Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)
Transcript of Lapsus II Peb Edit Dr Dewi (Autosaved)
ANESTHESIA MANAGEMENT IN TWIN GESTATION WITH SEVERE PREECLAMPSIA, PARTIAL HELLP
SYNDROME AND FETAL DISTRESS
Abstract
The anaesthetic management in the peripartum period of a pre-eclamptic patient is important. The anesthesiologist must perform a detailed preanesthetic assessment, including a history and physical examination. The morbidity and mortality rates are higher in severe preeclamsia. We report case of primigravida with twin gestation in 36-37th gestational week with severe preeclampsi, partial HELLP syndrome a and fetal distress, who underwent emergency caesarian sectionKeyword : gemelli, HELLP syndrome, severe preeclampsia
MANAJEMEN ANESTESI PADA KEHAMILAN KEMBAR DENGAN PREKLAMPSI BERAT, PARTIAL HELLP
SYNDROME DAN GAWAT JANIN
Abstrak
Manajemen anestesi periode peripartum pada pasien dengan poreeklampsi berat merupakan hal yang sangat penting. Seorang anestesi harus melakukan penilaian preanestesi yang tepat termasuk anamnesa dan pemeriksaan fisik. Angka morbiditas dan mortalitas sangat meningkat pada pasien dengan preeklampsi berat. Dilaporkan pasien primigravida dengan kehamilan kembar, usia kehamilan 36-37 minggu dengan preeklampsi berat, partial HELLP Syndrome dan gawat janin yang akan menjalani operasi sesar.Kata Kunci :gemelli, HELLP syndrome, Preeklampsi berat
1
Pendahuluan
Preeklampsia meryupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan adanya hipertensi
yang disertai proteinuria, terjadi pada kehamilan setelah minggu ke 20 dari
kehamilan.1 Insiden preeklampsia dan eklampsia di negara berkembang di Amerika
Utara dan Eropa sama dengan di USA. Insiden preeklampsia berkisar 5-10% dan
eklampsia 5-7 pada setiap kelahiran.2
Pada preeklampsia-eklampsia terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan
kadar yang ada di sirkulasi dari prostaglandin (prostacyclin dan thromboxane).
Produksi thromboxane, yang berhubungan dengan vasokonstriksi, agregasi platelet,
penurunan aliran darah uterus dan peningkatan aktivitas uterus, meningkat sementara
produksi prostacyclin yang mempunyai efek sebaliknya menurun.
Ketidakseimbangan antara thromboxane dan prostacyclin ini mungkin berhubungan
dengan kerusakan sel endothelium. Pemberian obat yang dapat menurunkan produksi
thromboxane atau zat yang dapat menghambat sintesis thromboxane terlihat dapat
mengurangi insiden dan kegawatan preeklampsia. Prostaglandin A1, yaitu
vasopressor prostaglandin dengan kemampuan sama dengan prostacyclin, sangat
efektif menurunkan mean arterial pressure pada preeclampsia berat yang sedang
dalam proses induksi persalinan. Pada preeklampsia peningkatan dalam produksi
progesterone oleh plasenta berhubungan dengan penurunan produksi prostacyclin
oleh plasenta. Apapun patogenesis yang tepat dari preeklampsia, ini adalah penyakit
2
sistemik yang secara klinik terlihat jelas dengan adanya perubahan pada sistem
organ-organ mayor. 3
Terapi yang dilakukan bersifat simptomatik. Pada preeklampsia berat,
eklampsia dan HELLP syndrome, persalinan harus dilakukan segera tanpa
memperhatikan berat dan maturitas janin. Memperpanjang masa gestasi pada
kehamilan seperti itu sering sangat berbahaya dengan angka mortalitas janin yang
tinggi dan timbulnya berbagai komplikasi maternal. Selama janin dapat mentoleransi
kontraksi uterus, indulksi dan persalinan pervaginam dapat dilakukan dan bukan
3
merupakan kontraindikasi pada preeklampsia. Namun jika terjadi perburukan pada
janin atau ibu, maka diperlukan tindakan bedah Caesar. 3
Tabel II diagnosis Preeklampsi berat
Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat dikatakan
berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri sistemik dan
pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia. Pada
anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi
endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.3
Laporan Kasus
Seorang perempuan usia 23 tahun datang dengan keluhan pusing dan lemah pada
badan. Pasien merupakan rujukan bidan dan dinyatakan memiliki tekanan darah saat
diperiksa 170 pada sistolik. Tidak terdapat riwayat perubahan pandangan menjadi
4
kabur. Tidak terdapat keluhan bengkak pada kaki, kejang, sesak nafas ataupun nyeri
dada. Tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi, asma, alergi, kencing manis dan
sakit jantung. Riwayat keluarga yang pernah operasi dan dengan riwayat preeklampsi
disangkal.
