Laporan PKL Glodya Vanesya
-
Upload
glodya-vanesya-suharto -
Category
Documents
-
view
498 -
download
11
description
Transcript of Laporan PKL Glodya Vanesya
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi perah merupakan hewan ternak yang menghasilkan susu
sebagai produk utamanya. Susu dan produk olahannya adalah bahan
pangan dan pangan bagi konsumsi manusia. Kebutuhan akan susu terus
meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, tingkat
pendapatan, dan selera masyarakat. Peternakan sapi perah dalam negeri
rata-rata dikelola oleh peternakan rakyat dan produksinya rendah. Usaha
peningkatan produksi susu dapat dilakukan dengan memperbaiki
tatalaksana pemeliharaan ternak yang meliputi beberapa aspek yang
saling mempunyai keterkaitan.
Pemeliharaan sapi perah adalah penyelenggaraan semua kegiatan
yang berhubungan dengan kehidupan dan kelanjutan hidup dari ternak
sapi perah. Proses pemeliharaan dilakukan sesuai dengan standar yang
ada agar ternak sapi perah dalam keadaan sehat, cukup pakan (baik
jumlah maupun kualitasnya), serta dapat beranak secara teratur setiap
tahun, dengan produksi susu yang berkualitas tinggi.
Masa transisi merupakan penentu penting produktivitas dan
profitabilitas dalam pemeliharaan ternak perah. Nutrisi dan tatalaksana
program selama fase ini secara langsung mempengaruhi kejadian
gangguan setelah melahirkan, produksi susu dan reproduksi dalam laktasi
berikutnya. Tatalaksana pemeliharaan sapi periode transisi telah menjadi
salah satu kemajuan yang paling signifikan dalam nutrisi susu dan
produksi di seluruh dunia selama 20 tahun terakhir, memberikan peluang
besar untuk meningkatkan kesehatan sapi, produksi susu dan kinerja
reproduksi.
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden
(BBPTU-SP Baturraden) sebagai pusat pembibitan sapi perah nasional
2
yang telah menerapkan sistem peternakan dari hulu sampai hilir dan juga
sebagai industri pengolahan susu yang memiliki potensi pasar yang luas
bagi industri persusuan di Indonesia. BBPTU-SP Baturraden juga
merupakan peternakan sapi perah yang memproduksi susu segar hingga
pengolahan susu, yang berada dalam lokasi yang sama sehingga kontrol
kualitas produksi susu dapat selalu dipantau dan dievaluasi secara terus
menerus. Penerapan tatalaksana pemeliharaan sapi perah terutama
periode transisi dapat meningkatkan kinerja sapi perah yang ada sehingga
memiliki nilai jual lebih bagi produk yang dihasilkan (Lean, 2011).
Tujuan PKL
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di BBPTU-SP Baturraden
Purwokerto dilaksanakan untuk memenuhi mata kuliah wajib Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Tujuan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan antara lain :
1. Mengerti dan dapat menjelaskan secara langsung proses kegiatan
tatalaksana pemeliharaan sapi perah periode transisi di BBPTU-SP
Baturraden.
2. Meningkatkan keterampilan dan wawasan mengenai pelaksanaan
pemeliharaan sapi perah periode transisi khususnya di BBPTU-SP
Baturraden.
3. Mengetahui kendala dan permasalahan yang dihadapi di lapangan
terkait dalam tatalaksana pemeliharaan sapi perah periode transisi
sehingga diharapkan mahasiswa mampu menganalisis dan
memecahkan permasalahan yang terjadi serta mengetahui solusi
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut sebagai pengetrapan
ilmu yang diperoleh selama perkuliahan.
3
Manfaat PKL
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi mahasiswa dan perusahaan yang dituju yaitu :
1. Mahasiswa mendapat pengalaman kerja dengan praktek langsung
di perusahaan sehingga telah mempunyai bekal gambaran
langsung dunia kerja di perindustrian peternakan, khususnya
perindustrian persusuan.
2. Mahasiswa dapat menganalisis dan memecahkan permasalahan
yang terjadi serta mengetahui solusi yang dapat dilakukan oleh
perusahaan tersebut, sehingga mahasiswa dapat memiliki jiwa
kemandirian untuk menghadapi persoalan tentang pemeliharaan
sapi perah.
3. Mahasiswa dapat membandingkan teori-teori disiplin ilmu yang ada
dengan realitas di lapangan.
4. Mahasiswa memperoleh wawasan baru dari BBPTU Sapi Perah
Baturraden, sehingga dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa.
4
BAB II
KEADAAN UMUM PERUSAHAAN
Sejarah BBPTU-SP Baturraden
Pada tahun 1953, Pemerintah Daerah RI membangun peternakan
di Baturraden dan diresmikan oleh Paduka Jang Mulia (P.J.M.) Wakil
Presiden Drs. Mohammad Hatta pada tanggal 22 Juli 1953 dengan nama
Induk Taman Ternak Baturraden. Berdasarkan PP No. 31 Tahun 1961,
Induk Taman Ternak diserah terimakan kepada Perusahaan Peternakan
Negara PERHEWANI. Perubahan tersebut diharapkan agar keberadaan
Induk Taman Ternak dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan
konsep perusahaan. Pada tanggal 27 Agustus 1968 sesuai PP No 28
Tahun 1968 PN PERHEWANI dibubarkan.
Tanggal 15 September 1968, unit ex PN PERHEWANI Induk
Taman Ternak Baturraden ditetapkan di bawah kendali Panitia Likuidasi
Pusat Jakarta. Tanggal 23 Juli 1968 berdasarkan surat dari Direktorat
Jenderal Peternakan urusan penyelesaian likuidasi, PN PERHEWANI
Induk Taman Ternak Baturraden diubah menjadi Unit Usaha Peternakan
Baturraden. Sambil menunggu keputusan lebih lanjut, terhitung mulai
bulan April 1971 pengurusannya berada di bawah Direktorat Jenderal
Peternakan cq Direktorat Pengembangan Produksi Peternakan. Periode
tahun 1971 sampai 1974 adalah merupakan periode penantian status
Induk Taman Ternak, tahun 1974 Induk Taman Ternak memperoleh
anggaran rutin untuk Rehabilitasi dengan nama Induk Pembibitan Ternak
Baturraden.
Pada tanggal 25 Mei 1978, berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian RI No. 313/Kpts/Org/5/78 ditetapkan kedudukan, tugas, fungsi,
susunan organisasi dan tata kerja Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan
Makanan Ternak Baturraden (BPTHMT Baturraden). Sejak saat itu BPT-
HMT Baturraden merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
5
Peternakan dengan status Eselon 3B. Selama periode BPT-HMT
mengalami beberapa kali pergantian pucuk pimpinan, yaitu :
1. Drh. Soebijono (1978 – 1983)
2. Drh. Isworo Dasuki (1983 – 1990)
3. Ir. Santoso Budiyatno (1990 – 2000)
4. Ir. H. Hardiarto (2000 – 2002)
Pada tanggal 24 Juli 2002, berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian RI No. 290 tahun 2002, BPT-HMT berubah menjadi Balai
Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Perah dengan status Eselon 3A.
Periode BPTU Sapi Perah merupakan periode yang paling singkat yaitu
hampir 2 tahun (2002 – 2004) dengan Kepala Ir. Hartono. Pada tanggal 30
Desember 2003, sesuai Surat Keputusan Menteri pertanian RI No.
