Pengembangan megaregion: Aglomerasi, lokalisasi, globalisasi
Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar
-
Upload
khoirul-anwar -
Category
Documents
-
view
563 -
download
2
Transcript of Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam_Khoirul Anwar
1 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
LOKALISASI PELACURAN MENURUT FIKIH ISLAM; Membebaskan Duka Lara Dibalik Desah Mesra*
Oleh: Khoirul Anwar**
Prolog
Keberadaan lokalisasi pelacuran di mata masyarakat dipandang sebagai “tempat
kotor” dan “tempat orang-orang yang berdosa”, namun secara diam-diam tidak sedikit
masyarakat yang ikut serta menikmati keberadaannya, mulai dari yang mencari kenikmatan
esek-esek, mengais rizki dengan menjual makanan dan minuman, hingga berprofesi merawat
kesehatan para penghuninya (pelacur). Singkatnya, keberadaan lokalisasi pelacuran oleh
masyarakat dibenci sekaligus disukai.
Stereotipe negatif terhadap lokalisasi pelacuran biasanya muncul dari anggapan
bahwa tempat tersebut bertentangan dengan ajaran agama, sehingga pantas jika tempat ini
sering menjadi sasaran amuk sebagian umat Islam dengan dalih amar ma‟ruf nahy munkar.
Sesungguhnya asumsi demikian terlalu gegabah, masyarakat yang membenci keberadaannya
dan hendak membubarkan memiliki pandangan yang sporadis dan simplistis, mereka hanya
menilai dari satu sisi, yakni bertentangan dengan ajaran agama yang melarang perzinaan,
sehingga melokalisir perzinaan tidak lebih dari menyediakan tempat bagi para pengobral
dosa.
Lokalisasi pelacuran di dalamnya tersimpan permasalahan yang sangat kompleks,
tidak cukup jika melihatnya dari satu sisi, yakni menjadi tempat perzinaan, tapi harus dilihat
dari berbagai sisi dengan seobjektif mungkin, yakni dengan melihat latar di balik
keberadaannya di satu sisi, dan penyebab yang mengantarkan seseorang menjadi pemuas seks
bayaran di sisi lain.
Semua orang tidak ada yang memiliki cita-cita berprofesi menjadi pemuas seks
transaksional, sehingga orang yang menjalankan pekerjaan esek-esek ini dapat dipastikan di
luar kehendaknya atau terpaksa. Hal ini dapat dibuktikan melalui kehidupan para pelacur
yang memiliki dua wajah atau dalam bahasa Nur Syam memiliki dua panggung, yakni
panggung depan dan panggung belakang. Di panggung depan pelacur pura-pura
menampakkan wajah yang ceria, molek, penuh desah mesra, menggoda, orgasme, namun
sesungguhnya di balik itu, di panggung belakang yang tersembunyi mereka sangat lara,
mereka pura-pura melakukan itu semua karena terpaksa agar dapat membiayai diri dan
keluarganya.1
Ringkasnya, lokalisasi pelacuran adalah tempat orang-orang tertindas, sehingga dalam
menyikapinya tidak cukup jika hanya dilihat bahwa di dalamnya menjadi “tempat wisata
kelamin” yang diharamkan agama, tapi juga harus dilihat dari status para pelakunya yang
dalam bahasa al-Quran disebut dengan “masyarakat tertindas (dlu‟afa)” sehingga apabila
lokalisasi pelacuran disikapi dengan teks-teks keagamaan (al-nushush al-syar‟iyyah) maka
harus memperhatikan pula semua latar yang mengitari lokalisasi pelacuran dan penghuninya,
mulai dari penyebab yang mengantarkan seseorang menjadi pemuas nafsu bayaran hingga
praktek esek-eseknya itu sendiri.
Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, menyatakan bahwa lokalisasi
pelacuran dapat dibenarkan karena dengan melokalisasikannya para pelacur dapat terkontrol.
Pandangan Sahal ini berdasarkan pada kaidah “idza ta‟aradla mafsadatani ru‟iya
a‟dzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima (apabila terdapat dua kerusakan yang
bertentangan maka dilihat dampaknya yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang
lebih ringan). Sahal menilai prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks sehingga
1 Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2011, hal. 183.
2 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
sangat sulit untuk dihilangkan, sehingga masyarakat dihadapkan pada dua pilihan yang sama-
sama mengandung kerusakan, antara membiarkannya tidak terkontrol di tengah masyarakat
dan melokalisasikannya agar dapat terkontrol. Oleh karena itu melalui kaidah fikih tersebut
Sahal menawarkan pilihan yang kandungan kerusakannya lebih ringan, yaitu dengan
melokalisasikannya.2
Pandangan Sahal ini senada dengan pendapat St. Augustine dan St. Thomas Aquinas
yang menyatakan, bahwa pelacuran memang dilarang, namun tidak serta merta harus
dihilangkan dari muka bumi ini. St. Augustine sebagaimana dikutip oleh Thanh Dam truong
mengatakan, “menyingkirkan pelacuran dari kehidupan manusia akan mengotori semua hal
dengan nafsu birahi dan karena itu perempuan sundal adalah imoralitas yang dapat
dibenarkan secara hukum.” Begitu juga dengan St. Thomas Aquinas, ia menyatakan,
“Enyahkan tempat sampah dan anda akan mengotori istana, enyahkan pelacur dari muka
bumi dan anda akan memenuhinya dengan sodomi.”3
Melalui perspektif “pembebasan” yang menjadi misi agama Islam, tulisan sederhana
ini hendak melengkapi beberapa pandangan di atas. Namun yang lebih ditekankan dalam
tulisan ini bahwa lokalisasi pelacuran semata-mata bukan sebagai problematika sosial an sich
sebagaimana yang dilihat Sahal, tapi lebih dari itu, yakni suatu “kebutuhan sosial” yang
menjadi salah satu media (wasilah) untuk membebaskan para pelacur dari penindasan
struktur sosial masyarakatnya.
