Laporan PKL Glodya Vanesya

43
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi perah merupakan hewan ternak yang menghasilkan susu sebagai produk utamanya. Susu dan produk olahannya adalah bahan pangan dan pangan bagi konsumsi manusia. Kebutuhan akan susu terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, tingkat pendapatan, dan selera masyarakat. Peternakan sapi perah dalam negeri rata-rata dikelola oleh peternakan rakyat dan produksinya rendah. Usaha peningkatan produksi susu dapat dilakukan dengan memperbaiki tatalaksana pemeliharaan ternak yang meliputi beberapa aspek yang saling mempunyai keterkaitan. Pemeliharaan sapi perah adalah penyelenggaraan semua kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan dan kelanjutan hidup dari ternak sapi perah. Proses pemeliharaan dilakukan sesuai dengan standar yang ada agar ternak sapi perah dalam keadaan sehat, cukup pakan (baik jumlah maupun kualitasnya), serta dapat beranak secara teratur setiap tahun, dengan produksi susu yang berkualitas tinggi. Masa transisi merupakan penentu penting produktivitas dan profitabilitas dalam pemeliharaan ternak perah. Nutrisi dan tatalaksana program selama fase ini secara langsung mempengaruhi kejadian gangguan setelah melahirkan, produksi susu dan reproduksi dalam laktasi berikutnya. Tatalaksana pemeliharaan sapi periode transisi telah menjadi salah satu kemajuan yang paling signifikan dalam nutrisi susu dan produksi di seluruh dunia selama 20 tahun terakhir, memberikan peluang besar untuk meningkatkan kesehatan sapi, produksi susu dan kinerja reproduksi. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden (BBPTU-SP Baturraden) sebagai pusat pembibitan sapi perah nasional

description

tatalaksana pemeliharaan sapi perahproduksi susuBCSdampak kesalahan manajemen

Transcript of Laporan PKL Glodya Vanesya

Page 1: Laporan PKL Glodya Vanesya

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah merupakan hewan ternak yang menghasilkan susu

sebagai produk utamanya. Susu dan produk olahannya adalah bahan

pangan dan pangan bagi konsumsi manusia. Kebutuhan akan susu terus

meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, tingkat

pendapatan, dan selera masyarakat. Peternakan sapi perah dalam negeri

rata-rata dikelola oleh peternakan rakyat dan produksinya rendah. Usaha

peningkatan produksi susu dapat dilakukan dengan memperbaiki

tatalaksana pemeliharaan ternak yang meliputi beberapa aspek yang

saling mempunyai keterkaitan.

Pemeliharaan sapi perah adalah penyelenggaraan semua kegiatan

yang berhubungan dengan kehidupan dan kelanjutan hidup dari ternak

sapi perah. Proses pemeliharaan dilakukan sesuai dengan standar yang

ada agar ternak sapi perah dalam keadaan sehat, cukup pakan (baik

jumlah maupun kualitasnya), serta dapat beranak secara teratur setiap

tahun, dengan produksi susu yang berkualitas tinggi.

Masa transisi merupakan penentu penting produktivitas dan

profitabilitas dalam pemeliharaan ternak perah. Nutrisi dan tatalaksana

program selama fase ini secara langsung mempengaruhi kejadian

gangguan setelah melahirkan, produksi susu dan reproduksi dalam laktasi

berikutnya. Tatalaksana pemeliharaan sapi periode transisi telah menjadi

salah satu kemajuan yang paling signifikan dalam nutrisi susu dan

produksi di seluruh dunia selama 20 tahun terakhir, memberikan peluang

besar untuk meningkatkan kesehatan sapi, produksi susu dan kinerja

reproduksi.

Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden

(BBPTU-SP Baturraden) sebagai pusat pembibitan sapi perah nasional

Page 2: Laporan PKL Glodya Vanesya

2

yang telah menerapkan sistem peternakan dari hulu sampai hilir dan juga

sebagai industri pengolahan susu yang memiliki potensi pasar yang luas

bagi industri persusuan di Indonesia. BBPTU-SP Baturraden juga

merupakan peternakan sapi perah yang memproduksi susu segar hingga

pengolahan susu, yang berada dalam lokasi yang sama sehingga kontrol

kualitas produksi susu dapat selalu dipantau dan dievaluasi secara terus

menerus. Penerapan tatalaksana pemeliharaan sapi perah terutama

periode transisi dapat meningkatkan kinerja sapi perah yang ada sehingga

memiliki nilai jual lebih bagi produk yang dihasilkan (Lean, 2011).

Tujuan PKL

Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di BBPTU-SP Baturraden

Purwokerto dilaksanakan untuk memenuhi mata kuliah wajib Fakultas

Peternakan Universitas Gadjah Mada. Tujuan yang ingin dicapai dalam

pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan antara lain :

1. Mengerti dan dapat menjelaskan secara langsung proses kegiatan

tatalaksana pemeliharaan sapi perah periode transisi di BBPTU-SP

Baturraden.

2. Meningkatkan keterampilan dan wawasan mengenai pelaksanaan

pemeliharaan sapi perah periode transisi khususnya di BBPTU-SP

Baturraden.

3. Mengetahui kendala dan permasalahan yang dihadapi di lapangan

terkait dalam tatalaksana pemeliharaan sapi perah periode transisi

sehingga diharapkan mahasiswa mampu menganalisis dan

memecahkan permasalahan yang terjadi serta mengetahui solusi

yang dilakukan oleh perusahaan tersebut sebagai pengetrapan

ilmu yang diperoleh selama perkuliahan.

Page 3: Laporan PKL Glodya Vanesya

3

Manfaat PKL

Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi mahasiswa dan perusahaan yang dituju yaitu :

1. Mahasiswa mendapat pengalaman kerja dengan praktek langsung

di perusahaan sehingga telah mempunyai bekal gambaran

langsung dunia kerja di perindustrian peternakan, khususnya

perindustrian persusuan.

2. Mahasiswa dapat menganalisis dan memecahkan permasalahan

yang terjadi serta mengetahui solusi yang dapat dilakukan oleh

perusahaan tersebut, sehingga mahasiswa dapat memiliki jiwa

kemandirian untuk menghadapi persoalan tentang pemeliharaan

sapi perah.

3. Mahasiswa dapat membandingkan teori-teori disiplin ilmu yang ada

dengan realitas di lapangan.

4. Mahasiswa memperoleh wawasan baru dari BBPTU Sapi Perah

Baturraden, sehingga dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa.

Page 4: Laporan PKL Glodya Vanesya

4

BAB II

KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

Sejarah BBPTU-SP Baturraden

Pada tahun 1953, Pemerintah Daerah RI membangun peternakan

di Baturraden dan diresmikan oleh Paduka Jang Mulia (P.J.M.) Wakil

Presiden Drs. Mohammad Hatta pada tanggal 22 Juli 1953 dengan nama

Induk Taman Ternak Baturraden. Berdasarkan PP No. 31 Tahun 1961,

Induk Taman Ternak diserah terimakan kepada Perusahaan Peternakan

Negara PERHEWANI. Perubahan tersebut diharapkan agar keberadaan

Induk Taman Ternak dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan

konsep perusahaan. Pada tanggal 27 Agustus 1968 sesuai PP No 28

Tahun 1968 PN PERHEWANI dibubarkan.

Tanggal 15 September 1968, unit ex PN PERHEWANI Induk

Taman Ternak Baturraden ditetapkan di bawah kendali Panitia Likuidasi

Pusat Jakarta. Tanggal 23 Juli 1968 berdasarkan surat dari Direktorat

Jenderal Peternakan urusan penyelesaian likuidasi, PN PERHEWANI

Induk Taman Ternak Baturraden diubah menjadi Unit Usaha Peternakan

Baturraden. Sambil menunggu keputusan lebih lanjut, terhitung mulai

bulan April 1971 pengurusannya berada di bawah Direktorat Jenderal

Peternakan cq Direktorat Pengembangan Produksi Peternakan. Periode

tahun 1971 sampai 1974 adalah merupakan periode penantian status

Induk Taman Ternak, tahun 1974 Induk Taman Ternak memperoleh

anggaran rutin untuk Rehabilitasi dengan nama Induk Pembibitan Ternak

Baturraden.

