Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

11
1 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar LOKALISASI PELACURAN MENURUT FIKIH ISLAM; Membebaskan Duka Lara Dibalik Desah Mesra* Oleh: Khoirul Anwar** Prolog Keberadaan lokalisasi pelacuran di mata masyarakat dipandang sebagai “tempat kotor” dan “tempat orang-orang yang berdosa”, namun secara diam-diam tidak sedikit masyarakat yang ikut serta menikmati keberadaannya, mulai dari yang mencari kenikmatan esek-esek, mengais rizki dengan menjual makanan dan minuman, hingga berprofesi merawat kesehatan para penghuninya (pelacur). Singkatnya, keberadaan lokalisasi pelacuran oleh masyarakat dibenci sekaligus disukai. Stereotipe negatif terhadap lokalisasi pelacuran biasanya muncul dari anggapan bahwa tempat tersebut bertentangan dengan ajaran agama, sehingga pantas jika tempat ini sering menjadi sasaran amuk sebagian umat Islam dengan dalih amar ma‟ruf nahy munkar. Sesungguhnya asumsi demikian terlalu gegabah, masyarakat yang membenci keberadaannya dan hendak membubarkan memiliki pandangan yang sporadis dan simplistis, mereka hanya menilai dari satu sisi, yakni bertentangan dengan ajaran agama yang melarang perzinaan, sehingga melokalisir perzinaan tidak lebih dari menyediakan tempat bagi para pengobral dosa. Lokalisasi pelacuran di dalamnya tersimpan permasalahan yang sangat kompleks, tidak cukup jika melihatnya dari satu sisi, yakni menjadi tempat perzinaan, tapi harus dilihat dari berbagai sisi dengan seobjektif mungkin, yakni dengan melihat latar di balik keberadaannya di satu sisi, dan penyebab yang mengantarkan seseorang menjadi pemuas seks bayaran di sisi lain. Semua orang tidak ada yang memiliki cita-cita berprofesi menjadi pemuas seks transaksional, sehingga orang yang menjalankan pekerjaan esek-esek ini dapat dipastikan di luar kehendaknya atau terpaksa. Hal ini dapat dibuktikan melalui kehidupan para pelacur yang memiliki dua wajah atau dalam bahasa Nur Syam memiliki dua panggung, yakni panggung depan dan panggung belakang. Di panggung depan pelacur pura-pura menampakkan wajah yang ceria, molek, penuh desah mesra, menggoda, orgasme, namun sesungguhnya di balik itu, di panggung belakang yang tersembunyi mereka sangat lara, mereka pura-pura melakukan itu semua karena terpaksa agar dapat membiayai diri dan keluarganya. 1 Ringkasnya, lokalisasi pelacuran adalah tempat orang-orang tertindas, sehingga dalam menyikapinya tidak cukup jika hanya dilihat bahwa di dalamnya menjadi “tempat wisata kelamin” yang diharamkan agama, tapi juga harus dilihat dari status para pelakunya yang dalam bahasa al-Quran disebut dengan “masyarakat tertindas (dlu‟afa)” sehingga apabila lokalisasi pelacuran disikapi dengan teks-teks keagamaan (al-nushush al-syar‟iyyah) maka harus memperhatikan pula semua latar yang mengitari lokalisasi pelacuran dan penghuninya, mulai dari penyebab yang mengantarkan seseorang menjadi pemuas nafsu bayaran hingga praktek esek-eseknya itu sendiri. Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, menyatakan bahwa lokalisasi pelacuran dapat dibenarkan karena dengan melokalisasikannya para pelacur dapat terkontrol. Pandangan Sahal ini berdasarkan pada kaidah “idza ta‟aradla mafsadatani ru‟iya a‟dzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima (apabila terdapat dua kerusakan yang bertentangan maka dilihat dampaknya yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih ringan). Sahal menilai prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks sehingga 1 Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2011, hal. 183.

Transcript of Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

Page 1: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

1 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

LOKALISASI PELACURAN MENURUT FIKIH ISLAM; Membebaskan Duka Lara Dibalik Desah Mesra*

Oleh: Khoirul Anwar**

Prolog

Keberadaan lokalisasi pelacuran di mata masyarakat dipandang sebagai “tempat

kotor” dan “tempat orang-orang yang berdosa”, namun secara diam-diam tidak sedikit

masyarakat yang ikut serta menikmati keberadaannya, mulai dari yang mencari kenikmatan

esek-esek, mengais rizki dengan menjual makanan dan minuman, hingga berprofesi merawat

kesehatan para penghuninya (pelacur). Singkatnya, keberadaan lokalisasi pelacuran oleh

masyarakat dibenci sekaligus disukai.

Stereotipe negatif terhadap lokalisasi pelacuran biasanya muncul dari anggapan

bahwa tempat tersebut bertentangan dengan ajaran agama, sehingga pantas jika tempat ini

sering menjadi sasaran amuk sebagian umat Islam dengan dalih amar ma‟ruf nahy munkar.

Sesungguhnya asumsi demikian terlalu gegabah, masyarakat yang membenci keberadaannya

dan hendak membubarkan memiliki pandangan yang sporadis dan simplistis, mereka hanya

menilai dari satu sisi, yakni bertentangan dengan ajaran agama yang melarang perzinaan,

sehingga melokalisir perzinaan tidak lebih dari menyediakan tempat bagi para pengobral

dosa.

Lokalisasi pelacuran di dalamnya tersimpan permasalahan yang sangat kompleks,

tidak cukup jika melihatnya dari satu sisi, yakni menjadi tempat perzinaan, tapi harus dilihat

dari berbagai sisi dengan seobjektif mungkin, yakni dengan melihat latar di balik

keberadaannya di satu sisi, dan penyebab yang mengantarkan seseorang menjadi pemuas seks

bayaran di sisi lain.

Semua orang tidak ada yang memiliki cita-cita berprofesi menjadi pemuas seks

transaksional, sehingga orang yang menjalankan pekerjaan esek-esek ini dapat dipastikan di

luar kehendaknya atau terpaksa. Hal ini dapat dibuktikan melalui kehidupan para pelacur

yang memiliki dua wajah atau dalam bahasa Nur Syam memiliki dua panggung, yakni

panggung depan dan panggung belakang. Di panggung depan pelacur pura-pura

menampakkan wajah yang ceria, molek, penuh desah mesra, menggoda, orgasme, namun

sesungguhnya di balik itu, di panggung belakang yang tersembunyi mereka sangat lara,

mereka pura-pura melakukan itu semua karena terpaksa agar dapat membiayai diri dan

keluarganya.1

Ringkasnya, lokalisasi pelacuran adalah tempat orang-orang tertindas, sehingga dalam

menyikapinya tidak cukup jika hanya dilihat bahwa di dalamnya menjadi “tempat wisata

kelamin” yang diharamkan agama, tapi juga harus dilihat dari status para pelakunya yang

dalam bahasa al-Quran disebut dengan “masyarakat tertindas (dlu‟afa)” sehingga apabila

lokalisasi pelacuran disikapi dengan teks-teks keagamaan (al-nushush al-syar‟iyyah) maka

harus memperhatikan pula semua latar yang mengitari lokalisasi pelacuran dan penghuninya,

mulai dari penyebab yang mengantarkan seseorang menjadi pemuas nafsu bayaran hingga

praktek esek-eseknya itu sendiri.

Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, menyatakan bahwa lokalisasi

pelacuran dapat dibenarkan karena dengan melokalisasikannya para pelacur dapat terkontrol.

Pandangan Sahal ini berdasarkan pada kaidah “idza ta‟aradla mafsadatani ru‟iya

a‟dzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima (apabila terdapat dua kerusakan yang

bertentangan maka dilihat dampaknya yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang

lebih ringan). Sahal menilai prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks sehingga

1 Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2011, hal. 183.

Page 2: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

2 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

sangat sulit untuk dihilangkan, sehingga masyarakat dihadapkan pada dua pilihan yang sama-

sama mengandung kerusakan, antara membiarkannya tidak terkontrol di tengah masyarakat

dan melokalisasikannya agar dapat terkontrol. Oleh karena itu melalui kaidah fikih tersebut

Sahal menawarkan pilihan yang kandungan kerusakannya lebih ringan, yaitu dengan

melokalisasikannya.2

Pandangan Sahal ini senada dengan pendapat St. Augustine dan St. Thomas Aquinas

yang menyatakan, bahwa pelacuran memang dilarang, namun tidak serta merta harus

dihilangkan dari muka bumi ini. St. Augustine sebagaimana dikutip oleh Thanh Dam truong

mengatakan, “menyingkirkan pelacuran dari kehidupan manusia akan mengotori semua hal

dengan nafsu birahi dan karena itu perempuan sundal adalah imoralitas yang dapat

dibenarkan secara hukum.” Begitu juga dengan St. Thomas Aquinas, ia menyatakan,

“Enyahkan tempat sampah dan anda akan mengotori istana, enyahkan pelacur dari muka

bumi dan anda akan memenuhinya dengan sodomi.”3

Melalui perspektif “pembebasan” yang menjadi misi agama Islam, tulisan sederhana

ini hendak melengkapi beberapa pandangan di atas. Namun yang lebih ditekankan dalam

tulisan ini bahwa lokalisasi pelacuran semata-mata bukan sebagai problematika sosial an sich

sebagaimana yang dilihat Sahal, tapi lebih dari itu, yakni suatu “kebutuhan sosial” yang

menjadi salah satu media (wasilah) untuk membebaskan para pelacur dari penindasan

struktur sosial masyarakatnya.

Oleh karena itu tulisan ini diawali dengan pembahasan watak fikih Islam yang

membebaskan, yang kemudian disusul dengan pelacuran dan perzinaan yang dimaksud al-

Quran, hingga klimaksnya menawarkan konsep ideal lokalisasi pelacuran sebagai upaya

membebaskan duka lara yang tersimpan di balik desah mesra para pelacur.

A. Fikih Islam Yang Membebaskan

Menurut al-Ghazali, ilmu fikih merupakan ilmu dunia yang berfungsi untuk

menciptakan kebaikan di dunia, yakni menata kehidupan masyarakat agar tercipta kehidupan

yang lekat dengan kebahagiaan, ketentraman dan keselamatan, sebagaimana ilmu kedokteran

yang juga berfungsi merawat kehidupan di dunia ini, yakni menjaga kesehatan masyarakat.

Hanya saja yang menjadikan ilmu fikih lebih utama ketimbang ilmu-ilmu dunia lainnya

adalah kaki pijak referensialnya pada wahyu kenabian, sementara yang lainnya lebih di

dasarkan pada eksperimentasi (al-tajribah).4 Kategorisasi ilmu fikih sebagai ilmu dunia ini

dapat dipahami bahwa fikih Islam harus memiliki watak kemanusiaan, bukan ketuhanan,

fikih Islam harus membicarakan persoalan manusia, bukan persoalan Tuhan, karena

sesungguhnya kehidupan di akhirat hanyalah balasan atas apa yang dikerjakan di dunia.

Fikih sebagai aturan hidup yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini jauh

sebelum Islam datang masyarakat Arab pra Islam sudah memilikinya, namun peraturan hidup

mereka (baca; fikih) berbeda-beda sesuai dengan tatanan masyarakatnya yang terkotak-kotak

dalam berbagai suku. Ketika Islam datang fikih Islam di samping mengadopsi darinya juga

memperbaharuinya dengan mengambil lokus yang mempersatukan, universal, dan

komprehensif serta mengandung kebaikan bagi semua masyarakat (jami‟ li al-mashalih al-

ijtima‟iyyah). Bahkan fikih Islam ini tidak hanya mengatur kehidupan umat muslim semata,

tapi juga mengatur semua masyarakat dengan beragam agama, ras, budaya, dan yang lainnya

dalam satu titik temu, yaitu menciptakan kebaikan.5 Kebaikan dimaksud adalah kebaikan di

2 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, cet. VI, 2007, hal. xIii-xIiii. 3 Thanh Dam Truong, Seks, Uang, dan Kekuasaan, Jakarta: LP3ES, 1992, hal. 21-22. 4 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya ̀„Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Hadis 2004, vol. I, hal. 28-36. 5 Muhammad bin al-Hasan al-Hajwi al-Tsu‟alabi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, ttp. Idarah al-

Ma‟arif 1340 H. vol. I, hal. 7-9.

