Lepra Rokhmatul
-
Upload
putri-kartika -
Category
Documents
-
view
6 -
download
2
Transcript of Lepra Rokhmatul
Peranan Imunoterapi
Selain keberadaan sekelompok kecil organisme yang viabel (“persister”) setelah terapi,
masalah adanya sejumlah besar basil yang mati juga seringkali ditemukan. Imunomodulator
yang dapat menstimulasi CMI telah diaplikasikan untuk mengurangi kelompok ini. Agen-agen
tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori besar:
1. Obat seperti levamisole dan zinc
2. Mycobacteria yang secara antigen berhubungan, seperti BCG, basil ICRC, BCG plus
M.leprae yang telah dimatikan, Mycobacterium w (Mw), dan M. vaccae
3. Imunomodulator lain, seperti faktor transfer, interferon rekombinan γ (IFNγ), dan interleukin-2
Efek sementara yang diinduksi oleh faktor transfer antara lain adalah konversi lepromin,
formasi granuloma, dan peningkatan influx limfosit secara lokal [44]. Administrasi intralesi dari
IFNγ pada pasien lepra memicu akumulasi limfosit dan monosit pada tempat lokal injeksi.
Terdapat perbedaan yang jauh antara indeks basiler pada tempat lokal, dengan pembentukan
granuloma epiteloid dan terjadinya reaksi konversi pada beberapa kasus. Telah dilaporkan
adanya peningkatan klirens bakteri dengan IFNγ [45]. Administrasi interleukin-2 juga
meningkatkan klirens bakteri. Bagaimanapun, efek ini hanya terlihat pada tempat lokal [46].
Sehubungan dengan pengembangan vaksin untuk lepra, ledakan informasi genomik
yang revolusioner baik dari patogen (M.leprae) dan host alaminya (manusia dan armadillo).
Kloning gen dan ekspresi protein rekombinan dapat digunakan untuk karakterisasi imunologis
subsequent dan uji efektivitas vaksin dari antigen prioritas-tinggi. Vaksin yang poten memiliki
kelebihan berupa produksi memori imunologis yang berumur-panjang, yang dapat memblok
paparan yang multipel selama kehidupan host. Vaksin dapat sangat berguna untuk membawa
kita ke eradikasi penyakit. Berikut ini adalah riset yang sedang berjalan [47].
1. Protein yang dibuat dari M.leprae yang berasal dari armadillo telah diteliti menggunakan
polyacrylamide gel electrophoresis dua-dimensi. Terdapat 391 protein yang berhubungan
dengan sel. Protein-protein tersebut dapat meliputi aktivitas yang terlibat dalam virulensi atau
dapat menjadi imunogenik selama berbagai tahapan infeksi.
2. Uji efektivitas vaksin pada armadillo juga memungkinkan pemeriksaan efektivitas di antara
berbagai spektrum penyakit, karena armadillo memiliki karakteristik pertumbuhan bakteri dan
ciri histopatologis yang mirip dengan yang terlihat pada manusia yang terinfeksi M.leprae.
Dapatkan Kita Berharap untuk Mengeliminasi Lepra?
Definisi Istilah
Prinsip eliminasi dan eradikasi penyakit telah dideskripsikan dengan jelas oleh Dowdle
dalam Buletin WHO pada 1998 [48]. Kontrol penyakit didefinisikan sebagai reduksi insiden,
prevalensi, morbiditas, atau mortalitas penyakit menjadi level yang dapat diterima secara lokal
sebagai hasil dari usaha yang dilakukan; diperlukan intervensi yang berkelanjutan untuk
mempertahankan reduksi tersebut.
Eliminasi penyakit didefinisikan sebagai pengurangan insiden suatu penyakit spesifik
hingga nol pada area geografis tertentu sebagai hasil dari usaha yang dilakukan; diperlukan
intervensi yang berkelanjutan. Serupa dengan definisi tersebut, eliminasi infeksi didefinisikan
sebagai pengurangan insiden hingga nol dari suatu infeksi yang disebabkan oleh agen spesifik
pada area geografis tertentu sebagai hasil dari usaha yang dilakukan, diperlukan intervensi
yang berkelanjutan untuk mencegah terjadinya transmisi kembali.
Eradikasi adalah reduksi insiden infeksi yang disebabkan oleh agen tertentu hingga nol
di seluruh dunia sebagai hasil dari usaha yang dilakukan; tidak lagi diperlukan intervensi.
Extinction didefinisikan sebagai kepunahan suatu agen infeksius spesifik baik di alam
maupun di laboratorium [49].
Milestones pada Eliminasi Lepra
Pada lepra, WHO membatasi eliminasi untuk kontrol dibandingkan transmisi, dan
mengunakan prevalensi dibandingkan insiden [50]. Eliminasi lepra didefinisikan sebagai
penurunan prevalensi global hingga kurang dari 1 per 10.000. World Health Assembly yang ke-
44 pada tahun 1991 mengeluarkan suatu resolusi untuk “mengeliminasi lepra sebagai problem
kesehatan publik” pada tahun 2000. Pada tahun 2000, WHO mengumumkan bahwa eliminasi
telah dicapai secara global, yaitu prevalensi dunia sebesar kurang dari 600.000 pasien lepra.
Pada 2005, suatu rencana strategis untuk eliminasi lepra diperkenalkan. Pada akhir 2005,
semua negara melaporkan prevalensi sebesar kurang dari 1 per 10.000, kecuali 6 negara, yaitu
Brazil, Kongo, Madagaskar, Mozambik, Nepal, dan Tanzania. Selama periode 2006-2010, WHO
memperkenalkan “Strategi Global untuk Mengurangi Beban Lepra dan Mempertahankan
Aktivitas Kontrol Lepra” untuk mengatasi tantangan-tantangan yang masih ada dalam
memberikan pelayanan bagi pasien lepra pada kondisi prevalensi yang rendah.
Pengaruh MDT pada Tren Transmisi
DIasumsikan bahwa MDT dapat mengurangi transmisi M.leprae melalui reduksi jumlah
individu yang dapat menularkan pada komunitas, namun sayangnya tidak ada bukti yang
meyakinkan untuk hipotesis ini [51-54]. Terdapat dua studi berskala besar tentang analisis tren
yang tersedia untuk menginterpretasi pengaruh MDT secara global [51,55]. Pada studi pertama
yang dipublikasikan oleh Meima pada 1997, disimpulkan bahwa masuk akal bahwa faktor-faktor
seperti deteksi kasus dan terap dapat mengurangi transmisi lepra, namun kenyataannya
mungkin lebih rumit. Individu yang menderita penyakit ini mungkin telah memiliki banyak
bakteri, dan mungkin individu tersebut telah mentransmisikan M.leprae kepada orang lain jauh
sebelum onset penyakit terjadi. Yang menarik, akselerasi tren penurunan secara umum pada
NCDR setelah pengenalan MDT belum terjadi. Pada studi yang terbaru, penulis yang sama
menyebutkan bahwa belum ada penurunan secara umum dalam deteksi kasus pada level
global hingga 2000.
Belum ada tes yang sesuai untuk mendeteksi infeksi mycobacteria yang subklinis,
termasuk M.leprae. Penilaian hasil dari kontrol lepra bergantung pada informasi tentang
penyakit dan bukan infeksinya. Statistik penyakit diekspresikan dalam bentuk prevalensi dan
deteksi kasus baru. Prevalensi penyakit lepra dihitung dengan cara menghitung semua pasien
yang menerima terapi MDT dalam suatu waktu tertentu dan mengekspresikannya dalam bentuk
rasio dengan menggunakan populasi sebagai denominator (pada lepra, per 10.000). Sehingga,
angkanya berhubungan dengan lama terapi. Karena durasi terapi berkurang dari 24 menjadi 12
bulan, prevalensi juga menurun sebesar 50% [50].
Untuk kelompok PB, terdapat kemungkinan bahwa ada pasien yang terlewatkan, karena
hanya pasien hingga tanggal 31 Desember yang dimasukkan. Sehingga, pasien-pasien yang
menyelesaikan pengobatan pada pertengahan pertama tahun mungkin tidak termasuk dalam
perhitungan [50].
Skenario India
Deteksi kasus lepra baru pada tahun 2007 dan jumlah kasus yang baru-baru ini
terdeteksi:
Di India, ditemukan bahwa NCDR menurun sebesar 75% dari 559.938 pada tahun 2000
menjadi 139.252 pada tahun 2006. Faktor yang mungkin berpengaruh antara lain pengaruh
operasional dan vaksinasi BCG. Efektivitas protektif terhadap lepra berkisar antara 24% hingga
34% dalam suatu uji kontrol acak di India [56]. Dalam waktu yang sama, proporsi kasus baru
dengan disabilitas WHO grade-2 meningkat sebesar 38%, yaitu dari 1,6% menjadi 2,2% antara
tahun 2004 hingga 2007. Situasi ini perlu diwaspadai [54].
Penurunan transmisi insiden lepra (misal onset penyakit) mungkin berkaitan dengan
beberapa faktor [57-59].
