Lapsus Meningitis TB DEVY-1
-
Upload
putridhewanty -
Category
Documents
-
view
77 -
download
14
description
Transcript of Lapsus Meningitis TB DEVY-1
kLAPORAN KASUS INDIVIDU
MENINGITIS TB
Pembimbing:
dr. Dhimas Hantoko, Sp.S
Disusun Oleh :
Devy Widiya Grafitasari
RS.MUHAMMADIYAH LAMONGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulisan laporan kasus stase syaraf ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat dan
pengikut beliau hingga akhir zaman.
Laporan kasus yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai “meningitis
TB”. Penulisan laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi tugas individu stase syaraf.
Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dr. Dhimas Hantoko spesialis syaraf, selaku pembimbing kami, yang telah
membimbing dan menuntun kami dalam pembuatan laporan kasus ini.
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya
tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun. Akhirnya, semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat.
Lamongan,12 Agustus 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB 2 LAPORAN KASUS.....................................................................................3
2.1 Identitas Pasien..........................................................................................3
2.2 Anamnesis Pasien......................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................................4
2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................10
2.5 Ringkasan..................................................................................................14
2.6 Diagnosis...................................................................................................14
2.7 Penatalaksanaan.........................................................................................14
2.8 Prognosis...................................................................................................15
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................16
3.1 Anatomi dan Fisiologi Meningen.........................................................................16
3.1.1 Durameter................................................................................................16
3.1.2 Arakhnoid................................................................................................17
3.1.3 Piameter...................................................................................................17
3.2 Definisi Meningitis Tuberkulosis........................................................................18
3.3 Etiologi Meningitis Tuberkulosis........................................................................18
3.4 Epidemiologi Meningitis Tuberkulosis...............................................................19
3.5 Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis................................................................20
3.6 Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosis.......................................................23
3.7 Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosis.......................................................27
3.8 Penatalaksanaan…………………………………………………………………33
ii
3.9 Diagnosis Banding………………………………………………………………46
3.10 Komplikasi Meningitis…………………………………………………………6
3.11 Prognosis……………………………………………………………………….47
3.12 Pencegahan Meningitis…………………………………………………………49
BAB 4 PEMBAHASAN...........................................................................................51
BAB 5 PENUTUP.....................................................................................................53
Kesimpulan...............................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................55
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Meningitis merupakan salah satu kegawatdaruratan medis yang memberi resiko
kecacatan dan kematian yang cukup tinggi. Meningitis merupakan penyakit susunan syaraf
pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi anak dan dewasa muda merupakan golongan
usia yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena meningitis. Orang orang yang telah lama
atau kontak dengan pasien meningitis juga dapat beresiko tertular
Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi otak dan
medula spinalis yang dikenal sebagai meninges. Inflamasi dari meningen dapat disebabkan
oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lain dan penyebab paling jarang adalah
karena obat-obatan. Klasifikasi meningitis dibuat berdasarkan agen penyebabnya, yaitu
meningitis bakterial, meningitis viral, meningitis jamur, meningitis parasit dan meningitis
non infeksius. Meningitis bakterial merupakan meningitis yang disebabkan infeksi bakteri
dan merupakan kondisi yang serius yang dapat jika tidak segera ditangani akan menyebabkan
kerusakan otak dan bahkan kematian.
Berdasarkan penelitian epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di Asia,
pada daerah Asia Tenggara, meningitis yang paling sering dijumpai adalah meningitis
tuberkulosis (TB). Meningitis TB adalah radang selaput otak akibat komplikasi TB primer.
Kejadian meningitis TB bervariasi tergantung pada tingkat sosio-ekonomi, kesehatan
masyarakat, umur dan status gizi.
Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus menjadi
perhatian bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu pemahaman
yang baik tentang etiologi dan patofisiologi meningitis merupakan bagian kunci untuk
membantu dokter dan tenaga medis lainnya dalam membuat diagnosis dini dan
1
penatalaksanaan yang sesuai. Sehingga dapat mengurangii angka kematian penderita
akibat meningitis masih cukup tinggi.
Berdasarkan hal di atas, penulis ingin membahas mengenai meningitis TB pada
pasien atas nama Tn. A (kamar Arofah) per tanggal 1 Agustus 2015.
