Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

20
ANESTHESIA MANAGEMENT IN TWIN GESTATION WITH SEVERE PREECLAMPSIA, PARTIAL HELLP SYNDROME AND FETAL DISTRESS Abstract The anaesthetic management in the peripartum period of a pre-eclamptic patient is important. The anesthesiologist must perform a detailed preanesthetic assessment, including a history and physical examination. The morbidity and mortality rates are higher in severe preeclamsia. We report case of primigravida with twin gestation in 36-37 th gestational week with severe preeclampsi, partial HELLP syndrome a and fetal distress, who underwent emergency caesarian section Keyword : gemelli, HELLP syndrome, severe preeclampsia MANAJEMEN ANESTESI PADA KEHAMILAN KEMBAR DENGAN PREKLAMPSI BERAT, PARTIAL HELLP SYNDROME DAN GAWAT JANIN Abstrak Manajemen anestesi periode peripartum pada pasien dengan poreeklampsi berat merupakan hal yang sangat penting. Seorang anestesi harus melakukan penilaian preanestesi yang tepat termasuk anamnesa dan pemeriksaan fisik. Angka morbiditas dan mortalitas sangat meningkat pada pasien dengan preeklampsi berat. Dilaporkan pasien primigravida dengan kehamilan kembar, usia kehamilan 36-37 minggu dengan preeklampsi berat, partial HELLP Syndrome dan gawat janin yang akan menjalani operasi sesar. Kata Kunci : gemelli, HELLP syndrome, Preeklampsi berat 1

Transcript of Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

Page 1: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

ANESTHESIA MANAGEMENT IN TWIN GESTATION WITH SEVERE PREECLAMPSIA, PARTIAL HELLP

SYNDROME AND FETAL DISTRESS

Abstract

The anaesthetic management in the peripartum period of a pre-eclamptic patient is important. The anesthesiologist must perform a detailed preanesthetic assessment, including a history and physical examination. The morbidity and mortality rates are higher in severe preeclamsia. We report case of primigravida with twin gestation in 36-37th gestational week with severe preeclampsi, partial HELLP syndrome a and fetal distress, who underwent emergency caesarian sectionKeyword : gemelli, HELLP syndrome, severe preeclampsia

MANAJEMEN ANESTESI PADA KEHAMILAN KEMBAR DENGAN PREKLAMPSI BERAT, PARTIAL HELLP

SYNDROME DAN GAWAT JANIN

Abstrak

Manajemen anestesi periode peripartum pada pasien dengan poreeklampsi berat merupakan hal yang sangat penting. Seorang anestesi harus melakukan penilaian preanestesi yang tepat termasuk anamnesa dan pemeriksaan fisik. Angka morbiditas dan mortalitas sangat meningkat pada pasien dengan preeklampsi berat. Dilaporkan pasien primigravida dengan kehamilan kembar, usia kehamilan 36-37 minggu dengan preeklampsi berat, partial HELLP Syndrome dan gawat janin yang akan menjalani operasi sesar.Kata Kunci :gemelli, HELLP syndrome, Preeklampsi berat

1

Page 2: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

Pendahuluan

Preeklampsia meryupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan adanya hipertensi

yang disertai proteinuria, terjadi pada kehamilan setelah minggu ke 20 dari

kehamilan.1 Insiden preeklampsia dan eklampsia di negara berkembang di Amerika

Utara dan Eropa sama dengan di USA. Insiden preeklampsia berkisar 5-10% dan

eklampsia 5-7 pada setiap kelahiran.2

Pada preeklampsia-eklampsia terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan

kadar yang ada di sirkulasi dari prostaglandin (prostacyclin dan thromboxane).

Produksi thromboxane, yang berhubungan dengan vasokonstriksi, agregasi platelet,

penurunan aliran darah uterus dan peningkatan aktivitas uterus, meningkat sementara

produksi prostacyclin yang mempunyai efek sebaliknya menurun.

