tidak digunakan lagi. Menurut
Tanudirjo dalam Warisan Budaya
Untuk Semua: Arah Kebijakan
Pengelola Warisan Budaya
Indonesia di Masa Mendatang
(diakses pada 12 Juni 2014),
pelestarian pada hakekatnya
adalah upaya mempertahankan
agar suatu sumberdaya budaya
tetap berada pada konteks
sistem agar dapat berfungsi
ILMIAH
32Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
aktif atau dimanfaatkan oleh
masyarakat. Namun, nampaknya
upayapelestarian untuk pelestarian
itu sendiri. Untuk itu, pelestarian
saat inidiharapkan mampu
memberi makna baru dalam
keragaman masyarakat, pelestarian
warisanbudaya harus dapat
dibicarakan, dinegosiasikan,
dan perlu disepakatibersama
pula melalui suatu dialog
yang terbuka serta seimbang.
Perbedaanpemberian makna suatu
warisan budaya harus sedapatnya
dihargai dan diwadahi dalam
proses pengambilan keputusan
yang demokratis (Tanudirjo 2000).
Menurut Tanudirjo dalam
Warisan Budaya Untuk Semua:
Arah Kebijakan Pengelola Warisan
Budaya Indonesia di Masa
Mendatang (diakses pada 12 Juni
2014), visi pengelolaan warisan
budaya di Indonesia diubah dari
“pengelolaan warisan budaya untuk
negara” menjadi “pengelolaan
warisan budaya untuk masyarakat”
(publik archeology). Sebagai
konsekuensinya, dalam kebijakan
yang baru, para aparatus negera
atau pemerintah yang terlibat
dalam pengelolaan warisan budaya
tidak lagi menjadi “abdi negara”
tetapi menjadi “abdi masyarakat”.
Selain itu, harus selalu disadari
bahwa warisan budaya adalah
sumberdaya dimasa mendatang
tentunya harus dilandasi prinsip
menajemen konflik. Jadi,
semestinya pemerintah pada
masa mendatang lebih dapat
diposisikan sebagai fasilitator
sekaligus mediator dan masyarakat
dapat dilibatkan sebagai public
domain(Tanudirjo dalam Warisan
Budaya Untuk Semua: Arah
Kebijakan Pengelola Warisan
Budaya Indonesia di Masa
Mendatang diakses pada 12 Juni
2014).
Pengembangan Konsep Wisata Educotourism
Saat ini dunia mengalami
perubahan yang seismikakibat
globalisasi. Perubahan ini
menyebabkan masyarakat dan
pariwisata mengalami degradasi.
Untuk mengurangi dampak
internal ataupun eksternal dari
efek global tersebut diperlukan
keterampilan yang berbeda, bakat,
dan pengetahuan yangmenyiratkan
bahwa wisata memiliki nilai
pendidikan atau education tourism.
Menurut Sheldon, Fesenmaier,
Woeber, Cooper, dan Antonioli
(2007: 62-68), dalam upaya
mengatasi permasalahan
global dalam hal pariwisata
diperlukan kerangka kerja bidang
pariwisata yang memahami
perubahan lingkungan, nilai-
nilai, pengetahuan dan memiliki
kemampuan positif. Bidang
tersebut tidak hanya dilakukan
oleh stakeholder di bidang
pariwisata tetapi pihak lain yang
bersangkutan bahkan masyarakat
pada umumnya (Sheldon,
Fesenmaier, Woeber, Cooper, dan
Antonioli2007: 62-68). Beberapa
prosedur dalam education tourism
menurut Sheldon, Fesenmaier,
Woeber, Cooper, dan Antonioli
(2007: 62-68), adalah sebagai
berikut:
1. Kemampuan mengelola/
merayakan keragaman budaya
berdasarkan aspek pluralisme dan
etika
2. Experiential learningatau
pembelajaran berbasis eksperimen.
3. Kepemimpinan multifaset
rakyat (kreativitas, inovasi,
memiliki kecerdasan emosional,
aktualisasi diri, inklusi,
menghormati pendidikan,
berpikir kritis, fleksibel, memiliki
keterbukaan, optimisme, dan
kewarganegaraan baik)
Konsep education tourism
yang mengedepankan pendidikan
sebagai tonggak wisata.
Konsep tersebut sangat cocok
dipadukandengan konsep
ecotourism. Menurut Wood
(2002: 9), ekowisata (ecotourism)
telah didefinisikan sebagai
dari pariwisata berbasis alam,
tetapi juga telah dirumuskan
dan dipelajari sebagai alat
pembangunan berkelanjutan oleh
LSM, ahli pembangunan dan
akademik sejak tahun 1990.
Ekowisata juga merupakan
perjalanan bertanggung jawab ke
daerah alami yang melestarikan
lingkungan dan menopang
kesejahteraan masyarakat lokal
(Wood 2002: 9).
Berdasarkan definisi di atas,
maka ekowisata memiliki sub
komponen bidang pariwisata
berkelanjutan, dengan kata lain
ekowisata bercita-citadalam
semua kasus untuk mencapai
hasil pembangunan berkelanjutan.
Beberapa prosedur ekowisata
menurut Wood (2002: 10) adalah
ILMIAH
33 Media Komunikasi Arkeologi
sebagai berikut:
1. Memberikan kontribusi untuk
konservasi keanekaragaman hayati
2. Mempertahankan
kesejahteraan masyarakat
setempat
3. Termasuk dalam penafsiran
atau pengalaman belajar
4. Melibatkan tindakan yang
bertanggung jawab pada masa lalu
wisata dan industri pariwisata
5. Disampaikan utama untuk
kelompok kecil oleh usaha kecil
6. Membutuhkan konsumsi
serendah mungkin sumber daya
tak terbarukan
7. Menekankan partisipasi,
kepemilikan dan peluang bisnis
lokal, khususnya untuk masyarakat
pedesaan.
Apabila konsep education
tourism dan ecotourism dipadukan
menjadi satu konsep akan
dihasilkan sebuah konsep yang
dapat memanajemen lingkungan
dan sumber daya budayanya.
Konsep tersebut dapat diistilahkan
sebagai konsep “Wisata
Educotourism”. Konsep tersebut
merupakan konsep wisata yang
dalam programnya tidak harus
menghentikan arus wisatawan
yang berkunjung.
Inti konsep educotourism adalah
education (pendidikan), ecology
(ekologi), dan tourism (pariwisata).
Jadi konsep educotourism
adalah pariwisataberkelanjutan
secara ekologis dengan fokus
primer padawilayah alamyang
menumbuhkan pemahaman
lingkungan, budaya, apresiasidan
konservasi agar orang paham
tentang makna tempat wisata
tersebut untuk pendidikan.Konsep
tersebut mampu menjembatani
beberapa kasus yang saat ini
mengancam warisan budaya
yang telah menjadi sumber daya
pariwisata.
Upaya Penerapan Konsep Wisata Educotourism
Konsep educotourism dinilai
mampu memecahkan masalah
kepentingan pada warisan budaya.
Sebagai contohnya, Situs Gunung
Padang. Konflik kepentingan di
situs tersebut tidak patut untuk
didiamkan begitu saja. Kebijakan
yang terarah dan pemikiran yang
kritis perlu segera ditampung untuk
memecahkan masalah pelestarian
Situs Gunung Padang ini.
Konsep educotourism
merupakan konsep yang
menjembatani konflik kepentingan
di Situs Gunung Padang. Konsep
ini dapat dilakukan dengan
beberapa program bertahap dan
berkelanjutan sebagai berikut:
a. Tahap 1: Persiapan program
wisata educotourism
Tahap persiapan dilakukan
dengan koordinasi pemerintah,
akademisi, dan masyarakat terkait
dengan studi kelayakan (penelitian
terpadu), cara pembebasan lahan
untuk pembangunan tangga
alternatif, jadwal koordinasi
stakeholder, upaya penyelamatan,
pembiayaan, dan rehabilitasi.
b. Tahap 2: Pelaksanaan wisata
educotourism
Tahap pelaksanaan ini
merupakan tahap pokok dalam
konsepwisata educotourism.
