LATAR BELAKANG KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA DARI ...
Transcript of LATAR BELAKANG KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA DARI ...
i
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN IMPOR
BERAS INDONESIA DARI THAILAND
PERIODE 2009-2011
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Nur Hamidah Wahid
NIM : 108083000082
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
v
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisis “Kebijakan Impor Beras Indonesia – Thailand Periode
2009-2011”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan mendasar
dan kepentingan Indonesia dalam import beras ke Thailand pada saat terjadinya
swasembada beras di Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan
wawancara. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan itu diimplementasikan
tidak hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, melainkan
juga karena ada unsur korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah dalam
menentukan kebijakan impor beras. Penulis menemukan bahwa, kebijakan
Indonesia dalam impor beras ke Thailand didasari dua faktor, internal berupa
menurunnya produksi beras nasional, meningkatnya konsumsi beras nasional
yang tidak sebanding dengan peningkatan ladang, dan perubahan sistem
perekonomian dari agrikultur ke manufaktur. Sementara eksternal berupa
pemanasan global dan membaiknya sistem agrikultur Thailand. Sikap pemerintah
yang cenderung berikap permisif dengan membiarkan Bulog untuk berhubungan
langsung dengan pihak Thailand karena adanya asumsi pemerintah bahwa dengan
sistem otonom yang diberikan akan mempermudah kinerja, sementara
keberlangsungan impor saat terjadi swasembada beras karena Indonesia sudah
kadung menandatangani surat kesepakatan dengan Thailand yang tunduk pada
ketentuan di pihak Thailand. Argumen ini dirumuskan melalui tahapan analisa,
yaitu dengan melihat kondisi domestik Indonesia dari opini masyarakat,
pemerintah yang berkuasa, serta dinamika hubungan bilateral dengan Thailand,
hingga dinamika implementasi program impor sebagai bahan untuk dianalisis
menggunakan kerangka pemikiran.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah Miroslav Nicnic
mengenai Kepentingan Nasional, Rosenau mengenai Kebijakan Luar Negeri, dan
Kedaulatan Pangan.
Kata kunci : Impor Beras, Bulog, Kebijakan Luar Negeri, Kepentingan
Nasional, Kedaulatan Pangan, Indonesia, Thailand
vi
KATA PENGANTAR
Sujud syukur atas segala karunia dan rahmat Allah SWT yang telah
memberikan penulis kesempatan, kekuatan, kesadaran serta kesabaran untuk bisa
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Kebijakan Impor Beras Indonesia
dari Thailand Periode 2009-2011” demi penyelesaian pendidikan tingkat
perguruan tinggi ini.
Selama proses pengerjaan skripsi, penulis banyak menghadapi kendala dan
juga rintangan. Namun, penulis mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Tanpa bantuan dan jasa dari pihak-pihak tersebut, penulis tidak akan
mampu bertahan sejauh ini dalam proses pendidikan maupun dalam pengerjaan
skripsi ini. Sehingga, dalam lembaran ini, penulis ingin mengucapkan rasa
terimakasih kepada mereka, agar jasanya dapat penulis kenang seumur hidup.
Dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ayahanda penulis, Drs. KH. A. Wahid Hasyim, MA dan Ibunda Penulis, Hj.
Siti salamah. Atas jasa, perjuangan, kasih sayang serta pembelajaran hidup
yang mereka berikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menjalani proses
pendidikan sepanjang ini dan menjadi pribadi yang lebih tangguh serta
mandiri dalam menjalani kehidupan di masa yang akan datang.
2. Kakak-kakak serta adik-adik penulis, Saefuddin Wahid, Siti Qomariyah
Wahid, Miftahuddin Wahid (Alm.), Fathurrahman Wahid dan Wardatul Ula
Wahid yang selalu mewarnai serta menemani hari-hari penulis selama di
vii
rumah. Semoga kita semua dapat menjadi anak-anak sholeh-sholehah yang
membanggakan orang tua kita, bermanfaat serta membahagiakan sekitar kita.
3. Ibu Rahmi Fitriyanti, M. Si selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang
dengan sabar membimbing dan memberikan arahan berharga kepada penulis
mengenai penyusunan skripsi yang baik serta wawasan lainnya. Terimakasih
atas waktunya dalam membimbing dan memberikan arahan-arahan kepada
saya bu, insya Allah saya akan terus menjalankan arahan, nasehat juga ilmu
dan wawasan yang sudah ibu berikan. Saya juga senantiasa berdoa semoga
ibu senantiasa sehat dan selalu dipermudah urusannya oleh Allah.
4. Bapak Armein Daulay, M. Si selaku dosen pembimbing akademik penulis
yang selalu membimbing, memberikan nasehat berharga, serta memberikan
informasi-informasi penting kepada penulis sejak pertama menduduki bangku
kuliah. Terimakasih banyak pak, tolong doakan kami anak-anak didik bapak
agar menjadi anak-anak sukses yang berguna bagi agama, nusa, bangsa
terutama bagi sekitar. Kami juga senantiasa berdoa agar bapak selalu berada
dalam lindungan dan ridho Allah SWT.
5. Dosen-dosen UIN Jakarta khususnya di jurusan HI yang telah banyak
memberikan penulis pelajaran berharga. Terutama kepada Ibu Rahmi, Ibu
Dina, Ibu Muthi’, Ibu Alay Najib, Pak Ayyub, Pak Nazar, Pak Kiki, Pak
Adian, Pak Agus, Pak Badrus dan Pak Afri, yang telah menginspirasi penulis
secara pribadi, dan merupakan dosen-dosen terbaik yang dapat membimbing
mahasiswanya dengan ramah, sabar, dan tepat.
viii
6. Muhammad Kholilur Rahman, terimakasih atas dukungan dan motivasinya
pada setiap langkah yang ada. Terimakasih juga atas upaya membuat hari-hari
saya lebih ceria dan berwarna. Semua menjadi penuh dengan senyum, canda
dan tawa, saat suka maupun duka. Semoga tercapai cita dan cinta yang kita
harapkan.
7. Sahabat-sahabat tercinta, kak Windhi Lestari, mpuk Qom, Uswatun Hasanah,
Nurul Husna, Imam Pasahhuri. Terimakasih telah mau berbagi suka dan duka.
semoga persahabatan kita selalu indah.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan, terutama di kelas HI B angkatan 2008, Nurul,
Hafiz, Hanifah, Didah, Amel, Neti, Rina, Fitri, Filly, Ika, Naila, Aya dan
teman-teman lainnya yang belum bisa disebutkan satu-satu. Terimakasih atas
cerita-cerita serta diskusi-diskusi hangat yang sudah kalian bagi. Semoga
selalu terjalin silaturahim yang erat diantara kita.
9. Ibu Tuti Laila Sari, yang telah banyak membantu penulis dalam
mengumpulkan referensi-referensi yang berharga dan berguna bagi
penyelesaian penulisan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat organisasi dari Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama
(IPPNU), Forum Komunikasi Da’i Muda Indonesia (FKDMI), Badan
Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Koperasi Bhakti
Pemuda (KOBHADA), Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 (LAKI 45), We Are
One Indonesia dan juga rekan-rekan seprofesi di Komitte Independent Jakarta
(KIJ) Event Organizer. Terimakasih atas kebersamaannya. Semoga selalu jaya
dan berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
ix
11. Sahabat-sahabat di Pendidikan Dasar Ulama (PDU) Majelis Ulama Indonesia
Jakarta Utara, terutama angkatan IV. Terimakasih telah mau berbagi ilmu dan
petuah-petuah indah dalam hidup. Semoga persahabatan kita selalu indah dan
berkah.
12. Seluruh staf akademik di jurusan HI UIN yang telah banyak membantu
penulis dalam pengurusan administrasi serta dokumen-dokumen lainnya.
Terutama untuk Pak Jajang yang selalu ramah menyapa dan sigap melayani
kebutuhan akademik para mahasiswa FISIP secara umum, dan penulis secara
khusus. Terimakasih banyak, Pak.
Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu yang telah memberikan dukungan moril
maupun materil. Penulis meminta maaf karena tidak mampu menyebutkan satu
per satu dalam lembaran ini. Namun penulis menghargai dukungan tersebut dan
mengucapkan terimakasih banyak.
Jakarta, September 2013
Penulis
x
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .............................................................................................. iv
KATAPENGANTAR ................................................................................ v
DAFTARISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A.Pernyataan Masalah ....................................................................... 1
B.Pertanyaan Penelitian ..................................................................... 6
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
D.Tinjauan Pustaka ............................................................................ 7
E.Kerangka Pemikiran ....................................................................... 10
1. Kebijakan Luar Negeri ............................................................. 11
2. Kepentingan Nasional .............................................................. 13
3. Food Security ............................................................................ 15
F.Metode Penelitian ........................................................................... 16
G.Sistematika Penulisan .................................................................... 18
BAB II KONDISI KEDAULATAN PANGAN DAN KEBIJAKAN IMPOR
BERAS INDONESIA
A. Kondisi Geografis Indonesia ........................................................ 20
1. Letak Geografis Indonesia ...................................................... 20
2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Indonesia .................... 21
B. Kondisi Pangan di Indonesia dan Kebijakan Impor beras dari Thailand
tahun 2009-2011
1. Produksi dan Konsumsi beras Indonesia tahun 2009-2011 .... 22
2. Jumlah Produksi dibandingkan dengan Kebutuhan Beras ... 25
3. Kebijakan Impor Beras Indonesia periode 2009-2011 ........... 30
4. Kritik Terhadap Kebijakan Impor Beras ................................ 36
BAB III SISTEM AGRARIA THAILAND DAN KERJASAMA
BILATERAL DENGAN INDONESIA PERIODE 2009-2011
A. Kondisi Geografis dan Pertanian Thailand
1. Kondisi Geografis Thailand ................................................... 42
2. Sistem Agraria Thailand ......................................................... 43
B. Hubungan Bilateral Thailand-Indonesia
1. Sejarah Hubungan Bilateral Thailand-Indonesia .................... 45
2. Sikap Thailand dalam Ekspor Beras ke Indonesia ................. 47
3. Kebijakan Impor sebagai Instrument Pengamanan dan Ketentuan
World Trade Organization
1. Penggolongan Jenis Kebijakan Tata Niaga Impor ............. 51
2. Komitmen RI tentang Akses Pasar Barang di WTO ......... 52
3. Perijinan Impor Otomatis ................................................... 53
4. Pemberian Ijin Impor Non-automatic Import Licensing ... 55
xi
BAB IV ANALISA KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA DARI
THAILAND PADA 2009-2011
A. Faktor Internal
1. Menurunnya Produksi Beras ................................................ 58
2. Meningkatnya Faktor Konsumsi Beras Masyarakat ............. 58
3. Perubahan Konsentrasi Ekonomi dari Basis Agrikultural ke
Industri .................................................................................. 59
B. Faktor Eksternal
1. PerubahanIklim ....................................................................... 59
2. Baiknya Sistem Agrikultural di Thailand ............................... 61
Indikasi Korupsi dalam Impor Beras Indonesia ke Thailand Periode
20092011 .................................................................................... 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 67
B. Saran ................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ xii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Table II.B.1 Data Jumlah Penduduk dan Produksi Beras di Indonesia................28
Table II.B.1 Data Harga Dasar Pembelian Pemerintah Gabah dan Beras………29
Table III.A.1 Presentase tanah subur di kawasan ASEAN……………………..46
xiii
DAFTAR SINGKATAN
APEC Asia Pacific Economic Conference
ASEAN Association of Southeast Asian Nastion
BULOG Badan Urusan Logistik
CIA Central Intelligent America
DTI Ketua Dewan Tani Indonesia
HKTI Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
Kemendag Kementerian Perdagangan
Kemenkeu Kementerian Keuangan
K3LM Kesehatan Keselamatan, Keamanan, Lingkungan Hidup dan Moral
Bangsa
NAIL Non-automatic Import Licensing
NTB non-tariff import barriers
PPFS Policy Partnership on Food Security
QR Quantitive Restriction
REPELITA Rencana Pembangunan Lima Tahunan
WTO World Trade Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup
dari hasil bercocok tanam atau bertani. Padi merupakan produk pertanian berupa
tanaman asli negara-negara Asia termasuk juga Indonesia. Selain itu sebagian
besar masyarakat Indonesia percaya, bahwa padi adalah anugerah dari Yang Maha
Pencipta sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan umat manusia.1
Masyarakat Indonesia merupakan pengkonsumsi beras terbesar kedua di
dunia setelah Vietnam. Kebutuhan yang dikonsumsi per tahun mencapai 33,5 juta
ton dan terus meningkat. Dari sisi konsumsi beras perkapitanya, Vietnam
mengkonsumsi beras per kapitanya 200-an kg per-tahun, Indonesia 130 kg per-
tahun, Malaysia 80 kg, dan Thailand 70 kg.2
Produksi pertanian padi di Indonesia selalu mengalami pasang surut. Pada
pemerintah Orde Baru (Orba), stabilitas ekonomi makro, khususnya inflasi
menjadi inti pembangunan ekonomi. Harga beras berperan besar dalam penentuan
tingkat inflasi, sehingga harga beras dikendalikan untuk tujuan menstabilkan
harga umum. Pemerintah memberikan hak monopoli impor beras kepada Badan
Urusan Logistik (BULOG), guna menstabilkan harga beras dalam negeri.
1 BALITPA (Balai Penelitian Padi), Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi
dan Kesejahteraan Petani, Sukamandi :Badan Litbang Pertanian, 157. 2 Tersedia di www.antaranews.com, diakses pada 10 November 2014.
2
Pada masa awal hingga pertengahan orba, yakni antara periode 1970 –
1980an, produksi beras di Indonesia cukup bagus, bahkan tahun 1984 mengalami
swasembada beras. Kondisi ini terjadi karena kinerja pemerintah yang sinergis
dengan berbagai pihak seperti produsen padi, distribusi padi dan konsumen beras,
sehingga distribusi beras dari hulu ke hilir menjadi sistematis.3
Kondisi itu juga ditopang dengan kebijakan makro Soeharto yang
menjadikan pembangunan dalam bidang pertanian sebagai prioritas utama dalam
program Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Ia berpandangan
bahwa dengan semakin membaiknya pembangunan di bidang pertanian,
diharapkan dapat diikuti dengan semakin baiknya ketahanan pangan di Indonesia.
Ketersediaan pangan yang cukup juga akan mendukung terciptanya
ketahanan pangan yang baik. Sementara ketahanan pangan yang baik merupakan
modal utama untuk mewujudkan sebuah stabilitas dan ketahanan negara-negara
yang baik pula.4
Dalam sebuah pidato Kenegaraan Presiden RI, 16 Agustus 1988, Soeharto
mengatakan dalam “Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1983, bahwa prioritas
permbangunan diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat
pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan
produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri
dalam negeri serta meningkatkan ekspor, pendapatan petani, memperluas
kesempatan kerja, serta mendorong pemerataan kesempatan usaha”.
3 Beddu Amang, dkk. 1999, “Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Jakarta: IPB Press, 159.
4 Beddu Amang, dkk. 1999, “Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Jakarta: IPB Press, 25.
3
Kerjasama yang sinergis, baik di tataran grass root, pemangku kebijakan,
bahkan hingga dukungan presiden yang cukup besar menjadi salah satu dari tiga
alasan suksesnya Indonesia meraih kondisi swasembada beras dalam rentan waktu
yang cukup lama.
Sejak tahun 1990, kondisi berubah dan memaksa pemerintah untuk
menerima kenyataan bahwa Indonesia harus melakukan impor beras. Alasan
dilakukannya impor adalah bahwa produksi beras dalam negeri tidak mampu
mengejar laju pertumbuhan permintaan beras dalam negeri, seiring dengan
pertambahan penduduk, dan juga banyak faktor lain termasuk harga beras dari
luar yang lebih murah dan berkualitas.
