LP nifas patologis prisca.docx
-
Upload
priscayanuar -
Category
Documents
-
view
444 -
download
5
description
Transcript of LP nifas patologis prisca.docx
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
RUANG 8 RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR
NIFAS PATOLOGIS
Oleh,
Prisca Triviana Yanuar
NIM. 0910720069
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
LAPORAN PENDAHULUAN
NIFAS PATOLOGIS
Meskipun banyak patologi yang dapat terjadi selama masa nifas, hanya sedikit yang
merupakan ancaman serius bagi jiwa. Selama ini perdarahan pascapersalinan merupakan penyebab
kematian ibu, namun dengan meningkatnya persediaan darah dan sistem rujukan dalam dua dekade
terakhir maka infeksi menjadi lebih menonjol sebagai penyebab kematian dan morbiditas ibu
(Sastrawinata et al., 2004).
Patologi yang sering terjadi pada masa nifas adalah (Sastrawinata et al., 2004):
1. Infeksi nifas
2. Perdarahan dalam masa nifas
3. Infeksi saluran kemih
4. Patologi menyusui
Namun sumber lain menyebutkan bahwa terdapat 4 masalah utama selama masa nifas, yaitu:
1. Perdarahan pasca persalinan
2. Infeksi masa nifas
3. Tromboemboli
4. Masalah psikiatri pasca persalinan
I. Infeksi Nifas
A. Definisi
Menurut Krisnadi (2005), infeksi nifas adalah infeksi jalan lahir pasca persalinan,biasanya
dari endometrium bekas insersi plasenta. Demam nifas juga disebut morbiditas nifas dan merupakan
indeks kejadian infeksi nifas. Demam dalam nifas selain oleh infeksi nifas juga dapat disebabkan oleh
pielitis, infeksi jalan pernafasan, malaria, dan tifus.
Dalam Manuaba (1998) dijelaskan bahwa setelah persalinan, terjadi beberapa perubahan
penting diantaranya makin meningkatnya pembentukan urin untuk mengurangi hemodilusi darah,
terjadi penyerapan beberapa bahan tertentu melalui pembuluh darah vena sehingga terjadi
peningkatan suhu badan sekitar 0,5°C yang bukan merupakan keadaan patologis atau menyimpang
pada hari pertama. Perlukaan karena persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam
tubuh sehingga menimbulkan infeksi pada kala nifas. Oleh karena itu, infeksi kala nifas adalah infeksi
peradangan pada semua alat genetalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan ketentuan
meningkatnya suhu badan melebihi 38°C tanpa menghitung hari pertama dan berturut-turut selama
2 hari.
Joseph dan Nugroho (2010) dan Prawirohardjo (2006) juga memberikan definisi yang sama
mengenai infeksi nifas yaitu infeksi bakteri pada dan melalui traktus genitalia yang terjadi sesudah
melahirkan, ditandai kenaikan suhu sampai 38°C atau lebih selama 2 hari dalam 10 hari pertama
pasca persalinan, dengan mengecualikan 24 jam pertama. Kenaikan suhu tubuh yang terjadi di
dalam masa nifas, dianggap sebagai infeksi nifas jika tidak ditemukan sebab-sebab ekstragenital
(Prawirohardjo,2006).
B. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Menurut Krisnadi (2005) mikroorganisme penyebab infeksi puerpuralis dapat berasal dari
luar (eksogen) atau dari jalan lahir penderita sendiri (endogen). Mikroorganisme endogen lebih
sering menyebabkan infeksi:
1. Mikroorganisme endogen: golongan Streptococcus, basil koli, dan Stafilococcus
2. Mikroorganisme eksogen: Clostridium welchii, gonococcus, Salmonella typhii, atau
Clostridium tetani
Faktor predisposisi infeksi nifas menurut Manuaba (1998), Joseph & Nugroho (2010) antara lain:
1. Persalinan berlangsung lama
2. Tindakan operasi persalinan
3. Tertinggalnya placenta, selaput ketuban, dan bekuan darah
4. Ketuban pecah dini atau pembukaan masih kecil melebihi 6 jam
5. Keadaan yang dapat menurunkan keadaan umum, yaitu perdarahan ante partum dan post
partum, anemia pada saat kehamilan, malnutrisi, kelelahan, hygiene, dan ibu hamil dengan
penyakit infeksi.
Dalam Prawirohardjo (2006) juga disebutkan faktor predisposisi lain, yaitu:
1. Karioamnionitis
2. Kurang baiknya proses pencegahan infeksi
3. Manipulasi yang berlebihan
Perdarahan menurunkan daya tahan tubuh ibu, sedangkan trauma persalinan memberikan port
d”entrée dan jaringan nekrotis merupakan media yang subur bagi mikroorganisme. Demikian juga
partus lama, retensio placenta sebagian atau seluruhnya memudahkan terjadinya infeksi (Krisnadi,
2005).
C. Mekanisme Terjadinya Infeksi
Terjadinya infeksi kala nifas dalam Manuaba (1998) adalah sebagai berikut:
1. Manipulasi penolong: terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam, alat yang dipakai kurang
suci hama. Kemungkinan besar penolong persalinan membawa kuman ke dalam rahim
penderita, yakni dengan membawa mikroorganisme yang telah ada dalam vagina ke atas,
misalnya dengan pemeriksaan dalam. Mungkin juga tangan penolong atau alat-alatnya
masuk membawa kuman-kuman dari luar dan dengan infeksi tetes. Oleh karena itu
sebaiknya penolong persalinan memakai masker dalam kamar bersalin dan pegawai dengan
infeksi jalan nafas bagian atas hendaknya ditolak bekerja di kamar bersalin (Krisnadi, 2005).