Tahap ini dapat dilakukan dengan
upaya pembuatan jalur alternatif
pendakian, pembangunan
ekomuseum, dan konservasi
alam serta bangunan megalitik.
Secara lebih rinci gambaran tahap
pelaksanaan adalah sebagai
berikut:
1. Pelaksanaan konsep
educotourism pada tahap
awal, dapat dilakukan dengan
pembangunan jalur alternatif.
Pada proses ini, pengunjung masih
diperbolehkan melewati jalur asli
menuju puncak punden berundak
tetapi ada pengaturan jumlah
pengunjung.
2. Setelah pembangunan jalur
alternatif selesai, pengunjung
diarahkan ke arah jalur tersebut.
Sementara itu, fokus konservasi
dapat dilakukan pada bangunan
megalitik.
3. Setelah keduanya terlaksana,
dapat dilakukan penataan lokasi
dan pembangunan ekowisata pada
wisata Situs Gunung Padang sesuai
dengan kaidah pariwisata berbasis
pendidikan dan lingkungan
(educotourim).
c. Tahap 3: Penetapan
hukum dan aturan terkait wisata
educotourism di Situs Gunung
Padang. Penetapan ini tidak hanya
sebatas hitam di atas putih tetapi
juga terkait upaya zonasi yang
kerap kali menjadi permasalahan
pada warisan budaya.
Masterplan konsep wisata
educotourism di Situs Gunung
Padang adalah sebagai berikut:
ILMIAH
34Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Adanya masterplan di atas
maka pengunjung akan lebih
mudah menikmati keindahan
Situs Gunung Padang dan
terseleksi secara alamiah dengan
kemampuan mereka menaiki
tangga. Selain itu, bangunan
megalitik yang menjadi objek
utama juga akan lebih mudah
dikonservasi. Sebagai alternatif
lain, alangkah baiknya keberadaan
warisan budaya seperti Stasiun
lempengan, terowongan, dan
rumah dinasnya; perkebunan
teh rosa; dan wisata air terjun
Cikondang juga dikembangkan
sebagai objek wisata pelengkap
Situs Gunung Padang.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Situs Gunung Padang
sangat riskan terhadap bencana
alam maupun buatan. Bencana
alam datang secara alamiah,
sedangkan bencana buatan
diakibatkan oleh ulah manusia.
2. Konsep wisata
educotourism dapat dijadikan
alternatif upaya pengelolaan Situs
Gunung Padang pada saat ini.
3. Upaya penerapan konsep
wisata educotaurism dapat
dilakukan dengan upaya zoning
kawasan, ekomuseum, dan
Saran penelitian ini adalah
menghimbau masyarakat dan
segenap stakeholder di Situs
Gunung Padang untuk bersama-
sama berkoordinasi dalam upaya
melestarikan dan menyelamatkan
Situs Gunung Padang saat ini dan
untuk masa yang akan datang.
Referensi
Ali Akbar, Taqyuddin. 2013.
Situs Gunung Padang: Misteri dan
Arkeologi. Change Publication.
................. 2011. Artikel :
Adam, Atlantis dan Piramida di
Indonesia : Antara Fakta Arkelogi
dan Gegar Jati Diri, Jakarta :
Departemen Arkeologi Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia
Figur 2. Konsep Wisata Educotourism untuk Situs Gunung Padang Dok. Penulis 2012
Amri, Arfi Bambang dan
Permadi. Gunung Padang
Terancam Ulah Wisatawan, diakses
pada Selasa, 19 Juni 2012.
VIVAnews.
Arief, Andi. Menara Pantau
Situs Gunung Padang Diminta
Dibongkar, diakses pada Selasa, 5
Juni 2012. ANTARA News.
Djavid. 1977. Air Manis di
Gunung Padang. Balai Pustaka
Lutfi Yondri. Peneliti Utama
pada Balai Arkeologi Bandung.
Punden Berundak Gunung Padang
Maha Karya Nenek Moyang dan
Kandungannya akan Nilai-nilai
Kearifan Lingkungan di Masa Lalu
di Tatar Sunda, diakses pada 2
Juni 2014
Martabat alam tujuh
(patarekan). Abad 19. Keraton
Kasepuhan Cirebon. Katalog
Naskah Jawa Barat:428.
Sam. Menguak fakta-fakta
misterius paling fenomenal di
dunia. Enigma 2. 2013. 428.
Jakarta: Tangga Pustaka.
ILMIAH
35 Media Komunikasi Arkeologi
Schiffer, M.B. 1976, Behavioral
Archaeology. New York Academic
Press
Sharer & Ashmore. 1993.
Archaelogy: Discovering Our
Past (second edition). California
Mayfiled Publishing Company.
Singh, Jagbir. 2010.
Ecotourism. New Delhi:
International Publishing House Pvt.
Ltd.
SheldonPauline, Dan
Fesenmaier, Karl Woeber, Chris
Cooper, dan Magda Antonioli.
Tourism Education Futures, 2010–
2030: Building theCapacity to
Lead, diakses pada 23 Juni 2014.
Journal of Teaching in Travel &
Tourism: Routledge
Soejono, R.P. 2002. “Potensi
Arkeologis dan Masalah
Penanganan Situs Gunung
Padang”.
Makalah pada Workshop
Pelestarian dan Pengembangan
Kawasan Situs Gunung Padang,
Kabupaten Cianjur. Cipas, Cianjur,
Agustus 2002 (tidak diterbitkan)
Tanudirjo, D.A. 2000. Reposisi
arkeologi dalam era global. Buletin
cagar budaya,vol.1 no,2,
Juli 2000 (suplemen). Hlm.11-
26
Tanudirjo. D.A. Konggres
Kebudayaan. Warisan
Budaya Untuk Semua: Arah
Kebijakan Pengelola Warisan
Budaya Indonesia di Masa
Mendatangdiakses pada 12 Juni
2014.
ILMIAH
Natawidjaja, Danny Hilman.
2011. Plato Never Lied: Atlantis
is in Indonesia: 139. Jakarta:
BOOKNESIA
The International Dictionary of
Tourism 1953. Monte Carlo: The
International Academy of Tourism.
Wood, Megan Epler. 2002.
Ecotourism: Principles,Practices,
Poicies for Sustainability.Edisi
2002. USA: United Nations
Punlication.
http://id/wikipedia.org/wiki/
SitusGunungPadang
Ilustrasi: Christommy/ARTEFAK
36Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
BERITA PENELITIAN
Bharabudhara Smart Temple: Aplikasi Teknologi Guide Wisata di Candi Borobudur
Peninggalan situs cagar budaya adalah suatu yang dapat memberikan berba-gai manfaat sedikit diantaranya bermanfaat secara ilmu pengetahuan, sosial dan ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa peninggalan situs cagar budaya mempu-nyai nilai eksternalitas yang positif bagi Bangsa dan Negara.Indonesia memiliki
berbagai jenis dan corak cagar budaya serta menyebar di berbagai daerah, potensi untuk dikembangkan dari berbagai aspek masih sangat potensial.Salah satu aspek
yang dapat di kembangkan yaitu aspek pariwisata dan edukasi.
Oleh : M. Hasbiansyah Zulfahri
Bangunan-bangunan
purbakala yang
berasal dari “jaman
purba” terkenal dalam
mulut rakyat dengan nama
“candi” terutama di Jawa.
