Lapsus Tonsilitis

35
LAPORAN KASUS TONSILITIS KRONIK EKSASERBASI AKUT Disusun Oleh: Ni Kadek Putri Dwi Jayanti H1A 009 049 Pembimbing: dr. I Gusti Ayu Trisna, Sp.THT- KL DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN 1

description

lapsus

Transcript of Lapsus Tonsilitis

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIK EKSASERBASI AKUT

Disusun Oleh:

Ni Kadek Putri Dwi Jayanti

H1A 009 049

Pembimbing:

dr. I Gusti Ayu Trisna, Sp.THT- KL

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RSU PROVINSI NTB

2015

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam cincin

Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu: tonsil

faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil tuba

Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi

melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua

umur, terutama pada anak.1

Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya

merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.

Kelainan ini merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit

tenggorok berulang dan merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT.2,3

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia)

pada tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah

Nasofaringitis Akut (3,8%). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin

pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien

Tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan. Data morbiditas

pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit

anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi,

Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7

persen pada perempuan).2,3

Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu

konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa,

yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan

menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk

abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi

tonsilektomi perlu dilakukan.2

BAB II

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EMBRIOLOGI TONSIL

Tonsil palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong

faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan

bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsil palatina. Pilar tonsil berasal

dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia

kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada

sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel – sel limfatik.

Secara histologi tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau

trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel

germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan

interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).4

2.2 ANATOMI TONSIL

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh

jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil

ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal

dengan kripta.5,6 Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah.1 Epitel kripta

tonsil merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga

epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan

untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta

ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin

longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan

antigen tertahan di dalam kripta tonsil. 5,6

Tonsil palatina adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan

sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal

dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap

infeksi. Tonsil palatina dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin

Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas.5

3

Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :7

1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.

2. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus

glossopalatinus dan arcus glossopharingicus.

3. Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.

4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium

tuba auditiva.

1) Tonsilla Palatina

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang

terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris dan dibatasi oleh

pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil

palatine dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus,

posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh

ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior,

bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Tiap

tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas

menonjol ke dalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang

berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripte. Tonsil tidak

selalu mengisi seluruh fossa tonsillaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal

sebagai fosa supratonsilar. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan

fibrosa yang disebut “Capsula” tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan

tonsilla lingualis.1,8

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi

invaginasi atau kripte tonsila. Epitel yang melapisi permukaan tonsila palatina

mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana

mukosa tonsila palatina ini selalu mendapat gesekan dalam tubuh sehingga

memerlukan perlindungan yang lebih baik agar lebih tahan terhadap trauma.

Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang

kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan

4

jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme

pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh

limfatik.8

Kripte pada tonsila palatina dalam dan bercabang-cabang dan terdapat kripte

dalam jumlah yang banyak. Pada kripte ini bermuara kelenjar-kelenjar submukosa

yang terdapat di sekitar tonsil. Fossa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu

batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus

dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.

Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring

terdapat nervus ke IX, yaitu nervus glosofaringeal.8

Vaskularisasi tonsil diperoleh dari arteri yang terutama masuk melalui polus

caudalis, tapi juga bisa melalui polus cranialis. Melalui polus caudalis : rr.

tonsillaris a. dorsalis linguae, a. palatina ascendens dan a. facialis. Melalui polus

cranialis : rr. tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina minor. Semua

cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari a. carotis eksterna. Darah venous

dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis dan di sekitar kapsula

tonsillaris membentuk pleksus venosus yang mempunyai hubungan dengan

pleksus pharyngealis. Vena paratonsillaris dari palatum mole menuju ke bawah

lewat pada bagian atas tonsillar bed untuk mengalirkan darah ke dalam pleksus

pharyngealis.9

5

Gambar 1. Vaskularisasi Tonsil Palatina

Cairan limfe dialirkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis superficialis dan

sebagian besar ke lnn. cervicalis profundus superior, terutama pada limfonodi

yang terdapat di dorsal angulus mandibular (lnn. tonsillaris). Nodus paling penting

pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus yang terletak di bawah dan

belakang angulus mandibulae. Tonsil bagian bawah mendapat persarafan dari

cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden

lesser palatine nerves.9

2) Tonsilla Pharingeal (Adenoid)