2. Infeksi yang didapat di rumah sakit (nosokomial). Kadang-kadang sumber infeksi berasal dari
penolong sendiri misalnya, jika ada luka pada tangannya yang kotor atau dari pasien lain
seperti pasien dengan infeksi puerpuralis, luka operasi yang meradang, karsinoma uteri, atau
dari bayi dengan infeksi tali pusat (Krisnadi, 2005)
3. Hubungan seks menjelang persalinan
4. Sudah terdapat infeksi intrapartum: persalinan lama terlantar, ketuban pecah lebih dari 6
jam, terdapat pusat infeksi dalam tubuh (fokal infeksi)
D. Bentuk Infeksi
Bentuk infeksi kala nifas bervariasi dari yang bersifat lokal sampai terjadi sepsis dan
kematian puerperium. Bentuk infeksi dalam Manuaba (1998), Krisnadi (2005), dan Joseph &
Nugroho (2010) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Bentuk infeksi lokal
a. Infeksi pada luka episiotomi
b. Infeksi pada vagina
c. Infeksi pada serviks yang luka
d. Infeksi pada endometrium
2. Bentuk infeksi general (menyebar)
a. Parametritis
b. Peritonitis
c. Septikekemia dan piemia
d. Tromboflebitis
e. Salpingitis
Penyebaran infeksi kala nifas menurut Manuaba (1998) dan Joseph & Nugroho(2010) dapat
meliputi:
1. Berkelanjutan-perkontinuitatum
2. Melalui pembuluh darah
3. Melalui pembuluh limfa
4. Penyebaran melalui bekas implantasi plasenta
Sedangkan dalam Krisnadi (2005), secara ikhtisar cara penjalaran infeksi alat kandungan
sebagai berikut:
1. Penjalaran pada permukaan
a. Endometritis
b. Salpingitis
c. Pelveoperitonitis
d. Peritonitis umum
2. Penjalaran ke lapisan yang lebih dalam
a. Endometritis
b. Miometritis
c. Perimetritis
d. Peritonitis
3. Penjalaran melalui pembuluh getah bening
a. Limfangitis
b. Perlimfangitis
c. Parametritis
d. Perimetritis
4. Penjalaran melalui pembuluh darah balik
a. Flebitissepsis
b. Perifleblitis
c. Parametritis
E. Patologi, Manifestasi Klinis, dan Penatalaksanaan
Gambaran klinis infeksi nifas dalam Manuaba (1998) dapat dalam bentuk:
1. Infeksi lokal
a. Pembengkakan luka episiotomy
b. Terjadi penanahan
c. Perubahan warna lokal
d. Pengeluaran lokea bercampur nanah
e. Mobilitas terbatas karena rasa nyeri
f. Temperatur badan dapat meningkat
2. Infeksi umum
a. Tampak sakit dan lemah
b. Temperature meningkat di atas 39°C
c. Tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat
d. Pernafasan dapat meningkt dan terasa sesak
e. Kesadaran gelisah sampai menurun dan koma
f. Terjadi gangguan involusi uterus
g. Lokea berbau dan bernanah serta kotor
Penanganan umum menurut Prawirohardjo (2006) antara lain:
1. Antisipasi setiap kondisi (faktor predisposisi, dan masalah dalam proses persalinan yang
dapat berlanjut menjadi penyulit atau komplikasi dalam masa nifas.
2. Berikan pengobatan yang rasional dan efektif bagi ibu yang mengalami infeksi nifas
3. Lanjutkan pengamatan dan pengobatan terhadap masalah atau infeksi yang dikenali pada
saat kehamilan ataupun persalinan
4. Jangan pulangkan penderita apabila masa kritis belum terlampaui
5. Beri acatan atau instruksi tertulis untuk asuhan mandiri di rumah dan gejala-gejala yang
harus diwaspadai dan harus mendapat pertolongan dengan segera.
6. Lakukan tindakan dan perawatan yang sesuai bagi bayi baru lahir, dari ibu yang mengalami
infeksi pada saat persalinan
7. Berikan hidrasi oral/IV secukupnya.
8. Beri infus heparin, obati dengan antibiotika dan berikan terapi suportif dan observasi
9. Berikan terapi suportif (hepatoprotektor) dan observasi
F. Infeksi Luka Perineum (Vulva, Vagina, Serviks) dan Luka Abdominal
1. Etiologi
Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan tindakan pencegahan infeksi kurang baik
(Prawirohardjo, 2006).
2. Manifestasi Klinis
Menurut Krisnadi (2005) manifestasi klinis infeksi luka perineum dan abdominal yaitu:
a. Luka perineum menjadi nyeri, merah, dan bengkak akhirnya luka terbuka dan
mengeluarkan getah bernanah. Perasaan nyeri dan panas timbul pada luka yang
terinfeksi dan jika terjadi pernanahan dapat disertai dengan dengan suhu yang tinggi
dan menggigil.
b. Infeksi luka serviks jika lukanya dalam sampai ke parametrium, dapat menimbulkan
parametritis
3. Penanganan
Penanganan spesifik pada infeksi luka perineum dan luka abdominal menurut Prawirohardjo
(2006) yaitu:
a. Bedakan antara wound abcess, wound seroma, wound hematoma, dan wound cellulitis.
1) Wound abcess, wound seroma, dan wound hematoma suatu pengerasan yang
tidak biasa dengan mengeluarkan cairan serous atau kemerahan dan tidak ada /
sedikit erithema sekitar luka.
2) Wound cellulitis didapatkan eritema dan edema meuluas mulai dari tempat insisi
dan melebar.
b. Bila didapatkan pus dan cairan pada luka, buka, dan lakukan pengeluaran.
c. Daerah jahitan yang terinfeksi dihilangkan dan lakukan debridement
d. Bila infeksi sedikit tidak perlu antibiotika
e. Bila infeksi relative superficial, berikan ampisilin 500 mg per oral setiap 6 jam dan
metronidazol 500 mg per oral 3x/hari selama 5 hari
f. Bila infeksi dalam dan melibatkan otot dan menyebabkan nekrosis, beri penisilin G 2
juta U IV setiap 4 jam (atau ampisilin inj 1 g 4x/hari) ditambah dengan gentamisin 5
mg/kg berat badan perhari IV sekali ditambah dengan metronidazol 500 mg IV setiap 8
jam, sampai bebas panas selama 24 jam. Bila ada jaringan nekrotik harus dibuang.