(Soekmono,2005: 1) Candi adalah
peninggalan arsitektural yang
berasal dari masa klasik Indonesia,
yaitu masa berkembangnya Hindu-
Budha abad ke-5 sampai 15 M.
Tidak terlepas Candi Borobudur,
Candi Borobudur dilihat dari
peradaban dan budaya manusia
dikenal sebagai monument suci
yang terbesar dari umat Budha di
dunia, sehingga candi ini tercatat
sebagi keajaiban dunia dan
mempunyai data-data terlengkap
dibandingkan dengan candi-candi
lain di Indonesia. (Renville, 2002:
39)
Candi Borobudur merupakan
aset situs cagar budaya yang
sangat potensial untuk di
kembangkan. Semenjak candi ini
dijadikan sebagai warisan budaya
dunia (World Cultural Heritage)
Nomor 592 Tahun 1992 oleh
UNESCO. Kunjungan wisatawan
dari tahun ke tahun mengalami
kenaikan. Setiap tahun kunjungan
wisatawan ke Candi Borobudur
sudah mencapai 3.000.000
pengunjung. Sebagai tempat
kunjungan wisata, tentunya
memerlukan sarana dan prasarana
informasi yang memadai untuk
pengunjung. Salah satu bentuk
informasi yang perlu diberikan
kepada pengunjung adalah
informasi tentang makna relief yang
dipahatkan pada dinding candi.
Prasarana dan sarana informasi
tentang relief belum dapat
ditemukan di Candi Borobudur,
Jika pengunjung dipandu oleh
pemandu wisata tentunya akan
mendapatkan informasi tentang
relief. Namun pengunjung yang
datang tanpa pemandu wisata
tentunya tidak akan memperoleh
informasi tentang makna relief
Foto : Hasbi/ARTEFAK
37 Media Komunikasi Arkeologi
yang dipahat di dinding candi.
Dengan melihat kenyataan tersebut
maka perlu upaya inovasi untuk
mengembangkan informasi yang
praktis yang dapat diakses dan
dinikmati oleh pengunjung dengan
mudah.
Menurut Kepala Balai
Konservasi Borobudur, Drs Marsis
Sutopo, beliau menyampaikan
bahwa hampir 80% pengunjung
Candi Borobudur membawa
ponsel tak terlepas dengan
ponsel pintar, hal ini belum dapat
dimaksimal oleh pengelolah karena
keterbatasan SDM. Padahal potensi
ponsel pintar sangat besar, terlebih
untuk mengakses pengetahuan
tentang candi.
Dalam Ilmu Teknologi Informasi
terdapat aplikasi yang dinamakan
dengan aplikasi 3D Unity, aplikasi
ini pada dasarnya adalah sebuah
game engine multi fungsi yang
dapat menghasilkan output
diberbagai platform diantaranya
adalah Windows, iOS, Android,
Blackberry 10, Linux, dan
sebagainya. Selanjutnya untuk
menambah nilai manfaat dari
aplikasi ini, kami modifikasi
dengan aplikasi Vuforia platform
yang memungkinkan pengembang
untuk membuat aplikasi berbasis
Augmemted Reality (AR).
Metode yang digunakan dalam
penelitian penerapan teknologi kali
ini yaitu menerapkan Augmented
Reality (AR) sederhana berbasis
android dengan menggunakan
Vuforia Software Development
Kit dan Unity3D sebagai aplikasi
pengolahnya. Hasil dari penerapan
dan modifikasi aplikasi 3D unity,
kami namakan dengan aplikasi
Bharabudhara Smart Temple,
dengan hasil luaran dari penelitian
penerapan teknologi Augmented
Reality (AR) adalah menerapkan
aplikasi 3D unity sebagai tools
yang dapat bermanfaat bagi
pengunjung Candi Borobudur agar
dapat dengan mudah memahami
relief candi dengan output Android.
Aplikasi yang terapkan
pada relief candi Borobudur
selain membantu memudahkan
pengunjung dalam memahami
makna dibalik setiap relief candi
Borobudur dengan menggunakan
smartphone berbasis Android,
juga membantu Balai Konservasi
Borobudur selaku pengelola dalam
hal penyajian system informasi
relief candi. Sehingga sesuai
catatan amanat (World Cultural
Heritage) Nomor 592 Tahun 1992
oleh UNESCO yang mengatakan
bahwasannya pengunjung berhak
mendapatkan nilai lebih dari situs
warisan dunia. Dengan demikian
tentunya aplikasi Bharabudhara
Smart Temple akan sangat
membantu dalam mencapai
amanat UNESCO tersebut.
Luaran lainnya yaitu
mendigitalisasi Candi Borobudur
sebagai upaya dalam kajian
arkeologi publik merupakan impact
penerapan aplikasi Bharabudhara
Smart Temple. Dengan demikian
istilah candi tempat kuno akan
terbantahkan karena pada
kenyatannya benda/situs kuno
dapat berhubungan dengan
teknologi.
Foto : Hasbi/ARTEFAK
BERITA PENELITIAN
38Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Bu Anggra, begitu beliau
akrab disapa. Salah satu
dosen terbaik Fakul-
tas Ilmu Budaya UGM
yang dimiliki jurusan Arkeologi
ini mulai tertarik denganArkeologi
sejak kecil.Saat SD, guru Seja-
rah beliau berhasil menceritakan
Sejarah Kuna dengan sangat
menarik. Namun minat itu terhenti
di jenjang pendidikan selanjutnya.
Guru Sejarah beliau tidak sukses
bercerita dengan baik.“Apalagi
pada masa SMA,” jelasnya.Guru
Sejarah beliau menjelaskan ma-
nusia purba dengan singkatan-
singkatan.Bagi beliau, itu tidak
masuk akal. “Tidak make sense,”
katanya.“Mengenalkan manusia
purba dengan namaHomo erectus
misalnya, dan menjelaskan dari
Penggali Kearifan: Sosok Dr. Anggraeni, M.A.
“Ngecharge hape!” “Tok!”Bu Anggra memukul meja pelan.“Anak muda sekali”.Be-liau seperti menyayangkan para anak muda yang ditemuinya di Karama. Tidak ada
listrik di sana. Hanya ada sebuah generator. Begitu menyala, seketika anak-anak berebut dengan Bu Anggra yang ingin mencharge laptop dan ponsel demi peker-
jaannya.
Oleh : Umar Hanif Al Faruqy
Foto : Aji/ARTEFAK
SOSOK
39 Media Komunikasi Arkeologi
SOSOK
mana asal-usul namanya, bisa
lebih membantu para siswa untuk
membayangkan seperti apa manu-
sia purba dan bagaimana kehidu-
pannya dahulu kala. Guru menjadi
kunci,” tegas beliau.
Kendati demikian, istilah Arke-
ologi tidak beliau dapatkan dari
guru-guru sejarah yang beliau
temui semasa jenjang pendidikan.
Ayahnya lah yang memperkenalkan
istilah tersebut ketika beliau masih
kecil.
Guru, lagi-lagi menjadi alasan
beliau memiliki minat di bidang
Epigrafi saat bangku kuliah.Na-
mun, beliau terkendala bahasa
sumber yang kebanyakan bahasa
Belanda.“Bahasa Belanda saya
nol,” jelasnya.“Sehingga, kalau
saya mendalami epigrafi, saya
harus belajar bahasa Belanda dulu
dan otomatis, menambah lama
studi.Akhirnya, Bu Anggra memilih
untuk mendalami prasejarah.Ala-
sannya, bahasa sumber prasejarah,
adalah bahasa Inggris, dan beliau
mengaku sedikit menguasainya.
