Luka bakar sangat fix
Transcript of Luka bakar sangat fix
Laporan Praktikum ke-1 Tanggal mulai : 21 Februari 2011 M.K. Patofisiologi Tanggal selesai : 21 Februari 2011
LUKA BAKAR
Oleh:
Kelompok 3
Septian Suhandono I14090007
Ilyatun Niswah I14090008
Rieska Indah Mulyani I14090009
Fitriani Batubara I14090010
Masruroh Mastin I14090011
Asisten Praktikum:
Guntari Prasetya S.Gz
Koordinator Mata Kuliah:
dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah terlepas dengan panas.
Panas itu kadang baik untuk kita akan tetapi kadang merupakan hal yang buruk,
seperti ketika tangan kita menyentuh setrika maka akan menimbulkan luka yang
kita kenal dengan luka bakar. Penyakit luka bakar bukan penyakit yang baru.
Penyakit luka bakar sangat banyak kita jumpai dalam kehidupan disekitar kita.
Dimulai dari luka bakar yang tingkat kecil sampai luka bakar yang sudah kategori
tinggi. Dalam kehidupan sehari – hari sering kita lihat penyakit luka bakar
dibiarkan tanpa diobati. Seharusnya penyakit luka bakar harus mendapat
perhatian dengan cara mendapat pengobatan yang layak.
Penyakit luka bakar tidak seharusnya dipandang kecil karena penyakit
luka bakar jika tidak diobati atau tidak mendapat penanganan yang tepat dapat
bertambah parah bahkan dapat menimbulkan gangguan tubuh yang lain. Bagi
penderita luka bakar selain memperhatikan penanganan untuk mengobati
lukanya, seharusnya juga memperhatikan asupan gizi dalam makanan yang
dikonsumsi. Hal itu bertujuan agar luka bakar dan kulit yang rusak cepat kembali
ke kondisi semula.
Penyakit luka bakar memberi dampak pada tubuh kita. Selain kulit yang
rusak tetapi kadang luka bakar yang dalam itu sudah mencapai hingga bagian
dalam seperti tulang dan lapisan lemak dibawah kulit. Suhu panas akibat luka
bakar juga menyebabkan terjadinya denaturasi protein dalam tubuh terutama di
daerah luka bakar. Hal tersebut sangat penting diperhatikan. Selain denaturasi
protein panas yang disebabkan luka bakar juga menyebabkan terjadinya
penurunan cairan dan tekanan darah rendah pada pembuluh darah. Oleh sebab
itu kita sangat penting menanggulangi segera luka bakar. Penderita luka bakar
memerlukan asupan gizi dari makanan lebih banyak daripada orang dalam
keadaan sehat karena berada dalam hipermetabolik.
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
oleh energi panas atau bahan kimia atau benda-benda fisik yang menghasilkan
efek baik memanaskan atau mendinginkan. Luka bakar adalah suatu trauma
yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai
kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam.
Luka bakar merupakan luka yang unik diantara bentuk-bentuk luka lainnya
karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap
berada pada tempatnya untuk jangka waktu yang lama.
Keparahan luka bakar menentukan derajat perubahan yang tampak di
dalam organ-organ dan sistem tubuh. Cedera termal menimbulkan luka terbuka
karena kulit yang rusak. Setelah luka bakar, perfusi kulit menurun karena
pembuluh darah tersumbat dan terjadi vasokonstriksi. Volume intravaskular
menurun karena cairan merembes dari ruang intravaskular ke ruang interstisial
karena permeabilitas kapiler meningkat. Cedera paru juga dapat terjadi karena
inhalasi asap, nap, atau iritan lain. Pada luka bakar mayor, curah jantung
menurun dan aliran darah ke hati, ginjal, dan saluran gastrointestinal juga
terganggu. Anak dengan luka bakar mayor berada dalam keadaan
hipermetabolik sehingga mengonsumsi oksigen dan kalori dengan cepat.
Kurang lebih 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat
setiap tahunnya. Dari kelompok ini, 200.000 pasien memerlukan penanganan
rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit. Sekitar 12.000 meninggal
setiap tahunnya. Anak kecil dan orang tua merupakan populasi yang beresiko
tinggi untuk mengalami luka bakar. Kaum remaja laki-laki dan pria dalam usia
kerja juga lebih sering menderita luka bakar. Di rumah sakit anak di Inggris,
selama satu tahun terdapat sekitar 50.000 pasien luka bakar dimana 6400
diantaranya masuk ke perawatan khusus luka bakar. Antara 1997-2002 terdapat
17.237 anak di bawah 5 tahun mendapat perawatan di gawat darurat di 100
rumah sakit di amerika.
Data di atas menunjukkan bahwa penyakit luka bakar sangat
rentan,terutama di kalangan anak-anak dan pria dalam usia kerja. Hal ini
menuntut kita supaya kita lebih memperhatikan anak-anak karena pada usia dini
mereka belum tahu bahwa alat-alat sumber panas itu berbahaya.Selain itu
sebaiknya benda-benda berbahaya itu dijauhkan dari anak. Pria dalam usia
kerja seharusnya lebih meningkatkan ketelitian dan berhati-hati.
Berdasarkan sedikit ulasan mengenai luka bakar tersebut dapat diketahui
beberapa komponen yang akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.
Beberapa komponen tersebut meliputi tinjauan umum mengenai etiologi, tanda
dan gejala dari luka bakar disertai dengan ilustrasi dan foto. Kemudian
patofisiologi terjadinya penyakit luka bakar lalu pengaruhnya terhadap sistem
organ dan komplikasi yang diakibatkan oleh luka bakar. Selanjutnya, yaitu
gangguan intake, pencernaan dan penyerapan yang ditimbulkan lalu prinsip
penatalaksanaan dalam menangani luka bakar tersebut.
PEMBAHASAN
Etiologi, tanda dan Gejala
Luka bakar merupakan salah satu bentuk akibat kecelakaan yang
diperoleh baik karena kelalaian maupun ketidaksengajaan dalam melakukan
sesuatu. Potensi mengalami cedera parah yang diakibatkan oleh luka bakar
dapat dialami oleh orang dewasa maupun anak-anak akibat ketidaktahuan dalam
mempergunakan maupun melakukan suatu hal yang berhubungan dengan
panas maupun listrik. Adapun beberapa penyebab yang dapat menimbulkan luka
bakar berdasarkan kasus yang umumnya terjadi menurut Graber et al (1996),
yaitu berupa panas (api, logam, dan cairan panas), listrik: serupa dengan cedera
remuk: menyebabkan nekrosis otot, rabdomiolisis, mioglobunuria, bahan kimia
serta luka bakar radiasi
Berdasarkan kedalaman luka bakar sendiri Berat ringannya luka bakar dari
American Burn Association dalam Whaley and Wong, (1999) adalah sebagai
berikut : pertama yaitu luka bakar minor adalah luka bakar kurang dari 10% luas
permukaan tubuh, luka bakar moderate adalah luka bakar 10-20 % luas
permukaan tubuh, luka bakar mayor adalah luka bakar lebih dari 20 % luas
permukaan tubuh.