Adenoid merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan

limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut

tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau

kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di

bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai

kriptus.8

Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring, berbatasan dengan kavum

nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, serta kompleks tuba Eustachius –

telinga tengah – kavum mastoid pada bagain lateral. Jaringan adenoid di

nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat

meluas ke fossa Rosenmuller dan orifisium tuba Eustachius. Ukuran adenoid

bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai

ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.8

3) Tonsilla Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen

sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat

ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinis

6

merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau

kista duktus tiroglosus.10

2.3 IMUNOLOGI

Tonsil adalah jaringan limfoid yang mengandung limfosit B, limfosit T, dan

sel plasma. Sentrum germinativum tonsil menghasilkan berbagai macam

immunoglobulin meliputi Ig G, Ig M, Ig A, Ig D, dan Ig E. Ig A sekretori (s-IgA

merupakan imunoglobulin terbanyak dalam saliva, yang dapat mencegah penetrasi

antigen melalui mukosa rongga mulut.10

Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan

limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang.

Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM,

IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di

jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4

area, yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel

limfoid, dan pusat germinal pada folikel limfoid. Tonsil merupakan organ limfatik

sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah

disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama, yaitu 1) menangkap dan

mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi

antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.8

Tonsilektomi sudah sejak lama merupakan kontroversi di berbagai kalangan,

baik awam maupun profesi. Bagi yang kontra, tonsilektomi dianggap dapat

menurunkan sistem pertahanan tubuh. Beberapa penelitian mengenai s-IgA pada

saliva telah dilakukan oleh Thaweboon et al. yang meneliti s-IgA pada saliva, pH

dan laju saliva pada anak dengan infeksi streptokokus dan kandida serta karies

dentis memiliki kadar yang lebih tinggi dibanding kontrol. Begitu juga yang

didapatkan oleh Thornber et al. yang melakukan penelitian mengenai s-IgA pada

anak dengan limfadenitis mikobakterial atipik lebih tinggi dibanding kontrol.

D’Amelio R et al. 8 yang meneliti kadar Ig A serum dan saliva pada subyek

normal dibandingkan dengan penderita tonsilitis kronik sebelum dan setelah

tonsilektomi mendapatkan hasil 1,6 % menunjukkan penurunan baik Ig A serum

7

maupun Ig A saliva, 27,4 % menunjukkan penurunan parsial Ig A serum

sedangkan Ig A saliva tetap normal dan 71,4 % tidak menunjukkan penurunan Ig

A serum maupun saliva. Penelitian mengenai kadar imunoglobulin A sekretori

pada penderita tonsilitis kronik sebelum dan setelah tonsilektomi dilakukan di

Makassar menyimpulkan bahwa sebelum tonsilektomi, kadar s-IgA penderita

tonsilitis kronik umumnya tinggi. Empat minggu setelah operasi, kadarnya

menurun mendekati kadar s-IgA pada individu normal.10

2.4 TONSILITIS KRONIS

DEFINISI

Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat

infeksi akut atau subklinis yang berulang. Tonsillitis adalah peradangan tonsila

palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Sedangkan Tonsilitis

kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun.

Penyebaran infeksinya melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman.

Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.1

Gambar 2. Tonsilitis

ETIOLOGI

Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang

menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,

pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak

adekuat. Kuman penyebabnya sama

dengan tonsilitis akut, yaitu Grup A

Streptococcus ß hemoliticus,

pneumokokus, Streptococcus

viridan, dan Streptococcus

8

piogenes, tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram

negatif.1

PATOLOGI

Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan epitel mukosa

jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid

diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte

melebar. Secara klinis kripte ini tampak di isi oleh detritus. Proses berjalan terus

sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan

jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan

pembesaran kelenjar limfa submandibula.1

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte-

kriptenya, sampai disitu secara aerogen (melalui hidung, droplet yang

mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil),

maupun melalui mulut bersama makanan.11

Fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik

yang melalui hidung maupun mulut. Kuman yang masuk ke dalam dihancurkan

oleh makrofag, Sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi

maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya,

akibatnya kuman bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh

dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (tonsil sebagai fokal infeksi). Sewaktu

– waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan umum

yang menurun. 11

MANIFESTASI KLINIS

Pada tonsilitis akut, gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri

tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa

lesu, dan rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga

(otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui

n.glosofaringeus (n.IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis

9

dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu.

Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.3

Pada tonsilitis kronik, rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan

kering di tenggorok dan napas berbau. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar

dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh

detritus.3

Tonsilitis AkutTonsilitis Kronis

Eksaserbasi akutTonsilitis Kronis

Hiperemis dan

edema

Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil

tapi tidak hiperemis

Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar

Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)

Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)

Antibiotika,

analgetika,

obat kumur

Sembuhkan radangnya, Jika

perlu lakukan tonsilektomi 2

– 6 minggu

setelah peradangan tenang

Bila mengganggu

lakukan

Tonsilektomi

DIAGNOSIS

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak

rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Standar untuk pemeriksaan

tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio

tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior

kanan dan kiri. Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan

mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan

medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi: 1

TO: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

10

TERAPI

1) Medikamentosa

Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik.

Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala

yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh

streptokokus perlu diobati dengan Penisilin V secara oral, Sefalosporin,

Makrolida, Klindamisin, atau injeksi secara intramuskular Penisilin Benzatin G.

Terapi yang menggunakan Penisilin mungkin gagal (6-23%), oleh karena itu

penggunaan antibiotik tambahan mungkin akan berguna.3,4

2) Operatif

Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan

pada pasien dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan

tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan

11

berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok,

nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi. Tonsilektomi sebagai tindakan operasi

terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum mempunyai keseragaman

indikasi. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis

kronik dengan insidensi 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis

dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3

tahun.3

Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head

and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan

Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology ,Head

and Neck Surgery.4

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan

terapi yang adekuat.

b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofacial.

c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertropi tonsil dengan sumbatan jalan

nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonal.

d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak

berhasil hilang dengan pengobatan.

e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus β

haemoliticus.

g. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

h. Otitis media efusa atau otitis media supuratif.

KOMPLIKASI

- Komplikasi Tonsilitis

Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses

peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis akut,

miokarditis, artritis serta septikemia akibat v. jugularis interna (sindrom

Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui

12

mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang

dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).1

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya

berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.

Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul

endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,

urtikaria, dan furunkulosis.1

- Komplikasi Tonsilektomi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal

maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan

komplikasi tindakan bedah dan anestesi. 12

1. Komplikasi anestesi12

Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.

Komplikasi yang dapat ditemukan berupa:

• Laringosspasme

• Gelisah pasca operasi

• Mual muntah

• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan

henti jantung

• Hipersensitif terhadap obat anestesi.

2. Komplikasi Bedah12

a) Perdarahan

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan

dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat

perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali

karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.

b) Nyeri

Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf

glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang

13

menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh

mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.

c) Komplikasi lain

Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara, aspirasi,

otalgia, pembengkakan uvula, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan

pneumonia.

PROGNOSIS

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan

pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat

penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi

infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan

yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu

yang singkat. 11

Gejala – gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita

mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu

infeksi pada telinga dan sinus. 11

14

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : “Tn S”

Umur : 51 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Selagalas, Mataram

Pekerjaan : Wiraswasta

RM : 150424

3.2. Anamnesis

Keluhan Utama :

Sakit tenggorokan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan nyeri

tenggorok sejak 3 hari yang lalu. Pasien nyeri pada tenggorokan kadang

dirasakan menjalar sampai pada kedua telinganya. Os juga mengeluh nyeri

makin berat saat menelan makanan. Hal tersebut menyebabkan nafsu makan

15

pasien menjadi menurun. Pasien juga mengeluh demam, keluhan demam ini

dirasakan 4 hari yang lalu, namun hilang timbul. Keluhan nafas berbau juga

dirasakan oleh pasien. Keluhan batuk (-) , pilek (-), hidung tersumbat (-).

Pasien mengaku mendengkur saat tidur. Keluhan sesak napas disangkal.

Pasien menyangkal pendengaran telinga menurun, keluar cairan dari telinga

(-).

Riwayat Penyakit Dahulu :

Keluhan serupa sudah dirasakan pasien 1 tahun yang lalu,dan berulang > 3

kali. Riwayat batuk lama (-), asma (-).

Riwayat Penyakit Keluarga :

Pasien tidak memiliki keluarga dengan keluhan yang serupa. Riwayat batuk

lama(-), asma (-).

Riwayat Alergi :

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan dan obat-obatan.

Riwayat alergi debu dan bersin-bersin di pagi hari (-).

Riwayat Pengobatan:

Pasien sudah pernah minum obat parasetamol untuk mengurangi sakitnya.