Alasan lain, masa prasejarah
adalah masa yang dialami seluruh
masyarakat di dunia. Jadi, mau
ambil studi di negara manapun,
prasejarah akan tetap ada. Berbe-
da dengan klasik dan Islam, selain
tidak semua masyarakat di dunia
mengalami, Bu Anggra juga tidak
mengungkapkan ketertarikannya
pada bidang-bidang itu.
Sampai saat ini, beliau berkec-
impung di dunia Arkeologi, beliau
merasa cukup dan tidak ingin
pindah ke bidang yang lain. Beliau
pun memberikan pandangan-
nya tentang prospek arkeologi di
Indonesia. Menurut beliau, Arke-
ologi bisa menjadi sumber kreativi-
tas bangsa.Masyarakat bisa saja
mengembangkan motif batik,
misalnya, dari artefak-artefak masa
lalu, atau juga bagi para desainer
dan arsitek, juga bisa membantu
mengembalikan identitas-identitas
bangsa Indonesia melalui karya-
karya kreatifnya.
Dan akhirnya, kini Bu Anggra
telah berhasil menjadi seorang
“The real archaeologist”, yang tak
hanya bertugas menggali tanah
dan mengungkap data, tetapi juga
menggali kehidupan dan mengung-
kap kearifan.
Drama di Kalumpang
“Sampai saat ini, apa sih
yang telah Ibu lakukan untuk
arkeologi?”Menjawab pertanyaan
ini, Bu Anggra tertawa sebentar,
kemudian menjelaskan.Selama ini,
beliau lebih fokus di dunia pendidi-
kan.Turun langsung di masyarakat
masih menjadi hal baru untuknya.
Itu pun masih belum intensif sep-
erti arkeolog-arkeolog lain.Sebagai
pendidik atau dosen, beliau turut
melakukan sosialisasi di daerah
penelitiannya,Kalumpang, Sulawesi
Barat.Sebab, melakukan sosialisasi
sudah menjadi kewajiban, salah
satu tri dharma perguruan tinggi,
“pengabdian pada masyarakat”.
Baru saja menginjakkan kaki
di Australia selama tiga minggu
untuk melanjutkan studinya di
The Australian University, beliau
langsung mendapat tawaran untuk
melakukan penelitian bersama
di Kalumpang. Adalah Pak Tru-
man, yang memberi tawaran
tersebut. Dosen beliau di Australia
pun sontak terkejut,sampai harus
melakukan konfirmasi via email,
seolah Ia tak percaya. Sementara
itu, Bu Anggra sedang kebanjiran
ide yang ingin digarap saat peneli-
tian.Beliau benar-benar memahami
latar belakang dan pentingnya
wilayah Kalumpang. Terlebih, saat
itu belum banyak penelitian yang
dilakukan di sana.Proposal peneli-
tian yang hanya dua lembar dan
sekian banyak dokumen keamanan
untuk keluar dari Australia pun
beres dalam tempo yang singkat.
Di Kalumpang, Bu Anggra ber-
sama Pak Truman meneliti hanya
selama dua minggu. Begitu selesai,
beliau langsung kembali ke Aus-
tralia dengan bekal yang sangat
banyak. Sekian besar biaya yang
digelontorkan Fakultasnya untuk
mendanai penelitian itu berbuah
hasil yang sangat manis. Di sana,
beliau tidak hanya sekedar mel-
akukan penelitian dan sosialisasi.
Beliau juga melihat sebuah drama
terjadi.
Drama tersebut dimainkan
oleh masyarakat dan birokrat
pada tahun 2008.Drama tersebut
bercerita, bahwa masyarakat di
Kalumpang terancam direlokasi
oleh pemerintah tingkat provinsi
dengan alasan pembangunan DAM
untuk pembangkit listrik.Rencana
relokasi itu ternyata juga didukung
oleh beberapa investor.Bagi para
arkeolog, ini menjadi satu ancaman
besar.Kalumpang adalah situs yang
sekupnya mencapai internasional.
Benar saja, ketika Bu Anggra me-
lemparkan isu ini di Australia pada
40Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
saat beliau mengambil S3, para
arkeolog di sana melihat ini sebagi
ancaman yang sangat besar dan
serius.
Beruntung, masyarakat di sana
juga menolak relokasi tersebut.
Mereka merasa memiliki keterika-
tan yang kuat dengan tanah kela-
hiran mereka.Informasi mengenai
keadaan di sana, selanjutnya Bu
Anggra dapatkan melalui peman-
tauan rekan-rekannya di Makassar.
Drama ini berlanjut hingga ta-
hun 2013. Saat Bu Anggra kem-
bali melakukan penelitian di sana,
suasana sedang ricuh. Masyarakat
sampai mendemo gubernur, meno-
lak pembangunan DAM.
Sebelum melakukan penelitian,
Bu Anggra melakukan sosialisasi
kepada masyarakat Kalumpang.
Beliau menceritakan nilai penting
Kalumpang untuk arkeologi dan
sejarah bangsa Indonesia.Barulah
mereka tersadar, di mana posisi
mereka, nenek moyang mereka,
serta tanah leluhur mereka ini
memiliki sejarah yang luar biasa
panjangnya.
Sebenarnya, ada satu kepala
adat di sana, yang bacaannya luas
dan sudah banyak tahu tentang
penelitian-penelitian arkeologi yang
dilakukan di Kalumpang. Tetapi
selama itu pula, sosialisasi yang
dilakukan rupanya masih sangat
minim.Sehingga, Bu Anggra mera-
sa sosialisasi yang dilakukan pada
saat itu adalah momentum yang
sangat tepat, sehingga masyarakat
dapat tahu persis.Dan mereka
dapat menjadikan arkeologi ini
sebagai tameng tambahan untuk
menolak pembangunan DAM yang
berujung pada ancaman relokasi
tersebut.
Selesai melakukan sosialisasi,
keterlibatan Bu Anggra di tengah
masyarakat Kalumpang belum se-
lesai.Beliau berusaha untuk men-
jembatani berbagai permasalahan
yang ada.Di antaranya, masyarakat
meminta agar para peneliti yang
sembarang masuk mengambil
temuan untuk mengembalikan lagi
temuan-temuannya.Mereka juga
meminta dibangunnya museum
atau pusat informasi di wilayah
Kalumpang. Di antara banyak
masalah itulah, Bu Anggra merasa
punya kewajiban untuk mengawal
dan membantu merealisasikan
harapan-harapan masyarakat, agar
masyarakat Kalumpang memiliki
bukti nyata dan tegas akan be-
sarnya nilai arkeologi di sana. Dari
berbagai permasalahan itulah, Bu
Anggra menjalin keterikatan batin
dengan masyarakat dan daerah
yang beliau pijakkan kakinya, dan
kemudian memperkuat ikatan itu.
Pengetahuan yang Ter-putus
Selain Kalumpang, Bu Anggra
juga melakukan penelitian di dekat
muara sungai Karama, Sulawesi
Selatan. Beliau merasa heran
dengan adanya sebaran temuan
yang mengindikasikan pemukiman
di sepanjang sungai, yang menun-
jukkan masa neolitik hingga logam
awal.Di Karama itulah, beliau
memutuskan untuk tinggal meneliti
selama dua bulan.Waktu dua bulan
jelas bukanlah waktu yang singkat.
Waktu selama itu, membuat Bu
Anggra faham mengenai kondisi
sosial masyarakat di sana. Selama
itu beliau melakukan penelitian,
selama itu pula beliau kembali
membangun keterikatan batin. Se-
lama dua bulan itu beliau menggali
tanahKarama untuk mengungkap
data.Dan selama itu pula beliau
menggali kehidupan masyarakat
untuk mengungkap kearifan.
