Laporan Praktikum Biofarmasetika (Metformin)

21
LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA UJI DISOLUSI TABLET METFORMIN Disusun Oleh : Amalia Ulfa G1F011001 Diah Ayu Wulandari G1F011003 Herlina Agustyani G1F011005 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

Transcript of Laporan Praktikum Biofarmasetika (Metformin)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

UJI DISOLUSI TABLET METFORMIN

Disusun Oleh :

Amalia Ulfa G1F011001

Diah Ayu Wulandari G1F011003

Herlina Agustyani G1F011005

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

PURWOKERTO

2013

UJI DISOLUSI TABLET METFORMIN

I. Tujuan :

1. Mengertahui cara uji disolusi tablet salut (modified release)

2. Dapat melakukan perhitungan dan menganalisis hasil uji disolusi tablet metformin.

II. Perhitungan

Kurva :

0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.50.0000.1000.2000.3000.4000.5000.6000.7000.8000.9001.000

f(x) = 0.3106 x + 0.0082000000000001R² = 0.970760956540919

KURVA BAKU

KURVA BAKULinear (KURVA BAKU)Linear (KURVA BAKU)

Y = konsentrasi larutan

Y= a

bsor

bans

i

III. Hasil dan Pembahasan

a. Monografi Bahan

1. Tablet metformin

Metformin memiliki rumus molekul C4H11N5.HCl dengan berat molekul 165,6.

Tablet Metformin hidroklorida adalah tablet bersalut mengandung tidak kurang dari

95,0% dan tidak lebih dari 105,0% C4H11N5.HCl dari jumlah yang tertera pada etiket.

Serbuk metformin pemeriannya berupa serbuk hablur putih, tidak berbau atau hampir

tidak berbau, higroskopik. Kelarutannya mudah larut dalam air, praktis tidak larut dalam

eter dan dalam kloroform, sukar larut dalam etanol (Anonim, 1995).

2. Natrium difosfat ( Na2HPO4 )

Natrium bifosfat memiliki rumus molekul Na2HPO4. Pemeriannya berupa serbuk

putih atau kristal putih atau hampir putih, tidak berbau. Kelarutannya mudah larut dalam

air, lebih larut dalam air panas, praktis tidak larut dalam etanol. Higroskopis dengan

pemanasan pada suhu 100°C akan kehilangan air kristal. Penyimpanan : wadah tertutup

baik. Di tempat sejuk dan kering. Penggunaan : Garam dari asam lemah yang biasa

dikombinasikan dengan asam asetat untuk buffering agent (Anonim, 1982).

3. Kalium difosfat KH2PO4 (kalium dihidrogen fosfat atau kalium bifosfat ).

Pemeriannya beruap serbuk hablur dan berwarna putih. Mempunyai kelarutan

mudah larut dalam air. Keasaman- kebasahan : Larutan 1,0% b/v dalam air bebas

karbondioksida P sesuai dengan pH 4,4. Penggunaan : Buffering agent (Anonim, 1982).

4. Aquades

Aquades meiliki rumus molekul H2O dengan BM 18,02. Pemeriannya berupa

cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa, digunakan sebagai

pelarut (Anonim, 1995).

b. Teori Disolusi

Aa Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat

ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu

obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum

diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau

semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).

Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut

dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Kecepatan disolusi atau kelarutan sangat diperlukan

untuk membantunya memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi

obat. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat

tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke

dalam tubuh (Martin, 2008).

Persamaan kecepatan menurut Noyes dan Whitney sebagai berikut :

 dc / dt = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )

      Cs = kelarutan  (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )

      Ct = konsentrasi bahan dalam  larutan untuk waktu t

      K = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan  jenuh dan tebal

lapisan difusi (Shargel, 1988)

Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan konstannya suhu,

menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi antara konsentrasi jenuh

dengan konsentrasi pada waktu (Shargel, 1988).

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien

difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini

juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat

sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif

ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif

ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada

tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau

kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat

dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah

medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan

dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. (Ansel, 1985)

Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut

mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer,

matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini

mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa

berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut

diberikan (Martin 1993)

Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-

partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua langkah berturut-turut:

(Gennaro, 1990)

1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film

disekitar partikel

2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.

Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi lebih lambat dan

karena itu adalah langkah terakhir.

Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :

Difusi layer model (theori film)

Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada

permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan

yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan

difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan

berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus

Massa larutan dengan konsentrasi = Ct

Kristal

Lapisan film (h) dgn konsentrasi = Cs

meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari

permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut. (Martin 1993)

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat

diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi

terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus menembus pembatas membran.

Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena

karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan

merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut

tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya

diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian ora, karena

batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus. (Martin

1993)

Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (Dirjen POM, 1995) :

1. Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan yang

inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang yang berbentuk silinder

dan dipanaskan  dengan tangas air pada suhu 370C.

2. Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk.

Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap

titik dari sumbu vertikel wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):

1. Suhu

Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat

endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein,koefisien difusi dapat

dinyatakan melalui persamaan berikut (Martin, 1993):

   D         : koefisien difusi

   r           : jari-jari molekul

   k          : konstanta Boltzman

   ή          : viskositas pelarut

   T          : suhu

2. Viskositas

Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai

dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar

kecepatan disolusi.

3.   pH pelarut

pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa

lemah.

Untuk asam lemah : Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan

demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.

Untuk basa lemah: Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan

demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.

4.   Pengadukan

Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan

berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.

5.   Ukuran Partikel

Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga

kecepatan disolusi meningkat.

6.   Polimorfisme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat

yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil

umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar.

7.   Sifat Permukaan Zat

Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan

adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan

menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.

Uji disolusi tablet yaitu untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang

tertera dalam masing-masing monografi (missal Farmakope) untuk sediaan tablet dan kapsul,

kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku

untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi. Uji disolusi

digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-

masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet

harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila

dinyatakan dalam masing-masing monografi.

Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:

1. Sifat fisika kimia obat

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan

efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar

karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju

disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam

maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika

pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal

secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf,

kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal

(Shargel dan Yu, 1999).

2. Faktor formulasi

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat

mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium

tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat.

Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan

tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat

membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang

membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat

terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi

(Shargel dan Yu, 1999).

3. Faktor alat dan kondisi lingkungan

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan

kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat,

semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat

menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium,

serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat (Swarbrick dan

Boyland, 1994b; Parrott, 1971).

Alat uji disolusi menurut Farmakope Indonesia edisi IV:

- Alat uji tipe keranjan (basket)

- Alat uji disolusi tipe dayung (paddle)

Sedangkan alat untuk uji pelepasan obat menurut USP 29, NF 24:

1. Alat uji pelepasan obat tipe keranjang (basket)

2. Alat uji pelepasan obat tipe dayung (paddle)

3. Alat uji pelepasan obat tipereciprocating cylinder

4. Alat uji pelepasan obat tipe flow through cell

5. Alat uji pelepasan obat tipe paddle over disk

6. Alat uji pelepasan obat tipe silinder

7. Alat uji pelepasan obat tipe reciprocating holder

Kedua alat disolusi diatas hampir sama kecuali bahwa pada gambar (b) luas permukaan

tablet atau bahan kompak (bahan yang dipadatkan ) tersebut tetap konstan ketika melarut. Desain

ini menguntungkan dalam penelitian dan formulasi produk. Selain itu keadaan termodinamik

yang tepat dijaga oleh posisi pengaduk yang tetap dan pemegang sampel (sample holder). Alat

paddle pada gambar (a) dikenal sebagai alat disolusi 2 dari USP dan alat keranjang putar dikenal

sebagai alat disolusi 1 dari USP.

Menurut Farmakope Indonesia alat yang digunakan untuk uji disolusi ada 2, yaitu

pengaduk bentuk keranjang (alat 1) dan pengaduk bentuk dayung (alat 2). Alat 1 terdiri dari dari

sebuah wadah bertutup yang terbentuk dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu

motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Alat 2

sama dengan alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang

sebagai pengaduk. Batang berada berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih

dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu verticalwadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan

yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata.

c. Cara Kerja

Menurut Anonim (1995) uji disolusi tablet metformin dapat dilakukan dengan

menggunakan media disolusi buffer fosfat pH 6,8 dengan menggunakan campuran natrium

bifosfat 0,68% dan penambahan natrium hidroksida 1 N dalam volume 1000mL. atur kecepatan

100rpm dengan waktu 45 menit. Prosedurnya lakukan penetapan jumlah metformin yang terlarut

dengan mengukur serapan filtrat larutan uji, jika perlu diencerkan dengan media disolusi dan

serapan larutan baku Metformin Hidroklorida BPFI dalam media yang sama dengan panjang

gelombang serapan maksimum lebih kurang 233nm. Dalam waktu 45 menit harus larut tidak

kurang dari 70% C4H11N5.HCl dari jumlah yang tertera pada etiket.

Disolusi obat merupakan proses ketika molekul obat dibebaskan dari fase padat dan

masuk ke dalam fase larutan atau proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke

dalam media pelarut (Ansel, 1985).

Untuk memulai uji disolusi, dimulai dengan membuat media disolusi. Media disolusi

menggambarkan keadaan patofisiologi dimana obat tersebut akan beraksi. Praktikum ini

menggunakan tablet metformin yang berupa tablet salut enterik yang bekerja di usus oleh karena

itu media disolusi menggunakan cairan usus simulasi (simulated intestinal fluid, SIF) dijelaskan

dalam USP 26, merupakan larutan dapar 0,05 M yang mengandung kalium dihidrogen fosfat

(Tabel 13-2). pH dapar ini adalah 6,8 dan berada dalam kisaran pH usus normal.