Lakukan jahitan sekunder 2-4 minggu setelah infeksi membaik.
g. Berikan nasehat kebersihan dan pemakaian pembalut yang bersih dan sering diganti.
ENDOMETRITIS/METRITIS
Metritis adalah infeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu penyebab
terbesar kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau kurang adekuat dapat menjadi abses pelvic,
peritonitis, syok septic, thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal, infeksi pelvic yang menahun,
dispareunia, penyumbatan tuba, dan infertilitas (Prawirohardjo, 2006).
1. Patologi Infeksi puerperalis paling sering menjelma sebagai endometritis. Setelah masa
inkubasi, kuman-kuman menyerbu ke dalam luka endometriumm, biasanya pada bekas
perlekatan plasenta. Leukosit-leukosit segera membuat pagar pertahanan dan keluarlah
serum yang mengandung zat anti, sedangkan otot-otot berkontraksi dengan kuat, rupanya
dengan maksud menutup aliran darah dan limfe. Ada kalanya endometritis menghalangi
involusi (Krisnadi, 2005).
2. Manifestasi Klinis
Menurut Krisnadi (2005), manifestasi klinis infeksi luka perineum dan abdominal yaitu:
a. Gambaran klinik endometritis berbeda-beda bergantung virulensi kuman penyebabnya.
Biasanya demam mulai 48 jam pasca persalinan dan bersifat naik turun (remitten)
b. His royan lebih nyeri dari biasa dan lebih lama dirasakan. Lokea bertambah banyak,
berwarna merah atau coklat, dan berbau. Lokea yang berbau tidak selalu menyertai
endometritis sebagai gejala. Sering ada subinvolusi. Leukosit naik antara 15000-
30000/mm3.
c. Sakit kepala, kurang tidur, dan kurang nafsu makan dapat mengganggu penderita. Jika
infeksi tidak meluas, suhu turun berangsur-angsur dan normal pada hari ke-7-10.
3. Penanganan
Penanganan spesifik pada infeksi luka perineum dan luka abdominal menurut Prawirohardjo
(2006) yaitu:
a. Berikan transfuse jika dibutuhkan. Berikan Packed Red Cell
b. Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi. Ampisilin 2 g IV,kemudian 1
g setiap 6 jam ditambah gentamisisn 5 mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam. Lanjutkan antobiotika ini sampai ibu tidak panas
dalam 24 jam.
c. Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis
d. Bila dicurigai adanya sisa placenta, lakukan pengeluaran (digital atau dengan kuretase
yang lebar)
e. Bila ada pus lakukan drainase (kalau perlu kolpotomi), ibu dalam posisi semifowler.
f. Bila tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada tanda peritonitis
generalis atas lakukan laparatomi dan keluarkan pus. Bila pada evaluasi uterus nekrotik
dan septic lakukan histerektomi subtotal.
TROMBOFLEBITIS
Perluasan infeksi nifas yang paling sering ialah perluasan invasi mikroorganisme pathogen
yang mengikuti aliran darah vena di sepanjang vena dan cabang-cabangnya sehingga terjadi
tromboflebitis (Praworohardjo, 2006). Penjalaran infeksi melalui vena sering terjadi dan merupakan
penyebab terpenting dari kematian karena infeksi puerperalis (Krisnadi, 2005).
Klasifikasi menurut Prawirohardjo (2006) dan Krisnadi (2005) tromboflebitis dibagi menjadi
dua golongan berdasar jenis vena yang terkena yaitu:
1. Pelviotromboflebitis mengenai vena-vena dinding rahim dan ligament latum (vena ovarika,
vena uterin, dan vena hipogastrik). Vena yang paling sering terkena ialah vena ovarika dextra
karena infeksi pada tempat implantasi plasenta terletak di bagian atas uterus, proses
biasanya unilateral. Perluasan infeksi dari vena ovarika sinistra ialah vena renalis, sedangkan
perluasan infeksi dari vena ovarika dektra adalah ke vena kava inferior. Peritoneum, yang
menutupi vena ovarika dektra mengalami inflamasi dan akan menyebabkan perisalpingo-
ooforitis dan periapendisitis. Perluasan infeksi vena uterine adalah ke vena iliaka komunis
(Prawihardjo, 2006).
2. Tromboplebitis femoralis
Mengenai vena-vena tungkai (vena femoralis, poplitea, dan safena).
Tromboflebitis Pelvika/Pelviotromboflebitis
1. Patologi
Yang paling sering meradang ialah vena ovarika karena mengalirkan darah dan luka bekas
plasenta di daerah fundus uteri. Penjalaran tromboflebitis pada vena ovarika kiri ialah ke vena
renalis dan vena ovarika kanan ke vena kava inferior. Trombosis yang terjadi setelah peradangan
bermaksud untuk menghambat perjalanan mikroorganisme. Dengan proses ini, infeksi dapat
sembuh, tetapi jika daya tahan tubuh kurang, thrombus dapat menjadi nanah (Krisnadi, 2005).
Bagian-bagian kecil thrombus terlepas dan terjadilah emboli atau sepsis dan karena embolus
ini mengandung pus disebut juga pyaemia. Embolus ini biasanya tersangkut pada paru, ginjal, atau
katub jantung. Pada paru dapat menimbulkan infark. Jika daerah yang mengalami infark meluas,
pasien meninggal dengan mendadak dan jika pasien tidak meninggal, dapat timbul abses paru
(Krisnadi, 2005).
2. Manifestasi Klinis
Biasanya terjadi pada minggu ke-2 seperti demam menggigil, biasanya pasien sudah
memperlihatkan suhu yang tidak tenang seperti pada endometritis sebelumnya. Jika membuat
kultur darah, sebaiknya diambil waktu pasien menggigil atau sesaat sebelumnya. Penyulit adalah
abses paru, pleuritis, pneumoni, dan abses ginjal. Kematian biasanya karena penyulit paru (Krisnadi,
2005).
