LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN...
Transcript of LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN...
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
582
LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN
BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN,
CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN
D. A. P. Pratama*, D. H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55283
* corresponding author: [email protected]
ABSTRAK Formasi Warukin merupakan salah satu formasi pembawa batubara yang penting di Indonesia.
Formasi ini tersingkap dengan baik pada daerah Paringin, Cekungan Barito, Kalimantan Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi maseral dan mineral serta tipe paleomire dan
lingkungan pengendapan batubara pada daerah penelitian.
Berdasarkan hasil analisis petrografi organik, komposisi maseral daerah penelitian didominasi oleh
kelompok maseral huminit (52,2-79,8%) dengan kandungan paling banyak berupa subkelompok
maseral humotelinit (43,4-72,6%). Kelompok maseral inertinit dan liptinit memiliki kandungan yang
rendah berkisar 2,8-18,8% dan 9,8-43,6%. Kandungan mineral pada batubara di daerah penelitian
didominasi oleh mineral pirit (0,2-2,2%).
Interpretasi lingkungan pengendapan batubara dilakukan berdasar atas analisis petrografi organik
dan didukung dengan data analisis stratigrafi yang ada. Hasil analisis ini menunjukkan batubara di
daerah penelitian terendapkan pada lingkungan telmatik dengan fasies lingkungan pengendapan
berupa lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
TPI dan GI yang relatif tinggi serta kesesuaian pola dan komposisi stratigrafi dengan karakteristik
lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest swamp. Gambut pembentuk
batubara daerah penelitian bersifat ombrotropik dengan kondisi relatif basah atau lembab. Komposisi
vegetasi lahan gambut didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest dan terdapat kandungan tumbuhan
herbaceous atau marginal aquatic yang rendah.
I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki banyak kekayaan alam,
salah satunya berupa kekayaan alam dalam
bidang energi yaitu batubara. Batubara
merupakan batuan sedimen yang mudah
terbakar, berasal dari tumbuhan, dan
mengalami proses kimia serta fisika sejak
terendapkan yang menyebabkan terjadinya
penambahan kandungan karbon
(Sukandarrumidi, 1995). Persebaran batubara
di Indonesia paling banyak dijumpai di pulau
Sumatera dan Kalimantan.
Formasi Warukin merupakan salah satu
formasi pembawa batubara yang penting di
Indonesia. Formasi ini memiliki potensi
batubara yang besar, hal ini telah terbukti dari
proses penambangan yang telah dilakukan
oleh PT. Adaro Indonesia terhitung sejak
penambangan 1992 hingga per 31 Desember
2013 telah menghasilkan 4.932 juta ton
batubara. Namun, potensi batubara yang
tinggi pada Formasi Warukin tidak sebanding
dengan penelitian mengenai batubara yang
ada. Jumlah penelitian yang membahas
mengenai Formasi Warukin khususnya pada
kandungan batubaranya baik mengenai
komposisi maseral, mineral, lingkungan
pengendapan atau penelitian yang lainnya
relatif sedikit. Berdasarkan hal tersebut
diperlukan adanya penelitian-penelitian yang
baru guna menambah pengetahuan mengenai
formasi ini khususnya pada kandungan
batubaranya.
Pada penelitian ini akan dibahas mengenai
mengetahui komposisi maseral dan mineral
serta tipe paleomire dan lingkungan
pengendapan batubara berdasarkan analisa
petrografi organik. Daerah penelitian berada
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
583
pada Formasi Warukin, bagian Timur Laut dari
Cekungan Barito. Daerah ini termasuk ke
dalam wilayah penambangan batubara PT.
Adaro Indonesia, tepatnya pada Open Pit
(Tambang Terbuka) Tutupan Utara.
II. GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Daerah penelitian terletak pada Cekungan
Barito yang berada di sebelah Tenggara
Kalimantan serta dibatasi oleh Pegunungan
Meratus pada bagian Timur dan Sundaland
pada bagian Barat. Pada bagian Utara terdapat
Sesar Andang atau Barito-Kutei Cross Fault
yang membatasi antara Cekungan Barito dan
Cekungan Kutai (Kusuma dan Darin, 1989).