630/Kpts/OT.140/12/2003, BPTU Sapi Perah Baturraden berubah
menjadi Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU Sapi
Perah) dengan status Eselon 2B. Sampai dengan saat ini Kepala BBPTU
yang pernah dan sedang memimpin mengalami pergantian tiga kali, yaitu :
1. Ir. Jacky PL Toruan (2004 – 2005)
2. Ir. Djodi Achmad Hussain Suparto, MM (2005 – 2009)
3. Ir. Abubakar, SE., MM (2009 – 2010)
4. Ir. Ali Rachman, M.Si (2011 – Sekarang)
Pada tanggal 25 Mei 1978, dengan SK Mentan RI No:
313/Kpts/Org/5/78, tentang susunan organisasi dan tata kerja Balai
Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Baturraden (BPTHMT),
sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Peternakan. Pada
tanggal 24 Juli 2002, sesuai SK Mentan RI No. 290 tahun 2002, berubah
menjadi Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BPTU Sapi Perah).
Pada tanggal 30 Desember 2003, sesuai SK Mentan RI No.
630/Kpts/OT.140/12/2003, BPTU Sapi Perah berubah menjadi Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU Sapi Perah).
6
Visi dan Misi
Visi
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah mempunyai visi
mewujudkan institusi yang profesional dalam menghasilkan bibit sapi
perah yang berkualitas, berdaya saing, dan berkelanjutan untuk
meningkatkan kesejahteraan peternak.
Misi
Misi yang dilakukan perusahaan untuk mewujudkan visi antara lain :
1. Mengembangkan pembibitan sapi perah nasional dengan
melaksanakan kebijakan di bidang pemuliaan, pemeliharaan,
produksi, dan pemasaran bibit unggul sapi perah dan hasil
ikutannya.
2. Mengembangkan sumber daya manusia aparatur pelaku usaha
sapi perah, sarana prasarana, pembinaan, evaluasi, sistem
informasi manajemen (SIM), dan pelayanan prima serta
meningkatkan kesejahteraan peternak.
Tugas Pokok dan Fungsi
Tugas Pokok
Berdasarkan SK Mentan No. 630/KPTS/OT.140/12/2003, BBPTU
Sapi Perah Baturraden sebagai pusat pembibitan sapi perah nasional
memiliki tugas pokok, yaitu :
1. Pemuliaan bibit unggul sapi perah
2. Pemeliharaan bibit unggul sapi perah
3. Produksi bibit unggul sapi perah
4. Pemasaran bibit unggul sapi perah
7
Fungsi
BBPTU-SP Baturraden sebagai pusat pembibitan sapi perah
nasional dari tugas tersebut BBPTU harus dapat menjalankan fungsi
sebagai berikut :
1. Penyusunan program dan evaluasi kegiatan pemuliaan,
pemeliharaan, produksi dan pemasaran bibit sapi perah unggul.
2. Pelaksanaan pemuliaan bibit unggul sapi perah.
3. Pelaksanaan uji performance (betina) dan uji progeny (jantan) sapi
perah unggul.
4. Pelaksanaan pencatatan (recording) pembibitan sapi perah
unggul.
5. Pelaksanaan pemeliharaan bibit unggul sapi perah.
6. Perawatan kesehatan bibit unggul sapi perah dan pengawasan
higenis produksi susu segar.
7. Pemberian saran teknis pemuliaan, pemeliharaan dan produksi
bibit unggul sapi perah.
8. Pemberian pelayanan teknis pemuliaan, pemeliharaan dan
produksi bibit unggul sapi perah.
9. Pelaksanaan distribusi, pemasaran dan informasi hasil produksi
bibit unggul sapi perah dan hasil ikutannya.
10. Pengelolaan Tata Usaha dan Rumah Tangga BBPTU Sapi Perah.
Struktur Organisasi
Struktur Organisasi BBPTU-SP Baturraden sebagai berikut:
1. Kepala balai besar.
2. Bagian umum yang terdiri dari sub bagian program dan
keuangan, sub bagian kepegawaian dan tata usaha, sub
bagian rumah tangga dan perlengkapan.
3. Bidang pelayanan pembibitan terdiri dari seksi pelayanan
teknik, seksi pakan dan alat mesin.
8
4. Bidang pemasaran dan informasi terdiri dari seksi
pemasaran dan seksi informasi.
5. Kelompok pejabat fungsional yang terdiri dari koordinator
medik veteriner atau paramedik, koordinator pengawas bibit
ternak (wasbitnak), dan koordinator pengawas mutu pakan
(wastukan).
Struktur organisasi ini ditampilkan pada Gambar 1 di bawah ini :
Gambar 1. Struktur Organisasi BBPTU-SP Baturraden
Lokasi dan Tata Letak Perusahaan
BBPTU-SP Baturraden terletak di lereng Gunung Slamet, 14 km
sebelah utara Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
BBPTU-SP Baturraden memiliki luas tanah: 241,687 Ha, dengan
ketinggian antara 650 sampai 700 m di atas permukaan laut dan curah
hujan kurang lebih 6.000 mm/th. Jenis tanah yang ada pada lahan
BBPTU-SP Baturraden adalah andosol coklat kekuningan yaitu jenis
9
tanah yang berasal dari bahan induk abu vulkan, asosiasi latosol yang
terbentuk dari batuan gunung api yang mengalami proses pelapukan
lanjut, dan regosol coklat yang merupakan endapan abu vulkanik baru
yang memiliki butir kasar, dengan temperatur lingkungan antara 180C
sampai 300C dan kelembaban antara 70% sampai 80%.
Kegiatan Balai
Kegiatan yang dilakukan Balai dalam rangka pengembangan sapi
perah Indonesia yaitu:
1. On Farm
Produksi dan pemasaran bibit unggul sapi perah
Center of exellence
Pusat data base sapi perah nasional
Pemuliaan bibit unggul sapi perah
Budidaya bibit unggul sapi perah
Konsultasi usaha sapi perah
Pusat informasi sapi perah
2. Wilayah Pengembangan
Recording sapi perah
Pembinaan manajemen budidaya sapi perah
Magang budidaya sapi perah bagi perorangan, kelompok,
pembinaan key farmer
Koordinator pelaksana uji zuriat sapi perah nasional
10
Potensi
BBPTU-SP Baturraden memiliki lahan seluas 241 Ha dan memiliki
potensi tanah sebagai berikut :
1. Lokasi Tegal Sari
Seluas 34,802 Ha untuk perkantoran, perumahan, kandang
ternak, lapangan penggembalaan dan kebun rumput.
2. Lokasi Munggang Sari
Seluas 10,098 Ha untuk perumahan dan pusat latihan atau
magang.
3. Lokasi Limpakuwus
Seluas 96,787 Ha untuk kandang ternak, kebun rumput, dan
perumahan.
4. Lokasi Manggala
Seluas 100 Ha untuk pengembangan pemeliharaan ternak.
Sumber Daya Manusia (SDM)
Jumlah total pegawai di BBPTU-SP Baturraden yaitu 172 orang
pegawai negeri sipil (PNS). Jumlah SDM menurut jabatan fungsional yaitu
45 orang yang terdiri dari pengawas bibit ternak (wasbitnak) ahli 12 orang,
pengawas bibit ternak (wasbitnak) trampil 8 orang, medik veteriner 6
orang, paramedik veteriner 13 orang, dan pengawas mutu pakan
(wastukan) ahli 6 orang.