Sedangkan berdasarkan luas luka bakar sendiri Wallace membagi tubuh
atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9 yang terkenal dengan nama Rule of
Nine atau Rule of Wallace. Adapun beberapa bagian tersebut masing-masing
memiliki porsi dengan ketentuan : kepala dan leher 9 %, lengan 18 %, badan
depan 18 %, badan Belakang 18 %, tungkai 36 %, genitalia/perineum 1 %
dengan total yaitu 100 %.
Sumber: Noer 2006
Luka bakar juga dapat digolongkan sebagai luka bakar derajat pertama
superfisial , luka bakar derajat kedua ketebalan parsial superficial, luka bakar
derajat kedua ketebalan parsial, luka bakar derajat ketiga ketebalan penuh
(Corwin 2007).
Luka bakar derajat pertama superficial terbatas pada epidermis yang
ditandai dengan adanya nyeri dan eritema tanpa lepuh. Kulit sembuh spontan
dalam 3 sampai 4 hari tanpa meninggalkan jaringan parut, biasanya tidak timbul
komplikasi, misalnya luka bakar akibat kena panas matahari (Corwin 2007).
:
Sumber : Noer 2006
Luka bakar derajat kedua ketebalan parsial dalam meluas ke epidermis
dan lapisan dermis. Luka bakar ini sangat nyeri dan menimbulkan lepuh dalam
beberapa menit. Luka bakar ini biasanya sembuh tanpa meninggalkan jaringan
parut, walaupun orang-orang tertentu terutama orang amerika keturunan afrika,
dapat mengalami jaringan parut akibat luka ini. Penyembuhannya biasanya
membutuhkan waktu sebulan. Komplikasi jarang terjadi, walaupun mungkin
timbul infeksi sekunder pada luka (Corwin 2007).
Sumber:Noer 2006
Luka bakar derajat ketiga ketebalan penuh meluas ke epidermis, dermis
dan jaringan subkutis. Kapiler dan vena mungkin hangus dan aliran darah ke
daerah tersebut mungkin berkurang. Saraf rusak sehingga luka bakar tidak
terasa nyeri. Namun daerah di sekitar biasanya memperlihatkan nyeri seperti
pada luka bakar derajat kedua. Luka bakar jenis ini mungkin membutuhkan
waktu berbulan-bulan untuk sembuh dan diperlukan pembersihan secara bedah
dan penanduran.
Sumber: Noer 2006
Luka bakar derajat ketiga membentuk jaringan parut dan jaringan tampak
seperti kulit yang keras (Corwin 2007). Luka bakar derajat keempat meluas ke
otot, tulang, dan jaringan dalam (Corwin 2007).
Beberapa gejala klinis yang timbul setelah terkena luka bakar, dapat
dibagi menjadi beberapa bagian : Luka bakar derajat pertama superfisial ditandai
oleh kemerahan dan nyeri. Dapat timbul lepuh setelah 24 jam dan kemudian kulit
mungkit terkelupas (Corwin 2007). Luka bakar derajat kedua ketebalan parsial
superficial ditandai oleh terjadinya lepuh dalam beberapa menit dan nyeri hebat
(Corwin 2007).
Luka bakar derajat kedua ketebalan parsial ditandai oleh lepuh, atau
jaringan kering yang sangat tipis yang menutupi luka yang kemudian terkelupas.
Luka mungkin tidak nyeri. Dapat berupah menjadi ketebalan penuh apabila
terkena infeksi sekunder, trauma mekanik, atau thrombosis progesif (Corwin
2007).
Luka bakar derajat ketiga ketebalan penuh tampak datar, tipis, dan
kering. Dapat ditemukan koagulasi pembuluh darah. Kulit mungkin tampak putih,
merah atau hitam dan kasar (Corwin 2007). Luka bakar listrik mungkin mirip
dengan luka bakar panas, atau mungkin tampak seperti daerah keperakan yang
menjadi gembung. Luka bakar listrik biasanya timbul di daerah kontak listrik.
Kerusakan internal akibat luka bakar listrik mungkin jauh lebih parah dari pada
luka yang tampak di bagian luar (Corwin 2007).
Luka bakar radiasi pada awalnya Nampak hiperemik dan kemudian dapat
menyerupai luka bakar derajat ketiga. Perubahannya dapat meluas profunda ke
dalam jaringan. Luka bakar akibat matahari merupakan jenis ini dan dapat
menyebabkan superficial moderat (Graber et al 1996).
Patofisiologi Luka Bakar
Respon inflamasi lokal dan sistemik terhadap luka bakar sangat
kompleks, sehingga baik kerusakan jaringan terbakar secara lokal dan efek
sistemik terjadi pada semua sistem organ lain yang jauh dari daerah terbakar itu
sendiri. Meskipun peradangan dimulai segera setelah terjadinya luka bakar,
respon sistemik berlangsung berkala, biasanya memuncak 5 sampai 7 hari
setelah luka bakar. Sebagian besar perubahan lokal dan tentu saja mayoritas
perubahan luas disebabkan oleh mediator inflamasi.
Luka bakar yang menginisiasi reaksi inflamasi sistemik memproduksi
racun dan radikal oksigen dan akhirnya menyebabkan peroksidasi. Hubungan
antara jumlah produk dari metabolisme oksidatif dan pemulung alami dari radikal
bebas menentukan hasil kerusakan jaringan lokal dan jauh dan kegagalan organ
lebih lanjut dalam luka bakar. Jaringan terluka menginisiasi suatu inflammation-
induced hyperdynamic, hypermetabolic yang dapat menyebabkan kegagalan
organ progresif yang parah (Cakir & Yegen 2004).
Luka bakar mayor mengakibatkan trauma parah. Kebutuhan energi
dapat meningkat sebanyak 100% di atas pengeluaran energy istirahat (REE),
tergantung pada luas dan kedalaman cedera (Gambar 39-7). Katabolisme
protein berlebihan dan ekskresi nitrogen urin meningkat seiring hlpermetabolisme
ini. Protein juga hilang melalui luka bakar eksudat. Pasien luka bakar sangat
rentan terhadap infeksi, dan secara nyata meningkatkan kebutuhan energi dan
protein. Karena pasien dengan luka bakar mayor mungkin berkembang menjadi
ileus dan anoreksia, dalam hal ini dukungan gizi sangat diperlukan (Mahan &
Stump 2008).
Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi
kapiler secara massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena
hilangnya atau rusaknya kapiler, yang menyebabkan cairan akan lolos atau
hilang dari compartment intravaskuler kedalam jaringan interstisial. Eritrosit dan
leukosit tetap dalam sirkulasi dan menyebabkan peningkatan hematokrit dan
leukosit. Darah dan cairan akan hilang melalui evaporasi sehingga terjadi
kekurangan cairan (Brunner & Suddarth 1996).
Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh
mengadakan respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang
mana dapat terjadi ilius paralitik, tachycardia dan tachypnea merupakan
kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan
kebutuhan oksigen terhadap luka jaringan dan perubahan sistem. Kemudian
menurunkan perfusi pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi yang akan berakibat
pada depresi filtrasi glomerulus dan oliguri. Repon luka bakar juga akan
meningkatkan aliran darah ke organ vital dan menurunkan aliran darah ke perifer
dan organ yang tidak vital (Brunner & Suddarth 1996).
Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme yang
merupakan hasil dari peningkatan sejumlah energi, peningkatan katekolamin;
dimana terjadi peningkatan temperatur dan metabolisme, hiperglikemi karena
meningkatnya pengeluaran glukosa untuk kebutuhan metabolik yang kemudian
terjadi penipisan glukosa, ketidakseimbangan nitrogen oleh karena status
hipermetabolisme dan luka jaringan. Selain itu, kerusakan pada sel daerah
merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang kemudian akan meningkatkan
curah jantung untuk mempertahankan perfusi. Pertumbuhan dapat terhambat
oleh depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada penyembuhan jaringan
yang rusak.
Pembentukan edema karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler
dan pada saat yang sama terjadi vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi pertukaran elektrolit yang abnormal
antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium masuk kedalam
sel dan kalium keluar dari dalam sel. Dengan demikian mengakibatkan
kekurangan sodium dalam intravaskuler.
Skema berikut menyajikan mekanisme respon luka bakar terhadap luka pada
anak/orang dewasa dan perpindahan cairan setelah luka bakar.
Dalam 24 jam pertama
Luka Bakar
Meningkatnya permeabilitas kapiler
Hilangnya plasma, protein, cairan dan elektrolit dari volume sirkulasi
ke dalam rongga interstisial :
hypoproteinemia, hyponatremia, hyperkalemia
Hipovolemi
Syok
Mobilisasi kembali cairan setelah 24 jam
Edema jaringan yang terkena luka bakar
Compartment intravaskular
Hypervolemia, hypokalemia, hypernatremia
Pengaruh terhadap Sistem Organ dan Komplikasi
Respon Kardiovaskular
Respon kardiovaskular terhadap luka bakar memiliki 2 fase yang
terpisah: yang pertama adalah fase akut atau pernafasan, yang segera mengikuti
trauma terbakar. Hal ini ditandai dengan penurunan aliran darah ke jaringan dan
organ-organ dan dianggap disebabkan oleh hipovolemia setelah trauma.
Hipovolemia mungkin merupakan efek langsung panas, sedangkan pembebasan
bahan vasoaktif dari daerah yang terluka, yang meningkatkan permeabilitas
kapiler dan mempromosikan hilangnya cairan dan protein ke dalam
kompartemen ekstravaskuler, bahkan memberikan kontribusi lebih untuk
hipovolemia. Dalam beberapa menit pembakaran, output jantung sesuai dengan
proporsi ukuran bakar dalam hubungan dengan peningkatan resistensi pembuluh
darah perifer.
Fase akut berlangsung sekitar 48 jam dan diikuti oleh fase
hypermetabolic ditandai dengan meningkatnya aliran darah ke jaringan dan
organ-organ dan peningkatan suhu inti internal. Selama fase hipermetabolik
pembentukan edema cepat terjadi dan ini berkaitkan dengan hipoproteinemia,
yang mendukung pergerakan air keluar dari kapiler ke interstitium tersebut.
Kedua, peningkatan permeabilitas air dari ruang interstisial terbukti, yang lebih
meningkatkan pembentukan edema. Pasien dengan luka bakar akut
mengembangkan sebuah hipermetabolik dengan produksi dan pelepasan
katekolamin terkait. Peningkatan stimulasi adrenergik merupakan salah satu
pemicu infark miokard dan aritmia jantung.
Pada pasien luka bakar, indeks volume diastolic-akhir meningkat
sementara ventrikel kanan mengalami penurunan fraksi ejeksi, yang sangat
menunjukkan disfungsi miokard. Ketidakstabilan jantung pada pasien luka bakar
dikaitkan dengan hipovolemia, peningkatan depresi miokard langsung dan
afterload. Selain itu, hyperaggregabilitas, hiperkoagulabilitas, dan gangguan
fibrinolisis akibat dari cedera akut dapat mempengaruhi infraksi miokard.
Respon paru
Kegagalan pernapasan merupakan salah satu penyebab utama
kematian setelah luka bakar. Luka bakar sendiri, tanpa menghirup asap, telah
ditunjukkan untuk menghasilkan perubahan paru-paru yang signifikan dalam
berbagai hewan dan manusia. Ada bukti bahwa peningkatan peradangan paru-
paru dan peroksidasi lipid terjadi dalam beberapa jam pertama setelah luka
bakar lokal dan proses ini diprakarsai oleh oksidan, dalam radikal hidroksil
tertentu.
Sesuai dengan ini, Cakir & Yegen melaporkan bahwa tingkat produk
akhir dari peroksidasi lipid secara signifikan meningkat pada jaringan paru-paru
24 jam setelah luka bakar, menunjukkan bahwa cedera paru tergantung pada
radikal oksigen. Di sisi lain, aktivasi sistemik pelengkap dapat memulai proses
radang paru-paru dan peroksidasi lipid bukan hanya respon awal sementara,
tetapi bertahan selama setidaknya 5 hari setelah luka bakar. Dengan
penghapusan dini dan lengkap dari luka bakar, kelainan histologis dan biokimia
menyelesaikan, sekali lagi menunjukkan bahwa peradangan mengabadikan
perubahan inflamasi sistemik.
Selain itu, pertahanan antioksidan paru-paru mungkin juga menurun
setelah terjadinya luka bakar. Dalam model domba, tingkat katalase jaringan
paru-paru telah dilaporkan secara signifikan mengalami penurunan sebesar 3
hari setelah terjadinya luka bakar, bahkan di tidak adanya infeksi luka, yang
mungkin menjadi tidak aktif katalase oleh superoksida rilis awal (43). komplikasi
pernapasan dari menghirup asap telah menjadi penyebab utama kematian untuk
membakar korban dan yang dikaitkan dengan kombinasi hipoksemia, dan efek
termal dan kimia.