Manifestasi klinis lain dalam (Prawihardjo, 2006) antara lain:
a. Nyeri yang terdapat pada perut bagian bawah dan atau perut bagian samping,timbul
pada hari ke 2-3 masa nifas dengan atau tanpa panas.
b. Penderita tampak sakit berat
c. Menggigil berulang kali. Menggigil inisial terjadi sangat berat (30-40 menit) dengan
interval hanya beberapa jam saja dan kadang-kadang 3 hari. Pada waktu menggigil
penderita hampir tidak panas.
d. Suhu badan naik secara tajam (36°C menjadi 40°C), yang diikuti dengan penurunan suhu
dalam 1 jam (biasanya subfebris seperti pada endometritis)
e. Penyakit dapat berlangsung 1-3 bulan.
f. Cenderung terbentuk pus yang menjalar kemana-mana terutama ke paru-paru.
g. Pada pemeriksaan dalam hampir tidak ditemukan apa-apa karena yang paling banyak
terkena adalah vena ovarika, yang sukar dicapai pada pemeriksaan dalam.
h. Gambaran darah:
1) Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin menyebar ke sirkulasi, dapat
segera terjadi leucopenia)
2) Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat yang tepat sebelum
mulainya menggigil. Meskipun bakteri ditemukan di dalam darah selama menggigil,
kultur darah sangat sukar dibuat karena bakterinya anaerob.
3. Penanganan
Dalam (Prawihardjo, 2006) dijelaskan penanganan tromboflebitis pelvic sebagai berikut:
a. Rawat inap: penderita tirah baring untuk pemantauan gejala penyakitnya dan
mencegah terjadinya emboli pulmonal.
b. Terapi medik: pemberian antibiotika (lihat antibiotika kombinasi dan alternatif, seperti
pada penatalaksaan korioamnionitis), heparin jika terdapat tanda atau dugaan adanya
emboli pulmonum
c. Terapi operatif: pengikatan vena kava inferior dan vena ovarika jika emboli septic terus
berlangsung sampai mencapai paru-paru, meskipun sedang dilakukan heparinasi.
4. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang dapat timbul dalam Prawihardjo, 2006 antara lain:
a. Komplikasi pada paru-paru: infark, abses, penuemonia
b. Komplikasi pada ginjal sinistra, nyeri mendadak, yang diikuti dengan proteinuria dan
hematuri
c. Komplikasi pada persendian, mata, dan jaringan subkutan
Tromboflebitis Femoralis
1. Patologi
Dapat terjadi tromboflebitis vena safena magna atau peradangan venafemoralis sendiri,
penjalaran tromboflebitis vena uterine (vena uterine, vena hipogastrika, vena iliaka eksterna, vena
femoralis), dan akibat parametritis. Tromboflebitis vena femoralis mungkin terjadi karena aliran
darah lambat di daerah lipat paha karena vena tersebut, yang tertekan oleh ligament inguinale, juga
karena dalam masa nifas kadar fibrinogen meninggi (Krisnadi, 2005). Pada tromboflebitis femoralis
terjadi edema tungkai yang mulai pada jari kaki, naik ke kaki, betis, dan paha, bila tromboflebitis itu
mulai pada vena safena atau vena femoralis. Sebaliknya bila terjadi sebagai lanjutan dari
tromboflebitis pelvika, edema mulai terjadi pada paha dan kemudian turun ke betis (Krisnadi,2005).
Biasanya hanya satu kaki yang bengkak, tetapi kadang-kadang keduanya. Tromboflebitis femoralis
jarang menimbulkan emboli. Penyakit ini juga terkenal dengan nama phlegmasia alba dolens (radang
yang putih dan nyeri) (Krisnadi,2005).
2. Manifestasi Klinis
Dalam Krisnadi (2005) dan Prawihardjo (2006) manifestasi klinis dari tromboflebitis femoralis
antara lain:
a. Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris selama 7-10 hari, kemudian
mendadak naik kira-kira pada hari ke 10-20, yang disertai dengan menggigil nyeri sekali
pada tungkai, biasanya yang kiri.
b. Kaki yang sakit biasanya lebih panas dari kaki yang sehat.
c. Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi ke luar serta sukar bergerak.
d. Palpasi menunjukkan adanya nyeri hebat (pada lipat paha dan daerah paha) sepanjang
salah satu vena kaki yang teraba sebagai alur yang keras dan tegang biasanya pada
paha.
e. Timbul edema yang jelas sebelum atau setelah nyeri, yang biasanya mulai pada ujung
kaki atau pada paha dan kemudian naik ke atas. Edema ini lambat sekali hilang.
Keadaan umum pasien tetap baik. Kadang-kadang terjadi tromboflebitis pada kedua
tungkai.
f. Reflektorik akan terjadi spasmus srteria sehingga kaki menjadi bengka, tegang, putih,
nyeri dan dingin, dan penurunan pulsasi.
g. Nyeri pada betis yang dapat terjadi spontan atau dengan memijit betis atau dengan
meregangkan tendon achiles (tanda Hoffman)
3. Penanganan
Penangan tromboflebitis femoralis dalam Prawihardjo (2006) antara lain:
a. Perawatan: kaki ditinggikan untuk mengurangi edema, lakukan kompresi pada kaki.
Setelah mobilisasi kaki hendaknya tetap dibalut elastik atau memakai kaos kaki panjang
yang elastik selama mungkin.
b. Mengingat kondisi ibu yang sangat jelek, sebaiknya jangan menyusui.
c. Terapi medik: pemberian antibiotic dan analgesia
SEPSIS PUERPERALIS
1. Patologi
Terjadi kalau setelah persalinan ada sarang sepsis dalam badan yang secara terus-menerus
atau periodic melepaskan mikroorganisme pathogen ke dalam peredaran darah (Krisnadi, 2005).
Pada sepsis ini dibedakan menjadi:
a. Port d”entrée: biasanya bekas insersi placenta
b. Sarang sepsis primer: tomboplebitis pada vena uterine atau vena ovarika
c. Sarang sepsis sekunder (metastasis): misalnya di paru sebagai abses paru atau pada
katup jantung sebagai endokarditis ulserosa septika. Di samping itu, dapat terjadi abses
di ginjal, di hati, limpa, dan otak (Krisnadi, 2005).
2. Manifestasi Klinis
Suhu tinggi (40°C atau lebih, biasanya remittens), menggigil, keadaan umum memburuk
(nadi kecil dan tinggi, nafas cepat, dan gelisah), dan Hb menurun karena hemolisis dan lekositosis
(Krisnadi, 2005).
PERITONITIS
1. Patologi
Infeksi puerpuralis melalui saluran getah bening dapat menjalar ke peritoneum hingga
terjadi peritonitis atau ke parametrium menyebabkan parametritis. Jika peritonitis ini terbatas pada
rongga panggul disebut pelveoperitonitis, sedangkan jika seluruh peritoneum meradang kita
mengahadapi peritonitis umum. Prognosis peritonitis umum jauh lebih buruk dari pelveoperitonitis
(Krisnadi, 2005).
2. Manifestasi Klinis
Nyeri seluruh perut spontan maupun pada palpasi, demam menggigil, nadi tinggi dan kecil,
perut kembung (kadang-kadang ada diare), muntah, pasien gelisah dan mata cekung dan sebelum
mati ada delirium dan koma (Krisnadi, 2005).
3. Penanganan
Dalam Prawihardjo (2006) penanganan dibedakan berdasarkan penyebaran atau keparahan
akibat peritonitis dijelaskan sebagai berikut:
Abses pelvis
a. Bila pelvic abses ada tanda cairan fluktuasi pada daerah cul-de-sac, lakukan kolpotomi
atau dengan laparotomi. Ibu posisi Fowler.
b. Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi. Ampisilin 2 gr IV, kemudian
1 gr setiap 6 jam, ditambah gentamisin 5mg/kgberat badan IV dosis tunggal/hari dan
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak panas
selama 24 jam
Peritonitis
a. Lakukan nasogastric sunction
b. Berikan infus (NaCl atau Ringer Laktat)
c. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam. Ampisilin 2 gr IV,kemudian 1
gr selama 6 jam, ditambah gentamisisn 5mg/kg berat badan IVdosis tunggal/hari dan
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.
d. Laparatomi diperlukan untuk pembersihan perut (peritonea llavage)
PARAMETRITIS (CELLULITIS PELVIC )
1. Patologi
Menurut Mochtar (1998) parametritis dapat terjadi dengan 3 cara yaitu:
a. Melalui robekan serviks yang dalam
b. Penjalaran endometritis atau luka serviks yang terinfeksi melalui saluran getah bening
c. Sebagai lanjutan tromboflebitis pelvika
Jika terjadi infeksi parametrium, timbulah pembengkakan yang mula-mula lunak, tetapi
kemudian menjadi keras sekali. Infiltrat ini dapat terjdi hanya pada dasar ligament latum, tetapi
dapat juga bersifat luas, misalnya dapat menempati seluruh parametrium sampai dinding panggul
dan dinding perut perut depan diatas ligament inguinale. Jika infiltrate menjalar ke belakang dapat
menimbulkan pembengkakan di belakang serviks (Krisnadi, 2005).
Eksudat ini lambat laun diresorpsi atau menjadi abses memecah di daerah lipatpaha di atas
ligament inguinale atau ke dalam cavem Douglas. Parametritis biasanya unilateral dan karena
biasanya sebagai akibat luka serviks, lebih seringterdapat pada primipara dari pada multipara
(Krisnadi, 2005).
2. Manifestasi Klinis
Parametritis harus dicurigai bila suhu pasca persalinan tetap tinggi lebih dari 1 minggu.
Gejala berupa nyeri pada sebelah atau kedua belah perut bagian bawah sering memancar pada kaki.
Setelah beberapa waktu pada pemeriksaan dalam, dapat teraba infiltrate dalam parametrium yang
kadang-kadang mencapai dinding panggul. Infiltrat ini dapat diresorpsi kembali, tetapi lambat sekali,
menjadi keras, dan tidak dapat digerakkan. Kadang-kadang infiltrate ini menjadi abses (Krisnadi,
2005).
SALPINGITIS (SALFINGO-OOFORITIS)
Salpingitis adalah peradangan pada adnekssa. Terdiri atas akut dan kronik. Diagnosis dan
gejala klinis hampir sama dengan parametritis. Bila infeksi berlanjut dapat terjadi piosalfing
(Mochtar, 1998). Sering disebabkan oleh gonore, biasanya terjadi pada minggu ke-2. Pasien demam
menggigil dan nyeri pada perut bagian bawah biasanya kiri dan kanan. Salpingitis dapat sembuh
dalam 2 minggu, tetapi dapat mengakibatkan kemandulan (Krisnadi, 2005).
II. Perdarahan dalam Masa Nifas
A. Pengertian
Ada beberapa sumber yang menyatakan tentang perdarahan post partum, diantaranya:
1. Perdarahan post partum adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui jalan lahir yang
terjadi selama atau setelah persalinan kala III yang disebabkan karena perdarahan pasca
persalinan, placenta previa, solutio placenta, kehamilan ektopik, abortus dan ruptur uteri
yang merupakan penyebab ¼ kematian ibu (Anggraeni, 2010).
2. Perdarahan post partum adalah perdarahan setelah bayi lahir yang volumennya melebihi
500 cc (Manuaba, 2008).
3. Perdarahan post partum adalah perdarahan 500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah
placenta lahir). Pengukuran darah yang keluar sukar untuk dilakukan secara tepat (Sarwono,
2007).
4. Perdarahan post partum adalah perdarahan yang pasif yang berasal dari tempat implantasi,
merupakan penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil ektopik dan
abortus (Sarwono).
B. Klasifikasi klinis
Menurut Anggraeni (2010) Perdarahan pasca persalinan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Perdarahan pasca persalinan primer (early postpartum haemorrhage, atau perdarahan pasca
persalinan segera). Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama dan
yang terbanyak terjadi dalam 2 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan
primer adalah atonia uteri, retensio placenta, sisa placenta dan robekan jalan lahir.