Fasilitas Produksi dan Fasilitas Pendukung
BBPTU-SP Baturraden memiliki sarana dan prasarana
pendukung perusahaan antara lain: bangunan gedung yang meliputi:
gedung kantor, ruang perpustakaan, gedung pertemuan, Training Centre
(TC), guest house, rumah dinas, gedung khusus, garasi workshop
11
(perbengkelan); kandang dan peralatan yang meliputi: kandang
(Tegalsari, Limpakuwus, Manggala), gudang pakan (konsentrat dan
hijauan makanan ternak (HMT) ), chopper, grinder, mixer, laboratorium
kesehatan hewan (keswan), kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet),
reproduksi, biosecurity gate, kamar susu, milking parlour, mesin perah,
cooling unit, chiller, traktor, compresor, portable generating set, stationary
generating set, kendaraan operasional, lahan hijauan makanan ternak
(HMT), padang penggembalaan.
12
BAB III
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan
Masa transisi didefinisikan sebagai periode antara tiga minggu
sebelum melahirkan sampai empat minggu setelah melahirkan, dan
ditandai oleh meningkatnya risiko penyakit. Periode ini didominasi oleh
serangkaian adaptasi terhadap tuntutan laktasi, proses ini disebut
homeorhetic. Proses homeorhetic adalah adaptasi jangka panjang untuk
perubahan keadaan, seperti dari non laktasi menjadi laktasi, dan
melibatkan serangkaian pengaturan perubahan metabolisme, yang
memungkinkan ternak untuk beradaptasi dengan tantangan keadaan yang
berubah. Penyakit yang dihasilkan dari perubahan homeorhetic teratur
mencerminkan gangguan pada homeostatis, yaitu kegagalan untuk
beradaptasi yang mengakibatkan kekurangan nutrisi penting untuk
mempertahankan hidup. Kondisi ini sering saling terkait dan termasuk :
hypocalcaemia, hypomagnesaemia, ketosis, udder oedema, abomasal
displacement, metritis, rendahnya kesuburan dan rendahnya produksi.
Kegagalan satu proses metabolisme pasti akan berdampak pada efisiensi
lain. Masa transisi merupakan periode yang singkat namun penting dalam
kehidupan sapi, dimana manipulasi pakan dapat berdampak secara
substansial pada kesehatan dan produktivitas selanjutnya.
Kegiatan PKL dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2013
sampai tanggal 21 Februari 2013 di farm Tegalsari BBPTU-SP
Baturraden, Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah. BBPTU-SP
Baturraden khususnya farm Tegalsari memiliki areal lahan 34,8 Ha yang
terdiri dari 18 Ha areal hijauan dan sisanya areal perkandangan, lahan
exercise, perkantoran dan perumahan. Layout farm Tegalsari ditampilkan
pada Lampiran 1. Populasi sapi perah di BBPTU-SP Baturraden saat ini
yang ada di farm Tegalsari, yaitu 502 ekor yang terdiri dari 324 ekor induk,
101 ekor dara, 1 ekor jantan muda, 36 pedet jantan, 40 ekor pedet betina.
Praktek kerja lapangan dilakukan dengan cara mengikuti berbagai
13
kegiatan, yaitu : manajemen pemeliharaan, pengelolaan pakan,
pemberian pakan, recording, kontrol reproduksi, kesehatan hewan
(keswan), dan breeding sapi perah. Data yang diamati pada saat
pelaksanaan PKL antara lain: tatalaksana sapi perah periode transisi,
program pengeringan, tatalaksana pemberian pakan pada periode
pengeringan dan setelah beranak, Body Condition Score (BCS) dan
dampak periode transisi.
Data laporan PKL diambil melalui berbagai metode, seperti:
pengamatan, wawancara, literatur di perpustakaan, diskusi dengan
pengawas dan pelaksana kandang, serta ikut aktif dalam kegiatan yang
ada di BBPTU-SP Baturraden.
Tatalaksana Sapi Perah Periode Transisi
Periode transisi yaitu periode peralihan antara 3 minggu sebelum
melahirkan sampai 4 minggu setelah melahirkan. Periode ini merupakan
periode kritis bagi induk sapi perah, karena adanya keseimbangan energi
negatif, yang umumnya terjadi pada induk pasca partus sehingga untuk
memenuhi kebutuhan energi digunakan cadangan energi pada tubuh.
Periode transisi penting dalam proses fisiologi, sapi laktasi, dan
perubahan kebutuhan nutrisinya. Umumnya masalah kesehatan sapi
muncul pada periode setelah melahirkan. Gangguan kesehatan ini
berkaitan dengan sapi kesulitan beradaptasi saat laktasi, yang disebabkan
ketidakseimbangan fisiologi yang mengarah kepada pencernaan,
metabolisme, dan masalah infeksi.
Program 3 minggu sebelum sapi melahirkan
Program 3 minggu sebelum sapi melahirkan biasanya disebut
challange feeding program. Challange feeding program adalah program
pemberian pakan konsentrat, yang diberikan pada sapi kering dan awal
laktasi, tanpa dibatasi oleh kurangnya persediaan energi untuk produksi
14
saat itu (Soetarno, 2000). Sebulan menjelang kelahiran, sapi bunting
diberikan makanan berprotein tinggi yang dimaksudkan untuk
memperbaiki kembali fungsi alveoli pada ambing, mengembalikan kondisi
tubuh sehingga persediaan zat-zat pembentuk susu sudah siap untuk
laktasi berikutnya, dan mempersiapkan kondisi induk yang kuat pada saat
melahirkan dan sesudah melahirkan.
Program 4 minggu setelah sapi beranak
Setelah sapi melahirkan sampai 70 hari merupakan masa yang
paling kritis, karena pada saat ini sapi mulai memproduksi susu. Empat
sampai enam minggu setelah sapi beranak, produksi susu akan naik
dengan cepat sampai mencapai puncak produksi 70 hari setelah sapi
beranak. Setelah sapi beranak terjadi penurunan berat tubuh. Agar berat
tubuh tidak turun drastis, pemberian konsentrat dinaikkan 0,5 kg sampai 1
kg per hari, tetapi konsentrat yang diberikan jangan sampai berlebihan
dan kandungan serat kasarnya dalam ransum harus di atas 15% untuk
pemeliharaan fermentasi di rumen. Apabila pemberian pakan tidak
seimbang dapat berakibat puncak produksi susu selama laktasi rendah.
Jika konsentrat yang dikonsumsi meningkat terlalu cepat maka
kemungkinan sapi akan menderita off feed dan displasia abomasum
(Soetarno, 2003). Satu minggu setelah sapi beranak, pakan yang
diberikan pada sapi-sapi di BBPTU-SP Baturraden disesuaikan dengan
produksi susunya.
Program Pengeringan
Periode kering atau sering disebut dengan pengeringan adalah
menghentikan pemerahan selama kurang lebih 8 minggu menjelang sapi
melahirkan kembali, pada sapi-sapi yang mengalami periode laktasi kedua
dan seterusnya. Lama pengeringan atau lama periode kering (length of
dry period) menentukan besarnya produksi susu pada laktasi berikutnya.