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Alidi Tn
Umur : 60 tahun
Nomor ID/ Ref : 88 56 65
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : petani
Alamat : Sugihan RT9 RW11 Sugihan Solokuro Lamongan Sugihan
Tanggal Masuk : 1 Agustus 2015 jam 14.00
2.2 Anamnesis Pasien
KU : sakit kepala
RPS : sakit kepala terus terusan dan semakin memberat. badan terasa
lemes. Sejak 2 bulan pasien sering sakit kepala tidak hilang pusing berputar disertai
mual dan keluar keringat dingin, sering panas saat pada malam hari, akhir akhir ini
nafsu makan berkurang, sulit tidur pada malam hari.
RPD : Riwayat hipertensi disangakal
Riwayat dibates militus disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat pengobatan 6 bulan disangkal
Riwyat batuk lama disangka
RPK : Hipertensi disangkal, diabetes militus disangkal
3
RPSos : Di lingkungan rumah maupaun pekerjaan tidak ada riwayat
batuk lama. Tidak pernah mengkonsumsi jamu, tidak merokok,
minum kopi sehari sekali
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4 V5 M6
Vital Sign : Tekanan Darah : 133/82 mmHg
Nadi : 105 x/menit
Suhu : 35,8
RR : 20 x/menit
Primary survey :
Airway : clear, gargling (-) snoring (-) speak fluently (+) potensial obstruksi (-)
Breathing : spontan RR 20x/menit, ves/ves, rh -/-, wh-/-, SaO2 99%, tanpa 02 support
Circulation : akral HKM, CRT <2 detik N 105x/menit TD 133/82 mmHg
Disability : GCS 456, lateralisasi -, PBI 3mm/3mm
Eksposure : temp 35,8
Secondary survey :
GCS 456
Kepala/Leher : Anemia -, ikterus -, sianosis -, dipsneu -, mata cowong -, deformitas
-, pernafasan cuping hidung -, perbesaran KGB -, JVP –
Thoraks : Simetris +, retraksi –/-
Paru :
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, benjolan –
Palpasi : Stem fremitus +/+ normal, krepitasi -, nyeri tekan –
4
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : ves/ves, Rh -/-, Wh -/-
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis -, vossure cardiac –
Palpasi : ictus cordis kuat angkat –, thrill –
Perkusi : Normal
Auskultasi : S1S2 Tunggal, murmur -, gallop –
Abdomen :
Inspeksi : Datar, Spider nevi -, eritema -, massa -
Palpasi : Soepl, nyeri tekan -, hepar dan lien tidak teraba, undulasi -
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU + N, meteorismus –
Ekstremitas temp 37,6
Status Neurologis
GCS : E4 V5 M6
N. Kranialis
N. I (Olfactorius) : penghidu dalam batas normal
N. II (Opticus) :
Visus Naturalis : VOD 1/300 VOS >2/60
TOD 37,2 TOS 37,2
Lapang pandang : Tidak dievaluasi
Funduscopy : Tidak dievaluasi
N. III (Okulomotorius) :
Ptosis : - / -
Exoftalmus : - / -
5
Pergerakan bola mata : ODS normal
Pupil : bulat, isokor θ 3mm/3mm,
Reflek cahaya : +/+
Nistagmus : -/-
N. IV (Trochlearis) :
Posisi bola mata : ortoforia / ortoforia
pergerakan bola mata : normal
N. VI (Abducen) :
pergerakan bola mata : normal
N. V (Trigeminus) : kanan kiri
Sensibilitas
N V1 : normal normal
N V2 : normal normal
N V3 : normal normal
Motorik :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : dbN/ dbN
Mengunyah : dalam batas normal
Menggigit : tidak diefaluasi
N. VII (Facialis) :
Sensorik : Pengecapan 2/3 depan lidah tidak dievaluasi
Motorik : kanan kiri
M. Frontalis : normal normal
M. Oblique oculi : normal normal
M. oblique oris : normal normal
6
N.VIII (acusticus) :
Detik arloji : normal /normal
Suara berbisik : normal/normal
Tes Weber : tidak dievaluasi
Tes Rinne : tidak dievaluasi
N. IX (GLOSSOFARINGEUS)
Sensorik 1/3 posterior lidah belakang : tidak dievaluasi
Sensibilitas faring : tidak dievaluasi
N. X (vagus) :
Posisi arcus faring : normal
Reflek muntah : normal
N.XI (accecorius) :
Mengangkat bahu: normal
Memalingkan kepala : normal
N. XII (Hipoglossus) :
Deviasi lidah : (-)
Fasikulasi : (-)
Tremor : (-)
Atrofi : (-)
Ataxia : (-)
Leher :
Tanda perangsangan selaput otak :
Kaku kuduk +
Kernig -/+
Brudzinski I -/-
7
Brudzinski II -/+
Brudzinski III -/-
Brudzinski IV +/+
Kelenjar lymphe : tak tampak pembesaran
Arteri Karotis : teraba kuat, bruit cervical (-)/bruit cervical (-)
Kelenjar gondok : tak tampak pembesaran
Abdomen :
Reflek dinding perut :
+ +
+ +
Kolumna vertebralis :
Inpeksi : deformitas (scoliosis, lordosis, kiphosis -)
Palpasi : nyeri tekan -, gibus -
Pergerakan : tidak diefaluasi