Oleh karena itu tulisan ini diawali dengan pembahasan watak fikih Islam yang
membebaskan, yang kemudian disusul dengan pelacuran dan perzinaan yang dimaksud al-
Quran, hingga klimaksnya menawarkan konsep ideal lokalisasi pelacuran sebagai upaya
membebaskan duka lara yang tersimpan di balik desah mesra para pelacur.
A. Fikih Islam Yang Membebaskan
Menurut al-Ghazali, ilmu fikih merupakan ilmu dunia yang berfungsi untuk
menciptakan kebaikan di dunia, yakni menata kehidupan masyarakat agar tercipta kehidupan
yang lekat dengan kebahagiaan, ketentraman dan keselamatan, sebagaimana ilmu kedokteran
yang juga berfungsi merawat kehidupan di dunia ini, yakni menjaga kesehatan masyarakat.
Hanya saja yang menjadikan ilmu fikih lebih utama ketimbang ilmu-ilmu dunia lainnya
adalah kaki pijak referensialnya pada wahyu kenabian, sementara yang lainnya lebih di
dasarkan pada eksperimentasi (al-tajribah).4 Kategorisasi ilmu fikih sebagai ilmu dunia ini
dapat dipahami bahwa fikih Islam harus memiliki watak kemanusiaan, bukan ketuhanan,
fikih Islam harus membicarakan persoalan manusia, bukan persoalan Tuhan, karena
sesungguhnya kehidupan di akhirat hanyalah balasan atas apa yang dikerjakan di dunia.
Fikih sebagai aturan hidup yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini jauh
sebelum Islam datang masyarakat Arab pra Islam sudah memilikinya, namun peraturan hidup
mereka (baca; fikih) berbeda-beda sesuai dengan tatanan masyarakatnya yang terkotak-kotak
dalam berbagai suku. Ketika Islam datang fikih Islam di samping mengadopsi darinya juga
memperbaharuinya dengan mengambil lokus yang mempersatukan, universal, dan
komprehensif serta mengandung kebaikan bagi semua masyarakat (jami‟ li al-mashalih al-
ijtima‟iyyah). Bahkan fikih Islam ini tidak hanya mengatur kehidupan umat muslim semata,
tapi juga mengatur semua masyarakat dengan beragam agama, ras, budaya, dan yang lainnya
dalam satu titik temu, yaitu menciptakan kebaikan.5 Kebaikan dimaksud adalah kebaikan di
2 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, cet. VI, 2007, hal. xIii-xIiii. 3 Thanh Dam Truong, Seks, Uang, dan Kekuasaan, Jakarta: LP3ES, 1992, hal. 21-22. 4 Abi Hamid al-Ghazali, Ihya ̀„Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Hadis 2004, vol. I, hal. 28-36. 5 Muhammad bin al-Hasan al-Hajwi al-Tsu‟alabi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, ttp. Idarah al-
Ma‟arif 1340 H. vol. I, hal. 7-9.
3 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
dunia, bukan di akhirat, karena kehidupan akhirat merupakan balasan atas perbuatan di
dunia.6
Watak humanisme yang dimiliki fikih Islam menjadikannya tidak hanya berbicara
shalat, zakat, puasa, dan haji, tapi juga mencakup semua aktifitas kehidupan di dunia,
mu‟amalah, jinayah, dan yang lainnya. Juga tidak hanya mengatur aktifitas manusia dengan
halal dan haram, tapi juga memberikan solusi problematika hidup dengan tetap berpegang
pada karakternya yang membebaskan dan egaliterian, karena Islam sendiri diturunkan untuk
membebaskan manusia dari berbagai panindasan hingga pada gilirannya terciptalah
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera (baldah thayyibah wa rabbun ghafur). Oleh
karena itu Allah memerintahkan umat Islam agar selalu berjuang di jalan Allah dan membela
orang-orang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak (QS. 4:75).
Nabi Muhammad Saw. sendiri diperintahkan oleh Allah agar selalu membela kaum
proletar meskipun diiming-imingi keuntungan finansial oleh kaum borjuis jika beliau
berkenan membiarkannya dalam keadaan papa (QS. 80:5-10). Selama hidupnya nabi
Muhammad Saw. hanya digunakan untuk memperjuangkan nasib wong cilik Makkah yang
tersingkirkan dari struktur sosial kaum borjuis Quraisy. Konsistensi nabi Muhammad Saw.
dalam membebaskan kaum dlu‟afa Arab ini tercermin dalam do‟anya yang meminta kepada
Tuhan agar dalam keadaan hidup maupun mati selalu dikumpulkan dengan orang-orang
miskin. “Allahumma ahyini miskinan, wa amitni miskinan wahsyurni fi zumratil masakin
yaumal qiyamah (Ya Tuhan, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam
keadaan miskin, dan kelak di Hari Kiamat kumpulkanlah aku dengan kelompok orang-orang
miskin).7 Do‟a nabi Muhammad Saw. ini bukan berarti beliau memohon miskin kepada
Allah, tapi meminta kepada-Nya agar selalu diberi kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak
orang miskin yang saat itu hak-haknya direbut kaum borjuis Quraisy.