15
Hal ini penting untuk mengembalikan kondisi ambing dan untuk memberi
kesempatan mengganti kelenjar susu yang rusak selama laktasi
(Soetarno, 2000). Pengeringan yang dilakukan di BBPTU-SP Baturraden
dimulai pada saat ternak sedang bunting 7 bulan, selain itu pengeringan
dilakukan untuk ternak yang memiliki produksi susu rendah dan waktu
pemerahannya sudah mencapai 305 hari.
Sapi-sapi yang akan dikeringkan di BBPTU-SP Baturraden
dilakukan pengurangan pemberian pakan konsentrat selama awal
pengeringan kurang lebih 2 minggu, dan selanjutnya apabila sudah betul-
betul kering ditambah lagi sedikit demi sedikit. Hal ini dimaksudkan agar
susu yang dihasilkan tidak terus-menerus keluar karena aktivitas hormon
estrogen yang merangsang alveoli kelenjar susu, juga untuk menghindari
penimbunan lemak yang berlebihan. Apabila sapi yang akan dikeringkan
masih memproduksi susu enam liter atau lebih per harinya, maka akan
dikeringkan menggunakan metode pemerahan berselang dan
pengeringan langsung. Setelah sapi benar-benar kering, setiap puting
akan diinjeksi menggunakan Bovaclox DC, seperti ditampilkan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Injeksi untuk pengeringan
Bovaclox DC digunakan untuk pengeringan setelah pemerahan
terakhir pada masa laktasi, yang berfungsi untuk memberikan
perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut selama periode kering dan dapat
16
mengurangi kejadian mastitis selama masa pengeringan. Pengeringan
dibagi dalam dua tahap yaitu pengeringan awal dan pengeringan lanjut.
Pengeringan awal (1 sampai 4 minggu). Periode ini dimulai saat
sapi dikeringkan hingga 4 minggu sebelum beranak. Pada fase ini, sapi
perah dengan kondisi baik hanya membutuhkan hijauan yang berkualitas
baik. Induk sapi yang kondisinya kurang baik membutuhkan makanan
penguat untuk memperbaiki kondisi akibat laktasi sebelumnya.
Pengeringan lanjut (minggu ke 4 sampai beranak). Periode ini
dimulai pada minggu ke 4 sampai beranak. Pada periode ini sebaiknya
diberi konsentrat yang setara dengan konsentrat untuk mencapai puncak
produksi. Tujuannya untuk pertumbuhan fetus, produksi kolostrum, dan
pedet yang kuat waktu lahir.
Tatalaksana Pemberian Pakan
Pakan atau bahan-bahan pakan sapi perah adalah bahan-bahan
yang diberikan kepada ternak perah, sebagian atau seluruhnya, dapat
dicerna tanpa mengganggu kesehatan, dengan tujuan untuk
kelangsungan normal (Hartadi et. al., 2005). Pakan yang ada di BBPTU-
SP Baturraden terdiri dari tiga jenis pakan, yaitu konsentrat, complete
feed, dan pakan hijauan. Konsentrat merupakan suatu bahan makanan
yang digunakan bersama bahan makanan lain untuk meningkatkan
keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan dimaksudkan untuk
disatukan dan dicampur sebagai suplemen atau makanan pelengkap
(Hartadi et. al., 2005). Pakan konsentrat yang ada di BBPTU-SP
Baturraden terdiri dari 3 formulasi, yaitu: F1, F2, dan F3 yang ditampilkan
pada Lampiran 2. Konsentrat F1 diberikan untuk sapi-sapi yang sedang
laktasi dan sapi-sapi dengan produksi tinggi. Konsentrat F2 diberikan
untuk sapi kering dan untuk sapi-sapi dengan produksi rendah, sedangkan
konsentrat F3 diberikan untuk sapi dara.
17
Secara umum complete feed adalah suatu teknologi formulasi
pakan yang mencampur semua bahan pakan yang terdiri dari hijauan
(limbah pertanian) dan konsentrat yang dicampur menjadi satu tanpa atau
hanya sedikit tambahan rumput segar. Hijauan merupakan bagian aerial
dari tanaman terutama rumput dan legume, yang mengandung 18% serat
kasar dalam dasar kering yang dipergunakan sebagai makanan ternak
(Hartadi, et. al., 2005).
Periode pengeringan
Pada periode pengeringan, pakan yang diberikan di BBPTU-SP
Baturraden adalah : konsentrat F2, complete feed, dan hijauan. Pakan
konsentrat F2 diberikan pada pukul 04:00 dan pukul 15:00. Sapi periode
kering ditempatkan dikandang C, sehingga jumlah konsumsi konsentrat
untuk satu kandang yaitu 350 kg/hari untuk 43 ekor ternak dengan rata-
rata konsumsi 8,14 kg/ekor/hari. Data konsumsi konsentrat sapi perah di
BBPTU-SP Baturraden ditampilkan pada Lampiran 3. Konsentrat
didistribusikan ke kandang menggunakan gerobak, seperti ditampilkan
pada Gambar 3, kemudian konsentrat diambil menggunakan ember
dengan ukuran 3 kg lalu dituangkan ke dalam bak pakan. Formulasi pakan
konsentrat F2 ditampilkan pada Tabel 1.
Gambar 3. Pemberian pakan konsentrat
18
Tabel 1. Formulasi pakan Konsentrat F2
No Jenis bahan Persentase PK TDN Ca P (%) (kg)
1 Bekatul 4 20 14 85 0,05 1,48 2 Jagung 14 70 10,3 80 0,03 0,26 3 Bungkil kelapa 14 70 21,36 69,32 0,19 0,57 4 Bungkil kedelai 9 45 52,12 62,02 0,34 0,76 5 Pollard 44 220 16,56 78,40 0,07 0,97 6 Onggok 12 60 3,3 - 0,57 0,17 7 Mineral 2 10 - - 22,20 16 8 Garam 1 5 - - - -
Jumlah 100 500
Sumber : BBPTU Sapi Perah Baturraden, 2013
Complete feed diberikan pada pukul 11:00 dan pukul 17:00,
pemberian minimal 10 kg per hari untuk bobot sapi 400 kg. Pada musim
kemarau dan penghujan air di BBPTU Sapi Perah Baturraden tersedia
melimpah, sehingga pemberian air minum dilakukan secara ad-libitum.
Kandungan nutrisi dari complete feed ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi complete feed
No Kandungan Nutrisi Persentase
1 BK 85 % 2 ABU 10 % 3 PK Minimal 13,5 % 4 TDN Minimal 61 % 5 ME Minimal 1437 kcal/kg 6 LK Minimal 3,5 % 7 SK Maximal 20 % 8 Ca 0,8 % 9 P 0,6 %
Sumber : BBPTU Sapi Perah Baturraden, 2013
Pemberian pakan hijauan dilakukan pada pukul 08:00 dan pukul
21:00. Jenis hijauan yang diberikan merupakan jenis rumput gajah.
Rumput gajah diberikan pada ternak setelah dipotong-potong (chopper)
terlebih dahulu, untuk memudahkan ternak dalam proses mengkonsumsi
rumput, seperti ditampilkan pada Gambar 4. Kandungan nutrisi yang
terkandung dalam rumput gajah yaitu PK 14,64%, TDN 53,49%, Ca
0,64%, dan P 0,38%. Jumlah konsumsi hijauan untuk satu ekor ternak 40
19
kg/hari sampai 50 kg/hari. Pada fase pengeringan, sapi perah dengan
kondisi baik membutuhkan hijauan yang berkualitas baik.