Dari pemeriksaan fisik tanda vital didapatkan kesadaran composmentis,
tekanan darah 148/96, nadi 83 x/menit, laju nafas 18 x/menit, saturasi 99 % dengan
binasal kanul 3 l/menit. Pasien dengan tinggi badan 155 cm dan berat badan 60 kg.
Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik, mallampati II, buka mulut lebih dari 3 jari, JVP tidak meningkat, pergerakan
leher dalam batas normal.
Pada pemeriksaan toraks didapatkan bentuk dan gerak simetris, bunyi jantung
1 dan 2 reguler, tidak ada bunyi jantung tambahan, suara napas vesikuler simetris,
tidak didapatkan bunyi ronki dan wheezing. Pemeriksaan abdomen tampak cembung,
dengan bunyi jantung janin pertama 134 x/menit dan bungi jantung ke dua
110x/menit. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat, capillary refil < 2 detik, dan
tidak ada oedem, paresis atau defisit neurologis lainnya.
Hasil pemeriksaan darah didapatkan nilai hemoglobin 8,1 g/dL, hematokrit
27 %, leukosit 11.200/µL, trombosit 75.000/µL, waktu perdarahan 1 menit, PT 11,5,
INR 0,94 APTT 28,1, kadar natrium 135 mmol/L, kalium 3,9 mmol/L, kalsium 4,86
mmol/L, magnesium 1,96 mmol/L, klorida 103 mmol/L, LDH 366, OT 34, PT 29
Ureum 0,85 dan gula darah sewaktu 85 mg/dL. Pada urine didapatkan proteinuria
5
(+1). Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien
didiagnosa dengan G1P0A0 gravida 36-37 mgg dengan preeklampsi berat, partial
HELLP syndrome, gawat janin dan gemelli.
Kondisi pasien sebelum induksi dengan kesadaran composmentis, tekanan
darah 138/72 mmHg, nadi 87x/menit, laju napas 20x/menit, SpO2 99% dengan kanul
nasal 3 L/menit. Bunyi jantung janin pertama 138x/menit dan kedua 114 x/menit.
Ketika datang pasien sudah di berikan rumatan berupa MgSO4 dalam D5% 500 ml
yang sesaat ketika tiba di kamar operasi cairan infus diganti dengan ringer laktat.
Pasien juga diberikan premedikasi berupa metoclorpramide 10 mg intravena.
Tindakan anestesi dilakukan dalam anestesi umum. Pasien dioksigenasi
dengan O2 100 % dengan menarik nafas dalam 4 kali, kemudian dilakukan induksi
dengan rapid sequence induction dengan cricoid pressure yang dicapai dengan
menggunakan propofol 120 mg dan 60 mg rokuronium. Hemodinamik setelah
induksi dengan tekanan darah 128/71 dan laju nadi 76 x/menit. Pasien diintubasi
dengan ETT nomor 6,5 sekitar 1 menit setelah induksi dengan kedalaman 19 cm.
Keadaan hemodinamik setelah intubasi dengan tekanan darah 162/93 mmHg, nadi
108x/menit, frekuensi nafas 12 x/menit dibagging dengan saturasi 99-100 %.
Tabel I Perubahan hemodinamik perioperatif
Perubahan Hemodinamik TD(mmHg)
HR(x/menit)
Sebelum induksi 148/96 83Sesudah induksi 128/71 76Sesudah intubasi 162/93 103Sesudah ekstubasi 134/78 85
6
Pemeliharaan anestesi menggunakan isofluran 0,8–1 vol%, O2:N2O (50:50).
Setelah bayi lahir pasien djalankan drip oksitosin 20 mg drip dalam 500 ml ringer
laktat. Pasien juga di bolus fentanil 100 mcg intravena sesaat setelah bayi lahir. Lahir
bayi kembar hidup dengan apgar skor 7/9 dan 6/9. Hemodinamik selama operasi TDS
110-142 mmHg, TDD 75-91 mmHg laju nadi 76-95 x/mnt saturasi 99-100%. Ketika
berjalannya operasi kontraksi uterus tidak adekuat, diberikan bolus metergin 0,2 mg.
Lama operasi 45 menit, lama anestesi 1 jam 15 menit. Perdarahan sebanyak 600 cc
dan diuresis 200 cc, cairan yang diberikan berupa ringer laktat 500 cc, gelofusin 500
cc, PRC 200 cc. diberikan juga bolus dexametason intraoperatif. Ketika dilakukan
penjahitan kulit diberikan tambahan analgetik berupa parasetamol 1 gram dan
ondansetron.