Ketidakseimbangan antara thromboxane dan prostacyclin ini mungkin berhubungan

dengan kerusakan sel endothelium. Pemberian obat yang dapat menurunkan produksi

thromboxane atau zat yang dapat menghambat sintesis thromboxane terlihat dapat

mengurangi insiden dan kegawatan preeklampsia. Prostaglandin A1, yaitu

vasopressor prostaglandin dengan kemampuan sama dengan prostacyclin, sangat

efektif menurunkan mean arterial pressure pada preeclampsia berat yang sedang

dalam proses induksi persalinan. Pada preeklampsia peningkatan dalam produksi

progesterone oleh plasenta berhubungan dengan penurunan produksi prostacyclin

oleh plasenta. Apapun patogenesis yang tepat dari preeklampsia, ini adalah penyakit

2

Page 3: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

sistemik yang secara klinik terlihat jelas dengan adanya perubahan pada sistem

organ-organ mayor. 3

Terapi yang dilakukan bersifat simptomatik. Pada preeklampsia berat,

eklampsia dan HELLP syndrome, persalinan harus dilakukan segera tanpa

memperhatikan berat dan maturitas janin. Memperpanjang masa gestasi pada

kehamilan seperti itu sering sangat berbahaya dengan angka mortalitas janin yang

tinggi dan timbulnya berbagai komplikasi maternal. Selama janin dapat mentoleransi

kontraksi uterus, indulksi dan persalinan pervaginam dapat dilakukan dan bukan

3

Page 4: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

merupakan kontraindikasi pada preeklampsia. Namun jika terjadi perburukan pada

janin atau ibu, maka diperlukan tindakan bedah Caesar. 3

Tabel II diagnosis Preeklampsi berat

Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat dikatakan

berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri sistemik dan

pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia. Pada

anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi

endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.3

Laporan Kasus

Seorang perempuan usia 23 tahun datang dengan keluhan pusing dan lemah pada

badan. Pasien merupakan rujukan bidan dan dinyatakan memiliki tekanan darah saat

diperiksa 170 pada sistolik. Tidak terdapat riwayat perubahan pandangan menjadi

4

Page 5: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

kabur. Tidak terdapat keluhan bengkak pada kaki, kejang, sesak nafas ataupun nyeri

dada. Tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi, asma, alergi, kencing manis dan

sakit jantung. Riwayat keluarga yang pernah operasi dan dengan riwayat preeklampsi

disangkal.

Dari pemeriksaan fisik tanda vital didapatkan kesadaran composmentis,

tekanan darah 148/96, nadi 83 x/menit, laju nafas 18 x/menit, saturasi 99 % dengan

binasal kanul 3 l/menit. Pasien dengan tinggi badan 155 cm dan berat badan 60 kg.

Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak

ikterik, mallampati II, buka mulut lebih dari 3 jari, JVP tidak meningkat, pergerakan

leher dalam batas normal.

Pada pemeriksaan toraks didapatkan bentuk dan gerak simetris, bunyi jantung

1 dan 2 reguler, tidak ada bunyi jantung tambahan, suara napas vesikuler simetris,

tidak didapatkan bunyi ronki dan wheezing. Pemeriksaan abdomen tampak cembung,

dengan bunyi jantung janin pertama 134 x/menit dan bungi jantung ke dua

110x/menit. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat, capillary refil < 2 detik, dan

tidak ada oedem, paresis atau defisit neurologis lainnya.

Hasil pemeriksaan darah didapatkan nilai hemoglobin 8,1 g/dL, hematokrit

27 %, leukosit 11.200/µL, trombosit 75.000/µL, waktu perdarahan 1 menit, PT 11,5,

INR 0,94 APTT 28,1, kadar natrium 135 mmol/L, kalium 3,9 mmol/L, kalsium 4,86

mmol/L, magnesium 1,96 mmol/L, klorida 103 mmol/L, LDH 366, OT 34, PT 29

Ureum 0,85 dan gula darah sewaktu 85 mg/dL. Pada urine didapatkan proteinuria

5

Page 6: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

(+1). Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien

didiagnosa dengan G1P0A0 gravida 36-37 mgg dengan preeklampsi berat, partial

HELLP syndrome, gawat janin dan gemelli.