Cekungan Barito memiliki bentuk yang
asimetri yang terdiri dari foredeep pada zona
frontal dari Pegunungan Meratus dan platform
yang berbatasan dengan kerak Sundaland
(Satyana dan Silitonga, 1994).
Secara umum struktur yang berkembang pada
Cekungan Barito dapat terbagi menjadi 2
rezim tektonik (Patra Nusa Data, 2006). Rezim
pertama berupa rezim transtensional yang
menghasilkan sesar geser sinistral yang
memiliki orientasi arah Barat Laut-Tenggara
dan rezim kedua berupa rezim transpresional
yang diikuti convergent up-lift, reaktivasi dan
pembalikan dari struktur yang telah ada
sebelumnya dan menghasilkan wrenching,
lipatan serta patahan.
Formasi Warukin berumur Miosen dengan
litologi penyusun berupa batulempung dengan
sisipan batupasir dan batubara (Kusuma dan
Darin, 1989). Lingkungan pengendapan
formasi ini berupa lingkungan prodelta hingga
upper delta plain. Formasi ini memiliki
karakteristik batubara berupa lapisan yang
tebal berkisar 0,5 m hingga >20 m, memiliki
struktur perlapisan yang baik, lunak dan
memiliki nilai kalori < 6000 kal/g (Darlan dkk,
1999).
III. DATA DAN METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini menggunakan dua data
yaitu data primer berupa sampel batubara
dengan jumlah sampel sebanyak 11 sampel
dan data sekunder berupa hasil pengukuran
stratigrafi (Dearga, 2015).
Interpretasi lingkungan pengendapan
batubara dilakukan berdasar atas analisis
petrografi organik dan didukung dengan data
analisis stratigrafi yang ada. Analisis petrografi
organik terdiri atas analisis komposisi maseral
dan mineral, analisis TPI dan GI serta GWI dan
VI. Analisis stratigrafi dilakukan dengan
membagi hasil pengukuran stratigrafi menjadi
beberapa fasies berdasarkan atas geometri,
litologi, dan struktur sedimen.
IV. ANALISIS STRATIGRAFI
Berdasarkan atas ciri-ciri fisik yang teramati
stratigrafi daerah penelitian (Gambar 1) dapat
dibagi menjadi 9 fasies yaitu:
a. Fasies Batubara Serpihan; fasies ini
memiliki karakteristik berupa warna
hitam kecoklat-coklatan, pelapukan
sedang, kusam, ukuran butir lempung,
pecahan tidak rata, cerak coklat, struktur
laminasi, komposisi berupa material
karbon dan material sedimen berukuran
lempung. Ketebalan fasies ini berkisar
0,3-1 m.
b. Fasies Serpih Berlaminasi; fasies ini
memiliki karakteristik berupa warna abu-
abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur
laminasi, komposisi berupa kuarsa,
material sedimen berukuran lanau-
lempung. Ketebalan fasies ini berkisar
antara 2,5-40 m.
c. Fasies Batulempung Karbonan Masif;
fasies ini memiliki karakteristik warna
abu-abu kehitam-hitaman, memiliki
ukuran butir lempung, struktur masif, dan
komposisi berupa material sedimen
berukuran lempung dan material karbon
serta terdapat konkresi oksida. Fasies ini
memiliki ketebalan 4 m.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
584
d. Fasies Batubara ; fasies batubara memiliki
ketebalan 0,5-13 m dengan karakteristik
berupa warna hitam, pelapukan sedang,
litotipe dull-banded dull, pecahan tidak
rata, cerat hitam, memiliki retakan (cleat)
yang intensif yang terkadang terisi oksida
dan pirit, komposisi tersusun atas
material karbon, sulfida, resin, batubara
tersilisifikasi dan oksida. Pada beberapa
lapisan (seam) batubara dijumpai
kandungan batubara serpihan (shaly coal)
dan sisipan (parting) batupasir.
e. Fasies Batupasir Bergradasi Normal; fasies
ini tersusun atas litologi berupa batupasir
dengan karakteristik berupa warna putih
ke coklat-coklatan, pelapukan sedang,
ukuran butir pasir halus hingga pasir
sedang, subangular, high sphericity, grain
supported, sortasi baik, struktur sedimen
berupa trough cross bed pada bagian
bawah dan tangential cross bed pada
bagian atas serta terdapat struktur
berupa ripple dan gradasi normal,
perlapisan bergelombang. Komposisi
berupa kuarsa, feldspar, litik, dan karbon.