2. Perdarahan pasca persalinan sekunder (late postpartum haemorrhage, atau perdarahan
masa nifas, atau perdarahan pasca persalinan lambat). Perdarahan pasca persalinan
sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan
sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa placenta atau membran.
C. Etiologi
Menurut Anggraeni (2010) penyebab perdarahan post partum adalah sebagai berikut:
1. Atonia uteri
Pada atonia uteri, uterus tidak mengadakan kontraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab
utama dari perdarahan postpartum. Uterus yang sangat teregang (hidramnion, kehamilan
ganda atau kehamilan dengan janin besar), partus lama dan pemberian narkosis dan
merupakan predisposisi untuk terjadinya atonia uteri.
2. Laserasi jalan lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca persalinan.
Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan
uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan cerviks atau vagina.
3. Robekan cervik
Persalinan selalu mengakibatkan robekan servik, sehingga servik seorang multipara berbeda
dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan servik yang luas menimbulkan
perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila placenta sudah lahir
lengkap dan uterus sudah berkontraksi baik. Namun, perdarahan masih belum
berhenti dikarenakan adanya robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina.
4. Fistula
Fistula akibat pembedahan vagina makin lama makin jarang karena tindakkan vagina yang
sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio sesaria. Fistula dapat terjadi
mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum,
misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan servik menjalar ke
tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui vagina.
5. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan perinium umumnya terjadi di garis tengah dan bisa
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada
biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada
sirkumferensia suboksipito bregmatika.
6. Retensio Placenta
Retensio Placenta adalah belum lahirnya placenta 30 menit setelah anak lahir. Tidak semua
retensio placenta menyebabkan terjadinya perdarahan. Apabila terjadi perdarahan, maka
placenta dilepaskan secara manual lebih dulu.
7. Tertinggalnya Sisa Placenta
Suatu waktu bagian dari placenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak
berkontraksi dengan baik dan keaadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Tetapi mungkin
saja pada beberapa keadaan tidak ada perdarahan dengan sisa placenta.
8. Inversio Uterus
Uterus dikatakan megalami inversi jika bagian dalam menjadi diluar saat melahirkan
placenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan. Dengan berjalannya waktu, lingkaran
kontriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.
9. Hematoma
Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserarasi atau atau
pada daerah perineum.
D. Faktor Predisposisi
Menurut Manuaba (2008) faktor predisposisi perdarahan post partum adalah sebagai
berikut:
1. Keadaan umum pasien yang mempunyai gizi rendah:
a. Hamil dengan anemia
b. Hamil dengan kekurangan gizi/malnutrisi
2. Kelemahan dan kelelahan otot rahim
a. Grande multipara
b. Jarak kehamilan dan persalinan kurng dari 2 tahun
c. Persalinan lama atau terlantar
d. Persalinan dengan tindakan
e. Kesalahan penanganan kala III
3. Pertolongan persalinan dengan tindakan
4. Overdistensi pada kehamilan:
a. Hidramnion
b. Gemeli
c. Berat anak yang melebihi 4000 gram
E. Gejala klinis
Menurut Anggraeni (2010) gejala klinis perdarahan post partum adalah sebagai berikut:
1. Atonia uteri
Tanda dan gejala:
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pasca persalinan primer)
2. Robekan jalan lahir
Tanda dan gejala:
a. Perdarahan segera
b. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
c. Uterus kontraksi baik
d. Plasenta baik
3. Retensio plasenta
Tanda dan gejala :
a. Plasenta belum lahir setelah 30 menit
b. Perdarahan segera
c. Uterus berkontraksi baik
4. Tertinggalnya sebagian plasenta ( sisa plasenta )
Tanda dan gejala :
a. Plasenta atau sebagian selaput ( mengandung pembuluh darah) tidak lengkap
b. Perdarahan segera
5. Invertio uteri
Tanda dan gejala :
a. Uterus tidak teraba
b. Lumen vagina terisi masa
c. Tampak tali pusat ( jika plasenta belum lahir )
d. Perdarahan segera
e. Nyeri sedikit atau berat
F. Komplikasi Perdarahan Post Partum
Menurut Manuaba (2008) komplikasi perdarahan post partum adalah sebagai berikut :
1. Memudahkan terjadinya :
a. anemia yang berkelanjutan
b. infeksi puerperium
2. Terjadinya nekrosis hipofisis anterior
a. menurunnya berat badan
b. penurunan fungsi seksual
c. turunnya metabolisme hipotensi
d. amenorea sekunder
e. memudarnya tanda-tanda sekunder
G. Penanganan Perdarahan Post Partum
Apabila placenta belum lahir dalam 30 menit sampai 1 jam setelah bayi lahir, apalagi bila
terjadi perdarahan maka harus segera dikeluarkan.
1. Lahirkan placenta dengan cara manual.
2. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
3. Memeriksa placenta dan selaput ketuban apakah lengkap atau tidak
4. Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari : sisa placenta atau selaput ketuban, robekan
rahim, plasecenta suksenturiata
5. Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan varices yang pecah
6. Pemeriksaan laboratorium, periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation Test)
III. Infeksi Saluran Kemih
Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relative tinggi dan hal ini dihubungkan
dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih waktu persalinan, pemeriksaan
dalam yang sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau katerisasi yang sering (Krisnadi, 2005).
Sistitis biasanya memberikan gejala berupa nyeri berkemih (dysuri) sering berkemih, dan tak dapat
ditahan. Demam biasanya jarang terjadi. Adanya retensi urine pascapersalinan umumnya
merupakan tanda adanya infeksi. Pielonefritis memberikan gejala yang lebih berat, demam,
menggigil, perasaan mual dan muntah. Selain disuri, dapat juga terjadi piuri dan hematuri (Krisnadi,
2005). Pengobatan antibiotic yang terpilih meliputi golongan nitrofurantoin, sulfonamide,
trimetroprim, sulfametoksazol, atau sefalosporin. Banyak penelitian yang melaporkanresistensi
microbial terhadap golongan penisilin (Krisnadi, 2005).