Al-Quran dalam beberapa tempat seringkali mencela kondisi sosial ekonomi
masyarakat Makkah yang hanya dikuasai oleh kaum borjuis dan memberikan perintah aktif
untuk memberdayakan kaum proletar. Oleh karena itu nabi Muhammad Saw. menghapus
praktik lintah darat, riba, perjudian, dan praktik-praktik ekonomi eksploitatif lainnya (QS.
2:219), pemberi utang dituntut untuk cuma mengambil sejumlah piutangnya, namun bila
disedekahkan maka itu lebih baik (QS. 2:280), dan orang kaya diperintah untuk
mendermakan kelebihan hartanya (QS. 2:219). Sebagai upaya pemberdayaan kaum miskin al-
Quran mengatakan bahwa dalam harta orang kaya terdapat bagian intrinsik bagi orang miskin
(QS. 70:25, QS. 51:19). Al-Quran juga sangat menekankan keadilan distributif dengan tujuan
agar harta benda tidak hanya beredar di kalangan borjuis semata (QS. 59:7).
Farid Esack menyatakan, ide satu pencipta (tauhid) dalam Islam memiliki makna
bahwa umat manusia dengan beragam ras, suku, dan sosial bertemu dalam satu dimensi
“kemanusiaan”, sehingga dalam memperjuangkan hak-hak kaum tertindas juga tidak boleh
disekat dengan kesamaan agama, tapi harus mencakup semua umat manusia walaupun
berbeda agama.8 Kebencian yang ditampakkan oleh kuffar Quraisy kepada Muhammad Saw.
tidak lebih dari sebab pembelaan Muhammad Saw. terhadap kaum proletar. Borjuis Makkah
yang memiliki kepentingan eksploitasi ekonomi dalam bisnisnya merasa terancam oleh
kehadiran Islam yang disampaikan oleh Muhammad Saw. yang menekankan keadilan bagi
kaum tertindas dan tersisih.
6 Isma‟il al-Hasani, Nadzariyyah al-Maqashid „Inda al-Imam Muhammad al-Thahir Ibn „Asyur, ttp. al-Ma‟had
al-„Alami li al-Fikr al-Islami, 1995, hal. 281. 7 Lihat Muhammad bin „Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah
Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1975, vol. VI, hal. 577. 8 Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, cet. I, 2000,
hal. 139.
4 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
Karena Islam memiliki kepentingan membebaskan masyarakat tertindas inilah, orang-
orang miskin dalam Islam sangat dimuliakan. Dalam QS. 28:5 dinyatakan bahwa Tuhan
sangat mengutamakan kaum tertindas, dalam hal ini diceritakan bahwa Tuhan memberikan
karunia kepada Bani Israil yang ditindas oleh Fir‟aun dan penguasa Mesir lainnya.
Oleh karena itu tidak heran jika Nabi Muhammad Saw. pernah memberikan informasi
bahwa pernah ada seorang pelacur yang masuk sorga sebab memberi minuman kepada
anjing.9 Hal ini dapat dimaklumi mengingat seorang pelacur masuk dalam deretan kaum
tertindas, sehingga hanya gara-gara menolong anjing yang sedang kehausan Tuhan
memberikan rahmat kepadanya dengan ditempatkan di sorga.
Para peneliti hampir mengeluarkan konsensus bersama bahwa seseorang terjun ke
dunia pelacuran bukan atas kemauan sendiri, tapi karena terpaksa. Keterpaksaan ini
disebabkan oleh faktor ekonomi, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga, sementara
dirinya tidak memiliki keahlian (skill) untuk melakukan pekerjaan yang halal dan layak. Oleh
karena itu para ilmuan seringkali mendefinisikan pelacuran dengan seksualitas sesaat yang
dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas) untuk mendapatkan imbalan materi.10
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pelacur merupakan salah satu dari sederet
masyarakat yang terpinggirkan sehingga harus dibebaskan dari jeratan itu. Pelacur rela
mengorbankan diri, masa depan, dan kehidupannya demi membiayahi diri, anak, dan
keluarganya. Bahkan ketertindasan pelacur tidak hanya dari struktur sosial masyarakat di
sekelilingnya yang mengantarkan dirinya hidup di lembah hitam, tapi di dalam lembah hitam
atau lokalisasi juga mereka ditindas. Uang yang mereka dapat dari pekerjaan esek-esek tidak
100 persen masuk kantong, tapi masih harus dibagi-bagi dengan pihak yang terlibat dalam
pekerjaannya, yakni mucikari, uang kamar, uang kesehatan, uang keamanan, calo, dan yang
lainnya. Sehingga mereka hanya mengantongi uang dengan jumlah yang sangat sedikit.
Sesungguhnya para pelacur sadar bahwa dirinya adalah orang yang sangat tidak
diuntungkan, namun mereka tidak berdaya di tengah sulitnya akses kehidupan yang tidak
ramah. Menurut Nur Syam, kesadaran inilah yang disebut oleh Karl Max dengan “kesadaran
palsu”, yakni kesadaran yang banyak dimiliki oleh kaum pinggiran. Mereka sadar akan
keterpinggirannya, namun mereka tidak memiliki relasi kuasa untuk menolak terhadap
realitas tersebut.11
Pemerasan terhadap pelacur sesungguhnya tidak diperbolehkan karena mereka adalah
orang-orang yang tertindas, orang-orang yang memiliki nasib malang dan mengenaskan.
Diceritakan bahwa ketika sahabat nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah di antara mereka
banyak yang punya rencana untuk menikah dengan para pelacur, karena pelacur-pelacur di
Madinah selain cantik-cantik juga kaya-raya memiliki penghasilan dari kerja esek-eseknya.
Sahabat muhajirin mengatakan, “andai kita menikah dengan mereka maka kita akan hidup
bersama mereka dengan kaya raya.”12
Namun oleh nabi Muhammad Saw. rencana tersebut
digagalkan (dilarang) karena dengan menikahinya yang bertujuan untuk memanfaatkan
“kekayaan pelacur” bukan sebagai tindakan yang dapat membebaskannya dari penindasan
struktur sosial masyarakat saat itu, tapi malah hendak memeras, atau orang jawa
menyebutnya dengan “wis tibo ketiban ondo (sudah jatuh kejatuhan tangga)”.
„Ala kulli hal, karena posisi pelacur sebagai orang yang tertindas, sehingga menurut
fikih Islam mereka harus dibebaskan dari penindasan itu dengan cara menghilangkan praktik
9 Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ttp. Dar Thuq al-Najah, cet. I, 1422 H. vol. IV, hal. 173. 10 Thanh Dam Truong, Seks, Uang, dan Kekuasaan, hal. 15-20. 11 Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, hal. 56-57. 12 Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur`an, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1411 H.
hal. 325. Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, ttp. Dar Hijr, cet. I, 2001,
vol. XVII, hal. 154.
5 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
prostitusi yang terkonsep dalam hukum larangan zina, namun karena larangan ini belum
dapat memberikan solusi yang dapat mengurai kesulitan hidupnya terutama dalam bidang
ekonomi, maka cara yang harus pertama kali dilalui adalah membiarkannya agar para pelacur
dapat mencari bekal hidup secukupnya sembari dibina dan dididik berwira usaha.
B. Pelacuran dan Perzinaan Dalam Masyarakat Arab Pra Islam
Pelacuran dan perzinaan yang berkembang pada masyarakat Arab pra Islam sangat
urgen untuk diungkap mengingat kondisi masyarakat inilah yang menjadi latar kesejarahan
turunnya al-Quran (asbab al-nuzul).
Pada masa pra Islam perempuan yang menjalani praktik pelacuran adalah hamba
sahaya (ammah). Saat itu budak perempuan tidak hanya dijadikan juru laden dapur dan
pemuas seks majikannya (sayyid), tapi juga disuruh melacur, dan uang hasil esek-esknya
diberikan kepada sayyid. Bagi perempuan merdeka (hurrah) perbuatan melacur dipandang
sangat terhina karena hal itu menjadi kebiasaan para budak, sehingga andai mereka
melakukannya maka khawatir akan dianggap oleh masyarakat sebagai budak, yakni “manusia
yang tidak memiliki dirinya sendiri” seperti binatang peliharaan. Di samping itu kebutuhan
hidup perempuan merdeka selalu dipenuhi oleh keluarganya bagi yang belum menikah dan
oleh suaminya bagi yang sudah menikah, sehingga mereka sangat memandang rendah („aib
kabir) terhadap praktik pelacuran. Sedangkan bagi lelaki merdeka (hurr) hubungan intim
dengan pelacur tidak dipandang sebagai perbuatan tercela, bahkan melacur bagi mereka
menjadi kebanggaan tersendiri karena melacur menjadi simbol kekuatan dan kejantanan bagi
lelaki, semakin banyak melacur maka seseorang akan terlihat lebih jantan.13
Bekerja memuaskan nafsu birahi para lelaki merdeka yang dilakukan para budak ini
oleh mayarakat Arab pra Islam dinamakan dengan al-baghy/ al-bigha` (melacur), istilah yang
juga digunakan untuk menyebut para budak perempuan yang tidak melacur. Pekerjaan esek-
esek ini juga disebut dengan al-qahbah, derifasi dari kata qahaba yang memiliki arti batuk,
karena mereka ketika hendak menawarkan dirinya kepada kaum pria dengan cara batuk atau
berdehem. Dengan batuk atau berdehem perempuan budak memberikan indikasi kepada
seorang lelaki di sisinya bahwa kehadirannya sedang melacur. Kemudian apabila seorang
lelaki berminat maka keduanya segera menjalin kesepakatan harga dan waktunya.14
Istilah lain untuk menyebut pelacuran yang terjadi pada masyarakat Arab pra Islam
adalah “al-musa‟ah”, yakni budak melakukan hubungan esek-esek dan pemilik budak
meminta bayarannya. Kemudian apabila budak tersebut melahirkan maka nasab anaknya
diikutkan kepada budak yang melahirkannya (bukan pada lelaki yang menghamilinya),
sehingga anak tersebut secara otomatis menjadi budak yang dimiliki oleh majikannya.
Majikan budak (malik al-ammah) memiliki hak untuk menjual atau merawat anak tersebut
hingga dewasa. Dalam hadis diinformasikan bahwa sahabat Umar pernah didatangi budak-
budak yang melacur pada masa Jahiliyyah. Lalu Umar memerintahkan agar nasab anak hasil
esek-esek para pelacur tersebut diikutkan kepada ayah biologisnya (lelaki yang menghamili
budak) dan tidak dijadikan hamba sahaya, sehingga anak tersebut merdeka dan nasabnya ikut
pada lelaki yang menghamili.15
Sedangkan rumah yang biasa dijadikan tempat mangkal para pelacur oleh masyarakat
Arab pra Islam dinamakan dengan “al-mawakhir”, berasal dari bahasa Persi “mai khur”
yang memiliki arti peminum arak. Tempat ini di samping dijadikan sebagai tempat mangkal
pelacur juga dijadikan tempat tongkrongan bagi peminum arak (majalis al-khammarin). Al-
mawakhir ini tersebar di desa dan kota, terutama di tempat yang strategis, yakni di tempat
13 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, Baghdad: Universitas Baghdad, tt. vol. V, hal.