Pada tanggal 25 Mei 1978, berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Pertanian RI No. 313/Kpts/Org/5/78 ditetapkan kedudukan, tugas, fungsi,

susunan organisasi dan tata kerja Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan

Makanan Ternak Baturraden (BPTHMT Baturraden). Sejak saat itu BPT-

HMT Baturraden merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal

Page 5: Laporan PKL Glodya Vanesya

5

Peternakan dengan status Eselon 3B. Selama periode BPT-HMT

mengalami beberapa kali pergantian pucuk pimpinan, yaitu :

1. Drh. Soebijono (1978 – 1983)

2. Drh. Isworo Dasuki (1983 – 1990)

3. Ir. Santoso Budiyatno (1990 – 2000)

4. Ir. H. Hardiarto (2000 – 2002)

Pada tanggal 24 Juli 2002, berdasarkan Keputusan Menteri

Pertanian RI No. 290 tahun 2002, BPT-HMT berubah menjadi Balai

Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Perah dengan status Eselon 3A.

Periode BPTU Sapi Perah merupakan periode yang paling singkat yaitu

hampir 2 tahun (2002 – 2004) dengan Kepala Ir. Hartono. Pada tanggal 30

Desember 2003, sesuai Surat Keputusan Menteri pertanian RI No.

630/Kpts/OT.140/12/2003, BPTU Sapi Perah Baturraden berubah

menjadi Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU Sapi

Perah) dengan status Eselon 2B. Sampai dengan saat ini Kepala BBPTU

yang pernah dan sedang memimpin mengalami pergantian tiga kali, yaitu :

1. Ir. Jacky PL Toruan (2004 – 2005)

2. Ir. Djodi Achmad Hussain Suparto, MM (2005 – 2009)

3. Ir. Abubakar, SE., MM (2009 – 2010)

4. Ir. Ali Rachman, M.Si (2011 – Sekarang)

Pada tanggal 25 Mei 1978, dengan SK Mentan RI No:

313/Kpts/Org/5/78, tentang susunan organisasi dan tata kerja Balai

Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Baturraden (BPTHMT),

sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Peternakan. Pada

tanggal 24 Juli 2002, sesuai SK Mentan RI No. 290 tahun 2002, berubah

menjadi Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BPTU Sapi Perah).

Pada tanggal 30 Desember 2003, sesuai SK Mentan RI No.

630/Kpts/OT.140/12/2003, BPTU Sapi Perah berubah menjadi Balai Besar

Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU Sapi Perah).

Page 6: Laporan PKL Glodya Vanesya

6

Visi dan Misi

Visi

Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah mempunyai visi

mewujudkan institusi yang profesional dalam menghasilkan bibit sapi

perah yang berkualitas, berdaya saing, dan berkelanjutan untuk

meningkatkan kesejahteraan peternak.

Misi

Misi yang dilakukan perusahaan untuk mewujudkan visi antara lain :

1. Mengembangkan pembibitan sapi perah nasional dengan

melaksanakan kebijakan di bidang pemuliaan, pemeliharaan,

produksi, dan pemasaran bibit unggul sapi perah dan hasil

ikutannya.

2. Mengembangkan sumber daya manusia aparatur pelaku usaha

sapi perah, sarana prasarana, pembinaan, evaluasi, sistem

informasi manajemen (SIM), dan pelayanan prima serta

meningkatkan kesejahteraan peternak.

Tugas Pokok dan Fungsi

Tugas Pokok

Berdasarkan SK Mentan No. 630/KPTS/OT.140/12/2003, BBPTU

Sapi Perah Baturraden sebagai pusat pembibitan sapi perah nasional

memiliki tugas pokok, yaitu :

1. Pemuliaan bibit unggul sapi perah

2. Pemeliharaan bibit unggul sapi perah

3. Produksi bibit unggul sapi perah

4. Pemasaran bibit unggul sapi perah

Page 7: Laporan PKL Glodya Vanesya

7

Fungsi

BBPTU-SP Baturraden sebagai pusat pembibitan sapi perah

nasional dari tugas tersebut BBPTU harus dapat menjalankan fungsi

sebagai berikut :

1. Penyusunan program dan evaluasi kegiatan pemuliaan,

pemeliharaan, produksi dan pemasaran bibit sapi perah unggul.

2. Pelaksanaan pemuliaan bibit unggul sapi perah.

3. Pelaksanaan uji performance (betina) dan uji progeny (jantan) sapi

perah unggul.

4. Pelaksanaan pencatatan (recording) pembibitan sapi perah

unggul.

5. Pelaksanaan pemeliharaan bibit unggul sapi perah.

6. Perawatan kesehatan bibit unggul sapi perah dan pengawasan

higenis produksi susu segar.

7. Pemberian saran teknis pemuliaan, pemeliharaan dan produksi

bibit unggul sapi perah.

8. Pemberian pelayanan teknis pemuliaan, pemeliharaan dan

produksi bibit unggul sapi perah.

9. Pelaksanaan distribusi, pemasaran dan informasi hasil produksi

bibit unggul sapi perah dan hasil ikutannya.

10. Pengelolaan Tata Usaha dan Rumah Tangga BBPTU Sapi Perah.

Struktur Organisasi

Struktur Organisasi BBPTU-SP Baturraden sebagai berikut:

1. Kepala balai besar.

2. Bagian umum yang terdiri dari sub bagian program dan

keuangan, sub bagian kepegawaian dan tata usaha, sub

bagian rumah tangga dan perlengkapan.

3. Bidang pelayanan pembibitan terdiri dari seksi pelayanan

teknik, seksi pakan dan alat mesin.

Page 8: Laporan PKL Glodya Vanesya

8

4. Bidang pemasaran dan informasi terdiri dari seksi

pemasaran dan seksi informasi.

5. Kelompok pejabat fungsional yang terdiri dari koordinator

medik veteriner atau paramedik, koordinator pengawas bibit

ternak (wasbitnak), dan koordinator pengawas mutu pakan

(wastukan).

Struktur organisasi ini ditampilkan pada Gambar 1 di bawah ini :

Gambar 1. Struktur Organisasi BBPTU-SP Baturraden

Lokasi dan Tata Letak Perusahaan

BBPTU-SP Baturraden terletak di lereng Gunung Slamet, 14 km

sebelah utara Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

BBPTU-SP Baturraden memiliki luas tanah: 241,687 Ha, dengan

ketinggian antara 650 sampai 700 m di atas permukaan laut dan curah

hujan kurang lebih 6.000 mm/th. Jenis tanah yang ada pada lahan

BBPTU-SP Baturraden adalah andosol coklat kekuningan yaitu jenis

Page 9: Laporan PKL Glodya Vanesya

9

tanah yang berasal dari bahan induk abu vulkan, asosiasi latosol yang

terbentuk dari batuan gunung api yang mengalami proses pelapukan

lanjut, dan regosol coklat yang merupakan endapan abu vulkanik baru

yang memiliki butir kasar, dengan temperatur lingkungan antara 180C

sampai 300C dan kelembaban antara 70% sampai 80%.