Periode di mana M.leprae ditransmisikan, yang dapat dikurangi melalui deteksi
dini kasus dan kemoterapi.
Vaksinasi BCG, yang tidak hanya berfungsi sebagai pencegah tuberculosis,
namun juga dapat memberikan proteksi terhadap lepra.
Peningkatan kondisi sosioekonomi, misalnya kondisi perumahan, jumlah orang
per rumahtangga per kamar, jumlah anggota keluarga, dan faktor nutrisi.
Pelajaran yang Dapat Diambil
Asumsi bahwa deteksi kasus dan terapi akan mengurangi transmisi lepra adalah asumsi
yang masuk akal, namun kenyataannya mungkin lebih rumit. Individu yang menderita penyakit
ini mungkin telah memiliki banyak basil, dan individu ini mungkin telah mentransmisikan
M.leprae kepada orang lain jauh sebelum onset penyakit, mengingat waktu inkubasinya yang
lama. Transmisi semacam ini dapat dicegah dengan deteksi dini dan terapi.
Masalah kedua adalah penundaan antara onset penyakit dengan deteksi. Lepra adalah
penyakit yang diam sehingga mungkin terjadi penundaan yang cukup bermakna sebelum
pasien mencari pengobatan. Penundaan deteksi rata-rata melebihi 2 tahun menurut suatu studi
di Etiopia [60]. Dimungkinkan bahwa orang yang memiliki kontak dekat dengan penderita lepra
dapat dengan cepat terinfeksi [60]. Faktor lain yang dapat membatasi pengaruh kontrol adalah
terbawanya infeksi pada hidung, persistensi M.leprae pada tanah dan bahkan pada reservoir
binatang [61].
Di bawah ini merupakan statistik situasi lepra global pada awal 2008 di Asia Tenggara
[62].
Tingkat kesembuhan (%) untuk PB dan MB tidak diketahui.
Statistik Global Lepra-Kekeliruan
Statistik lepra memiliki beberapa permasalahan pengawasan karena adanya beberapa
alasan berikut [63]
1. Terdapat permasalahan dalam diagnosis dan klasifikasi penyakit di lapangan meskipun telah
ada program yang bagus.
2. Permasalahan stigma dan kerahasiaan, yang mempengaruhi praktik pelaporan dan data
resmi.
3. Terdapat beberapa perubahan operasional dalam beberapa tahun terakhir di banyak negara.
4. Seringkali terdapat penundaan pelaporan kasus di beberapa negara.
5. Statistik hanya menekankan pada prevalensi, yang sulit untuk diinterpretasikan.
6. Tekanan politik yang berhubungan dengan prakarsa eliminasi, yang tampaknya
mempengaruhi cara pelaporan statistik.
Tren yang paling menonjol beberapa tahun terakhir ini adalah adanya penurunan di
India, yang melaporkan 137.685 kasus baru pada tahun 2007, dibandingkan dengan 559.938
pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi India terhadap beban lepra dunia telah
menurun dari 73% menjadi 54% dari kasus lepra yang baru terdeteksi di seluruh dunia pada
jangka waktu tersebut. Tidak jelas hingga sejauh apa penurunan ini mencerminkan perubahan
yang pasti.Selain itu, kriteria untuk kasus baru yang dihitung di India juga tidak jelas. Diragukan
bahwa kasus dengan lesi tunggal dihitung secara sistematis [64]. Tanpa informasi-informasi
tersebut, tren yang penting pada statistik India ini menjadi sulit untuk diinterpretasikan.
Statistik kasus relaps cukup menarik, karena potensi relevansinya dengan resistensi
obat. Tiga negara memberikan lebih dari 80% dari total 2.355 kasus relaps yang dilaporkan di
seluruh dunia. India melaporkan tidak ada kasus relaps. Jelas bahwa sebagian besar kasus
relaps di dunia tidak dilaporkan.
Sekali lagi, tingkat kesembuhan harus disubstitusi dengan tingkat penyelesaian
pengobatan, yang tidak tersedia di banyak negara, termasuk India. Secara keseluruhan,
statistik prevalensi global tidak dapat dibandingkan. Karena permasalahan ini, statistik tersebut
tidak terlalu berguna dalam memonitoring tren lepra global. WHO telah mengetahui masalah ini
dan Strategi Global saat ini (2005-2010) menekankan konsentrasi terhadap deteksi kasus baru
[65].