Gambar 4. Pemberian pakan hijauan
Periode menjelang sapi melahirkan
Dua sampai tiga minggu sebelum sapi melahirkan, sapi diberi
pakan tantangan (challenge feeding). Pemberian pakan yang bernilai
tinggi pada saat ini berguna untuk pertumbuhan anaknya, produksi
kolostrum yang bernilai tinggi serta pedet yang kuat pada waktu lahir. Hal
ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tubuh sapi dalam kondisi puncak
sewaktu mulai produksi susu. Pada saat-saat tersebut, apabila pakan
tidak mencukupi maka akan menguras cadangan zat-zat makanan dalam
tubuh sehingga sapi akan kurus dan lemah bahkan dapat menjadi lumpuh.
Pada periode ini BBPTU-SP Baturraden mengganti pakan
konsentrat F2 menjadi F1 dan memberikan tambahan pakan konsentrat
F1 sebanyak 2 kg pada waktu 3 minggu menjelang sapi melahirkan.
Tambahan pakan konsentrat F1 diberikan secara bertahap. Pemberian
konsentrat dilakukan secara bertahap agar setelah sapi melahirkan
mampu mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang dibutuhkan tanpa
mengalami gangguan metabolisme. Komposisi pakan konsentrat F1
ditampilkan pada Tabel 3.
20
Tabel 3. Formulasi pakan konsentrat F1
No Jenis bahan Persentase PK TDN Ca P (%) (kg)
1 Bekatul 9 45 14 85 0,05 1,48 2 Jagung 20 100 10,3 80 0,03 0,26 3 Bungkil kelapa 14 70 21,36 69,32 0,19 0,57 4 Bungkil kedelai 19 95 52,12 62,02 0,34 0,76 5 Pollard 30 150 16,56 78,40 0,07 0,97 6 Onggok 5 25 3,3 - 0,57 0,17 7 Mineral 2 10 - - 22,20 16 8 Garam 1 5 - - - -
Jumlah 100 500
Sumber : BBPTU Sapi Perah Baturraden, 2013
Efek Periode Transisi
Ternak perah yang sehat merupakan aset yang menguntungkan
dalam usaha peternakan sapi perah. Tatalaksana pemeliharaan periode
transisi yang tidak baik dapat menimbulkan beberapa dampak bagi sapi
perah, salah satunya adalah penyakit. Penyakit yang sering timbul akibat
tatalaksana pemeliharaan periode transisi yang tidak baik adalah penyakit
metabolit. Selain menimbulkan penyakit metabolit, tatalaksana
pemeliharaan periode transisi yang tidak baik juga memberikan dampak
pada Body Condition Score (BCS) ternak, dan produksi susunya.
Penyakit metabolit
Perubahan fisiologi dari bunting, beranak, laktasi merupakan hal
yang sangat berat bagi sapi perah. Banyak perubahan hormonal yang
terjadi berkaitan dengan proses tersebut. Perubahan tersebut tentu akan
mempunyai dampak yang sangat signifikan manakala kebutuhan
metabolismenya tidak tercukupi dengan baik. Sebagian besar kejadian
penyakit metabolik ataupun penyakit peripartus lain pada sapi perah
seperti milk fever, ketosis, retensi plasenta, dan left displacement
abomasum terjadi dalam dua minggu pertama laktasi.
Hypocalcaemia (demam susu). Demam susu adalah sebuah
bentuk klinis dari hipokalsemia, suatu kondisi yang mempengaruhi
21
sebagian besar sapi setelah melahirkan. Hipokalsemia telah ditentukan
dengan konsentrasi darah kurang dari 2,0 mmol/l. Risiko demam susu
tergantung pada tingkat pemberian kalsium, magnesium, phospor, umur
dan keturunan ternak, serta durasi pemberian pakan pada masa transisi
setelah melahirkan. Hipokalsemia merupakan gerbang penyakit yang
dapat mengakibatkan peningkatan risiko penyakit lain, yang meliputi:
mastitis, ketosis, retensio placenta, infeksi abomasum dan prolapsus uteri,
seperti yang ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Efek hypocalcaemia (Lean, 2011)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa hipokalsemia merupakan
faktor risiko untuk gangguan reproduksi dan merupakan faktor risiko
langsung terhadap meningkatnya kematian. Hal ini terutama disebabkan
oleh menurunnya kontraktilitas otot polos dan efek negatif langsung dari
hipokalsemia pada fungsi sistem kekebalan tubuh. Efek menurunnya
fungsi kekebalan tubuh menyebabkan adanya risiko mastitis, metritis, dan
fungsi reproduksi. Hipokalsemia tidak semata-mata berhubungan dengan
konsentrasi kalsium pada pakan. Hal ini dipengaruhi oleh mineral lainnya,
usia, breed, kandungan protein dalam pakan dan faktor lainnya.
Pengobatan hipokalsemia ditujukan pada pengembalian kadar kalsium
22
yang normal dalam darah secepat mungkin untuk menghindari kerusakan
pada otot dan saraf. Efek dari hipokalsemia dapat menyebabkan
kelumpuhan pada ternak, seperti ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Sapi lumpuh karena hipokalsemia
Pengobatan hipokalsemia yang dilakukan di BBPTU-SP Baturraden
biasanya memakai preparat kalsium seperti kalsium borogluconat yang
terdiri dari kalsium borogluconat 20%, yang diberikan dengan suntikan
per intravenous dan per subcutan. Dosis yang diberikan disesuaikan
dengan bobot badan sapi. Persentase sapi yang terkena hipokalsemia
sewaktu pelaksanaan PKL sekitar 8,8% dari 45 ekor sapi yang sedang
laktasi.
Mastitis. Mastitis adalah suatu reaksi peradangan pada jaringan
ambing yang disebabkan oleh kuman, zat kimia, ataupun luka karena
mekanis. Peradangan ini menyebabkan bertambahnya protein dalam
darah dan sel-sel darah putih di dalam jaringan ambing susu. Pada
umumnya penyebab radang ambing adalah bakteri Streptococcus
agalactiae (SAG) dan Staphylococcus aureus (SA). Ambing yang terkena
mastitis terlihat bengkak dan mengeras, serta terasa panas jika diraba.
Apabila dilihat secara visual, ambing terlihat berwarna merah. Kondisi
ambing yang bengkak dan mengeras akibat mastitis ditampilkan pada
Gambar 7.
23
Gambar 7. Ambing yang terkena mastitis
Pada sapi yang terkena mastitis, susu berubah menjadi encer dan
menggumpal, kadang-kadang bercampur darah atau nanah. Pengawasan
dan pencegahan terhadap penyakit mastitis di BBPTU-SP Baturraden
yaitu dengan melakukan uji Californian Mastitis Test (CMT) seminggu
sekali. Pengobatan yang dilakukan untuk mastitis klinis yaitu dengan
menyuntikkan secara intra mamari obat-obat antibiotik seperti penicilin,
streptocimin, teramicin, neomicyn. Sapi perah laktasi yang terkena
mastitis dan sedang menjalani proses pengobatan akan tetap diperah
tetapi susu hasil pemerahan akan dibuang. Pembuangan susu dari sapi
yang sedang dalam masa pengobatan dilakukan kurang lebih selama 4
hari atau lebih sejak pengobatan. Lama pembuangan susu disesuaikan
dengan kondisi mastitis yang dialami oleh sapi.