Salah satu kejadian yang cukup remarkable sekaligus menjadi salah satu
bukti bahwa Indonesia tidak lagi swasembada dan bahkan harus melakukan
import adalah adanya peristiwa ketika IPTN menukar dua pesawat CN-235
senilai 34 juta dolar AS ditukar dengan beras ketan dari Thailand.5
Hal tersebut sesuai dengan fakta yang dipaparkan oleh Food Agriculture
Organization (FAO) yang menyatakan bahwa kenaikan produksi bahan makanan
di negara-negara berkembang hanya bertambah 1% pertahun, ini berbanding jauh
dengan perkembangan penduduk yang menyentuh hingga 4% pertahun. Kondisi
ini tentu berpengaruh besar terhadap supply-demand jenis komoditi ini.6
Tahun 1996 kemudian menjadi salah satu titik tersuram dalam persoalan
agricultural di Indonesia khususnya dalam masalah beras. Hal ini sejalan dengan
semakin lesunya sistem perekonomian negara baik yang makro maupun yang
5Tersedia di situs resmi www.library.ohiou.edu, diakses pada tanggal 14 November 2014.
6 Sinar Harapan, 21 November 1972.
4
mikro. Banyak sektor keuangan dan sektor riil yang tutup, terutama sektor
perbankan dan konstruksi. Tingkat pengangguran tiba-tiba bertambah, serta harga
barang sulit dikontrol, termasuk harga pangan dan harga beras khususnya.
Memasuki tahun berikutnya, kondisi itu semakin memburuk dengan
terjadinya krisis moneter yang membawa nilai tukar Rupiah terhadap Dollar
Amerika melemah hingga menyentuh Rp.14.000 perdolar dari yang sebelumnya
yaitu Rp.2.800.7 Krisis yang bermula dari Thailand ini juga yang menjadi salah
satu penyebab terjadinya krisis yang lain seperti sosial dan politik hingga
mengantarkan Indonesia ke masa Reformasi seperti saat ini.
Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan yang terjadi di negara
tetangga, Thailand. Pada pertengahan tahun 2000-an, Thailand bahkan telah
mampu mengatasi krisis, dan mengalami berbagai perkembangan pesat dalam
proses pemulihan ekonominya. Pemerintah Thailand tidak pernah lagi menarik
dana kepada IMF sejak Juni 1999.8
Keberhasilan Thailand memulihkan perekonomiannya didukung oleh
berbagai faktor, termasuk penguatan pangan, produktivitas pertanian (terutama
beras) serta peningkatan volume ekspor beras ke negara-negara lain9.
Thailand merupakan salah satu negara pengekspor beras terbesar di dunia,
sementara Indonesia merupakan negara pengimpor beras. Berdasarkan data, harga
produksi rata-rata gabah atau beras antara Indonesia dan Thailand tidak terlalu
7 http://www.oanda.com/convert/fxhistory , diakses pada 10 June 2015
8 Tri Andrianto, Pengaruh Letter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan
Pangan Indonesia, 1995-2009, 63. 9 Tri Andrianto, Pengaruh Letter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan
Pangan Indonesia, 1995-2009, 63.
5
berbeda jauh sekitar 100 US Dollar per ton. Namun harga beras di pasaran antara
Thailand dan Indonesia cukup berbeda jauh.
Harga beras di Indonesia sampai awal tahun 2004 berkisar antara Rp.
2.750, 00 – Rp. 3.000, 00. Harga beras di Thailand pada tahun 2004 lebih murah
dibandingkan itu. Hal ini dapat menunjukkan bahwa permasalahan yang terjadi
tidak hanya pada skala produksi, namun juga terdapat pada rantai distribusi beras
tersebut dapat sampai pada konsumen.10
Periode 2009-2011 merupakan periode yang sangat menegangkan dalam
perpolitikan Thailand, namun tidak dengan ekonominya. Pada 2008, Thailand
menjadi eksportir beras terbesar di dunia akibat beberapa negara pengekspor beras
seperti India, Vietnam dan China menghentikan kegiatan ekspor beras mereka
karena kasus bencana alam dan kekurangan pangan yang terjadi di negara-negara
tersebut.11
Sebagai anggota dalam organisasi regional Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN), Indonesia dan Thailand juga melakukan kerjasama untuk
saling bantu dan mendukung kebutuhan negara masing-masing. Sayangnya,
kebijakan pemerintah Thailand pada 2008 justru telah menghancurkan pasaran
beras dunia, karena menjual beras Thailand dengan harga yang sangat murah.
Pada tahun 2009-2011, Thailand justru telah menaikkan harga berasnya,
hingga lebih mahal dari harga beras lokal Indonesia. Meski demikian, Indonesia
tetap mengimpor beras dari Thailand yang terbilang lebih mahal dari harga beras
di Indonesia. Hal ini sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
10
Tersedia di www.analisadaily.com, diakses pada tanggal 23 September 2014. 11
Tersedia di www.bbc.co.uk, diakses pada tanggal 10 November 2014.
6
2008, yang menyatakan bahwa produksi beras nasional selalu surplus. Namun,
setelah 2008 hingga 2011, Impor beras terus dilakukan.12
Dengan adanya fakta di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian
lebih lanjut dengan judul “Kebijakan Impor Beras Indonesia dari Thailand
Periode 2009-2011”.
Hal yang menarik minat penulis dalam mengangkat permasalahan ini,
selain Thailand yang memiliki letak geografis yang dekat dengan Indonesia, juga
karena Impor beras pada tahun 2009-2011 menjadi polemik. Karena dalam data
BPS, Indonesia sedang mengalami peningkatan produksi padi, tetapi tetap
melakukan impor beras dalam jumlah yang cukup banyak, dan diantara yang
terbanyak berasal dari Thailand.
B. Pertanyaan Penelitian
Dari pernyataan masalah di atas, maka penulis mengajukan satu rumusan
masalah, yaitu: “Mengapa Indonesia Melaksanakan Kebijakan Impor Beras dari
Thailand Saat Terjadi Peningkatan Produksi Padi dalam negeri Periode 2009-
2011?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui kebijakan impor beras Thailand oleh Indonesia
pada tahun 2009-2011.
12
Dokumen Indikator Perekonomian, BPS & Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi,
2012, 19
7
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi kerjasama
Indonesia-Thailand dalam masalah impor beras pada tahun 2009-
2011.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Menjadikan penelitian ini bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi
penulis dalam menambah pengetahuan serta wawasan berfikir
mengenai kebijakan liberalisasi pangan di Indonesia.
2) Hasil Penelitian ini diharapkan menjadi satu masukan yang berguna
bagi pemerintah dalam mengevaluasi Kebijakan Liberalisasi Pangan
Indonesia, khususnya dalam masalah impor beras yang berdampak
pada petani.
3) Bagi Civitas Akademika, hasil penelitian diharapkan menjadi
sumbangsih pemikiran agar dapat digunakan sebagai salah satu bahan
rujukan dan perbandingan dengan berbagai tulisan lain dalam Ilmu
Hubungan Internasional mengenai faktor-faktor yang
melatarbelakangi kerjasama Indonesia-Thailand dalam masalah impor
beras pada tahun 2009-2011.
D. Tinjauan Pustaka
Kebijakan impor beras dari Thailand bukanlah merupakan suatu hal yang
baru, bahkan kebijakan impor beras sudah menjadi satu topik yang sering
menimbulkan kontroversi (pro-kontra) dari banyak pihak, namun hal ini jarang
sekali menjadi sorotan para peneliti dalam menganalisa kasus tersebut.
8
Penulis menemukan beberapa penelitian yang berkaitan, diantaranya
penelitian Tia Vinita, tesis berjudul“ Implikasi Letter of Intent IMF dalam
Kebijakan Impor Beras Indonesia (2004-2010)”, Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Indonesia, 2012. Penelitian Kualitatif dengan deskriptif analitis. Teori
yang digunakan adalah Neoliberalisme dan Otonomi Negara. Hasil penelitian
memaparkan terdapat tiga implikasi Loi IMF yang masih dirasakan sampai saat
ini yaitu terbukanya pasar beras dalam negeri, privatisasi BULOG, dan hilangnya
subsidi KLBI.13
Penelitian Tri Andrianto, dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh
Letter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Kedaulatan Pangan Indonesia”,
1995-2009”, Jurusan Hubungan Internasional, FISIP UI, 2012.
Dalam skripsinya, Tri Andrianto mengambil judul yang hampir sama
dengan tesis Tia Vinita yang berjudul“ Implikasi Letter of Intent IMF dalam
Kebijakan Impor Beras Indonesia (2004-2010)” di atas. Perbedaanya adalah
skripsi Andrianto meneliti Pelemahan Kedaulatan pangan komoditas Indonesia
akibat implementasi dari Letter of Intent IMF periode 1995-2009.
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa Indonesia mengalami pelemahan kedaulatan
pangan beras, serta akses terhadap beras dari segi ketersediaan diukur dari
perbandingan jumlah konsumsi per tahun dengan stok yang tersedia.
Stabilitas pasokan diukur dari perbandingan volume beras domestik dan
beras impor, sedangkan akses diukur dari harga eceran beras setiap tahun,
13
Tia Vinita, Implikasi Liter of Intent IMF dalam Kebijakan Impor Beras Indonesia
(2004-2010), tesis, FISIP UI, 2012, 7.
9
stabilitas menunjukkan angka impor beras yang fluktuatif dan cenderung naik dan
akses menunjukkan harga eceran beras yang terus naik setiap tahunnya.14
Kemudian penelitian Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, dalam
disertasinya yang berjudul “Analisis Dampak Perdagangan Bebas Asean
Terhadap Pengembangan Komoditas Pangan Utama Indonesia”, di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012, Saktyanu Kristyantoadi menggunakan
metode deskriptif kualitatif dan Model Analisis Perdagangan Global (Global
Trade Analysis Project/GTAP Modeling).15
Menurut Saktyanu, hasil analisis dampak perdagangan bebas ASEAN
terhadap pengembangan produk pangan Indonesia menunjukkan hanya produksi
(output) padi saja yang mengalami penurunan (negatif) sehingga memerlukan
dukungan kebijakan pengembangan pertanian padi.16
Tidak jauh berbeda dari penelitian sebelumnya, penelitian Dian Eko
Prasetyo, dalam skripsinya berjudul “Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi
impor beras di Indonesia”, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Surabaya
tahun 2011.
Dengan menggunakan Teori Perdagangan Internasional Teorema
Hecksher – Ohlim(H – O). Prasetyo dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras Indonesia diantaranya: produksi
beras, harga beras, kurs rupiah terhadap dollar, dan jumlah penduduk.Hal-hal
14
Tri Andrianto Pengaruh Litter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan
Pangan Indonesia, 1995-2009, Skripsi, FISIP UI, 2012, 4. 15
Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, Analisis Dampak Perdagangan Bebas Asean
Terhadap Pengembangan Komoditas Pangan Utama Indonesia, Disertasi, UGM, 2012, 17. 16
Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, Analisis Dampak Perdagangan Bebas Asean
Terhadap Pengembangan Komoditas Pangan Utama Indonesia, Disertasi, 84.
10
tersebut sangat berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan impor beras
dan yang paling berpengaruh adalah fluktuasi harga beras.17
Penelitian yang dilakukan oleh penulis tentu berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya. Penulis mencoba menemukan faktor-faktor apa yang
melatarbelakangi kebijakan impor beras Thailand oleh Indonesia pada tahun
2009-2011, dimana pada periode tersebut harga beras Thailand lebih mahal dari
harga beras petani lokal (Indonesia), Namun Indonesia tetap saja melakukan
impor dengan volume yang cukup besar.
Perbedaan lainnya adalah penulis menggunakan dengan metode deskriptif
kualitatif. Dalam hal ini, penulis mencoba melakukan analisa dengan
menggunakan beberapa teori dan konsep, diantaranya, national interest, food
securty dan kebijakan luar negeri yang diharapkan dapat menjelaskan adanya
faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijakan impor beras Thailand oleh
Indonesia pada tahun 2009-2011.
E. Kerangka Pemikiran
Guna menganalisa pertanyaan penelitian di atas, penulis menggunakan
teori Kepentingan Nasional, Kebijakan Luar Negeri, dan Kedaulatan Pangan.
Kepentingan nasional digunakan untuk menjelaskan dan memetak secara
sistematis dinamika domestik Indonesia dari berbagai sisi seperti sosial, ekonomi
dan budaya, yang kemudian berakomulasi menjadi kepentingan nasional.
Kebijakan Luar Negeri digunakan untuk menjelaskan dinamika kebijakan
yang diambil oleh pemerintah Indonesia, berikut strategi yang digunakan, hingga
17
Dian Eko Prasetyo, Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras di
Indonesia”, UPN Surabaya, 2011, 87.
11
kemudian mengerucut pada alasan kebijakan tersebut diimplementasikan.
Sementara Food Security, akan berfokus pada penjelasan mengenai pangan di
Indonesia berikut pasang surut yang terjadi dalam rentan waktu antara 2009-2011.
1. Teori Kebijakan Luar Negeri
Setiap negara memiliki kepentingan nasional yang ingin dicapai.
Kepentingan tersebut dilaksanakan dengan melakukan interaksi dengan negara
ataupun aktor lain dalam politik internasional. Rumusan kepentingan nasional
serta tujuan bersama suatu negara diformulasikan ke dalam kebijakan luar negeri.
Setiap negara dan setiap periode pemerintahan negara memiliki rumusan
kebijakan luar negeri yang berbeda, tergantung pada situasi ataupun kondisi
domestik maupun internasional yang sedang terjadi. Berikut definisi kebijakan
luar negeri menurut beberapa ilmuan.
Kebijakan luar negeri menurut Rossenau (1974) merupakan tindakan
otoritatif yang diambil oleh pemerintah baik untuk menjaga aspek yang
diinginkannya dari lingkungan internasional, maupun mengubah aspek yang tidak
diinginkan.
Kebijakan luar negeri dibuat bedasarkan kalkulasi dan orientasi atas tujuan
yang akan dicapai. Bentuk kebijakan luar negeri dapat berupa hubungan
diplomatik, mengeluarkan doktrin, membuat aliansi, mencanangkan tujuan jangka
panjang maupun jangka pendek.18
Kebijakan luar negeri dapat dikatakan sebagai strategi atau rencana
tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi
18
Hara Abubakar Eby,.Analisis Politik Luar Negeri., 2011, Bandung: Nuansa, 13.
12
negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk
mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi
kepentingan nasional.
Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya itu, Negara-negara maupun
aktor dari Negara tersebut melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya
adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional, dan multilateral.19
Pada titik ini dapat disimpulkan, bahwasannya kebijakan luar negeri suatu
negara ditujukan untuk memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara.
Adapun aksi yang dilakukan adalah dengan melaksanakan kerjasama-kerjasama
internasional guna mencapai kepentingan nasional.
Pada dasarnya suatu negara akan tergantung pada negara lainnya dalam
pemenuhan kepentingan nasional, karena negara juga merupakan cerminan dari
masyarakat sosial yang ada di dalamnya. Mereka tentu membutuhkan masyarakat
lain untuk bisa saling melengkapi kebutuhan-kebutuhan sosialnya.
Howard Lentner mendefinisikan kebijakan luar negeri setidaknya harus
mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan yaitu, Penentuan tujuan yang
hendak dicapai (Selection of objectives) pengerahan sumberdaya atau instrumen
untuk mencapai tujuan tersebut (mobilizations of means) dan pelaksanaan
(Implementation) dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan
secara actual menggunakan sumber daya yang ditetapkan.20
19
Banyu Perwita, Anak Agung & Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional., 2205, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 49. 20
Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori & Praktik, 2008, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 9.
13
Dalam kebijakan impor beras Indonesia dari Thailand, terdapat pula tujuan
yang hendak dicapai kedua negara yang tentunya sebagai upaya pemenuhan
kepentingan nasional Indonesia sebagai importir maupun Thailand sebagai
eksportir. Hal ini dilakukan dengan menggunakan instrumen kerjasama berupa
kebijakan impor beras Indonesia dari Thailand pada tahun 2009-2011.
2. National Interest (Kepentingan Nasional)
Kepentingan nasional (national interest) dipahami sebagai konsep kunci
dalam politik luar negeri. Konsep tersebut dapat diorientasikan pada ideologi
suatu negara maupun pada sistem nilai pedoman perilaku negara ataupun sistem
nilai sebagai pedoman perilaku negara. Artinya bahwa keputusan dan tindakan
politik luar negeri bisa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ideologis
ataupun dapat terjadi atas dasar pertimbangan kepentingan.