Page 3: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

3 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

dunia, bukan di akhirat, karena kehidupan akhirat merupakan balasan atas perbuatan di

dunia.6

Watak humanisme yang dimiliki fikih Islam menjadikannya tidak hanya berbicara

shalat, zakat, puasa, dan haji, tapi juga mencakup semua aktifitas kehidupan di dunia,

mu‟amalah, jinayah, dan yang lainnya. Juga tidak hanya mengatur aktifitas manusia dengan

halal dan haram, tapi juga memberikan solusi problematika hidup dengan tetap berpegang

pada karakternya yang membebaskan dan egaliterian, karena Islam sendiri diturunkan untuk

membebaskan manusia dari berbagai panindasan hingga pada gilirannya terciptalah

masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera (baldah thayyibah wa rabbun ghafur). Oleh

karena itu Allah memerintahkan umat Islam agar selalu berjuang di jalan Allah dan membela

orang-orang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak (QS. 4:75).

Nabi Muhammad Saw. sendiri diperintahkan oleh Allah agar selalu membela kaum

proletar meskipun diiming-imingi keuntungan finansial oleh kaum borjuis jika beliau

berkenan membiarkannya dalam keadaan papa (QS. 80:5-10). Selama hidupnya nabi

Muhammad Saw. hanya digunakan untuk memperjuangkan nasib wong cilik Makkah yang

tersingkirkan dari struktur sosial kaum borjuis Quraisy. Konsistensi nabi Muhammad Saw.

dalam membebaskan kaum dlu‟afa Arab ini tercermin dalam do‟anya yang meminta kepada

Tuhan agar dalam keadaan hidup maupun mati selalu dikumpulkan dengan orang-orang

miskin. “Allahumma ahyini miskinan, wa amitni miskinan wahsyurni fi zumratil masakin

yaumal qiyamah (Ya Tuhan, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam

keadaan miskin, dan kelak di Hari Kiamat kumpulkanlah aku dengan kelompok orang-orang

miskin).7 Do‟a nabi Muhammad Saw. ini bukan berarti beliau memohon miskin kepada

Allah, tapi meminta kepada-Nya agar selalu diberi kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak

orang miskin yang saat itu hak-haknya direbut kaum borjuis Quraisy.

Al-Quran dalam beberapa tempat seringkali mencela kondisi sosial ekonomi

masyarakat Makkah yang hanya dikuasai oleh kaum borjuis dan memberikan perintah aktif

untuk memberdayakan kaum proletar. Oleh karena itu nabi Muhammad Saw. menghapus

praktik lintah darat, riba, perjudian, dan praktik-praktik ekonomi eksploitatif lainnya (QS.

2:219), pemberi utang dituntut untuk cuma mengambil sejumlah piutangnya, namun bila

disedekahkan maka itu lebih baik (QS. 2:280), dan orang kaya diperintah untuk

mendermakan kelebihan hartanya (QS. 2:219). Sebagai upaya pemberdayaan kaum miskin al-

Quran mengatakan bahwa dalam harta orang kaya terdapat bagian intrinsik bagi orang miskin

(QS. 70:25, QS. 51:19). Al-Quran juga sangat menekankan keadilan distributif dengan tujuan

agar harta benda tidak hanya beredar di kalangan borjuis semata (QS. 59:7).

Farid Esack menyatakan, ide satu pencipta (tauhid) dalam Islam memiliki makna

bahwa umat manusia dengan beragam ras, suku, dan sosial bertemu dalam satu dimensi

“kemanusiaan”, sehingga dalam memperjuangkan hak-hak kaum tertindas juga tidak boleh

disekat dengan kesamaan agama, tapi harus mencakup semua umat manusia walaupun

berbeda agama.8 Kebencian yang ditampakkan oleh kuffar Quraisy kepada Muhammad Saw.

tidak lebih dari sebab pembelaan Muhammad Saw. terhadap kaum proletar. Borjuis Makkah

yang memiliki kepentingan eksploitasi ekonomi dalam bisnisnya merasa terancam oleh

kehadiran Islam yang disampaikan oleh Muhammad Saw. yang menekankan keadilan bagi

kaum tertindas dan tersisih.

6 Isma‟il al-Hasani, Nadzariyyah al-Maqashid „Inda al-Imam Muhammad al-Thahir Ibn „Asyur, ttp. al-Ma‟had

al-„Alami li al-Fikr al-Islami, 1995, hal. 281. 7 Lihat Muhammad bin „Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah

Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1975, vol. VI, hal. 577. 8 Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, cet. I, 2000,

hal. 139.

Page 4: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

4 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

Karena Islam memiliki kepentingan membebaskan masyarakat tertindas inilah, orang-

orang miskin dalam Islam sangat dimuliakan. Dalam QS. 28:5 dinyatakan bahwa Tuhan

sangat mengutamakan kaum tertindas, dalam hal ini diceritakan bahwa Tuhan memberikan

karunia kepada Bani Israil yang ditindas oleh Fir‟aun dan penguasa Mesir lainnya.

Oleh karena itu tidak heran jika Nabi Muhammad Saw. pernah memberikan informasi

bahwa pernah ada seorang pelacur yang masuk sorga sebab memberi minuman kepada

anjing.9 Hal ini dapat dimaklumi mengingat seorang pelacur masuk dalam deretan kaum

tertindas, sehingga hanya gara-gara menolong anjing yang sedang kehausan Tuhan

memberikan rahmat kepadanya dengan ditempatkan di sorga.