133. 14 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 133. 15 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 137.
6 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
yang biasa digunakan istirahat oleh para pedagang dan orang-orang yang bepergian. Sehingga
mereka dapat menyaksikan tempat prostitusi itu.16
Ibnu „Abbas menginformasikan bahwa pada masa Jahiliyyah terdapat beberapa rumah
yang dinamakan dengan “al-mawakhir”, di dalam rumah ini masyarakat jahiliyyah
menyewakan budak-budak muda peliharaannya (fatayat). Masyarakat saat itu tahu bahwa
tempat tersebut adalah tempat prostitusi, tidak ada yang masuk dan tidak ada yang
mendatangi rumah tersebut kecuali orang yang hendak menyalurkan nafsu birahinya, baik
dari ahli kiblat maupun penyembah berhala. Lalu Allah mengharamkan hal tersebut kepada
orang-orang mukmin melalui turunnya QS. 24:33.17
Di samping itu pada masa pra Islam juga tersebut istilah “shawahib al-rayat” (orang-
orang yang memiliki bendera), yakni para pelacur yang memasang bendera di depan pintu
rumahnya sebagai tanda bahwa dirinya menawarkan kenikmatan seks dengan imbalan uang.
Bagi lelaki yang berminat menyalurkan libidonya maka masuk ke dalam rumah tersebut dan
mengadakan kesepakatan upah dan permainan esek-eseknya, bendera-bendera tersebut
berwarna merah. Diinformasikan bahwa sebagian pelacur juga ada yang memasang bendera
di pasar lalu orang-orang mendatanginya dan melacur bersamanya.
„Ikrimah menceritakan bahwa di Makkah dan Madinah sangat banyak sekali pelacur
yang mengibarkan bendera, yang paling terkenal antara lain adalah Ummu Mahzul (pelacur
milik al-Sa`ib bin Abi al-Sa`ib al-Makhzumi), Ummu „Ulaith (pelacur milik Shafwan bin
Umayyah), Hannah al-Qibthiyyah (pelacur milik al-„Ash bin Wa`il), Muznah (pelacur milik
Malik bin Amilah bin al-Sabbaq), Jalalah (pelacur milik Suhail bin „Amr), Ummu Suwaid
(pelacur milik „Amr bin „Utsman al-Makhzumi), Suraifah (pelacur milik Zam‟ah bin al-
Aswad), Farasah (pelacur milik Hisyam bin Rabi‟ah bin Habib bin Hudzaifah bin Jabal bin
Malik bin „Amir bin Lu`ayy), Quraiba (pelacur milik Hilal bin Anas bin Jabir bin Namir bin
Ghalib bin Fihr), Fartana (pelacur milik Hilal bin Anas).18
Praktek pelacuran ini kemudian dilarang oleh Islam karena menindas dan menyakiti
hamba sahaya. Bagaimana tidak, para sayyid (pemilik budak) memaksa budak-budaknya
untuk bersenggama dengan orang-orang yang belum tentu ia sukai demi meraih keuntungan
dinar yang kemudian dinar itu semuanya diminta oleh sayyid itu sendiri. Larangan ini
ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa itu.” (QS. 24:33).
Muqatil dan mufassir lainnya mengatakan bahwa ayat ini turun kepada enam budak
milik Abdullah bin Ubay yang memaksa para budaknya untuk melacurkan diri dan Abdullah
bin Ubay mengambil bayaran hasil esek-eseknya. Enam budak tersebut adalah Mu‟adzah,
Musaikah, Umaimah, „Amrah, Arwa, dan Qutailah. Lalu pada suatu hari salah seorang dari
mereka datang dengan membawa dinar hasil melacur, dan lainnya dengan membawa kain
bergaris. Lalu Abdullah bin Ubay berkata kepada keduanya, “Kembalilah melacur.” Lalu
kedua hamba sahaya tersebut berkata: “Demi Allah, kami tidak akan melacur lagi, Allah telah
mendatangkan Islam kepada kami dan mengharamkan zina.” Lalu keduanya mendatangi
rasulullah Saw. dan mengadu kepadanya. Kemudian Allah menurunkan ayat di atas.19
16 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 138. 17 Al-Thabari, Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, vol. XVII, hal. 153. 18 Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur`an, hal. 325. Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-
Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, vol. XVII, hal. 154. 19 Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur`an, hal. 336-337.
7 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
Sedangkan hubungan intim yang dilakukan dengan selain budak masyarakat Arab pra
Islam menyebutnya dengan zina, namun sebutan zina ini memiliki istilah bermacam-macam
disesuaikan dengan status hubungan yang dimiliki oleh lelaki dan perempuannya, antara lain:
1. Al-musafahah, yaitu perempuan berkumpul dengan lelaki dalam satu waktu tanpa ada
ikatan pernikahan atau mungkin sekarang dikenal dengan “kumpul kebo”, lalu apabila
keduanya merasa serasi dan cocok untuk hidup bersama baru mengadakan pernikahan
(tazawwuj). Oleh karena itu lelaki pada masa Jahiliyyah apabila hendak melamar
perempuan maka dengan mengatakan “ankihini”, sedangkan apabila hendak
berhubungan intim di luar pernikahan mereka mengatakan “safihini”.20
Kata ini
dalam al-Quran disebut dalam QS. 4:25.