Namun bisa juga terjadi interplay antara ideologi dengan kepentingan
sehingga terjalin hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara
pertimbangan-pertimbangan ideologis dengan pertimbangan-pertimbangan
kepentingan yang tidak menutup kemungkinan terciptanya formulasi
kebijaksanaan politik luar negeri yang lain atau baru21
.
Menurut Jack C. Plano dan Roy Olton22
, kepentingan nasional adalah
tujuan mendasar serta faktor yang paling menentukan yang memandu para
pembuat keputusan dalam merumuskan politik luar negeri. Miroslav Nicnic
mempersyaratkan setidaknya ada tiga kriteria yang disebutnya sebagai asumsi
21
Sumpena Prawira Saputra, Politik Luar Negeri Indonesia , Remaja Karya Offset,
Jakarta: 1985, 24. 22
Jack C. Plano, Roy Olton, The International Dictionary, terj. Wawan Juanda, Third
Edition, England : lio Press Ltd, England, 1982, 7.
14
dasar, yang harus dipenuhi dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Pertama,
kepentingan itu harus bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas
utama pemerintah dan masyarakat. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan
dengan lingkungan internasional. Dan terakhir, kepentingan nasional harus
melampaui kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok, atau
lembaga pemerintah sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara
keseluruhan23
.
Kepentingan nasional merupakan konsepsi umum, tapi merupakan unsur
yang menjadi kebutuhan sangat vital bagi negara. Unsur tersebut mencakup
kelangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah,
keamanan militer, dan kesejahteraan ekonomi. Menurut Morgenthau, kepentingan
nasional suatu negara yaitu mengejar kekuasaan yaitu apa saja yang dapat
membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain24
.
Untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, pemerintah Indonesia
telah melakukan upaya-upaya demi menjaga Kedaulatan pangan nya dengan
impor beras dari Thailand. Hal ini pun berimbas kepada petani dalam negeri,
karena adanya beras impor, maka petani kurang dapat bersaing, selain kualitas
beras dalam negeri kualitasnya kurang bagus, harga beras impor lebih murah,
maka dampak negatif yang dirasakan petani sangat besar.
23
Miroslav Nicnic. 1992. Democracy and Foreign Policy, The Falacy of Political
Realism, New York : Columbia University Press, 157. 24
Mochtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta,
LP3ES, 1990), 140.
15
Hal ini tentu akan menjadi kajian yang menarik mengenai apakah
kepentingan nasional Indonesia dalam permasalahan ini telah tercapai atau belum
tercapai.
3. Food Security (Kedaulatan Pangan)
Dari perspektif sejarah istilah Kedaulatan pangan (food security) muncul
dan dibangkitkan karena kejadian krisis pangan dan kelaparan.25
Istilah
Kedaulatan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan pada
tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara–negara
berkembang dari krisis produksi dan suplay makanan pokok.
Definisi Kedaulatan pangan oleh PBB sebagai berikut: food security is
availability to avoid acute food shortages in the event of wide spread coop vailure
or other disaster.26
Selanjutnya definisi tersebut disempurnakan pada
Internasional Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara
anggota PBB sebagai berikut: tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan
setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif
dan produktif.
Berdasarkan definisi Kedaulatan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No.
7 tahun 1996 tentang pangan, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4
komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi Kedaulatan pangan yaitu:
(1)Kecukupan ketersediaan pangan; (2)Stabilitas ketersediaan pangan tanpa
fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; (3)
25
Tom Edward Marasi Napitupulu, Pembangunan Pertanian dan pengembangan
Agroindustri. Wibowo, R. (Ed) Pertanian dan pangan, 2000, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 22. 26
Wibowo, R., Penyediaan Pangan dan Permasalahannya, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 40.
16
Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan; dan (4)Kualitas/keamanan
pangan.27
Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur Kedaulatan
pangan di tingkat rumah tangga setiap penduduk. Keempat indikator ini,
merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks Kedaulatan pangan.
Ukuran Kedaulatan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara
menggabungkan keempat komponen indikator Kedaulatan pangan tersebut, untuk
mendapatkan satu indeks Kedaulatan pangan.
Dalam permasalahan impor beras, sebaiknya Indonesia melihat segi
kepentingan Kedaulatan ekonomi petani lokal. Dalam hal ini mengutamakan nasib
para petani yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan kebijakan impor beras
sangat merugikan para petani Indonesia, karena harga beras lokal jatuh dibawah
harga beras negara lain yaitu beras Thailand dan juga Vietnam.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu proses untuk menjelaskan sebuah
kejadian agar dapat bersifat ilmiah.28
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini
menggunakan metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptif analitis.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang lebih mementingkan ketepatan dan
kecukupan data dengan penekanan kepada kesesuaian antara data dan fakta.29
Menurut Creswell, penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian seperti
asumsi/dugaan, nilai, dan pendapat dari peneliti sehingga menjadi jelas dalam
27
Wibowo, R., Penyediaan Pangan dan Permasalahannya, 41. 28
W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approach, Edisi Keempat, Massachusets : Allyn and Bacon, 2000, 63. 29
Bagong Suyanto, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta :
Kencana, 2007, 175.
17
hasil akhir suatu penelitian.30
Dengan demikian, penulis dapat melakukan analisa
atas data-data kualitatif dengan menggunakan teori serta kerangka pemikiran agar
dapat mengelaborasi permasalahan tersebut secara lebih jelas.
Dalam proses pengumpulan data penelitian, terdapat tiga langkah dalam
mengumpulkan data penelitian. Pertama, adanya pengaturan tentang pembatasan
dalam pembahasan suatu masalah penelitian. Kedua, mengumpulkan informasi
dengan melakukan pengamatan, wawancara, pengumpulan dokumen-dokumen
dan bahan visual. Ketiga, membuat suatu protokol untuk mencatat atau merekam
setiap informasi.31
Oleh karena itu, penulis memberikan batasan masalah pada faktor-faktor
yang melatarbelakangi kebijakan impor beras Indonesia dari Thailand pada tahun
2009-2011. Masalah utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai
konsep Kedaulatan pangan Indonesia dengan fokusnya mengenai kebijakan impor
beras Indonesia dari Thailand pada tahun 2009-2011.
Penelitian ini juga berupaya menganalisa bagaimana diplomasi ekonomi
yang ditawarkan oleh Thailand, sehingga Indonesia mengeluarkan kebijakan
untuk melakukan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit, kendati pada
faktanya suplay beras dalam negeri memiliki ketersediaan yang cukup.
Terkait teknik pengumpulan data, penulis menggunakan kajian literatur
serta studi pustaka terhadap data-data dengan menggunakan sumber baik berupa
jurnal, buku, artikel, hasil penelitian, serta dokumen-dokumen lainnya.Selain itu
30
J.W. Creswell, Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, London:
SAGE Publications, 1994, 134. 31
J.W. Creswell, Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, 135.
18
juga, penulis menghimpun data kuantitatif yang sesuai dengan pembahasan dan
dapat mendukung argumen/penulisan skripsi ini.
Selain itu, dalam pengumpulan data, penulis juga melakukan internet
research atau penggunaan data-data yang diperoleh dari situs (website)
internet.Namun penulis hanya menggunakan data dari situs yang dianggap relevan
dan otoritatif sesuai dengan data yang dibutuhkan. Data yang diperoleh melalui
internet research ini bersifat sebagai data tambahan/pendukung.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Pemikiran
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II: INDONESIA DAN KEBIJAKAN IMPOR BERAS TAHUN 2009-
2011
A. Kondisi Geografis di Indonesia
1. Letak Geografis Indonesia.
2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Indonesia.
B. Kondisi Pangan di Indonesia dan Kebijakan Impor Beras dari Thailand
tahun 2009-2011.
1. Produksi Beras Indonesia Tahun 2009-2011.
2. Konsumsi Beras Masyarakat Indonesia dan Fluktuasi Harga Beras
Tahun 2009-2011.
3. Kebijakan Impor Beras Indonesia.
BAB III: SISTEM AGRARIA THAILAND DAN KERJASAMA
BILATERAL DENGAN INDONESIA
A. Kondisi Geografi dan Pertanian Thailand.
1. Letak Geografis Thailand
19
2. Sistem Agraria Thailand
B. Hubungan Bilateral Thailand-Indonesia .
1. Sejarah Kerjasama Import Beras Ke Thailand
2. Response Pemerintah Indonesia dalam Import Beras ke Thailand
3. Response Thailand dalam Import Beras Indonesia
C. Kebijakan Impor sebagai Instrument Pengamanan dan Ketentuan
World Trade Organization
1. Penggolongan Jenis Kebijakan Tata Niaga Impor.
2. Komitmen RI tentang Akses Pasar Barang di WTO
3. Perijinan Impor Otomatis.
4. Pemberian ijin impor Non-automatic Import Licensing.
BAB IV : KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA-THAILAND TAHUN
2009-2011
A. Faktor Internal
B. Faktor Eksternal
BABV : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
20
BAB II
KONDISI KEDAULATAN PANGAN DAN KEBIJAKAN
IMPOR BERAS INDONESIA
Sebagaimana dijelaskan pada Bab I, untuk menjelaskan penelitian ini,
penulis akan menggunakan teori kebijakan luar negeri, konsep kepentingan
nasional dan Food Security. Oleh karena itu, Bab II ini akan menjelaskan sekilas
tentang kondisi Indonesia, dari geografis, kondisi social-ekonomi masyarakat, lalu
kemudian dilanjutkan dengan kondisi pangan Indonesia periode 2009-2011,
dinamika yang mempengaruhinya, hingga kritik dari berbagai pihak.
A. Kondisi Geografis di Indonesia
1. Letak Geografis Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang
membentang dari ujung timur di Sabang hingga ujung barat Merauke. Di bagian
timur berbatasan dengan Papua New Guinea, di utara berbatasan dengan
Philippines, dan Malaysia, selatan dengan Australia, dan barat dengan Malaysia
dan Singapura.
Posisinya yang berada tepat di lintas katulistiwa, menjadikan Indonesia
memiliki dua musim: hujan dan kemarau, sekaligus menjadi wilayah yang
hutannya sangat penting untuk iklim di dunia.
Menurut Arias, posisi Indonesia berada di antara dua samudera dan dua
benua serta merupakan negara kepulauan dengan topografi yang sangat beragam.
21
Kondisi ini menjadikan Iklim Indonesia sangat dinamis dan kompleks. Beberapa
faktor yang berperan terhadap iklim Indonesia antara lain : fluktuasi suhu
permukaan laut, Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ), Dipole Mode Index
(DMI), suhu permukaan laut Pasifik ekuator, Monsun Asia Tenggara-Australia,
sirkulasi Hadley dan Walker serta arus lintas Indonesia32
.
Selain hal itu, iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh tiga sistem peredaran
angina, yaitu : angina pesat, meridional, dan loka. Keseluruhan komponen
tersebut membentuk suatu sistem baik lokal, regional, maupun global, yang turut
menentukan variabilitas dan keragaman iklim Indonesia. dan perubahan pola
cuaca curah hujan33
.
2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Indonesia
Sebagai negara kepulauan serta terletak di lintas katulistiwa, jauh tahun
sebelum kemerdekaan, masyarakat Indonesia berprofesi sebagai petani, nelayan,
serta sebagian lainnya sebagai pedagang. Demikian, sejalan dengan modernisasi
dan globalisasi, pemerintah mulai merubah haluan dari yang dulunya
berkonsentrasi di ketiga sektro itu, menambahnya dengan sektor industri.
Menurut Hidayat, pembangunan ekonomi selama setengah abad terakhir
telah berhasil mengubah struktur perekonomian Indonesia dari yang berbasi
32
Arias Pramudia, et all. Dalam Fenomena dan Problematika Iklim Indonesia serta Pemanfaatan
Informasi Iklim untuk Kalender Tanam. [Database Online] Dapat diakses di
http://pintar.pdkjateng.go.id/uploads/users/tarjani/materi/SD_Letak_Geografis_dan_Astronomis_I
ndonesia_serta_Pengaruhnya_2014-10-
15/Letak_Geografis_dan_Astronomis_Indonesia_serta_Pengaruhnya.pdf Hal 53 diakses pada 10
June 2015 33
Arias Pramudia, et all. Dalam Fenomena dan Problematika Iklim Indonesia serta Pemanfaatan
Informasi Iklim untuk Kalender Tanam. [Database Online] Dapat diakses di
http://pintar.pdkjateng.go.id/uploads/users/tarjani/materi/SD_Letak_Geografis_dan_Astronomis_I
ndonesia_serta_Pengaruhnya_2014-10-
15/Letak_Geografis_dan_Astronomis_Indonesia_serta_Pengaruhnya.pdf Hal 54 diakses pada 10
JJune 2015
22
kepada sektor pertanian menjadi prekonomian yang berbasis pada sektor Industri.
Bahkan lebih jauh, Hidayat juga memaparkan kontribusi sektor pertanian terhadap
perekonomian menurun tajam, dari sebesar 56,3% pada 1962 menjadi hanya
14,7% pada 2011. Bahkan sempat turun pada level 13% pada 2005-2006. 34
B. Kondisi Pangan di Indonesia dan Kebijakan Impor Beras dari Thailand
tahun 2009-2011
1. Produksi dn Konsumsi Beras Indonesia Tahun 2009-2011
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya memiliki
matapencaharian di bidang pertanian. Akan tetapi, petani Indonesia bukanlah
masyarakat yang tingkat kesejahteraannya tinggi, dan mayoritas petani adalah
bukan pemilik lahan sawah pertanian atau hanya sebagian besar adalah petani
buruh (petani yang tidak memiliki lahan pertanian, atau hanya merupakan pekerja
buruh harian di ladang pertanian).
Mereka merupakan orang-orang yang masih miskin dan terpinggirkan.
Mereka sering dirugikan oleh masalah kebijakan perberasan yang dilakukan oleh
pemerintah. Belum lagi masalah sosial ekonomi lain yang mereka hadapi sebagai
petani. Permasalahan beras dan petani menjadi sebuah ironi bagi negeri ini.
Sebuah ironi karena negara ini merupakan negara peghasil beras, akan tetapi
melakukan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit.
Pada umumnya sebagian masyarakat menganggap bahwa impor beras
dipicu oleh produksi atau suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi seperti
yang dijadikan alasan pemerintah. Akan tetapi, pada kenyataannya impor beras
34
Hidayat Amir. Dalam Sektor Pertanian : Perlu Upaya Akselerasi Pertumbuhan. [Database
Online] dapat diakses di www.perpustakaan.depkeu.go.id Diakses pada 10 June 2015.
23
dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami
surplus beras.
Pemerintah terus menegaskan bahwa alasan impor beras adalah karena
adanya keterbatasan volume produksi hasil pertanian padi sehingga ketersediaan
beras menjadi masalah bagi negara. Namun sebenarnya itu hanya alasan yang
tidak dapat dibenarkan oleh publik dengan adanya impor beras pada 2009, karena
pada 2009 terdapat data yang berupa angka statistik bahwasannya produksi
padi/beras mengalami surplus atau kenaikan sebesar 6,75 %.35
Pada 2009, wilayah seperti Jawa sebagai penghasil padi terbesar di
Indonesia bahkan harus menerima beras impor. Bibit Waluyo (Gubernur Jawa
Tengah) mengungkapkan bahwa dirinya menyatakan berada dalam posisi
dilematis saat muncul penilaian dari beberapa fraksi di DPRD Jateng yang
menyebutkan bahwa dirinya inkonsistensi terkait dengan pernyataannya siap
menerima 180.000 ton beras impor dari Thailand pada tiga bulan ke depan.
“... Jawa tengah mengalami surplus beras sebagai fakta, namun
Bulog belum mampu memenuhi kebutuhan untuk raskin” Secara
logika ekonomi, kondisi surplus dengan permintaan relatif tetap,
akan menurunkan harga. Tetapi faktanya harga beras terus naik
di berbagai pasar di Semarang antara Rp7.800 dan Rp 8.100 per
kg (SM, 27/09/11). Padahal Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) Rp 5.060 per kg sehingga petani tidak mau menjual ke
Bulog karena selisih harga yang relatif jauh lebih mahal.36
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), sebenarnya sejak 2008 produksi
beras nasional selalu surplus. Tetapi anehnya, sejak 2008 hingga 2011, Impor
35
Tabel Produksi, Konsumsi, Surplus dan Penyediaan BULOG 2003 - 2013 36
Purbayu Budi Santosa “Beras dan Posisi Dilematis Bibit”; Suara Merdeka,30
September 2011.
24
beras terus dilakukan.37
Bulog selalu berdalih kalau data produksi yang ada tidak
bisa dijadikan pijakan. Menurut Bulog, meskipun data yang ada menunjukkan
surplus, hal itu belum bisa menjamin amannya ketersedian pasokan beras setiap
bulannya.38
Pada 2010, sebenarnya Indonesia juga dalam kondisi surplus, namun
surplus sebesar 1,17 %, merupakan kondisi yang jauh menurun dibanding tahun
2009, yang surplus 6,7 %, dengan peningkatan produksi padi tahun 2010 hanya
3,22 %.39
Karena itu, pada 2010 impor dilakukan dengan alasan untuk menjamin
ketersediaan (stok) beras, dimana tingkat kebutuhan masyarakat Indonesia akan
beras selau meningkat termasuk di tahun ini. Data Bulog bahwa produksi yang
ada belum bisa dijadikan pijakan.
Selama ini, penghitungan produksi beras dilakukan oleh BPS bekerjasama
dengan Kementrian Pertanian. Untuk menghitung produksi beras, BPS
menggunakan hasil perkalian antara produktivitas tanaman padi per hektar dan
luas panen. Pengukuran produktivitas yang dilakukan oleh BPS melalui survei
ubinan sebenarnya sudah cukup akurat, masalahnya adalah pada penghitungan
luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang masih mengandalkan
metode pandangan mata.40
Dalam prakteknya, mantri tani hanya melihat hamparan padi, lalu
memperkirakan luasnya. Akurasi cara seperti ini tentu sangat lemah, belum lagi
kalau data luas panen dikerjakan di atas meja, yang akhirnya terjadi laporan dari
37
Sumber Laporan BPS 38
Sumber hasil wawancara dengan pegawai Bulog, 2014. 39
Sumber bulog; Tabel Produksi, Konsumsi, Surplus, dan Penyediaan Bulog 2003-2013. 40
Sumber wawancara pegawai Bulog, 2014.
25
menyusutnya pertumbuhan produksi padi, yang merupakan bahan baku membuat
beras, sebagai bahan makanan pokok bangsa Indonesia, sehingga pemerintah tetap
beralasan untuk melakukan impor beras dari Thailand dan juga negara lainnya.
Dalam rentan waktu 2009-2011, pemerintah mulai gencar melakukan
kampanya untuk mengurangi konsumsi nasi, dengan menggantinya dengan umbi-
umbian seperti ubi, kentang, dan singkong, serta biji-bijian seperti jagung dan
gandum yang hanya dikonsumsi sebagian kecil masyarakat di daerah. Di samping
itu juga, pemerintah melakukan kampanya tersebut untuk mengurangi konsumsi
beras yang disebut-sebut menjadi salah satu penyebab tingginya diabetes di
Indonesia.
Dengan konsumsi beras mencapai 139 kg/kapita/tahun saat, Indonesia
adalah konsumen beras terbesar di dunia. Maklum, orang Indonesia makan nasi
seperti minum obat, tiga kali sehari. Bukan makan namanya kalau tanpa nasi. Jika
kebiasaan makan nasi orang Indonesia dapat dirubah, maka akan berdampak besar
pada penurunan konsumsi beras. Kebutuhan beras dalam negeri dapat ditekan
dengan program diversifikasi pangan yang harus digalakkan agar masyaratkat
tidak terlalu bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama saat ini.
Seperti diketahui bersama bahwa sekitar 80 % kebutuhan karbohidrat orang
Indonesia dipenuhi dari beras.
2. Jumlah Produksi Dibandingkan dengan Kebutuhan Beras
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa jumlah penduduk Indonesia
cenderung naik setiap tahunnya, tetapi tidak pada produksi beras di Indonesia
yang berfluktuasi. Dan pada tahun 1990, 1993, 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2005
26
terjadi penurunan jumlah produksi beras dari tahun sebelumnya. Sedangkan
peningkatan permintaan terhadap beras harus diikuti dengan peningkatan
penawaran (ketersediaan) beras domestik, karena apabila produksi beras domestik
tidak mencukupi kebutuhan atau permintaan penduduk, maka akan dilakukan
impor beras.
Table II.B.1. Data Jumlah Penduduk dan Produksi Beras
di Indonesia Tahun 1990 sampai 2005
Tahun
Jumlah Penduduk Indonesia
(000 000 jiwa)
Produksi Beras Indonesia
(000 ton)
1990 179.30 28 453
1991 181.38 28 178
1992 184.49 30 358
1993 187.60 30 320
1994 190.68 29 417
1995 193.75 31 349
1996 196.80 32 215
1997 199.84 31 093
1998 202.91 31 040
1999 202.83 32 031
2000 205.13 32 693
2001 207.93 31 806
2002 210.74 32 444
2003 213.55 32 861
2004 216.38 34 102
2005 219.21 34 028
2006 222,74 54 454
2007 225,64 57 157
2008 228,52 60 325
2009 231,37 64 398
2010 237,64 66 469
2011 237,64 68 061
Sumber : BPS, 1990-2011
27
Pembangunan sektor pertanian merupakan fokus dari kegiatan
pembangunan nasional yang dilaksanakan sejak Pelita I. Beberapa alasan kuat
mengapa peningkatan produksi beras merupakan titik berat pembangunan di
sektor pertanian antara lain: (1) beras merupakan makanan pokok dan sumber
utama penyedia kalori, (2) sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai
mata pencaharian di sektor pertanian tanaman pangan, dan (3) memiliki saham
terbesar dalam indeks harga konsumen yang menjadi indikator pengukur
stabilitas ekonomi.41
Kebijakan harga gabah dan beras merupakan salah satu instrumen
penting dalam menciptakan ketahanan pangan nasional. Kebijakan harga gabah
tidak efektif apabila tidak diikuti dengan kebijakan lainnya. Kebijakan harga
murah tidak dianjurkan, karena bukti-bukti empiris menunjukan bahwa
kebijakan ini telah menyengsarakan petani padi dan tidak mampu mendorong
sektor industri untuk bersaing di pasar dunia.
Kebijakan stabilitas harga beras di pasar domestik yang berorientasi
pada peningkatan pendapatan petani, merupakan paket kebijakan yang sangat
diperlukan oleh petani padi.42
Table II.B.1. Data Harga Dasar Pembelian Pemerintah, Harga Gabah
Tingkat Petani dan Harga Beras Eceran di Indonesia Tahun 1980 sampai
2005
TAHUN
HPP
(Rp/Kg)
HGTP
(Rp/Kg)
HBE
(Rp/Kg)
1980 105 189.32 198.39
1981 120 212.16 226.19
41
Majalah Pangan, Departemen Pertanian. 1989. 12. 42
Malian,et.al..”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan harga
Beras serta Inflasi Bahan Makanan”. 2004, Publikasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian Bogor, 21.
28
1982 135 229.61 254.92
1983 145 274.69 304.24
1984 165 284.81 330.97
1985 175 288.59 322.07
1986 175 167.27 345.24
1987 190 184.73 386.86
1988 210 381.62 469.20
1989 250 475.48 469.56
1990 270 466.68 525.17
1991 295 517.47 557.84
1992 330 303.70 603.68
1993 340 284.05 592.25
1994 360 325.83 660.37
1995 400 419.81 776.38
1996 450 432.75 880.00
1997 525 498.27 1 064.03
1998 800 933.01 2 099.71
1999 1 400 1 159.43 2 665.58
2000 1 400 964.72 2 424.22
2001 1 500 1 141.22 2 537.09
2002 1 519 1 255.46 2 826.06
2003 1 725 1 249.33 2 785.85
2004 1 740 1 258.31 2 850.96
2005 2 250 1 567.67 3 478.87
Sumber: BPS, 1980-2005
Secara umum, salah satu permasalahan permintaan beras di Indonesia
adalah harga beras yang relatif tinggi dan cenderung naik seiring dengan
berkembangnya jaman (dapat dilihat pada Tabel 2.5 di atas). Masalah
kenaikan harga beras, secara ekonomi adalah masalah penawaran dan
permintaan, seperti yang dikemukakan oleh Hutauruk bahwa luas areal panen
responsive terhadap harga dasar padi dan harga padi pada jangka panjang.43
Untuk menekan harga beras, pemerintah harus menjaga harga yang
berkolerasi langsung dengan ongkos produksi dan menjamin keuntungan
43
Hutauruk, J. Analisis, ”Dampak kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk
terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia”, 1996, Tesis. Institut Pertanian Bogor,
22.
29
petani. Hal ini dapat diwujudkan apabila BULOG membeli gabah langsung
dari petani.44
Pada Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa besarnya harga gabah tingkat
petani masih lebih kecil nilainya dibandingkan dengan harga dasar pembelian
pemerintah sedangkan harga beras eceran cenderung naik.
Kebijakan insentif berupa penetapan harga dasar yang dilanjutkan
dengan harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) tidak akan terlaksana secara
efektif, apabila pemerintah tidak menetapkan kebijakan pendukung yang
compatible dengan HDPP. Pengurangan subsidi pupuk tahun 1998 tidak
efektif, karena apabila dilakukan penghapusan subsidi pupuk maka kebijakan
harga dasar menjadi tidak efektif.45
Hal itu akan menurunkan pendapatan
petani produsen dan mutu intensifikasi yang diterapkan oleh petani padi.46
Kebijakan proteksi tidak mungkin dilakukan secara terus menerus
dalam jangka panjang karena tuntutan globalisasi yang semakin kuat.
Oleh karena itu, upaya-upaya perbaikan efisiensi kebijakan beras
nasional, baik aspek budi daya (perbaikan teknologi, irigasi dan lain-lain),
pascapanen (prontokan, pengeringan, penyimpanan), pengolahan
(penggilingan) maupun pemasaran hasil (perbaikan infrastruktur, informasi
pasar, dan lain-lain), perlu terus dijalankan untuk mempersiapkan agribisnis
beras nasional dalam menghadapi serbuan produk impor sejenis dari negara
lain.
44
Saragih B. . Suara Dari Bogor: Membangun Sistem Agribisnis. 2006, Jakarta :
Pustaka Wirausaha Muda, 22. 45
Malian,et.al.2004.”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan harga
Beras serta Inflasi Bahan Makanan”. 21. 46
Malian,et.al.2004.”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan harga
Beras serta Inflasi Bahan Makanan”.21.
30
3. Kebijakan Impor Beras Indonesia Periode 2009-2011
Kenyataan yang diakui oleh pemerintah Indonesia tentang impor beras
adalah Indonesia membutuhkan banyak beras, dan impor menjadi pilihan yang
tepat. Pada hakekatnya kepentingan nasional Indonesia adalah menjamin
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, maka kepentingan nasional Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum dan ikut menjaga
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Kepentingan Indonesia terhadap Thailand jelas seperti tertuang dalam
UUD 1945, dan termasuk didalamnya adalah upaya menjalin kerjasama guna
memelihara legitimasi atas wilayah NKRI dan segenap kepentingan NKRI
termasuk kepentingan sosial-ekonomi, sosial-budaya, kepentingan politik dan
militernya.
Hal yang sama bagi Thailand, Indonesia adalah mitra yang baik, potensial
dan sangat aktif, kooperatif dalam membantu Thailand. Selain kerjasama ekonomi
termasuk impor beras, Thailand juga selalu mendapatkan bantuan atas
penanganan kondisi krisis dan konflik di Thailand. Dalam masalah impor beras,
Thailand sangat berkepentingan untuk dapat menguasi pasar beras di Indonesia.
31
Hal ini tercermin antara lain dari angka pertumbuhan nilai investasi dan
perdagangan antara kedua negara. Diantaranya adalah semakin meningkatnya
kunjungan oleh pejabat dan pengusaha di kedua negara dan semakin menguatnya
konektivitas masyarakat antara kedua negara. Selain itu, meningkatnya investasi
Thailand di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Thailand dalam
menetapkan Indonesia sebagai negara tujuan utama investasi Thailand di samping
Myanmar dan Vietnam. 47
Meskipun banyak kritikan dari masyarakat dalam dan luar negeri,
pemerintah terbukti akan terus memperpanjang impor beras dari Thailand selama
dua tahun ke depan. Dalam perjanjian perdagangan dengan Thailand, kerjasama
impor beras sedianya berakhir tahun 2011. Namun Menteri Perdagangan Mari
Elka Pengestu mengungkapkan demikian : "kerjasama impor beras dengan
Thailand berakhir tahun ini, tapi pihak Indonesia akan memperpanjang dua tahun
berikutnya," (jumat, 9 September 2011).
Volume impor beras yang diajukan Pemerintah Indonesia kepada Thailand
sebanyak 1 juta ton. Disamping terus melanjutkan kerjasama dalam pengadaan
beras dengan Thailand, Indonesia juga akan memperpanjang impor beras dari
Vietnam. Meski, perjanjian pengadaan beras dengan Vietnam berakhir tahun 2012
nanti, pemerintah sudah menyatakan akan mengimpor beras dari Vietnam sampai
tahun 2014. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka
Pengestu yaitu: "Untuk Vietnam tahun 2012 akan Indonesia perpanjang sampai
tahun 2014,".
47
Tersedia, di www.kemlu.go.iddiakses pada 21 Januari 2015.
32
Volume beras yang akan dibeli pun sama dengan Thailand yakni sebanyak
1 juta ton. Salah satu alasan pemerintah mengimpor beras dari Thailand dan
Vietnam lantaran cadangan beras kedua negara tersebut sangat besar. Seperti
diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu yaitu: "Kalau
Thailand ada 8 juta ton, sedangkan Vietnam ada 3 atau 4 juta ton,".
Lebih lanjut Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu mengungkapkan
bahwa kebijakan impor beras ini tujuannya untuk menjaga agar stok bahan
pangan tetap aman, seperti penegasannya: "Kalau tidak perlu Indonesia tidak
impor. Semua tergantung situasi dalam negeri,"
Namun jauh sebelum diketahui bagaimana produksi padi di tahun
selanjutnya, ternyata, menurut Mari, Badan Urusan Logistik (Bulog) telah
menandatangani kontrak pembelian beras sebanyak 800.000 ton. Rinciannya,
sebanyak 500.000 ton dari Thaliand dan 300.000 ton beras dari Vietnam. Sebagai
informasi, Bulog akan menghabiskan anggaran Rp9,69 triliun sampai Rp9,95
triliun untuk pengadaan beras impor periode 2010-2011 sebanyak 1,84 juta ton48
.
Mencermati pergerakan harga beras Thailand sepanjang tahun 2009-2011,
tren kenaikan harga sudah terindikasi di awal semester kedua tahun ini, sementara
harga beras domestik sebenarnya sudah naik konsisten sejak awal tahun 2011. Di
sisi lain, keputusan impor yang dilakukan pemerintah untuk 2011 baru saja
terealisasi pada Agustus lalu sejak kontrak dilakukan sebelumnya di bulan Juli.
Data menunjukkan perkembangan harga beras di Indonesia cenderung
terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-
48
Data hasil penelitian dari Bulog berupa print out dan soft copy via email.
33
negara pengimpor beras, seperti Filipina, Bangladesh, Tiongkok, dan Vietnam,
harga beras Indonesia adalah harga yang termahal di dunia.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), per Juni 2011
harga beras rata-rata di tingkat eceran di Indonesia US$ 1,04/kg. Pada saat yang
sama, harga di Manila US$ 0,69/kg; Banglades US$ 0,38/kg; Tiongkok
berdasarkan harga rata-rata di 50 kota untuk beras kualitas kedua di tingkat eceran
sedikit di bawah Indonesia, US$ 0,83/kg; dan Vietnam hanya US$ 0,41/kg.
Sementara itu, harga beras di Thailand sebagai negara asal impor Indonesia ialah
US$ 0,44/kg49
.
Di lain sisi, pada 2010 dan 2011, saat pemerintah mengimpor beras, justru
harga beras dalam negeri akan semakin melambung. Harga beras di dalam negeri
pada 2010 mencapai US$ 1,01/kg dan pada 2011 (Juni) naik menjadi US$ 1,09/kg
. Padahal, harga beras di Thailand pada 2010 sangat murah, US$ 0,45/kg dan pada
2011 (Juni) turun menjadi US$ 0,43/kg50
. Harga naik dipicu berkurangnya
pasokan dan pengaruh cuaca yang menghambat proses penjemuran gabah.