profokasi : laseque -/-, bragard -/-, sicard -/-, pattric -/-, contra pattrict -/-
Ekstremitas Superior Inferior :
Pergerakan : normal
Kekuatan otot : 5 5
5 5
Tonus otot : normal
Reflek Fisiologis :
BPR : +2 /+ 2
TPR : +2 / +2
8
KPR : +2 /+ 2
APR : +2 / +2
Radius : - / - Ulna : - / -
Klonus :
Patella -/- Ankle -/-
Reflek Patologis :
Babinsky : - /- Hoffman Trommner : - / -
Chaddock : - / - Gordon : - / -
Schaefer : - / - oppenheim : - / -
Gonda : -/-
Sensorik
kanan kiri
Eksteroseptif
nyeri : normal normal
suhu : tidak dievaluasi
raba halus : normal normal
Propioseptif
getar, posisi : normal normal
Fungsi Kortikal
Rasa diskriminasi: tidak dievaluasi
Stereognosis : normal normal
Grafestesia : normal normal
Pergerakan abnormal spontan : -
Gangguan Koordinasi :
Finger nose to finger testing : normal
9
disdiadokokinesis : normal
Gait : Sulit dievaluasi
Pemeriksaan Fungsi Luhur :
Afek dan emosi : normal
Kemampuan bahasa : normal
Memori : normal
Intelegensia : normal
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hematologi
Leukosit : 11.3 (4-11)
Neutrophil : 64
Limphosit : 21,7
Monosit : 2,4 (3,0-7,0)
Eosinophil : 5.9 (1.0-2.0)
Basophil : 6.0 (0,0-1,0)
Eritrosit 3,99
Hemoglobin 11,4 (14-18)
Hematocrit 35,3 (40-54)
MCV 88,50
MCH 28,60
MCHC 32,30
RDW 13
Trombosit 164
MPV 4
10
LED 1 27 (0-1)
LED 2 51(1-5)
Hati
SGOT 76 (0-37)
SGPT 19
Faal Ginjal
Urea : 31
Serum kreatinin : 0,8
Uric acid :10,5 (3,1-7,9)
Hs CRP : 1,79
PEM RONTGN
Foto thorax (18-07-2015)Cor : besar dan bentuk normalPulmo : tampak infiltrate parahiler kanan
Kedua sinus prenicocostalis tajam tulang dan softtisue tak tampak kelainan
KESIMPULAN : kesan bronchitis
11
Ct kepala tanpa kontras (2-08 -2015)
Tak tampak lesi hiper atau hipodens abnormal di brain parenkim
12
Sulci dan gyri tampak normal
Tak tampak deviasi midline struktur
Sistem ventrikel slight dilated,cisterna tampak normal
Tak tampak kalsifikasi abnormal
Orbita mastoid sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis kanan kiri tampak normal
Tulang calvaria tampak normal
Kesimpulan:
Brain parenkim tanpa kontras tak tampak kelainan
Slight comunicating hydrochefalus
ECG
13
2.5 Ringkasan
Laki laki, 60 tahun datang dengan keluhan sakit kepala terus terusan dan semakin
memberat. Sejak 2 bulan pasien sering sakit kepala tidak hilang pusing berputar, mual +,
keluar keringat dingin, panas saat pada malam hari, riwayat pengobatan TB disangkal, batuk
lama disangkal, anorexia +, susah tidur malam hari, Dari pemeriksaan meningeal sign
didapatkan Kaku kuduk + Brudzinski IV +/+ , anemia, LED meningkat, hiperuricemia, pem
thorak tampak infiltrate parahiler kanan, CT Scan didapatkan Slight comunicating
hydrochefalus
2.6 Diagnosis
Diagnosis klinis : chefalgia subfebris, kaku kuduk + Brudzinski IV +/+ , vomit, ,
leukositosis, Slight comunicating hydrochefalus
Diagnosis topis : meningen
Diagnosis etiologi : meningitis ec. TB paru st II
Differential Diagnosis :
meningitis ec. bakteri
meningitis ec virus
Meningitis ec fungal
Meningitis Parasit
Meningoencefalitis
Abses serebral
Neoplasma serebral
Perdarahan Subarachnoid
2.7 Penatalaksanaan :
14
Inf Asering 1500mg
Inj streptomisin 1x1 gr
Inj Dexametasone 4x10mg
Inj Ranitidine 2x50mg
Inj Ketorolac 3x30 mg (2 hari)
PO INH 1x 300 mg 0-1-0
Rifampicin 1x 600mg
PZA 1x1000mg
Haldol 3x5 mg
Pyridoksin 1x100mg
2.8 Prognosis
Dubia ad bonam
15
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi dan Fisiologi Meningen
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang,
melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan
serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu
durameter, arakhnoid, dan piameter.
3.1.1 Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medula spinalis. terdiri atas jaringan ikat
padat yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang
membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang
epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan
lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang
subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla
spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim.
Sifat dari durameter yaitu tebal, tidak elastis, berupa serabut, dan
berwarna abu-abu. Bagian pemisah dura : falx serebri yang memisahkan
kedua hemisfer dibagian longitudinal dan tentorium yang merupakan lipatan
16
dari dura yang membentuk jaring- jaring membran yang kuat. Jaring ini
mendukung hemisfer dan memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak
(fossa posterir).
3.1.2 Arakhnoid
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis
dan lembut yang menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut
arakhnoid. Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada
dinding arakhnoid terdapat flexus khoroid yang bertanggung jawab
memproduksi cairan serebrospinal (CSS). Membran ini mempunyai bentuk
seperti jari tangan yang disebut arakhnoid vili, yang mengabsorbsi CSS. Pada
usia dewasa normal CSS diproduksi 500 cc dan diabsorbsi oleh vili 150 cc.
3.1.3 Piameter
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis,
transparan, yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak.
Piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel. Piameter merupakn selaput tipis yang melekat pada
permukaan otak yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus
dan fisura- fisura, juga melekat pada permukaan batang otak dan medula
spinalis, terus ke kaudal sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus
vertebra. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan
yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum
pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan syaraf pusat,
kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.
3.2 Definisi Meningitis Tuberkulosis
17
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut meningitis. Meningitis merupakan
penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi, anak-anak,
dan dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi untuk
terkena meningitis.
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosis dapat membantu
untuk mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis, mengingat bahwa
insiden kematian akibat meningitis masih cukup tinggi.
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru-paru, seperti perikardium, usus,
kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.
3.3 Etiologi Meningitis Tuberkulosis
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik
gram positif, berukuran 0,4-3µm mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis,
spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium
bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti.
18
Gambar 2.2. Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis
3.4 Epidemiologi Meningitis Tuberkulosis
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering
ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang
semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4
atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3%
anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis
tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya
18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual. Pada orang
dewasa, dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer. Meningitis tuberkulosa
selalu merupakan sekunder dari penyakit tuberkulosa pada organ lainnya. Fokus
19
primer biasanya terdapat di paru-paru, namun dapat juga terjadi di kelenjar limfe,
tulang, sinus nasalis, GI tract, atau organ-organ lainnya. Onset biasanya sub akut.
3.5 Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan
adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase
yang biasanya tenang.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak,
selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama
masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun
jarang. Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung
menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis
tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus
tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah
trauma kepala. Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau
ventrikel. Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan
merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan
reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang
menyeluruh akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
20
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik
dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini
ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak.
Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis
perkijuan.
Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mengeras
serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan
IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial
II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur
bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial
VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
2. Vaskulitis
Vaskulitis yang terjadi disertai dengan dengan trombosis dan infark pembuluh
darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam
parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya
infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien
selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi
quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya
infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada
tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
21
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri
cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena
selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan
menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya
flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin.
3. Hidrosefalus Komunikans
Hidrosefalus komunikans terjadi akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis
yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis. Adapun
perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan
spinal block dan paraplegia. Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis
tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
a. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier.
b. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus.
c. Acute inflammatory caseous meningitis.
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks.
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid.
d. Meningitis proliferatif.
Terlokalisasi, pada selaput otak.
Difus dengan gambaran tidak jelas.
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada
setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat
dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan,
virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
22
Patogenesis terjadinya meningitis tuberkulosis secara skematis, dapat diamati sebagai
berikut:
BTA masuk tubuh
↓
Tersering melalui inhalasi
Jarang pada kulit, saluran cerna
↓
Multiplikasi
↓
Infeksi paru / fokus infeksi lain
↓
Penyebaran hematogen
↓
Meningens
↓
Membentuk tuberkel
↓
BTA tidak aktif / dormain
Bila daya tahan tubuh menurun
↓
Rupture tuberkel meningen
↓
Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid
↓
MENINGITIS TUBERKULOSA
3.6 Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosis
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat
dikelompokkan dalam 4 fase , yaitu:
1. Fase I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
23
Prodromal berlangsung 1 - 3 minggu.
Biasanya gejalanya tidak khas.
Timbul perlahan-lahan.
Tanpa kelainan neurologis.
Gejala yang biasa muncul:
o Demam (tidak terlalu tinggi).
o Rasa lemah.
o Nafsu makan menurun (anorexia).
o Nyeri perut.
o Sakit kepala.
o Tidur terganggu.
o Mual.
o Muntah.
o Konstipasi.
o Apatis.
o Meningeal sign +
o Syaraf otak tidak tergangu
Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan
suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja
tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan
didapatkan sekitar 10-15%.
24
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium
III.
2. fase II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh
adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat yang
mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan
hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid.
Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis.
Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat
terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang
lebih besar dan dewasa, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya
makin menurun.
Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:
Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama).
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
25
o hemibalismus / hemikorea
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial yang
sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur
3. fase III Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama ± 2-3 minggu. Pada
stadium ini gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi akibat infark
batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami
organisasi. Gejala-gejala yang dapat timbul, antara lain:
pernapasan irregular
demam tinggi (hiperpireksia)
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun
apatik
mengantuk
stupor
otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
opistotonus
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
26
nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
hiperpireksia
4. fase 4
manifestasi diatas disertai dengan koma dan syok
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan
yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien
meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak
adekuat.
3.7 Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosis
Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri
kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan,
mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang dan penurunan kesadaran. Anamnesa
dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak
memungkinkan untuk autoanamnesa. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat
kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium penyakit), adanya riwayat
kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala, maupun yang
asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai
dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin
minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi,
27
distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus),
dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
b. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul ekstensi
tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda
Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki
tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikuti rasa nyeri.
c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah
kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi
ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian
kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan
panggul kedua tungkai secara reflektorik.
28
d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+)
bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut
kontralateral.
e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III positif (+)
jika terdapat flexi involunter extremitas superior.
f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi
involunter extremitas inferior.
Dari pemeriksaan fisik dilihat berdasarkan stadium penyakit. Tanda
rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak
berusia kurang dari 2 tahun.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial.
1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih,
sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur negatif.