Fasies ini memiliki ketebalan berkisar 5,5-
27 m.
f. Fasies Perselingan Serpih dan Batupasir;
fasies ini tersusun atas litologi berupa
perselingan serpih dan batupasir. Litologi
serpih memiliki karakteristik warna abu-
abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur
laminasi, komposisi berupa kuarsa,
material sedimen berukuran lanau-
lempung. Batupasir dicirikan warna abu-
abu, ukuran butir pasir halus, struktur
laminasi, komposisi berupa material
sedimen berukuran pasir halus. Fasies ini
memiliki ketebalan berkisar 9-16 m.
g. Fasies Batulanau Masif; fasies ini memiliki
karakteristik berupa warna abu-abu
kehitam-hitaman, memiliki ukuran butir
lanau, struktur masif, dan komposisi
berupa material sedimen berukuran lanau.
Fasies ini memiliki ketebalan 2,5 m.
h. Fasies Batupasir Berlaminasi; fasies
batupasir masif memiliki ketebalan 1-1,5
m dengan karakteristik berupa warna
putih kecoklat-coklatan dengan ukuran
butir medium hingga pasir halus, sub
angular, high sphericity, grain supported,
sortasi baik, struktur sedimen berupa
laminasi dan flaser, komposisi berupa
kuarsa, feldspar, litik, karbon, batulanau.
i. Fasies Batupasir Bergradasi Terbalik;
fasies ini tersusun atas litologi berupa
batupasir dengan ketebalan berkisar 0,8-
1,3 m. Litologi batupasir memiliki
karakterstik berwarna putih kecoklat-
coklatan, memiliki ukuran butir medium
hingga pasir halus, grain supported,
sortasi baik, struktur sedimen gradasi
terbalik dan laminasi, komposisi berupa
kuarsa, plagioklas, dan material karbonat
pada bagian atas.
Interpretasi lingkungan pengendapan
berdasarkan analisis stratigrafi dilakukan
dengan membandingkan fasies-fasies batuan
yang telah dibuat dengan fasies model yang
telah ada sebelumnya. Model pembanding
yang digunakan adalah model lingkungan
pengendapan menurut Horne dkk (1978).
Secara keseluruhan apabila diamati terdapat 2
pola pengendapan, yaitu pola menghalus ke
atas atau gradasi normal (Gambar 2a) dan pola
mengkasar ke atas atau gradasi terbalik
(Gambar 2b). Hasil pembandingan
menunjukkan lingkungan pengendapan fasies
batuan pada daerah penelitian terdiri dari
lingkungan transisi lower delta plain dan upper
delta plain (pada sublingkungan channel, levee,
rawa gambut, interdistributary bay, dan
crevasse splay).
V. KOMPOSISI MASERAL DAN MINERAL BATUBARA
Komposisi maseral batubara pada daerah
penelitian terdiri atas maseral huminit 52,2-
79,8%, kandungan inertinit 2,8-18,8%, dan
kandungan liptinit 9,8-43,6% (Tabel 1). Hasil
analisis maseral sampel batubara daerah
penelitian menunjukkan kandungan kelompok
maseral huminit yang tinggi dengan komposisi
subkelompok maseral humotelinit yang
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
585
dominan. Kandungan humotelinit yang tinggi
menunjukkan bahwa batubara di daerah
penelitian dominan terbentuk dari jenis
tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan
kandungan kelompok maseral liptinit yang
rendah yang menandakan kandungan
tumbuhan perdu yang rendah atau tingginya
kandungan tumbuhan kayu. Menurut Diessel
(1992) kandungan humotelinit yang tinggi
dapat juga sebagai indikasi tingginya derajat
pengawetan dari jaringan sel dalam kondisi
basah, pH rendah pada forested peatland atau
forested wet raised bogs. Kondisi lingkungan
yang basah atau lembab didukung dengan
kandungan kelompok maseral inertinit yang
relatif rendah.