IV. Patologi Menyusui
Masalah menyusui pada umumnya terjadi dalam dua minggu pertama masa nifas (Krisnadi,
2005). Payudara telah dipersiapkan sejak mulai terlambat datang bulan sehingga pada waktunya
pada memberikan ASI dengan sempurna. Untuk dapat melancarkan pengeluaran ASI dilakukan
persiapan sejak awal hamil dengan melakukan masase, menghilangkan kerak pada puting susu
sehingga duktusnya tidak tersumbat. Puting susu saat mandi perlu ditarik-tarik sehingga menonjol
untuk memudahkan mengisap ASI (Manuaba, 1998).
Berbagai variasi puting susu dapat terjadi diantaranya terlalu kecil, puting susu mendatar
dan puting susu masuk ke dalam. Pengeluaran ASI pun dapat bervariasi seperti tidak keluar sama
sekali (agalaksia), ASI sedikit (oligolaksia), terlalu banyak (poligolaksia), dan pengeluaran
berkepanjangan (galaktorea) (Manuaba, 1998).
1. PAYUDARA BENGKAK (ENGORGEMENT)
Bendungan payudara dalah peningkatan aliran vena dan limfe pada payudara dalam rangka
mempersiapkan diri untuk laktasi (Prawirohardjo, 2006). Payudara terasa lebih penuh, tegang dan
nyeri. Terjadi pada hari ketiga atau keempat pasca persalinan. Disebabkan oleh bendungan vena dan
pembuluh getah bening. Hal ini merupakan tanda bahwa ASI mulai banyak disekresi, namun
pengeluaran belum lancar. Bila karena nyeri ibu tidak mau menyusui, keadaan ini akan berlanjut. ASI
yang disekresiakan menumpuk sehingga payudara bertambah tegang, gelanggang susu menonjol,
dan puting menjadi lebih datar. Bayi menjadi lebih sulit menyusu (Krisnadi 2005). Pencegahan dan
penanganannya dalam Krisnadi (2005) dijelaskan sebagai berikut:
Pencegahan:
a. Menyusui dini, susui bayi sesegera mungkin (sebelum 30 menit) setelah dilahirkan
b. Susui bayi tanpa dijadwal
c. Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi melebihi kebutuhan bayi
d. Perawatan payudara pasca persalinan
Penanganan :
a. Kompres hangat agar payudara menjadi lebih lembek
b. Keluarkan sedikit ASI sebelum menyusui sehingga puting lebih mudah ditangkap dan diisap
oleh bayi
c. Sesudah bayi kenyang, keluarkan sisa ASI
d. Untuk mengurangi rasa sakit pada payudara, berikan kompres dingin
e. Untuk mengurangi stasis di vena dan pembuluh getah bening, lakukan pengurutan (masase)
payudara yang dimulai dari puting ke arah korpus.
2. KELAINAN PUTING
Kelainan puting ditemukan lebih dini pada saat pemeriksaan kehamilan agar segera dapat
dikoreksi sebelum menyusui. Kelainan puting yang dapat mengganggu proses menyusui adalah
puting susu datar dan puting susu tenggelam (inverted). Penanggulangan puting datar dan
tenggelam dapat diperbaiki dengan perasat Hoffman, yaitu dengan meletakkan kedua jari telunjuk
atau ibu jari di daerah gelanggang susu, kemudian dilakukan urutan menuju ke arah berlawanan.
Pada true inverted niple perasat Hoffman tidak dapat memperbaiki keadaan, harus dilakukan
tindakan operatif. Pada keadaan ini, ASI harus dikeluarkan secara manual atau dengan pompa susu
dan diberikan pada bayi dengan sendok, gelas atau pipet (Krisnadi, 2005).
3. PUTING NYERI (SORE NIPPLE) DAN PUTING LECET (CRACKED NIPPLE)
Puting susu nyeri terjadi karena posis bayi saat menyusui salah, karena puting tidak masuk
ke dalam mulut bayi sampai gelanggang susu sehingga bayi hanya mengisap pada puting susu saja.
Tekanan terus-menerus hanya pada tempat tertentu akan menimbulkan puting nyeri waktu diisap,
meskipun kulitnya masih utuh (Krisnadi,2005)
Penyebab lain yang dapat menimbulkan puting nyeri adalah penggunaan sabun, cairan, krim,
alcohol untuk membersihkan puting susu sehingga terjadi iritasi. Iritasi pada puting susu juga dapat
terjadi pada bayi dengan tali lidah (frenulumlinguae) yang pendek sehingga bayi tidak dapat
mengisap sampai gelanggang susu dan lidahnya menggeser ke puting. Puting akan nyeri bila terus
disusukan lama-lama dan akan menjjadi lecet atau luka (Krisnadi, 2005). Penanggulangannya adalah
dengan memberikan teknik menyusui yang benar, khususnya letak puting dalam mulut bayi, yaitu:
a. Bibir bayi menutup areola sehingga tidak tampak
b. Puting di atas lidah bayi
c. Areola di antara gusi atas dan bawah
4. SALURAN SUSU TERSUMBAT (OBSTRUCTIVE DUCT)
Sumbatan pada saluran susu disebabkan oleh tekanan yang terus-menerus. Tekanan dapat
berasal dari pemakaian bra yang terlalu ketat, tekanan jari pada tempat yang sama setiap menyusui,
atau kelanjutan dari payudara bengkak. Pencegahan dapat dilakukan dengan memakai bra dengan
ukuran memadai dan menopang payudara dengan baik, pengurutan payudara yang teratur dan
dengan teknik menyusui yang baik (Krisnadi, 2005). Pengobatan dapat dilakukan dengan
memberikan kompres hangat sebelum menyusui, pengurutan payudara, mengeluarkan sisa ASI
setelah menyusui dan kompres dingin setelah menyusui untuk mengurangi rasa sakit. Saluran susu
yang tersumbat bila tidak ditangani sebagaimana mestinya dapat menjadi mastitis (radang
payudara) (Krisnadi, 2005).