Kegiatan Balai

Kegiatan yang dilakukan Balai dalam rangka pengembangan sapi

perah Indonesia yaitu:

1. On Farm

Produksi dan pemasaran bibit unggul sapi perah

Center of exellence

Pusat data base sapi perah nasional

Pemuliaan bibit unggul sapi perah

Budidaya bibit unggul sapi perah

Konsultasi usaha sapi perah

Pusat informasi sapi perah

2. Wilayah Pengembangan

Recording sapi perah

Pembinaan manajemen budidaya sapi perah

Magang budidaya sapi perah bagi perorangan, kelompok,

pembinaan key farmer

Koordinator pelaksana uji zuriat sapi perah nasional

Page 10: Laporan PKL Glodya Vanesya

10

Potensi

BBPTU-SP Baturraden memiliki lahan seluas 241 Ha dan memiliki

potensi tanah sebagai berikut :

1. Lokasi Tegal Sari

Seluas 34,802 Ha untuk perkantoran, perumahan, kandang

ternak, lapangan penggembalaan dan kebun rumput.

2. Lokasi Munggang Sari

Seluas 10,098 Ha untuk perumahan dan pusat latihan atau

magang.

3. Lokasi Limpakuwus

Seluas 96,787 Ha untuk kandang ternak, kebun rumput, dan

perumahan.

4. Lokasi Manggala

Seluas 100 Ha untuk pengembangan pemeliharaan ternak.

Sumber Daya Manusia (SDM)

Jumlah total pegawai di BBPTU-SP Baturraden yaitu 172 orang

pegawai negeri sipil (PNS). Jumlah SDM menurut jabatan fungsional yaitu

45 orang yang terdiri dari pengawas bibit ternak (wasbitnak) ahli 12 orang,

pengawas bibit ternak (wasbitnak) trampil 8 orang, medik veteriner 6

orang, paramedik veteriner 13 orang, dan pengawas mutu pakan

(wastukan) ahli 6 orang.

Fasilitas Produksi dan Fasilitas Pendukung

BBPTU-SP Baturraden memiliki sarana dan prasarana

pendukung perusahaan antara lain: bangunan gedung yang meliputi:

gedung kantor, ruang perpustakaan, gedung pertemuan, Training Centre

(TC), guest house, rumah dinas, gedung khusus, garasi workshop

Page 11: Laporan PKL Glodya Vanesya

11

(perbengkelan); kandang dan peralatan yang meliputi: kandang

(Tegalsari, Limpakuwus, Manggala), gudang pakan (konsentrat dan

hijauan makanan ternak (HMT) ), chopper, grinder, mixer, laboratorium

kesehatan hewan (keswan), kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet),

reproduksi, biosecurity gate, kamar susu, milking parlour, mesin perah,

cooling unit, chiller, traktor, compresor, portable generating set, stationary

generating set, kendaraan operasional, lahan hijauan makanan ternak

(HMT), padang penggembalaan.

Page 12: Laporan PKL Glodya Vanesya

12

BAB III

Kegiatan Praktek Kerja Lapangan

Masa transisi didefinisikan sebagai periode antara tiga minggu

sebelum melahirkan sampai empat minggu setelah melahirkan, dan

ditandai oleh meningkatnya risiko penyakit. Periode ini didominasi oleh

serangkaian adaptasi terhadap tuntutan laktasi, proses ini disebut

homeorhetic. Proses homeorhetic adalah adaptasi jangka panjang untuk

perubahan keadaan, seperti dari non laktasi menjadi laktasi, dan

melibatkan serangkaian pengaturan perubahan metabolisme, yang

memungkinkan ternak untuk beradaptasi dengan tantangan keadaan yang

berubah. Penyakit yang dihasilkan dari perubahan homeorhetic teratur

mencerminkan gangguan pada homeostatis, yaitu kegagalan untuk

beradaptasi yang mengakibatkan kekurangan nutrisi penting untuk

mempertahankan hidup. Kondisi ini sering saling terkait dan termasuk :

hypocalcaemia, hypomagnesaemia, ketosis, udder oedema, abomasal

displacement, metritis, rendahnya kesuburan dan rendahnya produksi.

Kegagalan satu proses metabolisme pasti akan berdampak pada efisiensi

lain. Masa transisi merupakan periode yang singkat namun penting dalam

kehidupan sapi, dimana manipulasi pakan dapat berdampak secara

substansial pada kesehatan dan produktivitas selanjutnya.

Kegiatan PKL dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2013

sampai tanggal 21 Februari 2013 di farm Tegalsari BBPTU-SP

Baturraden, Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah. BBPTU-SP

Baturraden khususnya farm Tegalsari memiliki areal lahan 34,8 Ha yang

terdiri dari 18 Ha areal hijauan dan sisanya areal perkandangan, lahan

exercise, perkantoran dan perumahan. Layout farm Tegalsari ditampilkan

pada Lampiran 1. Populasi sapi perah di BBPTU-SP Baturraden saat ini

yang ada di farm Tegalsari, yaitu 502 ekor yang terdiri dari 324 ekor induk,

101 ekor dara, 1 ekor jantan muda, 36 pedet jantan, 40 ekor pedet betina.

Praktek kerja lapangan dilakukan dengan cara mengikuti berbagai

Page 13: Laporan PKL Glodya Vanesya

13

kegiatan, yaitu : manajemen pemeliharaan, pengelolaan pakan,

pemberian pakan, recording, kontrol reproduksi, kesehatan hewan

(keswan), dan breeding sapi perah. Data yang diamati pada saat

pelaksanaan PKL antara lain: tatalaksana sapi perah periode transisi,

program pengeringan, tatalaksana pemberian pakan pada periode

pengeringan dan setelah beranak, Body Condition Score (BCS) dan

dampak periode transisi.

Data laporan PKL diambil melalui berbagai metode, seperti:

pengamatan, wawancara, literatur di perpustakaan, diskusi dengan

pengawas dan pelaksana kandang, serta ikut aktif dalam kegiatan yang

ada di BBPTU-SP Baturraden.

Tatalaksana Sapi Perah Periode Transisi

Periode transisi yaitu periode peralihan antara 3 minggu sebelum

melahirkan sampai 4 minggu setelah melahirkan. Periode ini merupakan

periode kritis bagi induk sapi perah, karena adanya keseimbangan energi

negatif, yang umumnya terjadi pada induk pasca partus sehingga untuk

memenuhi kebutuhan energi digunakan cadangan energi pada tubuh.

Periode transisi penting dalam proses fisiologi, sapi laktasi, dan

perubahan kebutuhan nutrisinya. Umumnya masalah kesehatan sapi

muncul pada periode setelah melahirkan. Gangguan kesehatan ini

berkaitan dengan sapi kesulitan beradaptasi saat laktasi, yang disebabkan

ketidakseimbangan fisiologi yang mengarah kepada pencernaan,

metabolisme, dan masalah infeksi.

Program 3 minggu sebelum sapi melahirkan

Program 3 minggu sebelum sapi melahirkan biasanya disebut

challange feeding program. Challange feeding program adalah program

pemberian pakan konsentrat, yang diberikan pada sapi kering dan awal

laktasi, tanpa dibatasi oleh kurangnya persediaan energi untuk produksi

Page 14: Laporan PKL Glodya Vanesya

14

saat itu (Soetarno, 2000). Sebulan menjelang kelahiran, sapi bunting

diberikan makanan berprotein tinggi yang dimaksudkan untuk

memperbaiki kembali fungsi alveoli pada ambing, mengembalikan kondisi

tubuh sehingga persediaan zat-zat pembentuk susu sudah siap untuk

laktasi berikutnya, dan mempersiapkan kondisi induk yang kuat pada saat

melahirkan dan sesudah melahirkan.

Program 4 minggu setelah sapi beranak

Setelah sapi melahirkan sampai 70 hari merupakan masa yang

paling kritis, karena pada saat ini sapi mulai memproduksi susu. Empat

sampai enam minggu setelah sapi beranak, produksi susu akan naik

dengan cepat sampai mencapai puncak produksi 70 hari setelah sapi

beranak. Setelah sapi beranak terjadi penurunan berat tubuh. Agar berat

tubuh tidak turun drastis, pemberian konsentrat dinaikkan 0,5 kg sampai 1

kg per hari, tetapi konsentrat yang diberikan jangan sampai berlebihan

dan kandungan serat kasarnya dalam ransum harus di atas 15% untuk

pemeliharaan fermentasi di rumen. Apabila pemberian pakan tidak

seimbang dapat berakibat puncak produksi susu selama laktasi rendah.