Riwayat Sosial :

Pasienmerupakan seorang perokok, ia merokok selama ± 10 tahun, pasien

biasanya dapat menghisap rokok sebanyak 5 batang perhari.

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis :

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital :

- TD : 120/70 mmHg

- Nadi : 80 x/menit

- Respirasi : 18 x/menit

16

- Suhu : 37,4oC

Status Lokalis :

Pemeriksaan Telinga

No. Pemeriksaan Telinga Auricula Dextra Auricula Sinistra

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga : aurikula,

preaurikuer, retroaurikuler.

Bentuk dan ukuran telinga

dalam batas normal, lesi

pada kulit (-), hematoma (-),

massa (-), fistula (-), nyeri

tarik aurikula (-).

Bentuk dan ukuran telinga

dalam batas normal, lesi

pada kulit (-), hematoma (-),

massa (-), fistula (-), nyeri

tarik aurikula (-).

3. Liang telinga (MAE) Serumen (+), hiperemis (-),

edema (-), furunkel (-),

otorhea (-).

Serumen

Serumen (-), hiperemis (-),

edema (-), furunkel (-),

otorhea (-).

4. Membran timpani Intak, retraksi (-), hiperemi

(-), bulging (-), edema (-),

perforasi (-), cone of light

(-), cone of light (+).

Intak, retraksi (-), hiperemi

(-), bulging (-), edema (-),

perforasi (-), cone of light

(+).

5. Tes garpu tala

- Rinne

- Weber

- Swabach

(+)

Lateralisasi (-)

Sama dengan pemeriksa

(+)

Lateralisasi (-)

Sama dengan pemeriksa

17

Pemeriksaan Hidung

Inspeksi Nasal Dextra Nasal Sinistra

Hidung luar Bentuk normal, inflamasi (-),

deformitas (-), massa (-).

Bentuk normal, inflamasi (-),

deformitas (-), massa (-).

Rinoskopi Anterior :

Vestibulum nasi Hiperemi (-), ulkus (-) Hiperemi (-), ulkus (-)

Cavum nasi Bentuk normal, mukosa

hiperemi (-).

Bentuk normal, mukosa

hiperemi (-).

Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-),

perdarahan (-), ulkus (-).

Deviasi (-), benda asing (-),

perdarahan (-), ulkus (-).

Meatus nasi media Mukosa hiperemi (-), sekret

(-), massa berwarna putih

mengkilat (-).

Mukosa hiperemi (-), sekret (-),

massa berwarna putih

mengkilat (-).

Konka media dan konka

inferior

Hipertrofi (-), hiperemi (-),

kongesti (-).

Hipertrofi (-), hiperemi (-),

kongesti (-).

Gambar :

Pemeriksaan Tenggorokan

No. Pemeriksaan Keterangan

1. Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda

18

2. Mulut Mulut dapat menutup sempurna, mukosa mulut

basah, berwarna merah muda.

3. Bucal Warna merah muda, hiperemi (-)

4. Gigi Gigi lengkap, berlubang (-)

5. Lidah Ulkus (-), pseudomembran (-).

6. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-),

pseudomembran (-).

7. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-), arkus palatum normal

8. Faring Mukosa hiperemi (-), edema (-), ulkus (-),

granul (-), sekret (-), refleks muntah (+).

9. Tonsila Palatina Hiperemia (+)/(+), detritus (+)/(+), kripte

melebar (+)/(+), ukuran T3/T3.

Gambar :

19

3.4. Diagnosis

Tonsilitis kronis eksaserbasi akut

3.5. Planning

Planning Diagnosis :

- Pemeriksaan ASTO (Anti-Streptolisin O)

- Pemeriksaan swap tenggorok dan uji sensitivitas

Planning Terapi :

- Analgetik : Parasetamol 3 x 500 mg

- Antibiotika : Amoxicillin 3 x 500 mg

- Pro tonsilektomi

3.7 KIE Pasien

- Untuk saat ini tonsil atau amandel pasien tidak dalam keadaan meradang

sehingga untuk mencegah kekambuhan, sementara hindari makanan yang

berminyak, minuman atau makanan dingin, serta makanan yang bersifat

iritatif terhadap tenggorokan.

- Menjaga higiene mulut agar tidak terjadi tonsilitis berulang.