Wilayah yang Bu Anggra teliti
di Karama, berada di dekat ke-
camatan.Tepatnya berada di Dusun
Pantaraan.Meskipun berada di
dekat kecamatan, tingkat pen-
didikan rata-rata masih lulusan
SD. Sanitasi di sana pun terbilang
buruk. Air sangat tercemar karena
para petani di sanamenggunakan
pestisida dengan ukuran yang
sangat berlebihan. Maklum, para
petani itu rata-rata masih lulusan
SD. Mungkin mereka tidak menger-
ti kadar pestisida yang wajar
seberapa banyak. Gara-gara itu,
Bu Anggra harus terkena serangan
diare sampai dua kali! Penggunaan
pestisida yang terlewat batas itu
juga berdampak pada pohon-pohon
cokelat mereka yang tumbang
keracunan.“Padahal karena tana-
man cokelat itulah dahulu mereka
pernah jadi orang kaya,” jelas Bu
Anggra.
Di muara sungai Karama inilah,
Bu Anggra lagi-lagi menemukan
masalah yang sama dengan apa
yang beliau temukan di Gunung
Kidul.Masalah kearifan lokal mulai
tergusur modernisasi. Kearifan-
kearifan lokal yang dahulu dimiliki
masyarakat di sana mulai terpu-
tus. Kearifan yang selalu diwarisi
SOSOK
41 Media Komunikasi Arkeologi
melalui transfer knowledge secara
turun-temurun sejak dulu, kini seo-
lah telah mencapai titk jenuhnya.
Gelombang modernisasi datang
sampai ke desa-desa, merusak
hubungan manusia dengan alam.
Manusia yang dulu mampu be-
radaptasi dengan alam, mulai
berubah menjadi manusia yang
mengeksploitasi alam.
Di sinilah Bu Anggra mene-
kankan agar kita bisa belajar dari
kearifan-kearifan yang masih ada
di tengah masyarakat desa atau
tradisional.Kearifan tersebut, dapat
kita lihat dari bangunan rumah
tradisional misalnya.Rumah-rumah
tradisional lebih banyak mengguna-
kan kayu.Tentunya, bukan semba-
rang kayu. Yang menarik, adalah
bagaimana masyarakat tradisional
itu mendapat pengetahuan ten-
tang kayu seperti apa dan dari
mana kayu yang paling tepat untuk
membangun rumah itu didapat.
“itu kana ada ilmunya,” tegas Bu
Anggra. “Nah itu, kita belajar dari
situ”.Itulah yang membuat Bu Ang-
gramemilih untuk memiliki rumah
yang terbuat dari kayu.Beliau juga
tidak suka dengan rumah yang
terkesan modern.Beliau lebih suka
yang memiliki kesan etnik.
Akan tetapi, ada satu masalah
yang biasanya harus dihadapi para
pemilik rumah kayu, yakni rayap.
Bu Anggra yang membeli kayu dari
para tukang jelas harus berhada-
pan dengan masalah ini. Sebab,
tukang kayu tidak peduli kayu sep-
erti apa yang harus ia jual. “Kalau
kayu muda saja bisa, kenapa harus
yang tua.”Berbeda dengan kayu
yang masyarakat tradisional pilih
SOSOK
Foto : Andi/ARTEFAK
42Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
untuk membangun rumah-rumah
mereka.Itu sebabnya, mengapa
rumah mereka bisa bertahan mini-
mal sampai seratus tahun.Ketika
melakukan penelitian itulah, Bu
Anggra berpikir bagaimana beliau
memperoleh kayu seperti itu. “Tapi
ya… apa boleh buat.”
Lain rayap, lain tikus. Bagi Bu
Anggra, tikus benar-benar menjadi
musuh utama. “Karena kucing saya
suka makan tikus tanpa dihabis-
kan, jadi saya fobia terhadap tikus.
Tikusphobia”.Di situ lagi-lagi beliau
melihat masyarakat tradisional
begitu arif.Mereka membangun
pagar atau batas berupa papan
yang melingkar jauh lebih lebar
daripada tiang. Sehingga begitu
tikus memanjat tiang itu untuk
mencapai lumbung padi mereka,
tikus itu akan tertahan oleh papan
itu dan membuat tikus harus mer-
ayap dengan cara terbalik. “Nah itu
kan tidak mungkin.Ini satu kearifan
lokal yang membuat si tikus tidak
bisa memangsa padi.Dan masih
ada banyak kearifan lokal lainnya
yang saya pelajari dari masyarakat
dan arkeologi”.
Akan tetapi, kearifan-kearifan
lokal itu, sekali lagi, terancam ter-
henti. Bu Anggra di Gunung Kidul
melihat orang-orang tua di san-
asudah kehilangan generasi mu-
danya yang memilih pergi ke kota.
Sayangnya, kondisi ini diperparah
dengan orang-orang tua itu yang
juga melihat bahwa pengetahuan
lokal mereka seolah sudah tidak
pas untuk diturunkan lagi kepada
anak-anak mudanya.
Entah apakah karena mereka
hidup sebagai petani, sedang
anak muda di sana sangat sedikit
sekali yang menjadi petani. Ke-
banyakan dari anak muda di sana
memang pergi ke kota, mencari
dan membawa uang yang bisa
dipakai untuk membangun desa
mereka. Padahal, bagaimanapun
juga Gunung Kidul masih mem-
butuhkan anak-anak muda yang
meneruskan menjadi petani, untuk
menerima kearifan-kearifan lokal
yang dimiliki orang-orang tua di
sana.Mereka butuh itu.Gunung
Kidul kini sudah sangat terancam
dengan penambangan besar-besa-
ran.Entah untuk urusan kosmetik
atau bahan bangunan.Entah untuk
infrastruktur atau lainnya.Jika ini
terus dibiarkan, kantong air mereka
bisa menghilang.“Kearifan-kearifan
seperti itu, yang lama-lama meng-
hilang”.
Hal itu berdampak besar.Trans-
fer of knowledge yang terputus me-
nyebabkan anak-anak muda baik
di Gunung Kidul terlebih Karama,
mungkin juga desa-desa lainnya,
kini beralih orientasi kepada duit.
Semuanya adalah tentang duit.
Duit, duit, dan duit! Bu Anggra
melihat itu.Meskipun untuk me-
mastikannya, perlu ada penelitian
lebih lanjut.
Di Karama, misalnya. Meskipun
berada di dekat kecamatan, namun
daerah itu masih tidak ada listrik.
Energi listrik mereka bergantung
pada sebuah generator yang ada
di sana. Generator ini dihidupkan
dengan bahan bakar, yang tentunya
mahal.Sedangkan kualitas ekonomi
mereka sudah menurun akibat
tanaman cokelat mereka yang
mati.Sehingga, Bu Anggra merasa
harus membelikan bahan bakar
generator itu, agar dapat bekerja
dengan baik.
DRRRMM! DRR DRR DRR
TAK TAK TAK… begitu genera-
tor menyala dan terdengar di satu
dusun itu, anak-anak muda di sana
seketika berdatangan “Apa yang
mereka lakukan?” Tanya Bu Anggra
pada kami ketika berbincang den-
gan beliau.Kami bingung.Entahlah,
kami belum pernah melihat hal
seperti itu.“Ngecharge hape!”Bu
Anggra diam sejenak, “Tok!”Bu
Anggra memukul meja pelan.“Anak
muda sekali!”Beliau seperti men-
yayangkan para anak muda yang
ditemuinya di Karama.Tak hanya
duit dan hape, mereka juga mem-
bawa kendaraan, televisi, bahkan
kulkas!Semuanya berlomba-lomba
mendatangkan lambing-lambang
kemajuan. Maju, maju! Semua itu,
mereka persembahkan untuk diri
mereka, orang tua mereka, mung-
kin juga untuk desa mereka.
Dengan listrik yang hanya
ditanggung sebuah generator itu,
nyatanya kulkas yang mereka bawa
tidak berfungsi sama sekali. Tel-
evisi mungkin masih bisa menyala.