Retensio placenta. Secara fisiologis membran fetus dikeluarkan
pada waktu 3 sampai 8 jam post partus. Pada dasarnya retensi plasenta
adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula
maternal. Penyebab terjadinya retensi adalah adanya infeksi uterus
selama kebuntingan dan kurangnya kontraksi uterus setelah pedet
dilahirkan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa hipocalcemia
meningkatkan risiko kejadian retensi plasenta. Efek langsung
hipocalcemia terhadap retensi plasenta sebesar 2 kali. Efek tidak
langsung hipocalcemia terhadap retensi plasenta adalah hipocalcemia
24
menjadi faktor risiko terjadinya distokia dan distokia menjadi faktor risiko
retensi plasenta. Konsentrasi kalsium plasma lebih rendah pada penderita
retensi plasenta dibanding sapi normal. Oleh karena itu retensi plasenta
cenderung lebih banyak terjadi pada sapi penderita hipocalcemia
(Anonim, 2013). Penanganan terhadap retensi plasenta yang dilakukan di
BBPTU-SP Baturraden yaitu dengan mengeluarkan plasenta dari uterus
melalui vulva secepatnya dan dilakukan injeksi hormon oksitosin secara
intramuskuler.
Ketosis. Meningkatnya konsentrasi badan-badan keton dalam
darah disebut ketonemia (hiperketonemia) dan meningkatnya konsentrasi
badan-badan keton dalam urin disebut ketonuria. Keadaan keseluruhan ini
disebut juga ketosis. Ketosis merupakan penyakit metabolit yang ditandai
dengan penimbunan badan-badan keton, yaitu asam asetoasetat, β-
hidroxibutirat dan hasil dekarbosilasinya (aseton dan isopropanol) di
dalam cairan tubuh. Badan-badan keton dapat tertimbun di dalam kemih
(ketonuria), darah (ketonemia), dan air susu (ketolaksia) (Subronto, 2004).
Ketosis diderita oleh sapi yang berproduksi tinggi atau kekurangan pakan
secara serius. Kejadian ketosis diduga banyak yang terjadi bersamaan
dengan penyakit defisiensi mineral, contohnya: vitamin A, cobalt, dan
vitamin B12. Salah satu penyebab utamanya adalah kebutuhan glukosa
yang meningkat untuk sintesis susu pada awal laktasi, karena itu sapi
akan memanfaatkan cadangan lemak tubuh sebagai sumber energi.
Namun oksidasi asam lemak yang tidak sempurna menyebabkan
terbentuknya badan-badan keton, level gula darah turun, keton dalam
darah meningkat dan terjadi infiltrasi lemak dalam jaringan hati.
Body Condition Score
Body Condition Score adalah metode pengukuran kritis terhadap
keefektifan sistem pemberian pakan pada sapi perah, bertujuan untuk
mengetahui pencapaian standar kecukupan cadangan lemak tubuh yang
akan mempengaruhi dalam penampilan produksi susu, efisiensi
reproduksi dan umur ternak. Sapi dengan kondisi tubuh yang terlalu
25
gemuk atau terlalu kurus akan menyebabkan timbulnya problem
metabolisme yang serius, rendahnya produksi susu, conception rate yang
rendah dan distochia. Penilaian kondisi tubuh induk sapi perah dilakukan
pada periode laktasi dan dievaluasi terhadap nilai BCS pada saat beranak
(postpartum), setelah beranak (1 bulan postpartum), dikawinkan (3 bulan
postpartum), pemeriksaan kebuntingan (6 bulan postpartum), periode
laktasi (9 bulan postpartum), dan periode kering (1 bulan prepartum).
Pelaksanaan pemeriksaan kondisi tubuh pada induk sapi perah
diperoleh melalui estimasi penilaian secara visual terhadap kuantitas
jaringan lemak kulit. Perhitungan nilai BCS sebesar 5 poin (1 sampai 5)
dengan penambahan nilai 0,25 (Quarter point) dihitung berdasarkan
kondisi subcutan lemak tubuh pada pangkal ekor dan sekitar tulang
belakang, hips, ribs, dan pin bone. Penilaian kondisi tubuh (BCS) pada
induk sapi perah sangatlah penting dalam melaksanakan tatalaksana
untuk memaksimalkan produksi susu dan efisiensi reproduksi yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan penyakit metabolisme setelah
beranak.
Penilaian BCS yang dilakukan di BBPTU-SP Baturraden biasanya
dilakukan 1 kali dalam sebulan pada minggu ke 3, penilaian dilaksanakan
oleh 3 orang penilai kemudian ditetapkan nilai rerata. Penilaian BCS
menjelang kelahiran dilakukan pada periode kering. Penilaian dilakukan
pada saat sapi bunting tua mendekati kelahiran (1 bulan prepartum). Dari
data yang diperoleh selama PKL, rata-rata BCS menjelang kelahiran di
BBPTU-SP Baturraden yaitu sekitar 3,00 dari 29 ekor sapi. Pemanfaatan
energi pakan pada periode ini difokuskan untuk reproduksi, pertumbuhan,
hidup pokok, dan persiapan kelahiran. Penilaian BCS setelah kelahiran
dilakukan pada saat peningkatan produksi susu (1 bulan postpartum).
Secara ideal, sapi akan kehilangan 0,5 poin nilai BCS hal ini terjadi karena
keseimbangan energi negatif, yaitu cadangan lemak tubuh akan
digunakan untuk memproduksi susu. Rata-rata BCS setelah kelahiran
26
yang diperoleh selama PKL di BBPTU-SP Baturraden yaitu sekitar 2,92
dari 15 ekor.
Produksi
Setelah pemerahan, susu hasil pemerahan ditampung di dalam
ember yang terbuat dari aluminium kemudian dibawa ke kamar susu untuk
penanganan lebih lanjut. Susu hasil pemerahan dari sapi akan ditimbang
dan dicatat data produksi hariannya terlebih dahulu sebelum masuk ke
dalam cooling unit. Setelah selesai ditimbang, susu akan dimasukkan ke
dalam milk can. Proses ini ditampilkan pada Gambar 8, namun
sebelumnya susu akan diuji alkohol dengan menggunakan milk gun. Susu
yang mengalami koagulasi akan dimasukkan ke dalam milk can yang
berbeda dan akan diberikan pada pedet, sementara susu yang tidak
mengalami koagulasi akan disaring sebelum masuk ke dalam milk can
dan selanjutnya milk can ditutup. Susu yang berada di dalam milk can ini
kemudian dimasukkan ke dalam cooling unit untuk menghambat
pertumbuhan bakteri sehingga susu tidak mudah rusak dan tahan lama
hingga siap untuk dipasarkan. Jumlah sapi periode awal laktasi saat PKL
adalah 45 ekor. Produksi susu pada bulan Januari 2013 adalah 303,19
liter dengan rata-rata produksi 6,7 liter/ekor/hari dan pada bulan Februari
adalah 206,81 liter dengan rata-rata produksi 4,6 liter/ekor/hari.