29
2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh,
jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari 1000 mm3),
protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen infeksi
pada cairan serebrospinal, yaitu :
Agent Opening
Pressure
(mm H2
O)
WBC count
(cells/µL)
Glucose
(mg/dL)
Protein
(mg/dL)
Microbiology
Bacterial
meningitis
200-300 100-5000;
>80%
PMNs
< 40 >100 Specific
pathogen
demonstrated
in 60% of
Gram stains
and 80% of
cultures
Viral
meningitis
90-200 10-300;
lymphocytes
Normal,
reduced
in LCM
and
mumps
Normal
but may
be
slightly
elevated
Viral
isolation, PCR
assays
Tuberculous
meningitis
180-300 100-500;
lymphocytes
Reduced,
< 40
Elevated,
>100
Acid-fast
bacillus stain,
culture, PCR
Aseptic
meningitis
90-200 10-300;
lymphocytes
Normal Normal
but may
be
slightly
elevated
Negative
findings on
workup
Normal
values
80-200 0-5;
lymphocytes
50-75 15-40 Negative
findings on
workup
LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction;
30
PMN = polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.
Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi
b. Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB
2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear
dengan shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada
cairan serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan
penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.
c. Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal pungsi
atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti adanya hernia
otak. Sampel kultur dapat diambil dari :
1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae, S.
Pneumoniae, N. Meningitidis.
2) Nasofaring
3) Sputum
4) Urin
5) Lesi kulit
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala,
CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada
31
paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, foto kepala
kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal.
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan
diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya
enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti meningitis
dapat disingkirkan.
Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America (IDSA),
berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum dilakukan lumbal pungsi
yaitu :
1) Dalam keadaan Immunocompromised
2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke, infeksi fokal)
3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4) Papiledema
5) Gangguan kesadaran
6) Defisit neurologis fokal
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus, enhancement
kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula ditemukan infark vena
dan hidrosefalus komunikans.
32
CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan ependimal enhancement
dan ventrikulitis
MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced, didapatkan
leptomeningeal enhancement
3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif, komplikatif dan
suportif.
3.8.1 Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan
umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik,
33
antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi. Meningitis enteroviral dapat sembuh
sendiri dan tidak ada obat yang spesifik, kecuali jika terdapat
hipogamaglobulinemia dapat diberikan imunoglonbulin. Pemberian asiklovir
masih kontroversial, namun dapat diberikan sesegera mungkin jika kemungkinan
besar meningitis disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak menganjurkan
pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis. Dosis asiklovir
intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun karena
toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur CMV positif atau
pada pasien dengan imunokompromise. Dosis induksi selama 3 minggu 5
mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam.2
3.8.2 Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi karena dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena itu
pemberian antibiotik empirik yang segera dapat memberikan hasil yang baik.
Age or Predisposing
Feature
Antibiotics
Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either
cefotaxime or an aminoglycoside
Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or
ceftriaxone*
Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus
ceftriaxone or cefotaxime plus
vancomycin*
Impaired cellular Vancomycin plus ampicillin plus either
34
immunity cefepime or meropenem
Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or
ceftriaxone
Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or
ceftriaxone
Head trauma,
neurosurgery, or CSF
shunt
Vancomycin plus ceftazidime,
cefepime, or meropenem
CSF = cerebrospinal fluid.
*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a
suspected pathogen.
Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri
a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
b. Bayi usia 1-3 bulan
1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
35
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12 jam)
ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).
c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4
g/hari)
d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4
g/hari)
Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2) Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam
Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak, 20
mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai infeksi
listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam).
e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun
1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-
15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam). Jika
dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8 jam).
36
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan kortikosteroid
(biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6 jam selama 2-4 hari).
meskipun pemberian kortikosteroid masih kontroversial, namun telah terbukti
dapat meningkatkan hasil keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H.
Influenzae, tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian
pemberian kortikosteroid dapat mengurangi gejala gangguan pendengaran dan
gejala neurologis sisa tetapi secara umum tidak mengurangi mortalitas.
Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada Orang Dewasa
3.8.3 Meningitis Sifilitika
Terapi pilihan pada meningitis sifilitika adalah penisilin G kristal aqua dengan
dosis 2-4 juta unit/hari setiap 4 jam selama 10-14 hari, sering pula diikuti
37
pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit. Pilihan alternatif
adalah penisilin G prokain dosis 2.4 juta unit/hari IM dan probenesid dosis 500
mg oral setiap 6 jam selama 14 hari, diikuti pemberian penisilin G benzatin IM
dengan dosis 2.4 juta unit. Pasien dengan meningitis sifilitika disertai HIV dapat
diberikan yang serupa. Oleh karena penisilin G merupakan obat pilihan, pasien
dengan alergi penisilin harus menjalani penisilin desensitisasi. Setelah dilakukan
pengobatan, pemeriksaan cairan serebrospinal harus dilakukan secara teratur
setiap 6 bulan sekali, hal ini penting dilakukan untuk melihat keberhasilan terapi.