Jika konsentrat yang dikonsumsi meningkat terlalu cepat maka

kemungkinan sapi akan menderita off feed dan displasia abomasum

(Soetarno, 2003). Satu minggu setelah sapi beranak, pakan yang

diberikan pada sapi-sapi di BBPTU-SP Baturraden disesuaikan dengan

produksi susunya.

Program Pengeringan

Periode kering atau sering disebut dengan pengeringan adalah

menghentikan pemerahan selama kurang lebih 8 minggu menjelang sapi

melahirkan kembali, pada sapi-sapi yang mengalami periode laktasi kedua

dan seterusnya. Lama pengeringan atau lama periode kering (length of

dry period) menentukan besarnya produksi susu pada laktasi berikutnya.

Page 15: Laporan PKL Glodya Vanesya

15

Hal ini penting untuk mengembalikan kondisi ambing dan untuk memberi

kesempatan mengganti kelenjar susu yang rusak selama laktasi

(Soetarno, 2000). Pengeringan yang dilakukan di BBPTU-SP Baturraden

dimulai pada saat ternak sedang bunting 7 bulan, selain itu pengeringan

dilakukan untuk ternak yang memiliki produksi susu rendah dan waktu

pemerahannya sudah mencapai 305 hari.

Sapi-sapi yang akan dikeringkan di BBPTU-SP Baturraden

dilakukan pengurangan pemberian pakan konsentrat selama awal

pengeringan kurang lebih 2 minggu, dan selanjutnya apabila sudah betul-

betul kering ditambah lagi sedikit demi sedikit. Hal ini dimaksudkan agar

susu yang dihasilkan tidak terus-menerus keluar karena aktivitas hormon

estrogen yang merangsang alveoli kelenjar susu, juga untuk menghindari

penimbunan lemak yang berlebihan. Apabila sapi yang akan dikeringkan

masih memproduksi susu enam liter atau lebih per harinya, maka akan

dikeringkan menggunakan metode pemerahan berselang dan

pengeringan langsung. Setelah sapi benar-benar kering, setiap puting

akan diinjeksi menggunakan Bovaclox DC, seperti ditampilkan pada

Gambar 2.

Gambar 2. Injeksi untuk pengeringan

Bovaclox DC digunakan untuk pengeringan setelah pemerahan

terakhir pada masa laktasi, yang berfungsi untuk memberikan

perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut selama periode kering dan dapat

Page 16: Laporan PKL Glodya Vanesya

16

mengurangi kejadian mastitis selama masa pengeringan. Pengeringan

dibagi dalam dua tahap yaitu pengeringan awal dan pengeringan lanjut.

Pengeringan awal (1 sampai 4 minggu). Periode ini dimulai saat

sapi dikeringkan hingga 4 minggu sebelum beranak. Pada fase ini, sapi

perah dengan kondisi baik hanya membutuhkan hijauan yang berkualitas

baik. Induk sapi yang kondisinya kurang baik membutuhkan makanan

penguat untuk memperbaiki kondisi akibat laktasi sebelumnya.

Pengeringan lanjut (minggu ke 4 sampai beranak). Periode ini

dimulai pada minggu ke 4 sampai beranak. Pada periode ini sebaiknya

diberi konsentrat yang setara dengan konsentrat untuk mencapai puncak

produksi. Tujuannya untuk pertumbuhan fetus, produksi kolostrum, dan

pedet yang kuat waktu lahir.

Tatalaksana Pemberian Pakan

Pakan atau bahan-bahan pakan sapi perah adalah bahan-bahan

yang diberikan kepada ternak perah, sebagian atau seluruhnya, dapat

dicerna tanpa mengganggu kesehatan, dengan tujuan untuk

kelangsungan normal (Hartadi et. al., 2005). Pakan yang ada di BBPTU-

SP Baturraden terdiri dari tiga jenis pakan, yaitu konsentrat, complete

feed, dan pakan hijauan. Konsentrat merupakan suatu bahan makanan

yang digunakan bersama bahan makanan lain untuk meningkatkan

keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan dimaksudkan untuk

disatukan dan dicampur sebagai suplemen atau makanan pelengkap

(Hartadi et. al., 2005). Pakan konsentrat yang ada di BBPTU-SP

Baturraden terdiri dari 3 formulasi, yaitu: F1, F2, dan F3 yang ditampilkan

pada Lampiran 2. Konsentrat F1 diberikan untuk sapi-sapi yang sedang

laktasi dan sapi-sapi dengan produksi tinggi. Konsentrat F2 diberikan

untuk sapi kering dan untuk sapi-sapi dengan produksi rendah, sedangkan

konsentrat F3 diberikan untuk sapi dara.

Page 17: Laporan PKL Glodya Vanesya

17

Secara umum complete feed adalah suatu teknologi formulasi

pakan yang mencampur semua bahan pakan yang terdiri dari hijauan

(limbah pertanian) dan konsentrat yang dicampur menjadi satu tanpa atau

hanya sedikit tambahan rumput segar. Hijauan merupakan bagian aerial

dari tanaman terutama rumput dan legume, yang mengandung 18% serat

kasar dalam dasar kering yang dipergunakan sebagai makanan ternak

(Hartadi, et. al., 2005).

Periode pengeringan

Pada periode pengeringan, pakan yang diberikan di BBPTU-SP

Baturraden adalah : konsentrat F2, complete feed, dan hijauan. Pakan

konsentrat F2 diberikan pada pukul 04:00 dan pukul 15:00. Sapi periode

kering ditempatkan dikandang C, sehingga jumlah konsumsi konsentrat

untuk satu kandang yaitu 350 kg/hari untuk 43 ekor ternak dengan rata-

rata konsumsi 8,14 kg/ekor/hari. Data konsumsi konsentrat sapi perah di

BBPTU-SP Baturraden ditampilkan pada Lampiran 3. Konsentrat

didistribusikan ke kandang menggunakan gerobak, seperti ditampilkan

pada Gambar 3, kemudian konsentrat diambil menggunakan ember

dengan ukuran 3 kg lalu dituangkan ke dalam bak pakan. Formulasi pakan

konsentrat F2 ditampilkan pada Tabel 1.

Gambar 3. Pemberian pakan konsentrat

Page 18: Laporan PKL Glodya Vanesya

18

Tabel 1. Formulasi pakan Konsentrat F2

No Jenis bahan Persentase PK TDN Ca P (%) (kg)

1 Bekatul 4 20 14 85 0,05 1,48 2 Jagung 14 70 10,3 80 0,03 0,26 3 Bungkil kelapa 14 70 21,36 69,32 0,19 0,57 4 Bungkil kedelai 9 45 52,12 62,02 0,34 0,76 5 Pollard 44 220 16,56 78,40 0,07 0,97 6 Onggok 12 60 3,3 - 0,57 0,17 7 Mineral 2 10 - - 22,20 16 8 Garam 1 5 - - - -

Jumlah 100 500

Sumber : BBPTU Sapi Perah Baturraden, 2013

Complete feed diberikan pada pukul 11:00 dan pukul 17:00,

pemberian minimal 10 kg per hari untuk bobot sapi 400 kg. Pada musim

kemarau dan penghujan air di BBPTU Sapi Perah Baturraden tersedia

melimpah, sehingga pemberian air minum dilakukan secara ad-libitum.