Sebelum operasi berakhir dan setelah adanya nafas spontan, diberikan injeksi
neostigmin 1 mg dan atropine 0,5 mg. Ketika nafas spontan pasien sudah adekuat,
pasien sadar penuh, mulai membuka mata dan dapat mengikuti perintah dilakukan
ekstubasi. Kemudian diberikan bolus berupa petidin 25 mg. Hemodemamik post
ekstubasi tekanan darah 134/78 mmHg nadi 85 x/menit frekuensi nafas 19 x/menit
dan saturasi 99 %. Pasien ditunggu sampai sadar penuh, setelah sadar dibolus petidin
25 mcg kemudian dibawa ke ruang pemulihan. Analgetik post operatif pada pasien
ini adalah petidin 100 mg dalam 500 cc ringer laktat diberikan 15 tetes per menit dan
parasetamol 4x1 gram.
7
Ketika berada di ruang pemulihan kontak pasien adekuat, tekanan darah
pasien 116/68 mmHg, nadi 87 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit saturasi 99%
dengan BNC 3 lpm. Pasien tidak memiliki keluhan mual, muntah maupun nyeri
kepala, rembesan dari bekas operasi juga tidak ada. Ketika di ruang pemulihan
kembali diberikan MgSO4 5 mg/6 jam hingga 24 jam post partum. Tanda vital selama
observasi stabil dengan TDS 110-130 mmHg, TDD 70-85 mmHg, nadi 78-93
x/menit, nafas 18-20 x/menit, saturasi 98-100% dengan nasal kanul 3 liter/menit lalu
dipindahkan ke ruangan. Pasien berada di ruang pemulihan selama 2 hari sambil
menunggu tersedianya ruangan.
Pembahasan
Ibu yang akan melahirkan dapat digolongkan berisiko tinggi bila terdapat berbagai
masalah yang muncul selama antepartum. Manajemen anestesi untuk kasus – kasus
berisiko tinggi ini menuntut pemahaman yang menyeluruh mengenai fisiologi
kehamilan dan patofisiologi yang menyebabkan ibu hamil menjadi beresiko tinggi
dan memiliki potensi kegawatan obstetric. Untuk itu dibutuhkan penatalaksanaan
yang komprehensif terhadap pasien. Pada pasien ini terdapat permasaahan dari sisi
maternal dan fetal berupa preeklamsia berat, gemelli dan gawat janin yang dapat
membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin. 3
Pasien ini diketegorikan preeklampsi berat karena didapatkan adanya
hipertensi yang terjadi diatas kehamilan 20 minggu, proteinuri, partial HELLP
8
syndrome yang berupa trombositopenia (tabel 2). Hal-hal yang dapat meningkatkan
terjadinya preeklampsi pada pasien ini berupa nullipara dan kehamilan multipel (tabel
1). 4
Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi
preanestesi dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada
preeklampsia dapat dilakukan secara semi elektif atau darurat. Pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan pilihan cara anestesinya.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia harus mempertimbangkan status
medis dari pasien terutama adanya koagulopati, gangguan pernafasan. pemilihan
teknik anestesia di sini termasuk epidural, spinal, combine spinal-epidural dan
anestesia umum. 5
Pada pasien ini dipilih teknik anestesi umum karena pada pemeriksaan
didapatkan adanya gawat janin, dimana gawat janin merupakan salah satu indikasi
untuk dilakukannya anestesi umum karena harus dilakukan tindakan sesegera
mungkin. Ketika dilakukan intubasi terjadi perubahan lonjakan hemodinamik dimana
tekanan darah meningkat dari 128/69 ke 162/93 dengan laju nadi dari 78 x/menit
menjadi 108 x/menit. Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat
dikatakan berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri
sistemik dan pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan regional
anestesia. 3
9
Pada anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan
intubasi endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.
Pasien ini dilakukan induksi menggunakan rapid sequence induction dengan sellick
maneuver untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung. Sebelumnya juga
diberikan premedikasi berupa metoklorpramid, dimana obat ini memiliki efek untuk
mempercepat pengosongan lambung dan memperkuat fungsi dari spincter esophagus
sehingga mengurangi resiko terjadinya aspirasi. 6
Penggunaan rocuronium 60 mg pada pasien ini disebabkan karena untuk
mendapatkan onset yang cepat untuk inubasi, dimana onset rocuronium dengan dosis
0,9-1,2 mg/KgBB adalah 60-90 detik. Pada pasien ini dilakukan intubasi setelah
tercapainya onset rocuronium sekitar 1 menit setelah dibolus. 6
Durante operasi diberikan rumatan berupa N20 dan O2 dengan perbandingan
50:50. Berdasarkan literatur pemberian N2O > 50 % karena sifat difusi dari N2O
yang cepat akan menyebabkan terjadinya hypoxia difusi yang dapat berpengaruh
terhadap janin. Setelah bayi lahir diberikan fentanil sebagai analgetik selama operasi.