Bu Anggra melihat bagaimana
televisi di sana berubah menjadi
primadona di desa. Sejak tel-
evisi masuk ke sana. Tak ada lagi
tradisi bercerita di waktu senggang,
menyambung kearifan yang telah
lama diwariskan.Semuanya lebih
memilih datang menonton televisi.
Yang menampilkan gambar-gambar
hidup bernama sinetron. Mereka
melihat adegan si kaya dan si
miskin di kota. Televisi, berhasil
menjadi guru mereka.
SOSOK
43 Media Komunikasi Arkeologi
Keadaan seperti itu akan
sangat berisiko terutama bagi
kehidupan anak-anak kecil di
sana. Bu Anggra merasa harus ada
pemantik untuk kembali menyala-
kan api kearifan lokal. Transfer
of knowledge harus dibangun
kembali. Beliau berharap agar
orang-orang luar bisa membantu
mengembalikan itu semua dengan
meningkatkan kualitas pendidikan
di sanadan mengajarkan kepada
anak-anak agar senang membaca.
Bahkan, beliau pun tertarik untuk
mengajak calon sarjana, mel-
akukan pengabdian berupa KKN
(Kuliah Kerja Nyata) di sana. “Ya…
siap-siap bawa obat yang banyak”.
Beliau mengatakan itu sambil
tersenyum.Kami pun ikut terseny-
um. Dalam hati, kami bergumam,
Aduh! Harus-harus siap diare
berkali-kali ini.Anda berminat?
SOSOK
Foto : Andi/ARTEFAK
44Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
RESENSI BUKU
Ekskavasi di halaman Candi Mendut berlangsung selama sepekan. ada sepuluh kelompok penggali dan lebih dari dua belas kotak diekskavasi. dengan jumlah sebanyak itu, halaman Candi Mendut terlihat ramai dan padat.
Traffic Jam in Excavation
45 Media Komunikasi Arkeologi
Ekskavasi di halaman Candi Mendut berlangsung selama sepekan. ada sepuluh kelompok penggali dan lebih dari dua belas kotak diekskavasi. dengan jumlah sebanyak itu, halaman Candi Mendut terlihat ramai dan padat.
Traffic Jam in Excavation
Foto : Andi/ARTEFAK
46Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Ekskavasi yang dilakukan
berlangsung selama lima hari
pada tanggal 21-25 April 2014
dengan melibatkan 9 orang dari
Balai Konservasi Borobudur,
1 orang dari Balai Arkeologi
Yogyakarta, 3 orang dari Jurusan
Arkeologi UGM, dan 8 tenaga
lokal. Penggalian dilakukan di
sisi Utara, Barat, dan Tenggara
Candi Mendut. Di dalam ekskavasi
ekskavasi ini bertujuan untuk
menambah data arkeologis
Candi Mendut yang hingga
saat ini masih minim data-data
arkeologi. Dari beberapa literatur
menyebutkan bahwa Candi
Mendut dulunya berbahan batu
bata yang kemudian ditutupi
dengan batu andesit seperti yang
terlihat saat ini.
Berawal dari laporan juru
pelihara Candi Mendut yang
menemukan temuan bata di
halaman utara candi ketika
melakukan penggalian kolam,
maka Balai Konservasi Borobudur
melakukan ekskavasi di beberapa
titik zona 1 Candi Mendut.
Selain menanggapi laporan
dari juru pelihara Candi Mendut,
Ekskavasi di Halaman Candi Mendut, Magelang
Foto : Umar/ARTEFAK
Oleh : Fatma Yunita
DARI LAPANGAN
47 Media Komunikasi Arkeologi
DARI LAPANGAN
terdiri atas 5 orang tenaga lokal,
10 orang mahasiswa, dan 2 orang
dosen pebimbing dari jurusan
Arkeologi UGM.
Selama proses penggalian,
tim belum menemukan adanya
struktur candi yang menandakan
bahwa di situs tersebut telah
berdiri suatu candi. Tim hanya
menemukan reruntuhan batuan
candi dan beberapa antefik.
Menurut Kepala Kelompok
Kerja (Kapokja) Pengamanan,
rumah mantan lurah desa itu.
Laporan tersebut baru
ditanggapi oleh pihak BPCB
pada bulan April 2014 karena
mereka terlebih dahulu melakukan
peninjauan lokasi dan membuat
pemetaan untuk ekskavasi
penyelamatan. BPCB bekerjasama
dengan jurusan Arkeologi UGM
melakukan ekskavasi yang dimulai
dari tanggal 28 April hingga 09
Mei 2014. Proses penggalian
sendiri menggunakan 17 tenaga,
Ekskavasi situs Tegalweru
berada di area persawahan milik
seorang warga Dusun Tegalweru,
Desa Sariharjo, Kecamatan
Ngaglik, Kabupaten Sleman.
Kegiatan ekskavasi itu dilakukan
karena pada bulan Januari lalu
pemilik tanah melapor ke kantor
Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) Yogyakarta bahwa ia
mengaku menemukan arca di
tanahnya pada tahun 1964 dan
kini arca tersebut disimpan di
Ekskavasi Situs Tegalweru
keramik.
Temuan-temuan tadi
memunculkan berbagai
interpretasi dan pertanyaan-
pertanyaan besar. Bahkan hingga
artikel ini ditulis, Balai Konservasi
Borobudur dan Tim Arkeolog pun
belum dapat mengasosiasikan
temuan. Maka dari itu diperlukan
pengkajian secara mendalam dan
penelitian lebih lanjut.
Setelah masa pelatihan
berakhir, kotak galian ditutup
sementara dikarenakan halaman
candi akan digunakan sebagai
tempat perayaan hari raya Waisak,
Kamis, 15 Mei 2014. Selanjutnya
ekskavasi akan dilanjutkan
kembali oleh Balai Konservasi
Borobudur setelah hari raya
Waisak.
bagian dari candi perwara
Mendut. Struktur tersebut
berada di halaman dengan jarak
sekitar 20 meter dari sisi Utara
bangunan utama Candi Mendut.
Menurut Kepala Balai Konservasi
Borobudur, Marsis Sutopo,
mengatakan bahwa sisa-sisa
batu candi yang bukan bagian
dari Candi Mendut dan selama
ini tersimpan di halaman candi
diindikasikan merupakan bagian
dari candi perwara Mendut.
Selain struktur lantai,
ditemukan pula susunan batu-batu
bolder dan lapisan pengerasan
tanah yang bercampur dengan
hancuran bata merah. Temuan ini
termasuk fitur artifisial yakni fitur
yang dibuat oleh manusia dengan
sengaja. Pada penggalian kali ini
ditemukan temuan artefaktual
seperti fragmen gerabah dan
tersebut ditemukan struktur bata
yang memanjang sejajar dengan
Candi Mendut.
Ekskavasi yang sudah
dilakukan itu dilanjutkan oleh
mahasiswa Jurusan Arkeologi
UGM yang sedang melakukan
pelatihan ekskavasi. Pelatihan
diikuti oleh 53 mahasiswa dan 4
orang dosen pendamping selama
satu minggu dimulai dari tanggal
24 April 2014 hingga 30 April
2014. Para mahasiswa dibagi
menjadi 10 kelompok yang
masing-masing kelompok terdiri
dari 5-6 orang.
Dari hasil pelatihan ekskavasi,
mereka menemukan struktur
lantai yang terbuat dari batuan
desit diduga merupakan bagian
dari bangunan pendukung Candi
Mendut. Ada kemungkinan
temuan baru itu merupakan
Oleh : Fatma Yunita
48Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
tahun lalu.