Para peneliti hampir mengeluarkan konsensus bersama bahwa seseorang terjun ke

dunia pelacuran bukan atas kemauan sendiri, tapi karena terpaksa. Keterpaksaan ini

disebabkan oleh faktor ekonomi, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga, sementara

dirinya tidak memiliki keahlian (skill) untuk melakukan pekerjaan yang halal dan layak. Oleh

karena itu para ilmuan seringkali mendefinisikan pelacuran dengan seksualitas sesaat yang

dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas) untuk mendapatkan imbalan materi.10

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pelacur merupakan salah satu dari sederet

masyarakat yang terpinggirkan sehingga harus dibebaskan dari jeratan itu. Pelacur rela

mengorbankan diri, masa depan, dan kehidupannya demi membiayahi diri, anak, dan

keluarganya. Bahkan ketertindasan pelacur tidak hanya dari struktur sosial masyarakat di

sekelilingnya yang mengantarkan dirinya hidup di lembah hitam, tapi di dalam lembah hitam

atau lokalisasi juga mereka ditindas. Uang yang mereka dapat dari pekerjaan esek-esek tidak

100 persen masuk kantong, tapi masih harus dibagi-bagi dengan pihak yang terlibat dalam

pekerjaannya, yakni mucikari, uang kamar, uang kesehatan, uang keamanan, calo, dan yang

lainnya. Sehingga mereka hanya mengantongi uang dengan jumlah yang sangat sedikit.

Sesungguhnya para pelacur sadar bahwa dirinya adalah orang yang sangat tidak

diuntungkan, namun mereka tidak berdaya di tengah sulitnya akses kehidupan yang tidak

ramah. Menurut Nur Syam, kesadaran inilah yang disebut oleh Karl Max dengan “kesadaran

palsu”, yakni kesadaran yang banyak dimiliki oleh kaum pinggiran. Mereka sadar akan

keterpinggirannya, namun mereka tidak memiliki relasi kuasa untuk menolak terhadap

realitas tersebut.11

Pemerasan terhadap pelacur sesungguhnya tidak diperbolehkan karena mereka adalah

orang-orang yang tertindas, orang-orang yang memiliki nasib malang dan mengenaskan.

Diceritakan bahwa ketika sahabat nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah di antara mereka

banyak yang punya rencana untuk menikah dengan para pelacur, karena pelacur-pelacur di

Madinah selain cantik-cantik juga kaya-raya memiliki penghasilan dari kerja esek-eseknya.

Sahabat muhajirin mengatakan, “andai kita menikah dengan mereka maka kita akan hidup

bersama mereka dengan kaya raya.”12

Namun oleh nabi Muhammad Saw. rencana tersebut

digagalkan (dilarang) karena dengan menikahinya yang bertujuan untuk memanfaatkan

“kekayaan pelacur” bukan sebagai tindakan yang dapat membebaskannya dari penindasan

struktur sosial masyarakat saat itu, tapi malah hendak memeras, atau orang jawa

menyebutnya dengan “wis tibo ketiban ondo (sudah jatuh kejatuhan tangga)”.

„Ala kulli hal, karena posisi pelacur sebagai orang yang tertindas, sehingga menurut

fikih Islam mereka harus dibebaskan dari penindasan itu dengan cara menghilangkan praktik

9 Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ttp. Dar Thuq al-Najah, cet. I, 1422 H. vol. IV, hal. 173. 10 Thanh Dam Truong, Seks, Uang, dan Kekuasaan, hal. 15-20. 11 Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, hal. 56-57. 12 Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur`an, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1411 H.

hal. 325. Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, ttp. Dar Hijr, cet. I, 2001,

vol. XVII, hal. 154.

Page 5: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

5 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

prostitusi yang terkonsep dalam hukum larangan zina, namun karena larangan ini belum

dapat memberikan solusi yang dapat mengurai kesulitan hidupnya terutama dalam bidang

ekonomi, maka cara yang harus pertama kali dilalui adalah membiarkannya agar para pelacur

dapat mencari bekal hidup secukupnya sembari dibina dan dididik berwira usaha.

B. Pelacuran dan Perzinaan Dalam Masyarakat Arab Pra Islam

Pelacuran dan perzinaan yang berkembang pada masyarakat Arab pra Islam sangat

urgen untuk diungkap mengingat kondisi masyarakat inilah yang menjadi latar kesejarahan

turunnya al-Quran (asbab al-nuzul).

Pada masa pra Islam perempuan yang menjalani praktik pelacuran adalah hamba

sahaya (ammah). Saat itu budak perempuan tidak hanya dijadikan juru laden dapur dan

pemuas seks majikannya (sayyid), tapi juga disuruh melacur, dan uang hasil esek-esknya

diberikan kepada sayyid. Bagi perempuan merdeka (hurrah) perbuatan melacur dipandang

sangat terhina karena hal itu menjadi kebiasaan para budak, sehingga andai mereka

melakukannya maka khawatir akan dianggap oleh masyarakat sebagai budak, yakni “manusia

yang tidak memiliki dirinya sendiri” seperti binatang peliharaan. Di samping itu kebutuhan

hidup perempuan merdeka selalu dipenuhi oleh keluarganya bagi yang belum menikah dan

oleh suaminya bagi yang sudah menikah, sehingga mereka sangat memandang rendah („aib

kabir) terhadap praktik pelacuran. Sedangkan bagi lelaki merdeka (hurr) hubungan intim

dengan pelacur tidak dipandang sebagai perbuatan tercela, bahkan melacur bagi mereka

menjadi kebanggaan tersendiri karena melacur menjadi simbol kekuatan dan kejantanan bagi

lelaki, semakin banyak melacur maka seseorang akan terlihat lebih jantan.13

Bekerja memuaskan nafsu birahi para lelaki merdeka yang dilakukan para budak ini

oleh mayarakat Arab pra Islam dinamakan dengan al-baghy/ al-bigha` (melacur), istilah yang

juga digunakan untuk menyebut para budak perempuan yang tidak melacur. Pekerjaan esek-

esek ini juga disebut dengan al-qahbah, derifasi dari kata qahaba yang memiliki arti batuk,

karena mereka ketika hendak menawarkan dirinya kepada kaum pria dengan cara batuk atau

berdehem. Dengan batuk atau berdehem perempuan budak memberikan indikasi kepada

seorang lelaki di sisinya bahwa kehadirannya sedang melacur. Kemudian apabila seorang

lelaki berminat maka keduanya segera menjalin kesepakatan harga dan waktunya.14

Istilah lain untuk menyebut pelacuran yang terjadi pada masyarakat Arab pra Islam

adalah “al-musa‟ah”, yakni budak melakukan hubungan esek-esek dan pemilik budak

meminta bayarannya. Kemudian apabila budak tersebut melahirkan maka nasab anaknya

diikutkan kepada budak yang melahirkannya (bukan pada lelaki yang menghamilinya),

sehingga anak tersebut secara otomatis menjadi budak yang dimiliki oleh majikannya.