Bayi lahir kembar dengan apgar skor masing-masing 6/9 dan 7/10. Pada pasien juga
diberikan transfusi intra operasi karena pada awalnya kadar hemoglobin pasien 8,1
gr/dl dengan perdarahan sekitar 600 ml, diputuskan untuk memberikan transfuse
sebanyak 1 labu. 6
Selama berjalannya operasi diberikan oksitosin 20 intraunit dalam 500 cc
ringer laktat dan juga metergin dibolus pelan, tidak terjadi lonjakan hemodinamik
10
yang bermakna durante operatif terutama setelah bayi lahir. Alasan penambahan
metergin pada pasien ini oleh karena awalnya sempat terjadi penurunan kontraksi
uterus. Hal-hal yang dapat berpengaruh dalam perubahan kontraksi dari uterus pada
pasien ini adalah penggunaan MgSO4, gemelli dan volatile yang dapat menyebabkan
relaksasi uterus. Pemberian metergin pada pasien dengan preeklampsi berat harus
diberikan dengan sangat hati-hati karena memiliki efek berupa peningkatan tekanan
darah sehingga perlunya dilakukan monitoring ketat terhadap tekanan darah pasien.
Durante operatif juga diberikan dexametason yang digunakan sebagai antiinflamasi
dan memiliki efek dalam meningkatkan trombosit pada pasien dengan HELLP
syndrome. Dexametason juga memiliki efek mengurangi resiko terjadinya mual
muntah paska operatif. 3,7
Post operatif diberikan neostigmin dan atropine untuk dekurarisasi. Setelah
pasien sadar penuh dan dapat mengikuti perintah dilakukan ekstubasi. Tidak terjadi
lonjakan hemodinamik yang bermakna ketika ekstubasi. Pemberian analgetik adekuat
pada pasien post partum memiliki peranan penting karena diharapkan dapat memberi
kenyamanan pada pasien, mempercepat penyembuhan dan memungkinkan untuk
mobilisasi cepat dari ibu untuk berinteraksi dengan bayinya. Pada kasus ini pasien
mendapatkan analgetik post operasi berupa petidin 100 mg dalam RL 500 cc yang
sebelumnya diberikan bolus 25 mg untuk mencapai dosis terapeutik ketika diberikan
dalam drip. Pasien juga diberikan parasetamol intravena 4 x 1 gram. 3
11
Pertimbangan pemberian petidin pada pasien ini dengan preeklampsi berat
oleh karena selama berjalannya operasi kondisi hemodinamik pasien stabil. Namun
selama pemberian petidin tetap harus dimonitoring ketat untuk hemodinamik pasien.
Pemberian petidin sebagai analgetik opioid yang bekerja sentral untuk tipe nyeri
sedang hingga berat. Parasetamol bekerja secara perifer yang berfungsi terhadap
nyeri nosiseptif fan imflamasi pada daerah bekas sayatan. Pemberian ondansetron
pada pasien ini untuk mencegah terjadinya mual muntah paska operatif dengan onset
kerja 30 menit, sehingga pemberian ondansetron ketika dilakukan penjahitan kulit. 3
Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan diobservasi. Selama di ruang
pemulihan kondisi hemodinamik stabil. Setelah 2 hari post operasi pasien
dipindahkan ke ruangan.
Kesimpulan
Konsiderasi anestesi untuk kasus – kasus berisiko tinggi ini menuntut pemahaman
yang menyeluruh mengenai fisiologi kehamilan dan patofisiologi yang menyebabkan
ibu hamil menjadi beresiko tinggi dan memiliki potensi kegawatan obstetrik. Setiap
perubahan yang terjadi selama kehamilan dan persalinan dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan dalam manajemen anestesi.
12
Daftar Pustaka
1. Miller RD. Anesthesia for obstetrics In Miller Anesthesia. 7th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2010. 2307-44
2. Shah AK. Preeclampsia and Eclampsia. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/1184270-overview. 2009.
3. Hines RL, Marschall. Stoelting’s Anesthesia and co-existing disease. 6 th ed. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2012, 386-95
4. Gibson P. Carson MP. Hypertension and Pregnancy: Treatment & Medication. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/261435 Accessed June 10, 2010.
5. Jaffe RA. Samuel SI. Anesthesiologist manual of surgical procedures 2. 4 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 818-824. 2009
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: Lange Medical Book/MC Graw Hill; 2006, 806-09.
7. Bisri T. Wahjoeningsih S. Suwondo BS. Anestesi obstetri. Bandung : Saga Olah Citra. 135-152
13