Tingginya harga gabah dan beras itu dipengaruhi oleh minimnya jumlah panen di
daerah.
Hingga Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor beras
Indonesia pada tahun ini telah mencapai USD 829 juta atau sekitar Rp 7,04 triliun
rupiah. Uang sebanyak ini digelontorkan pemerintah untuk mendatangkan
sebanyak 1,57 juta ton beras dari Vietnam (892,9 ribu ton), Thailand (665,8 ribu
49
Ibid, Data hasil penelitian dari Bulog berupa print out dan soft copy via email. 50
Ibid, Data hasil penelitian dari Bulog berupa print out dan soft copy via email.
34
ton), Cina (1.869 ton), India (1.146 ton), Pakistan (3,2 ribu ton), dan beberapa
negara lain (3,2 ribu ton)51
.
Banyak masyarakat mengira bahwa impor di atas dipicu oleh produksi atau
suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi. Namun tentu saja itu keliru,
karena kenyataannya impor beras dilakukan ketika data statistik menunjukkan
bahwa Indonesia surplus beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi padi pada tahun
2011 mencapai 68,06 juta ton Gabah Kering Giling (GKG)─Angka Ramalan II
(ARAM II). Jika dikonversi ke beras, ini artinya, pada tahun ini, produksi beras
nasional sebesar 38,2 juta ton. Dan jika memperhitungkan adanya loses
(kehilangan) sebesar 15 %, maka produksi beras mencapai 37 juta ton.
Dengan asumsi bahwa konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun dan
jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237 juta orang, konsumsi beras
nasional tahun ini berarti mencapai 34 juta ton, ini diperoleh dengan mengalikan
konsumsi beras per kapita dan jumlah penduduk Indonesia saat ini. Dengan
demikian, merujuk pada hasil perhitungan tersebut, tahun ini Indonesia
sebenarnya surplus beras sebesar 3-4 juta ton.52
Namun bukti yang ada, di saat Indonesia surplus 3-4 juta ton, pemerintah
tetap melakukan impor, dengan alasan bahwa karena prosedur dan kecemasan
pemerintah dalam memenuhi kebutuhan raskin, maka impor dianggap layak
dilakukan.
51
Data ini dirilis BPS pada Selasa 6 September 2011.
35
Lagi-lagi pemerintah memiliki alasan yang cukup menguatkan
kebijakannya, terlepas bahwa mereka dianggap sudah melakukan kebijakan yang
keliru, maka hasil wawancara penulis dengan Bulog sendiri, terkait alasan kenapa
pemerintah/ Bulog melakukan impor beras Thailand pada 2009-2011, pada saat
beras Indonesia surplus, maka hasil wawancara dengan pegawai bulog adalah
sebagai berikut:
“ Petani di Indonesia sebagian besar adalah buruh tani, jadi
hanya sebagian kecil dari petani yang memang memiliki sawah,
makanya hanya petani pemilik sawah yang memperoleh hasil
keuntungan dari produksinya, namun mayoritas buruh tani yang
sangat konsumtif dengan beras, mereka orang miskin yang tidak
punya padi/beras, dan mereka buruh tani menerima bantuan
Raskin (beras miskin)”.53
Selanjutnya Bulog juga memaparkan adanya fakta, bahwa mereka tidak
dapat menjangkau petani secara langsung, dan bahwa kebijakan HPP membatasi
mereka.
“Bulog tidak membeli gabah/padi kepada petani itu tidak dapat
menjangkau langsung. Daya beli dilakukan atas HPP yang lebih
rendah dari harga padi yang terus meningkat pada tahun 2009-
2011”.
Lebih lanjut alasan Bulog tentang kesulitan yang mereka alami tentang
data riil tentang perkembangan produksi padi yang sesungguhnya.
“ Bulog juga sulit untuk mendapatkan data riil dari produksi
padi nasional, kami tidak dapat mengira-ngira sementara panen
raya yang terjadi, produksi padi kurang memuaskan dan
buktinya harga padi meningkat, untuk itu tentu saja kami tidak
bisa menunggu bahwa produksi yang ada bener-benar
meningkat atau jangan-jangan memang menurun, sementara
permintaan beras atau konsumsi beras kan terus dipastikan
meningkat, sehingga impor tentunya menjadi pilihan yang baik,
53
Hasil wawancara dengan pegawai Bulog, pada 5 maret 2015.
36
dan itu juga sebagai satu keseriusan Indonesia memiliki peranan
dalam perdagangan bebas ASEAN, artinya jika ada yang
memudahkan kenapa harus mencari kesulitan”.
Inti yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan pegawai/
pejabat/Informan Bulog adalah bahwa kebijakan impor beras yang dilakukan oleh
Bulog/pemerintah dalam hal ini tentu saja sudah menjadi satu intruksi dari
pemerintah pusat, sebagai satu bentuk kebijakan dan peran serta dalam kerjasama
perdagangan agrobisnis.
Disamping itu bahwa sistem pertanian di Indonesia memang cukup buruk,
dimana data tentang panen raya juga tidak dapat dipastikan oleh Bulog, struktur
organisasi pangan di Indonesia juga belum terbentuk, sehingga jelas Bulog
kesulitan untuk menjangkau ke petani langsung dan atau sebaliknya.
Sementara itu pendapat Bulog tidak dibenarkan oleh beberapa pihak yang
tidak setuju dengan kebijakan impor seperti juga telah dijelaskan sebelumnya
bahwa kebijakan impor beras yang diusung pemerintah mencerminkan kinerja
minimalis dalam usaha meningkatkan produksi. Tidak hanya itu, kebijakan impor
beras ini dikhawatirkan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan stok
dalam negeri, melainkan juga diduga kuat untuk mengakomodasi kepentingan
pengusaha (importir) yang mencari keuntungan melalui "tangan pemerintah"54
.
4. Kritik Terhadap Kebijakan Impor Beras
Pada era globalisasi, dunia terus mengarah pada liberalisasi ekonomi.
liberalisasi ekonomi menjadi sangat penting dalam sebuah pembangunan nasional
negara bangsa. Negara maju memandang liberalisasi dapat membantu mengatasi
54
Hendrawan Supratikno dalam menyampaikan kepada Suara Karya di Jakarta, Minggu
Mei 2012.
37
kesulitan dan tantangan dari pembangunan ekonomi internal, sehingga dapat
menghadapi persaingan global, mengentaskan kemiskinan serta menciptakan
kesejahteraan bagi negaranya.
Hal ini menarik perhatian pemerintah negara Indonesia. Indonesia menjadi
sangat antusias dalam menerapkan liberalisasi perdagangan dan sistem
mekanisme pasar, termasuk di sektor pangan. Namun, sayangnya Indonesia belum
dapat mengoptimalkan pengembangan sektor pertanian pangan termasuk tanaman
padi yang menghasilkan beras untuk dapat memberikan kesejahteraan rakyat.55
Dalam kondisi seperti ini, semangat liberalisasi pangan bagi Indonesia
seharusnya adalah untuk menjadi salah satu negara yang maju, sebagai wujud
negara agraris penghasil pertanian serta diharapkan Indonesia kelak dapat menjadi
pemasok pangan dunia. Harapan tersebut sebenarnya sangat wajar karena
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada
sektor pertanian sebagai mata pencaharian.56
Harapan di atas ternyata belum dapat dicapai. Bagi bangsa Indonesia yang
terjadi justru sebaliknya, proses liberalisasi pangan dan pertanian di Indonesia,
mengakibatkan anjloknya harga pangan nasional. Swasembada pangan dalam
perspektif „Kedaulatan pangan nasional‟, pada praktiknya hanya meningkatkan
kecenderungan harga pangan dari pasar impor.57
55
Rafika Muftih, Kebijakan Pangan Pemerintah Orde Baru dan Nasib Kaum Produksen
Beras, Skripsi FIB UI, 2009, 67. 56
Dokumen Indikator Perekonomian, Badan Pusat Statistik & Laporan Bulanan Data
Sosial Ekonomi, 2012, 67. 57
Dokumen Indikator Perekonomian, Badan Pusat Statistik & Laporan Bulanan Data
Sosial Ekonomi, 68.
38
Liberalisasi pangan Indonesia yang diangap gagal juga dapat dibuktikan
dengan adanya permasalahan beras dan petani yang semakin kompleks.
Permasalahan beras dan petani menjadi sebuah ironi bagi Indonesia, karena
Indonesia merupakan negara penghasil beras, akan tetapi melakukan impor beras
dalam jumlah yang tidak sedikit.58
Pada era liberalisasi perdagangan, impor beras
Indonesia mengalir pesat, tanpa hambatan.
Kebijakan dalam usaha pertanian khususnya komoditas beras yang telah
ditempuh pemerintah oleh banyak pengamat dianggap kurang berpihak kepada
kepentingan petani. Pertama, terdapat kebijakan tarif impor yang sangat rendah
sehingga mendorong semakin mudahnya beras impor masuk dan melebihi
kebutuhan dalam negeri. Kedua, penghapusan subsidi pupuk menjadi masalah
yang mengakibatkan penurunan terhadap pertanian, khususnya padi.
Selanjutnya, teknologi yang dimiliki petani Indonesia juga sudah jauh
tertinggal sehingga kualitas beras yang dihasilkan Indonesia pada umumnya kalah
dengan kualitas beras impor. 59
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kepentingan petani seperti
dijelaskan di atas, tentu berdampak terhadap produksi beras dalam negeri. Petani
tidak dapat meningkatan produksi beras yang cukup bagi negaranya sehingga
konsep Kedaulatan pangan (swasembada) sulit untuk diwujudkan kembali.
Seorang pakar ekonom Hendrawan Supratikno mengatakan, bahwa jika
hanya untuk memenuhi stok beras pemerintah seharusnya melalui Bulog bisa
58
Tri Andrianto, Pengaruh Litter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan
Pangan Indonesia, 1995-2009, Skripsi, FISIP UI, 2012, 118. 59
Tri Andrianto, Pengaruh Litter Of Intent (LOI) IMF Terhadap Pelemahan Ketahanan
Pangan Indonesia, 1995-2009, 119.
39
membeli gabah dari petani. Apalagi kegiatan impor tidak berdampak pada
kehidupan petani dan hanya menghabiskan devisa negara.
"Lebih baik membeli dari petani, walaupun harganya lebih
mahal dibanding beras impor. Dampaknya positif dan petani
bisa meningkatkan kehidupan perekonomiannya,"60
.
Hendrawan lebih lanjut menjelaskan, kebijakan impor beras yang
dikatakan pemerintah untuk mendukung kegiatan operasi pasar dan menurunkan
harga beras tidak menyelesaikan masalah pangan yang selama 6 tahun terakhir
tidak kunjung terselesaikan.
Pemerintah terlihat sangat tidak serius meningkatkan produksi beras dan
kesejahteraan petani. Kebijakan impor menjadi pilihan utama. Padahal, masalah
peningkatan produksi beras seharusnya menjadi perhatian utama. Atau, minimal
memberikan kewenangan dan keleluasaan kepada Bulog untuk membeli
gabah/beras petani.
"Pemerintah telah membohongi masyarakat melalui keterangan-
keterangannya yang menyatakan Indonesia sudah swasembada
beras. Mana mungkin kalau negara yang swasembada
mengambil barang (beras) yang sama dari negara lain alias
impor. Seharusnya kalau swasembada tercapai, pemerintah
malah mengekspor dan bukan sebaliknya,"61
Sementara itu, hal senada disampaikan oleh anggota Komisi IV DPR Rofi
Munawar mengatakan, impor beras sekitar 600.000 ton (dengan asumsi harga 540
dolar AS per ton) akan menghabiskan uang negara sebesar Rp 2,9 triliun. Tidak
hanya menghabiskan keuangan negara, kebijakan impor beras ini juga dinilai akan
memengaruhi upaya peningkatan produksi beras di kalangan petani.
60
Hendrawan Supratikno dalam menyampaikan kepada Suara Karya di Jakarta, 20 Mei
2012 61
Hendrawan Supratikno dalam menyampaikan kepada Suara Karya di Jakarta, 20 Mei
2012
40
"Jadi ini bukan hanya sekadar masalah berapa dana yang
dikeluarkan. Yang paling mendasar adalah pertanyaan seberapa
efektif kebijakan ini dan risiko yang dimunculkan terhadap
produksi beras nasional," 62
Rofi Munawar sendiri tidak menyetujui kebijakan impor beras karena
tidak akan menyelesaikan masalah yang ada, baik terkait pasokan maupun gejolak
harga beras. Selain itu juga meminta pemerintah untuk mengabulkan permintaan
penghapusan bea masuk impor beras. Kebijakan ini dinilai bisa disalahgunakan
dan nanti berdampak negatif terhadap petani di dalam negeri.
"Pembebasan bea masuk impor beras membuktikan bahwa
kebijakan pengendalian harga, khususnya beras, telah gagal.
Terutama dengan memanfaatkan potensi nasional sebagai
negara agraris,"63
Kebijakan impor beras, sebaiknya yang harus dilakukan pemerintah
mencakup; Pertama. memaksimalkan produktivitas lahan sehingga volume
produksi dapat memenuhi target melalui teknologi. Juga termasuk memperbaiki
irigasi, jalan tani, dan infrastruktur pertanian yang semakin rusak di sebagian
besar wilayah.
Kedua. melakukan audit lahan pertanian karena laju konversi lahan
pertanian untuk pemukiman dan industri lebih tinggi dibanding upaya memerintah
mencetak sawah-sawah baru. Bagaimana dapat menambah volume produksi bila
asumsi luas lahan produktif saja tidak jelas besarannya.
Ketiga, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang masih rendah, Rp 5060,-
membuat petani tidak akan mau menjual berasnya ke Bulog sebab petani akan
rugi. Meski ada Inpres No. 10 Tahun 2011 yang memberikan kewenangan Bulog
62
www.perpustakaan.bappenas.go.id diakses, 5 April 2015 63
www.perpustakaan.bappenas.go.id, dikases, 5 April 2015
41
melakukan subsidi harga, namun tetap saja serapan Bulog masih rendah, di
samping Bulog tidak mempunyai organ penyerapan sampai ke tingkat bawah. Ini
menjadi dilema tersendiri.64
Keempat, pemerintah harus mampu mengendalikan harga beras. Jangan
kalah dengan pengusaha atau mafia beras yang mempunyai stok beras yang
ditimbun. Caranya dengan menyerap beras petani sebanyak-banyaknya sehingga
harga beras tidak dikendalikan mafia beras atau pengusaha beras. Kalau sekarang
beras yang beredar di pasar dan ditimbun mafia beras atau pengusaha beras
persetasinya lebih besar dibanding yang disimpan Bulog.65
64
www.perpustakaan.bappenas.go.id, dikases, 5 April 2015 65
www.perpustakaan.bappenas.go.id, dikases, 5 April 2015
42
BAB III
SISTEM AGRARIA THAILAND DAN KERJASAMA BILATERAL
DENGAN INDONESIA PERIODE 2009-2011
A. Kondisi Geografis dan Pertanian Thailand
1. Kondisi Geografis Thailand
Thailand merupakan salah satu negara di Indochina yang berbatasan
dengan Myanmar di bagian utara, Laos dan Cambodia di bagian timur, dan di
bagian selatan berbatasan dengan Malaysia. Dalam hal pemerintahan, negara yang
masuk salah satu anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) ini
menggunakan system Monarki dengan dikepalai oleh seorang raja bernama
Bhumibol Adulyajed, sementara dalam hal pemerintahan diketuai oleh Junta
Militer yang berkuasa sejak 2014.66
Thailand mengalami peningkatan ekonomi yang cukup cepat dalam rentan
waktu dari 1985 hingga 1996 sekaligus menjadi salah satu negara industri terbaru
dengan fokus utamanya adalah bidang eksport67
. Disamping itu, manufaktur,
pertanian, serta turisme menjadi salah tiga pendukung penting dalam
perekonomian negara itu. Besarnya populasi serta ditopang dengan meningkatnya
66
http://www.bangkoknews.net/index.php/sid/224959611 Diakses pada 10 Juni 2015 67
http://www.worldbank.org/en/country/thailand/overview diakses pada 10 Juni 2015
43
perekonomian bangsa, menjadikannya sebagai salah satu kekuatan di kawasan dan
bahkan dunia.68
Seperti berkaca kepada negara maju lainnya, pemerintah Thailand
kemudian melakukan restrukturisasi sistem perekonomiannya, dari yang mengacu
kepada pertanian, kemudian mulai merambah pada industrialisasi. Hal ini wajar
mengingat sektor industry dalam sejarahnya, memiliki peranan besar dalam
mengangkat status sebuah negara dari Berkembang menjadi Maju, seperti revolusi
industry yang terjadi di eropa beberapa dekade silam.