Berdasarkan hasil produksi susu selama kegiatan PKL tersebut, diketahui
bahwa terjadi penurunan produksi susu pada bulan Februari. Hal ini,
dikarenakan banyak sapi yang mengalami mastitis, sehingga produksi
susunya menurun.
27
Gambar 8. Proses penimbangan dan pengumpulan susu
Kualitas susu. Pada saat diperah, susu merupakan suatu bahan
yang murni, higienis, dan bernilai gizi tinggi. Setelah beberapa saat
berada dalam suhu kamar, susu sangat peka terhadap pencemaran
sehingga dapat menurunkan kualitas susu. Syarat-syarat untuk
mendapatkan susu berkualitas tinggi adalah: susu harus benar-benar
sehat, mempunyai warna, bau, dan rasa yang baik, tinggi kadar gizinya
dan mempunyai ketahanan bila disimpan dalam waktu yang cukup.
Kualitas susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: keadaan
kandang, keadaan kamar susu, kesehatan sapi, kesehatan pemeliharaan
sapi, cara pemberian pakan sapi, persiapan sapi yang akan diperah,
persiapan pemerah, bentuk dari ember, pemindahan susu dari kandang,
penyaringan susu, cara pendinginan susu, cara pencucian alat-alat, dan
pengawasan terhadap lalat. Berdasarkan SK Dirjen Peternakan Nomor 17
tahun 1983, salah satu syarat kualitas susu segar adalah jumlah mikroba
maksimum 3 juta/ml.
Uji kualitas susu yang dilakukan di BBPTU-SP Baturraden dalam
pencegahan penyakit yaitu: uji alkohol, uji CMT (California Mastitis Test),
uji Resazurin, dan uji Delvotest. Uji alkohol dilakukan setiap hari sebelum
susu masuk ke dalam milk can. Uji CMT (California Mastitis Test)
dilakukan seminggu sekali untuk deteksi dini terhadap penyakit mastitis.
Uji Resazurin dilakukan seminggu sekali untuk menentukan adanya
bakteri dalam susu segar. Uji Delvotest dilakukan seminggu sekali untuk
28
mengetahui kandungan antibiotik yang ada pada susu. Uji Resazurin dan
Delvotest ditampilkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Uji Delvotest dan Uji Resazurin
Komposisi susu. Komposisi susu di BBPTU-SP Baturraden diuji
melalui uji kualitas susu dengan Milk Analyzer, seperti yang ditampilkan
pada Gambar 10.
Gambar 10. Milk Analyzer
Prosedur untuk uji kualitas susu adalah sebagai berikut:
a) Dipersiapkan bahan dan peralatan (sampel susu, milk analyzer,
spuit, dan alat tulis).
b) Sampel susu dituang ke dalam gelas milk analyzer.
c) Sampel susu disedot masuk ke dalam milk analyzer dengan
menarik spuit yang ada di belakang milk analzyer, kemudian
ditekan tombol enter.
29
d) Selanjutnya dipilih tombol cow untuk sampel susu sapi, kemudian
ditekan tombol enter.
e) Suhu susu saat diperiksa akan terlihat pada layar milk analyzer.
f) Setelah ditunggu kurang lebih 1 menit, maka akan muncul hasil
analisis di layar, yang meliputi: Fat (lemak), Density (berat jenis),
Laktosa, Solid Non Fat (bahan kering tanpa lemak), Protein, dan
Water (tambahan air).
Komposisi susu yang ada di BBPTU-SP Baturraden saat dilakukan
kegiatan PKL ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi susu
Komposisi Rata-rata
Lemak 4, 31 Berat jenis 1, 0271 Laktosa 4, 34 Bahan kering tanpa lemak 7, 93 Protein 2, 89
Sumber : BBPTU Sapi Perah Baturraden, 2013
Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi susu antara lain : a)
jenis ternak dan keturunannya, b) individu (bangsa sapi), c) tingkat laktasi,
d) umur ternak, e) infeksi atau peradangan pada ambing, f) pakan, g)
lingkungan, h) prosedur pemerahan susu.
30
BAB IV
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
Tatalaksana Pemberian Pakan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama PKL di BBPTU-SP
Baturraden, pakan tantangan yang diberikan oleh pihak BBPTU-SP
Baturraden untuk sapi yang akan melahirkan dilakukan dengan cara
meningkatkan kuantitas pakan F1. Menurut Toelihere (1985), sewaktu
umur kebuntingan bertambah, uterus mengalami pembesaran gradual
untuk memungkinkan pertumbuhan foetus. Pertambahan umur
kebuntingan menyebabkan terjadinya penurunan dinding abdomen dan
pembesaran perut sebagai akibat pembesaran foetus. Pada sapi, lebih
dari setengah pertambahan berat foetus terjadi selama dua bulan terakhir
kebuntingan. Hal ini menyebabkan volume rumen akan semakin
menyempit, sehingga akan menurunkan dry matter intake. Dengan
demikian, pemberian pakan tantangan di BBPTU-SP Baturraden
seharusnya lebih mengutamakan peningkatan kualitas nutrisi pakan yang
diberikan untuk ternak dari pada kuantitasnya.
Body Condition Score (BCS)
Rata-rata BCS menjelang kelahiran selama pelaksanaan kegiatan
PKL di BBPTU-SP Baturraden, yaitu sekitar 3,00 dari 29 ekor ternak. Hasil
rata-rata tersebut masih berada di bawah standar BCS pada SOP yang
ada. Menurut SOP BBPTU-SP Baturraden, standar BCS pada periode ini
yaitu 3,5 sampai 4,0. Kondisi tubuh kurus saat beranak sering mengalami
ketidakmampuan untuk mencapai produksi susu yang maksimal.
Sebaiknya BCS pada saat beranak jangan sampai turun lebih dari 1,0
poin. Dari data yang diperoleh selama PKL, rata-rata BCS setelah
kelahiran di BBPTU-SP Baturraden yaitu sekitar 2,92 dari 15 ekor ternak.
Hasil rata-rata tersebut masih berada dibawah standar BCS pada SOP.
Menurut SOP BBPTU Sapi Perah Baturraden, standar BCS pada periode
31
ini yaitu 3,00 sampai 3,50. Penurunan nilai BCS setelah kelahiran tersebut
masih dianggap wajar. Hal ini dikarenakan, secara ideal sapi akan
kehilangan 0,5 poin nilai BCS setelah kelahiran. Penurunan nilai BCS
terjadi karena keseimbangan energi negatif, dimana cadangan lemak
tubuh akan digunakan untuk memproduksi laktasi, reproduksi,
pertumbuhan, dan hidup pokok, selain itu penurunan nilai BCS pada awal
laktasi menunjukkan adanya permasalahan dalam efisiensi reproduktif.
32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
BBPTU-SP Baturraden merupakan salah satu tempat untuk
menghasilkan bibit-bibit sapi perah unggul di Indonesia. Tatalaksana
pemeliharaan sapi periode transisi yang dilakukan di BBPTU-SP
Baturraden secara umum belum berjalan secara optimal, sehingga perlu
diperhatikan beberapa hal antara lain: tatalaksana pemberian pakan dan
Body Condition Score (BCS). Agar produktivitasnya menjadi lebih baik.
Saran
Secara umum tatalaksana pemeliharaan sapi periode transisi di
BBPTU-SP Baturraden belum berjalan secara optimal. Terkait dengan
permasalahan tersebut, untuk dapat lebih meningkatkan kinerja sapi
perah di BBPTU-SP Baturraden, maka perlu dilakukan hal-hal berikut ini:
1. Pemberian pakan tantangan lebih mengutamakan peningkatan
kualitas nutrisi pakan dibandingkan kuantitasnya
2. Beberapa ternak yang memiliki BCS dibawah standar perlu
dilakukan perbaikan pakan untuk mengejar kondisi BCS sesuai
standar yang ada
33
Daftar Pustaka
Anonim. 2013. http//jogjavet.wordpress.com. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2013.
Firman, A. 2010. Agribisnis Sapi Perah dari Hulu Sampai Hilir. Widya
Padjadjaran. Hartadi, H., S. Reksohadiprojo dan A. D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi
Pakan Untuk Indonesia. Cetakan II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Lean, I. and P. Degaris. 2011. Transition Cow Management. Dairy
Australia Soetarno, T. 2000. Ilmu Produksi Ternak Perah. Cetakan II. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Buku III. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Subronto, dan I. Tjahajati. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta:
UGM Press. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawiro Kusumo dan S.
Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Ternak Dasar. Cetakan V. Gadjah Mada Universty Press. Yogyakarta.
Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Cetakan X.
Penerbit Angkasa. Bandung
34
U
1
3
4
2
5
6
7
8
9
10
11 14
12 13
D
C
B
A
15
16
17
18
19 20
F
E
E1
E2
G H
22
FREE STALL
21
J
23 24
Lampiran
Lampiran 1. Layout farm Tegalsari
Keterangan:
1) Biosecurity 13) Kamar Susu A) K. Laktasi Tinggi
2) Masjid 14) Lab. Kesmavet B) K. Laktasi Sedang
3) Pos Satpam 15) UMMB C) K. Kering
4) Koprasi Susu 16) Gudang Pakan D) K. Laktasi Rendah
5) Gedung A 17)) Kantin E) K. Pedet 3-4 Bulan
6) Gedung B 18) Produksi Pakan E1) K. Pedet 5-6 Bulan
7) Gedung C 19) Kantor E2) K. Pedet 0-2 Bulan
35
8) Gedung D 20) Gudang Jerami F) K. Karantina
9) Garasi 21) Lab. Kesmavet G) K. Dara Bunting
10) Gedung E 22) Bokasi H) K. Dara
11) Gedung G 23) Chopper J) K. Pejantan
12) Gedung F 24) Kandang Kosong
Lampiran 2.
Tabel 5. Formulasi konsentrat pakan sapi perah BBPTU-SP Baturraden
NO JENIS
BAHAN F1 DEWASA F2 DEWASA F3 / DARA
500 500 500
1 Bekatul 9% 45 4% 20 5% 25
2 Jagung 20% 100 14% 70 8% 40
3 Bkl Kelapa 14% 70 14% 70 10% 50
4 Bkl Kedele 19% 95 9% 45 0% 0
5 Pollard 30% 150 44% 220 49% 245
6 Onggok 5% 25 12% 60 25% 125
7 Mineral 2% 10 2% 10 2% 10
8 Garam 1% 5 1% 5 1% 5
JUMLAH 100% 500 100% 500 100% 500
Lampiran 3.
Tabel 6. Konsumsi konsentrat sapi perah BBPTU-SP Baturraden
No Kandang Populasi Jenis Konsentrat
Konsentrat 06:00 13:30 Jumlah Rataan
1 A 40 F1 250 200 450 11,25 2 B 43 F2 250 150 400 9,30 3 C 43 F2 200 150 350 8,14 4 D 43 F2 150 100 250 8,14
F1 50 50 100 5 F 19 F3 125 0 125 6,58
Sub Total 188 1025 650 1675
36
Lampiran 4.
Tabel 7. Penilaian performance Body Condition Score (BCS) setelah melahirkan
No No. Sapi
Tgl beranak
Postpartus (bulan)
Penilaian BCS
Rerata BCS
1 2
1 089 12/22/2012 1 2,75 2,75 2,75 2 0024 12/11/2012 1 2,75 2,75 2,75 3 0396 12/24/2012 1 3,25 3,25 3,25 4 0411 12/17/2012 1 2,50 2,50 2,50 5 0402 12/25/2012 1 2,25 2,50 2,38 6 0404 12/20/2012 1 2,75 3,00 2,88 7 1877 30/12/2012 1 3,00 3,25 3,13 8 0416 12/13/2012 1 3,00 3,25 3,13 9 0432 12/13/2012 1 3,00 3,00 3,00 10 0460 12/12/2012 1 3,00 3,00 3,00 11 3580 12/11/2012 1 3,00 3,00 3,00 12 3629 12/12/2012 1 2,75 2,75 2,75 13 0656 12/1/2012 1 2,75 2,75 2,75 14 114 12/1/2012 1 3,00 3,00 3,00 15 099 11/1/2012 1 3,50 3,50 3,50
Rata-rata 2,88 2,95 2,92
37
Lampiran 5.
Tabel 8. Penilaian performance Body Condition Score (BCS) menjelang kelahiran
No No.
Sapi
Tgl
beranak
Postpartus
(bulan)
Penilaian
BCS
Rerata BCS
1 2
1 045 4/23/2012 9 2,75 2,75 2,75 2 3599 4/25/2012 9 2,75 3,00 2,88 3 3597 4/11/2012 9 2,75 3,00 2,88 4 0284 4/25/2012 9 2,75 2,75 2,75 5 3605 4/29/2012 9 3,00 3,00 3,00 6 3592 4/30/2012 9 3,25 3,50 3,38 7 067 4/19/2012 9 3,00 3,00 3,00 8 0406 4/5/2012 9 3,00 3,00 3,00 9 3571 3/6/2012 9 2,50 2,50 2,50 10 3547 3/25/2012 9 3,00 3,25 3,13 11 3575 3/2/2012 9 3,00 2,75 2,88 12 3567 3/6/2012 9 3,00 3,00 3,00 13 3641 3/11/2012 9 3,00 3,00 3,00 14 3574 3/6/2012 9 2,50 2,75 2,63 15 3562 3/8/2012 9 2,75 2,75 2,75 16 3639 3/17/2012 9 3,25 3,50 3,38 17 3569 3/2/2012 9 3,00 3,00 3,00 18 3593 3/6/2012 9 3,00 3,25 3,13 19 3553 3/1/2012 9 3,00 3,00 3,00 20 0551 3/22/2012 9 3,00 3,00 3,00 21 0301 3/18/2012 9 3,00 3,00 3,00 22 3565 3/6/2012 9 3,25 3,50 3,38 23 0516 4/14/2012 9 3,00 3,25 3,13 24 3635 3/15/2012 9 3,25 3,50 3,38 25 3594 3/25/2012 9 3,00 3,25 3,13 26 0553 3/23/2012 9 3,25 3,25 3,25 27 1940 3/21/2012 9 2,75 3,00 2,88 28 1921 4/23/2012 9 3,25 3,25 3,25 29 078 3/20/2012 9 2,50 2,75 2,63
Rata-rata 2,95 3,05 3,00
38
Lampiran 6. Surat Keterangan Praktek Kerja Lapangan
39
Lampiran 7. Daftar Penilaian PKL
40
Lampiran 8. Daftar Kegiatan PKL
41
42
43