Kandungan kelompok maseral inertinit yang
relatif rendah menunjukkan lingkungan
pengendapan gambut yang relatif basah
dengan tingkat oksidasi yang rendah sehingga
dapat diperkirakan tingkat kelembaban
gambut pada saat terbentuk di daerah
penelitian relatif terjaga dengan baik.
Kandungan maseral huminit yang tinggi juga
menunjukkan batubara berasal dari
lingkungan gambut wet forest swamp
(Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan
mengindikasikan lingkungan pengendapan
berupa upper delta plain (Diessel, 1992).
Komposisi mineral batubara daerah penelitian
terdiri dari mineral pirit singenetik atau
framboidal, pirit epigenetik, mineral lempung,
agregat mineral, dan kalsit. Pirit singenetik
atau pirit framboidal merupakan mineral yang
penting untuk interpretasi lingkungan
pengendapan. Mineral ini mencirikan adanya
pengaruh air laut selama proses pembentukan
gambut berlangsung. Kandungan pirit
singenetik atau framboidal ini dijumpai pada
setiap sampel batubara hal ini menunjukkan
bahwa lingkungan pembentukan gambut pada
setiap sampel berada pada daerah yang
terpengaruh oleh transgresi air laut.
VI. ANALISIS TPI DAN GI
Perhitungan nilai TPI dan GI setiap sampel
batubara pada daerah penelitian dilakukan
dengan menggunakan persamaan perhitungan
nilai TPI dan GI untuk batubara peringkat
rendah (brown coal) yang dibuat oleh Amijaya
dan Littke (2005). Persamaan ini dipilih
mengingat peringkat batubara pada daerah
penelitian termasuk batubara peringkat
rendah.
Hasil perhitungan nilai TPI dan GI setiap
sampel batubara tersaji pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai TPI setiap
sampel batubara memiliki nilai yang bervariasi
berkisar antara 3,5-14. Setiap sampel batubara
yang ada secara keseluruhan mempunyai nilai
TPI>1, nilai ini menunjukkan secara
keseluruhan material pembentuk batubara
dominan berasal dari tumbuhan kayu
dibandingkan dengan tumbuhan perdu,
sehingga struktur jaringan lebih banyak
terawetkan dengan baik. Hal ini didukung
dengan kandungan subkelompok humotelinit
yang lebih besar dibandingkan dengan
subkelompok maseral humodetrinit dan
humokolinit serta kandungan kelompok
maseral liptinit yang rendah yang
menunjukkan kandungan tumbuhan kayu yang
lebih dominan sebagai pembentuk batubara.
Untuk nilai GI berdasarkan hasil perhitungan
menunjukkan nilai yang bervariasi berkisar
antara 3,56-18,64. Nilai GI yang cukup tinggi
mengindikasikan proses oksidasi pada lahan
gambut tidak dominan. Lahan gambut relatif
basah atau lembab ditunjukkan dengan
kandungan kelompok maseral inertinit yang
rendah.
Interpretasi lingkungan pengendapan setiap
sampel batubara dilakukan dengan
memplotkan nilai TPI dan GI pada diagram
Lamberson dkk (1991, dengan modifikasi).
Diagram ini digunakan karena lebih sesuai
untuk batubara dengan berbagai peringkat.
Hasil pengeplotan dapat dilihat pada Gambar
3.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
586
Hasil plot nilai TPI dan GI menunjukkan
lingkungan pengendapan batubara daerah
penelitian relatif seragam berada pada
lingkungan atau zona telmatik dengan tipe
mire berupa wet forest swamp. Zona telmatik
menurut Diessel (1992) merupakan zona atau
lingkungan dengan level air pada lahan
gambut atau mire dikontrol oleh sea level atau
variasi permukaan air. Pada zona ini akan
menghasilkan gambut yang tidak terganggu
dan tumbuh insitu ditunjukkan dengan nilai
TPI dan GI yang relatif tinggi. Pada zona ini
tingkat kerapatan pepohonan bertambah. Hal
ini didukung dengan kandungan subkelompok
maseral humotelinit yang tinggi berdasarkan
analisis kandungan maseral.