Majikan budak (malik al-ammah) memiliki hak untuk menjual atau merawat anak tersebut

hingga dewasa. Dalam hadis diinformasikan bahwa sahabat Umar pernah didatangi budak-

budak yang melacur pada masa Jahiliyyah. Lalu Umar memerintahkan agar nasab anak hasil

esek-esek para pelacur tersebut diikutkan kepada ayah biologisnya (lelaki yang menghamili

budak) dan tidak dijadikan hamba sahaya, sehingga anak tersebut merdeka dan nasabnya ikut

pada lelaki yang menghamili.15

Sedangkan rumah yang biasa dijadikan tempat mangkal para pelacur oleh masyarakat

Arab pra Islam dinamakan dengan “al-mawakhir”, berasal dari bahasa Persi “mai khur”

yang memiliki arti peminum arak. Tempat ini di samping dijadikan sebagai tempat mangkal

pelacur juga dijadikan tempat tongkrongan bagi peminum arak (majalis al-khammarin). Al-

mawakhir ini tersebar di desa dan kota, terutama di tempat yang strategis, yakni di tempat

13 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, Baghdad: Universitas Baghdad, tt. vol. V, hal.

133. 14 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 133. 15 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 137.

Page 6: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

6 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

yang biasa digunakan istirahat oleh para pedagang dan orang-orang yang bepergian. Sehingga

mereka dapat menyaksikan tempat prostitusi itu.16

Ibnu „Abbas menginformasikan bahwa pada masa Jahiliyyah terdapat beberapa rumah

yang dinamakan dengan “al-mawakhir”, di dalam rumah ini masyarakat jahiliyyah

menyewakan budak-budak muda peliharaannya (fatayat). Masyarakat saat itu tahu bahwa

tempat tersebut adalah tempat prostitusi, tidak ada yang masuk dan tidak ada yang

mendatangi rumah tersebut kecuali orang yang hendak menyalurkan nafsu birahinya, baik

dari ahli kiblat maupun penyembah berhala. Lalu Allah mengharamkan hal tersebut kepada

orang-orang mukmin melalui turunnya QS. 24:33.17

Di samping itu pada masa pra Islam juga tersebut istilah “shawahib al-rayat” (orang-

orang yang memiliki bendera), yakni para pelacur yang memasang bendera di depan pintu

rumahnya sebagai tanda bahwa dirinya menawarkan kenikmatan seks dengan imbalan uang.

Bagi lelaki yang berminat menyalurkan libidonya maka masuk ke dalam rumah tersebut dan

mengadakan kesepakatan upah dan permainan esek-eseknya, bendera-bendera tersebut

berwarna merah. Diinformasikan bahwa sebagian pelacur juga ada yang memasang bendera

di pasar lalu orang-orang mendatanginya dan melacur bersamanya.

„Ikrimah menceritakan bahwa di Makkah dan Madinah sangat banyak sekali pelacur

yang mengibarkan bendera, yang paling terkenal antara lain adalah Ummu Mahzul (pelacur

milik al-Sa`ib bin Abi al-Sa`ib al-Makhzumi), Ummu „Ulaith (pelacur milik Shafwan bin

Umayyah), Hannah al-Qibthiyyah (pelacur milik al-„Ash bin Wa`il), Muznah (pelacur milik

Malik bin Amilah bin al-Sabbaq), Jalalah (pelacur milik Suhail bin „Amr), Ummu Suwaid

(pelacur milik „Amr bin „Utsman al-Makhzumi), Suraifah (pelacur milik Zam‟ah bin al-

Aswad), Farasah (pelacur milik Hisyam bin Rabi‟ah bin Habib bin Hudzaifah bin Jabal bin

Malik bin „Amir bin Lu`ayy), Quraiba (pelacur milik Hilal bin Anas bin Jabir bin Namir bin

Ghalib bin Fihr), Fartana (pelacur milik Hilal bin Anas).18

Praktek pelacuran ini kemudian dilarang oleh Islam karena menindas dan menyakiti

hamba sahaya. Bagaimana tidak, para sayyid (pemilik budak) memaksa budak-budaknya

untuk bersenggama dengan orang-orang yang belum tentu ia sukai demi meraih keuntungan

dinar yang kemudian dinar itu semuanya diminta oleh sayyid itu sendiri. Larangan ini

ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak

wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena

kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka maka

sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)

sesudah mereka dipaksa itu.” (QS. 24:33).

Muqatil dan mufassir lainnya mengatakan bahwa ayat ini turun kepada enam budak

milik Abdullah bin Ubay yang memaksa para budaknya untuk melacurkan diri dan Abdullah

bin Ubay mengambil bayaran hasil esek-eseknya. Enam budak tersebut adalah Mu‟adzah,

Musaikah, Umaimah, „Amrah, Arwa, dan Qutailah. Lalu pada suatu hari salah seorang dari

mereka datang dengan membawa dinar hasil melacur, dan lainnya dengan membawa kain

bergaris. Lalu Abdullah bin Ubay berkata kepada keduanya, “Kembalilah melacur.” Lalu

kedua hamba sahaya tersebut berkata: “Demi Allah, kami tidak akan melacur lagi, Allah telah

mendatangkan Islam kepada kami dan mengharamkan zina.” Lalu keduanya mendatangi

rasulullah Saw. dan mengadu kepadanya. Kemudian Allah menurunkan ayat di atas.19

16 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 138. 17 Al-Thabari, Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, vol. XVII, hal. 153. 18 Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur`an, hal. 325. Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-

Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, vol. XVII, hal. 154. 19 Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur`an, hal. 336-337.