Kandungan nutrisi dari complete feed ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi complete feed

No Kandungan Nutrisi Persentase

1 BK 85 % 2 ABU 10 % 3 PK Minimal 13,5 % 4 TDN Minimal 61 % 5 ME Minimal 1437 kcal/kg 6 LK Minimal 3,5 % 7 SK Maximal 20 % 8 Ca 0,8 % 9 P 0,6 %

Sumber : BBPTU Sapi Perah Baturraden, 2013

Pemberian pakan hijauan dilakukan pada pukul 08:00 dan pukul

21:00. Jenis hijauan yang diberikan merupakan jenis rumput gajah.

Rumput gajah diberikan pada ternak setelah dipotong-potong (chopper)

terlebih dahulu, untuk memudahkan ternak dalam proses mengkonsumsi

rumput, seperti ditampilkan pada Gambar 4. Kandungan nutrisi yang

terkandung dalam rumput gajah yaitu PK 14,64%, TDN 53,49%, Ca

0,64%, dan P 0,38%. Jumlah konsumsi hijauan untuk satu ekor ternak 40

Page 19: Laporan PKL Glodya Vanesya

19

kg/hari sampai 50 kg/hari. Pada fase pengeringan, sapi perah dengan

kondisi baik membutuhkan hijauan yang berkualitas baik.

Gambar 4. Pemberian pakan hijauan

Periode menjelang sapi melahirkan

Dua sampai tiga minggu sebelum sapi melahirkan, sapi diberi

pakan tantangan (challenge feeding). Pemberian pakan yang bernilai

tinggi pada saat ini berguna untuk pertumbuhan anaknya, produksi

kolostrum yang bernilai tinggi serta pedet yang kuat pada waktu lahir. Hal

ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tubuh sapi dalam kondisi puncak

sewaktu mulai produksi susu. Pada saat-saat tersebut, apabila pakan

tidak mencukupi maka akan menguras cadangan zat-zat makanan dalam

tubuh sehingga sapi akan kurus dan lemah bahkan dapat menjadi lumpuh.

Pada periode ini BBPTU-SP Baturraden mengganti pakan

konsentrat F2 menjadi F1 dan memberikan tambahan pakan konsentrat

F1 sebanyak 2 kg pada waktu 3 minggu menjelang sapi melahirkan.

Tambahan pakan konsentrat F1 diberikan secara bertahap. Pemberian

konsentrat dilakukan secara bertahap agar setelah sapi melahirkan

mampu mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang dibutuhkan tanpa

mengalami gangguan metabolisme. Komposisi pakan konsentrat F1

ditampilkan pada Tabel 3.

Page 20: Laporan PKL Glodya Vanesya

20

Tabel 3. Formulasi pakan konsentrat F1

No Jenis bahan Persentase PK TDN Ca P (%) (kg)

1 Bekatul 9 45 14 85 0,05 1,48 2 Jagung 20 100 10,3 80 0,03 0,26 3 Bungkil kelapa 14 70 21,36 69,32 0,19 0,57 4 Bungkil kedelai 19 95 52,12 62,02 0,34 0,76 5 Pollard 30 150 16,56 78,40 0,07 0,97 6 Onggok 5 25 3,3 - 0,57 0,17 7 Mineral 2 10 - - 22,20 16 8 Garam 1 5 - - - -

Jumlah 100 500

Sumber : BBPTU Sapi Perah Baturraden, 2013

Efek Periode Transisi

Ternak perah yang sehat merupakan aset yang menguntungkan

dalam usaha peternakan sapi perah. Tatalaksana pemeliharaan periode

transisi yang tidak baik dapat menimbulkan beberapa dampak bagi sapi

perah, salah satunya adalah penyakit. Penyakit yang sering timbul akibat

tatalaksana pemeliharaan periode transisi yang tidak baik adalah penyakit

metabolit. Selain menimbulkan penyakit metabolit, tatalaksana

pemeliharaan periode transisi yang tidak baik juga memberikan dampak

pada Body Condition Score (BCS) ternak, dan produksi susunya.

Penyakit metabolit

Perubahan fisiologi dari bunting, beranak, laktasi merupakan hal

yang sangat berat bagi sapi perah. Banyak perubahan hormonal yang

terjadi berkaitan dengan proses tersebut. Perubahan tersebut tentu akan

mempunyai dampak yang sangat signifikan manakala kebutuhan

metabolismenya tidak tercukupi dengan baik. Sebagian besar kejadian

penyakit metabolik ataupun penyakit peripartus lain pada sapi perah

seperti milk fever, ketosis, retensi plasenta, dan left displacement

abomasum terjadi dalam dua minggu pertama laktasi.

Hypocalcaemia (demam susu). Demam susu adalah sebuah

bentuk klinis dari hipokalsemia, suatu kondisi yang mempengaruhi

Page 21: Laporan PKL Glodya Vanesya

21

sebagian besar sapi setelah melahirkan. Hipokalsemia telah ditentukan

dengan konsentrasi darah kurang dari 2,0 mmol/l. Risiko demam susu

tergantung pada tingkat pemberian kalsium, magnesium, phospor, umur

dan keturunan ternak, serta durasi pemberian pakan pada masa transisi

setelah melahirkan. Hipokalsemia merupakan gerbang penyakit yang

dapat mengakibatkan peningkatan risiko penyakit lain, yang meliputi:

mastitis, ketosis, retensio placenta, infeksi abomasum dan prolapsus uteri,

seperti yang ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Efek hypocalcaemia (Lean, 2011)

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa hipokalsemia merupakan

faktor risiko untuk gangguan reproduksi dan merupakan faktor risiko

langsung terhadap meningkatnya kematian. Hal ini terutama disebabkan

oleh menurunnya kontraktilitas otot polos dan efek negatif langsung dari

hipokalsemia pada fungsi sistem kekebalan tubuh. Efek menurunnya

fungsi kekebalan tubuh menyebabkan adanya risiko mastitis, metritis, dan

fungsi reproduksi. Hipokalsemia tidak semata-mata berhubungan dengan

konsentrasi kalsium pada pakan. Hal ini dipengaruhi oleh mineral lainnya,

usia, breed, kandungan protein dalam pakan dan faktor lainnya.

Pengobatan hipokalsemia ditujukan pada pengembalian kadar kalsium

Page 22: Laporan PKL Glodya Vanesya

22

yang normal dalam darah secepat mungkin untuk menghindari kerusakan

pada otot dan saraf. Efek dari hipokalsemia dapat menyebabkan

kelumpuhan pada ternak, seperti ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Sapi lumpuh karena hipokalsemia

Pengobatan hipokalsemia yang dilakukan di BBPTU-SP Baturraden

biasanya memakai preparat kalsium seperti kalsium borogluconat yang

terdiri dari kalsium borogluconat 20%, yang diberikan dengan suntikan

per intravenous dan per subcutan. Dosis yang diberikan disesuaikan

dengan bobot badan sapi. Persentase sapi yang terkena hipokalsemia

sewaktu pelaksanaan PKL sekitar 8,8% dari 45 ekor sapi yang sedang

laktasi.

Mastitis. Mastitis adalah suatu reaksi peradangan pada jaringan

ambing yang disebabkan oleh kuman, zat kimia, ataupun luka karena

mekanis. Peradangan ini menyebabkan bertambahnya protein dalam

darah dan sel-sel darah putih di dalam jaringan ambing susu. Pada

umumnya penyebab radang ambing adalah bakteri Streptococcus

agalactiae (SAG) dan Staphylococcus aureus (SA). Ambing yang terkena

mastitis terlihat bengkak dan mengeras, serta terasa panas jika diraba.

Apabila dilihat secara visual, ambing terlihat berwarna merah. Kondisi

ambing yang bengkak dan mengeras akibat mastitis ditampilkan pada

Gambar 7.