Wet forest swamp dicirikan dengan
pengendapan batubara yang relatif lembab
atau basah atau selalu tergenang oleh air
dengan kondisi pembentukan batubara yang
berkembang dengan baik. Pada lingkungan ini
tumbuhan pengisi gambut didominasi oleh
tumbuhan kayu. Lingkungan gambut wet
forest swamp dicirikan dengan kandungan
kelompok maseral huminit yang tinggi
(Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan
memiliki kandungan huminit atau vitrinit
berstruktur yang lebih besar dibandingkan
dengan huminit atau vitrinit tidak berstruktur
dan kandungan huminit atau vitrinit lebih
besar dari inertinit (Lamberson, 1991).
VII. ANALISIS GWI DAN VI
Analisis groundwater index (GWI) dan
vegetation index (VI) merupakan metode yang
digunakan untuk mengetahui evolusi
lingkungan pengendapan batubara dan
digunakan untuk menunjukkan karakteristik
lahan gambut atau mire pembentukan
batubara. Perhitungan nilai GWI dan VI
menggunakan persamaan yang dibuat oleh
Amijaya dan Littke (2005) untuk batubara
peringkat rendah.
Hasil perhitungan nilai GWI dan VI tersaji pada
Tabel 3. Hasil perhitungan ini selanjutnya
diplot pada diagram GWI dan VI menurut
Calder, dkk (1991, dengan modifikasi).
Berdasarkan hasil perhitungan sampel
batubara daerah penelitian memiliki nilai GWI
yang rendah dan nilai VI yang rendah sampai
tinggi. Nilai GWI setiap sampel batubara
menunjukkan nilai < 0,5. Menurut Calder, dkk
(1991) nilai GWI kurang dari 0,5
mengindikasikan lingkungan purba didominasi
oleh kondisi telmatik. Nilai GWI yang rendah
ini juga menunjukkan kondisi lingkungan bog
dan bog forest ombrotropik (Gambar 4).
Lingkungan ini dicirikan dengan level air yang
berada di bawah permukaan gambut dan
gambut memperoleh nutrisi atau makanan
dari air hujan. Gambut yang terbentuk pada
lingkungan ini memiliki suplai makanan yang
rendah (oligotropik) dan terbentuk dalam
kondisi asam.
Nilai VI sampel batubara daerah penelitian
menunjukkan nilai yang relatif beragam yaitu
berkisar 1,595-6,413 (Tabel 3). Nilai VI
merupakan suatu nilai perbandingan yang
menunjukkan tipe mire dari suatu tipe
vegetasi tertentu, yang merupakan hasil dari
perbedaan maseral pada suatu afinitas hutan.
Menurut Calder, dkk (1991) nilai VI kurang dari
3 menunjukkan tumbuhan atau vegetasi
pengisi lahan gambut berasal dari herbaceous
atau marginal aquatic, sedangkan untuk nilai
VI lebih besar dari 3 menunjukkan vegetasi
pengisi lahan gambut cenderung berupa
tumbuhan kayu atau forest. Kandungan
tumbuhan kayu ini dicirikan dengan
kandungan subkelompok maseral humotelinit
yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut sampel
batubara pada daerah penelitian terbagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok
pertama berupa kelompok yang memiliki nilai
VI kurang dari 3. Kelompok ini terdiri dari
sampel P5 Coal, P10 Coal, dan P11 Coal yang
memiliki kisaran nilai VI antara 1,595-2,651.
Rendahnya kandungan VI ini menunjukkan
tumbuhan atau vegetasi pengisi lahan gambut
pada sampel P5 coal, P10 Coal dan P11 Coal
dominan berasal dari herbaceous atau
marginal aquatic.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
587
Kelompok kedua terdiri dari sampel P1 Coal,
P4 Coal, P6 1/1 Coal, P6 1/2 Coal, P6 2/1 Coal,
P6 2/2 Coal, P6 2/3 Coal, dan P9 Coal.
Kelompok kedua ini dicirikan dengan nilai VI
yang lebih besar dari 3. Hal ini menunjukkan
bahwa tumbuhan atau vegetasi pada sampel
kelompok ini dominan berupa vegetasi hutan
atau tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan
kandungan subkelompok maseral humotelinit
yang tinggi berdasarkan hasil analisis
kandungan maseral yang telah dilakukan. Nilai
VI yang tinggi menunjukkan bahwa proses
pengambutan berlangsung cepat sehingga
proses humifikasi berlangsung tidak sempurna
dan menghasilkan pengawetan jaringan
tumbuhan yang baik.