3. Sistem Agraria Thailand
Dalam hal agriculture, tidak kurang dari 49% dari total pekerja di Thailand
berada di lingkungan Agrikultur, turun dari 70% pada 198069
. Dterbilang cukup
besar dibandingkan Indonesia yang hanya 41% di tahun 2012.70
Dari sekian banyaknya jenis pertanian di Thailand, Beras menjadi salah
satu hasil yang paling penting. Tidak heran jika sejarah mencatat, Thailand
menjadi pemain utama dalam ekspor beras di dunia71
, sejajar dengan India dan
Vietnam. Negara dengan ibu kota Bangkok ini memiliki persentase tertinggi
dalam hal lading pertanian dibandingkan dengan negara di kawasan Mekong,
68
Jonathan H. Ping, dalam Middle Power Statecraft : Indonesia, Malaysia, and the
Pacific. Ashgate, 2005. Hal 104 69
Henri Leturque dan Steven Wiggins dalam Thailand‟s Progress in Agriculture :
Transition and Sustained Productivity Growth. June 2011. Dapat diakses di
http://www.odi.org/publications/5108-thailand-agriculture-growth-development-progress 70
http://www.odi.org/publications/5108-thailand-agriculture-growth-development-
progress Diakses pada 10 June 2015 71
International Grains Council, “Grain Market (GRM444)”, London, 14 Mei 2014. Dapat
diakses di www.igc.int/en/downloads/gmrsummary/gmrsumme.pdf
44
yakni 27.25%, dan 55% dari persentase tersebut diperuntukkan untuk produksi
beras.72
Central Intelligence Agency (CIA) merilis pada 2012, diantara negera-
negara di kawasan ASEAN, Thailand memiliki tanah subur sebanyak 32.41%,
kondisi ini jauh lebih banyak dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam
sebesar 20.64%, Indonesia 12.97%, Philippines 18.6%, dan Malaysia yang hanya
2.94%73
.
Table III.B.1.
Indonesia arable land: 12.97%
permanent crops: 12.14%
other: 74.88% (2012 est.)
Malaysia arable land: 2.94%
permanent crops: 19.78%
other: 77.28% (2012 est.)
Philippines arable land: 18.6%
permanent crops: 17.94%
other: 63.46% (2012 est.)
Thailand arable land: 32.41%
permanent crops: 8.81%
other: 58.78% (2012 est.)
Vietnam arable land: 20.64%
permanent crops: 12.26%
other: 67.1% (2012 est.)
Tabel tersebut menunjukkan persentase total lahan melalui tiga kategori:
arable land atau tanah subur yang dipergunakan untuk bercocok tanam Gandum,
Jagung, dan Padi; permanent crops merupakan lahan pertanian yang dipergunakan
untuk Jeruk, kopi dan Karet; sementara other merupakan lahan yang tidak
72
http://web.archive.org/web/20080327095326/http://www.irri.org/science/cnyinfo/thailand.asp
Diakses pada 10 June 2015 73
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/fields/2097.html Diakses
pada 10 June 2015
45
digunakan untuk pertanian seperti padang rumput, hutan, jalan dan lain
sebagainya.
2. Hubungan Bilateral Thailand-Indonesia
1. Sejarah Hubungan Bilateral Thailand Indonesia
Kerjasama Indonesia-Thailand telah berlangsung sejak tahun 1992 sebagai
mekanisme bilateral untuk meningkatkan kemitraan antara kedua negara yang
secara diplomatik terjalin sejak 1950. Hubungan Indonesia dengan Thailand telah
berlangsung dengan erat di berbagai bidang, antara lain direfleksikan oleh
frekuensi dan intensitas saling kunjung pejabat tinggi kedua negara, serta
peningkatan hubungan di bidang ekonomi, perdagangan, investasi dan
pariwisata74
.
Kepentingan Thailand terhadap Indonesia dalam kerangka kerjasama, dan
payung dari kerjasama bilateral antara kedua negara adalah forum komisi bersama
yang dibentuk setelah ditandatanganinya Persetujuan Kerjasama Ekonomi dan
Teknik Republik Indonesia-Thailand di tahun 1992.75
Dalam pertemuan ke-6 Komisi Bersama RI-Thailand yang berlangsung
pada 16-18 Januari 2008 di Petchaburi Thailand telah dibahas beberapa
permasalahan bilateral yang akan terus dikembangkan oleh kedua negara antara
lain meliputi masalah: ekonomi, perdagangan, transportasi, pendidikan dan
kebudayaan, investasi, perikanan, pariwisata, energi, kerjasama teknik, dan
kerjasama IMT-GT.76
74
Tersedia di www.kemlu.go.id, diakses pada 21 Januari 2015.
46
Pada pertemuan Komisi Bersama RI-Thailand sebelumnya (ke-5) di
Yogyakarta pada 2003, disepakati mengubah nama The Joint Commission on
Economic and Technical Cooperation between the Republic of Indonesia and the
Kingdom of Thailand menjadi The Joint Commission between the Republic of
Indonesia and the Kingdom of Thailand.77
Lepas dari masalah politik yang terus terjadi di negaranya, masalah beras
menjadi isu yang paling fenomenal. Subsidi, yang menawarkan petani hingga 50
persen di atas harga pasar untuk beras telah membantu mantan Perdana Menteri
Thailand Yingluck Shinawatra memenangkan suara dari orang-orang di pedesaan
yang dibutuhkan untuk memenangi pemilu pada 2011.
Tetapi subsidi itu juga mengirim tremor melalui pasar dunia sebelum
terungkap, yang membuat harga jual 18 juta ton beras Thailand lebih tinggi dari
seharusnya dan Yingluck terkena kasus korupsi.
Namun demikian Thailand tetap bertahan sebagai negara pengekspor beras
terbesar di dunia, dengan volume ekspor yang terus meningkat 8 hingga 9,5 juta
ton setelah tahun 2011.78
Wakil Menteri Perdagangan Yanyong Phuangrach
menyatakan, pemerintah Thailand akan mengutamakan ekspor beras yang
berkualitas dan bernilai tinggi, dengan menomorsatukan kualitas daripada
kuantitas.
"Saya yakin kami bisa kembali merebut gelar juara dunia
tahun ini," berikut merupakan pernyataan Presiden
Kehormatan Asosiasi Eksportir Beras Thailand Chookiat
Ophaswongse di Bangkok” (Sabtu, 4 Oktober 2011). 79
77
www.kemlu.go.id. Diakses 5, April 2015 78
www.e-journal.uajy.ac.id dikases 5, April 2015 79
www.indonesian.cri.cn.com. Diakses, 12 Februari 2014.
47
2. Sikap Thailand dalam Eksport Beras ke Indonesia
Impor beras Thailand pada tahun 2009-2011 bukan hanya mengundang
kritik dari masyarakat Indonesia, namun juga dari masyarakat Thailand. sendiri.
Pemerintah Yingluck Shinawatra berhasil mengakselerasi kenaikan harga beras di
pasar Thailand hingga 22% dan menurunkan daya saing ekspornya termasuk
Vietnam, dan Indonesia dianggap kurang mempertimbangkan masalah nasib
petani lokal yang sama sekali tidak mendapatkan satu keadilan dalam masalah
memajukan produktivitas pertaniannya.80
Faktor yang mempengarui impor beras yang utama adalah karena
Indonesia merupakan negara importir beras, dan Indonesia selama ini selelu
mencari negara eksportir alternatif yang menawarkan harga beras yang lebih
murah. Selain Thailand maka Vietnam dan juga India masih memungkinkan
untuk menjadi sumber impor Indonesia. Dengan demikian, di tengah kerja keras
pemerintah mencari alternatif solusi. Gejolak harga beras di Thailand diharapkan
berdampak meminimalisir harga beras di dalam negeri setelah dilakukan impor.
Sistem perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas
menyebabkan harga produk pangan di dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi
dan kondisi harga internasional. Kondisi pasar bebas tersebut dan berbagai
masalah ketersediaan dan distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan,
terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan bawang
merah menjadi berfluktuasi.
80
www.indonesian.cri.cn.com. Diakses, 12 Februari 2014.
48
Indonesia adalah negara yang mampu mempertahankan laju pertumbuhan
ekonomi di tingkat 6% saat negara-negara Eropa dan/atau Asia lainnya menderita
krisis ekonomi global di tahun 2008. Perekonomian Indonesia saat ini 20 kali
lebih besar dari tahun 1994. Indonesia memiliki laju perputaran keuangan tercepat
dibandingkan negara-negara anggota ASEAN. Pertumbuhan Indonesia adalah
yang terbaik kedua di forum G20.
Citra perekonomian Indonesia cukup baik di mata internasional. Namun,
yang patut menjadi kekhawatiran adalah laju pertumbuhan tersebut didominasi
oleh konsumsi rumah tangga dibandingkan produksi, terutama apabila dikaitkan
dengan produksi pangan beras dalam negeri.81
Selain itu, Policy Partnership on Food Security (PPFS) atau Kemitraan
Kebijakan Ketahanan Pangan, yang diresmikan 2012 di Kazan Rusia merupakan
kemitraan antara sektor swasta dan pemerintah dengan tugas membahas kebijakan
ketahanan pangan di kawasan APEC. APEC PPFS mendukung perdagangan
internasional pangan yang dapat meningkatkan pendapatan dengan pembagian
manfaat yang lebih berkeadilan bagi para pelaku usaha kecil.82
Kemudian juga pengaruh Washington Consensus. Selama Indonesia masih
berkiblat pada Konsensus Washington, selama itu juga Indonesia tidak bisa
mandiri secara pangan. Konsensus Washington membuat Rakyat Indonesia tak
leluasa bergerak dalam menentukan nasib produktivitas pertaniannya. Maka, tak
heran jika ketahanan pangan Indonesia lemah.
81
Farisa Noviyanti (2008), “Analisis strategi Ketahanan Pangan Indonesia”, Makalah
Tugas Manajemen Starategi, Program Dipl. IV; Jakarta, STAN. 5. 82
Farisa Noviyanti (2008), “Analisis strategi Ketahanan Pangan Indonesia”, Jakarta.6.
49
Tidak heran jika rakyat yang miskin di Indonesia malah semakin miskin
dan akan ada banyak yang kehilangan pekerjaan. Akibat Konsensus Washington,
liberalisasi pasar akan menguasai cara pasar Indonesia. Akibat Konsensus
Washington, privatisasi beberapa perusahaan negara diberlakukan sebagai jalan
untuk mengatasi krisis negara. Ironis.
Menurut situs web resmi Serikat Petani Indonesia, kedaulatan pangan
merupakan prasyarat dari ketahanan pangan (food security). 83
Mustahil tercipta
ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan
atas proses produksi dan konsumsi pangannya.
3. Kebijakan Impor sebagai Instrument Pengamanan dan Ketentuan World
Trade Organization
Pemerintah RI memanfaatkan kebijakan impor sebagai instrumen strategis
untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan
kebijakan impor dipakai sebagai instrumen menertibkan arus barang masuk
memagari kepentingan nasional dari pengaruh masuknya barang-barang negara
lain.
Pemerintah mendapat mandat dalam membuat kebijakan impor untuk
menjaga kepentingan nasional dengan tujuan untuk menjaga dan mengamankan
dari aspek K3LM (Kesehatan Keselamatan, Keamanan, Lingkungan Hidup dan
Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan pendapatan petani, mendorong
penggunaan dalam negeri, dan meningkatkan ekspor non migas.84
83
Farisa Noviyanti (2008), “Analisis strategi Ketahanan Pangan Indonesia”, Jakarta.7. 84
Tersedia di www.beacukai.batam.com. Diakses pada tanggal 3 Februari 2015.
50
Namun demikian, dalam pelaksanaannya banyak pejabat Pemerintah
mengalami kesulitan menghadapi kritik dan kecaman baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri. Sejumlah peraturan impor masih dianggap bermasalah
baik oleh negara mitra dagang maupun dari pemangku kepentingan dalam negeri.
Negara mitra dagang menganggap bahwa kebijakan impor Indonesia sebagai
proteksi terselubung dan mendistorsi pasar.
Dalam sidang ILA – WTO, tanggal 30 April 2009, sejumlah negara mitra
dagang utama yakni Amerika Serikat, Uni Eropa dan Canada mempermasalahkan
Permendag No.56/M-DAG/PER/12/2008 tentang ketentuan impor untuk produk-
produk tertentu. Ketiganya meminta klarifikasi atas kebijakan No.56/2008
tersebut karena mereka mengganggap bahwa kebijakan itu tidak bertujuan untuk
import licensing procedures.85
Amerika Serikat juga masih mempermasalahkan peraturan impor tekstil
sebagaimana termuat di dalam SK No. 732/MPP/Kep/10/2002 dan bersama
Kanada meminta klarifikasi tertulis dengan tumpang tindihnya peraturan tersebut
dengan Permendag No. 56/2008. Indonesia diminta untuk menyesuaikan dengan
ketentuan WTO karena peraturan tersebut karena mendistorsi pasar dan tidak
konsisten dengan ILA WTO demi memproteksi industri tekstil domestik.86
Kebijakan impor beras juga dipertanyakan oleh Thailand yakni Surat
Keputusan/SK Departemen Perdagangan No. 1718/M-DAG/XII/2005 mengenai
tata niaga impor beras untuk melindungi petani pada saat musim panen. SK
larangan impor beras pada musim panen demi melindungi petani ini tidak
85
Tersedia di www.beacukai.batam.com. diakses pada tanggal 3 Februari 2015. 86
Tersedia di www.ditjenkpi.depdag.go.id. diakses pada tanggal 2 Februari 2015.
51
merujuk ketentuan WTO yang berlaku. Dalam sidang tersebut Thailand
menyatakan belum menerima jawaban tertulis atas pertanyaan yang mereka
sampaikan melalui WTO. 87
Intensitas tuntutan transparansi kebijakan impor Indonesia sebagaimana
tercermin dalam Sidang Committee on Import Licensing Procedures WTO
tersebut memperlihatkan bahwa Pemerintah RI menghadapi kesulitan dalam
menanggapinya terutama jika dikaitkan dengan komitmen persetujuan
perdagangan dunia WTO.88
Semestinya kesulitan itu tidak perlu ada mengingat
adanya mandat dan tujuan yang jelas dalam pembuatan kebijakan impor.
Munculnya berbagai masalah tersebut kemungkinan diduga berasal dari
adanya kendala mentransformasikan garis-garis besar ketentuan Import Licensing
WTO ke dalam bentuk peraturan pelaksananya. Masalah tersebut juga diperberat
oleh kompleksitas ketentuan AIL - WTO, belum meratanya pengetahuan
mengenai ILA - WTO, sering terjadinya pergantian struktur dan pejabat
pemerintah; serta adanya kendala teknis untuk pembuatan dan penyebarluasan
peraturan.89
1. Penggolongan Jenis Kebijakan Tata Niaga Impor
Kebijakan tata niaga impor dapat dikatakan sebagai kebijakan dengan
beban terberat di era WTO. Kebijakan ini disebut klasik karena ketentuan tata
niaga impor berdasarkan ILA adalah pengaturan kebijakan perdagangan barang.90
.