Di dalam melakukan kegiatan
tersebut, tim mengalami kendala
karena banyaknya air pada
lubang galian sehingga sulit
mengangkat batuan candi ke
permukaan. Hal tersebut terjadi
Penyelamatan, dan Zonasi BPCB
DIY, M. Taufik, temuan situs ini
diduga pernah berdiri sebuah
candi. Namun beliau juga tidak
menampik kemungkinan batuan
candi terbawa oleh arus lahar
dingin erupsi Merapi ratusan
Foto : Fatma/ARTEFAK
Foto : Fatma/ARTEFAK
DARI LAPANGAN
karena lokasi situs berada di area
persawahan. Meskipun begitu
kegiatan ini dapat dilalui sampai
akhir kemudian ketika proses
penggalian berakhir, hasil temuan
didokumentasikan dan setelahnya
lubang galian ditutup kembali.
49 Media Komunikasi Arkeologi
terbangun dari tidur pulasmu
mungkin engkau ingin menikmati udara
serta hiruk pikuk abad ini
kami singkapkan selimut hangatmu
selimut lahar yang menjagamu
rupamu pun mulai terlihat
cermin kejayaan Mataram
ditemani tiga perwara setia
bersama gelang pagarmu
kau tunjukkan kemegahanmu
untuk sebentar,
untuk dikagumi
untuk bahan intepretasi
untuk sebentar,
untuk diteliti
untuk sebentar, ya untuk sebentar
usiamu yang semakin renta
mungkin tulangmu mulai rapuh
tak kuat menahan terjangan hujan
tak tahu berapa lama
bertahan dari sinar surya
yang menjadi tenda di waktu siang
Candi SambisariOleh : M. Wahyu Sholihudin
PUISI
Foto : Aji/ARTEFAK
50Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Peristiwa yang terjadi
pada masa lalu yang
ingin dimaknai ke dalam
penguatan jati diri
bangsa sekarang memang tidaklah
mudah. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan waktu yang menjadi
penghambatnya. Sehingga perlu
adanya pemaknaan lebih untuk
persitiwa masa lalu agar menjadi
pelajaran baik untuk masa kini
atau pun masa mendatang.
Judul buku : Arkeologi Untuk Publik “Peranan Arkeologi dalam Pembangunan Jati Diri dan Karakter Bangsa”
Penulis : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
Penerbit : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
Cetakan : 2012
Tebal : 824 halaman 39-74
Arkeologi untuk PublikOleh : Hera Indry
Foto : Aji/ARTEFAK
RESENSI BUKU
51 Media Komunikasi Arkeologi
memahami akan arti pentingnya
pelestarian tinggalan arkeologi yang
semuanya itu akan bermanfaat
bagi kehidupan manusia.
Selain itu dalam buku ini
juga dijelaskan tentang Ida Bang
Hyang yang terampil, bijak dan
suka berkorban. Pribadi tersebut
penting untuk menguatkan jati diri
bangsa dengan sikap personalnya
itu
Belajar dari tulisan tersebut
kita dapat melihat bahwa ilmu
arkeologi dapat mengungkap
beberapa makna yang terdapat
pada tinggalan, makna dari
tinggalan yang memiliki arti
tentang pentingnya penguat jati diri
dan karakter bangsa. Penjelasan
yang singkat namun detail bagi
kalangan umum.
Pemaknaan dalam konteks
penguatan jati diri bangsa salah
satunya ialah tiga arca naga yang
tersimpan di Goa Raja Besakih.
Naga atau ular adalah simbol
bumi yang dimaknai sebagai
simbol kesuburan kemudian
dikaitkan dengan Raja Naga
Tiga: Hyang Anantaboga, Hyang
Basuki dan Hyang Taksaka atau
dewa-dewa kesuburan. Para dewa
menciptakan baik buruk jagat raya
dari Gunung Mahameru. Gunung
ini dililit oleh Sang Hyang Naga
Tiga yang merupakan dewa-dewa
Trimurti yang pada hakikatnya
merupakan Siwa sebagai sumber
kesejahteraan. Sumber-sumber
kesejahteraan yang melimpah ruah
itu juga perlu adanya kepribadian
khusus untuk mengolahnya. Hal
tersebut menerangkan bahwa
sumber daya yang ada juga harus
dioleh demi adanya kesejahteraan.
Kontribusi arkeologi dalam
pembangunan karakter dan jati diri
bangsa, ditunjukan pada penelitian
yang dilakukan di Jawa Timur
tentang permukiman di kawasan
danau-danau sebagai salah satu
sumber daya yang ada. Terdapat
tiga pengelompokan di danau,
pengelompokan ini dikaitkan
dengan pola perilaku masyarakat
sekarang dalam mengelola
lingkungan alamnya. Dari
penelitian ini dapat bermanfaat
bagi kehidupan manusia, karena
dapat mengetahui tentang
pentingnya menjaga dan merawat
lingkungan alam. Pengelolaan
sumberdaya arkeologi ini akan
melibatkan peran masyarakat
sekaligus masyarakat akan cepat
Foto : Aji/ARTEFAK
RESENSI BUKU
52Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
Pembersihan dilaksanakan di
Candi Garuda depan Candi Siwa,
di bagian tubuh candi sampai
pagar dan keliling candi.
Dikatakan ketua kegiatan
Aris Setyawan dari PT Kawan
Lama DIY, pembersihan candi
menggunakan alat semprot
bertekanan cukup tinggi. Untuk
penyedotan debu digunakan
vacum S3 cfm yang didatangkan
dari Jakarta.
Pembersihan Candi
Garuda, Sabtu (22/2)
dilaksanakan secara berhati-
hati, dengan metode yang benar
sehingga abu yang ada dicelah-
celah batu bisa tersapu bersih.
Seperti dikatakan petugas dari
BPCB DIY, abu yang masuk
dicelah-celah batu candi akan
berakibat fatal bagi kekuatan
susunan batu candi.
(Isw)-f
namun juga pihak swasta seperti
PT Kawan Lama Sejahtera
Peduli Bencana. Dengan
mengerahkan sejumlah petugas,
PT Kawan Lama ikut membantu
membersihkan abu vulkanik yang
menempel di Candi Prambanan,
Sabtu-Senin (22-24).
Sedangkan petugas dari
Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) DIY juga ikut membantu.
PRAMBANAN (KR) - Untuk
menggairahkan kembali
kunjungan wisata di Candi
Prambanan, setelah sempat
ditutup untuk umum karena abu
vulkanik Gunung Kelud, hingga
Sabtu (22/2) kompleks wisata
candi tersebut masih dilakukan
pembersihan.
Pembersihan candi tak
hanya dilakukan pengelola,
itu setelah kita punya cetak biru
dan rencana aksi,” kata Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
saat meninjau Situs Gunung
Padang di Desa Karyamukti
Kecamatan Cempaka Kabupaten
Cianjur Jawa Barat, Selasa (25/2).
Eropa, Tiongkok, dan lain-lain.
“Ini tentu sesuatu yang
luar biasa di mata mereka. Saya
berprinsip dan berpendapat kita
buat dulu cetak biru. Kemudian,
kalau mereka ingindatang,
menyaksikan atau apapun, semua
CIANJUR (KR) – Melihat
usianya, Situs Megalithikum
Gunung Padang akan banyak
menarik perhatian peneliti asing.
Apalagi situs ini dikaitkan dengan
situs serupa di banyak Negara
di Amerika Latin, Timur Tengah,
Abu Vulkanik di Candi Garuda Dibersihkan
Situs Gunung Padang Terbesar di Asia Tenggara
GUNTINGAN RINGAN
53 Media Komunikasi Arkeologi
Situs Gunung Padang akan
menjadi ikon sejarah warisan dan
wisata, sekaligus menghormati
leluhur. Penelitian akan bisa
memugar kembali menjadi original
site dan temuan-temuan yang
mungkin bisa lebih melengkapi
lagi, seperti kisah pemugaran
Candi Borobudur.