VIII. INTERPRETASI PALEOMIRE & LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan
diinterpretasikan batubara di daerah
penelitian terendapkan pada lingkungan
telmatik dengan fasies lingkungan
pengendapan berupa lingkungan transisi lower
delta plain dan upper delta plain. Hal ini
ditunjukkan dengan karakteristik nilai TPI dan
GI relatif tinggi didukung dengan pola dan
komposisi stratigrafi yang sesuai dengan
karakteristik lingkungan transisi lower delta
plain dan upper delta plain. Nilai TPI yang
tinggi (>1) menunjukkan komposisi penyusun
batubara didominasi oleh tumbuhan kayu, hal
ini didukung oleh kandungan subkelompok
maseral humotelinit yang tinggi. Nilai GI yang
cukup tinggi mengindikasikan proses oksidasi
pada lahan gambut tidak dominan. Lahan
gambut relatif basah atau lembab ditunjukkan
dengan kandungan kelompok maseral inertinit
yang rendah. Selain itu lingkungan ini dicirikan
dengan adanya pengaruh transgresi air laut
yang ditunjukkan oleh adanya kandungan
mineral pirit singenetik atau framboidal pada
komposisi batubara.
Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest
swamp. Wet forest swamp dicirikan dengan
kondisi pengendapan batubara yang relatif
lembab atau basah atau selalu tergenang oleh
air dengan kondisi pembentukan batubara
yang berkembang dengan baik. Pada
lingkungan ini tumbuhan pengisi gambut
didominasi oleh tumbuhan kayu. Selain itu
gambut pembentuk batubara bersifat
ombrotropik yaitu suatu keadaan level air
berada di bawah permukaan gambut dan
gambut memperoleh nutrisi atau makanan
dari air hujan. Kondisi lahan gambut relatif
basah atau lembab yang ditunjukkan
rendahnya kandungan kelompok mineral
inertinit. Komposisi vegetasi lahan gambut
didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest
dan terdapat kandungan tumbuhan
herbaceous atau marginal aquatic yang
rendah.
IX. KESIMPULAN
Berdasarkan atas hasil penelitian yang telah
dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan,
antara lain:
1. Komposisi maseral pada daerah
penelitian didominasi oleh kelompok
maseral huminit (52,2-79,8%) dengan
kandungan paling banyak berupa
subkelompok maseral humotelinit (43,4-
72,6%). Untuk kelompok maseral inertinit
dan liptinit pada daerah penelitian
memiliki kandungan berkisar 2,8-18,8%
dan 9,8-43,6%.
2. Komposisi mineral berupa mineral pirit
(pirit singenetik atau framboidal dan pirit
epigenetik) serta terdapat kandungan
mineral lempung, agregat mineral, dan
kalsit dalam jumlah yang rendah.
3. Batubara di daerah penelitian
terendapkan pada lingkungan telmatik
dengan fasies lingkungan pengendapan
berupa lingkungan transisi lower delta
plain dan upper delta plain. Tipe atau
jenis paleomire berupa wet forest swamp.
Gambut pembentuk batubara daerah
penelitian bersifat ombrotropik dengan
kondisi relatif basah atau lembab.
Komposisi vegetasi lahan gambut
didominasi oleh tumbuhan kayu atau
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
588
forest dan terdapat kandungan tumbuhan
herbaceous atau marginal aquatic yang
rendah.
DAFTAR PUSTAKA Amijaya, H., Littke, R., 2005. Microfasies and Depositional Environment of Tertiary Tanjung Enim Low Rank Coal, South Sumatra Basin, Indonesia. International Journal of Coal Geology 61, p. 197-221.
Calder, J.H., Gibling, M.R., Mukopadhyay, P.K., 1991. Peat formation in a Westphalian B piedmont setting, Cumberland Basin, Nova Scotia: implications for the maceral-based interpretation of rheotrohic and raised paleo-mires: Bulletin de la Socie´te´ Ge´ologique de France 162/2, p. 283-298.