Kondisi pasien sebelum induksi dengan kesadaran composmentis, tekanan

darah 138/72 mmHg, nadi 87x/menit, laju napas 20x/menit, SpO2 99% dengan kanul

nasal 3 L/menit. Bunyi jantung janin pertama 138x/menit dan kedua 114 x/menit.

Ketika datang pasien sudah di berikan rumatan berupa MgSO4 dalam D5% 500 ml

yang sesaat ketika tiba di kamar operasi cairan infus diganti dengan ringer laktat.

Pasien juga diberikan premedikasi berupa metoclorpramide 10 mg intravena.

Tindakan anestesi dilakukan dalam anestesi umum. Pasien dioksigenasi

dengan O2 100 % dengan menarik nafas dalam 4 kali, kemudian dilakukan induksi

dengan rapid sequence induction dengan cricoid pressure yang dicapai dengan

menggunakan propofol 120 mg dan 60 mg rokuronium. Hemodinamik setelah

induksi dengan tekanan darah 128/71 dan laju nadi 76 x/menit. Pasien diintubasi

dengan ETT nomor 6,5 sekitar 1 menit setelah induksi dengan kedalaman 19 cm.

Keadaan hemodinamik setelah intubasi dengan tekanan darah 162/93 mmHg, nadi

108x/menit, frekuensi nafas 12 x/menit dibagging dengan saturasi 99-100 %.

Tabel I Perubahan hemodinamik perioperatif

Perubahan Hemodinamik TD(mmHg)

HR(x/menit)

Sebelum induksi 148/96 83Sesudah induksi 128/71 76Sesudah intubasi 162/93 103Sesudah ekstubasi 134/78 85

6

Page 7: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

Pemeliharaan anestesi menggunakan isofluran 0,8–1 vol%, O2:N2O (50:50).

Setelah bayi lahir pasien djalankan drip oksitosin 20 mg drip dalam 500 ml ringer

laktat. Pasien juga di bolus fentanil 100 mcg intravena sesaat setelah bayi lahir. Lahir

bayi kembar hidup dengan apgar skor 7/9 dan 6/9. Hemodinamik selama operasi TDS

110-142 mmHg, TDD 75-91 mmHg laju nadi 76-95 x/mnt saturasi 99-100%. Ketika

berjalannya operasi kontraksi uterus tidak adekuat, diberikan bolus metergin 0,2 mg.

Lama operasi 45 menit, lama anestesi 1 jam 15 menit. Perdarahan sebanyak 600 cc

dan diuresis 200 cc, cairan yang diberikan berupa ringer laktat 500 cc, gelofusin 500

cc, PRC 200 cc. diberikan juga bolus dexametason intraoperatif. Ketika dilakukan

penjahitan kulit diberikan tambahan analgetik berupa parasetamol 1 gram dan

ondansetron.

Sebelum operasi berakhir dan setelah adanya nafas spontan, diberikan injeksi

neostigmin 1 mg dan atropine 0,5 mg. Ketika nafas spontan pasien sudah adekuat,

pasien sadar penuh, mulai membuka mata dan dapat mengikuti perintah dilakukan

ekstubasi. Kemudian diberikan bolus berupa petidin 25 mg. Hemodemamik post

ekstubasi tekanan darah 134/78 mmHg nadi 85 x/menit frekuensi nafas 19 x/menit

dan saturasi 99 %. Pasien ditunggu sampai sadar penuh, setelah sadar dibolus petidin

25 mcg kemudian dibawa ke ruang pemulihan. Analgetik post operatif pada pasien

ini adalah petidin 100 mg dalam 500 cc ringer laktat diberikan 15 tetes per menit dan

parasetamol 4x1 gram.

7

Page 8: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

Ketika berada di ruang pemulihan kontak pasien adekuat, tekanan darah

pasien 116/68 mmHg, nadi 87 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit saturasi 99%

dengan BNC 3 lpm. Pasien tidak memiliki keluhan mual, muntah maupun nyeri

kepala, rembesan dari bekas operasi juga tidak ada. Ketika di ruang pemulihan

kembali diberikan MgSO4 5 mg/6 jam hingga 24 jam post partum. Tanda vital selama

observasi stabil dengan TDS 110-130 mmHg, TDD 70-85 mmHg, nadi 78-93

x/menit, nafas 18-20 x/menit, saturasi 98-100% dengan nasal kanul 3 liter/menit lalu

dipindahkan ke ruangan. Pasien berada di ruang pemulihan selama 2 hari sambil

menunggu tersedianya ruangan.