20

- Menjelaskan kepada pasien bahwa tindakan terapi yang paling baik adalah

dengan tindakan operatif. Hal ini dilakukan karena adanya beberapa

indikasi yang menjadi dasar untuk dilakukan tindakan operasi pada pasien

yaitu berupa adanya riwayat kekambuhan yang lebih dari 3 kali dalam 1

tahun terakhir, adanya keluhan sulit menelan, nafas berbau serta gangguan

ketika tidur berupa mengorok.

- Edukasi kepada pasien untuk mengambil keputusan tindakan operatif

untuk mencegah kekambuhan dan apabila setuju akan dilakukan

pemeriksaan yang lengkap untuk persiapan operasi.

- Menjelaskan kepada pasien bahwa apabila tidak dilakukan operasi maka

resiko kekambuhan akan tinggi, terutama jika tidak menjaga higienitas

rongga mulut, dan dapat menimbulkan infeksi ke daerah sekitar mulut

apabila tidak ditangani dengan baik.

3.8 Prognosis

Dubia ad bonam

BAB 4

PEMBAHASAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari

cincin Waldeyer. Rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,

21

higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan

tonsilitis akut yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya tonsilitis kronik.

Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan tonsilitis kronik eksaserbasi akut

yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis

didapatkan keluhan sakit tenggorokan yang telah dialami selama 3 hari. Pasien

juga mengeluhkan nyeri makin bertambah saat menelan makanan. Nyeri dirasakan

hingga telinga. Keluhan demam juga dirasakan pasien namun hilang timbul. Saat

tidur pasien juga dikatakan sering mengorok dan ada nafas yang berbau. Keluhan

tersebut sering berulang telah dialami selama 1 tahun. Dari pemeriksaan fisik

ditemukan adanya tonsil yang hiperemi,detritus, kripte yang melebar, dan ukuran

tonsil T3/T3. Usulan pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan ASTO (Anti-

Streptolisin O). Pemeriksaan ini penting untuk mengetahui adanya infeksi tonsil

oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus yang dapat menyebabkan berbagai

komplikasi ke organ lain seperti jantung dan ginjal.

Penanganan yang dilakukan pada penderita ini berupa pemberian analgetik

untuk keluhan nyeri menelan yang dialami pasien serta antibiotika untuk

menghilangkan infeksi pada tonsilitis yang mengalami eksaserbasi akut.

Antibiotika pilihan yang diberikan adalah amoxicillin dan diberikan selama 7-10

hari walaupun gejala klinis telah hilang. Selain itu, setelah gejala infeksi dan

peradangan teratasi, pasien direncanakan untuk dilakukan tonsilektomi untuk

mencegah komplikasi tonsilitis kronik. Persiapan untuk tonsilektomi perlu

dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap, bleeding

time, dan clotting time.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.

Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku

22

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi

Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 224-225.

2. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2005. Infections of the Upper Respiratory

Tract. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY:

McGraw Hill.

3. Rusmarjono, Soepardi EA. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring.

Dalam :Soepardi EA, Iskandar N. (Ed). Buku Ajar Ilmu THT. Edisi 6.

Jakarta :Balai Penerbit FKUI ; 2007. Hal 221-5.

4. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otalaryngology.

6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001;263-368

5. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and adenoidectomy. In: Bailey

BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck

Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,

2006:p.1183-98.

6. Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy, and

tympanostomy tubes. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors.

Ototlaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins, 2006:p.1199-208.

7. Amarudin, Tolkha et Anton Christanto. 2005. Kajian Manfaat Tonsilektomi,

Cermin Dunia Kedokteran. [Available from :

http://www.cerminduniakedoteran.com]

8. Norhidayah. Gambaran Indikasi Tonsilektomi di RSUP Haji Adam Malik dari

Tahun 2008-2010. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2010.

9. Moore KL, Anne MR. Neck. In : Essential Clinical Anatomy. USA : Lippincott

Williams and Wilkins. 2002: hlm 439-445.

10. Sakka I, Sedjawidada R, Kodrat L, Rahardjo SP. Kadar imunoglobulin A

sekretori pada penderita tonsilitis kronik sebelum dan setelah tonsilektomi.

23

Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas

Kedokteran Universitas hasanuddin. 2010: hlm 1-7.

11. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H.

Adam Malik Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal Repository.

[Accessed from: http://repository.usu.ac.id/]

12. Wanri A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan

Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2007: hlm 1-8.

 

24