Darlan, D., Zuraida, R., Purwanto, C., Sulistyani, R., Setyabudhi, A., Masduki, A., 1999. Studi Regional Cekungan Batubara Wilayah Pesisir Tanah Laut-Kotabaru Kalimantan Selatan. Bandung; Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL). p. (20-1) – (20-10).
Dearga, A., 2015, Lingkungan Pengendapan Formasi Warukin Bagian Atas Daerah Tutupan Utara & Paringin, Kabupaten Tabalong & Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan (Skripsi: in prep), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Diessel, C.F.K., 1992. Coal-bearing Depositional Systems. Springer Verlag. Berlin. 721 p.
Horne, J.C., Ferm, J.C., Caruccio, F.T., Baganz, B.P., 1978. Depositional Models in Coal Exploration and Mine Planning in Appalachian Region; In American Association of Petroleum Geologists Bulletin, 62 (12). p. 2379-2411.
Kusuma, I., Darin, T., 1989. The Hydrocarbon Potential of the Lower Tanjung Formation, Barito Basin, Kalimantan Selatan, in Proceedings of IPA 18th, Annual Convention, p. 107-138.
Lamberson, M.N., Bustin, R.M., Kalkreuth, W. 1991. Lithotype (maceral) composition and variation as correlated with paleowetland environments, Gates Formations, Northeastern British Columbia. Canada; International Journal of Coal Geology 18. p. 87–124.
Patra Nusa Data, 2006. Indonesia Basins Summaries, Jakarta: PT. Patra Nusa Data, The Gateway to Petroleum Invesment In Indonesia. 466 p.
Satyana, A.H., Silitonga, P.D., 1994. Tectonic reversal in East Barito Basin, South Kalimantan: consideration of the types of inversion structures and petroleum system significance: in Proceedings of the IPA 23rd Annual Convention. p. 57-74.
Sukandarrumidi., 1995. Batubara dan Gambu. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 150 p.
Teichmüller, M., Teichmüller, R., 1982. Fundamental of coal petrology. In:Stach E, Mackowsky, M-T., Teichmüller, M., Taylor, G.H., Chandra, D., Teichmüller, R., (eds) Stach’s textbook of coal petrology, 3rd edition. Gebrüder Borntraeger. Berlin, 535p.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
589
TABEL Tabel 1. Komposisi petrografi sampel batubara daerah penelitian
Tabel 2. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian
No. Nomor Sampel Nilai TPI Nilai GI
1.
2.
3.
4.
P1 Coal
P4 Coal
P5 Coal
P6 1/1 Coal
8,87
8,92
3,5
14
3,56
4,03
4,66
4,6
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
590
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
P6 1/2 Coal
P6 2/1 Coal
P6 2/2 Coal
P6 2/3 Coal
P9 Coal
P10 Coal
P11 Coal
10,32
5,82
3,72
8,78
3,63
-
3,79
10,55
3,74
4,42
3,77
5,45
18,64
4,38
Tabel 3. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian
No. Nomor Sampel Nilai GWI Nilai VI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
P1 Coal
P4 Coal
P5 Coal
P6 1/1 Coal
P6 1/2 Coal
P6 2/1 Coal
P6 2/2 Coal
P6 2/3 Coal
P9 Coal
P10 Coal
P11 Coal
0,033
0,042
0,032
0,050
0,013
0,027
0,141
0,063
0,003
0,027
0,028
3,160
6,413
2,537
6,367
4,691
4,477
3,815
5,739
3,232
1,595
2,651
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
591
GAMBAR
Gambar 1. Kolom stratigrafi daerah penelitian (Dearga, 2015 dengan modifikasi).
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
592
Gambar 2. Perbandingan model lingkungan pengendapan transisi lower delta plain dan upper delta
plain menurut Horne dkk (1978) dengan stratigrafi daerah penelitian. (A) Pola menghalus ke atas; (B)
Pola mengkasar ke atas.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
593
Gambar 3. Hasil plot nilai TPI dan GI sampel batubara daerah penelitian (Lamberson dkk, 1991
dengan modifikasi)
Gambar 4. Hasil plot nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian (Calder dkk, 1991 dengan
modifikasi)