2. Al-mukhadanah, yaitu hubungan intim yang dilakukan oleh lelaki dengan perempuan
atas dasar pertemanan dan saling mencintai (shadaqah wa mawaddah) atau dalam
bahasa sekarang mungkin disebut dengan “Teman Tapi Mesra (TTM)”. Wanita-
wanita yang memiliki jalinan “pertemanan mesra” ini biasa disebut dengan “dzawat
al-akhdan dan muttakhadzat akhdan (wanita yang memiliki teman kencan).” Praktek
hubungan intim di luar pernikahan ini disebut dengan mukhadanah (hubungan
pertemanan) karena dilakukan secara sembunyi, tidak terang-terangan, dan keduanya
saling mencintai. Hubungan seperti ini menurut masyarakat Arab pra Islam tidak
dinamakan zina karena dilakukan secara rahasia. Bagi masyarakat Jahiliyah zina yang
diharamkan adalah hubungan intim dengan wanita merdeka (hurrah) yang bukan
istrinya dan dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan hubungan intim yang
dilakukan secara sembunyi mereka tidak menyebutnya sebagai zina, mereka
mengatakan, “Amma ma dzahara minhu fahuwa lu`mun, wa amma ma khafiya fala
ba`sa bi dzalik (Zina yang dilakukan secara terang-terangan adalah kekejian,
sedangkan zina yang dilakukan secara sembunyi tidak ada persoalan).”21
Pandangan ini kemudian dibantah oleh al-Quran, menurut al-Quran hubungan
intim dengan wanita merdeka yang bukan istrinya walaupun dilakukan secara rahasia
juga dinamakan dengan zina (QS. 6:151).22
3. Al-mudlamadah, yaitu perempuan yang menemani satu atau dua atau tiga lelaki yang
bukan suaminya pada musim paceklik dengan tujuan supaya dirinya diberi makan
oleh lelaki yang ia temani. Al-mudlamadah hampir sama dengan al-mukhadanah,
hanya saja dalam al-mudlamadah perempuan mempersilahkan tubuhnya untuk
dinikmati oleh lelaki lain lebih didorong pada imbalan materi, bukan atas dasar cinta
kasih.23
Sebagaimana diungkap di muka bahwa semua praktek hubungan intim yang
dilakukan dengan perempuan merdeka diluar pernikahan dan dilakukan secara terang-
terangan masyarakat Arab pra Islam sudah menamakannya dengan zina. Sedangkan setelah
Islam datang makna zina diperluas menjadi hubungan intim yang dilakukan oleh seorang
lelaki dengan perempuan yang bukan istrinya dan bukan budaknya yang belum bersuami.24
Sementara hubungan intim yang dilakukan oleh pemilik budak dengan budaknya yang tidak
memiliki suami saat itu masih dilegalkan.
20 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 134. 21 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 141. 22 Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, vol. VI, hal. 603. 23 Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, vol. V, hal. 141-142. 24 Muhammad bin al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984, vol.
XV, hal. 90.
8 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
Melalui penelusuran seks di luar pernikahan yang terjadi di masyarakat Arab pra
Islam di atas dapat diketahui bagaimana al-Quran berdialog dengan kondisi masyarakat saat
itu. Praktik pelacuran yang saat itu hanya dilakukan para budak dilarang karena di dalamnya
terdapat unsur penindasan. Para budak dipaksa untuk melacur dan bayarannya dimiliki oleh
sayyid, padahal para budak sendiri tidak menginginkan hal itu, sehingga bagi budak yang
menjalankannya karena terpaksa maka perbuatannya dimaafkan oleh Allah (QS. 24:33).
Sedangkan perzinaan dengan beragam istilahnya saat itu dilarang melalui QS. 25: 68, QS.
60:12, QS. 17:32, QS. 24:2 dan 3.
Ibnu „Asyur menyatakan, Islam mengharamkan zina karena zina dapat merusak nilai-
nilai kemanusiaan, seperti merusak genealogi keturunan, mendapat sangsi sosial dari
masyarakat, melukai hati suami perempuan yang diajak zina atau keluarga jika masih single
(belum bersuami), dan dapat menjadikan masyarakat enggan menikah dengan orang yang
melakukannya hingga pada gilirannya pelaku zina akan diasingkan. Zina juga dapat
menyebabkan perempuan yang melakukannya dicerai oleh suami dan menimbulkan rasa
cemburu di hati suami sehingga dapat menyulut api pertengkaran dan pembunuhan antara
suami atau keluarga perempuan pezina dengan lelaki yang mengencaninya.25
Kendati zina dilarang, namun apakah praktik pelacuran harus dibersihkan dari atas
bumi ini? Apakah para pelaku esek-esek liar ini boleh dicaci maki? Sejumlah hadis
menginformasikan bahwa nabi Muhammad Saw. membiarkan praktik tersebut, ketika beliau
bertransmigrasi ke Madinah nabi Saw. tidak membunuh atau menghukum para pelacur, tapi
bukan berarti nabi Saw. melegalkannya, melainkan membiarkannya sembari berusaha
menghentikan dengan cara menghilangkan semua bentuk penindasan terhadapnya
sebagaimana beliau melarang para sahabat yang hendak menikahinya karena niat para
sahabat bukan untuk menghentikan perbuatan pelacuran, tapi malah hendak memeras uang
mereka.
C. Lokalisasi Pelacuran Dalam Perspektif Fikih Islam
Walaupun prostitusi di larang oleh Islam karena menindas perempuan, namun bukan
berarti fikih Islam tidak memiliki solusi dalam mengurai duka lara yang mendera
penghuninya. Fikih Islam memiliki konsep solutif dalam mengurai dan membebaskan profesi
haram yang sulit dihilangkan, atau ringkasnya profesi haram yang dijalankan karena
keterpaksaan.
Pada masa jahiliyyah pelacuran hanya dilakukan oleh para budak yang dipaksa oleh
para pemiliknya (malik al-ammah), sedangkan esek-esek di luar pernikahan yang dilakukan
wanita merdeka (hurrah) biasanya dilakukan atas dasar suka sama suka, seperti dalam al-
musafahah dan al-mukhadanah. Jika tidak demikian maka didorong oleh keterpaksaan untuk
mendapatkan makan dan minum atau disebut dengan al-mudlamadah. Al-mudlamadah ini
berbeda dengan “pelacuran”, karena pelacur mengais dinar dengan semua pria yang
mengencani, sedangkan al-mudlamadah tertentu dengan satu orang lelaki atau dua atau tiga
(maksimal tiga) agar lelaki memberinya makan atau mungkin pada masa sekarang biasa
dikenal dengan “istri simpanan”.
Seiring dengan laju kesadaran masyarakat praktek perbudakan telah dihapus, namun
wanita penjaja seks dalam ruang sejarah kehadirannya selalu ada dan tersebar di mana-mana.
Oleh karena itu pertanyaan yang patut dilempar apa faktor utama yang membuatnya
menyewakan tubuhnya untuk dinikmati oleh para lelaki hidung belang? Sebagaimana
disinggung di muka, para peneliti menyimpulkan bahwa faktor utama yang mengantarkan
seseorang menjadi pelacur adalah tuntutan ekonomi, mereka hendak bekerja namun tidak
memiliki keahlian (skill), sementara persaingan hidup kian hari selalu menggerus
25 Muhammad bin al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, vol. XV, hal. 90.
9 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
perekonomian masyarakat bawah, sehingga mau tidak mau demi mendapatkan sepiring nasi
ia harus merelakan tubuhnya untuk dinikmati dengan imbalan harta benda.26
Jika demikian halnya maka mereka sejatinya adalah orang-orang yang tertindas dari
ekonomi masyarakat di sekitarnya, sehingga dalam fikih Islam hal itu tetap dilarang namun
bukan berarti mereka tidak boleh melakukannya, mereka diperbolehkan beroprasi menjajakan
diri, namun dengan ketentuan sebatas untuk mencari bekal hidup atau modal untuk berusaha.
Oleh karena itu fikih Islam sangat mendukung keberadaan lokalisasi pelacuran demi
mempermudah mengorganisir pendidikan kepada mereka dan mengais keuntungan yang
terlindungi. Lokalisasi pelacuran menurut fikih Islam adalah media (wasilah) yang
diharamkan karena dengan melokalisir tempat esek-esek berarti menyediakan tempat
maksiat, namun bukan berarti hal ini dilarang karena wasilah yang haram selama dapat
mendatangkan kebaikan (mashlahah) maka mutlak dilegalkan, bahkan keberadaan wasilah
tersebut harus dikonsep seideal mungkin agar orang-orang yang tertindas (dalam hal ini para
pelacur) dapat segera terbebaskan dan kembali hidup normal sembari menatap masa depan
yang gemilang. Al-Qarafî dalam beberapa karyanya mengatakan: “Qad takunu wasilah al-
muharrami ghaira muharramah idza afdlat ila mashlahah rajihah (Terkadang media
[wasilah] yang diharamkan itu tidak haram apabila wasilah tersebut dapat mendatangkan
mashlahat yang lebih tinggi).”27
Konsep ini bermula dari Sadd al-Dzara`i‟, yakni menutup tindakan yang dapat
mengantarkan pada kerusakan, kendati tindakan tersebut hukum asalnya diperbolehkan.
Sedangkan membuka tindakan untuk menuju kemashlahatan dinamakan dengan Fath al-
Dzara`i‟. Kedua teori ini dalam penelitian al-Qarafi merupakan sumber hukum yang
disepakati oleh para imam madzhab walaupun secara tekstual banyak ulama yang tidak
mengakui kedua teori ini sebagai landasan hukum, namun pada tataran praksisnya para ulama
sepakat menggunakannya.28
Jika dalam Sadd al-Dzara`i‟ maupun Fath Dzara`i‟ tindakan
yang ditutup (sadd) atau tindakan yang dibuka (fath) memiliki hukum asal yang
diperbolehkan, lantas bagaimana jika tindakan yang akan ditutup atau dibuka memiliki
hukum dilarang? Karena fikih memiliki kepentingan menciptakan kemashlahatan sehingga
dalam persoalan ini dikembalikan pada tujuan, yakni apakah dengan menggunakan cara
membuka atau menutup tindakan akan menghasilkan kebaikan atau tidak, jika mendapatkan
kebaikan maka mutlak diperbolehkan.
Melalui pandangan al-Qarafi yang juga diamini oleh para ulama lainnya di atas dapat
disimpulkan bahwa keberadaan lokalisasi pelacuran mutlak dilegalkan karena sebagai
wasilah yang dapat mendatangkan kebaikan. Dengan melokalisir prostitusi maka para pelacur
akan mudah dibina dan dilindungi hingga pada akhirnya mereka dapat terbebaskan nasibnya
dari tindasan yang mereka rasakan.
26 Faktor tuntutan ekonomi ini biasanya tidak berdiri sendiri, tapi ada faktor lain yang mendahuluinya, seperti
broken home, masa kecil yang kurang diperhatikan orang tua, pelecehan seksual, dan keperawanan yang hilang
sebelum menikah. Dari faktor yang menjadi premis minor (muqaddimah shughra) ini kemudian ketika “si
korban” terdesak oleh tuntutan ekonomi yang menjadi premis mayor (muqaddimah kubra) mereka memilih
bekerja melacur ketimbang yang lainnya, karena di samping mereka tidak memiliki keahlian (skill) untuk
bekerja yang halal dan layak, juga pekerjaan esek-esek dianggap lebih mudah dan cepat mendatangkan uang
banyak. Baca hasil penelitian Endah Sulistyowati dalam buku Hegemoni Hetero-Normativitas; Membongkar
Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam, Jakarta: Kartini Network, cet. I, 2007, hal. 1-83. 27 Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa ̀ al-Furuq, ttp. „Alam al-Kutub, tt.
vol. II, hal. 33. Lihat juga karyanya yang bertitel al-Dzakhirah, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, cet. I, 1994, vol.