Dari hasil penelitian Tim
TPRM, Situs Gunung Padang
berusia lebih dari 10.000 tahun
sebelum Masehi. Luas kompleks
bangunan kurang lebih 900 m2
dan berada di areal seluas 3
hektare. Hal ini menjadikan Situs
Gunung Padang merupakan situs
punden berundak terbesar di Asia
Tenggara.
(Sim)-d
Kemudian, kita lakukan penelitian
lanjutan dan nanti pemugaran,”
tuturnya.
Tim Terpadu Riset Mandiri
(TPRM) Situs Megalith Gunung
Padang telah bekerja sejak 2011.
Dimulai dengan membentuk tim
peneliti katastrofi purba untuk
melakukan penelitian lebih
lanjut tentang situs megalith ini.
Presiden akan mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres)
dan Peraturan Presiden (Perpres)
untuk memperjelas organisasi
pemugaran situs megalitik
tersebut. Keppres dan Perpres
tersebut juga mengatur penetapan
area penelitian, pembagian tugas
dan tanggung jawab anggaran,
serta logistik yang diperlukan.
Ditambahkan, penggalian
Keterlibatan pihak
asing dalam penelitian, sejauh
membawa manfaat, sah-sah saja.
Namun, Presiden mengingatkan,
hendaknya prioritas untuk putra-
putri bangsa. Mengingat situs
ini sudah lama diketahui publik,
menjadi tanggung jawab peneliti
untuk melakukan pemugaran
sampai tuntas. “Jangan hanya
business as usual, melainkan
harus ada percepatan-percepatan
dan tentunya dengan tidak
menghilangkan kehati-hatian,”
ujarnya.
Presiden berharap
dukungan semua pihak, termasuk
masyarakat local, sehingga tim
bisa bekerja optimal. “Mudah-
mudahan dalam satu-dua
bulan ini maksimal, sudah bisa
kita tetapkan (kebijakannya).
pemeriksaan di laboratorium BKB
di batangan logam tersebut tidak
mengandung unsur emas atau Au
(aurum). Tetapi, untuk hasil resmi
masih menunggu surat dari BKB,”
kata Joko.
Seperti diketahui
sebelumnya pada pertengahan
Januari 2014 ada penemuan peti
berisi 28 batang logam batangan
mirip emas di Pantai Glagah.
Pada setiap logam tertulis tahun
1945, gambar dunia dan gambar
Presiden RI pertama, Ir Soekarno.
Kepurbakalaan (Sepur), Singgih
Hapsoro yang ditemui di ruang
kerjanya, Rabu (26/2).
Dikatakan, 3 dari 28
logam batangan untuk dilakukan
penelitian di BKB Magelang.
Disbudparpora masih menunggu
surat resmi dari BKB. Dari
hasil deteksi peralatan yang
digunakan di laboratorium pada
logam batangan tersebut tidak
mengandung unsur emas.
“Beberapa pegawai Bidang
Kebudayaan dapat melihat hasil
WATES (KR) – Balai
Konservasi Borobudur (BKB)
Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang melakukan
penelitian di laboratorium
terhadap penemuan logam
batangan di Pantai Glagah
memastikan bukan emas.
Hal tersebut disampaikan
Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas
Kebudayaan Pariwisata Pemuda
dan Olahraga (Disbudparpora)
Kulonprogo, Joko Mursito dan
Kepala Seksi Sejarah dan
Penelitian Balai Konservasi BorobudurLogam Temuan Bukan Emas
GUNTINGAN RINGAN
54Edisi 30 | Volume 1 | November 2014
batangan bertuliskan tahun 1945
apakah dapat dikategorikan benda
cagar budaya atau tidak. “Untuk
menentukan membutuhkan
penelitian lebih lanjut,”
tambahnya.
(Ras)-b
karun tidak terbukti. Menurutnya,
dalam logam batangan tersebut
mengandung unsur besi (Fe),
tembaga (Cu), seng (Zn), timah
(Sn), atau Cu 55, Nikel (Ni),
antimon (Sb) dan sejumlah
kandungan lain.
Dijelaskan, Disbudparpora
masih akan mendalami logam
Singgih Hapsoro
mengatakan untuk mengetahui
kepastian kandungan dalam
logam batangan tersebut,
Disbudparpora meminjam tiga
batang logam untuk diteliti di BKB
Magelang. Dari hasil penelitian di
laboratorium menunjukkan dugaan
logam batangan tersebut harta
pertitaan, yakni sumber ait atau
tempat pemandian. “Tim akan
berada di lapangan untuk meeliti
dan mengambil data hingga 8
April nanti,” ujarnya.
Agustijanto menambahkan,
jika prasasti tersebut berasal
dari daerah periode 760 Masehi
dan ada struktur bangunan di
dekatnya, maka bisa digolongkan
bangunan tua. Berdasarkan data,
prasasti tertua adalah Prasasti
Canggal di Magelang, ada tanda
penanggalan 732 Masehi. “Di
bandingkan dengan prasasti
Canggal yang hanya berjarak
sekitar 20 hingga 40 tahun,
maka bisa dikatakan cukup tua di
periodisasi Syailendra,” ujarnya
Pamong Budaya Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Semarang Tri Subekso
mengaku telah memberikan
pengertian kepada warga dan
tokoh masyarakat sekitar lokasi
ekskavasi. (agus joko)
khususnya di wilayah pantai utara
Jawa. Penelitian dimulai dari
kabupaten Tegal, Pekalongan,
Batang hingga Kabupaten
Semarang. “Di Kabupaten Batang,
tepatnya di wilayah Gringsing,
selama dua minggu di sana
sempat menemukan petirtaan dan
jalan tembus ke dieng,” ucapnya.
Benda-benda di Tuntang
tersebut bermula dari temuan
sebuah prasasti tak jauh dari
lokasi ekskavasi saat ini. Tmuan
prasasti bertuliskan angka 685
Saka atau sekitar 760 Massehi
tersebut memberikan petunjuk
adan adanya peradaban lampau
di Ngreco. Tim arkeolog tengah
melakukan penelitian lebih lanjut
untuk memastikan benda-benda
di Ngreco merupakan peninggalan
abad ke-7.
Termasuk meneliti jejak
jaladwara. Pasalnya, batu panjang
yang merupakan gugusan saluran
air dengan hiasan fragmen
tertentu ini mengindikasikan ada
UNGARAN-Tim gabungan
arkeologi menemukan sejumlah
benda kuno dan artefak yang
diduga peninggalan peradaban
masyarakat dari abad ke-7 Masehi
di wilayah Dusun Ngreco, Desa
Kesongo, Kecamatan Tuntang.
Benda purbakala berupa
batu bata, pecahan gerabah, dan
jaladwara ditemukan tim ahli
gabungan dari Pusat Arkeologi
Nasional, Jakarta bersama Balai
Arkeologi UGM Yogyakarta,
Geomorfologi ITB Bandung,
serta Pusat Kebudayaan Prancis
di Jakarta. “Melihat temuan
ini, berarti di sini sebelumnya
ada peradaban. Ada batuan
candi (batu bata), pecahan
dan jaladwara,” ujar ketua tim
dati Pusat Arkeologi Nasional
Agustijanto Indradjaja kemarin.
Menurut Agustijanto,
temuan di Tuntang tersebut
merupakan rangkaian penelusuran
ahli arkeologi atas jejak
kebudayaan era dinasti Syailendra,
Artefak Abad ke 7 Ditemukan di Tuntang
GUNTINGAN RINGAN
55 Media Komunikasi Arkeologi
Foto : Aji/ARTEFAK
56Edisi 30 | Volume 1 | November 2014