5. RADANG PAYUDARA (MASTITIS)
Proses infeksi pada payudara menimbulkan pembengkakan lokal atau seluruh payudara,
merah dan nyeri. Peradangan mengenai stroma payudara yang terdiri dari jaringan ikat, lemak,
pembuluh darah, dan getah bening. Biasanya terjadi pada minggu kedua, ibu merasa demam umum
seperti influenza (Krisnadi, 2005). Biasanya didahului oleh putting lecet, payudara bengkak atau
sumbatan saluran susu. Ibu dengan anemi, gizi buruk, kelelahan dan stress juga merupakan factor
predisposisi.
Penanggulangannya adalah sebagai berikut:
a. Ibu harus terus menyusui agar payudara
b. Kompres hangat dan dingin seperti pada payudara bengkak
c. Memperbaiki posisi menyusui, terutama bila terdapat putting lecet
d. Istirahat cukup, makanan yang bergizi
e. Minum sekitar 2 liter per hari
f. Antibiotic
g. Analgesic
Dalam Prawirohardjo (2006), penanganan untuk ibu yang menusui bayinya dan tidak
menyusui dibedakan.
Bila ibu menyusui bayinya:
a. Susukan sesering mungkin
b. Kedua payudara disusukan.
c. Kompres hangat payudara sebelum disusukan
d. Bantu dengan memijat payudara untuk permulaan menyusui
e. Sangga payudara
f. Kompres dingin pada payudara di antara waktu menyusui
g. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam
h. Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk mengevaluasi hasil
Bila ibu tidak menyusui bayinya:
a. Sangga payudara
b. Kompres dingin pada payudara untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit
c. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral selama 4 jam
d. Jangan dipijat atau memakai kompres hangat pada payudara.
6. ABSES PAYUDARA
Berbeda dengan mastitis, pada abses payudara :
a. Infeksi mengenai jaringan parenkim dan besar nanah
b. Payudara yang sakit tidak boleh disusukan, sedangkan payudara yang sehat tetap disusukan
c. Terjadi sebagai komplikasi dari mastitis
d. Pemberian antibiotic dan analgesic
e. Bila perlu lakukan insisi abses
Payudara yang sakit sementara tidak disusukan, namun ASI tetap dikeluarkan manual atau dengan
pompa agar produksi ASI tetap baik. Dalam beberapa hari dapatdisusukan kembali (Krisnadi, 2005).
V. Tromboemboli
Trombosis vena dapat terjadi selama kehamilan atau sering terjadi pada masa nifas antara
hari ke 5 – 15. Perawatan obstetri yang baik dan ambulasi dini dapat menurunkan kejadian penyakit
tromboemboli. Proses trombosis selalu berawal dari vena profunda tungkai bawah namun dapat
pula menjalar keatas menuju vena femoralis atau vena vena dalam panggul. Situasi ini sering
menyebabkan terjadinya emboli paru.
Diagnosis DVT (Deep Vein Thrombosis)
a. Tanda klinik adalah terjadinya demam ringan, kenaikan frekuensi nadi dan rasa lesu.
b. Tanda klinik tak dapat memberi informasi mengenai progresivisitas penyakit.
c. Konfirmasi diagnosis adanag dengan menggunakan”colour – enhanced Doppler imaging “
pada vena tibialis dan femoralis.
Diagnosis emboli paru :
a. Dispneoe
b. Nyeri dada
c. Sianosis
d. Krepitasi pada auskultasi paru
Terapi DVT
a. Heparin infus ( 20.000 dalam 500 PZ denga kecepatan 25 ml / jam untuk mencapai dosis
25.000 IU per hari ) selama 5 hari dan dipantau dengan pemeriksaan APTT. Active partial
tromboplastin time
b. Tirah baring dengan tungkai di elevasi selama heparinisasi
c. Terapi Emboli Paru :
d. Heparin bolus 25.000 IU intra vena dan diikuti dengan pemberian per infus seperti ada kasus
DVT.
VI. Masalah Psikiatri Pasca Persalinan
1. “third days blues”
a. 50 – 70% terjadi instabilitas emosional pada ibu pasca persalinan dengan penyebab
yang tidak jelas.
b. Gejala berawal antara hari ke 3 – 5 pasca persalinan.
c. Instabiltas emosional dapat berlangsung kurang dari 1 minggu namun ada kasus yang
dapat terjadi sampai berbulan-bulan
2. DEPRESI PASCA PERSALINAN
a. 8 – 12% wanita pasca persalinan akan menampakkan tanda – tanda depressi dalam 5
bulan pertama pasca persalinan.
b. Resiko tinggi mengalami kejadian ini :
c. Ibu berusia < 16 tahun
d. Riwayat keluarga dengan depresi atau pernah menderita depresi
e. Depresi pada masa hamil
f. Masalah hubungan keluarga pada masa remaja
g. Tidak ada dukungan dari pasangan selama kehamilan , persalinan
h. Merawat bayi sendirian tanpa keluarga atau teman
i. Pengalaman negatif saat berhubungan dengan tenaga kesehatan selama kehamilan
j. Riwayat komplikasi kehamilan
3. PSIKOSIS PASCA PERSALINAN
a. 1 – 3% wanita mengalami kejadian psikosis pasca persalinan dalam bentuk manik atau
depresi naun ada juga yang diselingi dengan episode skisofrenik
b. Gangguan ini dapat terjadi secara mendadak pada hari 5 – 15 pasca persalinan. Pada
awalnya pasien merasa bingung , cemas, tidak dapat tidur dan sedih. Delusi ( merasa
bahwa anaknya mengalami sesuatu yang berbahaya ) atau halusinasi terjadi dengan
cepat.
c. Pasien harus segera memperoleh perawatan secara profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1 Obstetri fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta:EGC.
Krisnadi, Sofie. 2005. Obstetri Patologi ilmu kesehatan Reproduksi Edisi 2 FK
UniversitasPadjadjaran. Jakarta: EGC.
Manuaba, Ida. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal danNeonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo.
Joseph, H. K dan Nugroho. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (Obsgyn).Yogayakarta: Nuha
Medika