Page 23: Laporan PKL Glodya Vanesya

23

Gambar 7. Ambing yang terkena mastitis

Pada sapi yang terkena mastitis, susu berubah menjadi encer dan

menggumpal, kadang-kadang bercampur darah atau nanah. Pengawasan

dan pencegahan terhadap penyakit mastitis di BBPTU-SP Baturraden

yaitu dengan melakukan uji Californian Mastitis Test (CMT) seminggu

sekali. Pengobatan yang dilakukan untuk mastitis klinis yaitu dengan

menyuntikkan secara intra mamari obat-obat antibiotik seperti penicilin,

streptocimin, teramicin, neomicyn. Sapi perah laktasi yang terkena

mastitis dan sedang menjalani proses pengobatan akan tetap diperah

tetapi susu hasil pemerahan akan dibuang. Pembuangan susu dari sapi

yang sedang dalam masa pengobatan dilakukan kurang lebih selama 4

hari atau lebih sejak pengobatan. Lama pembuangan susu disesuaikan

dengan kondisi mastitis yang dialami oleh sapi.

Retensio placenta. Secara fisiologis membran fetus dikeluarkan

pada waktu 3 sampai 8 jam post partus. Pada dasarnya retensi plasenta

adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula

maternal. Penyebab terjadinya retensi adalah adanya infeksi uterus

selama kebuntingan dan kurangnya kontraksi uterus setelah pedet

dilahirkan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa hipocalcemia

meningkatkan risiko kejadian retensi plasenta. Efek langsung

hipocalcemia terhadap retensi plasenta sebesar 2 kali. Efek tidak

langsung hipocalcemia terhadap retensi plasenta adalah hipocalcemia

Page 24: Laporan PKL Glodya Vanesya

24

menjadi faktor risiko terjadinya distokia dan distokia menjadi faktor risiko

retensi plasenta. Konsentrasi kalsium plasma lebih rendah pada penderita

retensi plasenta dibanding sapi normal. Oleh karena itu retensi plasenta

cenderung lebih banyak terjadi pada sapi penderita hipocalcemia

(Anonim, 2013). Penanganan terhadap retensi plasenta yang dilakukan di

BBPTU-SP Baturraden yaitu dengan mengeluarkan plasenta dari uterus

melalui vulva secepatnya dan dilakukan injeksi hormon oksitosin secara

intramuskuler.

Ketosis. Meningkatnya konsentrasi badan-badan keton dalam

darah disebut ketonemia (hiperketonemia) dan meningkatnya konsentrasi

badan-badan keton dalam urin disebut ketonuria. Keadaan keseluruhan ini

disebut juga ketosis. Ketosis merupakan penyakit metabolit yang ditandai

dengan penimbunan badan-badan keton, yaitu asam asetoasetat, β-

hidroxibutirat dan hasil dekarbosilasinya (aseton dan isopropanol) di

dalam cairan tubuh. Badan-badan keton dapat tertimbun di dalam kemih

(ketonuria), darah (ketonemia), dan air susu (ketolaksia) (Subronto, 2004).

Ketosis diderita oleh sapi yang berproduksi tinggi atau kekurangan pakan

secara serius. Kejadian ketosis diduga banyak yang terjadi bersamaan

dengan penyakit defisiensi mineral, contohnya: vitamin A, cobalt, dan

vitamin B12. Salah satu penyebab utamanya adalah kebutuhan glukosa

yang meningkat untuk sintesis susu pada awal laktasi, karena itu sapi

akan memanfaatkan cadangan lemak tubuh sebagai sumber energi.

Namun oksidasi asam lemak yang tidak sempurna menyebabkan

terbentuknya badan-badan keton, level gula darah turun, keton dalam

darah meningkat dan terjadi infiltrasi lemak dalam jaringan hati.

Body Condition Score

Body Condition Score adalah metode pengukuran kritis terhadap

keefektifan sistem pemberian pakan pada sapi perah, bertujuan untuk

mengetahui pencapaian standar kecukupan cadangan lemak tubuh yang

akan mempengaruhi dalam penampilan produksi susu, efisiensi

reproduksi dan umur ternak. Sapi dengan kondisi tubuh yang terlalu

Page 25: Laporan PKL Glodya Vanesya

25

gemuk atau terlalu kurus akan menyebabkan timbulnya problem

metabolisme yang serius, rendahnya produksi susu, conception rate yang

rendah dan distochia. Penilaian kondisi tubuh induk sapi perah dilakukan

pada periode laktasi dan dievaluasi terhadap nilai BCS pada saat beranak

(postpartum), setelah beranak (1 bulan postpartum), dikawinkan (3 bulan

postpartum), pemeriksaan kebuntingan (6 bulan postpartum), periode

laktasi (9 bulan postpartum), dan periode kering (1 bulan prepartum).

Pelaksanaan pemeriksaan kondisi tubuh pada induk sapi perah

diperoleh melalui estimasi penilaian secara visual terhadap kuantitas

jaringan lemak kulit. Perhitungan nilai BCS sebesar 5 poin (1 sampai 5)

dengan penambahan nilai 0,25 (Quarter point) dihitung berdasarkan

kondisi subcutan lemak tubuh pada pangkal ekor dan sekitar tulang

belakang, hips, ribs, dan pin bone. Penilaian kondisi tubuh (BCS) pada

induk sapi perah sangatlah penting dalam melaksanakan tatalaksana

untuk memaksimalkan produksi susu dan efisiensi reproduksi yang dapat

menyebabkan terjadinya gangguan penyakit metabolisme setelah

beranak.

Penilaian BCS yang dilakukan di BBPTU-SP Baturraden biasanya

dilakukan 1 kali dalam sebulan pada minggu ke 3, penilaian dilaksanakan

oleh 3 orang penilai kemudian ditetapkan nilai rerata. Penilaian BCS

menjelang kelahiran dilakukan pada periode kering. Penilaian dilakukan

pada saat sapi bunting tua mendekati kelahiran (1 bulan prepartum). Dari

data yang diperoleh selama PKL, rata-rata BCS menjelang kelahiran di

BBPTU-SP Baturraden yaitu sekitar 3,00 dari 29 ekor sapi. Pemanfaatan

energi pakan pada periode ini difokuskan untuk reproduksi, pertumbuhan,

hidup pokok, dan persiapan kelahiran. Penilaian BCS setelah kelahiran

dilakukan pada saat peningkatan produksi susu (1 bulan postpartum).

Secara ideal, sapi akan kehilangan 0,5 poin nilai BCS hal ini terjadi karena

keseimbangan energi negatif, yaitu cadangan lemak tubuh akan

digunakan untuk memproduksi susu. Rata-rata BCS setelah kelahiran

Page 26: Laporan PKL Glodya Vanesya

26

yang diperoleh selama PKL di BBPTU-SP Baturraden yaitu sekitar 2,92

dari 15 ekor.

Produksi

Setelah pemerahan, susu hasil pemerahan ditampung di dalam

ember yang terbuat dari aluminium kemudian dibawa ke kamar susu untuk

penanganan lebih lanjut. Susu hasil pemerahan dari sapi akan ditimbang

dan dicatat data produksi hariannya terlebih dahulu sebelum masuk ke

dalam cooling unit. Setelah selesai ditimbang, susu akan dimasukkan ke

dalam milk can. Proses ini ditampilkan pada Gambar 8, namun

sebelumnya susu akan diuji alkohol dengan menggunakan milk gun. Susu

yang mengalami koagulasi akan dimasukkan ke dalam milk can yang

berbeda dan akan diberikan pada pedet, sementara susu yang tidak

mengalami koagulasi akan disaring sebelum masuk ke dalam milk can

dan selanjutnya milk can ditutup. Susu yang berada di dalam milk can ini

kemudian dimasukkan ke dalam cooling unit untuk menghambat

pertumbuhan bakteri sehingga susu tidak mudah rusak dan tahan lama

hingga siap untuk dipasarkan. Jumlah sapi periode awal laktasi saat PKL

adalah 45 ekor. Produksi susu pada bulan Januari 2013 adalah 303,19

liter dengan rata-rata produksi 6,7 liter/ekor/hari dan pada bulan Februari

adalah 206,81 liter dengan rata-rata produksi 4,6 liter/ekor/hari.