87
Tersedia di www.ditjenkpi.depdag.go.id. Diakses pada tanggal 2 Februari 2015. 88
Tersedia di www.ditjenkpi.depdag.go.id. Diakses pada tanggal 2 Februari 2015. 89
Tersedia di www.ditjenkpi.depdag.go.id. Diakses pada tanggal 2 Februari 2015. 90
www.ditjenkpi.depdag.go.id. Diakses pada tanggal 2 Februari 2015
52
2. Komitmen RI tentang Akses Pasar Barang di WTO
Dalam sejarahnya, sebelum WTO Indonesia hanya mengikat tarif (bound)
hanya 9,4 persen dari keseluruhan tarif. Namun sejak berlakunya WTO 1 Januari
1995, Indonesia mengikatkan dalam komitmen perdagangan barangnya dengan
memperluas menjadi 94,6 persen dari keseluruhan tarif produk barang. Dengan
komitmen tersebut terdapat 8877 jenis produk diikat pada level tertinggi sebesar
40 persen dan tidak boleh lebih tinggi lagi.
Tarif tertinggi terikat rata rata dalam komitmen Indonesia adalah di bawah
40 persen kecuali untuk komoditi pertanian. Tarif terikat rata-rata sebesar 40
persen pada saat itu dianggap cukup memadai untuk melindungi industri
domestik.91
Daftar komitmen RI mengenai akses perdagangan barang terdapat di
dalam buku yang disebut Schedudle of Market Access Commitmen on Goods –
XXI atau dikenal dengan Schedule XXI.92
Indonesia tidak mengkonsesikan seluruh produk industrinya dalam
komitmen kesepakatan WTO. Masih terdapat sebanyak 505 jenis tarif yang
sebagian besar termasuk dalajm kendaraan bermotor dan baja. Sektor lainnya
yang dikecualikan dari ketentuan import WTO adalah pesawat terbang, senjata
dan amunisi, barang kesenian dan barang antik, serta rambut palsu dan bunga
91
Stephen L. Magiera, “Reading in Indonesia Trade Policy 1991 – 2002”, dalam artikel
mengenai The Uruguay Round: Indonesia‟s Market Access Offer for Industrial Commodities,
USAID – Trade Implementation Policy Projects, Jakarta 2003, 27 – 1 – 3. 92
Tersedia di www.ditjenkpi.depdag.go.id. Diakses pada tanggal 2 Februari 2015
53
artifisial. Indonesia juga berkomitmen untuk menghapus 171 surcharges selama
10 (sepuluh) tahun yang berakhir hingga tahun 2004.93
Di bidang non-tariff import barriers (NTBs) Indonesia berkomitmen untuk
menghapus 98 jenis non-tariff import barriers selama 10 tahun dan berakhir tahun
2004. Komitmen RI ke WTO untuk menghapus NTBs ini menyangkut produk
besi dan baja.
Meskipun demikian, RI mengecualikan dalam komitmennya untuk tidak
menghapus 90 item jenis NTBs yang sebagian besarnya adalah kendaraan
bermotor dan sektor baja. Indonesia juga mengecualikan sejumlah regulasi impor
seperti persyaratan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah sebelum
melakukan impor dan impor barang modal tidak dalam keadaan baru.94
3. Perijinan Impor Otomatis
Agreement on Import Licensing Procedures membedakan jenis perijinan
impor berdasarkan peruntukan pihak yang berhak mendapatkan ijin dan jangka
waktu pemrosesan pengurusan perijinan. Kedua jenis kebijakan prosedur perijinan
di dalam ILA, yaitu peraturan yang bersifat Automatic; dan yang Non-automatic
Licensing.
Menurut Artikel 2 ILA, Automatic Import Licensing menjabarkan bahwa
setiap permohonan terhadap kebijakan impor harus diperlakukan sama karena
apabila tidak akan menjadi sebuah batasan/restrictive by-laws. Tujuan dari AIL
93
Magiera, Stephen L.. Readings in Indonesian Trade Policy (1991-2002). Collection of
Papers. 2003. 54 94
Magiera, Stephen L.. Readings in Indonesian Trade Policy (1991-2002). Collection of
Papers. 2003. 54.
54
otomatis ini secara umum dapat dikatakan sebagai pendukung keperluan sistem
statistik.95
Definisi perijinan impor otomatis adalah perijinan yang dapat diberikan
secara untuk pengimporan secara umum dan perijinan otomatis ini keperluan
statistik dan pengumpulan informasi aktual. Pasal 2.1 Persetujuan Prosedur
Perijinan Impor WTO menyebutkan:96
“...automatic import licensing (licensing maintained to collect
statistical and other factual information on import) is defined as
import licensing where the approval of the application is granted in
all cases..”
Terdapat prakondisi untuk menggolongkan suatu perijinan impor sebagai
otomatis yakni jika terpenuhi persyaratan bahwa prosedur perijinan otomatis
tersebut tidak diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak yang
menghambat impor. Perijinan tersebut juga tidak boleh mendiskriminasi pemohon
ijin. Setiap orang dalam hal ini berhak untuk mendapatkan ijin impor dan
mengajukan permohonan untuk mendapatkan ijin asal memenuhi ketentuan
hukum yang berlaku.97
Pemberian Persetujuan Impor otomatis menurut Pasal 2.2.a harus
memenuhi ketentuan bahwa persetujuan tersebut dapat diberikan kapan saja pada
hari kerja sebelum pelaksanaan pemeriksaan kepabeanan dan jangka waktu
penerbitan proses pemberian ijin harus sudah diselesaikan dalam waktu sepuluh
hari kerja.
95
Tersedia di www.ditjenkpi.depdag.go.id, diakses pada 3 Februari 2015. 96
Magiera, Stephen L.. Readings in Indonesian Trade Policy (1991-2002). Collection of
Papers. 2003, 5 97
Tersedia di www.ditjenkpi.depdag.go.id, diakses pada 3 Februari 2015.
55
Adapun Pasal 2.2.b menyebutkan bahwa perijinan impor otomatis
diperlukan hanya jika prosedur lainnya tidak ada dan harus segera dihapuskan
kalau ketentuan untuk pengaturan administratif baru sudah tersedia 10 atau98
“..automatic import licensing may be necessary whenever other
appropriate procedures are not available. It is to be removed as
soon as the circumstances which have given rise to its
introduction no longer prevail..”
4. Pemberian ijin impor Non-automatic Import Licensing
Pasal 3.1 Persetujuan Prosedur Perijinan Impor menyebutkan pengertian
perijinan impor non-otomatis sebagai pemberian perijinan impor yang tidak
termasuk di dalam definiisi perijinan impor otomatis. Sasaran penggunaan
persetujuan non-otomatis ini adalah untuk mengatur dan mengadministrasikan
tata niaga dalam bentuk pembatasan kuantitatif yang sesuai ketentuan hukum
WTO. 99
Ketentuan yang harus dipenuhi dalam pemberian ijin impor non-otomatis
adalah bahwa tidak boleh menimbulkan dampak yang menghambat dan
mendistorsi perdagangan. Pasal 3.2 menyebutkan bahwa perizinan non-otomatis
tidak boleh berakibat membatasi atau menggangu impor yang menambah
pembatasan yang sudah ada.
Prosedur-prosedur perizinan non-otomatis harus, dari segi ruang lingkup
dan masa berlakunya, sesuai dengan tindakan yang dilaksanakan dengan prosedur
98
Tersedia di www.ditjenkpi.kemendag.go.id. Diakses 3, Februari 2015. 99
Tersedia di www.ditjenkpi.kemendag.go.id. Diakses 3, Februari 2015.
56
tersebut, dan harus tidak lebih membebankan secara administratif daripada yang
sungguh-sungguh perlu untuk mengatur tindakan yang bersangkutan.100
Ketentuan lainnya yang berlaku adalah bahwa tiap kebijakan impor non-
otomatis harus dipublikasikan dan memuat informasi mengenai tujuan,
pengecualian, jumlah kuota, tanggal pembukaan dan penutupan dan pengaturan
tentang pengalokasian pemberian kuota kepada negara. Publikasi itu harus
diumumkan setidaknya 21 hari sebelum tanggal berlaku efektif. Pasal 3.5.e
menyebutkan bahwa tidak boleh ada diskriminasi pemberian ijin.
Setiap penolakan harus disertai dengan penjelasan dari pejabat berwenang
dan pemohon berhak mengajukan banding. Proses pengajuan permohonan harus
selesai dalam 30 hari. Namun demikian, untuk persetujuan permohonan secara
simultan dapat diberikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 60 hari.101
Peraturan impor non-otomatis ini menjadi pilihan bagi negara untuk
menjaga mengawasi arus asal barang impor, dan juga dipilih untuk
mengendalikan arus impor barang (misalnya: quota). Biasanya ijin impor non-
otomatis ini diberlakukan antara lain terhadap impor tumbuhan dan hewan, barang
berbahaya, bahan peledak, barang yang diawasi seperti minuman beralkohol,
bahan kimia serta limbah berbahaya.102
Non-automatic Import Licensing (NAL) dibuat untuk mengendalikan arus
barang masuk. Umumnya tindakan yang dilakukan sebagai pelaksanaan dari NAL
ini berbentuk kuota atau Quantitive Restriction (QR).103
100
Tersedia di www.ditjenkpi.kemendag.go.id. Diakses 3 Februari 2015. 101
Tersedia di www.ditjenkpi.kemendag.go.id. Diakses 3 Februari 2015. 102
Tersedia di www.ditjenkpi.kemendag.go.id. Diakses 3 Februari 2015. 103
Tersedia di www.ditjenkpi.kemendag.go.id. Diakses 3 Februari 2015.
57
Tindakan pembatasan impor melalui alokasi kuantitatif ini dilakukan
Pemerintah antara lain untuk melindungi “balance of payment”, melindungi
produsen dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis dengan barang yang
diimpor, dan atau untuk mengendalikan impor bahan penolong yang bersifat
multifungsi dan terdapat potensi untuk disalahgunakan bagi tindakan yang
membahayakan.104
Meskipun QR ini harus diterapkan secara bijaksana dan fair, serta harus
most favored nations atau tanpa ada pengecualian. Penerapan tindakan QR harus
digunakan secara hati-hati berdasarkan alasan-alasan tertentu yang logis terutama
bila yang digunakan adalah alasan untuk menjaga kepentingan “Public Morals”.
Alasan agama tidak dapat digunakan. Pembatasan kuantitatif sering digunakan
sebagai filter untuk produk yang tarif bea masuknya sudah 0%.105
104
Tersedia di www.ditjenkpi.kemendag.go.id. Diakses 3 Februari 2015. 105
Tersedia di www.ditjenkpi.kemendag.go.id. Diakses 3 Februari 2015.
58
BAB IV
ANALISA KEBIJAKAN IMPOR BERAS INDONESIA
DARI THAILAND PADA 2009-2011
Merujuk pada penjelasan Bab III tentang dinamika kebijakan luar negeri
Indonesia spesifik impor beras, Bab III tentang respon Thailand, serta penjelasan
Holsti tentang Kebijakan Luar Negeri, penulis menemukan setidaknya ada dua
faktor utama yang menyebabkan Indonesia mengimport beras ke negeri Gajah
Putih itu.
A. Faktor Internal
1. Menurunnya Produksi Beras
Sebagaimana dijelaskan pada Bab III tentang alasan Indonesia melakukan
impor beras ke Thailand adalah karena menurunnya produksi beras. Berbagai
alasan penyebab terjadinya penurunan itu antara lain: kekeringan, gagal panen,
dan tingginya harga beras dalam negeri. Oleh karena itu, Bulog sebagai lembaga
otonom yang dibentuk pemerintah, tidak sanggup membeli beras dari petani.
Dengan kesibjakan itu, pemerintah dapat menutupi cadangan beras pemerintah
supaya aman dalam beberapa bulan kedepan.
2. Meningkatnya Faktor Konsumsi Beras Masyarakat.
Indonesia adalah konsumen beras terbesar. Untuk menahan laju inflasi
beras dianggap komoditi terpenting sebagai indikator pergerakan inflasi, karena
beras merupakan makanan pokok sehari-hari rakyat Indonesia. Oleh karena itu
59
diperlukan impor untuk menambah suplai beras agar dapat mengontrol harga
dasar beras dan gabah pada umumnya. Sesuai hukum ekonomi supply berbanding
terbalik dengan harga. Namun hal itu tentu saja mengakibatkan efek yang tidak
baik bagi para petani Indonesia. Karena harga beras dalam negeri tidak akan bisa
menyamai harga beras impor. Akibatnya, banyak petani yang terlantar akibat
berkorban bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
3. Perubahan Konsentrasi Ekonomi dari Basis Agrikultur ke Industry
Menurut Arifi, sebagaimana dkutip oleh Haryono, tidak berkembangnya
sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sector industry
sejak pertengahan 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sector
pertanian satu decade sebelumnya, pemerntah seolah menganggap permbangunan
pertanian dapat bergulir dengan sendirinya106
. Asumsi ini membuat pemerintah
mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya. Hal ini tidak terlepas
dari pengaruh paradigm pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi.
B. Faktor Eksternal
1. Perubahan iklim
Menurut Aris, sektor pertanian terutamasubsektor tanaman pangan
merupakan sektor yang paling rentan terkena dampak negatif. Kerentanan
terhadap perubahan iklim tersebut terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik,
dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan
106
http://www.damandiri.or.id/file/dwiharyonoipbbab2.pdf
60
tanaman semusim yang sensitif terhadap cekaman, teutama cekaman (kelebihan
dan kekurangan) air107
.
Brown dan Rosenberg dalam Mestre-Effect on Agriculture menjelaskan
bahwa perubahan iklim mempengaruhi sektor pertanian baik secara langsung
maupun tidak langsung diantaranya melalui efeknya terhadap suhu dan perubahan
curah hujan dalam biologi dan fisik lingkungan108
Perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan fluktuasi ketersediaan air,
yang dapat berpengaruh terhadap produksi tanaman, selain juga terhadap peluang
peningkatan hama dan penyakit. Ketersediaan air merupakan salah satu
konsekuensi paling dramatis perubahan iklim untuk sektor pertanian.
Handoko, sebagaimana dikutip oleh Aries menjelaskan bahwa, dalam lima
tahun terakhir, petani di Jawa dan Sumatera telah mengeluhkan kejadian cuaca
yang tidak normal yaitu permulaan musim hujan bergeser 10-20 hari lebih lambat
dan musim kemarau sekitar 10-60 hari lebih cepat109
.
107
Aris, Pramudya, et al, dalam Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta
Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam. [database online] Dapat diakses di
http://pintar.pdkjateng.go.id/uploads/users/tarjani/materi/SD_Letak_Geografis_dan_Astronomis_I
ndonesia_serta_Pengaruhnya_2014-10-
15/Letak_Geografis_dan_Astronomis_Indonesia_serta_Pengaruhnya.pdf Hal 73. Diakses pada 10
June 2015 108
Mestre-Sanchís, F., M.L. Feijóo-Bello. 2009. Analysis Climate change and its
marginalizing effect on agriculture. Ecological Economics 68:896-904. 109
Aris, Pramudya, et al, dalam Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta
Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam. [database online] Dapat diakses di
http://pintar.pdkjateng.go.id/uploads/users/tarjani/materi/SD_Letak_Geografis_dan_Astronomis_I
ndonesia_serta_Pengaruhnya_2014-10-
15/Letak_Geografis_dan_Astronomis_Indonesia_serta_Pengaruhnya.pdf Hal 73 diakses pada 10
June 2015
61
2. Baiknya sistem Agrikultur di Thailand
Seperti dijelaskan di Bab III, bahwa dalam hal agrikultur, tidak kurang
dari 49% dari total pekerja di Thailand berada di lingkungan Agrikultur, turun
dari 70% pada 1980110
. Terbilang cukup besar dibandingkan Indonesia yang
hanya 41% di tahun 2012111
.
Dari sekian banyaknya jenis pertanian di Thailand, Beras menjadi salah
satu hasil yang paling penting. Tidak heran jika sejarah mencatat, Thailand
menjadi pemain utama dalam ekspor beras di dunia112
, sejajar dengan India dan
Vietnam. Negara dengan ibu kota Bangkok ini memiliki persentase tertinggi
dalam hal lading pertanian dibandingkan dengan negara di kawasan Mekong,
yakni 27.25%, dan 55% dari persentase tersebut diperuntukkan untuk produksi
beras113
.
Bahkan Central Intelligence Agency (CIA) merilis pada 2012, diantara
negera-negara di kawasan ASEAN, Thailand memiliki tanah subur sebanyak
32.41%, kondisi ini jauh lebih banyak dibandingkan negara tetangga seperti
Vietnam sebesar 20.64%, Indonesia 12.97%, Philippines 18.6%, dan Malaysia
yang hanya 2.94%114
.
110
Henri Leturque dan Steven Wiggins dalam Thailand‟s Progress in Agriculture :
Transition and Sustained Productivity Growth. June 2011. Dapat diakses di
http://www.odi.org/publications/5108-thailand-agriculture-growth-development-progress 111
http://www.odi.org/publications/5108-thailand-agriculture-growth-development-
progress Diakses pada 10 June 2015 112
International Grains Council, “Grain Market (GRM444)”, London, 14 Mei 2014.
Dapat diakses di www.igc.int/en/downloads/gmrsummary/gmrsumme.pdf 113
http://web.archive.org/web/20080327095326/http://www.irri.org/science/cnyinfo/thailand.asp
Diakses pada 10 June 2015 114
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/fields/2097.html Diakses
pada 10 June 2015
62
Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan Indonesia yang cenderung
lebih banyak berorientasi kepada sektro industry, padahal jika hendak melihat
lebih jauh, ketergantungan masyarakat pada sector ini yang justru cukup banyak.
C. Indikasi Korupsi dalam Impor Beras Indonesia ke Thailand Periode
2009-2011
Di samping kedua faktor yang disebutkan itu, penulis juga menemukan
adanya unsur korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah, dalam hal ini
Bulog sebagai pihak yang berwenang, menjadi sorotan berbagai pihak seperti
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) serta Ketua Dewan Tani Indonesia
(DTI).
Ferry Juliantoro, selaku ketua DTI dalam sebuah diskusi di Gedung DPR,
sebagaimana dikutip oleh beritasatu.com menyatakan bahwa, seharusnya presiden
memaksimalkan peran Dewan Ketahanan Pangan namun yang terjadi sebaliknya.
Menururtnya Dewan Ketahanan Pangan merupakan lembaga inter departemen,
terdiri dari 12 kementerian dan empat lembaga serta diketuai langsung presiden,
sehingga seharusnya bisa melakukan banyak hal115
.
Ia menambahkan bahwa, pemerintah tidak memiliki data akurat mengenai
persediaan beras. Data hanya dimiliki Bulog. Namun sulit berharap BUMN itu
berpihak kepada petani karena sudah dikuasai mafia beras terlebih dalam
praktiknya, Bulog hanya mencari keuntungan sendiri. Ferry mencurigai Bulog
115
http://www.beritasatu.com/ekonomi/10736-negara-tunduk-pada-mafia-beras.html
Diakses pada 15 Juni 2015
63
“bermain mata” dengan importir beras, yang dikatakan orangnya selalu sama
namun menggunakan bendera berbeda-beda116
.
Sependapat dengan Ferry, Benny Pasaribu dari HKTI meminta agar
pemerintah belajar dari pemerintahan Jepang. Di negara itu, sekalipun harga beras
mahal namun tidak pernah bersedia mengimpor beras. Tujuannya jelas untuk
melindungi para petani.
Keputusan pemerintah untuk mendatangkan beras dari Thailand dan
Vietnam dengan alasan beras dari negara tersebut lebih murah daripada beras
produksi petani lokal, kata Benny, menunjukkan pemerintah memang tidak
memberikan perhatian terhadap petani. Menurut Beny, meski harga beras naik,
seharusnya pemerintah tidak perlu impor agar petani terlindungi dan harga beras
pun bisa dipertahankan117
.
Fakta lain yang tidak kalah mengejutkan datang dari temuan BPK dalam
auditnya untuk 2011 dan 2012 yang menemukan berbagai kejanggalan dan
penyimpangan dala pengadaan impor beras. Dalam laporan itu diuraikan bawah
Pengadaan impor beras tahun 2011 oleh Perum Bulog berdasar surat Menteri
Perdagangan No1047/M-DAG/SD/7/2011 tanggal 12 Juli 2011 tentang izin impor
2011 sebanyak 1.600.000 ton dengan jangka waktu izin impor sejak tanggal
diterbitkan sampai 28 Februari 2012.
Berdasarkan surat izin impor tersebut, Perum Bulog melakukan perjanjian
jual beli dengan public warehouse organization (PWO) yaitu perusahaan yang
116
http://www.beritasatu.com/ekonomi/10736-negara-tunduk-pada-mafia-beras.html
Diakses pada 15 Juni 2015 117
http://www.beritasatu.com/ekonomi/10736-negara-tunduk-pada-mafia-beras.html
Diakses pada 15 Juni 2015
64
diatur dan tunduk pada hukum Thailand yang dituangkan dalan kontrak
No.PK/TP-002/DO200/08/2011 tanggal 7 Desember 2011.
Komoditi yang disepakati pada perjanjian tersebut adalah beras Thailand
dengan butir patah maksimal 15% ( beras eks Thailand 15%) dari hasil panen
tahun 2011). Pengadaan beras impor dilakukan oleh divisi pengadaan di kantor
pusat. Sedangkan penerimaan beras impor dilaksanakan di masing-masing divre
yang telah ditentukan.
Untuk menunjang kelancaran kegiatan impor, Divre ditunjuk mengadakan
tender perusahaan jasa pengurusan transportasi (PJPT) untuk membongkar beras
impor milik Perum Bulog dari kapal-kapal sampai ke dalam gudang118
.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap dokumen penerimaan beras impor
dan reprocessing beras eks Thailand 15% selama tahun 2012 diketehui hal-hal
berikut119
:
1. Kualitas beras eks Thailand 15% yang diterima divre DKI Jakarta tidak
sesuai kontrak Pada awal tahun 2012, divre DKI Jakarta menerima beras
eks Thailad 15% untuk pengadaan tahun 2011 sebanyak 118.015.750 kg di
pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan pelabuhan Ciwanda Kota Madya
Cilegon. Penerima beras impor tersebut dilakukan bertahap sejak Januari
sampai Maret 2012 dan disimpan di gudang-gudang beras wilayah Divre
DKI Jakarta yaitu gudang Bulog baru ( GBB) I s.d. XVI, GBB Cikande 1
s.d. III, gudang semi permanen (GSP) warung gunung I, GSP montor I dan
118
http://inspeksianews.com/berita/inilah-temuan-bpk-tentang-impor-beras-dan-raskin
Diakses pada 15 June 2015 119
http://inspeksianews.com/berita/inilah-temuan-bpk-tentang-impor-beras-dan-raskin
Diakses pada 15 June 2015
65
GSP Malingping II setelah terlebih dahulu dilakukan survey oleh surveyor
indenpenden yaitu PT Pan-Indo Superintendence dan PT Sucofindo.
2. Tidak terdapat tim supervisi muatan kapal di pelabuhan muat dan tidak
terdapat tim supervisi muatan kapal di pelabuhan bongkar divre Sulut
untuk penerimaan beras eks Thailand 15% pada tahun 2012
3. Hasil survey yang dilakukan oleh surveyor indenpenden tidak sesuai
persyaratan yang sudah ditetapkan dalam perjanjian jual beli beras antara
Perum Bulog dengan public warehouse organization (PWO).
4. Proses seleksi/ pemilijan PJPT dengan kapal MV Vinh An sebanyak 6.00
ton di Divre Sulut belum sepenuhnya sesuai ketentuan Perum Bulog.
Drivre Sulut melalui tim pelaksanan tender penerimaan beras impor di
GBB madidir I.
5. Pekerjaan pelaksanaan penerima barang impor luar negeri oleh PT
Berdikasi (Persero) selaku pemenang tender diserahkan kepada pihak lain.
6. Tidak terdapat berita acara pemeriksaan kualits oleh tim divre/subdivre di
divre DKI Jakarta sebelum diusulkan reprocessing
7. Pelaksanaan reprocessing beras eks Thailand 15 % dengan metode oplos
di divre DKI Jakarta tidak berdasarkan hasil uji coba oleh tim uji
reprocessing.
Melalui fakta yang dipaparkan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa,
import beras Indonesia ke Thailand periode 2009-2011 bukan hanya sekedar
dalam rangka memenuhi kebutuhan Indonesia, sebab di samping pada waktu yang
bersamaan Indonesia justru mengalami surplus produksi, harga yang dipatok
66
pemerintah Thailand pun juga jauh lebih tinggi dibandingkan harga dasar beras
dalam negeri.
67
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Pada dasarnya produksi beras nasional cukup untuk memenuhi kebutuhan
beras nasional. Akan tetapi tidak ada stok cadangan untuk berjaga-jaga. Oleh
karena itu perlu mengimpor beras untuk menutupi stok cadangan. Hal ini tentu
saja akan membuat asumsi lain bahwasanya Indonesia tidak mampu memproduksi
beras sendiri dan hanya mengandalkan beras impor dari luar negeri.
Akan tetapi, pemerintah menyangkal hal ini dengan alasan stok beras
cukup untuk kebutuhan pokok bagi masyarakat sebangsa Indonesia. Pemerintah
berdalih, mengimpor beras demi mengejar kenaikan inflasi. Sebenarnya stock
beras nasional ini berkurang, karena pihak bulog tidak melakukan upaya
pembelian gabah dari kalangan petani atau koperasi-koperasi petani. Karena
mereka hanya membeli padi dari pedagang dan pengusaha.
Dan secara otomatis menimbulkan selisih harga yang tinggi dibanding
harga dari petani. Dan jumlah yang dibeli Bulog tidak memenuhi jumlah standart
stock nasional. Oleh karena itu letak kurangnya stock Bulog sekarang ini adalah
disebabkan karena lambatnya bulog membeli gabah-gabah petani pada masa
panen raya.
Berdasarkan data yang ditemukan ternyata tingkat harga, produktivitas
beras dan pendapatan petani di Indonesia tidak mengalami penurunan pada tahun
2009-2011, namun upah buruh petani mengalami stagnasi, artinya tidak ada
68
peningkatan, sementara itu tingkat kemiskinan juga sangat lambat dalam
mengalami perbaikan.
Karena faktor-faktor tersebut impor dilakukan, dan bahwa Impor beras
Thailand pada 2009-2011 menunai kritikan dan penolakan dari berbagai kalangan
masyarakat Indonesia. penolakan tersebut karena impor beras dianggap sangat
merugikan petani di Indonesia, dan melemahkan ketahanan pangan di Indonesia.
Dampak impor dirasakan oleh petani, dan masyarakat Indonesia.
Kebijakan impor beras Thailand pada 2009-2011 membawa dampak diantaranya;
hilangnya kesempatan petani untuk meraih keuntungan yang cukup baik pada
masa panen dimana produksi sebenarnya surplus, dan harga meningkat, namun
akibat impor, maka harga beras lokal turun, dan petani tidak mendapatkan
keuntungan maksimal, karena beras lokal kalah murah dan kualitasnya oleh beras
impor.
Kedua. Petani kehilangan keyakinan terhadap kebijakan pemerintah yang
dalam hal ini lebih memilih keuntungan liberalisasi pasar, bukan kepentingan
kekuatan harga pada petani, dan upaya penguatan ekonomi petani.
Ketiga. Daya saing baik produksi petani maupun pemasaranya kalah saing
oleh adanya padi/ beras impor. Beras impor terus mengancam harga beras
nasional di masa yang akan datang / periode selanjutnya. Sementara perbaikan
system pertanian nasional tidak pernah benar-benar dijalankan.
B. Saran-Saran
Penulis ingin menyarankan kepada pemerintah/ pemegang kebijakan, agar
kebijakan impor beras tidak dilanjutkan, karena jelas hal itu mengancam
69
kemandirian pangan dan kesejahteraan bangsa. Untuk itu perlu rencana merevisi
kebijakan impor beras dan digantikan dengan kebijakan penguatan sektor
pertanian dan pengadaan pangan lokal.
Penulis merasa bahwa Indonesia memiliki potensi yang melimpah di
bidang pangan dan dapat memanfaatkan potensi yang ada untuk meningkatkan
ketahanan dan ketersediaan pangan nasional yang berkelanjutan demi kepentingan
rakyat sebesar-besarnya, dengan catatan Indonesia harus menerapkan manajemen
perberasan nasional yang berbasis pada 3 pilar penting, yaitu Revitalisasi,
Diversifikasi , dan Reformasi Bulog.
Revitalisasi ini merupakan upaya yang bersifat membangun sektor hulu
pertanian yaitu dalam hal peningkatan produksi beras. Langkah ini dilakukan
melalui berbagai macam cara seperti reformasi sistem lahan, teknologi, dan
peningkatan alokasi anggaran pertanian. Reformasi sistem lahan ini berarti
keberpihakan pemerintah untuk memfasilitasi lahan kepada petani. Hal ini bisa
dilakukan dengan cara pemberian insentif bagi petani untuk memiliki lahan dan
memudahkan dalam pengurusan sertifikasi lahan.
Reformasi sistem lahan ini berarti adanya penguatan regulasi untuk lahan
pangan berkelanjutan berupa sanksi dan standar yang jelas dalam teknisnya tidak
hanya sebatas instruksi. Dengan penguatan ini akan mudah untuk menimalisasi
alih fungsi lahan yang semakin meningkat jumlahnya.
Dalam hal teknologi, yang perlu dilakukan adalah menerapkan teknologi
yang tepat guna untuk mendorong produktifitas. Misalkan penggunaan teknologi
yang dinamakan bioperforasi yang diklaim dapat meningkatkan produktifitas
70
sampai 2-3 kali lipat (LIPI, 2010). Bioperforasi ini memanfaatkan mikroba unggul
yang dapat menyuburkan tanah. Dengan teknologi ini apabila petani biasanya
menggunakan kompos 1 hektar sebanyak 4-6 ton, dengan pupuk ini cukup
menggunakan 500 kg.
Dalam hal anggaran pertanian, hal terakhir ini menjadi prioritas utama
dalam mendukung revitalisasi pertanian. Alokasi pertanian yang hanya sebangsa
Indonesia 2% perlu ditingkatkan menjadi minimal 5% agar program-program
pertanian dapat lebih mudah dilakukan. Peningkatan anggaran ini nantinya juga
bisa dimanfaatkan melalui insentif untuk diberikan kepada petani baik dalam
bentuk keuangan, infrastruktur maupun pengembangan kompetensi petani.
Langkah selanjutnya adalah diversifikasi yang berarti melakukan
penganekaragaman makanan selain beras. Diversifikasi ini digunakan untuk
mengurangi konsumsi beras nasional yang saat ini tergolong tinggi.
Potensi untuk melakukan diversifikasi pangan sebenarnya terbuka dengan
luas dengan mengingat beragamnya potensi hasil pertanian yang bisa sebagai
subtitusi produk beras seperti singkong, jagung, sagu, dan berbagai macam
produk lainnya. Pemerintah memiliki peranan vital dalam rangka usaha ini, yaitu
melalui sosialisasi ke berbagai daerah untuk mengoptimalisasi pemanfaatan
keanekaragaman ini.
Dengan keragaman sumber bahan pangan yang dikonsumsi diharapkan
dapat menekan impor pangan secara nyata dan mengurangi ketergantungan
pangan dari luar negeri sehingga ketahanan dan kemandirian pangan nasional
semakin tercapai.
71
Ketiga adalah reformasi Bulog, dalam hal ini dikhususkan pada penguatan
fungsi dari Bulog. Penguatan ini akan memperbaiki sektor tengah dan hilir beras
yaitu menyangkut perdagangan dan stok cadangan beras. Secara nyata penguatan
ini difokuskan pada peningkatan peran Bulog untuk menstabilkan harga beras,
mengoptimalkan penyerapan beras petani, dan menjaga stok pangan nasional,
dibandingkan pada upaya untuk menghasilkan keuntungan.
Langkah yang dilakukan dengan cara menguatkan regulasi mengenai hal
itu yang memberikan kewenangan lebih pada Bulog. Hal ini untuk menghindari
konflik kepentingan antara fungsi pelayanan sosial dengan kepentingan komersial
yang diemban. Selanjutnya, dari segi manajemen pengelolaan stok, Bulog juga
perlu mengoptimalkan perannya.
Penyerapan beras petani harus lebih aktif dilakukan serta untuk harga
pembelian beras perlu disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku tidak hanya
bergantung HPP. Hal ini akan membuat stok Bulog semakin mantap dan petani
pun dapat mengambil keuntungan.