Biasanya, urutan h 24-72 patofisiologi setelah membakar trauma
dengan cedera inhalasi, termasuk hipertensi arteri paru, obstruksi bronkial,
peningkatan resistensi saluran napas, mengurangi kepatuhan paru, atelektasis
dan peningkatan fraksi paralel paru. Pulmonary hipertensi pembuluh darah dan
permeabilitas kapiler diubah adalah berlebihan setelah cedera inhalasi.
Arachidonic acid, yang dirilis oleh membran sel terganggu, akan diubah oleh
siklooksigenase untuk endoperoxides siklik, tromboksan A2, dan prostasiklin
(diikuti PGI2). Kedua agen menengahi ventilasi hipertensi, paru-paru dan
kelainan perfusi menyebabkan hipoksemia progresif dan gangguan pertukaran
gas yang parah.
Respon Renal
Selama fase akut luka bakar, aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (GFR), yang diukur dengan pengeluaran kreatinin, menurun. Dalam
fase hipermetabolik, kejernihan kreatinin meningkat, menunjukkan bahwa kedua
aliran darah dan GFR dibangkitkan, namun, fungsi tubular terganggu. Darah
berkurang volumenya dan menyebabkan penurunan cardiac output, aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Jika tidak diobati, maka oliguria yang dihasilkan
dapat berlanjut ke gagal ginjal akut. Insiden gagal ginjal akut (ARF) di terbakar
pasien berkisar 1,3-38% dan komplikasi ini selalu dikaitkan dengan angka
kematian yang tinggi (73 sampai 100%).
Mekanisme pathophysiologic mungkin terkait dengan kegagalan filtrasi
atau disfungsi tubular. Dua bentuk yang berbeda dari gagal ginjal akut telah
dijelaskan pada pasien luka bakar, berbeda dalam hal waktu onsetnya. Yang
pertama terjadi selama beberapa hari pertama setelah cedera dan berhubungan
dengan hipovolemia dengan output jantung yang rendah dan vasokonstriksi
sistemik selama periode resusitasi atau myoglobinuria, yang merusak sel-sel
tubular.
Peningkatan kadar hormon stres seperti katekolamin, angiotensin
aldosteron, dan vasopresin telah dilaporkan terlibat dalam patogenesis dari
bentuk ARF. Meskipun bentuk ARF telah menjadi kurang sering dari sebelumnya
dengan cairan resusitasi agresif, masih merupakan komplikasi yang mengancam
jiwa pada pasien dengan luka bakar luas dalam atau dengan elektro-trauma.
Bentuk lain dari GGA berkembang kemudian dan memiliki patogenesis yang
lebih kompleks. Bentuk kejadian ini telah dilaporkan terkait dengan kegagalan
multiorgan dan sepsis dan yang paling sering fatal. Telah dikatakan terjadi lebih
sering pada pasien dengan cedera inhalasi dan dianggap penyebab paling sering
insufisiensi ginjal pada pasien luka bakar. Selain mekanisme yang mendukung
patogenesis, Cakir & Yegen baru-baru ini menunjukkan bahwa kerusakan ginjal
yang disebabkan oleh luka bakar tergantung pada pembentukan radikal oksigen,
sebagaimana dibuktikan oleh peningkatan lipid dan oksidasi protein dengan
penurunan bersamaan di antioksidan ginjal (glutathione).
Respon Gastrointestinal
Ileus adynamic, dilatasi lambung, peningkatan sekresi lambung dan
kejadian ulkus, perdarahan gastrointestinal dan distribusi lokal dan umum dari
aliran darah dengan penurunan aliran darah mesenterika adalah salah satu
dampak dari cedera termal pada sistem gastrointestinal. Pasien luka bakar telah
ditemukan memiliki kejadian ulkus tinggi. Erosi lapisan lambung dan duodenum
telah dibuktikan dalam 86% pasien luka bakar utama dalam 72 jam dari cedera,
dengan lebih dari 40% pasien mengalami perdarahan gastrointestinal.
Selain itu, proses translokasi bakteri meningkat dan kebocoran
makromulekul telah didokumentasikan dengan baik setelah luka bakar, yang
jelas pada manusia juga. iskemia usus akibat penurunan aliran darah
splanknikus mungkin mengaktifkan neutrofil dan enzim jaringan-terikat seperti
xanthine oxidase dan faktor-faktor ini menghancurkan penghalang mukosa usus
dan mengakibatkan translokasi bakteri. Data ini mengindikasikan adanya
kebocoran usus postburn penghalang awal setelah terbakar, yang mungkin
menjadi sumber sirkulasi endotoksin.
Endotoksin, suatu lipopolisakarida berasal dari membran luar bakteri
gram-negatif, bertranslokasi melintasi penghalang saluran pencernaan dalam
waktu 1 jam dari cedera termal. Meskipun pada awalnya luka bakar steril,
konsentrasi plasma endotoksin mencapai puncak pada 12 jam dan 4 hari setelah
terkena luka bakar. Endotoksin adalah aktivator kuat dari makrofag dan neutrofil.
Ini mengarah pada pelepasan sejumlah besar oksidan, metabolit asam
arakidonat dan protease, yang menyebabkan lebih lanjut peradangan lokal dan
sistemik di kerusakan jaringan .
Respon Imun
Luka bakar parah menginduksi keadaan imunosupresi yang predisposes
pasien untuk sepsis berikutnya dan kegagalan organ ganda, yang merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien luka bakar. Sebuah
badan tumbuh bukti menunjukkan bahwa aktivasi dari kaskade pro-inflamasi
setelah luka bakar bertanggung jawab untuk pengembangan disfungsi imun,
kerentanan terhadap sepsis, dan kegagalan organ ganda. Selain itu, luka bakar
meningkatkan aktivitas makrofag, sehingga meningkatkan kapasitas produktif
bagi mediator pro-inflamasi.
Respon imunologi terhadap luka bakar adalah depresi baik di baris
pertahanan pertama dan kedua. Epidermis kulit menjadi rusak, yang
memungkinkan invasi mikroba; kulit dikoagulasi dan eksudat pasien menciptakan
lingkungan ideal untuk pertumbuhan mikroba. Luka bakar menginisiasi reaksi
inflamasi sistemik, memproduksi racun luka bakar dan radikal oksigen dan
akhirnya menyebabkan peroksidasi.
Metabolit reaktif oksigen menyebabkan kehancuran dan kerusakan
membran sel oleh peroksidasi lipid. Hubungan antara jumlah produk dari
metabolisme oksidatif dan pemulung alami dari radikal bebas menentukan hasil
kerusakan jaringan lokal dan jauh dan kegagalan organ lebih lanjut dalam luka
bakar.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa aktivasi dari kaskade proinflamasi
memainkan peran penting dalam pengembangan komplikasi utama yang terkait
dengan trauma akibat luka bakar. Aspek imunologi penting dari luka bakar
adalah peningkatan produksi eicosanoids, yang merupakan metabolit asam
arakidonat (misalnya, prostaglandin, leukotrien, tromboksan) yang memiliki
beberapa efek biologis.
Secara umum, prostaglandin, yang meningkat pada pasien luka bakar
atau pada hewan percobaan, yang dianggap mediator imunosupresif penting dan
makrofag dari host dibakar mengerahkan kapasitas prostaglandin
disempurnakan produktif Meskipun kemajuan baru-baru ini, kegagalan organ
multiple (seperti ketidakstabilan jantung, gagal pernafasan atau ginjal) dan fungsi
kekebalan tubuh berkompromi, yang menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap sepsis berikutnya, tetap penyebab utama burn morbiditas dan
mortalitas.
Penelitian lebih lanjut eksperimental dan klinis diharapkan akan
mengarah pada pemahaman yang lebih lengkap dari proses-proses patologis.
Dari titik yang harus kemudian memungkinkan untuk mengembangkan
pengobatan ditingkatkan untuk pasien luka bakar.
Komplikasi
Syok hipovolemik
Kekurangan cairan dan elektrolit
Hypermetabolisme
Infeksi
Gagal ginjal akut
Masalah pernapasan akut; injury inhalasi, aspirasi gastric, pneumonia
bakteri, edema.
Paru dan emboli
Sepsis pada luka
Ilius paralitik
Apabila seorang pasien mengalami luka bakar mayor maka menurut
Mahan dan Stump (2008) menyatakan bahwa perlunya orang tersebut untuk
meningkatkan energi sebanyak 100% diatas Resting Energi Expenditure (REE).
Keperluan energi tersebut bergantung pada luas dan kedalaman luka. Selain itu,
pasien yang mengalami luka bakar juga mudah terkena infeksi dan
mengakibatkan penambahan keperluan akan energi dan protein.
Efek dari trauma luka bakar akut akan mengakibatkan penurunan
absorpsi zat gizi (glukosa, kalsium dan asam amino) serta sintesis DNA pada
usus halus (Cakir dan Yegen 2004). Setelah terkena luka bakar maka konsumsi
oksigen, toleransi glukosa, dan kardiak output yang rendah merupakan
karakteristik utama dari tahap awal luka bakar. Konsumsi oksigen, tingkat
respirasi, produksi karbon dioksida, detak jantung, kardiak output, aliran darah
yang terluka, protein, lemak dan katabolisme glikogen secara cepat meningkat
selama 5 hari pertama setelah terkena luka bakar (Herndon dan Tompkins
2004).
Gangguan Intake, Pencernaan dan Penyerapan
Proses metabolisme yang terjadi juga meliputi kebutuhan ATP yang
cukup banyak, termasuk peningkatan protein, glukoneogenesis, produksi urea
dan siklus substrat pada pasien luka bakar. Sebagai contoh, jumlah total
trigliserida, asam lemak dan siklus glikolitik-glukoneogenik meningkat pada
pasien luka bakar setidaknya 450-250% yang masing-masingnya juga disertai
dengan peningkatan daur ulang karbon glukosa glikolitik-glukoneogenik
(Herndon dan Tompkins 2004).
Pasien luka bakar akan mengalami hiperglikemia yaitu meningkatnya
kadar glukosa yang lebih besar dari 200 mg/dl apabila tidak diberikan perawatan
kemudian terjadi resisten yang besar pada insulin (diperlukannya insulin yang
lebih besar dari 25%) (Murrray 2008). Glukosa total yang dikirimkan menuju
jaringan perifer juga berkembang. Namun, oksidasi glukosa tetap terbatas.
Eskalasi pemberian makan glukosa dari 5 sampai 8 mg/kg per menit pada pasien
anak-anak luka bakar tidak meningkat saat digunakan dalam memproduksi
energi. Peningkatan glukosa yang lebih tinggi bertujuan untuk penyembuhan luka
bakar dimana glukosa digunakan secara anaerobik oleh fibroblas, endhothelial
dan sel inflammatory. Laktat diproduksi oleh oksidasi glukosa anaerobik lalu
didaur ulang menuju hati untuk memproduksi glukosa melalui jalur glukoneogenik
(Herndon dan Tompkins 2004).
Kebutuhan protein meningkat karena luka bakar yang timbul disebabkan
oleh katabolisme otot yang terjadi secara terus menerus agar dapat memperbaiki
jaringan kulit yang telah rusak. Respons metabolisme protein untuk intake protein
dari 1,4 vs 2,2 g/kg/hari pada pasien luka bakar. Studi mengenai kinetik protein
sendiri mengindikasikan bahwa saat intake protein meningkat dari 1,4 sampai 2,2
g/kg/hari tidak terdapat penambahan lebih jauh pada sintesis bersih jaringan
protein. Tetapi, data ekskresi N2 yang diperoleh berdasarkan pasien luka bakar
yang memeroleh kalori rendah protein (NPC) dengan rasio N2 (asupan protein
yang lebih besar bagi setiap kelompok akan memiliki Nitrogen Balance yang
lebih baik (Dieckerson 2006).
Adanya pemecahan protein yang mengakibatkan tubuh kehilangan
seperempat total nitrogen tubuh dapat menjadi fatal. Setiap harinya pasien
kehilangan 20-25 g/m2 nitrogen, batas lethal tersebut dapat dengan mudah
dicapai dalam 3-4 minggu pada pasien luka bakar. Katabolisme protein yang
berlangsung lama dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sampai
sekitar 2 tahun setelah luka bakar besar yang terjadi pada anak-anak (Herndon
dan Tompkins 2004).
Keadaan cairan pada tubuh penderita luka bakar sendiri juga
memerlukan perhatian khusus, hal ini disebabkan hilangnya integritas pada kulit
sebagai penahan sehingga mengakibatkan semakin banyaknya cairan tubuh
yang akan hilang karena penguapan (Dieckerson 2006). Kehilangan ini
mencapai nilai maksimum setelah 2 jam kemudian sesuai dengan situasi klinis
dapat bertahan selama 8 sampai 36 jam.
Perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien berupa respons pada
pengurangan volume sirkulasi darah. Pada pasien dewasa dengan luka bakar
lebih dari 15% TBSA dan anak-anak dengan luka bakar lebih dari 10% TBSA,
kekurangan cairan dan perawatan yang tidak baik dapat berakibat pada
hypovolaemia. Demam dan dehidrasi dapat juga dialami oleh pasien apabila
tidak ditangani dengan menggunakan cairan (Belba 2002).
Karakteristik utama dari hypovolaemia adalah peningkatan detak jantung,
penurunan tekanan darah arteri dan vena, tingkat hematokrit yang tinggi
menyebabkan penurunan yang signifikan pada diuresis. Selama 48 jam pertama,
penurunan tersebut akan mengurangi berat badan sebanyak 10 %. (Belba
2002). Kebutuhan cairan yang diperlukan pada umumnya akan lebih besar dari
cairan yang biasa digunakan yaitu 35 l/kg/hari bagi rata-rata ukuran seseorang
dan kebutuhan intake cairan bagi setiap pasien (Dieckerson 2006).
Kemudian, pasien luka bakar juga memerlukan kebutuhan bagi mineral
intraselular, seperti:natrium, fosfor, kalsium dan magnesium. Kebutuhan mineral
fosfor sangat dibutuhkan pada pasien luka bakar. Berdasarkan perbandingan
yang telah dilakukan berturut-turut mengenai 20 pasien yang mengalami trauma
dan 20 pasien luka bakar menerima asupan gizi dari pengaturan fosfor yang
berbeda. Meskipun, intake fosfor yang diberikan lebih besar yaitu sekitar (0,99 ±
0,26 mmol/kg/hari vs 0,58± 0,21 mmol/kg/hari), pasien tetap memiliki serum
konsentrasi fosfor yang masih sangat rendah. Ekskresi fosfor pada urin,
kejernihan, atau ekskresi bagian kecil sama sekali tidak berbeda besar diantara t
Prinsip Penatalaksanaan
Pena penanganan penderita dengan trauma luka bakar, seperti pada
penderita trauma- trauma lainnya harus ditangani secara teliti dan sistematik
agar mencegah timbulnya luka yang lebih serius lagi.
I. Evaluasi Pertama (Triage)
A. Airway, sirkulasi, ventilasi
Prioritas pertama penderita luka bakar yang harus dipertahankan meliputi
airway, ventilasi dan perfusi sistemik. Apabila diperlukan segera lakukan
intubasi endotrakeal, pemasangan infus untuk mempertahankan volume
sirkulasi.
B. Pemeriksaan fisik keseluruhan.
Pada pemeriksaan penderita diwajibkan memakai sarung tangan yang steril,
baju yang terbakar dilepaskan dari penderita, penderita luka bakar dapat
pula mengalami trauma lain, misalnya bersamaan dengan trauma abdomen
dengan adanya internal bleeding atau mengalami patah tulang punggung /
spine.
C. Anamnesis
Mekanisme trauma perlu diketahui karena merupakan hal yang penting.
Apabila penderita terjebak dalam ruang tertutup maka kemungkinan yang
terjadi yaitu adanya trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi
jalan napas. Menanyakan kepada penderita kapan hal tersebut terjadi juga
penting untuk dilakukan. Selanjutnya, menanyakan penyakit-penyakit yang
pernah dialami sebelumnya oleh penderita.
D. Pemeriksaan luka bakar
Luka bakar diperiksa untuk memastikan adanya luka bakar berat, luka
bakar sedang atau ringan. Berikut hal-hal yang harus dilakukan berupa:
1. Luas luka bakar ditentukan. Penggunaan Rule of Nine untuk
menentukan luas luka bakarnya.
2. Penentuan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman)
II. Penanganan di Ruang Emergency
Beberapa langkah dapat ditempuh dalam menangani pasien yang dirawat di
ruang gawat darurat berupa :
1. Diwajibkan memakai sarung tagan steril bila melakukan pemeriksaan
penderita
2. Membebaskan penderita dari pakaian yang terbakar.
3. Melakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk memastikan
adanya trauma lain yang menyertai.
4. Membebaskan jalan napas. Pada luka bakar dengan distress jalan napas
dapat dipasang endotracheal tube. Traheostomy hanya bila ada indikasi.
5. Pemasangan intraveneous kateter yang cukup besar dan tidak dianjurkan.
Pemasangan scalp vein. Diberikan cairan ringer Laktat dengan jumlah 30-
50 cc/jam untuk dewasa dan 20-30 cc/jam untuk anak – anak di atas 2
tahun dan 1 cc/kg/jam untuk anak dibawah 2 tahun.
6. Melakukan pemasangan Foley kateter untuk monitor jumlah urin yang
diproduksi. Jumlah urine/jam harus dicatat. (Kartohatmodjo 2006)
7. Melakukan pemasangan nosogastrik tube untuk gastric dekompresi
denganIntermitten pengisapan.
8. Menghilangkan rasa dan nyeri yang hebat dapat diberikan morfin intravena
dan jangan secara intramuskuler.
9. Menimbang berat badan
10. Memberikan tetanus toksoid apabila diperlukan. Tetanus toksoid booster
dilakukan apabila penderita tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir.
12. Pencucian Luka di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum. Luka
dicuci debridement dan di disinfektsi dengan salvon 1 : 30. Setelah bersih
tutup dengan tulle kemudian diolesi dengan Silver Sulfa Diazine (SSD)
sampai tebal. Rawat tertutup dengan kasa steril yang tebal. Pada hari ke 5
kasa di buka dan penderita dimandikan dengan air dicampur Salvon 1 : 30
13. Eskarotomi adalah suatu prosedur atau membuang jaringan yang mati
(eskar) dengan teknik eksisi tangensial berupa eksisi lapis demi lapis
jaringan nekrotik sampai di dapatkan permukaan yang berdarah. Fasiotomi
dilakukan pada luka bakar yang mengenai kaki dan tangan melingkar, agar
bagian distal tidak nekrose karena stewing.
14. Penutupan luka dapat terjadi atau dapat dilakukan bila preparasi bed luka
telah dilakukan dimana didapatkan kondisi luka yang relative lebih bersih
dan tidak infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur operasi. Secara
persekundam terjadi proses epitelisasi pada luka bakar yang relative
superficial. Luka bakar yang dalam pilihan yang tersering yaitu split tickness
skin grafting. Split thickness, skin grafting merupakan tindakan definitif
penutup luka yang luas. Tandur alih kulit dilakukan bila luka tersebut tidak
sembuh - sembuh dalam waktu 2 minggu dengan diameter > 3 cm
(Kartohatmodjo 2006).