Berdasarkan hasil produksi susu selama kegiatan PKL tersebut, diketahui

bahwa terjadi penurunan produksi susu pada bulan Februari. Hal ini,

dikarenakan banyak sapi yang mengalami mastitis, sehingga produksi

susunya menurun.

Page 27: Laporan PKL Glodya Vanesya

27

Gambar 8. Proses penimbangan dan pengumpulan susu

Kualitas susu. Pada saat diperah, susu merupakan suatu bahan

yang murni, higienis, dan bernilai gizi tinggi. Setelah beberapa saat

berada dalam suhu kamar, susu sangat peka terhadap pencemaran

sehingga dapat menurunkan kualitas susu. Syarat-syarat untuk

mendapatkan susu berkualitas tinggi adalah: susu harus benar-benar

sehat, mempunyai warna, bau, dan rasa yang baik, tinggi kadar gizinya

dan mempunyai ketahanan bila disimpan dalam waktu yang cukup.

Kualitas susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: keadaan

kandang, keadaan kamar susu, kesehatan sapi, kesehatan pemeliharaan

sapi, cara pemberian pakan sapi, persiapan sapi yang akan diperah,

persiapan pemerah, bentuk dari ember, pemindahan susu dari kandang,

penyaringan susu, cara pendinginan susu, cara pencucian alat-alat, dan

pengawasan terhadap lalat. Berdasarkan SK Dirjen Peternakan Nomor 17

tahun 1983, salah satu syarat kualitas susu segar adalah jumlah mikroba

maksimum 3 juta/ml.

Uji kualitas susu yang dilakukan di BBPTU-SP Baturraden dalam

pencegahan penyakit yaitu: uji alkohol, uji CMT (California Mastitis Test),

uji Resazurin, dan uji Delvotest. Uji alkohol dilakukan setiap hari sebelum

susu masuk ke dalam milk can. Uji CMT (California Mastitis Test)

dilakukan seminggu sekali untuk deteksi dini terhadap penyakit mastitis.

Uji Resazurin dilakukan seminggu sekali untuk menentukan adanya

bakteri dalam susu segar. Uji Delvotest dilakukan seminggu sekali untuk

Page 28: Laporan PKL Glodya Vanesya

28

mengetahui kandungan antibiotik yang ada pada susu. Uji Resazurin dan

Delvotest ditampilkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Uji Delvotest dan Uji Resazurin

Komposisi susu. Komposisi susu di BBPTU-SP Baturraden diuji

melalui uji kualitas susu dengan Milk Analyzer, seperti yang ditampilkan

pada Gambar 10.

Gambar 10. Milk Analyzer

Prosedur untuk uji kualitas susu adalah sebagai berikut:

a) Dipersiapkan bahan dan peralatan (sampel susu, milk analyzer,

spuit, dan alat tulis).

b) Sampel susu dituang ke dalam gelas milk analyzer.

c) Sampel susu disedot masuk ke dalam milk analyzer dengan

menarik spuit yang ada di belakang milk analzyer, kemudian

ditekan tombol enter.

Page 29: Laporan PKL Glodya Vanesya

29

d) Selanjutnya dipilih tombol cow untuk sampel susu sapi, kemudian

ditekan tombol enter.

e) Suhu susu saat diperiksa akan terlihat pada layar milk analyzer.

f) Setelah ditunggu kurang lebih 1 menit, maka akan muncul hasil

analisis di layar, yang meliputi: Fat (lemak), Density (berat jenis),

Laktosa, Solid Non Fat (bahan kering tanpa lemak), Protein, dan

Water (tambahan air).

Komposisi susu yang ada di BBPTU-SP Baturraden saat dilakukan

kegiatan PKL ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi susu

Komposisi Rata-rata

Lemak 4, 31 Berat jenis 1, 0271 Laktosa 4, 34 Bahan kering tanpa lemak 7, 93 Protein 2, 89

Sumber : BBPTU Sapi Perah Baturraden, 2013

Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi susu antara lain : a)

jenis ternak dan keturunannya, b) individu (bangsa sapi), c) tingkat laktasi,

d) umur ternak, e) infeksi atau peradangan pada ambing, f) pakan, g)

lingkungan, h) prosedur pemerahan susu.

Page 30: Laporan PKL Glodya Vanesya

30

BAB IV

PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

Tatalaksana Pemberian Pakan

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama PKL di BBPTU-SP

Baturraden, pakan tantangan yang diberikan oleh pihak BBPTU-SP

Baturraden untuk sapi yang akan melahirkan dilakukan dengan cara

meningkatkan kuantitas pakan F1. Menurut Toelihere (1985), sewaktu

umur kebuntingan bertambah, uterus mengalami pembesaran gradual

untuk memungkinkan pertumbuhan foetus. Pertambahan umur

kebuntingan menyebabkan terjadinya penurunan dinding abdomen dan

pembesaran perut sebagai akibat pembesaran foetus. Pada sapi, lebih

dari setengah pertambahan berat foetus terjadi selama dua bulan terakhir

kebuntingan. Hal ini menyebabkan volume rumen akan semakin

menyempit, sehingga akan menurunkan dry matter intake. Dengan

demikian, pemberian pakan tantangan di BBPTU-SP Baturraden

seharusnya lebih mengutamakan peningkatan kualitas nutrisi pakan yang

diberikan untuk ternak dari pada kuantitasnya.

Body Condition Score (BCS)

Rata-rata BCS menjelang kelahiran selama pelaksanaan kegiatan

PKL di BBPTU-SP Baturraden, yaitu sekitar 3,00 dari 29 ekor ternak. Hasil

rata-rata tersebut masih berada di bawah standar BCS pada SOP yang

ada. Menurut SOP BBPTU-SP Baturraden, standar BCS pada periode ini

yaitu 3,5 sampai 4,0. Kondisi tubuh kurus saat beranak sering mengalami

ketidakmampuan untuk mencapai produksi susu yang maksimal.

Sebaiknya BCS pada saat beranak jangan sampai turun lebih dari 1,0

poin. Dari data yang diperoleh selama PKL, rata-rata BCS setelah

kelahiran di BBPTU-SP Baturraden yaitu sekitar 2,92 dari 15 ekor ternak.

Hasil rata-rata tersebut masih berada dibawah standar BCS pada SOP.

Menurut SOP BBPTU Sapi Perah Baturraden, standar BCS pada periode

Page 31: Laporan PKL Glodya Vanesya

31

ini yaitu 3,00 sampai 3,50. Penurunan nilai BCS setelah kelahiran tersebut

masih dianggap wajar. Hal ini dikarenakan, secara ideal sapi akan

kehilangan 0,5 poin nilai BCS setelah kelahiran. Penurunan nilai BCS

terjadi karena keseimbangan energi negatif, dimana cadangan lemak

tubuh akan digunakan untuk memproduksi laktasi, reproduksi,

pertumbuhan, dan hidup pokok, selain itu penurunan nilai BCS pada awal

laktasi menunjukkan adanya permasalahan dalam efisiensi reproduktif.

Page 32: Laporan PKL Glodya Vanesya

32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

BBPTU-SP Baturraden merupakan salah satu tempat untuk

menghasilkan bibit-bibit sapi perah unggul di Indonesia. Tatalaksana

pemeliharaan sapi periode transisi yang dilakukan di BBPTU-SP

Baturraden secara umum belum berjalan secara optimal, sehingga perlu

diperhatikan beberapa hal antara lain: tatalaksana pemberian pakan dan

Body Condition Score (BCS). Agar produktivitasnya menjadi lebih baik.