Pembahasan

Ibu yang akan melahirkan dapat digolongkan berisiko tinggi bila terdapat berbagai

masalah yang muncul selama antepartum. Manajemen anestesi untuk kasus – kasus

berisiko tinggi ini menuntut pemahaman yang menyeluruh mengenai fisiologi

kehamilan dan patofisiologi yang menyebabkan ibu hamil menjadi beresiko tinggi

dan memiliki potensi kegawatan obstetric. Untuk itu dibutuhkan penatalaksanaan

yang komprehensif terhadap pasien. Pada pasien ini terdapat permasaahan dari sisi

maternal dan fetal berupa preeklamsia berat, gemelli dan gawat janin yang dapat

membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin. 3

Pasien ini diketegorikan preeklampsi berat karena didapatkan adanya

hipertensi yang terjadi diatas kehamilan 20 minggu, proteinuri, partial HELLP

8

Page 9: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

syndrome yang berupa trombositopenia (tabel 2). Hal-hal yang dapat meningkatkan

terjadinya preeklampsi pada pasien ini berupa nullipara dan kehamilan multipel (tabel

1). 4

Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi

preanestesi dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada

preeklampsia dapat dilakukan secara semi elektif atau darurat. Pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan pilihan cara anestesinya.

Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia harus mempertimbangkan status

medis dari pasien terutama adanya koagulopati, gangguan pernafasan. pemilihan

teknik anestesia di sini termasuk epidural, spinal, combine spinal-epidural dan

anestesia umum. 5

Pada pasien ini dipilih teknik anestesi umum karena pada pemeriksaan

didapatkan adanya gawat janin, dimana gawat janin merupakan salah satu indikasi

untuk dilakukannya anestesi umum karena harus dilakukan tindakan sesegera

mungkin. Ketika dilakukan intubasi terjadi perubahan lonjakan hemodinamik dimana

tekanan darah meningkat dari 128/69 ke 162/93 dengan laju nadi dari 78 x/menit

menjadi 108 x/menit. Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat

dikatakan berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri

sistemik dan pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan regional

anestesia. 3

9

Page 10: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

Pada anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan

intubasi endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.

Pasien ini dilakukan induksi menggunakan rapid sequence induction dengan sellick

maneuver untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung. Sebelumnya juga

diberikan premedikasi berupa metoklorpramid, dimana obat ini memiliki efek untuk

mempercepat pengosongan lambung dan memperkuat fungsi dari spincter esophagus

sehingga mengurangi resiko terjadinya aspirasi. 6

Penggunaan rocuronium 60 mg pada pasien ini disebabkan karena untuk

mendapatkan onset yang cepat untuk inubasi, dimana onset rocuronium dengan dosis

0,9-1,2 mg/KgBB adalah 60-90 detik. Pada pasien ini dilakukan intubasi setelah

tercapainya onset rocuronium sekitar 1 menit setelah dibolus. 6

Durante operasi diberikan rumatan berupa N20 dan O2 dengan perbandingan

50:50. Berdasarkan literatur pemberian N2O > 50 % karena sifat difusi dari N2O

yang cepat akan menyebabkan terjadinya hypoxia difusi yang dapat berpengaruh

terhadap janin. Setelah bayi lahir diberikan fentanil sebagai analgetik selama operasi.

Bayi lahir kembar dengan apgar skor masing-masing 6/9 dan 7/10. Pada pasien juga

diberikan transfusi intra operasi karena pada awalnya kadar hemoglobin pasien 8,1

gr/dl dengan perdarahan sekitar 600 ml, diputuskan untuk memberikan transfuse

sebanyak 1 labu. 6

Selama berjalannya operasi diberikan oksitosin 20 intraunit dalam 500 cc

ringer laktat dan juga metergin dibolus pelan, tidak terjadi lonjakan hemodinamik

10

Page 11: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

yang bermakna durante operatif terutama setelah bayi lahir. Alasan penambahan

metergin pada pasien ini oleh karena awalnya sempat terjadi penurunan kontraksi

uterus. Hal-hal yang dapat berpengaruh dalam perubahan kontraksi dari uterus pada

pasien ini adalah penggunaan MgSO4, gemelli dan volatile yang dapat menyebabkan

relaksasi uterus. Pemberian metergin pada pasien dengan preeklampsi berat harus

diberikan dengan sangat hati-hati karena memiliki efek berupa peningkatan tekanan

darah sehingga perlunya dilakukan monitoring ketat terhadap tekanan darah pasien.

Durante operatif juga diberikan dexametason yang digunakan sebagai antiinflamasi

dan memiliki efek dalam meningkatkan trombosit pada pasien dengan HELLP

syndrome. Dexametason juga memiliki efek mengurangi resiko terjadinya mual

muntah paska operatif. 3,7

Post operatif diberikan neostigmin dan atropine untuk dekurarisasi. Setelah

pasien sadar penuh dan dapat mengikuti perintah dilakukan ekstubasi. Tidak terjadi

lonjakan hemodinamik yang bermakna ketika ekstubasi. Pemberian analgetik adekuat

pada pasien post partum memiliki peranan penting karena diharapkan dapat memberi

kenyamanan pada pasien, mempercepat penyembuhan dan memungkinkan untuk

mobilisasi cepat dari ibu untuk berinteraksi dengan bayinya. Pada kasus ini pasien

mendapatkan analgetik post operasi berupa petidin 100 mg dalam RL 500 cc yang

sebelumnya diberikan bolus 25 mg untuk mencapai dosis terapeutik ketika diberikan

dalam drip. Pasien juga diberikan parasetamol intravena 4 x 1 gram. 3

11

Page 12: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

Pertimbangan pemberian petidin pada pasien ini dengan preeklampsi berat

oleh karena selama berjalannya operasi kondisi hemodinamik pasien stabil. Namun

selama pemberian petidin tetap harus dimonitoring ketat untuk hemodinamik pasien.

Pemberian petidin sebagai analgetik opioid yang bekerja sentral untuk tipe nyeri

sedang hingga berat. Parasetamol bekerja secara perifer yang berfungsi terhadap

nyeri nosiseptif fan imflamasi pada daerah bekas sayatan. Pemberian ondansetron

pada pasien ini untuk mencegah terjadinya mual muntah paska operatif dengan onset

kerja 30 menit, sehingga pemberian ondansetron ketika dilakukan penjahitan kulit. 3

Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan diobservasi. Selama di ruang

pemulihan kondisi hemodinamik stabil. Setelah 2 hari post operasi pasien

dipindahkan ke ruangan.

Kesimpulan

Konsiderasi anestesi untuk kasus – kasus berisiko tinggi ini menuntut pemahaman

yang menyeluruh mengenai fisiologi kehamilan dan patofisiologi yang menyebabkan

ibu hamil menjadi beresiko tinggi dan memiliki potensi kegawatan obstetrik. Setiap

perubahan yang terjadi selama kehamilan dan persalinan dapat mempengaruhi

pengambilan keputusan dalam manajemen anestesi.

12

Page 13: Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)

Daftar Pustaka

1. Miller RD. Anesthesia for obstetrics In Miller Anesthesia. 7th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2010.  2307-44

2. Shah AK. Preeclampsia and Eclampsia. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/1184270-overview. 2009.

3. Hines RL, Marschall. Stoelting’s Anesthesia and co-existing disease. 6 th ed. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2012, 386-95

4. Gibson P. Carson MP. Hypertension and Pregnancy: Treatment & Medication. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/261435 Accessed June 10, 2010.

5. Jaffe RA. Samuel SI. Anesthesiologist manual of surgical procedures 2. 4 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 818-824. 2009

6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: Lange Medical Book/MC Graw Hill; 2006, 806-09.

7. Bisri T. Wahjoeningsih S. Suwondo BS. Anestesi obstetri. Bandung : Saga Olah Citra. 135-152

13