I, hal. 153-154, dan Syarh Tanqih al-Fushul, Syirkah al-Thaba‟ah al-Fanniyah al-Muttahidah, cet. I, 1973, hal.
506-507. Juga Hasan bin Umar al-Sinawani al-Maliki, al-Ashl al-Jami‟ li Idlah al-Durar al-Mandzumah fi Suluk
Jam‟ al-Jawami‟, Tunis: Mathba‟ah al-Nahdlah, cet. I, 1928, vol. III, hal. 63. 28 Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, al-Dzakhirah, vol. I, hal. 152.
10 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
Oleh karena itu lokalisasi pelacuran seharusnya dibersihkan dari “penindasan lain”,
yakni penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menarik pajak yang mencekik,
mucikari yang memperlakukan gundiknya seperti pelacur budak pra Islam, dan tidak
mencacinya. Bahkan seharusnya pemerintah khususnya dan masyarakat pada umumnya wajib
melindungi pelacur dari berbagai penindasan, merawat kesehatannya, memberikan
pendidikan moral dan berwira usaha, serta menyiapkan lapangan pekerjaan yang layak dan
halal, karena para pelacur rata-rata ketika usianya mulai menginjak 40 tahun atau ketika
sudah jarang diminati oleh pelanggannya lagi maka mereka akan mengakhiri profesi yang
mengenaskan itu.
Epilog
Lokalisasi pelacuran menurut fikih Islam merupakan media yang diharapkan dapat
mengurai dan membebaskan duka lara para pelacur, sehingga di dalam lokalisasi pelacuran
pemerintah dan masyarakat dilarang melakukan penindasan lain, meminta pajak yang terlalu
besar, menutupnya dengan dalih menghormati bulan suci, menangkap pelacur yang
beroperasi di luar kesepakatannya dengan pemerintah, mencaci dan bentuk penindasan
lainnya.
Di samping itu, pemerintah dan masyarakat juga harus menolong dan melindunginya
dengan cara menjaga kesehatan mereka, mendidik, dan menyediakan lapangan kerja yang
halal dan layak. Perlindungan seperti ini merupakan implementasi dari doktrin “amar ma‟ruf
nahy munkar” terhadap para pelacur. Memerintah berbuat baik (amar ma‟ruf) kepada pelacur
dilakukan dengan cara memberikan solusi yang dapat membebaskannya dari penindasan
struktur sosial masyarakat, dan melarang berbuat kemungkaran (nahy munkar) terhadapnya
ditunaikan dengan cara mencegah orang-orang yang melakukan penindasan terhadap mereka.
Dengan demikian, bagi sebagian umat Islam yang sering melakukan sweping ke
lokalisasi pelacuran sudah saatnya mengubah aksi amar ma‟ruf nahy munkarnya dengan
melaksanakan aksi yang membebaskan, bukan aksi pentungan, menunaikan perintah Allah
adalah membebaskan manusia tertindas, bukan membuat luka di atas derita.
*Dimuat dalam Jurnal Justisia Edisi 39. Th. XXIV/2012
Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.
**Aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Jawa Tengah.
Email: [email protected] Twitter: @khoirulanwar_88
11 Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam__________________________________Khoirul Anwar
DAFTAR PUSTAKA
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya` „Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Hadis 2004.
Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, al-Dzakhirah, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami,
cet. I, 1994.
____, Anwar al-Buruq fi Anwa` al-Furuq, ttp. „Alam al-Kutub, tt.
____, Syarh Tanqih al-Fushul, Syirkah al-Thaba‟ah al-Fanniyah al-Muttahidah, cet. I, 1973.
Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur`an, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
cet. I, 1411 H.
Endah Sulistyowati, dkk. Hegemoni Hetero-Normativitas; Membongkar Seksualitas
Perempuan Yang Terbungkam, Jakarta: Kartini Network, cet. I, 2007. Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, Bandung:
Mizan, cet. I, 2000. Hasan bin Umar al-Sinawani al-Maliki, al-Ashl al-Jami‟ li Idlah al-Durar al-Mandzumah fi
Suluk Jam‟ al-Jawami‟, Tunis: Mathba‟ah al-Nahdlah, cet. I, 1928. Isma‟il al-Hasani, Nadzariyyah al-Maqashid „Inda al-Imam Muhammad al-Thahir Ibn
„Asyur, ttp. al-Ma‟had al-„Alami li al-Fikr al-Islami, 1995.
Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, Baghdad: Universitas Baghdad,
tt. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, cet. VI, 2007. Muhammad bin „Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Mesir: Syirkah Maktabah wa
Mathba‟ah Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1975. Muhammad bin al-Hasan al-Hajwi al-Tsu‟alabi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami,
ttp. Idarah al-Ma‟arif 1340 H. Muhammad bin al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar al-Tunisiyyah li al-
Nasyr, 1984.
Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ttp. Dar Thuq al-Najah, cet. I, 1422
H. Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, ttp. Dar Hijr, cet.
I, 2001. Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2011. Thanh Dam Truong, Seks, Uang, dan Kekuasaan, Jakarta: LP3ES, 1992.