Analisis Skenario Tren Lepra Sampai Tahun 2020
Saat ini, diagnosis dan terapi lepra mudah, dan kebanyakan negara endemik berjuang
untuk sepenuhnya mengintegrasikan layanan bagi penderita lepra dalam pelayanan kesehatan
umum yang sudah ada. Hal ini khususnya penting untuk komunita-komunitas pinggiran dan
marginal yang berisiko terkena lepra. Komunitas tersebut seringkali adalah komunitas yang
paling miskin. Akses ke informasi, diagnosis, dan terapi dengan MDT tetap merupakan elemen
kunci dalam strategi untuk mengeliminasi penyakit lepra. Yang terbaru, negara-negara yang
sangat endemic telah mencapai eliminasi (didefinisikan sebagai tingkat prevalensi yang tercatat
<1 kasus/10.000 populasi). Bagaimanapun, pada beberapa area di Angola, Brazil, Republik
Afrika Tengah, Kongo, India, Madagaskar, Mozambik, Nepal, dan Tanzania, endemisitasnya
masih tinggi. Negara-negara tersebut berkomitmen untuk mengeliminasi penyakit ini dan terus
berusaha untuk mengintensifkan aktivitas kontrolnya (66).
Kebutuhan akan adanya sistem klasifikasi lepra yang diterima secara internasional telah
diketahui sejak beberapa saat yang lalu. Banyak klasifikasi yang telah diajukan, masing-masing
dengan kelebihan dan kekurangannya. Sudah merupakn waktu yang tepat untuk menentukan
definisi kasus secara klinis dan histologis beserta protokol bagi pasien yang disetujui bersama.
Tes diagnostik baru seperti tes yang berbasis sel T harus dimasukkan ke dalam klasifikasi dan
protokol yang baru.
Kontrol berbasis-MDT tampaknya dapat mengurangi transmisi. Tingkat reduksi masih
belum pasti, namun yang jelas rendah. BCG dapat mempercepat tingkat reduksi tersebut,
namun pengaruhnya juga masih belum pasti. Genom M.leprae saat ini dapat dieksplorasi
menggunakan analisis in silico untuk mengidentifikasi gen imuno-dominan baru yang dapat
digunakan untuk mengembangkan vaksin lepra baru. Area abu-abu dalam kontrol lepra adalah
peranan transmisi melalui kontak dekat, kecepatan transmisi, dan tingkat penyebaran selama
masa inkubasi. Riset mengenai hal tersebut penting untuk mempersempit ketidakpastian
menyangkut pengaruh kontrol berbasis-MDT. Terdapat beberapa regimen baru yang tersedia
untuk mengobati lepra, namun rifampicin masih dianggap sebagai inti dari pengobatan lepra.
Meskipun belum pernah dilaporkan adanya resistensi rifampicin yang terjadi dalam skala besar,
kita harus mewaspadai kemungkinan terjadinya hal tersebut di masa depan dan harus
memikirkan strategi alternatifnya.
Lebih dari 13 juta kasus telah terdeteksi dan diterapi dengan MDT selama tahun 1982
hingga 2002. Akan tetapi, masih banyak kasus baru yang terdeteksi tiap tahunnya dan proyeksi
beban lepra global di masa yang akan datang mengindikasikan bahwa setidaknya 5 juta kasus
baru akan muncul pada tahun 2000 hingga 2020 (tahun “eliminasi” lepra). Untuk mencapai
eliminasi lepra di masa yang akan datang, diperlukan intervensi yang efektif untuk memutus
transmisi M.leprae. Vaksinasi BCG tidak memberikan proteksi penuh dan dengan tidak adanya
vaksinasi spesifik lain terhadap basil ini, maka harus dikembangkan strategi lain, seperti
kemoprofilaksis untuk orang yang berisiko terinfeksi subklinis. Selain itu, kemungkinan lain
seperti reservoir non-manusia atau lingkungan juga harus dieksplorasi lebih jauh. Terdapat
sejumlah orang yang hidup dalam ancaman penurunan fungsi yang disebabkan oleh adanya
kecacatan yang berhubungan dengan lepra. Diperkirakan bahwa masih akan ada sekitar satu
juta kasus dengan deformitas WHO-grade-2 pada tahun 2020 [66]. Dengan keahlian yang
tersedia untuk mengintensifikasikan penelitian, kami terus mengantisipasi bahwa terapi yang
lebih efektif akan terus dikembangkan untuk mengatasi risiko NFI. Pencegahan deformitas tidak
membutuhkan teknologi yang canggih, namun membutuhkan pemikiran yang cerdas [67].
Jika eliminasi penyakit didefinisikan sebagai reduksi insiden hingga nol, yang jelas lepra
tidak tereliminasi. Kita membutuhkan teknologi berbasis-geom untuk mengatasi permasalahan
transmisi dan infeksi M.leprae yang belum terpecahkan [68].