RESUME
Penyebab dari luka bakar berdasarkan kasus yang umumnya terjadi
menurut Graber et al (1996), yaitu berupa panas (api, logam, dan cairan panas),
listrik: serupa dengan cedera remuk: menyebabkan nekrosis otot, rabdomiolisis,
mioglobunuria, bahan kimia serta luka bakar radiasi.
Beberapa gejala klinis yang timbul setelah terkena luka bakar, dapat
dibagi menjadi beberapa bagian : Luka bakar derajat pertama superfisial ditandai
oleh kemerahan dan nyeri. Dapat timbul lepuh setelah 24 jam dan kemudian kulit
mungkit terkelupas (Corwin 2007).
Luka bakar derajat kedua ketebalan parsial superficial ditandai oleh
terjadinya lepuh dalam beberapa menit dan nyeri hebat. Luka bakar derajat
kedua ketebalan parsial ditandai oleh lepuh, atau jaringan kering yang sangat
tipis yang menutupi luka yang kemudian terkelupas. Luka mungkin tidak nyeri.
Dapat berupah menjadi ketebalan penuh apabila terkena infeksi sekunder,
trauma mekanik, atau thrombosis progesif (Corwin 2007).
Luka bakar derajat ketiga ketebalan penuh tampak datar, tipis, dan
kering. Dapat ditemukan koagulasi pembuluh darah. Kulit mungkin tampak putih,
merah atau hitam dan kasar (Corwin 2007).
Luka bakar listrik mungkin mirip dengan luka bakar panas, atau mungkin
tampak seperti daerah keperakan yang menjadi gembung. Luka bakar listrik
biasanya timbul di daerah kontak listrik. Kerusakan internal akibat luka bakar
listrik mungkin jauh lebih parah dari pada luka yang tampak di bagian luar
(Corwin 2007).
Luka bakar radiasi pada awalnya Nampak hiperemik dan kemudian dapat
menyerupai luka bakar derajat ketiga. Perubahannya dapat meluas profunda ke
dalam jaringan. Luka bakar akibat matahari merupakan jenis ini dan dapat
menyebabkan superficial moderat (Graber et al 1996).
Mekanisme respon luka bakar terhadap luka pada anak/orang dewasa
dan perpindahan cairan setelah luka bakar.
Dalam 24 jam pertama
Luka Bakar
Meningkatnya permeabilitas kapiler
Hilangnya plasma, protein, cairan dan elektrolit dari volume sirkulasi
ke dalam rongga interstisial : hypoproteinemia, hyponatremia, hyperkalemia
Hipovolemi
Syok
Mobilisasi kembali cairan setelah 24 jam
Edema jaringan yang terkena luka bakar
Compartment intravaskular
Hypervolemia, hypokalemia, hypernatremia
Respon Kardiovaskular
Respon kardiovaskular terhadap luka bakar memiliki 2 fase yang terpisah:
yang pertama adalah fase akut atau pernafasan, yang segera mengikuti trauma
terbakar. Hal ini ditandai dengan penurunan aliran darah ke jaringan dan organ-
organ dan dianggap disebabkan oleh hipovolemia setelah trauma. Fase akut
berlangsung sekitar 48 jam dan diikuti oleh fase hypermetabolic ditandai dengan
meningkatnya aliran darah ke jaringan dan organ-organ dan peningkatan suhu
inti internal.
Respon paru
Kegagalan pernapasan merupakan salah satu penyebab utama
kematian setelah luka bakar. Ada bukti bahwa peningkatan peradangan paru-
paru dan peroksidasi lipid terjadi dalam beberapa jam pertama setelah luka
bakar lokal dan proses ini diprakarsai oleh oksidan, dalam radikal hidroksil
tertentu. Selain itu, pertahanan antioksidan paru-paru mungkin juga menurun
setelah terjadinya luka bakar.
Respon Renal
Selama fase akut luka bakar, aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (GFR), yang diukur dengan pengeluaran kreatinin, menurun. Dalam
fase hipermetabolik, kejernihan kreatinin meningkat, namun fungsi tubular
terganggu. Darah berkurang volumenya dan menyebabkan penurunan cardiac
output, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Jika tidak diobati, maka
oliguria.
Respon Gastrointestinal
Ileus adynamic, dilatasi lambung, peningkatan sekresi lambung dan
kejadian ulkus, perdarahan gastrointestinal dan distribusi lokal dan umum dari
aliran darah dengan penurunan aliran darah mesenterika adalah salah satu
dampak dari cedera termal pada sistem gastrointestinal. Selain itu, proses
translokasi bakteri meningkat dan kebocoran makromulekul telah
didokumentasikan dengan baik setelah luka bakar.
Respon Imun
Luka bakar parah menginduksi keadaan imunosupresi yang predisposes
pasien untuk sepsis berikutnya dan kegagalan organ ganda, yang merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien luka bakar. Respon
imunologi terhadap luka bakar adalah depresi baik di baris pertahanan pertama
dan kedua.
Komplikasi terdiri dari :1) Syok hipovolemik, 2) Kekurangan cairan dan
elektrolit, 3) Hypermetabolisme, 4) Infeksi, 5) Gagal ginjal akut, 6) Masalah
pernapasan akut; injury inhalasi, aspirasi gastric, pneumonia bakteri, edema, 7)
Paru dan emboli, 8) Sepsis pada luka, dan 9) Ilius paralitik.
Apabila seorang pasien mengalami luka bakar mayor maka perlu orang
tersebut untuk meningkatkan energi sebanyak 100% diatas Resting Energi
Expenditure (REE). Keperluan energi tersebut bergantung pada luas dan
kedalaman luka. Selain itu, pasien yang mengalami luka bakar juga mudah
terkena infeksi dan mengakibatkan penambahan keperluan akan energi dan
protein.
Efek dari trauma luka bakar akut akan mengakibatkan penurunan
absorpsi zat gizi (glukosa, kalsium dan asam amino) serta sintesis DNA pada
usus halus (Cakir dan Yegen 2004). Setelah terkena luka bakar maka konsumsi
oksigen, toleransi glukosa, dan kardiak output yang rendah merupakan
karakteristik utama dari tahap awal luka bakar. Konsumsi oksigen, tingkat
respirasi, produksi karbon dioksida, detak jantung, kardiak output, aliran darah
yang terluka, protein, lemak dan katabolisme glikogen secara cepat meningkat
selama 5 hari pertama setelah terkena luka bakar (Herndon dan Tompkins
2004).
Pasien luka bakar akan mengalami hiperglikemia apabila tidak diberikan
perawatan kemudian terjadi resisten yang besar pada insulin (Murrray 2008).