Saran

Secara umum tatalaksana pemeliharaan sapi periode transisi di

BBPTU-SP Baturraden belum berjalan secara optimal. Terkait dengan

permasalahan tersebut, untuk dapat lebih meningkatkan kinerja sapi

perah di BBPTU-SP Baturraden, maka perlu dilakukan hal-hal berikut ini:

1. Pemberian pakan tantangan lebih mengutamakan peningkatan

kualitas nutrisi pakan dibandingkan kuantitasnya

2. Beberapa ternak yang memiliki BCS dibawah standar perlu

dilakukan perbaikan pakan untuk mengejar kondisi BCS sesuai

standar yang ada

Page 33: Laporan PKL Glodya Vanesya

33

Daftar Pustaka

Anonim. 2013. http//jogjavet.wordpress.com. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2013.

Firman, A. 2010. Agribisnis Sapi Perah dari Hulu Sampai Hilir. Widya

Padjadjaran. Hartadi, H., S. Reksohadiprojo dan A. D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi

Pakan Untuk Indonesia. Cetakan II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Lean, I. and P. Degaris. 2011. Transition Cow Management. Dairy

Australia Soetarno, T. 2000. Ilmu Produksi Ternak Perah. Cetakan II. Fakultas

Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Buku III. Fakultas

Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Subronto, dan I. Tjahajati. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta:

UGM Press. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawiro Kusumo dan S.

Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Ternak Dasar. Cetakan V. Gadjah Mada Universty Press. Yogyakarta.

Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Cetakan X.

Penerbit Angkasa. Bandung

Page 34: Laporan PKL Glodya Vanesya

34

U

1

3

4

2

5

6

7

8

9

10

11 14

12 13

D

C

B

A

15

16

17

18

19 20

F

E

E1

E2

G H

22

FREE STALL

21

J

23 24

Lampiran

Lampiran 1. Layout farm Tegalsari

Keterangan:

1) Biosecurity 13) Kamar Susu A) K. Laktasi Tinggi

2) Masjid 14) Lab. Kesmavet B) K. Laktasi Sedang

3) Pos Satpam 15) UMMB C) K. Kering

4) Koprasi Susu 16) Gudang Pakan D) K. Laktasi Rendah

5) Gedung A 17)) Kantin E) K. Pedet 3-4 Bulan

6) Gedung B 18) Produksi Pakan E1) K. Pedet 5-6 Bulan

7) Gedung C 19) Kantor E2) K. Pedet 0-2 Bulan

Page 35: Laporan PKL Glodya Vanesya

35

8) Gedung D 20) Gudang Jerami F) K. Karantina

9) Garasi 21) Lab. Kesmavet G) K. Dara Bunting

10) Gedung E 22) Bokasi H) K. Dara

11) Gedung G 23) Chopper J) K. Pejantan

12) Gedung F 24) Kandang Kosong

Lampiran 2.

Tabel 5. Formulasi konsentrat pakan sapi perah BBPTU-SP Baturraden

NO JENIS

BAHAN F1 DEWASA F2 DEWASA F3 / DARA

500 500 500

1 Bekatul 9% 45 4% 20 5% 25

2 Jagung 20% 100 14% 70 8% 40

3 Bkl Kelapa 14% 70 14% 70 10% 50

4 Bkl Kedele 19% 95 9% 45 0% 0

5 Pollard 30% 150 44% 220 49% 245

6 Onggok 5% 25 12% 60 25% 125

7 Mineral 2% 10 2% 10 2% 10

8 Garam 1% 5 1% 5 1% 5

JUMLAH 100% 500 100% 500 100% 500

Lampiran 3.

Tabel 6. Konsumsi konsentrat sapi perah BBPTU-SP Baturraden

No Kandang Populasi Jenis Konsentrat

Konsentrat 06:00 13:30 Jumlah Rataan

1 A 40 F1 250 200 450 11,25 2 B 43 F2 250 150 400 9,30 3 C 43 F2 200 150 350 8,14 4 D 43 F2 150 100 250 8,14

F1 50 50 100 5 F 19 F3 125 0 125 6,58

Sub Total 188 1025 650 1675

Page 36: Laporan PKL Glodya Vanesya

36

Lampiran 4.

Tabel 7. Penilaian performance Body Condition Score (BCS) setelah melahirkan

No No. Sapi

Tgl beranak

Postpartus (bulan)

Penilaian BCS

Rerata BCS

1 2

1 089 12/22/2012 1 2,75 2,75 2,75 2 0024 12/11/2012 1 2,75 2,75 2,75 3 0396 12/24/2012 1 3,25 3,25 3,25 4 0411 12/17/2012 1 2,50 2,50 2,50 5 0402 12/25/2012 1 2,25 2,50 2,38 6 0404 12/20/2012 1 2,75 3,00 2,88 7 1877 30/12/2012 1 3,00 3,25 3,13 8 0416 12/13/2012 1 3,00 3,25 3,13 9 0432 12/13/2012 1 3,00 3,00 3,00 10 0460 12/12/2012 1 3,00 3,00 3,00 11 3580 12/11/2012 1 3,00 3,00 3,00 12 3629 12/12/2012 1 2,75 2,75 2,75 13 0656 12/1/2012 1 2,75 2,75 2,75 14 114 12/1/2012 1 3,00 3,00 3,00 15 099 11/1/2012 1 3,50 3,50 3,50

Rata-rata 2,88 2,95 2,92

Page 37: Laporan PKL Glodya Vanesya

37

Lampiran 5.

Tabel 8. Penilaian performance Body Condition Score (BCS) menjelang kelahiran

No No.

Sapi

Tgl

beranak

Postpartus

(bulan)

Penilaian

BCS

Rerata BCS

1 2

1 045 4/23/2012 9 2,75 2,75 2,75 2 3599 4/25/2012 9 2,75 3,00 2,88 3 3597 4/11/2012 9 2,75 3,00 2,88 4 0284 4/25/2012 9 2,75 2,75 2,75 5 3605 4/29/2012 9 3,00 3,00 3,00 6 3592 4/30/2012 9 3,25 3,50 3,38 7 067 4/19/2012 9 3,00 3,00 3,00 8 0406 4/5/2012 9 3,00 3,00 3,00 9 3571 3/6/2012 9 2,50 2,50 2,50 10 3547 3/25/2012 9 3,00 3,25 3,13 11 3575 3/2/2012 9 3,00 2,75 2,88 12 3567 3/6/2012 9 3,00 3,00 3,00 13 3641 3/11/2012 9 3,00 3,00 3,00 14 3574 3/6/2012 9 2,50 2,75 2,63 15 3562 3/8/2012 9 2,75 2,75 2,75 16 3639 3/17/2012 9 3,25 3,50 3,38 17 3569 3/2/2012 9 3,00 3,00 3,00 18 3593 3/6/2012 9 3,00 3,25 3,13 19 3553 3/1/2012 9 3,00 3,00 3,00 20 0551 3/22/2012 9 3,00 3,00 3,00 21 0301 3/18/2012 9 3,00 3,00 3,00 22 3565 3/6/2012 9 3,25 3,50 3,38 23 0516 4/14/2012 9 3,00 3,25 3,13 24 3635 3/15/2012 9 3,25 3,50 3,38 25 3594 3/25/2012 9 3,00 3,25 3,13 26 0553 3/23/2012 9 3,25 3,25 3,25 27 1940 3/21/2012 9 2,75 3,00 2,88 28 1921 4/23/2012 9 3,25 3,25 3,25 29 078 3/20/2012 9 2,50 2,75 2,63

Rata-rata 2,95 3,05 3,00

Page 38: Laporan PKL Glodya Vanesya

38

Lampiran 6. Surat Keterangan Praktek Kerja Lapangan

Page 39: Laporan PKL Glodya Vanesya

39

Lampiran 7. Daftar Penilaian PKL

Page 40: Laporan PKL Glodya Vanesya

40

Lampiran 8. Daftar Kegiatan PKL

Page 41: Laporan PKL Glodya Vanesya

41

Page 42: Laporan PKL Glodya Vanesya

42

Page 43: Laporan PKL Glodya Vanesya

43