Page 7: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

7 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

Sedangkan hubungan intim yang dilakukan dengan selain budak masyarakat Arab pra

Islam menyebutnya dengan zina, namun sebutan zina ini memiliki istilah bermacam-macam

disesuaikan dengan status hubungan yang dimiliki oleh lelaki dan perempuannya, antara lain:

1. Al-musafahah, yaitu perempuan berkumpul dengan lelaki dalam satu waktu tanpa ada

ikatan pernikahan atau mungkin sekarang dikenal dengan “kumpul kebo”, lalu apabila

keduanya merasa serasi dan cocok untuk hidup bersama baru mengadakan pernikahan

(tazawwuj). Oleh karena itu lelaki pada masa Jahiliyyah apabila hendak melamar

perempuan maka dengan mengatakan “ankihini”, sedangkan apabila hendak

berhubungan intim di luar pernikahan mereka mengatakan “safihini”.20

Kata ini

dalam al-Quran disebut dalam QS. 4:25.

2. Al-mukhadanah, yaitu hubungan intim yang dilakukan oleh lelaki dengan perempuan

atas dasar pertemanan dan saling mencintai (shadaqah wa mawaddah) atau dalam

bahasa sekarang mungkin disebut dengan “Teman Tapi Mesra (TTM)”. Wanita-

wanita yang memiliki jalinan “pertemanan mesra” ini biasa disebut dengan “dzawat

al-akhdan dan muttakhadzat akhdan (wanita yang memiliki teman kencan).” Praktek

hubungan intim di luar pernikahan ini disebut dengan mukhadanah (hubungan

pertemanan) karena dilakukan secara sembunyi, tidak terang-terangan, dan keduanya

saling mencintai. Hubungan seperti ini menurut masyarakat Arab pra Islam tidak

dinamakan zina karena dilakukan secara rahasia. Bagi masyarakat Jahiliyah zina yang

diharamkan adalah hubungan intim dengan wanita merdeka (hurrah) yang bukan

istrinya dan dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan hubungan intim yang

dilakukan secara sembunyi mereka tidak menyebutnya sebagai zina, mereka

mengatakan, “Amma ma dzahara minhu fahuwa lu`mun, wa amma ma khafiya fala

ba`sa bi dzalik (Zina yang dilakukan secara terang-terangan adalah kekejian,

sedangkan zina yang dilakukan secara sembunyi tidak ada persoalan).”21

Pandangan ini kemudian dibantah oleh al-Quran, menurut al-Quran hubungan

intim dengan wanita merdeka yang bukan istrinya walaupun dilakukan secara rahasia

juga dinamakan dengan zina (QS. 6:151).22

3. Al-mudlamadah, yaitu perempuan yang menemani satu atau dua atau tiga lelaki yang

bukan suaminya pada musim paceklik dengan tujuan supaya dirinya diberi makan

oleh lelaki yang ia temani. Al-mudlamadah hampir sama dengan al-mukhadanah,

hanya saja dalam al-mudlamadah perempuan mempersilahkan tubuhnya untuk

dinikmati oleh lelaki lain lebih didorong pada imbalan materi, bukan atas dasar cinta

kasih.23

Sebagaimana diungkap di muka bahwa semua praktek hubungan intim yang

dilakukan dengan perempuan merdeka diluar pernikahan dan dilakukan secara terang-

terangan masyarakat Arab pra Islam sudah menamakannya dengan zina. Sedangkan setelah

Islam datang makna zina diperluas menjadi hubungan intim yang dilakukan oleh seorang

lelaki dengan perempuan yang bukan istrinya dan bukan budaknya yang belum bersuami.24

Sementara hubungan intim yang dilakukan oleh pemilik budak dengan budaknya yang tidak

memiliki suami saat itu masih dilegalkan.

20 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 134. 21 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 141. 22 Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, vol. VI, hal. 603. 23 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 141-142. 24 Muhammad bin al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984, vol.

XV, hal. 90.

Page 8: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

8 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

Melalui penelusuran seks di luar pernikahan yang terjadi di masyarakat Arab pra

Islam di atas dapat diketahui bagaimana al-Quran berdialog dengan kondisi masyarakat saat

itu. Praktik pelacuran yang saat itu hanya dilakukan para budak dilarang karena di dalamnya

terdapat unsur penindasan. Para budak dipaksa untuk melacur dan bayarannya dimiliki oleh

sayyid, padahal para budak sendiri tidak menginginkan hal itu, sehingga bagi budak yang

menjalankannya karena terpaksa maka perbuatannya dimaafkan oleh Allah (QS. 24:33).

Sedangkan perzinaan dengan beragam istilahnya saat itu dilarang melalui QS. 25: 68, QS.

60:12, QS. 17:32, QS. 24:2 dan 3.

Ibnu „Asyur menyatakan, Islam mengharamkan zina karena zina dapat merusak nilai-

nilai kemanusiaan, seperti merusak genealogi keturunan, mendapat sangsi sosial dari

masyarakat, melukai hati suami perempuan yang diajak zina atau keluarga jika masih single

(belum bersuami), dan dapat menjadikan masyarakat enggan menikah dengan orang yang

melakukannya hingga pada gilirannya pelaku zina akan diasingkan. Zina juga dapat

menyebabkan perempuan yang melakukannya dicerai oleh suami dan menimbulkan rasa

cemburu di hati suami sehingga dapat menyulut api pertengkaran dan pembunuhan antara

suami atau keluarga perempuan pezina dengan lelaki yang mengencaninya.25

Kendati zina dilarang, namun apakah praktik pelacuran harus dibersihkan dari atas

bumi ini? Apakah para pelaku esek-esek liar ini boleh dicaci maki? Sejumlah hadis

menginformasikan bahwa nabi Muhammad Saw. membiarkan praktik tersebut, ketika beliau

bertransmigrasi ke Madinah nabi Saw. tidak membunuh atau menghukum para pelacur, tapi

bukan berarti nabi Saw. melegalkannya, melainkan membiarkannya sembari berusaha

menghentikan dengan cara menghilangkan semua bentuk penindasan terhadapnya

sebagaimana beliau melarang para sahabat yang hendak menikahinya karena niat para

sahabat bukan untuk menghentikan perbuatan pelacuran, tapi malah hendak memeras uang

mereka.

C. Lokalisasi Pelacuran Dalam Perspektif Fikih Islam

Walaupun prostitusi di larang oleh Islam karena menindas perempuan, namun bukan

berarti fikih Islam tidak memiliki solusi dalam mengurai duka lara yang mendera

penghuninya. Fikih Islam memiliki konsep solutif dalam mengurai dan membebaskan profesi

haram yang sulit dihilangkan, atau ringkasnya profesi haram yang dijalankan karena

keterpaksaan.

Pada masa jahiliyyah pelacuran hanya dilakukan oleh para budak yang dipaksa oleh

para pemiliknya (malik al-ammah), sedangkan esek-esek di luar pernikahan yang dilakukan

wanita merdeka (hurrah) biasanya dilakukan atas dasar suka sama suka, seperti dalam al-

musafahah dan al-mukhadanah. Jika tidak demikian maka didorong oleh keterpaksaan untuk

mendapatkan makan dan minum atau disebut dengan al-mudlamadah. Al-mudlamadah ini

berbeda dengan “pelacuran”, karena pelacur mengais dinar dengan semua pria yang

mengencani, sedangkan al-mudlamadah tertentu dengan satu orang lelaki atau dua atau tiga

(maksimal tiga) agar lelaki memberinya makan atau mungkin pada masa sekarang biasa

dikenal dengan “istri simpanan”.

Seiring dengan laju kesadaran masyarakat praktek perbudakan telah dihapus, namun

wanita penjaja seks dalam ruang sejarah kehadirannya selalu ada dan tersebar di mana-mana.

Oleh karena itu pertanyaan yang patut dilempar apa faktor utama yang membuatnya

menyewakan tubuhnya untuk dinikmati oleh para lelaki hidung belang? Sebagaimana

disinggung di muka, para peneliti menyimpulkan bahwa faktor utama yang mengantarkan

seseorang menjadi pelacur adalah tuntutan ekonomi, mereka hendak bekerja namun tidak

memiliki keahlian (skill), sementara persaingan hidup kian hari selalu menggerus

25 Muhammad bin al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, vol. XV, hal. 90.

Page 9: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

9 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

perekonomian masyarakat bawah, sehingga mau tidak mau demi mendapatkan sepiring nasi

ia harus merelakan tubuhnya untuk dinikmati dengan imbalan harta benda.26

Jika demikian halnya maka mereka sejatinya adalah orang-orang yang tertindas dari

ekonomi masyarakat di sekitarnya, sehingga dalam fikih Islam hal itu tetap dilarang namun

bukan berarti mereka tidak boleh melakukannya, mereka diperbolehkan beroprasi menjajakan

diri, namun dengan ketentuan sebatas untuk mencari bekal hidup atau modal untuk berusaha.

Oleh karena itu fikih Islam sangat mendukung keberadaan lokalisasi pelacuran demi

mempermudah mengorganisir pendidikan kepada mereka dan mengais keuntungan yang

terlindungi. Lokalisasi pelacuran menurut fikih Islam adalah media (wasilah) yang

diharamkan karena dengan melokalisir tempat esek-esek berarti menyediakan tempat

maksiat, namun bukan berarti hal ini dilarang karena wasilah yang haram selama dapat

mendatangkan kebaikan (mashlahah) maka mutlak dilegalkan, bahkan keberadaan wasilah

tersebut harus dikonsep seideal mungkin agar orang-orang yang tertindas (dalam hal ini para

pelacur) dapat segera terbebaskan dan kembali hidup normal sembari menatap masa depan

yang gemilang. Al-Qarafî dalam beberapa karyanya mengatakan: “Qad takunu wasilah al-

muharrami ghaira muharramah idza afdlat ila mashlahah rajihah (Terkadang media

[wasilah] yang diharamkan itu tidak haram apabila wasilah tersebut dapat mendatangkan

mashlahat yang lebih tinggi).”27

Konsep ini bermula dari Sadd al-Dzara`i‟, yakni menutup tindakan yang dapat

mengantarkan pada kerusakan, kendati tindakan tersebut hukum asalnya diperbolehkan.

Sedangkan membuka tindakan untuk menuju kemashlahatan dinamakan dengan Fath al-

Dzara`i‟. Kedua teori ini dalam penelitian al-Qarafi merupakan sumber hukum yang

disepakati oleh para imam madzhab walaupun secara tekstual banyak ulama yang tidak

mengakui kedua teori ini sebagai landasan hukum, namun pada tataran praksisnya para ulama

sepakat menggunakannya.28

Jika dalam Sadd al-Dzara`i‟ maupun Fath Dzara`i‟ tindakan

yang ditutup (sadd) atau tindakan yang dibuka (fath) memiliki hukum asal yang

diperbolehkan, lantas bagaimana jika tindakan yang akan ditutup atau dibuka memiliki

hukum dilarang? Karena fikih memiliki kepentingan menciptakan kemashlahatan sehingga

dalam persoalan ini dikembalikan pada tujuan, yakni apakah dengan menggunakan cara

membuka atau menutup tindakan akan menghasilkan kebaikan atau tidak, jika mendapatkan

kebaikan maka mutlak diperbolehkan.

Melalui pandangan al-Qarafi yang juga diamini oleh para ulama lainnya di atas dapat

disimpulkan bahwa keberadaan lokalisasi pelacuran mutlak dilegalkan karena sebagai

wasilah yang dapat mendatangkan kebaikan. Dengan melokalisir prostitusi maka para pelacur

akan mudah dibina dan dilindungi hingga pada akhirnya mereka dapat terbebaskan nasibnya

dari tindasan yang mereka rasakan.

26 Faktor tuntutan ekonomi ini biasanya tidak berdiri sendiri, tapi ada faktor lain yang mendahuluinya, seperti

broken home, masa kecil yang kurang diperhatikan orang tua, pelecehan seksual, dan keperawanan yang hilang

sebelum menikah. Dari faktor yang menjadi premis minor (muqaddimah shughra) ini kemudian ketika “si

korban” terdesak oleh tuntutan ekonomi yang menjadi premis mayor (muqaddimah kubra) mereka memilih

bekerja melacur ketimbang yang lainnya, karena di samping mereka tidak memiliki keahlian (skill) untuk

bekerja yang halal dan layak, juga pekerjaan esek-esek dianggap lebih mudah dan cepat mendatangkan uang

banyak. Baca hasil penelitian Endah Sulistyowati dalam buku Hegemoni Hetero-Normativitas; Membongkar

Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam, Jakarta: Kartini Network, cet. I, 2007, hal. 1-83. 27 Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa ̀ al-Furuq, ttp. „Alam al-Kutub, tt.

vol. II, hal. 33. Lihat juga karyanya yang bertitel al-Dzakhirah, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, cet. I, 1994, vol.

I, hal. 153-154, dan Syarh Tanqih al-Fushul, Syirkah al-Thaba‟ah al-Fanniyah al-Muttahidah, cet. I, 1973, hal.

506-507. Juga Hasan bin Umar al-Sinawani al-Maliki, al-Ashl al-Jami‟ li Idlah al-Durar al-Mandzumah fi Suluk

Jam‟ al-Jawami‟, Tunis: Mathba‟ah al-Nahdlah, cet. I, 1928, vol. III, hal. 63. 28 Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, al-Dzakhirah, vol. I, hal. 152.

Page 10: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

10 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

Oleh karena itu lokalisasi pelacuran seharusnya dibersihkan dari “penindasan lain”,

yakni penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menarik pajak yang mencekik,

mucikari yang memperlakukan gundiknya seperti pelacur budak pra Islam, dan tidak

mencacinya. Bahkan seharusnya pemerintah khususnya dan masyarakat pada umumnya wajib

melindungi pelacur dari berbagai penindasan, merawat kesehatannya, memberikan

pendidikan moral dan berwira usaha, serta menyiapkan lapangan pekerjaan yang layak dan

halal, karena para pelacur rata-rata ketika usianya mulai menginjak 40 tahun atau ketika

sudah jarang diminati oleh pelanggannya lagi maka mereka akan mengakhiri profesi yang

mengenaskan itu.

Epilog

Lokalisasi pelacuran menurut fikih Islam merupakan media yang diharapkan dapat

mengurai dan membebaskan duka lara para pelacur, sehingga di dalam lokalisasi pelacuran

pemerintah dan masyarakat dilarang melakukan penindasan lain, meminta pajak yang terlalu

besar, menutupnya dengan dalih menghormati bulan suci, menangkap pelacur yang

beroperasi di luar kesepakatannya dengan pemerintah, mencaci dan bentuk penindasan

lainnya.

Di samping itu, pemerintah dan masyarakat juga harus menolong dan melindunginya

dengan cara menjaga kesehatan mereka, mendidik, dan menyediakan lapangan kerja yang

halal dan layak. Perlindungan seperti ini merupakan implementasi dari doktrin “amar ma‟ruf

nahy munkar” terhadap para pelacur. Memerintah berbuat baik (amar ma‟ruf) kepada pelacur

dilakukan dengan cara memberikan solusi yang dapat membebaskannya dari penindasan

struktur sosial masyarakat, dan melarang berbuat kemungkaran (nahy munkar) terhadapnya

ditunaikan dengan cara mencegah orang-orang yang melakukan penindasan terhadap mereka.

Dengan demikian, bagi sebagian umat Islam yang sering melakukan sweping ke

lokalisasi pelacuran sudah saatnya mengubah aksi amar ma‟ruf nahy munkarnya dengan

melaksanakan aksi yang membebaskan, bukan aksi pentungan, menunaikan perintah Allah

adalah membebaskan manusia tertindas, bukan membuat luka di atas derita.

*Dimuat dalam Jurnal Justisia Edisi 39. Th. XXIV/2012

Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.

**Aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Jawa Tengah.

Email: [email protected] Twitter: @khoirulanwar_88

Page 11: Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar

11 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar

DAFTAR PUSTAKA

Abi Hamid al-Ghazali, Ihya` „Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Hadis 2004.

Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, al-Dzakhirah, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami,

cet. I, 1994.

____, Anwar al-Buruq fi Anwa` al-Furuq, ttp. „Alam al-Kutub, tt.

____, Syarh Tanqih al-Fushul, Syirkah al-Thaba‟ah al-Fanniyah al-Muttahidah, cet. I, 1973.

Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur`an, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,

cet. I, 1411 H.

Endah Sulistyowati, dkk. Hegemoni Hetero-Normativitas; Membongkar Seksualitas

Perempuan Yang Terbungkam, Jakarta: Kartini Network, cet. I, 2007. Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, Bandung:

Mizan, cet. I, 2000. Hasan bin Umar al-Sinawani al-Maliki, al-Ashl al-Jami‟ li Idlah al-Durar al-Mandzumah fi

Suluk Jam‟ al-Jawami‟, Tunis: Mathba‟ah al-Nahdlah, cet. I, 1928. Isma‟il al-Hasani, Nadzariyyah al-Maqashid „Inda al-Imam Muhammad al-Thahir Ibn

„Asyur, ttp. al-Ma‟had al-„Alami li al-Fikr al-Islami, 1995.

Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, Baghdad: Universitas Baghdad,

tt. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, cet. VI, 2007. Muhammad bin „Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Mesir: Syirkah Maktabah wa

Mathba‟ah Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1975. Muhammad bin al-Hasan al-Hajwi al-Tsu‟alabi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami,

ttp. Idarah al-Ma‟arif 1340 H. Muhammad bin al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar al-Tunisiyyah li al-

Nasyr, 1984.

Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ttp. Dar Thuq al-Najah, cet. I, 1422

H. Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, ttp. Dar Hijr, cet.

I, 2001. Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2011. Thanh Dam Truong, Seks, Uang, dan Kekuasaan, Jakarta: LP3ES, 1992.