3.8.4 Meningitis Fungal
Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial amphotericin B (0.7
mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk
mempertahankan kadar dalam serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah
terjadi resolusi, sebaiknya terapi dilanjutkan selama minimal 4 minggu. Dapat pula
diberikan sebagai follow-up golongan azol seperti flukonazol dan itrakonazol.
3.8.5 Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama dengan
tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai berikut :
a. Isoniazid 300 mg/hari
b. Rifampin 600 mg/hari
c. Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
d. Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
e. Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam
Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :
38
Dosis Obat Antituberkulosis
Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah mendapat obat
antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan tergantung kategori. Pemberian
kortikosteroid diindikasikan pada meningitis stadium 2 atau 3. Hal ini dapat
mengurangi inflamasi pada proses lisis bakteri karena obat anti tuberkulosis.
Biasanya dipilih dexamethason dengan dosis 60-80 mg/hari yang diturunkan
secara bertahap selama 6 minggu.
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan
dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus, yaitu:
Terapi Umum
Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif
Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein
Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.
Keseimbangan cairan tubuh
Perawatan kandung kemih dan defekasi
Mengatasi gejala demam, kejang.
Terapi Khusus
39
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edem cerebri
Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi:
Kesadaran menurun
Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg intravena
selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
40
Karakteristik Obat
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction
yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat
dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat
dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis
perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
Rifampisin
41
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan
dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada
keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah,
hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150
mg, 300 mg, dan 450 mg.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel
dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.
Streptomisin
42
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat
ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg /
kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg /ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati
selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan
cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan
pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu
30% bayi akan menderita tuli berat.
Steroid
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai
terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan
tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison
dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis
secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian
regimen.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.
Steroid diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
43
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal
Ethambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman,
obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah
15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500
mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral
dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga
pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan
buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian
etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika
pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya
pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan
TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak
dapat digunakan.
44
Tabel 2.2. Efek samping ringan obat dan penatalaksanaannya.
Efek samping berat obat dan penatalaksanaanya.
Penatalaksanaan meningitis Purulenta
Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri penyebabnya dan
dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil biakan sebaiknya diberikan
antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika diberikan selama 10-14 hari atau
sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas demam.
Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,
Streptococcus, Meningiococcus.
45
Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.
Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman gram negatif.
3.8.6 Meningitis Parasitik
Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif seperti analgesia
yang adekuat, terapi aspirasi cairan serebrospinal dan antiinflamasi seperti
kortikosteroid. Pemberian obat antihelmintic dapat menjadi kontraindikasi karena
dapat memperparah gejala klinis dan bahkan menyebabkan kematian sebagai
akibat dari peradangan hebat yang merupakan respon terhadap proses
penghancuran cacing.
Meningitis amuba yang diakibatkan oleh Naegleria fowleri adalah fatal.
Diagnosis dini dan pemberian dosis tinggi IV amfoterisin B atau mikonazol dan
rifampisin dapat memberikan manfaat terapi.
3.9 Diagnosis Banding
Meningitis dapat didiagnosis banding dengann penyakit dibawah ini
1. meningitis ec. bakteri
2. meningitis ec virus
3. Meningitis ec fungal
4. Meningitis Parasit
46
5. Meningoencefalitis
6. Abses serebral
7. Neoplasma serebral
8. Perdarahan Subarachnoid
3.10 Komplikasi Meningitis Tuberkulosis
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah pada onset akut
dapat berupa perubahan status mental, gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak
adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor
dapat berupa kelainan saraf otak, parese nervus kranialis, hidrosefalus, nistagmus, ataksia,
gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi
optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat
streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3
pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan
dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal.
Komplikasi sistemik dari meningitis adalah syok septik, disseminated intravascular
coagulaton (DIC), gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi endokrin, kolaps vasomotor
dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
3.11 Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak
diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga
tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai
47
prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya Prognosis meningitis
tergantung pula pada, mikroorganisme spesifik yang menimbulkan penyakit, banyaknya
organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan
antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang
semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa).
Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita
mengalami kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.
Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh
umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal
dalam waktu 6-8 minggu.
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih
ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang
jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan
yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.
3.12 Pencegahan Meningitis
3.12.1 Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat.
48
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada
bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti
Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7),
Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate
vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate
vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan
bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR.
Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib
hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh
WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi
7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun
cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada
bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi.
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian
kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup
serumah dengan penderita.Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin
tetravalen A, C, W135 dan Y.
Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG.
Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas
lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang
cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan
49
perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis
juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci
tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
3.12.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal,
saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat
menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan
mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal
meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah
dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan
surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak
dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini.
3.12.3 Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan
lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada
tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan
akibat meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian
terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan
untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau
50
ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk
mencegah dan mengurangi cacat.
51
BAB 4
PEMBAHASAN
Laki laki, 60 tahun datang ke RS Muhamadiyah lamongan dengan keluhan sakit
kepala terus terusan dan semakin memberat. Sejak 2 bulan pasien sering sakit kepala tidak
hilang pusing berputar, , keluar keringat dingin, panas saat pada malam hari, mual +sehingga
pasien mengalami anorexia , susah tidur malam hari, riwayat pengobatan TB disangkal, batuk
lama disangkal.
Berdasarkan pemeriksaan neurologis didapatkan GCS 456, Meningeal sign positif
yaitu Kaku kuduk + Brudzinski IV +/+ . nervus cranialis dalam batas normal, sensorik dalam
batas normal, reflek fisiologis dalam batas normal, reflek patologis negatif. Tonus otot
normal.
Pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, anemia, LED meningkat
hiperuricemia. Pemeriksaan thorak tampak infiltrate parahiler kanan, CT Scan didapatkan
Slight comunicating hydrochefalus
Pasien mengalami sakit kepala dikarenakan adanya peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Meningitis dapat
ditegakkan bila dari pemeriksaan fisik didapatkan Meningeal sign positif. Meningitis
merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis
paru. Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput
otak atau medula spinalis, akibat penyebaran bakteri secara hematogen selama masa inkubasi
infeksi, kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan protein
kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas yang
hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal
otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.
52
Pada pasien ini tidak mengalami gangguan pada nervus kranialais dikarenakan belum
terbentuknya eksudat yang akan mengalami organisasi dan mengeras serta mengalami
kalsifikasi sehingga saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling
sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala
diplopia dan strabismus
Pada CT Scan, kesimpulan didapatkan bahwa adanya Slight comunicating
hydrochefalus ini dikarenakan terjadi akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis. Adapun perlengketan yang
terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis nantinya akan menyebabkan spinal block dan
paraplegia.
53
BAB 5
PENUTUP
Kesimpulan
Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi pada selaput
otak yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya faktor resiko tertentu
seperti pada usia, kekebalan tubuh yang menurun, adanya penyakit sistemik atau
penyakit lain sebelumnya, dan adanya riwayat kontak dengan penderita meningitis.
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru yang
sering ditemukan di negara endemis TB.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia,
termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk koreksi
gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera
diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele).
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis
dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila
tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia.
Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun,
54
orang lanjut usia, dan yang mengalami imunokompremise mempunyai prognosis yang
lebih buruk.
Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah terjadinya
meningitis (primer), upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit dengan
pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk mengurangi komplikasi dan
gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien dapat tetap menjalani aktivitas
sehari-harinya secara mandiri. Jika upaya pencegahan-pencegahan ini dilakukan
secara maksimal dalam ruang lingkup yang luas, kematian dan kecacatan akibat
meningitis dapat diturunkan secara signifikan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Baehr,M dan Frotscher, M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS, Edisi 4. Penerbit: EGC.
Bahrudin, Moch. 2012. Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. Penerbit: UMM press.
Bahrudin, Moch. Buku Ajar neurologi blok neuromuskuloskeletal. Penerbit: UMM press.
Departemen Kesehatan RI. Rencana strategi nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2002-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2001
Japardi, I. 2002. Meningitis Meningococcus. Journal. FK USU Digital Library.
Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC, Jakarta
Rikesdas Indonesia tahun 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2008.
.
56