Peningkatan glukosa yang lebih tinggi bertujuan untuk penyembuhan luka bakar
dimana glukosa digunakan secara anaerobik oleh fibroblas, endhothelial dan sel
inflammatory (Herndon dan Tompkins 2004).
Kebutuhan protein meningkat karena luka bakar yang timbul disebabkan
oleh katabolisme otot yang terjadi secara terus menerus agar dapat memperbaiki
jaringan kulit yang telah rusak. Adanya pemecahan protein yang mengakibatkan
tubuh kehilangan seperempat total nitrogen tubuh dapat menjadi fatal (Herndon
dan Tompkins 2004).
Pada pasien luka bakar juga terjadi integritas pada kulit sebagai penahan
sehingga mengakibatkan semakin banyaknya cairan tubuh yang akan hilang
karena penguapan (Dieckerson 2006).
Perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien berupa respons pada
pengurangan volume sirkulasi darah. Karakteristik utama dari hypovolaemia
adalah peningkatan detak jantung, penurunan tekanan darah arteri dan vena,
tingkat hematokrit yang tinggi menyebabkan penurunan yang signifikan pada
diuresis (Dieckerson 2006).
Kemudian, pasien luka bakar juga memerlukan kebutuhan bagi mineral
intraselular, seperti:natrium, fosfor, kalsium dan magnesium. Kebutuhan mineral
fosfor sangat dibutuhkan pada pasien luka bakar (Herndon dan Tompkins 2004).
Prinsip penatalaksanaan, meliputi: evaluasi Pertama (Triage), seperti :
Airway, sirkulasi, ventilasi, pemeriksaan fisik keseluruhan, anamnesis dan
pemeriksaan luka bakar. Penanganan di Ruang Emergency, meliputi : 1)
diwajibkan memakai sarung tagan steril bila melakukan pemeriksaan penderita,
2) membebaskan penderita dari pakaian yang terbakar, 3) melakukan
pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk memastikan adanya trauma lain
yang menyertai, 4) membebaskan jalan napas. Pada luka bakar dengan distress
jalan napas dapat dipasang endotracheal tube. Traheostomy hanya bila ada
indikasi.5) pemasangan intraveneous kateter yang cukup besar dan tidak
dianjurkan. Pemasangan scalp vein. Diberikan cairan ringer Laktat dengan
jumlah 30-50 cc/jam untuk dewasa dan 20-30 cc/jam untuk anak – anak di atas 2
tahun dan 1 cc/kg/jam untuk anak dibawah 2 tahun,6) melakukan pemasangan
Foley kateter untuk monitor jumlah urin yang diproduksi. Jumlah urine/jam harus
dicatat.
Langkah ketujuh melakukan pemasangan nosogastrik tube untuk gastric
dekompresi dengan Intermitten pengisapan.Menghilangkan rasa dan nyeri yang
hebat dapat diberikan morfin intravena dan jangan secara intramuskuler.8)
menimbang berat badan,9)Memberikan tetanus toksoid apabila diperlukan,10)
Tetanus toksoid booster dilakukan apabila penderita tidak mendapatkannya
dalam 5 tahun terakhir,11) pencucian Luka di kamar operasi dalam keadaan
pembiusan umum. Luka dicuci debridement dan di disinfektsi dengan salvon 1 :
30. Setelah bersih tutup dengan tulle kemudian diolesi dengan Silver Sulfa
Diazine (SSD) sampai tebal. Rawat tertutup dengan kasa steril yang tebal. Pada
hari ke 5 kasa di buka dan penderita dimandikan dengan air dicampur Salvon 1 :
30,
Langkah keduabelas eskarotomi adalah suatu prosedur atau membuang
jaringan yang mati (eskar) dengan teknik eksisi tangensial berupa eksisi lapis
demi lapis jaringan nekrotik sampai di dapatkan permukaan yang berdarah.
Fasiotomi dilakukan pada luka bakar yang mengenai kaki dan tangan melingkar,
agar bagian distal tidak nekrose karena stewing,13)penutupan luka dapat terjadi
atau dapat dilakukan bila preparasi bed luka telah dilakukan dimana didapatkan
kondisi luka yang relative lebih bersih dan tidak infeksi. Luka dapat menutup
tanpa prosedur operasi. Secara persekundam terjadi proses epitelisasi pada luka
bakar yang relative superficial. Luka bakar yang dalam pilihan yang tersering
yaitu split tickness skin grafting. Split thickness, skin grafting merupakan tindakan
definitif penutup luka yang luas. Tandur alih kulit dilakukan bila luka tersebut
tidak sembuh - sembuh dalam waktu 2 minggu dengan diameter > 3 cm.
(Kartohatmodjo 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Belba. 2002. [terhubung berkala]. Complications in Severely Burned Patients and
Their Development According to The Periods of the Disease.
http://www.medbc.com/annals/review/vol_15/num_1/text/vol15n1p12.asp.
26 Februari 2011.
Brunner & Suddarth, (1996) Text Book of Medical-Surgical Nursing,
Cakir & Yegen. 2004. [terhubung berkala]. Systemic Respons to Burn Injury.
http://journals.tubitak.gov.tr/medical/issues/sag-04-34-4/sag-34-4-1-0405-
1.pdf. 26 Februari 2011.
Corwin Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.
Dieckerson. 2006. [terhubung berkala]. Metabolic Support of the Thermally
Injured Patient.
http://www.nelm.nhs.uk/en/NeLM-Area/Evidence/Medicines-
Management/References/2006---May/16/Nutritional-support-pharmacist---
Metabolic-support-of-the-thermally-injured-patient/. 26 Februari 2011.
Graber et al. 1996. Buku Saku Dokter Keluarga. Jakarta : EGC.
Herndon & Tompkins. 2004. [terhubung berkala]. Support of The Metabolic
Response to Burn Injury. www.thelancet.com. 26 Februari 2011.
Kartohatmodjo. 2006. [terhubung berkala]. Luka Bakar (Combustio).
www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/.../luka%20bakar%20akut%20text.pdf. 26
Februari 2011.
Mahan & Stump. 2008. Krause’s Food & Nutrition Therapy. Saunders Elsevier.
Murray. 2008. [terhubung berkala]. Burn Wound Infections.
http://emedicine.medscape.com/article/213595-overview. 26 Februari
2011.
Noer. 2006. Penanganan Luka Bakar. Surabaya :Airlangga University Press
LAMPIRAN
Gambar 1 Luka Bakar derajat 1 Gambar 2 Luka Bakar Derajat 2
Gambar 3 Luka Bakar Derajat 3 Gambar 4 Persentase Luka Bakar pada Tubuh
Gambar 5 Ilustrasi Luka Bakar Derajat 1,2 dan 3