Media disolusi yang digunakan dalam praktikum ini adalah dapar fosfat yang berupa

campuran Natrium bifospat (Na2HPO4) dan Kalium bifospat (KH2PO4) dengan bobot Na2HPO4

2,78 gram di ad sampai 1000 mL kemudian diambil 51 mL dan bobot KH2PO4 53,68 gram di ad

sampai 1000ml kemudian diambil 49mL. Hasil campuran larutan Na2HPO4 51 mL dan KH2PO4

49mL lalu ditambahkan akuades sampai batas ukur labu alas bulat 900mL. Media disolusi

diatur nilai pH 6,8 dengan temperratur 37˚C ±0.5˚C dan pengadukan sebesar 100rpm. Kecepatan

100 rpm adalah kecepatan yang lazim digunakan.

Selanjutnya masukkan satu tablet metformin HCl dalam media disolusi pada chamber alat

disolusi tipe 2 (dayung) (gambar 1). Kemudian ambil sampel larutan sebanyak 5 mL pada

waktu 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 menit dan diganti volume larutan media disolusi tiap

pengambilan sampel untuk menjaga kondisi sink. Sampel yang terkumpul kemudian dianalisis

menggunakan analisis spektrofotometri pada panjang gelombang 233nm untuk menentukan

konsentrasi obat didalam media disolusi. Kemudian dilakukan analisis data menggunakan grafik

yang menggambarkan hubungan antara jumlah obat yang terdisolusi terhadap fungsi waktu dan

kecepatan disolusi.

d. Hasil

WaktuC1 C2 C3 RATA-

RATAQ TOTAL %

TERLEPASDE

0 0 0 0 0 0 0 015 166,387 134,452 115,742 138,860 24994,839 4,999 2,49930 152,194 149,935 149,290 150,473 27779,462 5,556 3,88845 155,419 136,065 134,774 142,086 27022,151 5,404 4,41960 163,806 126,065 122,194 137,355 26880,968 5,376 4,66290 168,323 161,548 159,290 163,054 32193,548 6,439 5,077120 132,839 117,677 114,129 121,548 25537,849 5,108 5,251

Hasil % terlepas yang didapatkan dalam praktikum ini adalah < 10% dimana hal ini tidak

sesuai dengan literatur, menurut Anonim (1995) dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang

dari 70% C4H11N5.HCl (metformin HCl) dari jumlah yang tertera pada etiket. Hal ini mungkin

dikarenakan adanya kesalahan dalam praktikum seperti : kesalahan dalam pengambilan sampel

menggunakan pipet volume, kekeliruan prosedur dalam penentuan kadar mengghunakan

spektrofotometri, peralatan belum dikalibrasi, faktor penggangu seperti lingkungan yaitu suhu

media disolusi yang tidak tetap dan tidak konstan, dan kemurnian bahan.

IV. Kesimpulan

Dari hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :

Uji yang dilakukan adalah uji disolusi pada tablet metformin.

Medium Disolusi yang digunakan dalam praktikum ini adalah 900ml larutan dapar fosfat yang

berupa campuran Natrium bifospat (Na2HPO4) dan Kalium bifospat (KH2PO4) dengan pH

6,8.

Alat yang digunakan yaitu tipe dayung : 100 rpm, Waktu : 120 menit,

Hasil % terlepas yang didapatkan dalam praktikum ini adalah < 10% dimana hal ini tidak

sesuai dengan literatur bahwa dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 70%

C4H11N5.HCl (metformin HCl) dari jumlah yang tertera pada etiket.

Daftar pustaka :

Anonim, 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia edisi 28. The Pharmaceutical Press :

London.

Anonim, 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi IV, terjemahan dari Introduction to

Pharmaceutical Dosage Form oleh Farida Ibrahim. Universitas Indonesia: Jakarta.

Ansel, Howard C., (1985), “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi”, UI Press, Jakarta, 91,92.

Ditjen POM, (1995), “ Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 90,

96, 412, 675.

Gennaro, A. R., et all., (1990), “ Remingto’s Pharmaceutical Sciensces “, Edisi 18th, Marck

Publishing Company, Easton, Pensylvania, 591.

Martin, A., et.all., (1993), “ Farmasi Fisika “, Edisi III, Bagian II, Penerbit UI Jakarta, 827.

Martin, Alred. James Swarbrick. Arthur Cammarata. 2008. Farmasi Fisik Edisi 2. Jakarta: UI

Press.

Parrot, L.E.1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics. USA : Burgess

Publishing Co

Shargel, L. and Yu, A.1999. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 4th Ed. New

York : Mcgraw-Hill

Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika          Terapan.

Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti    Sjamsiah, Apt. Airlangga

University Press. Surabaya.

Swarbrick, J. and Boylan, J.C.1994. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. New York :

Marcel Dekker Inc

Tim Penyusun. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-

efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. PT. Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia. Jakarta: